Anda di halaman 1dari 9

OPINI MENGENAI PENETAPAN PEMINDAHAN IBU KOTA JAKARTA KE

KALIMANTAN

Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta yang disampaikan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) baru-baru ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa.
Wacana pemindahan ibu kota bertolak dari kondisi yang ada di Jakarta saat ini. Dengan
posisi kota ke 9 terpadat di dunia, Jakarta memiliki penduduk sekitar 14 juta jiwa di siang
hari, dan 10 juta jiwa di malam hari di area seluas 661 kilometer persegi. Dengan kondisi itu,
penduduk memiliki kesibukan tinggi sehubungan fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan,
bisnis, dan jasa. Sayangnya, aktivitas itu tidak diimbangi dengan mobilitas warga akibat
masalah kemacetan di Jakarta. Hal ini mengakibatkan jalannya kegiatan pemerintahan, bisnis,
dan jasa tidak berjalan efektif dan efisien, sehingga berdampak pada kerugian ekonomi.

Sebagai gambaran, Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa kemacetan di


Jakarta dan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mengakibatkan
kerugian hingga Rp 65 triliun. Untuk itu, jika terlaksana, pemindahan ibu kota sudah
semestinya terencana dengan baik sehingga menghindari kerugian ekonomi di masa datang.
Perencanaan calon ibu kota mendatang dibagi dalam zonasi yang jelas.

Timbulnya ibu kota baru akan menimbulkan multiplier effect, karena diikuti dengan
perpindahan sumber daya manusia. “Perpindahan itu diikuti dengan pertumbuhan demand
atau permintaan warga yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan kegiatan
perekonomian.

Ini Yang Membuat Rakyat Waswas Kalau Kaltim Jadi Ibu Kota

Presiden Joko 'Jokowi' Widodo dalam pidato kenegaraannya di sidang tahunan MPR
bersama DPR pada 16 Agustus lalu, resmi menyatakan ibu kota negara pindah ke
Kalimantan. Benua Etam, Kalimantan Timur adalah salah satu kandidat selain Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah.

Kabar tersebut pun menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Kaltim. Kira-kira
bagaimana respons masyarakat, terutama generasi millennial soal perpindahan ibu kota ke
Bumi Mulawarman? 
1. Rasa bangga bisa menambah sikap hedonisme lepas kontrol
Meski dinyatakan mumpuni sebagai calon ibu kota negara, namun sebagian
masyarakat merasa Kaltim belum siap terutama dalam segi sosial, ekonomi, bahkan
lingkungan. 

“Dari segi sosial, pelabelan yang masyarakat Kalimantan dapatkan seperti


‘kampungan’ atau ‘tinggal di hutan’ akhirnya bisa ditumpas dengan bangga karena
ibu kota pindah ke sini. Hal ini memberi semangat baru bagi mereka yang setuju ibu
kota pindah ke sini. Namun, rasa bangga tadi bisa membuat hedonisme semakin
meningkat. Mereka yang selama ini dianggap “orang kampung” akhirnya punya
kesempatan untuk unjuk diri dengan apa yang dipunyai.

“Nah, hedonisme meningkat, kriminalitas mengikuti. Mereka yang statusnya


menengah ke bawah akan berusaha untuk bisa sejajar dengan gaya ala masyarakat ibu
kota dengan cara-cara yang salah. Sebab itu, menurut saya Kaltim dari segi sosial
belum siap.

2. Lingkungan Kaltim bisa semakin parah


Kekhawatiran akan perpindahan ibu kota ini juga dirasakan oleh rakyat
Indonesia. Menurut ku, warga asli Kaltim nantinya bisa tersisih dengan para
pendatang.

“Saya tahu bahwa proses ini akan berlangsung lama dan bertahap. Tetapi saya
khawatir nantinya budaya Kaltim akan memudar karena masyarakatnya belum siap.
Bisa saja terjadi gegar budaya dan bertindak norak”

Taman hutan raya (Tahura) Bukit Soeharto menjadi lokasi pilihan jika ibu
kota pindah ke Kaltim. Hal ini menimbulkan kontra karena ketakutan masyarakat
akan kerusakan lingkungan yang semakin parah nantinya.

