Anda di halaman 1dari 24

Isu Reformasi Hukum

I. Status Quo
Sahnya RKUHP yang Masih Bermasalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar hukum pidana di
Indonesia. Setelah berlaku selama lebih dari 100 (seratus) tahun. Pada tanggal 6
Desember 2022, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama
pemerintah pada Rapat Paripurna DPR RI ke-11. Akan tetapi, RKUHP masih
mengandung berbagai pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi
manusia (HAM) dan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Salah satu tujuan
pembentukkan RKUHP adalah dekolonialisme, yaitu untuk menggantikan KUHP
lama buatan Belanda yang bernuansa kolonialisme. Akan tetapi, tujuan tersebut
tampaknya hanyalah bualan Pemerintah dan DPR RI. Mereka justru memasukkan
pasal-pasal kolonial, seperti Pasal 256 RKUHP, Pasal 218 hingga Pasal 220
RKUHP, serta Pasal 240 dan Pasal 241 RKUHP yang justru memasukkan
memiliki unsur kolonialisme pada RKUHP. Selain itu, RKUHP yang
digadang-gadang menjadi reformasi hukum pidana di Indonesia justru memuat
pasal-pasal bermasalah yang dijadikan alat oleh negara dalam mengintervensi
ranah privat warga negaranya. Pasal-pasal tersebut, antara lain Pasal 411 RKUHP
tentang Perzinaan dan Pasal 412 RKUHP tentang Kohabitasi. Implikasi dari
penerapan pasal tersebut ialah melanggengkan pernikahan dini hingga
kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual dan masyarakat terpinggirkan.

Sahnya UU PPP: Karpet Merah Cipta Kerja


Pada tanggal 24 Mei 2022, DPR bersama pemerintah telah menyepakati
pengesahan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Pengambilan keputusan tersebut sangat terburu-buru, tidak partisipatif, serta
dilakukan dengan pembahasan yang tidak mendalam. Melalui pengesahan Revisi
UU PPP, pemerintah telah menggelar karpet merah menyambut Undang-Undang
Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
Revisi UU PPP seharusnya dapat menjadi momentum bagi perbaikan tata kelola
pembentukan regulasi secara menyeluruh. Sayangnya, pemerintah malah merevisi
UU PPP demi UU Cipta Kerja semata.

Cepat kilat UU IKN, Kepentingan Siapa yang Dibela?


Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) belakangan ini menuai banyak
polemik di masyarakat karena dibentuk sebagai payung hukum untuk mengatur
pemindahan ibu kota negara. Terdapat berbagai permasalahan dalam
pembentukan UU IKN, salah satunya adalah dilakukan dengan sangat cepat
sehingga memiliki berbagai cacat formil. Bahkan menurut salah satu survei,
terdapat 61,9% responden yang tidak menyetujui pemindahan IKN. Urgensi dari
pemindahan ibu kota ini pun kemudian dipertanyakan. Minimnya partisipasi
publik, jumlah panitia pansus melebihi batas maksimal, juga lemahnya
perencanaan dan perancangan selama pembentukan UU IKN memberi kesan
bahwa undang-undang ini dibuat secara tergesa-gesa.

Perpanjangan Masa Jabatan Presiden


Akhir-akhir ini publik sempat digetarkan dengan munculnya wacana
perpanjangan masa jabatan presiden dengan cara penundaan pemilihan umum
(Pemilu) atau pengubahan batas periode kekuasaan. Beranjak dari hal tersebut,
wacana amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945) pun muncul ke permukaan. Meskipun UUD NRI 1945
memang pada dasarnya dapat diamendemen, alasan yang melandasi amendemen
tersebut haruslah substantif dan bukan semata-mata untuk kepentingan politik
praktis yang melanggengkan kekuasaan karena bagaimanapun juga, Indonesia
adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Perpanjangan masa jabatan
Presiden tentu saja menyalahi hal-hal fundamental yang ada mulai dari konstitusi,
demokrasi, dan amanat reformasi. Apabila konstitusi yang menjadi pagar dan
landasan utama hukum di Indonesia telah dilangkahi untuk kepentingan elite,
bukan hal yang tidak mungkin elite akan makin menguasai negara kita dengan
berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat.
II. Peraturan yang menjadi landasan atau sedang diperjuangkan
○ Revisi KUHP baru, terhadap:
1. pasal-pasal yang mengekang kebebasan berpendapat, seperti Pasal 256
RKUHP, Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP, serta Pasal 240 dan Pasal
241 RKUHP;
2. pasal-pasal yang mengintervensi ranah privat, antara lain Pasal 411
RKUHP tentang Perzinaan dan Pasal 412 RKUHP tentang Kohabitasi.
○ Revisi UU PPP

