Anda di halaman 1dari 4

GUBERNUR DKI JAKARTA HARUS MENCABUT PERGUB 207/2016

Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) menuntut Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta untuk mencabut Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 207 Tahun 2016 tentang
Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak (“Pergub DKI 207/2016”). Koalisi
Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) yang terdiri dari warga DKI Jakarta terdampak penggusuran
bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil, menilai bahwa Pergub DKI 207/2016 memberikan
legitimasi kepada Pemprov DKI Jakarta untuk dapat terus melakukan penggusuran tanpa proses yang
layak dan telah melanggar asas keadilan karena tidak memberikan kesempatan kepada warga untuk
menguji hak kepemilikannya atas tanah.

KRMP mencatat beberapa permasalahan yang hadir akibat Pergub DKI 207/2016:

Pertama, mayoritas penggusuran dilakukan tanpa musyawarah dengan penggunaan aparat tidak
berwenang seperti TNI, adanya intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum,
hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah. Hal ini tidak hanya berimbas
hilangnya hunian, penggusuran juga mengancaman keselamatan jiwa, kesehatan serta hilangnya akses
terhadap makanan, pendidikan, perawatan kesehatan bahkan pekerjaan dan peluang mencari mata
pencaharian lainnya.

Kedua, adanya sengketa/konflik lahan dengan pihak korporasi dan pemerintah yang memiliki
akses luas terhadap hukum, berhadapan dengan masyarakat miskin kota yang termarjinalkan.
Pola-pola yang dapat dilihat pada beberapa kasus seperti di Pancoran Buntu II, Gang Lengkong
Cilincing, Muara Angke, Kapuk Poglar, Kebun Sayur, Tanah Merah dan masih banyak lagi. Warga
diancam dan/atau digusur secara paksa dengan dasar terbitnya sertifikat atas nama korporasi dan/atau
sekadar dimasukan sebagai aset badan pemerintah secara sepihak. Hal ini dirasa tidak adil, karena
menghilangkan eksistensi warga telah tinggal bertahun-tahun di wilayah tersebut. Beberapa hal
tersebut menunjukkan bahwa Pergub DKI 207/2016 berimplikasi pada semakin tajamnya
ketimpangan struktur kepemilikan tanah di Jakarta. Adapun dalam implementasinya, alih-alih
melakukan inventarisasi, evaluasi, dan penertiban aset korporasi yang ditelantarkan, Pemerintah justru
menitikberatkan penertiban kepada masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap hak atas tanahnya.
Sehingga menjadi jelas bahwa Pergub DKI 207/2016 ini berlawanan dengan Undang-Undang Pokok
Agraria dan semangat Reforma Agraria.

Ketiga, Pergub DKI 207/2016 menjadi bentuk penggunaan kekuasaan dalam penyelesaian konflik
alih-alih menempuh prosedur hukum dan hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat bahwa peraturan
tersebut tidak mensyaratkan adanya musyawarah yang berimbang dan prosedur-prosedur lain sesuai
ketentuan Komentar Umum No. 7 Kovenan Hak Ekosob. Bahkan peraturan tersebut tidak
memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat menguji hak kepemilikan tanah melalui
forum pengadilan, padahal ketentuan hukum perdata di Indonesia mensyaratkan hal tersebut harus
dilakukan dalam penyelesaian sengketa lahan.

Keempat, Pergub DKI 207/2016 telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan


diantaranya UU TNI karena berpotensi untuk mengerahkan anggota personil TNI dalam penggusuran,
Kovenan Ekosob karena tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak atas
perumahan dengan membenarkan tindakan penggusuran paksa, UU 48/200 tentang Kekuasaan
Kehakiman karena penggusuran paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pembuktian kepemilikan
di Pengadilan, serta UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah karena bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

Kelima, Pergub DKI 207/2016 juga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebab
tidak adanya kepastian hukum dalam proses pembuktian kepemilikan dalam hal terjadi sengketa
tanah, terlanggarnya asas kemanfaatan karena melegitimasi penggusuran paksa dan membuka ruang
bagi penggunaan kekerasan oleh aparat maupun pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan dan
kewenangan, serta melanggar asas ketidakberpihakan karena hanya melihat dari sudut pandang
pemohon penerbitan dan sama sekali tidak membuka ruang bagi warga yang terdampak untuk
membela diri dan kepentingannya.

