Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh :
Muhammad Nafis
Muhammad Noor
Muhammad Said Mahfuz
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk hidup berketurunan, yang di laksanakan menurut ketentuan syariat
islam. Untuk memperoleh rumah tangga yang bahagia, maka hak dan kewajiban seorang
suami istri harus terpenuhi di dalam rumah tangga. Salah satunya mengenai nafkah yang
harus diberikan suami terhadap istri.
Nafkah adalah harta yang harus diberikan kepada orang yang wajib memperolehnya.
Bentuk dari nafkah ialah makanan, pakaian dan tenpat tinggal. Penerima nafkah yaitu istri,
wanita hamil yang ditalak dan dalam masa iddah, orang tua, anak kecil, budak.
Dasar kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri di sebutkan di dalam al-
Qur’an surah al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
ِ ۗ ْۚ و َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو
ف اَل تُ َكلَّفُ نَ ْفسٌ اِاَّل ُو ْس َعهَا َ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”
Nafkah merupakan hak isteri dan anak-anak untuk mendapatkan makanan, pakaian
dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya. Bahkan sekalipun si istri adalah
seorang wanita yang kaya seorang suami tetap harus memberikan nafkah kepadanya.
Nafkah dalam bentuk ini wajib hukumnya berdasarkan al-Qur‟an, al-Sunnah dan ijma‟
ulama.
Beberapa ulama telah memberikan perincian penting yang harus diberikan sebagai
nafkah. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar tidak bertentangan
dengan kaidah agama sebagaimana diperintahkan. Nafkah merupakan tanggung jawab
seorang ayah menafkahi puteri-puterinya sampai mereka menikah, dan putera-puteranya
sampai mereka usia akil balig.
Begitu pula kewajiban seorang muslim untuk menafkahi orang tuanya serta kakek
neneknya kalau dia mampu melakukan hal itu. Bila memungkinkan dan memiliki harta,
maka dia sepatutnya memperhatikan kebutuhan kerabat-kerabatnya yang miskin. Menurut
1
Mazhab Hanafi, setiap keluarga, sampai pada derajat tertentu, berhak untuk dinafkahi. Bila
dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau buta dan melarat, atau dia seorang
perempuan yang miskin, juga harus dinafkahi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nafkah lahir dan batin ?
2. Apa sajakah sumber hukum pemenuhan nafkah?
3. Berapa batasan pemenuhan nafkah menurut ulama?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian nafkah secara lahir dan batin
2. Untuk mengetahui bagaimana sumber hukum pemenuhan nafkah
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami dalam memenuhi jumlah minimal nafkah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah
Nafkah secara bahasa berasal dari bahasa arab (An-Nafakah) yang artinya barang-
barang yang dibelanjakan, seperti uang.
Secara istilah nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh
seorang untuk orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam bahasa lain nafkah
berarti mengeluarkan biaya. Selain itu nafkah juga berupa suatu pemberian yang
diberikan oleh seseorang kepada orang-orang atau pihak yang berhak menerimanya.
Menurut M.Shodiq, nafkah adalah pemberian seseorang baik berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal ataupun ketenteraman atau kesenangan (nafkah batin) kepada
seseorang, disebabkan karena perkawinan, kekeluargaan, dan kepemilikan atau hak milik
(hamba sahaya atau budak) sesuai dengan kemampuan.
Nafkah adalah pemberian dari suami yang diberikan kepada istri setelah adanya
suatu akad pernikahan. Begitu pentingnya nafkah dalam kajian hukum Islam, bahkan
seorang istri yang sudah dithalaq oleh suaminya masih berhak untuk memperoleh nafkah
untuk dirinya beserta anaknya. Disamping itu, meskipun nafkah merupakan suatu
kewajiban untuk dipenuhi namun menyangkut kadar nafkahnya, harus terlebih dahulu
melihat batas kemampuan si pemberi nafkah.
Dari pengertian diatas kami membagi nafkah suami istri menjadi dua yaitu nafkah
lahir dan nafkah batin. Nafkah lahir adalah nafkah yang dapat terlihat oleh mata dan dapat
dihitung secara nominal uang, nafkah lahir diantaranya pangan (makan dan minum),
sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Sedangkan nafkah batin adalah nafkah
yang tidak dapat terlihat oleh mata akan tetapi dapat dirasakan dan sulit untuk dihitung
secara nominal uang, seperti halnya kebahagiaan, kenyamanan dan seksualitas.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah pemberian
kebutuhan pokok dalam hidup dari seorang suami kepada istrinya. Dengan demikian,
nafkah istri berarti pemberian yang wajib diberikan oleh suami terhadap istrinya dalam
masa perkawinan.
Apabila telah sah dan sempurna suatu akad perkawinan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami istri, maka sejak saat itu pula seorang suami
harus melaksanakan hak-hak dan kewajibannya terhadap istrinya, dan sebaliknya istri
memperoleh hak-haknya serta harus menjalankan kewajibannya juga.
3
Jika seorang suami mempergunakan hak-haknya dan menjalankan kewajibannya
dengan baik maka menjadi sempurna serta terwujudnya sarana-sarana kearah
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa masing-masing sehingga terwujudlah
kesejahteraan dan kebahagiaan bersama lahir dan batin.
4
sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan
baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya.”
3. Surat At-Thalaq ayat 7
لِيُنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِّمن َس َعتِ ِهۦ ۖ َو َمن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُ ۥهُ فَ ْليُنفِ ْق ِم َّمٓا َءاتَ ٰىهُ ٱهَّلل ُ ۚ اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْفسًا ِإاَّل َمٓا َءات َٰىهَا ۚ َسيَجْ َع ُل ٱهَّلل ُ بَ ْع َد
ْر يُ ْسرًا ٍ ُعس
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Sementara dasar hukum nafkah dari Hadits antara lain:
1. Hadis dari Aisyah RA, yaitu :
: ٔأم معاوية كامت، ريض هلال عهنا ٔأن ىندا، عن عائشة، عن ٔأبيو، عن ىشام بن عروة، bعن سفيان بن عيينة
فالل ميا رسول هلال صىل هلال، وميس يل منو ٕاال ما ٔأدخل عًل، ٕان ٔأاب سفيان رجل حشيح، اي رسول هلال
»خذي ما يكفيم وودلك: عليو وسمل
« ابملعروف
Artinya: “Dari ‘Aisyah RA sesungguhnya Hindun Binti ‘Utbah pernah bertanya
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Ia tidak
mau member nafkah kepadaku sehingga aku harus mengambil darinya tanpa
sepengetahuannya”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah apa yang
mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik”. (HR Ahmad, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)
2. Hadis Nabi SAW yang iartinya:
Artinya:“Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, maka orang itu bertanya:
“Apakah hak perempuan dari suaminya?” Rasulullah SAW menjawab: “Memberinya
makanan ketika makan, memberinya pakaian jika berpakaian, tidak boleh
meninggalkannya dalam tempat tinggal, tidak memukulnya dengan pukulan yang tak
terelakan, dan tidak boleh menjelek-jelekan”.
Nafkah Dalam kompilasi hukum islam pasal 80 dijelaskan kewajiban suami
terhadap isteri sebagai berikut:
5
1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri
bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannnya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswa dan tempat kediaman bagi isteri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas
mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
6. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyuz.
.
“kewajiban seorang suami terhadap isterinya ialah sang suami harus memberi makan
kepadanya jika ia makan, dan memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, dan tidak
boleh memukul mukanya dan tidak boleh memperolok-olok atau mencaci maki atau
menghinanya, dan juga (seorang suami) tidak boleh meninggalkannya kecuali dalam
tempat tidur (ketika isteri) membangkang atau terjadi suatu keributan dalam rumah tangga.
Sebagaimana pemaparan di atas bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada
istrinya, baik nafkah lahir maupun batin. Pemenuhan nafkah batin jika dinilai secara
materiil maka akan mudah untuk dihitung, akan tetapi untuk nafkah batin hal ini akan
menjadi sulit.
6
2. Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’I berpendapat bahwa jumlah nafkah bukan diukur dengan jumlah
kebutuhan akan tetapi harus berdasarkan Syara’, maka mereka menetapkan 2 mud (6
ons gandum/beras) per hari bagi suami yang kaya (berada) dan 1 mud (3 ons
gandum/beras) per hari bagi suami yang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS. At-Talaq ayat 7 yang mereka berpendapat harus ada yang
membedakan suami yang kaya dan miskin dan arena tidak ada jumlah yang diatur
dalam al-Quran dan Hadis maka harus berijtihad.
Walaupun kita pahami bahwa ada penetapan jumlah nafkah seperti itu, akan
tetapi yang banyak digunakan di masyarakat adalah jumlah nafkah yang diberikan
suami kepada istrinya adalah sesuai dengan kesepakatan masing-masing suami istri.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang
yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan,
sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik dan halal. Adapun dasar
hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam Al-Qur’an salah satunya
Surat Ath-Thalaq ayat : 6-7
8
DAFTAR PUSTAKA
Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, (Yogyakarta: Mitra
Usaha, 1997).
Mahdi, Syaikh Mahmud, Kado Pernikahan, (Jakarta:Qisthi Press,2012), cet. II, 15.
Muhammad, Abu Bakar, “Kifayatu Al Akhyar; Fi Halli Ghoyatu Al Ikhtishor”. Cet. 1.
Jakarta:Pustaka Azzam. 2016
Sabiq, Sayyid, “Fikih Sunnah 7” terj. Pt alma’arif percetakan offset, hlm. 63
Syaikh Abdul Malik Ramadhani Hafizhahullah, Rumah, Membongkar Rahasia Lelaki,
https://almanhaj.or.id/3721-rumah-membongkar-rahasia-lelaki.html, diakses pada
tanggal 5 november 2022
Tihami, dan Sohari, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap”. Cet. 3. Jakarta:
Rajawali Pers. Hlm. 165