III. Bentuk pengawalan yang sedang/sudah dilakukan


○ Terhadap Penundaan Pemilu
1. Repost Rilis Sikap (Aliansi BEM se-UI): Menolak Penundaan Pemilu dan
Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Jokowi
2. Repost Tawar Menawar Konstitusi Negara (Aliansi)
3. Seruan Aksi: Penolakan Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa
Jabatan Presiden
4. Repost Rilis Sikap: Mengecam Kekerasan Kepada Ade Armando Saat
Aksi Massa 11 April 2022
5. Rilis Kajian “Menolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden: Menjaga
Konstitusi, Demokrasi, dan Amanat Reformasi”
6. Seruan Aksi Nasional Sidang Rakyat (Aliansi)
○ Terhadap UU PPP
1. Infografis “Revisi UU PPP: Demi Cipta Kerja Semata”
2. Story Lepas “Sahnya UU PPP: Karpet Merah Cipta Kerja”
○ Terhadap IKN
1. Story Lepas: Undang-Undang IKN Untuk Siapa?
2. Infografis “Cepat Kilat Undang-Undang Ibu Kota Negara: Kepentingan
Siapa yang Dibela?”
3. Repost Diskusi Publik: #PindahIbuKotaUntukSiapa: Mengupas Dampak
Pemindahan IKN (Aliansi)
○ Terhadap RKUHP
1. Infografis “RKUHP: Rancangan Kitab Undang-Undang Harus
Partisipatif”
2. Telah Berlangsung “Penyerahan Surat Permohonan Transparansi Draf
RKUHP kepada Kementerian Sekretariat Negara: Mendesak Presiden dan
DPR RI untuk Membuka Draf Terbaru RKUHP kepada Publik”
3. Pernyataan Sikap Aliansi BEM se-UI: Mempertanyakan Draf Terbaru
RKUHP dan Mendesak Pembahasan RKUHP yang Partisipatif
4. IGTV “Aliansi BEM se-UI Mempertanyakan Draf Terbaru RKUHP dan
Mendesak Pembahasan RKUHP yang Partisipatif”
5. Story Lepas: Selamat Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional
6. Live Instagram “Ngobrolin RKUHP #1 Pasal 273 dan Pasal 274 RKUHP:
Anti-Demokrasi?
7. Infografis “Pasal 273 dan Pasal 354 RKUHP: Pasal Problematik yang
Mencederai Demokrasi?”
8. Pernyataan Sikap: Somasi kepada Presiden dan DPR RI terkait RKUHP
9. Rilis Kajian “Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Membangkitkan Kolonialisasi, Membunuh Demokrasi”
10. Seruan Aksi Aliansi: Pengumuman Pelaksanaan Perkuliahan di Jalan
11. Infografis “Dijajah Negeri Sendiri: Ketika Pasal Kolonial Dihidupkan
Kembali #SemuaBisaKena”
12. Rilis Pers: Keputusan untuk Tak Membahas RKUHP oleh DPR Tidak
Boleh Dihasilkan dari Rapat Tertutup!
13. Story Lepas “RKUHP: Ngeri-Ngeri Tidak Sedap”
14. Story Lepas “Wacana Pengesahan RUU KUHP Lecehkan Kemerdekaan
Indonesia!”
15. Display Picture “RKUHP Terlampau Jauh!”
16. Story Lepas “RKUHP: Alat Intervensi Terbaik Pemerintah”
17. Story Lepas “RKUHP Ancaman untuk Perempuan”
18. Rilis Artikel “Problematika RKUHP: Penjajahan terhadap Ranah Privat
Warga Negara”
19. Story Lepas “RKUHP #TERLAMPAUJAUH!!!”
20. Story Lepas “Mengecam Pengesahan RKUHP”
21. Infografis “RKUHP Masih Bermasalah: Mengecam Pengesahan RKUHP
karena Kini Semua Bisa Kena!”

IV. Evaluasi dan Inovasi yang bisa dikembangin untuk tahun depan
○ Evaluasi
1. Pada paruh 2 (dua), pengawalan dan penyikapan yang dilakukan hanya
terfokus pada RKUHP;
2. Tujuan pengelompokan staf berdasarkan kelompok isu, yakni staf yang
akan memimpin pengawalan dan penyikapan terhadap kelompok isu
reformasi hukum tidak berjalan dengan baik;
3. Sebagian besar infografis masih kurang public friendly;
4. Tidak adanya rencana strategis yang baik dan terstruktur mengakibatkan
kerja staf tak terukur secara proporsional, bahkan hingga hasil kerja yang
terbengkalai;
5. Terdapat staf kelompok isu yang merasa kurang nyaman di lingkungan
dan cara kerja kastrat sehingga kerap melepaskan tanggung jawab begitu
saja;
6. Kurangnya kreativitas dalam pengawalan dan penyikapan isu yang sedang
naik dengan hanya terpaku pada infografis dan Story lepas;
7. Isu yang mendapat pengawalan dan penyikapan secara konsisten hanya
segelintir dari isu-isu yang direncanakan di awal kepengurusan;
8. Pemahaman staf terkait isu ini, terutama pada staf yang masuk dalam
kelompok isu Reformasi Hukum, masih kurang mumpuni dan memadai;
9. Kurang adanya ruang dan waktu untuk diskusi, bertukar pikiran, dan
memperkaya referensi juga wawasan staf;
10. Staf pada kelompok isu lainnya kurang terpapar akan isu Reformasi
Hukum yang sedang naik sehingga terkadang mengakibatkan
terhambatnya penyikapan yang dilakukan, misalnya ketika pembuatan
infografis, terlalu banyak yang harus direvisi dan lain sebagainya;
11. Oleh karena yang sering terpapar oleh isu mau tidak mau adalah staf
kajian dalam kelompok isu Reformasi Hukum yang hanya berjumlah 2
(dua) orang, terdapat ketergantungan yang berlebih oleh 2 (dua) orang
tersebut;
12. Kemampuan desain yang lebih oleh satu staf Akprop pada kelompok isu
Reformasi Hukum membuat beban kerjanya untuk mendesain publian
menjadi timpang dengan staf yang lain;
13. Kurangnya kepedulian staf dalam memantau dan mengawal isu Reformasi
Hukum yang sejatinya sering mengalami update dari waktu ke waktu
sehingga hanya BPH lah yang justru mendominasi dalam hal rencana
penyikapan dan lain-lain;
○ Inovasi
1. Disediakan ruang dan waktu diskusi paling tidak satu kali setiap minggu;
2. Untuk meminimalisir isu-isu yang tak tersikapi ke depan, penentuan isu
yang akan dikawal selama satu tahun kepengurusan harus lebih dibatasi;
3. Perlu adanya penentuan skala prioritas isu sehingga pengawalan dan
penyikapan memiliki rasionalisasi yang jelas;
4. Staf perlu diberikan bahan-bahan referensi yang cukup sejak awal
kepengurusan;
5. Perlu adanya pembagian kerja yang merata dan terjadwal (setidaknya bisa
direncanakan terlebih dahulu walaupun isu sosial politik memang sangat
berdinamika);