Selanjutnya, dalam rangka melakukan penataan ruang dan penguasaan tanah yang lebih berkeadilan di
perkotaan, Peraturan Presiden No.86/2018 tentang Reforma Agraria telah mengakomodir kepentingan
reforma agraria di perkotaan mengenai redistribusi tanah non-pertanian. Situasi riil yang dihadapi saat
ini di Jakarta adalah adanya ketidakadilan pengalokasian tanah yang telah melahirkan konflik agraria,
monopoli penguasaan dan pencadangan tanah oleh segelintir kelompok. Kebijakan redistribusi
tanah-tanah terlantar dan aset korporasi maupun pemerintah yang diharapkan dapat terjawab, hadirnya
Pergub DKI 207/2016 justru mengakibatkan ketimpangan dan monopoli tanah yang sangat parah dan
terus-menerus menggusur rakyat miskin di perkotaan.

Lebih lanjut, terkait Peraturan Pemerintah No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, mengatur
mengenai pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah
yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut dengan itikad baik dan
secara terbuka oleh yang bersangkutan. Artinya, UUPA telah memandatkan Pemerintah untuk
menjamin akses dan hak rakyat dalam mengusahakan kepastian hukum atas tanah yang
mereka tempati, bukan justru sebaliknya melakukan penggusuran dengan menempatkan masyarakat
sebagai pihak yang melakukan pendudukan ilegal.

Melihat permasalahan akibat Pergub 207/2016 tersebut, Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran
(KRMP) mendesak poin-poin tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta:

1. Mencabut Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 207
Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak;
2. Mengganti Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 207
Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak
dengan peraturan yang sesuai dengan standar-standar Hak Asasi Manusia dan Reforma
Agraria Sejati;
3. Melibatkan masyarakat secara aktif dan seluas-luasnya serta melibatkan Komnas HAM
dan Komnas Perempuan dalam penyusunan peraturan tersebut;
4. Bersama masyarakat merumuskan Peraturan Gubernur tentang peta jalan reforma
agraria di DKI Jakarta tentang pengaturan, pelembagaan dan pembiayaan untuk
penyelesaian konflik dan sengketa agraria berdasarkan prinsip pemenuhan hak atas
tanah dan prinsip reforma agraria sejati sesuai UU Pokok-Pokok Agraria.

Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP)

1. Forum Pancoran Bersatu;


2. Forum Peduli Pulau Pari;
3. Forum Perjuangan Rakyat Rawapule;
4. Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke;
5. Koperasi Lengkong Bersinar;
6. Koperasi Empang Mandiri Sejahtera;
7. Koperasi Kampung Rawa Barat dan Rawa Timur Jakarta Barat;
8. Koperasi Kampung Blok Limbah Jakarta Utara;
9. Koperasi Kampung Blok Eceng Jakarta Utara;
10. Koperasi Kampung Blok Empang Jakarta Utara;
11. Koperasi Kampung Tembok Bolong Jakarta Utara;
12. Koperasi PKL Kaliadem Jakarta Utara;
13. Koperasi Kampung Gedong Pompa Jakarta Utara;
14. Koperasi Kampung Elektro Jakarta Utara;
15. Koperasi Kampung Marlina Jakarta Utara;
16. Koperasi Kampung Aquarium Jakarta Utara;
17. Koperasi Komunitas Anak Kali Ciliwung Jakarta Utara;
18. Koperasi Kampung Kunir Jakarta Barat;
19. Koperasi Kampung Balokan Jakarta Barat;
20. Koperasi Kampung Muka Jakarta Utara;
21. Koperasi PKL Budimulya Jakarta Utara;
22. Koperasi PKL KOPEKA Jakarta Utara;
23. Koperasi Persaudaraan Warga Kebon Bayam Jakarta Utara;
24. Koperasi Kampung Lengkong Jakarta Utara;
25. Koperasi Kampung Parek Maphar Jakarta Barat;
26. Koperasi Kampung Kebon Sayur Ciracas Jakarta Timur;
27. Ciliwung Merdeka;
28. Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK);
29. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta;
30. Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND-DN);
31. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia;
32. Rujak Center for Urban Studies;
33. Urban Poor Consortium (UPC);
34. Trend Asia;
35. Federasi Pelajar Jakarta;
36. BEM FH UPN Veteran Jakarta;
37. BEM UPN Veteran Jakarta;
38. BEM Universitas Indonesia;
39. BEM STHI Jentera;
40. BEM FH Universitas Indonesia;
41. BEM Universitas Pembangunan Jaya;
42. BEM Universitas Esa Unggul;
43. BEM Tanri Abeng University;
44. Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti;
45. Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina;
46. Forum Persatuan Mahasiswa Universitas Bung Karno;
47. Serikat Pemuda - Nusa Tenggara Timur Jabodetabek;
48. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Jakarta Selatan;
49. Institute for Ecosoc Rights;
50. WALHI DKI Jakarta;
51. Konsorsium Pembaruan Agraria.
52. Federasi Buruh Transportasi Pelabuan Indonesia
53. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
54. Pemuda Tambora Bergerak
55. Kolektif Pemuda Bojong
56. Forum Mahasiswa IISP Bersatu
57. Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai