Anda di halaman 1dari 5

Mendesain Aturan Main Omnibus

Adam Setiawan, S.H., M.H

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

Nomor HP: 085731736334

Email: Adamsetiawanmunif@gmail.com

Saat ini, publik masih bertanya-tanya kebingungan terhadap masa depan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), sebagaimana diketahui

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam amarnya

menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 (inkonstitusional

secara bersyarat) sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua)

tahun sejak putusan ini diucapkan”. Kebingungan pun semakin tidak terhindarkan jika

menilik amar Putusan a quo nomor 4, 5, 6 dan 7, yang mana menunjukan keraguan dan

ketidakjelasaan tentang eksistensi UU Cipta Kerja, tentunya berimplikasi terhadap

keberlangsungan pelaksanaan kebijakan strategis.

MK dalam amarnya memerintahkan agar pembentuk undang-undang untuk

melakukan perbaikan. Meskipun MK tidak menyebutkan secara eksplisit skema perbaikan

UU CK, namun dengan dasar demikian DPR memulai langkah perbaikan dengan mencoba

mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 (UU

P3). Setidaknya ada 3 (tiga) poin yang perlu disoroti dalam revisi kedua UU P3. Pertama,

berkaitan dengan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kedua, perbaikan kesalahan teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Ketiga, partisipasi masyarakat yang bermakna.


Langkah pertama yang diambil DPR untuk menindaklanjuti Putusan MK dengan

mengubah UU P3 dapat dikatakan sudah tepat karena mengingat basis metode omnibus yang

digunakan dalam UU CK tidak dikenal dalam rezim UU P3 sehingga tidak mempunyai

legitimasi hukum yang sah.

Dalam RUU revisi kedua UU CK, metode omnibus diartikan sebagai metode

penyusunan peraturan perundang-undangan dengan menambah materi muatan baru,

mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur

dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan/atau mencabut peraturan perundang-

undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu

peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara konsepsi metode

omnibus yang dirumuskan tidak jauh berbeda dengan pemahaman para ahli seperti O’Brien

dan Bosc yang mengemukakan bahwa omnibus law sebagai upaya untuk mengubah,

mencabut, atau memberlakukan beberapa ketentuan yang diintegrasikan dalam satu undang-

undang (2009:724).

Jika membaca rumusan metode omnibus, ada potensi digunakannya metode omnibus

pada level hierarki di bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah hingga peraturan

daerah. Format demikian tentunya berdampak sangat positif khususnya dalam penataan

regulasi, sebagaimana kita ketahui terjadi obesitas regulasi, jumlah peraturan di tingkat pusat

berjumlah 3854, peraturan menteri berjumlah 16873 dan peraturan daerah 15982

(https://peraturan.go.id/). Dengan demikian metode omnibus merupakan suatu keniscayaan

dengan tujuan mereduksi penumpukan dan tumpang tindih produk legislasi dan produk

regulasi.

Meskipun banyak pandangan yang mengatakan muspra menggunakan metode

omnibus jika dalam UU CK juga memerintahkan dibentuk peraturan delegasi yang banyak
sehingga kontraproduktif dengan niat awal untuk memangkas hyper regulation, namun

dengan rumusan metode omnibus demikian probabilitas pemerintah untuk membentuk

peraturan delegasi dengan metode omnibus. Oleh karena itu dengan perbaikan secara gradual,

selanjutnya dilakukan perbaikan dalam UU CK untuk mengsimplifikasi rumusan yang

memerintahkan dibentuk peraturan delegasi mengingat ada ratusan ketentuan delegasi dalam

UU CK.

Kemudian, dalam RUU revisi kedua UU P3 dirumuskan ketentuan tentang perbaikan

teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Ada problematik hukum

tersendiri dalam hal ini, seperti diketahui ada beberapa UU yang telah disepakati namun

terjadi kesalahan teknis penulisan yang berakibat fatal. Misalnya Pasal 29 UU KPK, Pasal 6

UU Cipta Kerja dan Pasal 53 ayat (5), bahkan sebelum disepakati masih dalam bentuk RUU

terjadi kesalahan Pasal 170 ayat (1) halaman 682.

Sejatinya, RUU yang telah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah telah

bersifat final sehingga rumusan isinya tidak boleh diubah. Namun dengan dirumuskan

ketentuan perbaikan teknis pasca persetujuan, rumusan isi yang masih salah atau terjadi

kurang masih bisa diperbaiki, bisa saja ketentuan ‘perbaikan teknis’ dijadikan semacam

alasan pemaaf untuk mentolerir kesalahan teknis yang seringkali terjadi bahkan yang

ditakutkan bisa membuka potensi terjadinya penyeludupan pasal yang menguntungkan

segelintir oknum. Sebenarnya rumusan perbaikan teknis tidak perlu diatur dalam UU P3

karena seyogianya DPR bersama pemerintah dalam membentuk undang-undang haruslah

dengan cara saksama, teliti, tidak tergesa-gesa dan mengakomodir kepentingan masyarakat

luas. Lagipula adanya ketentuan perbaikan teknis malah bias dengan asas kepastian hukum

(rechtszekerheid).
Poin ketiga, dalam revisi kedua UU P3 untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi

masyarakat secara bermakna (meaningful participation), setidakya memenuhi tiga prasyarat

yakni: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be considered); kedua, hak

untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk

mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak

langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang

dibahas.

Jika dicermati rumusan Pasal 96 revisi kedua UU P3 hanya melengkapi saja praktik

yang sudah ada misalnya diperluas media yang digunakan dalam partisipasi Pasal 96 ayat (2)

dalam pemberian masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring atau luring. Kemudian,

terkait kemudahan akses setiap RUU, padahal praktiknya RUU yang sudah disepakatinya saja

(draf final) sukar untuk dapat diakses di website DPR.

Berkenaan dengan partisipasi masyarakat yang dapat menyuarakan aspirasinya dalam

Pasal 96 ayat (3) kategorinya berubah menjadi orang perseorang atu kelompok orang yang

terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatauan Rancangan

Peraturan Perundang-undangan. Dalam penjelasannya yang dimaksud kelompok orang

adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat

yang terdaftar di kementerian yang berwenang dan masyarakat hukum adat. Artinya ada

pembatasan kelompok/organisasi masyarakat/profesi dan LSM yang terdaftar saja yang bisa

menyuarakan aspirasinya.

Apabila disimpulkan masih ada kelemahan substansial terkait jaminan partisipasi

publik, hendaknya dirumuskan secara jelas dengan parameter partisipasi publik yang

bermakna, karena potensi seringnya digunakan metode omnibus dalam pembentukan


peraturan perundang-undangan, sebagaimana diketahui kelemahan metode omnibus adalah

minim deliberasi yang berpotensi menimbulkan resistensi dari masyarakat luas. Oleh karena

itu, hendaknya direkonstruksi ketentuan mengenai partisipasi publik yang bermakna dengan

tujuan mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat luas.

Dengan demikian, diakomodirnya metode omnibus dalam UU P3 dengan tujuan

memangkas penumpukan regulasi harus disertai pula dengan penguatan partisipasi publik

yang bermakna, Oleh karena itu hendaknya DPR dalam mendesain aturan main pembentukan

peraturan perundang-undangan dilakukan secara komprehensif dan sistematis, dengan tujuan

membangun sistem pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih ideal, akuntabel

transparan dan partisipatif.

Anda mungkin juga menyukai