Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Polemik Rancangan Undang- Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus
berlanjut. RUU ini memicu sejumlah tanggapan politisi dan tokoh yang menganggap RUU
HIP tak memiliki urgensi untuk dibahas di masa pandemi. Lantas apa itu RRU HIP ?
Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU
HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas
RUU Prioritas Tahun 2020.

Beberapa yang dibahas dalam RUU tersebut adalah dibentuknya beberapa badan. Di
antaranya, Kementerian atau badan riset dan inovasi nasional, Kementerian / Badan
Kependudukan dan Keluarga nasional serta Badan yang menyelenggarakan urusan di
bidang pembinaan Ideologi Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesalahan Konsepsi

Konsentrasi publik dalam menangani wabah pandemi ini terganggu oleh kegaduhan
akibat Sidang Paripurna DPR RI yang telah memuluskan jalan RUU HIP menjadi usul
inisiatif DPR. Kegaduhan di ruang publik tak terelakkan. Berbagai pihak keberatan dan
bahkan marak penolakan yang diviralkan di media sosial.

Kalau kita cermati Pasal 1 RUU HIP, dinyatakan: ‘Haluan Ideologi Pancasila adalah
pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan
pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang
berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara
dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilainilai
Pancasila’.

Secara definisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haluan memiliki arti


arah, tujuan, dan pedoman. Jimly Asshiddiqie (2019) dalam artikelnya menyebutkan bahwa
haluan negara merupakan pedoman arah atau panduan bagi seluruh penyelenggara negara
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan masyarakat dalam menjalankan roda pembangunan
nasional. Jadi, menurut penulis, haluan negara itu memuat kepentingan nasional (national
interest) sudah termaktub dalam Pembukaan, yang kemudian diderivasikan ke dalam pasal-
pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, terdapat dalam naskah RPJP, RPJM, dan renja serta dokumen
perencanaan pembangunan di daerah. Meskipun pascaamendemen UUD 1945, MPR tidak
memiliki kewenangan menetapkan GBHN, NKRI masih tetap memiliki haluan pembangunan
dalam naskah perencanaan pembangunan seperti RPJP, RPJM, rensta, renja, dan
turunannya. Rumusan haluan ideologi itu rancu sejak awal penamaan RUU HIP ini. Apakah
sebuah ideologi butuh haluan atau pedoman? Bukankah ideologi itu sumber utama dari
haluan negara? Kemudian, kalaupun harus ada haluan ideologi misalnya, apakah selama ini
sejak NKRI merdeka tidak memiliki haluan tersebut?
Kalau haluan ideologi memang perlu dirumuskan, berarti haluan bidang lain juga
harus ada, misalnya haluan politik, haluan ekonomi, haluan sosial-budaya, dan haluan
pertahanan keamanan. Bukankah selama ini haluan atau rumusan perencanaan
pembangunan nasional selalu ada apa pun namanya. Jadi, sekali lagi kesalahan berpikir
seperti dalam RUU HIP ini harus diluruskan. Ideologi itu sumber haluan, artinya ideologi
memberikan pedoman bagi penyelenggara negara dan seluruh warga negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam merumuskan
perencanaan pembangunan nasional di seluruh bidang politik, hukum, ekonomi, sosial,
budaya, dan hankam.

Harus dipahami bahwa nilai nilai Pancasila saat ini sedang mengalami benturan nilai
peradaban, khususnya dengan ideologi kapitalismeliberalisme yang mengusung kebebasan
dan bahaya laten ideologi komunisme serta ancaman radikalisme. Pancasila sebagai
sumber nilai haluan negara belum sepenuhnya diejawantahkan secara utuh dan sistemis
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan paling fundamental dari
Pancasila bukan persoalan haluan, melainkan persoalan implementasinya. Khususnya,
bagaimana melakukan delivery konseptual dan nilainya ke dalam tataran praksis
operasional.

Dengan kata lain, bagaimana nilai ideal Pancasila yang universal diderivasikan ke domain
nilai-nilai instrumental dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan, dan
bagaimana nilai-nilai ideal Pancasila terinternalisasi ke dalam nilai-nilai praktis dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana praktik sikap dan perilaku para elite dapat
menjadi sikap keteladanan dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini. Bukan malah
sebaliknya, rakyat disuguhi tontonan praktik yang tak Pancasilais.

Saat ini berkembang ide bahwa bagaimana kalau seluruh RUU sebelum disahkan DPR dan
pemerintah menjadi UU dikaji dan diberi masukan terlebih dahulu oleh Mahkamah
Konstitusi.

Kewenangan ini di beberapa negara dinamakan judicial preview. Meskipun MK belum


memiliki kewenangan itu, proses ini sifatnya bisa dilakukan secara informal dan berupa
masukan substantif dari materi RUU, dan tidak mengarah kepada persoal an teknis di DPR.
Upaya ini merupakan terobosan politik hukum untuk memperkecil peluang judicial review di
kemudian hari.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara umum, menurut saya RUU ini tidak diperlukan karena masalah kesalahan
konsepsi tentang Haluan ideologi Pancasila itu sendiri. RUU HIP justru menempatkan
Pancasila menjadi ke bawah. Dalam hukum, Pancasila adalah sumber dari segala sumber
hukum, bahkan lebih tinggi dari UUD. "Ketika ia diturunkan menjadi sebuah UU, menjadi
tidak tepat karena Pancasila jadi dimaknai ulang untuk bisa menjadi UU dan juga
ditempatkan seakan-akan di bawah. Juga, dari segi perancangan peraturan, RUU HIP ini
juga menjadi tidak lazim, karena yang namanya UU biasanya normanya berisi norma
pengatur perilaku dan kelembagaan.

Sementara  RUU ini, isinya tidak ada siapa melakukan apa tetapi benar-benar seperti
asas-asas. Bukan berarti melanggar hukum melainkan menjadi tidak operasional. Satu-
satunya yang operasional hanya soal BPIP. "Kalau memang politik hukum RUU HIP adalah
kejelasan kelembagaan BPIP, silakan bentuk saja RUU tentang BPIP. Jadi tidak ada pasal-
pasal tertentu yang banyak ditolak, tapi RUU ini tidak perlu, karena tidak urgen dan tidak
operasional.

B. Saran

Khusus kepada DPR, mohon kaji ulang secara mendalam RUU HIP ini agar kita tidak
mengalami distorsi sejarah dan salah konsep mengenai ideologi dan haluan. Lalu pelajari
kembali filsafat Pancasila secara keilmuan agar lebih memahami kedudukan dan fungsi
Pancasila secara utuh. Perdalam juga pemahaman baik teori Stufenbau (Hans Kelsen)
maupun teori Hans Nawiasky. Lalu, libatkan perguruan tinggi secara lebih masif dalam
setiap pembahasan RUU. Terakhir, jangan pernah lagi terjadi proses pendangkalan atau
pembelokan makna Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham akan Pancasila.
Distorsi pemahaman dan peminggiran Pancasila amat berbahaya, bahkan bisa berpotensi
memicu disintegrasi bangsa.

Anda mungkin juga menyukai