Isu Penyusutan Ruang Sipil dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu
I. Status Quo
○ Penyusutan Ruang Sipil dan Represifitas Aparat
Terjadi Lagi: kekerasan Aparat terhadap Masyarakat Papua
Pada hari Selasa, 10 Mei 2022 sejumlah elemen masyarakat di Jayapura,
Papua melakukan unjuk rasa untuk menolak pembentukan Daerah
Otonomi Baru (DOB). Aksi tersebut diwarnai dengan pembubaran paksa
yang dilakukan oleh aparat dengan menggunakan kekerasan. Tindakan
represif aparat yang terjadi di Papua menunjukkan adanya pelanggaran
terhadap kemerdekaan menyampaikan berpendapat. Tindakan tersebut
merupakan bentuk pelanggaran HAM serta perlawanan terhadap
konstitusi.

Kultur Kekerasan dalam Tubuh Polri: Reformasi Polri Harga Mati!


Kekerasan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) kerap menjadi polemik bagi masyarakat Indonesia.
Akhir-akhir ini, terdapat banyak kasus kekerasan dalam internal Polri yang
terungkap ke publik. Kasus-kasus tersebut menegaskan maraknya
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri, termasuk
untuk merekayasa kasus dan merusak alat bukti sebagai upaya
menghambat proses penanganan kasus ke depannya. Berbagai kasus yang
terjadi mencerminkan fenomena gunung es atas kultur kekerasan dalam
internal Polri, di mana kasus yang terkuak hanyalah segelintir dari realitas
yang terjadi dan masih banyak kasus yang belum terungkap serta belum
terselesaikan dengan mekanisme yang memadai. Padahal, hal tersebut
sejatinya bertentangan dengan cita-cita reformasi Polri untuk
merealisasikan anggota Polri yang humanis kepada masyarakat ataupun
sesama anggotanya.

Tragedi Kanjuruhan Malang dan Keganasan Polri Tangani Massa:


Reformasi Polri Harga Mati!
Pada 1 Oktober 2022, terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang
seusai pertandingan Arema FC yang kalah melawan Persebaya. Pada
awalnya, terdapat massa yang turun memasuki lapangan stadion. Aparat
kepolisian pun bergegas menindak massa tersebut dengan berbagai
tindakan represif, mulai dari tindakan fisik seperti memukul dan
menendang massa di lapangan hingga menembakkan gas air mata secara
berlebihan. Patut digarisbawahi bahwa gas air mata tidak hanya
ditembakkan kepada massa di lapangan, tetapi juga dilontarkan ke arah
tribun yang masih dipenuhi oleh ribuan penonton. Tragedi Kanjuruhan
menegaskan bahwa budaya kekerasan masih mengakar dalam tubuh Polri,
di mana Polri lagi-lagi menggunakan kekuatan yang berlebihan (excessive
use of power) sebagai langkah utama dalam menangani suatu
permasalahan. Padahal, penggunaan kekuatan yang berlebihan terbukti
berbahaya dan dapat merenggut hak asasi manusia yang dimiliki oleh
masyarakat, termasuk hak untuk hidup sebagaimana tecermin dalam
tragedi ini.

Bertugas Mengamankan, Kok Jadi Ancaman?


Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sudah seharusnya menjadi
benteng keamanan bagi warga negara Indonesia. Namun, pada
kenyataannya institusi ini masih penuh dengan problematika yang harus
segera diselesaikan. Kekerasan yang terjadi, baik internal maupun
eksternal, serta penyalahgunaan wewenang menjadi beberapa
problematika yang telah mengakar kuat dalam tubuh Polri.

○ Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu


Marsinah: The Unfair Justice
Marsinah lahir di Nganjuk pada 10 Mei 1969 dan merupakan seorang
buruh wanita yang bekerja di PT Catur Putra Surya, Sidoarjo, Jawa Timur.
Aktivis pemberani tersebut diculik dan kemudian ditemukan terbunuh
pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama 3 hari. Marsinah ditemukan
dalam keadaan tidak layak, ditemukan bekas pukulan dan pemerkosaan
dari oknum yang membunuh Marsinah itu sendiri.

Menolak Lupa: Tragedi Penembakan Misterius Trisakti


Tujuh tahun lamanya pemerintahan Presiden Jokowi berjalan, hingga saat
ini penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu masih belum ada hasilnya.
Ucapan-ucapan yang telah diberikan untuk menyelesaikan kasus ini
seakan janji manis belaka. Proses penyelidikan dan penyidikan
berlangsung cukup panjang serta dirumitkan. Katanya tidak ada aparat
yang menggunakan peluru tajam, padahal nyatanya saudara kami yang
menjadi korban. Akankah kasus ini menemui titik terang atau terus
berbelit?

#MeiBerkabung: Menolak Lupa Pemerkosaan Massal 1998


Pergolakan yang terjadi pada era Orde Baru berdampak pada banyak hal,
praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) juga menambah amarah
masyarakat yang sudah susah. Hal ini membuat masyarakat pribumi
bergerak masif menyerang etnis Tionghoa, mulai dari perampasan,
penjarahan, bahkan pemerkosaan yang menjadi pelampiasan dari unsur
sentimental antara dua etnis tersebut. Namun sayangnya, kasus
pemerkosaan massal 1998 seakan dilupakan dan tidak ada penyelidikan
hingga dapat ditemukan titik terang dari kasus tersebut.

