BAJIGUR #5
“ RUU KUHP TERGESA DI RATIFIKASI DITENGAH
KONTROVERSI “
Pemerintah berencana mengesahkannya RKUHP bulan depan, pada Juli 2022. Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang ditolak mentah-mentah pada 2019,
baru saja kembali dibahas. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang
sempat terhenti pembahasan pemerintah dan DPR, kini akan dilanjutkan kembali. RKUHP
sudah mendapat persetujuan tingkat pertama pada saat itu dan ditetapkan untuk disahkan
pada sidang paripurna, namun tertunda karena penolakan masyarakat yang meluas.
Meski mendapat tekanan publik yang signifikan, draf RKUHP terbaru belum tersedia untuk
publik. Padahal, hal tersebut dapat mempengaruhi hak asasi kita, maka reformasi KUHP
harus transparan. Selain itu, sejumlah ketentuan dalam RKUHP mengancam ruang kebebasan
sipil yang akhir-akhir ini mulai menunjukkan tanda-tanda menyusut akibat maraknya
kriminalisasi terhadap para pembela, pembela HAM, bahkan masyarakat umum yang
menyampaikan gagasannya.
KUHP pertama kali disahkan oleh pemerintah Belanda di Indonesia dan mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958, ditandai
dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Keseriusan pembaharuan
KUHP ini juga berlanjut dengan diadakannya Seminar Hukum Nasional pada tahun 1963.
Yusril Ihza Mahendra menyebutkan bahwa proses perancangan RUU KUHP sudah
dimulai sejak tahun 2002, ketika ia masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Namun,
RUU KUHP baru diajukan oleh Presiden SBY kepada DPR di tahun 2012. Pada 2015,
Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali RUU KUHP ke DPR serta menerbitkan Surat
Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015. RUU KUHP kemudian dibahas secara intensif selama
lebih dari empat tahun.
Pada tanggal 18 September 2019, DPR RI dan Pemerintah menyepakati RUU KUHP
dalam Pembahasan Tingkat I untuk kemudian dibahas di Pembahasan Tingkat II yang
berfungsi sebagai proses pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Namun seminggu
kemudian, tanggal 26 September 2019, pembahasan RUU KUHP ditunda di Pembahasan
Tingkat II. Akhirnya pada 2021, RUU KUHP mulai disempurnakan lewat reformulasi serta
memasifkan sosialisasi kepada publik. RUU KUHP juga masuk Prolegnas Jangka Menengah
Tahun 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022 serta direncanakan selesai pada Masa Sidang
ke-V DPR RI tahun 2022 Mengapa harus transparan?
Mengapa RUU KUHP ini menjadi sangat urgen untuk segera disahkan? Jika merujuk
kembali pada kasus-kasus sebelumnya, Kekerasan seksual menjadi kasus yang terus saja
mencuat di permukaan atau bisa dikatakan sudah sangat marak terjadi di Indonesia tanpa
melihat dimana dan siapa objeknya. Jazuli Juwaini Ketua Fraksi PKS DPR RI ia menyatakan
persetujuannya dengan DPR bahwa Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (RUU TPKS) harus disahkan menjadi Undang-Undang dengan catatan harus diikuti
dengan pengesahan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga Fraksi
PKS mendesak bahwa RUU KUHP harus segera dibahas dan disahkan sebagai salah satu
langkah preventif dan penindakan untuk semua bentuk tindak pidana kesusilaan seperti
kekerasan seksual dan seks menyimpang yang sampai sekarang sangat mengkhawatirkan dan
mengancam masyarakat luas.
Mengingat RUU TPKS memiliki korelasi dengan pasal-pasal tindak pidana kesusilaan
dalam RUU KUHP. Oleh sebab itu, selain pemerintah banyak para tokoh politik menilai
RUU TPKS ini akan lebih baik dibahas secara paralel dengan RUU KUHP agar lebih utuh,
lengkap dan tidak berbenturan alias tidak tumpang tindih. Belum lagi karena pemerintah
dinilai belum memiliki rumusan Tindak Pidana Kesusilaan yang komprehensif. Sehingga
RUU KUHP ini menjadi jawaban untuk merumuskan hal tersebut. Hakim Mahkamah
Konstitusi pun turut menegaskan bahwa perlu adanya langkah perbaikan untuk melengkapi
pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan oleh pembentuk undang-undang
dalam hal ini DPR.
