Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL

Isu-Isu Gender Dalam Al-Quran


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HAM & GENDER
Dosen Pengampu : Dr. Fita Mustafida M. Pd

Muhammad Firman Syah Putro NPM : 22001011243


1
Mahasiswa Universitas Islam Malang, 2 Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Malang.
E-mail: deadread75@gmail.com

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
TAHUN 2022/2023
Pendahuluan
Ada pepatah klasik yang berbunyi, "yang selalu terbatas, sedangkan realitas tidak
pernah terbatas "(Amin Abdullah, 2006) Ungkapan ini sangat tepat digunakan dalam
teks-teks keagamaan. Teks-teks keagamaan yang ada dapat dan dapat dibatasi
sehingga muncul dalam ruang tertentu dan pada waktu tertentu realitas alam,
budaya dan sosial terjadi secara dinamis. Oleh karena itu, pemenuhan historisitas
teks-teks agama merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh umat Islam jika
tidak ingin Islamnya ahistoris dan tidak ahistoris. Bahkan berbicara teks-teks agama
yang berkaitan dengan isu-isu gender. Membaca spektrum luas diperlukan untuk
membawa teks yang lahir di masa lalu ke dalam ceruk peradaban kontemporer.
Sejarah menceritakan bahwa Quran tidak diturunkan tidak secara instan, dan dalam
proses yang berlangsung lama. Sebagian besar ayat Al-Qur'an berlatar belakang
peristiwa sosial khusus yang terjadi di masyarakat Arab saat itu. sisanya turun begitu
saja tanpa ada latar sosial. Dengan kata lain, Al-Qur'an datang untuk merespon
terhadap kondisi yang muncul di Jazirah Arab pada saat itu. Tidak terkecuali ayat-
ayat yang berbicara tentang perempuan. Semangat Islam ketika berbicara tentang
poligami, warisan, dll, adalah semangat pembebasan. Namun, seiring berjalannya
waktu , semangat pembebasan menjadi semakin tidak relevan. Adalah kewajiban
umat Islam saat ini untuk memulihkan pembebasan, sehingga masalah poligami,
warisan, saksi, dll. bukan hanya salah satu dari angka.(Abdul Mustaqim,2010)

A. Isu-Isu gender Dalam Al-Qur’an


Di antara sekian banyak isu gender dalam Al-Qur'an, isu poligami, kekerasan
terhadap saksi, warisan, perceraian dan jilbab menjadi isu yang banyak
diperdebatkan di kalangan Islam. Untuk alasan ini , penting untuk membuka
kembali ruang dialog tentang masalah ini.
1. Poligami
Penggunaan istilah poligami sendiri sebenarnya kurang tepat. Jika Anda
mengacu pada definisi tentang seorang pria yang menikahi lebih dari satu
wanita, istilah yang benar adalah dalam poligini. Namun karena sudah
menjadi kesepakatan umum, maka dalam konteks pasal ini istilah poligami
tetaplah dipakai.
Diskusi tentang poligami umumnya berfokus pada meminta untuk
mengungkapkan sikap seseorang: menerima atau menolak. Menyetujui
praktik poligami juga dapat diwujudkan melalui dua sikap, yaitu setuju
untuk berpoligami atau setuju berpoligami tetapi tidak mempraktikkannya
dalam kehidupan pernikahan mereka.
Kebingungan soal poligami bersumber dari ayat Al-Qur'an Surah an Nisa
ayat 3 :

