وا ِإ َ َاب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل
۟ ُث َو ُر ٰبَ َع ۖ فَ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدل ۟ وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح
َ َُوا َما ط َ
۟ ُو ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسط
َِإ
۟ك َأ ْدن ٰ َٓى َأاَّل تَعُولُوا َ ٰ ُ ُ ٰ َأ ْ َ َأ ً
َ ِف َو ِح َدة وْ َما َمل َكت ْي َمنك ْم ۚ ذل ٰ َ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
ayat tersebut adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Islam
menempatkan anak yatim pada kedudukan yang mulia sekaligus mampu
memuliakan orang-orang di sekitarnya. Dikhawatirkan wali laki-laki yang
berkewajiban mengurus harta anak yatim tidak akan dapat menjalankan
fungsinya dengan sempurna. Islam menawarkan solusi dengan
mengizinkan wali laki-laki menjadi yatim piatu perempuan, dengan batas
maksimum empat, persyaratan yang adil. Solusi ini, menurut Wadud,
sejalan dengan keberlangsungan praktik klasik perkawinan Arab yang
tujuan utamanya adalah penyerahan perempuan pada dominasi laki-laki.
(Amina Wadud, 2001).
Mengutip komentar terkenal, al-Tabari dan ar-Razi berpendapat bahwa
Quran sebenarnya enggan menerima institusi poligami. Angka empat
sebagai batas atas bagi seorang pria untuk menikahi seorang wanita
sebenarnya merupakan pernyataan untuk mengakhiri praktik poligami
kuno dalam bahasa Arab. Masyarakat Arab pra-Islam mempraktekkan
poligami tanpa adanya batasan. Seorang laki-laki diperbolehkan memiliki
sampai dengan sepuluh istri, termasuk unsur shaleh sebagai syaratnya.
Praktek yang demikian ini tentu sangat merendahkan kaum perempuan.
Membatasi poligami dengan maksimal empat istri sebagai syarat utama
bahwa mereka harus dapat berlaku adil adalah kemajuan besar yang
digagas oleh Islam. Menurut Engineer, pesan yang ingin disampaikan oleh
Al-Qur'an untuk secara bertahap dan halus dalam menghilangkan praktik
poligami.
2. Kekerasan dalam Wanita
Kondisi fisik perempuan yang cenderung lebih lemah dibandingkan laki-
laki membuat mereka rentan terhadap kekerasan. Apalagi jika ada anggapan
menurut bahwa kekerasan terhadap perempuan dilegitimasi oleh teks-teks
agama. tidak bermaksud untuk meminta maaf, tetapi tidak sulit menemukan
bukti bahwa hanya Islam yang mengakui hak-hak laki-laki. Ayat dalam Al Quran
yang yang biasa digunakan sebagai keutamaan laki-laki adalah ayat yang
mengatakan “arrijalu qawwamuna 'alannisa". Perdebatan tentang penafsiran
ayat tersebut tampaknya telah menjadi perdebatan abadi di dunia Islam. Secara
harfiah, kata qawwam dapat diartikan sebagai “pemimpin”, yang artinya laki-
laki adalah pemimpin bagi perempuan. Kaum modernis Islam sependapat
dalam menolak penafsiran ini, karena secara tidak langsung menyangkal
potensi perempuan dalam hal ini Muhammad Asad, komentator modernis
utama, misalnya, tidak lagi qawwam sebagai pemimpin melainkan sebagai
"penjaga".
Penjelasan diatas adalah penjelasan dari surah An-Nisa ayat 34 yang
berbunyi :
َات ُ ْض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم ۚ فَالصَّالِ َح
ٌ ات قَانِت َ ض َل هَّللا ُ بَ ْع
ٍ ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع َّ َال ِّر َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف
اج ِع َواضْ ِربُوه َُّن ۖ فَِإ ْن ِ ض َ ب بِ َما َحفِظَ هَّللا ُ ۚ َوالاَّل تِي تَخَافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم ِ ات لِ ْل َغ ْي
ٌ ََحافِظ
َأطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل ۗ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا
Artinya : “Laki-laki (Suami) itu pelindung bagi perempuan (Istri), karena
Allah telah melebihkan Sebagian mereka (Laki-laki) atas Sebagian lain
(perempuan), dan karena mereka (Laki-laki)telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempeuan-perempuanyang saleh, adalah mereka yang
taat (kepada Allah) dan menjaga dirinya Ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka,
tinggalkanlah mereka di tempat tidur(pisah ranjang), dan (bila perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alas an untuk menyusahkannya. Sungguh allah maha tinggi,
maha besar.