Penghilangan Paksa dalam Kerusuhan Mei 1998: Potret Kelam


Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Kerusuhan Mei 1998 menjadi fenomena kelam dalam sejarah Indonesia.
Tragedi Mei 1998 bukan hanya terdiri dari kerusuhan, tetapi juga
penyiksaan, perkosaan massal, teror terhadap warga sipil, hingga
penghilangan paksa. Komnas HAM telah menetapkan penghilangan paksa
dalam Tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Terlebih lagi,
penghilangan paksa pada Mei 1998 telah memenuhi unsur-unsur
pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, sudah 24 tahun lamanya
pemerintah tidak mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM ini.
Berkali-kali berganti kepala pemerintahan, tetapi kasus pelanggaran HAM
tak pernah terselesaikan.

Tragedi Pelanggaran HAM Berat Jambo Keupok 17 Mei 2003


Di Indonesia, perjuangan dalam menegakkan HAM telah berlangsung
sedari dulu. Namun, perjalanan perjuangan tersebut masih panjang,
mengingat banyaknya pelanggaran HAM berat pada masa lampau yang
sampai saat ini masih belum mencapai titik terang dalam proses pencarian
keadilannya. Salah satu tragedi pelanggaran berat yang terjadi adalah
Tragedi Jambo Keupok yang terjadi di Aceh pada tahun 2003. Tragedi
tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa, korban luka, serta hancurnya
rumah penduduk. Setelah 19 tahun pascatragedi tersebut, para korban
masih belum mendapatkan keadilan yang berhak mereka dapatkan. Niat
negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut wajar
kita pertanyakan jika melihat kurangnya keseriusan negara dalam
menegakkan keadilan untuk para korban pada kasus ini.

Mei Berkabung: Menolak Lupa Kejamnya Operasi Terpadu


Sembilan belas tahun yang lalu, tepatnya 19 Mei 2003 adalah momen tak
terlupakan bagi Masyarakat Aceh. Konflik berkepanjangan antara Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah melahirkan suatu peristiwa kelam,
yakni ketika Aceh dihajar habis-habisan oleh pemerintah pusat.
Ketidaksanggupan pemerintah menyediakan ruang dialog nonmiliter
menjadi alasan operasi militer ini dijalankan tanpa memikirkan kondisi
rakyat. Keputusan Presiden ditetapkan, Darurat Militer diberlakukan.
Aparat secara resmi diberi legitimasi untuk menyerang pasukan kecil
bersenjata seadanya, berharap mereka akan menyerahkan diri untuk
ditangkap. Beragam praktik pelanggaran HAM pun dilakukan dengan
tujuan "menjaga stabilitas". Beberapa temuan mengungkap bahwa bukan
hanya pasukan GAM, warga sipil yang tidak tahu apa pun ternyata ikut
menjadi korban kekerasan, bahkan pembunuhan.

Kadaluarsanya Kasus Pembunuhan Munir di Tahun 2022


Tepat pada 7 September 2022, telah genap 18 (delapan belas) tahun
semenjak kematian Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM nasional
yang harus meregang nyawa di pesawat. Delapan belas tahun merupakan
waktu yang panjang dalam menguraikan kasus kematiannya, tetapi sampai
sekarang tidak ada tindak lanjut yang serius dari negara untuk mencari
tahu dalang intelektual dan motif utama dari kasus pembunuhan ini.
Terancam ditutupnya kasus ini merupakan cerminan bobroknya negara
dalam mengusut tuntas kasus kejahatan masa lalu.

Peristiwa Tanjung Priok 1984: Menolak Lupa Sejarah Kelam


Pelanggaran HAM Berat di Indonesia #SeptemberHitam
Peristiwa Tanjung Priok 1984 merupakan salah satu catatan kelam
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia yang tidak
kunjung terselesaikan hingga saat ini. Peristiwa ini memang telah
ditindaklanjuti, tetapi para pelaku dinyatakan bebas oleh pengadilan
tinggi. Berbagai upaya telah dilakukan para korban untuk mendapat
keadilan, tetapi semua sia-sia. Hal ini tentu akan melanggengkan budaya
impunitas di Indonesia. Sudah 38 tahun berlalu, negara belum juga
bertanggung jawab untuk memenuhi hak korban dan keluarga korban, baik
melalui kompensasi, rehabilitasi, maupun restitusi. Hal ini menunjukkan
bahwa negara lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak
bersungguh-sungguh dalam mewujudkan keadilan bagi korban dan
keluarga korban.

Menuju 23 Tahun Berlalunya Tragedi Semanggi II #SeptemberHitam


Tragedi pelanggaran HAM berat terhadap demonstran yang menentang
RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) pada 24—28 September
1999 masih belum menemui titik terang. Pemegang kekuasaan terus
berkelit dalam penyelesaian kasus sejak 23 tahun lalu.

II. Peraturan yang menjadi landasan atau sedang diperjuangkan


○ Sepuluh tahun lebih sudah pembenahan Polri digaungkan, tetapi belum ada
efektivitas dari pembenahan yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
upaya-upaya dalam mereformasi Polri demi terciptanya tujuan Polri untuk
mengayomi dan mewujudkan ketertiban dalam masyarakat;
○ Menuntut Pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu.