Seperti diketahui, lubang tambang yang masih banyak menganga di daerah


Kutai Kartanegara dan Samarinda, serta penggunaan lahan untuk kebun sawit belum
teratasi dengan matang.
Jika Tahura Bukit Soeharto nantinya akan dipangkas demi pemindahan
ibukota, ada risiko kehilangan sumber kekayaan alam yang hijau, penyegar udara dan
tempat tinggal satwa.

“Yang saya tahu, Tahura di bawah wewenang pemerintah. Mereka yang


memiliki keputusan penuh untuk membuka kawasan hutan dan lainnya. Nah, apakah
mereka bisa menjamin kawasan hutan tidak rusak? Sebagai millennial, saya prihatin
kalau ternyata mereka belum punya perencanaan matang dan tidak bertanggung jawab
di kemudian hari.

3. Millennial Kaltim siap bekerja memajukan ekonomi negara


Bila nanti ibu kota benar-benar menetap di Kaltim. Maka hal penting lainnya
yang menuntut diperhatikan adalah persoalan tenaga kerja.

Pemerintah  harus bijak dan hati-hati dalam memutuskan besaran pekerja. Dan
generasi millennial Kaltim siap untuk ikut berkarya memajukan perekonomian
negara, akan lebih baik jika bisa memberi lapangan pekerjaan dengan adanya
perpindahan ini.

“Saya ingin sekali perekonomian Indonesia membaik. Utang teratasi, angka


kemiskinan berkurang seiring dengan jumlah pengangguran," harapnya. Akhirnya,
kata dia, kriminalitas juga pasti memudar. Sebagai milennial, harapan saya semoga di
usia 74 tahun ini semua itu bisa tercapai di setiap daerah di Indonesia termasuk
Kaltim.

Perubahan fungsi suatu wilayah menjadi ibu kota membawa konsekuensi tertentu pada
lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Konsekuensi Pemindahan Ibu Kota ke
Kalimantan. Berikut konsekuensi mengenai pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan:

1. PNS Ikut Pindah


Menurut Presiden Joko Widodo atau Jokowi, ada tiga kanditat lokasi calon ibu
kota baru pengganti Jakarta yaitu Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di pemerintah pusat dan
Kementerian/Lembaga akan ikut bermigrasi jika Ibu Kota baru jadi dibangun.
Perkirakan, akan ada 1 juta ASN atau PNS yang akan dibawa dalam pemindahan ke
Ibu Kota baru. Di Kementerian/Lembaga pusat saat ini jumlah ASN itu ada 1 juta
orang. Sudah direncanakan ya, kalau memang ibu kota pindah ya ASN-nya pindah.

2. Fasilitas Sarana dan Prasarana yang Memadai


Pemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta lantaran Pulau Jawa
dinilai sudah terlalu padat penduduk. Sarana dan prasarana infrastruktur yang
dibutuhkan dalam konsep pengelolaan Ibu Kota negara yakni sarana utilitas, gedung
perkantoran, dan fasilitas publik. Sarana utilitas yang dibutuhkan terdiri dari saluran
multifungsi, sarana penerangan, air bersih dan minum, listrik, jalan, serta sejumlah
sarana utilitas lainnya.
Sedangkan untuk gedung perkantoran yang dibutuhkan dalam konsep
pengelolaan Ibu Kota negara antara lain gedung-gedung untuk lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Selain itu fasilitas publik yang juga dibutuhkan terdiri dari
rumah sakit, sarana dan prasarana olahraga, serta kesenian, perpustakaan, transportasi
urban, pasar, rumah susun sewa (rusunawa), dan berbagai fasilitas publik lainnya.
Rencananya Kementerian PPN/Bappenas akan membentuk sebuah badan otoritas
yang bertugas untuk mempermudah manajemen aset dan pendanaan bagi proyek-
proyek KPBU utilitas.