‫وا‬ ‫ِإ‬ َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬
۟ ُ‫ث َو ُر ٰبَ َع ۖ فَ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدل‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬ َ
۟ ُ‫و ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسط‬
‫َِإ‬
۟‫ك َأ ْدن ٰ َٓى َأاَّل تَعُولُوا‬ َ ٰ ُ ُ ٰ ‫َأ‬ ْ َ ‫َأ‬ ً
َ ِ‫ف َو ِح َدة وْ َما َمل َكت ْي َمنك ْم ۚ ذل‬ ٰ َ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
ayat tersebut adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Islam
menempatkan anak yatim pada kedudukan yang mulia sekaligus mampu
memuliakan orang-orang di sekitarnya. Dikhawatirkan wali laki-laki yang
berkewajiban mengurus harta anak yatim tidak akan dapat menjalankan
fungsinya dengan sempurna. Islam menawarkan solusi dengan
mengizinkan wali laki-laki menjadi yatim piatu perempuan, dengan batas
maksimum empat, persyaratan yang adil. Solusi ini, menurut Wadud,
sejalan dengan keberlangsungan praktik klasik perkawinan Arab yang
tujuan utamanya adalah penyerahan perempuan pada dominasi laki-laki.
(Amina Wadud, 2001).
Mengutip komentar terkenal, al-Tabari dan ar-Razi berpendapat bahwa
Quran sebenarnya enggan menerima institusi poligami. Angka empat
sebagai batas atas bagi seorang pria untuk menikahi seorang wanita
sebenarnya merupakan pernyataan untuk mengakhiri praktik poligami
kuno dalam bahasa Arab. Masyarakat Arab pra-Islam mempraktekkan
poligami tanpa adanya batasan. Seorang laki-laki diperbolehkan memiliki
sampai dengan sepuluh istri, termasuk unsur shaleh sebagai syaratnya.
Praktek yang demikian ini tentu sangat merendahkan kaum perempuan.
Membatasi poligami dengan maksimal empat istri sebagai syarat utama
bahwa mereka harus dapat berlaku adil adalah kemajuan besar yang
digagas oleh Islam. Menurut Engineer, pesan yang ingin disampaikan oleh
Al-Qur'an untuk secara bertahap dan halus dalam menghilangkan praktik
poligami.
2. Kekerasan dalam Wanita
Kondisi fisik perempuan yang cenderung lebih lemah dibandingkan laki-
laki membuat mereka rentan terhadap kekerasan. Apalagi jika ada anggapan
menurut bahwa kekerasan terhadap perempuan dilegitimasi oleh teks-teks
agama. tidak bermaksud untuk meminta maaf, tetapi tidak sulit menemukan
bukti bahwa hanya Islam yang mengakui hak-hak laki-laki. Ayat dalam Al Quran
yang yang biasa digunakan sebagai keutamaan laki-laki adalah ayat yang
mengatakan “arrijalu qawwamuna 'alannisa". Perdebatan tentang penafsiran
ayat tersebut tampaknya telah menjadi perdebatan abadi di dunia Islam. Secara
harfiah, kata qawwam dapat diartikan sebagai “pemimpin”, yang artinya laki-
laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kaum modernis Islam sependapat
dalam menolak penafsiran ini, karena secara tidak langsung menyangkal
potensi perempuan dalam hal ini Muhammad Asad, komentator modernis
utama, misalnya, tidak lagi qawwam sebagai pemimpin melainkan sebagai
"penjaga".
Penjelasan diatas adalah penjelasan dari surah An-Nisa ayat 34 yang
berbunyi :
‫َات‬ ُ ‫ْض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم ۚ فَالصَّالِ َح‬
ٌ ‫ات قَانِت‬ َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع‬ َّ َ‫ال ِّر َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف‬
‫اج ِع َواضْ ِربُوه َُّن ۖ فَِإ ْن‬ ِ ‫ض‬ َ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا ُ ۚ َوالاَّل تِي تَخَافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬ ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
ٌ َ‫َحافِظ‬
‫َأطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل ۗ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا‬
Artinya : “Laki-laki (Suami) itu pelindung bagi perempuan (Istri), karena
Allah telah melebihkan Sebagian mereka (Laki-laki) atas Sebagian lain
(perempuan), dan karena mereka (Laki-laki)telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempeuan-perempuanyang saleh, adalah mereka yang
taat (kepada Allah) dan menjaga dirinya Ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka,
tinggalkanlah mereka di tempat tidur(pisah ranjang), dan (bila perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alas an untuk menyusahkannya. Sungguh allah maha tinggi,
maha besar.

