Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dan Dosen
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda
Email: Adamsetiawanmunif@gmail.com
Saat ini, publik masih bertanya-tanya kebingungan terhadap masa depan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), sebagaimana diketahui
menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 (inkonstitusional
secara bersyarat) sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua)
tahun sejak putusan ini diucapkan”. Kebingungan pun semakin tidak terhindarkan jika
menilik amar Putusan a quo nomor 4, 5, 6 dan 7, yang mana menunjukan keraguan dan
UU CK, namun dengan dasar demikian DPR memulai langkah perbaikan dengan mencoba
P3). Setidaknya ada 3 (tiga) poin yang perlu disoroti dalam revisi kedua UU P3. Pertama,
Kedua, perbaikan kesalahan teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
mengubah UU P3 dapat dikatakan sudah tepat karena mengingat basis metode omnibus yang
Dalam RUU revisi kedua UU CK, metode omnibus diartikan sebagai metode
mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur
undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu
omnibus yang dirumuskan tidak jauh berbeda dengan pemahaman para ahli seperti O’Brien
dan Bosc yang mengemukakan bahwa omnibus law sebagai upaya untuk mengubah,
mencabut, atau memberlakukan beberapa ketentuan yang diintegrasikan dalam satu undang-
undang (2009:724).
Jika membaca rumusan metode omnibus, ada potensi digunakannya metode omnibus
pada level hierarki di bawah undang-undang seperti peraturan pemerintah hingga peraturan
daerah. Format demikian tentunya berdampak sangat positif khususnya dalam penataan
regulasi, sebagaimana kita ketahui terjadi obesitas regulasi, jumlah peraturan di tingkat pusat
berjumlah 3854, peraturan menteri berjumlah 16873 dan peraturan daerah 15982
dengan tujuan mereduksi penumpukan dan tumpang tindih produk legislasi dan produk
regulasi.
omnibus jika dalam UU CK juga memerintahkan dibentuk peraturan delegasi yang banyak
sehingga kontraproduktif dengan niat awal untuk memangkas hyper regulation, namun
peraturan delegasi dengan metode omnibus. Oleh karena itu dengan perbaikan secara gradual,
memerintahkan dibentuk peraturan delegasi mengingat ada ratusan ketentuan delegasi dalam
UU CK.
teknis pasca persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Ada problematik hukum
tersendiri dalam hal ini, seperti diketahui ada beberapa UU yang telah disepakati namun
terjadi kesalahan teknis penulisan yang berakibat fatal. Misalnya Pasal 29 UU KPK, Pasal 6
UU Cipta Kerja dan Pasal 53 ayat (5), bahkan sebelum disepakati masih dalam bentuk RUU
Sejatinya, RUU yang telah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah telah
bersifat final sehingga rumusan isinya tidak boleh diubah. Namun dengan dirumuskan
ketentuan perbaikan teknis pasca persetujuan, rumusan isi yang masih salah atau terjadi
kurang masih bisa diperbaiki, bisa saja ketentuan ‘perbaikan teknis’ dijadikan semacam
alasan pemaaf untuk mentolerir kesalahan teknis yang seringkali terjadi bahkan yang
segelintir oknum. Sebenarnya rumusan perbaikan teknis tidak perlu diatur dalam UU P3
dengan cara saksama, teliti, tidak tergesa-gesa dan mengakomodir kepentingan masyarakat
luas. Lagipula adanya ketentuan perbaikan teknis malah bias dengan asas kepastian hukum
(rechtszekerheid).
Poin ketiga, dalam revisi kedua UU P3 untuk memperkuat keterlibatan dan partisipasi
yakni: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be considered); kedua, hak
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak
langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang
dibahas.
Jika dicermati rumusan Pasal 96 revisi kedua UU P3 hanya melengkapi saja praktik
yang sudah ada misalnya diperluas media yang digunakan dalam partisipasi Pasal 96 ayat (2)
dalam pemberian masukan masyarakat dapat dilakukan secara daring atau luring. Kemudian,
terkait kemudahan akses setiap RUU, padahal praktiknya RUU yang sudah disepakatinya saja
Pasal 96 ayat (3) kategorinya berubah menjadi orang perseorang atu kelompok orang yang
yang terdaftar di kementerian yang berwenang dan masyarakat hukum adat. Artinya ada
pembatasan kelompok/organisasi masyarakat/profesi dan LSM yang terdaftar saja yang bisa
menyuarakan aspirasinya.
publik, hendaknya dirumuskan secara jelas dengan parameter partisipasi publik yang
minim deliberasi yang berpotensi menimbulkan resistensi dari masyarakat luas. Oleh karena
itu, hendaknya direkonstruksi ketentuan mengenai partisipasi publik yang bermakna dengan
memangkas penumpukan regulasi harus disertai pula dengan penguatan partisipasi publik
yang bermakna, Oleh karena itu hendaknya DPR dalam mendesain aturan main pembentukan