3. Harga Tanah Naik


Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto di Kutai Kartanegara
(Kukar) Kaltim menjadi salah satu calon kuat ibu kota yang baru. Harga tanah di
lokasi bakal calon Ibu Kota Indonesia yang baru, Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah, mulai naik hingga empat kali lipat dari harga sebelumnya. Hal
tersebut muncul karena masyarakat banyak yang termakan tingginya harga tanah
setelah isu pemindahan ibu kota.
Berdasarkan informasi, harga tanah di Gunung Mas, satu kavling tanah
biasanya dipatok ukuran 20x30 meter dengan harga Rp 10 juta jika jauh dari
pemukiman. Sedangkan harga tanah yang dekat dengan pemukiman, biasanya
dihargai Rp 25 juta. Dengan munculnya informasi akan dijadikan ibu kota, tanah
melonjak menjadi Rp 40 juta per kavling dan Rp 100 juta per kavling bila dekat
dengan pemukiman atau naik empat kali lipat.

4. Harus Berantas Kebakaran Lahan


Jusuf Kalla memberikan wejangan mengenai pemindahan Ibu Kota baru ke
Kalimantan. Potensi rawan kebakaran hutan menjadi masalah utama di kota dengan
sebutan hutan dunia tersebut. Wilayah Kalimantan Timur banyak lubang bekas
tambang. Tentunya harus menjadi perhatian khusus agar tidak ada masalah di
kemudian hari.
Tapi harus hati-hati juga, kalau di Kalimantan lahan gambut banyak bisa
terbakar, di Kalimantan Timur banyak bekas lubang tambang. Jadi semua harus
dipilih dengan betul. Sangat tidak mudah melakukan pemindahan Ibu Kota karena
harus ada perencanaan yang matang, dimulai dari proses memilih dan menentukan
wilayah, hingga perencanaan pembangunan.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari rencana pemindahan ibu kota, pemerintah perlu
memikirkan solusi bagi penghidupan atau livelihood masyarakat lokal sebagai akibat dari
perubahan fisik dan fungsi wilayah tempat mereka tinggal.

Seperti kita pahami bersama, pembangunan memerlukan kesiapan penduduk di


sekitarnya agar ikut merasakan manfaat pembangunan yang terjadi di daerahnya. Dalam hal
ini, perlu dipikirkan suatu proses transformasi sosial sehingga tidak mengganggu tatanan
sosial masyarakat yang sudah ada, sekaligus mencari alternatif penghidupan dengan
memperhatikan pendidikan dan keahlian mereka. Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta
juga didorong oleh kemampuan daya dukung lingkungan Jakarta yang semakin menurun.

Sebagai contoh, pada tahun 2017 pertumbuhan kendaraan di Jakarta tercatat 11,26%,
sedangkan pertumbuhan ruas jalan hanya 0,01%, sehingga berdampak pada kemacetan.
Masalah pembuangan sampah bagi Jakarta yang perlu dicari solusinya. Hingga awal tahun
2019, Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang sudah memuat 39 juta
ton sampah dari total kapasitasnya sebesar 49 juta ton. Dengan produksi sampah warganya
yang rata-rata mencapai 7.400 ton per hari, TPST Bantar Gebang diprediksi akan penuh pada
tahu 2021.
Tidak hanya itu, memiliki masalah dengan ekosistem sehingga menimbulkan
kerawanan banjir, polusi sumber air, dan kekeringan. Padahal, suatu ibu kota yang ideal
sudah selayaknya ramah bagi warganya sehingga mereka dapat merasa aman dan damai
untuk hidup di sana. Selain itu, ibu kota tersebut hendaknya secara geografis aman dari
bencana alam, memiliki infrastruktur yang memadai, memiliki tata kota terencana, ditopang
dengan pendidikan dan tekonologi maju, serta merupakan tempat mencari penghidupan yang
layak bagi warganya.