III. Bentuk pengawalan yang sedang/sudah dilakukan


○ Terhadap Penyusutan Ruang Sipil dan Represifitas Aparat
1. Story Lepas “Terjadi Lagi: Kekerasan Aparat terhadap Masyarakat Papua”
2. Story Lepas: Kominfo is Watching Us
3. Infografis “Kultur Kekerasan dalam Tubuh Polri: Reformasi Polri Harga
Mati!”
4. Infografis “Tragedi Kanjuruhan Malang dan Keganasan Polri Tangani
Massa: Keganasan Polri Tangani Massa: Reformasi Polri Harga Mati!”
5. Story Lepas: Bertugas Mengamankan, Kok Jadi Ancaman?
6. IGTV: Omong Kosong Mengayomi, Kami Tuntut Reformasi Polri!
7. Rilis Artikel “Kekerasan dalam Tubuh Polri yang Kian Dinormalisasi:
Reformasi Polri Harga Mati!”
○ Terhadap Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
1. Story Lepas: Menolak Lupa 29 Tahun Kasus Marsinah
2. Infografis “Penghilangan Paksa dalam Kerusuhan Mei 1998: Potret Kelam
Pelanggaran HAM Berat di Indonesia #MeiBerkabung”
3. Live Instagram “Menolak Dosa Negara: Kerusuhan Mei 1998”
4. Repost Infografis Aliansi berkenaan dengan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu
5. Propaganda Lepas: 18 Tahun (Kadaluarsanya) Kasus Pembunuhan Munir
6. Infografis “Peristiwa Tanjung Priok 1984: Menolak Lupa Sejarah Kelam
Pelanggaran HAM Berat di Indonesia #SeptemberHitam”

IV. Evaluasi dan Inovasi yang bisa dikembangin untuk tahun depan
○ Evaluasi
1. Penyikapan inisiasi yang dilakukan masih kurang masif, terutama terkait
isu penyusutan ruang sipil;
2. Penyikapan terlalu substantif ketika keperluan untuk segara publikasi
tinggi sehingga membuat staf kewalahan dan harus bekerja lebih ekstra;
3. Pengawalan dan penyikapan terhadap isu Pelanggaran HAM Berat Masa
Lalu masih sangat minim dan mayoritas hanya mengandalkan repost
publikasi aliansi;
4. Publikasi penyikapan yang monoton dan kurang variatif;
5. Isu penyusutan ruang sipil yang sejatinya hanya menunggu momentum
membuat pengawalan dan penyikapannya cenderung tidak stabil dan
terkadang sangat insidental serta mendadak yang membuat staf harus siap
diberikan tugas kapanpun dan dimanapun;
6. Penyusunaan, perencanaan, dan persiapan untuk penyikapan, pengawalan
serta pengadvokasian #MeiBerkabung dan #NovemberHitam yang terlalu
mepet sehingga memberatkan staf kelompok isu;
7. Staf kurang memahami terkait alur dan mekanisme penyikapan yang
diharapkan dari adanya isu Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang
disisipkan pada kelompok isu penyusutan ruang sipil;
8. Belum adanya upaya maksimal untuk menjalin kerja sama dengan pihak
eksternal untuk penyikapan isu selain daripada me-repost berbagai
publikasi aliansi.
○ Inovasi
1. Menyajikan publikasi yang lebih fresh dan mengikuti dinamika sosial
media;
2. Dalam hal propaganda offline, penyikapan yang dilakukan harus maksimal
dan tidak setengah-setengah;
3. Staf dijelaskan dan dikomunikasikan dari awal kepengurusan terkait
bagaimana penyikapan yang akan dilakukan dalam isu ini selama satu
tahun kepengurusan agar memiliki pemahaman dan pegangan yang sama
dengan BPH;
4. Menyusun parameter yang jelas tentang pemilihan bentuk penyikapan
(infografis/prop. lepas/pernyataan sikap/dll) sejak awal sehingga ketika
ada isu yang sedang naik, tidak perlu memikirkan terlalu lama penyikapan
yang akan dilakukan;
5. Setiap staf di luar kelompok isu juga harus memiliki/diberikan/ditugaskan
mencari/mempelajari sendiri dasar-dasar yang menjadi dasar dalam
melakukan setiap penyikapan penyusutan ruang sipil sehingga semua staf
siap untuk saling back up atau melengkapi satu sama lain;
6. Perlu adanya eksplore cara-cara lain untuk dapat membumikan isu,
terutama terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.

Isu Gender dan Seksualitas


I. Status Quo
Kemenangan Setelah 10 Tahun, RUU TPKS Akhirnya Disahkan
Sepuluh tahun menanti, akhirnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (RUU TPKS) resmi disahkan menjadi Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir sebagai solusi
atas polemik kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Meskipun belum
sempurna, tetapi UU TPKS sudah dapat mengatur secara komprehensif
permasalahan kekerasan seksual di Indonesia.

Perda Bogor: Ketika Negara Melecehkan Hak Asasi Manusia


Pada 21 Desember 2021, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor
dan Wali Kota Bogor mengundangkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10
Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan
Seksual (Perda Bogor 10/2021). Ketentuan yang terkandung dalam Perda tersebut
sejatinya bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual dan gender.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung hak asasi manusia, malah menjadi
aktor utama dalam melecehkannya.

Tolak JR Berbasis Miskonsepsi


Kehadiran Permendikbud-Ristek PPKS telah mengisi kekosongan hukum bagi
polemik kekerasan seksual di kampus. Regulasi ini menjadi solusi akan
permasalahan yang terjadi karena mengatur secara komprehensif hal-hal terkait
kekerasan seksual. Sayangnya, terdapat pihak-pihak yang terjebak pada
miskonsepsi mengenai Permendikbud-Ristek PPKS ini. Salah satunya adalah
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang tengah
mengajukan judicial review terhadap Permendikbud-Ristek PPKS kepada
Mahkamah Agung (MA). LKAAM mempermasalahkan frasa “tanpa persetujuan
korban” dan "tidak disetujui oleh korban" yang dianggap menciptakan ruang
bebas tindakan asusila. Padahal, frasa tersebut justru memperjelas batasan-batasan
serta menjadi tolok ukur tindakan kekerasan seksual.

#PRUIMasihBanyak Mengingat Kembali Kewajiban Perguruan Tinggi


dalam Permendikbud-Ristek PPKS
Pada Kamis, 28 April 2022, Universitas Indonesia (UI) telah mengumumkan
pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual. Hal ini merupakan langkah awal yang baik dalam rangka
pengimplementasian Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud-Ristek PPKS) di UI.

Katanya Vs Faktanya: Kondisi Terkini Pencegahan dan Penanganan


Kekerasan Seksual di UI
Pada 13 Mei 2022, BEM FH UI mewakili Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual
telah melakukan diskusi terkait perkembangan implementasi Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
(Permendikbud-Ristek PPKS) di UI dengan pihak Biro Legislasi dan Layanan
Hukum (BLLH) UI. BLLH UI menyampaikan bahwa implementasi
Permendikbud-Ristek PPKS di UI akan dilaksanakan secara paralel antara
pembuatan kebijakan internal yang mendukung PPKS dan pembentukan Panitia
Seleksi (Pansel) serta Satuan Tugas (Satgas) dengan harapan Satgas yang akan
membantu Rektor dalam merumuskan kebijakan terkait. Namun, terdapat
beberapa miskonsepsi yang disampaikan BLLH UI terkait realitas penanganan
kasus kekerasan seksual di UI saat ini. Padahal faktanya, mekanisme penanganan
kekerasan seksual yang berlaku di UI saat ini belum cukup memadai sehingga
dibutuhkan suatu Peraturan Rektor untuk mengatur pencegahan dan penanganan
kasus kekerasan seksual secara komprehensif di UI.

UI Belum Bebas dari Kekerasan Seksual: Kajian Rekomendasi


Implementasi Permendikbud-Ristek PPKS di UI
Sudah hampir setahun Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud-Ristek PPKS) disahkan.
Namun, nyatanya, Universitas Indonesia (UI) belum juga mengimplementasikan
peraturan tersebut. Sampai saat ini, UI masih belum lepas dari maraknya kasus
kekerasan seksual. Polemik ini juga masih kian meningkat karena ketiadaan
peraturan di UI yang mengatur kekerasan seksual secara komprehensif. Melihat
hal tersebut, sudah sepatutnya UI segera melakukan berbagai langkah strategis
untuk mengimplementasikan Permendikbud-Ristek PPKS.

Kita Menang! Peraturan Rektor UI No 91 Tahun 2022 tentang Pencegahan


dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Indonesia
Telah Disahkan
Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 91 Tahun 2022 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas
Indonesia (Pertor UI tentang PPKS) telah disahkan. Setelah diperjuangkan
bertahun-tahun lamanya, Warga Universitas Indonesia (UI) akhirnya mendapatkan
payung hukum untuk melindungi dan mengakomodasi hak-hak korban kasus
kekerasan seksual di lingkungan UI. Melalui pengesahan Pertor UI ini pula,
sosialisasi mengenai pedoman PPKS akan dilakukan secara berkala pada warga
UI. Pertor UI ini kemudian juga mengatur mengenai Satuan Tugas Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), Pusat Penanganan Terpadu
(PPT) di UI, serta berbagai aturan mengenai pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual di UI. Hadirnya Pertor UI tentang PPKS ini menjadi langkah
baru dalam menciptakan ruang aman di lingkungan UI. Namun, perjuangan
penghapusan kekerasan seksual di UI belum selesai.

II. Peraturan yang menjadi landasan atau sedang diperjuangkan


○ Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (UU TPKS);
○ Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30
Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
(Permendikbud-Ristek PPKS);
○ Peraturan Rektor Nomor 91 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Indonesia (Pertor UI tentang
PPKS);
○ Peraturan BEM FH UI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di BEM FH UI dan BSO FH UI;
○ The Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW).

III. Bentuk pengawalan yang sedang/sudah dilakukan


○ Program Kerja UI Gerak Bersama (UI GB) dan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (16 HAKtP)
○ Infografis: Perda Bogor: Ketika Negara Melecehkan Hak Asasi Manusia
○ Story Lepas dan Pernyataan Sikap: Tolak JR Berbasis Miskonsepsi
○ Story Lepas: 100 Hari Menuju 1 Tahun Diundangkannya Permendikbud-Ristek
PPKS
○ Story Lepas: 3 Bulan Menuju Setahun Permendikbud-Ristek PPKS
○ Rilis Kajian dan Policy Brief Kajian Rekomendasi Implementasi
Permendikbud-Ristek PPKS
○ Audiensi Aliansi Anti-Kekerasan Seksual Mengenai Implementasi
Permendikbud-Ristek PPKS di UI
○ Story Lepas: UI Bukan Ruang Aman (2 Part)
○ Post 4 postingan di feeds #PRUIMASIHBANYAK!
○ Live Instagram: Menilik Keberlakuan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun
2021 di Perguruan Tinggi (undangan)
○ Story Lepas: 40 Hari Menuju Setahun Diundangkannya Permendikbud-Ristek
PPKS
○ Pernyataan Sikap: Surat Peringatan untuk Ari Kuncoro dan Universitas Indonesia,
40 Hari Menuju Deadline
○ Telah Berlangsung: Sosialisasi Rancangan Peraturan BEM FH UI Nomor 1 Tahun
2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di BEM FH UI dan
BSO FH UI
○ Pengesahan Peraturan BEM FH UI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup BEM FH UI dan BSO FH UI
○ Rilis Sikap: Putusan Mahkamah Agung Ciderai Penghapusan Kekerasan Seksual
○ Seruan Aksi Selamatkan UI
○ Story Lepas: Besok Kelas di Rektorat! (1)
○ Rilis Sikap: Mendesak Rektor UI Menyelesaikan Empat Permasalahan Internal UI
○ Rilis Pers: Jawaban Pimpinan Kampus pada Aksi Selamatkan UI: Normatif dan
Mengecewakan!
○ Pernyataan Sikap: Satu Tahun Permendikbud-Ristek PPKS Diundangkan: UI
Masih Belum Wujudkan Ruang Aman
○ Story: Sosialisasi Rekrutmen Satuan Tugas Permendikbud PPKS UI
○ Infografis: Universitas Indonesia Mencari Satgas PPKS!
○ Story Lepas: H-1, H-2, dan Hari-H Batas Akhir Pendaftaran Satgas PPKS UI
○ Infografis: Pengumuman Kerja Sama Pendampingan Kasus Kekerasan Seksual

IV. Evaluasi dan Inovasi yang bisa dikembangin untuk tahun depan
○ Evaluasi
1. Program kerja UI GB dan 16 HAKtP sebagai upaya untuk membumikan
isu masih sangat kurang optimal;
2. Isu Gender masih sangat kurang diberikan atensi;
3. Update isu setiap rapat departemen hanya sekadar memberitahukan
kasus-kasus yang belum lama terjadi tanpa adanya pembicaraan lebih jauh
dalam rangka penguatan budaya komunitas, memperluas pemahaman, dan
lain sebagainya;
4. Selain karena program kerja (UI GB dan 16 HAKtP), tidak ada upaya
untuk mengeluarkan propaganda darat;
5. Pemahaman akan isu ini yang sejatinya menjadi prioritas utama sebagai
staf kastrat masih sangat memprihatinkan, terutama di paruh pertama
sebelum menjelang UI GB.
○ Inovasi
1. Memasifkan propaganda-propaganda darat untuk menciptakan lingkungan
yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi, terutama terhadap
isu kekerasan seksual;
2. Memperbanyak sesi diskusi dalam rangka penguatan budaya komunitas,
upgrading isu, dan lain sebagainya;
3. Perkaya pemahaman bersama dengan saling membagikan referensi di
folder drive;
4. Menjalin kerjasama dengan BO dan BSO FH UI untuk saling menciptakan
lingkungan yang aman dari kekerasan seksual.

Isu Penggusuran Paksa dan Pendidikan Tinggi


I. Status Quo
○ Pendidikan Tinggi
Rilis Sikap: Kasus Pembunuhan Akseyna Tak Kunjung Ditangani, Ke
Manakah UI Tujuh Tahun?
Kasus pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia, Akseyna Ahad
Dori, yang terjadi pada 26 Maret 2015 telah genap berusia tujuh tahun.
Akseyna ditemukan meninggal di Danau Kenanga UI dengan
menggendong tas berisi batu bata dengan berat 14 kg. Kasus ini pun
dinilai sebagai kasus pembunuhan oleh pihak kepolisian. Akan tetapi,
sampai saat ini kasus pembunuhan Akseyna belum menemukan titik
terang. Kasus ini mandek dan tidak dilanjutkan penyidikannya sehingga
sampai saat ini tersangka dari kasus tersebut belum juga terungkap.
Kepolisian beranggapan bahwa sudah sulit untuk melanjutkan
pemeriksaan kasus Akseyna sebab keterbatasan alat bukti. Tak hanya
kepolisian, pihak kampus juga dinilai diam dan tidak melakukan
langkah-langkah konkret untuk menindaklanjuti kasus ini. Bahkan,
keluarga dari Akseyna telah meminta pihak UI untuk membentuk tim
investigasi khusus dan bantuan hukum. Namun, sayangnya, harapan
tersebut makin pupus sebab kampus tidak memberikan respons. Kampus
dan kepolisian seharusnya menindak tegas kasus ini dan mengusutnya
sampai tuntas untuk menciptakan kepastian hukum bagi keluarga Akseyna
dan menciptakan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika.

Statuta UI: Membuka Mata yang Tak Kunjung Melihat (Repost


Aliansi Pendidikan Tinggi)
Semua pasal yang tertera dalam Statuta UI, baik yang sudah lama berlaku
maupun hasil perubahan atau Statuta UI yang baru, harus disepakati
bersama secara transparan, akuntabel, jujur, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Namun, pada kenyataannya, perubahan pada
Statuta UI masih dilakukan secara sepihak sehingga menimbulkan
beberapa pasal bermasalah dalam Statuta UI yang baru. Pertama, Pasal 13
ayat (4) dan (5) Statuta UI yang berisi perubahan kuota penerimaan
mahasiswa baru UI yang menyebabkan berkurangnya kewajiban UI dalam
memberikan beasiswa akademik serta hilangnya acuan atau standar pasti
dalam menjaring mahasiswa dengan kemampuan ekonomi terbatas.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) Statuta UI yang disinyalir memperbolehkan
Majelis Wali Amanat (MWA) UI berasal dari partai politik. Ketiga, Pasal
33 dan 39 Statuta UI yang memungkinkan MWA, Rektor, wakil Rektor,
sekretaris universitas, dan kepala badan bidang untuk rangkap jabatan.

Tagar #UIDiambangKehancuran dan #PRUIMasihBanyak semakin


sering digaungkan akhir-akhir ini. Hal ini menunjukkan bahwa sivitas
akademika UI kini benar-benar membutuhkan kepedulian UI untuk
menyelesaikan segala permasalahan internal kampus dan mewujudkan
iklim kampus yang aman, nyaman, serta terjamin kebebasan akademisnya.
Permasalahan-permasalahan tersebut, meliputi kasus kematian Akseyna
yang tak kunjung dituntaskan, Statuta UI yang bermasalah, hingga
lambannya implementasi Permendikbud-Ristek PPKS. Namun, hingga
kini UI masih belum kunjung responsif, apalagi menunjukkan strategi
solusi yang konkret untuk menyelesaikan masalah-masalah ini.