ب َكاتِبٌ َأن َ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِ َد ْي ٍن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُب بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َواَل يَْأ
ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَبْخَسْ ِم ْنهُ َش ْيـًٔا ۚ فَِإن َكانَ ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ِ َّق َو ْليَت
ُّ ب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح َ ُيَ ْكت
ُوا َش ِهي َدي ِـْن ِمن ِّر َجالِ ُك ْم ۖ فَِإن لَّ ْم ۟ ض ِعيفًا َأوْ اَل يَ ْستَ ِطي ُع َأن يُ ِم َّل هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهۥُ ب ْٱل َع ْد ِل ۚ َوٱ ْستَ ْش ِهد َ ْق َسفِيهًا َأو ُّ ْٱل َح
ِ
ض َّل ِإحْ َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ َد ٰىهُ َما ٱُأْل ْخ َر ٰى ۚ َواَل ِ َضوْ نَ ِمنَ ٱل ُّشهَدَٓا ِء َأن ت َ ْيَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َوٱ ْم َرَأتَا ِن ِم َّمن تَر
ص ِغيرًا َأوْ َكبِيرًا ِإلَ ٰ ٓى َأ َجلِ ِهۦ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َأ ْق َسطُ ِعن َد ٱهَّلل ِ َوَأ ْق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة َ ُُوا ۚ َواَل تَ ْسـَٔ ُم ٓو ۟ا َأن تَ ْكتُبُوه ۟ ب ٱل ُّشهَدَٓا ُء َذا ما ُدع
َ ِإ َ يَْأ
ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأاَّل تَ ْكتُبُوهَا ۗ َوَأ ْش ِهد ُٓو ۟ا ِإ َذا َ اض َرةً تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي ِ َوَأ ْدن ٰ َٓى َأاَّل تَرْ تَاب ُٓو ۟ا ۖ ِإٓاَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً َح
وا ٱهَّلل َ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ُ ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُك ِّل َش ْى ٍء َعلِي ٌم ۟ ُق ب ُك ْم ۗ َوٱتَّق ۢ ۟
ِ ٌ ضٓا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوِإن تَ ْف َعلُوا فَِإنَّهۥُ فُسُو َ ُتَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َواَل ي
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika
yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau
tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya
dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para
saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi
mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang
itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan,
kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.
Dan ambillah saksi apabila kamu berjual-beli, dan janganlah penulis dipersulit
dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal
itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu “
Para penafsir abad pertengahan dan ahli hukum pada umumnya sepakat
bahwa posisi perempuan dalam sebagai saksi adalah setengah dari laki-laki.
Penafsiran ini menuai kritik dari kaum modernis, khususnya aktivis wacana
Islam. Amina Wadud, misalnya, berpendapat bahwa menurut ayat tersebut,
tidak jelas bahwa mengatakan perempuan adalah saksi dalam perjanjian
utang. Dalam ayat itu dikatakan bahwa seorang wanita adalah untuk
mengingatkan wanita lain. Oleh karena itu lebih tepat dua perempuan
memiliki peran yang berbeda, satu sebagai sebagai saksi dan yang lainnya
sebagai “pengingat”. Wadud juga mengingatkan bahwa ketika ayat ini turun
adalah kondisi umat saat itu. Mekah berada dalam situasi di mana perempuan
tidak memiliki, jika ada, legitimasi kepercayaan masyarakat. (Amina Wadud,
2001)
Sesuai dengan pandangan Wadud, Fazlur Rahman penerapan prinsip
setengah-saksi bagi perempuan, pada saat praktik tersebut terjadi di era
modern. Melihat kondisi masyarakat Islam di dunia modern, sangat berbeda.
Keterangan lebih lanjut Rahman berpendapat bahwa jika Anda melihat lebih
dekat, ayat ini berbicara dalam hanya tentang masalah perjanjian hutang dan
kredit, dan tidak dimaksudkan untuk dalam semua kondisi. Argumentasi ini
diperkuat oleh Ali Asghar. Menurutnya, dengan meningkatnya kesadaran
perempuan, maka bagian dari setengah-saksi bagi perempuan diperdebatkan
untuk ditegakkan. Menurut Asghar, interpretasi klasik abad pertengahan dan
interpretasi modern berada pada kutub yang berlawanan dalam hal ini.
Kalangan Ortodoks masih menganggap bahwa kedudukan sebagai saksi adalah
setengah dari laki-laki dan ini tidak hanya berlaku untuk kasus pemodal, tetapi
juga untuk kasus lain.( Asghar Ali Engineer, 2007)
Di banyak negara yang masih menegakkan hukum sebagai hukum resmi
negara, prinsip perempuan sebagai setengah saksi masih ditegakkan. Hal ini
tentu menimbulkan problematika tersendiri. Heidah Moghissi, aktivis hak asasi
manusia dan kesetaraan gender Iran, dalam laporan penelitiannya,
menunjukkan kepedulian terhadap kondisi perempuan di sejumlah negara
Islam. Ia menilai penerapan Islam di yang salah satu intinya adalah membuat
aturan setengah saksi bagi perempuan. Di sejumlah negara Islam, peraturan
ini mencegah banyak kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dibawa ke
pengadilan karena masalah kurangnya saksi.( Heidah Moghissi, 1999)
Daftar Pustaka
“al-nusush mutanahiyyah, wa al waqyu ghairu mutanahiyah”. Amin Abdullah, 2006,
Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, h. 166.
Amina Wadud, 2001, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi
Tafsir. Terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, h. 31.
Ali Asghar Engineer, 2007, Pembebasan Perempuan. Terj. Agus Nuryatno, Yogyakarta:
LkiS,