Tentu saja memindah ibu kota bukan berarti semua masalah teratasi. Ada dua hal yang
harus menjadi perhatian khusus pemerintah selama proses dan pasca pemindahan ibu kota
negara ini.

1) Kesenjangan sosial
Poin ini bisa menjadi masalah besar jika tidak dipikirkan pencegahannya.
Kesenjangan sosial antara penduduk asli yang rata-rata berpendapatan rendah dan
pendatang yang berpendapatan lebih tinggi akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Hal ini bisa memicu konflik.

Oleh karenanya, penting untuk memberikan peran ekonomis pada penduduk


asli ketika ibu kota telah dibangun. Memperkecil kesenjangan sosial juga bisa
dilakukan dengan membangun infrastruktur baru yang mendukung perekonomian
masyarakat lokal.

Satu hal lagi yang harus diingat adalah memahami budaya setempat. Konflik
dapat terjadi jika para pendatang tidak mengerti budaya dan adat setempat. Sehingga
melakukan tindakan atau kegiatan yang membuat masyarakat setempat tersinggung.

2) Rusaknya hutan
Membuat pusat pemerintahan baru artinya membuka lahan baru. Sebagai salah
satu paru-paru dunia, hutan di Kalimantan berperan besar dalam menyediakan
oksigen bagi miliyaran manusia di dunia. Oleh karenanya, faktor konservasi hutan
harus menjadi prioritas pemerintah.

Setelah ada lahan baru yang dibuka, bagaimana pemerintah bisa menanam kembali
hutan yang hilang untuk kepentingan manusia dan keberlangsungan hidup satwa
setempat.

Ada yang pro dan ada yang kontra, namun kebutuhan negara untuk lingkungan pusat
pemerintahan yang lebih baik sudah mendesak. Pastinya perubahan akan terlihat saat
ibu kota berada di tengah-tengah Indonesia. Terutama, pada pembangunan di pulau-
pulau luar Jawa.