○ Penggusuran Paksa
Pergub DKI 207 Tahun 2016 Harus Dicabut
Pada 20 April 2022, tepat 14 hari pascapertemuan Koalisi Rakyat
Menolak Penggusuran (KRMP) dengan Gubernur DKI Anies Baswedan
dalam rangka pencabutan Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016
(Pergub 207/2016) DKI yang mengatur penertiban penguasaan tanah tanpa
izin yang berhak. Dalam pertemuan tersebut, Anies akan mengambil
keputusan dalam 14 hari dan melakukan moratorium penggunaan Pergub
207/2016 hingga ada keputusan mengenai pencabutan.

II. Peraturan yang menjadi landasan atau sedang diperjuangkan


○ Tolak Statuta UI
Permasalahan-permasalahan dalam Statuta UI yang baru hendaknya tidak
dibiarkan bergulir begitu saja. Statuta UI yang diubah secara sepihak demi
kepentingan eksekutif semata haruslah ditolak secara tegas.
○ Cabut Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016 tentang Penertiban
Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak (Pergub 207/2016)
III. Bentuk pengawalan yang sedang/sudah dilakukan
○ Pendidikan Tinggi
1. Rilis Pers: Pembungkaman Mahasiswa di Dies Natalis UI
2. Surat Peringatan Pertama: Ditujukan Kepada Ari Kuncoro dan Universitas
Indonesia (Aliansi Repost)
3. Statuta UI: Membuka Mata yang Tak Kunjung Melihat (Repost Aliansi
Pendidikan Tinggi)
4. Rilis Sikap: Kasus Pembunuhan Akseyna Tak Kunjung Ditangani, Ke
Manakah UI Tujuh Tahun?
5. #PRUIMasihBanyak: Dari Kami yang Butuh Jawaban UI (Repost Aliansi)
6. Selamat Datang Bung dan Nona, di Kampus Penuh Drama (Repost
Aliansi)
7. Mengapa UI di Ambang Kehancuran #PRUIMasihBanyak (Repost
Aliansi)
8. Rilis Pers: Aksi Simbolis Mosi Tidak Percaya kepada Luhut Binsar
Pandjaitan dan Ari Kuncoro (Repost Aliansi BEM se-UI)
9. Seruan Aksi Selamatkan UI (Seruan Aksi Inisiasi)
10. Rilis Kajian Rapor Merah 1000 Hari Masa Kerja Rektor Ari kuncoro,
#PRUIMasihBanyak!
11. Story Lepas: #PRUIMasihBanyak: Besok Kelas di Rektorat!
12. Rilis Sikap: Mendesak Rektor UI Menyelesaikan Empat Permasalahan
Internal UI (Repost Aliansi BEM se-UI)
13. Rilis Pers: Jawaban Pimpinan Kampus pada Aksi Selamatkan UI:
Normatif dan Mengecewakan (Repost Aliansi BEM se-UI)
○ Penggusuran Paksa
1. Telah Berlangsung dan Story: Gubernur DKI Jakarta Harus Mencabut
Pergub DKI 207/2016!
2. Diskusi Publik: Menelaah Pergub DKI 207/2016: Peraturan Pelanggeng
Praktik Penggusuran (Repost, Story Aliansi)
3. Telah Berlangsung: Audiensi Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran
dengan Gubernur DKI Jakarta Terkait Pencabutan Pergub 207/2016
4. Diskusi Publik Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran “Pergub 207/2016:
Tanahku Legal Untuk Dirampas” (Repost Aliansi)
5. Seruan Aksi Drop Out Anies: Janji Palsu Anies Bikin Nangis
6. Tujuh Alasan Mengapa Pergub DKI 207 Tahun 2016 Harus Dicabut
(Repost Aliansi)

IV. Evaluasi dan Inovasi yang bisa dikembangin untuk tahun depan
○ Evaluasi
1. Kelompok isu ini cenderung memiliki frekuensi penyikapan yang lebih
rendah dibandingkan ketiga kelompok isu lainnya;
2. Sebagai isu prioritas dan utama, seharusnya publikasi yang dilakukan
tidak melulu repost aliansi;
3. Penggabungan isu pendidikan tinggi dan penggusuran paksa tidaklah
memiliki rasionalisasi yang baik serta proporsional, yakni dengan hanya
beralasan untuk menyeimbangkan beban kerja;
4. Isu penggusuran paksa cenderung sentralistik, yakni mayoritas kasus dan
kebutuhan akan isu ini terpusat hanya di kota-kota besar, seperti Jakarta;
5. Isu penggusuran paksa yang juga cenderung kurang berdinamika jika
dibandingkan dengan kelompok isu utama lainnya, membuat isu
penggusuran paksa dikesampingkan;
6. Pengawalan dan penyikapan isu penggusuran paksa tahun ini pun masih
sangat bergantung pada aliansi;
7. Pada isu pendidikan tinggi, Kastrat BEM FH UI seperti tidak memiliki
warna tersendiri dalam penyikapan, pengawalan, dan pengadvokasian isu.
○ Inovasi
1. Menjadikan isu penggusuran paksa dan pendidikan tinggi sebagai isu
insidental dan bukan menjadi fokus utama isu;
2. Nantinya, penyikapan, pengawalan, dan pengadvokasian isu dilakukan
oleh seluruh staf secara lebih merata;
3. Memiliki cara lain, seperti halnya unggahan-unggahan video yang
menarik dan anti-mainstream untuk menggaungkan isu dan membuat
warna tersendiri penyikapan oleh BEM FH UI.

Anda mungkin juga menyukai