Sehingga mungkin saja penyegeraan dalam menindaklanjuti kejahatan kekerasan
seksual menjadi salah satu alasan pemerintah ingin segera mempercepat proses pengesahan
RUU KUHP, walaupun dalam prosesnya masih banyak masyarakat yang menilai bahwa
pemerintah masih kurang dalam memberikan transparansi draft mengenai pasal-pasal yang
masih kontroversi. Bagaimana menurut teman-teman?
Selain itu, dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa tujuan undang-undang tersebut
salah satunya untuk “mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan,
efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan.” Ini membuktikan bahwa
apa yang dilakukan pemerintah serta DPR saat ini adalah jauh dari Undang-Undang yang
berlaku, wajar saja ada gelombang tuntutan dari masyarakat agar pemerintah memenuhi hak
mereka dalam asas transparansi kebijakan publik, atau dalam kasus ini, transparansi RUU
KUHP.
RUU KUHP mulai disusun tahun 1968 dan mempunyai 628 pasal dikarenakan
lamanya penyusunan dan disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat
menimbulkan kontroversi dikarenakan kurang sesuai dengan kehidupan masyarakat saat ini.
Penolakan tersebut bukanlah sesuatu yang tidak memiliki alasan, pasalnya melihat dari tujuan
dibuatnya hukum salah satunya yaitu untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan
masyarakat, namun nyatanya hukum yang dibuat dan akan disahkan di dalam RUU KUHP
masih memiliki banyak kontroversi. Tentunya hal tersebut memiliki dampak terhadap
kehidupan dalam masyarakat.
Pasal-pasal yang menjadi kontroversi di dalam masyarakat antara lain:
1. Pasal Mengenai Perzinaan
Selanjutnya pasal mengenai perzinaan yang mengatur hubungan seks diluar nikah atau
kumpul kebo dapat dipidanakan, dimana pasal ini diatur di pasal 417 & 419 RUU KUHP.
Salah satu bunyi dari pasal ini adalah “perempuan menginap dengan lawan jenis untuk hemat
biaya terancam pidana”, pasal tersebut tidak relevan dengan situasi hari ini dan dinilai kurang
berpihak pada perempuan. Sebab, pasal tersebut menunjukkan bahwa negara terlalu jauh
mencampuri ranah privat warga negaranya, nantinya pasal ini justru akan meningkatkan
angka kriminalisasi ruang privasi warga negara. Di dalam pasal ini menjelaskan tentang
aduan adanya kumpul kebo yang hanya bisa dilaporkan oleh suami, istri, orang tua, dan anak.
Hal ini nantinya akan berpotensi menambah adanya persekusi dan main hakim sendiri di
tengah masyarakat, karena nantinya setiap orang akan merasa memiliki kepentingan dan bisa
melakukan penggerebekan bahkan menuntut beberapa pasangan yang diduga melakukan
persetubuhan di suatu tempat. Untuk kelompok rentan, tentunya akan sangat berdampak
dengan adanya pasal ini, karena nantinya mereka tidak mempunyai kuasa untuk
membuktikan fakta yang sebenarnya.
2. Pasal Mengenai Aborsi
Pasal yang mengatur mengenai Aborsi diatur dalam Pasal 470 dan 471. Salah satu bunyinya
yaitu “setiap perempuan yang menggugurkan kandungan atau meminta orang lain untuk
menggugurkanya dipidana penjara paling lama 4 tahun”. Hal ini memicu kontroversi karena
perbuatan pemaksaan aborsi yang menjadi kekerasan seksual bukan aborsinya itu sendiri.
Dalam UU Kesehatan perempuan memiliki hak untuk aborsi dalam keadaan tertentu.
Suatu perbuatan pencabulan diatur dalam Pasal 421 yaitu tentang pencabulan sesama jenis.
Bunyi pasal tersebut yaitu “setiap orang dengan kekerasan atau ancaman memaksa orang lain
untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dengan pidana penjara paling lama 9
tahun”. Pasal ini menjadi kontroversi dikarenakan pemaknaan pencabulan yang diluaskan
kepada sesame jenis. Dalam penyebutan sesame jenis menjadi suatu diskriminasi terhadap
kelompok minoritas seksual (LGBT). Dikhawatirkan hal ini membuat kelompok LGBT akan
mudah untuk dikriminalisasi dan membuat pandangan negatif di dalam masyarakat.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran yang sangat mengerikan yang membuat
orang saling melawan (hostis humanis generis). Didalam RU KUHP yang menjelaskan
mengenai pelanggaran HAM berat dinilai kurang tepat, karena pelaku genosida hanya di
hukum 5-20 penjara. Hukuman tersebut lebih rendah dari UU nomor 26 Tahun 2000, dimana
hukuman bagi pelanggar HAM berat dijatuhi hukuman 10-25 tahun penjara. Pemerintah perlu
mempertimbangkan lagi terkait pasal yang mengatur pelanggaran HAM berat yang
seharusnya lebih berat dari tindakan kejahatan biasa.
7. Pasal tentang penghinaan Presiden
Pasal ini masih menuai banyak sekali pro dan kontranya, banyak sekali masyarakat yang
masih mempertanyakan terkait dengan RUU KUHP Pasal 218 ayat 1 tentang penghinaan
presiden, yang berisi “menyerang kehormatan dan martabat diri presiden atau wakil presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda kategori IV”. Hal ini
jelas sekali memberikan dampak yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Hal ini juga
berkaitan dengan kebebasan pers yang seharusnya perundang-undangan pers telah diatur
dalam undang-undang pers sendiri, namun karena adanya pasal tersebut hal ini dianggap
mengganggu terkait dengan kebebasan pers yang seharusnya meiliki hak untuk membuat
tulisan yang memberitakan serta berisi kritikan terhadap presiden. Padahal apabila seorang
jurnalis mampu mempertanggung jawabkan hasil beritanya hal tersebut tidak dapat dijadikan
suatu permasalahan, selagi tidak melanggar kode etik jurnalistik. Kemudian pasal tersebut
juga memberikan dampak terhadap masyarakat, sehingga masyarakat memiliki keraguan
dalam menyampaikan bentuk kritikan ketika itu bersinggungan dengan presiden.
Pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang dianggap kontroversi bahkan saat itu jadi
pemicu mahasiswa diberbagai wilayah di Indonesia melakukan demonstrasi dikarenakan
adanya wacana pengesahan RUU KUHP dan para mahasiswa menuntut DPR untuk mengkaji
ulang draft RUU KUHP sebelum disahkan.
Kesimpulan
Rancangan undang-undang kitab umum hukum pidana (RUU KUHP) merupakan suatu
rancangan undang-undang yang menjadi suatu perluasan dari Wetboek van Srafrecht voor
Nederlandsch yang didalamnya mengatur mengenai keseimbangan di masyarakat.
RUU KUHP hingga saat ini masih menjadi kontroversi, padahal seperti yang kita tahu di
bulan Juli mendatang RUU KUHP ini akan segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). RUU KUHP menjadi kontroversi karena tidak adanya transparansi dari pemerintah
mengenai pasal-pasal yang sudah dipermasalahkan oleh masyarakat sejak tahun 201, padahal
dalam perancangan undang-undang harus mengusung asas transparansi karena ia melibatkan
masyarakat. Namun di sisi lain, pemerintah beralasan sebab dipercepatnya pengesahan RUU
adalah untuk menindaklanjuti kejahatan kekerasan seksual.
Diantara pasal-pasal yang dipermasalahkan oleh masyarakat adalah pasal 218 ayat 1 tentang
penghinaan presiden, pasal 470 dan 471 tentang aborsi, pasal 417 ayat 1 tentang
persetubuhan diluar nikah, pasal 421 tentang pencabulan sesama jenis, pasal 340 RKUHP
tentang kecerobohan memelihara hewan, pasal 419 RKUHP tentang perilaku kumpul kebo,
pasal 2 ayat 1 dan 2 tentang hukum adat, dan pasal 432 RKUHP tentang pengenaan denda
untuk gelandangan
Maka, keresahan masyarakat dalam proses pengesahan pengusungan RUU KUHP ini sangat
wajar, karena pemerintah yang sejatinya diisi oleh orang dewasa berpemikiran maju malah
bersikap layaknya anak kecil yang bermain petak umpet: sembunyi-sembunyi, ketika
tertangkap malah mengelak.
REFERENSI
Pidana, T. A. P. R. U.-U. tentang K. U.-U. H. (n.d.). Perkembangan dan Isu Krusial RUU
KUHP.
TRIBUNNEWS.COM. (2014). RUU KUHP Sudah Diajukan ke SBY Sejak Lama.
https://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/28/ruu-kuhp-sudah-diajukan-ke-sby-
sejak-lama
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK, Pub. L. No. 14 (2008).
Widhoroso. (2022). Pemerintah Harus Transparan Dalam Revisi UU Nomor 12/2011.
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/461721/pemerintah-harus-transparan-
dalam-revisi-uu-nomor-122011
Budilaksono, I. (2022). F-PKS: RUU TPKS harus diikuti pengesahan RUU KUHP.
Antaranews. https://www.antaranews.com/berita/2820505/f-pks-ruu-tpks-harus-diikuti-
pengesahan-ruu-kuhp