Komentar Saya Mengenai Alasan Pak Jokowi Memindahkan Ibu Kota Jakarta Ke
Kalimantan :
Kami sebagai milenial mencoba untuk ikut aktif dalam isu-isu terkini termasuk
pembangunan karena mau tidak mau, suka tidak suka kebijkan presiden ini akan
berpengaruh pada masa depan kami nantinya. Sehingga dari sekarang kami pikir untuk mulai
mencoba aktif dalam isu-isu terkini.
Sebagai mana kita ketahui bahwa pemindahan ibu kota ini bukan wacana baru, ini
sudah penah di wacanakan oleh presiden-presiden sebelumnya, namun alasan utama presiden
Jokowi, setidaknya ada 4 yang ingin saya higlight(menyoroti) yaitu:
1. Alasannya, alasan banjir, macet, dan polusi, dan perataan tanah. Alasan ini
sebenarnya sedikit besarnya menohok kepada kapasitas Pak Jokowi sendiri dalam
memerintah, karena bukankah salah satu dari program besar Pak Jokowi saat itu
mencalonkan diri sebagai Gubernur, dan menjadi Presiden adalah tentang penanganan
semua keruwetan Jakarta, didalamnya termasuk macet, banjir, polusi dan lain-lain.
Jadi ketika sekarang beliau menjadikan alasan pindahnya Ibu kota ini karena macet,
banjir, polusi maka beliau sedang mengonfirmasi kegagalannya dalam memenuhi
janji kampanye. Beliau saat pigub dan pilpres atau kegagalannya beliau sebagai
seorang gubernur dan presiden.
2. Alasan pemerataan pembangunan, kita bisa aja punya pendapat yang berbeda tentang
ini. Tapi kalau alasannyya adalah pemindahan ibu kota itu untuk pemerataan
pembangunan maka saya pikir tentu saja solusi yang seharusnya di tawarkan adalah
meningkatkan pengawasan pemerataan pembangunan itu ke daerah-daerah, bukan
memindahkan ibu kota ke daerah tersebut. Kenapa?, apakah ada jaminan ketika ibu
kota dipindahkan ke suatu daerah, sebutlah pulau Kalimantan, itu akan ada jaminan
bahwa pemerataan pembangunan Indonesia akan membaik. Apakah justru tidak akan
menimbulkan konflik baru?, semisal kecemburuan sosial karena bahwa seandainya
alasannya pemerataan pembangunan, saya fikir seharusnya kana lebih bermanfaat jika
warga Aceh atau Papua yang merasakan pemindahan Ibu kota tersebut. Jadi jangan
sampai kemudian alasan pemerataan pembangunan ini justru memicu konflik baru,
kecemburuan sosial dari Profinsi-provinsi lainnya.
3. Alasannya adalah ini bukan hal yang paling mendesak untuk negara lakukan
sekarang, di mata kami para milenial alasan pemerintah bahwa pemindahan Ibu kota
ini sudah di canangkan dari presiden-presiden sebelumnya. Ini sebenarnya sebuah
alasan yang bisa dikatakan sebuah klise, tidak menjawab masalah, tidak menjawab
permasalahan, bahkan terkesan pembelaan belaka. Apakah pemindahan pembangunan
ibu kota di wilayah baru ini menjadi program yang paling mendesak untuk dilakukan,
kenapa ini perlu dipertanyakan? Dana 466 triliun itu sebenarnya bukan dana yang
kecil, kalau berdasarkan kami kaum milenial membaca sumber-sumbernya kurang
lebh dari jual aset kemudian kemungkinan utang lagi dan itu adalah dana yang sangat
besar, sangat banyak. Sementara disisi lain ada banyak sekali pekerjaan yang lebih
mendesak untuk dilakukan, pengangguran misalnya, lapangan kerja yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat khususnya anak muda, kemudian pembayaran BPJS,
BUMN-BUMN strategis yang kini terancam bangrut karena mulai terlilit utang
sebutlah Garuda, PLN, Krakatau, Stile dll. Sehingga jangan sampai pemindahan Ibu
kota ini mengenyampingkan sesuatu yang justru seharusnya di utamakan,
diprioritaskan, bakhan seharusnya negara hadir untuk memastikan terlaksananya hal
tersebut demi keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
4. Alasan kondisi keuangan negara yang cukup menghawatirkan dan ini termasuk alaan
Pak Jokowi. Kita sedang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja, kondisi keuangan
negara kita. Kita tahu tahun 2019 ini diperkirakan utang Indonesia mencapai 275
Triliun, itu baru utang bunganya saja belum pokonya dan ini dua kali lipat bunganya
dibandingkan pada tahun pemerintahan Pak SBY, akhir Jaman Pak SBY. Yang
artinya Pak Jokowi dalam 5 tahun ini sudah berhutang sangat banyak, yang kalau kita
klakulasikan ini mendekati satu hari 1 triliun. Jika ini terus bertambah dan bertambah,
bayangkan satu hari bangsa Indonesia membayar bunga utang 1 Triliun itukan akan
sangat bermanfaat ketika 1Triliu uangsegitu dialokasikan kepada kesehatan,
pendidikan, kejelasan kepastian honorer dll yangsifatnya jauh lebih diuntungkan
masyarakat atas kebijakan-kebijakan tersebut. Sehingga dengan semua argumen tadi
saya fikir mengambil kesimpulan untuk memindahkan Ibu kota ke wilayah yang lain,
membangun Ibu kota baru rasanya itu belum perlu. Solusinya adalah tetap kembali
pada asa efektifitas, efesiensi,ciptakan lapangan kerja, hapus KKN, berantas KKN
sampai ke akar-akarnya, dan yang paling penting dan utama adalah kembali
tegaggakan UUD Pasal 33 dengan murni dan konsekuen.

Anda mungkin juga menyukai