Suami berhak untuk menjaga, melindungi, mengurus istrinya, karena sifat-


sifat yang diberikan oleh Tuhan yang memungkinkan mereka melakukan
apa yang dia lakukan, dan kerja keras yang dilakukannya untuk
menghidupi keluarga. Oleh karena itu, yang disebut wanita sholeh adalah
wanita yang taat Allah dan suaminya, yang menjaga segala sesuatu yang
tidak diketahui suaminya Karena sesungguhnya Allah memerintahkan dan
mengarahkan wanita untuk melakukan hal itu. Kepada istri yang
menunjukkan tanda-tanda kemaksiatan, nasehatilah dengan kata-kata
yang menyentuh , menjauhlah darinya kemudian berikan hukuman berupa
pukulan ringan yang tidak menyakiti, bila tidak menunjukkan perbaikan.
Jika, dengan salah satu dari cara-cara ini, dia mendapati dirinya mulai
mematuhi suaminya lagi, maka suami tidak boleh menggunakan metode
lain, yang lebih kejam, dengan menyakiti dan menganiaya istrinya.(Quraisy
Shihab).
3. Wanita sebagai saksi
Dalam tradisi hukum Islam klasik, umumnya dianggap bahwa perempuan
hanya “setengah saksi”. Artinya kedudukan dua orang saksi perempuan di
pengadilan sama dengan kedudukan satu orang saksi laki-laki.
Pemahaman ini berdasarkan pada ayat alquran surah Al-baqarah ayat 282,
yang berbunyi :

‫ب َكاتِبٌ َأن‬ َ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِ َد ْي ٍن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُب بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َواَل يَْأ‬
‫ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَبْخَسْ ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۚ فَِإن َكانَ ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬
ُّ ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح‬ َ ُ‫يَ ْكت‬
‫ُوا َش ِهي َدي ِـْن ِمن ِّر َجالِ ُك ْم ۖ فَِإن لَّ ْم‬ ۟ ‫ض ِعيفًا َأوْ اَل يَ ْستَ ِطي ُع َأن يُ ِم َّل هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهۥُ ب ْٱل َع ْد ِل ۚ َوٱ ْستَ ْش ِهد‬ َ ْ‫ق َسفِيهًا َأو‬ ُّ ‫ْٱل َح‬
ِ
‫ض َّل ِإحْ َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ َد ٰىهُ َما ٱُأْل ْخ َر ٰى ۚ َواَل‬ ِ َ‫ضوْ نَ ِمنَ ٱل ُّشهَدَٓا ِء َأن ت‬ َ ْ‫يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َوٱ ْم َرَأتَا ِن ِم َّمن تَر‬
‫ص ِغيرًا َأوْ َكبِيرًا ِإلَ ٰ ٓى َأ َجلِ ِهۦ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َأ ْق َسطُ ِعن َد ٱهَّلل ِ َوَأ ْق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة‬ َ ُ‫ُوا ۚ َواَل تَ ْسـَٔ ُم ٓو ۟ا َأن تَ ْكتُبُوه‬ ۟ ‫ب ٱل ُّشهَدَٓا ُء َذا ما ُدع‬
َ ‫ِإ‬ َ ‫يَْأ‬
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأاَّل تَ ْكتُبُوهَا ۗ َوَأ ْش ِهد ُٓو ۟ا ِإ َذا‬ َ ‫اض َرةً تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬ ِ ‫َوَأ ْدن ٰ َٓى َأاَّل تَرْ تَاب ُٓو ۟ا ۖ ِإٓاَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً َح‬
‫وا ٱهَّلل َ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ُ ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُك ِّل َش ْى ٍء َعلِي ٌم‬ ۟ ُ‫ق ب ُك ْم ۗ َوٱتَّق‬ ۢ ۟
ِ ٌ ‫ضٓا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوِإن تَ ْف َعلُوا فَِإنَّهۥُ فُسُو‬ َ ُ‫تَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َواَل ي‬
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika
yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau
tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya
dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para
saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang
itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan,
kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.
Dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dipersulit
dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal
itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu “

Para penafsir abad pertengahan dan ahli hukum pada umumnya sepakat
bahwa posisi perempuan dalam sebagai saksi adalah setengah dari laki-laki.
Penafsiran ini menuai kritik dari kaum modernis, khususnya aktivis wacana
Islam. Amina Wadud, misalnya, berpendapat bahwa menurut ayat tersebut,
tidak jelas bahwa mengatakan perempuan adalah saksi dalam perjanjian
utang. Dalam ayat itu dikatakan bahwa seorang wanita adalah untuk
mengingatkan wanita lain. Oleh karena itu lebih tepat dua perempuan
memiliki peran yang berbeda, satu sebagai sebagai saksi dan yang lainnya
sebagai “pengingat”. Wadud juga mengingatkan bahwa ketika ayat ini turun
adalah kondisi umat saat itu. Mekah berada dalam situasi di mana perempuan
tidak memiliki, jika ada, legitimasi kepercayaan masyarakat. (Amina Wadud,
2001)
Sesuai dengan pandangan Wadud, Fazlur Rahman penerapan prinsip
setengah-saksi bagi perempuan, pada saat praktik tersebut terjadi di era
modern. Melihat kondisi masyarakat Islam di dunia modern, sangat berbeda.
Keterangan lebih lanjut Rahman berpendapat bahwa jika Anda melihat lebih
dekat, ayat ini berbicara dalam hanya tentang masalah perjanjian hutang dan
kredit, dan tidak dimaksudkan untuk dalam semua kondisi. Argumentasi ini
diperkuat oleh Ali Asghar. Menurutnya, dengan meningkatnya kesadaran
perempuan, maka bagian dari setengah-saksi bagi perempuan diperdebatkan
untuk ditegakkan. Menurut Asghar, interpretasi klasik abad pertengahan dan
interpretasi modern berada pada kutub yang berlawanan dalam hal ini.
Kalangan Ortodoks masih menganggap bahwa kedudukan sebagai saksi adalah
setengah dari laki-laki dan ini tidak hanya berlaku untuk kasus pemodal, tetapi
juga untuk kasus lain.( Asghar Ali Engineer, 2007)
Di banyak negara yang masih menegakkan hukum sebagai hukum resmi
negara, prinsip perempuan sebagai setengah saksi masih ditegakkan. Hal ini
tentu menimbulkan problematika tersendiri. Heidah Moghissi, aktivis hak asasi
manusia dan kesetaraan gender Iran, dalam laporan penelitiannya,
menunjukkan kepedulian terhadap kondisi perempuan di sejumlah negara
Islam. Ia menilai penerapan Islam di yang salah satu intinya adalah membuat
aturan setengah saksi bagi perempuan. Di sejumlah negara Islam, peraturan
ini mencegah banyak kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dibawa ke
pengadilan karena masalah kurangnya saksi.( Heidah Moghissi, 1999)
Daftar Pustaka
“al-nusush mutanahiyyah, wa al waqyu ghairu mutanahiyah”. Amin Abdullah, 2006,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, h. 166.

Abdul Mustaqim, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LkiS, h. 46.

Amina Wadud, 2001, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi
Tafsir. Terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, h. 31.

Ali Asghar Engineer, 2007, Pembebasan Perempuan. Terj. Agus Nuryatno, Yogyakarta:
LkiS,

Abdul Mustaqim, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 261.

Amina Wadud, 2001, Qur’an Menurut Perempuan, h. 152-154.

Asghar Ali Engineer, 2007, Pembebasan Perempuan, h. 99.

Heidah Moghissi, 1999, Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Terj. M. Maufur,


Yogyakarta: LKiS, h. 43.

Anda mungkin juga menyukai