Anda di halaman 1dari 5

Mengapa Revisi UU P3?

Oleh: Adrianto Zul


Ketika ketukan palu itu tiba, tanda disetujuinya pengesahan revisi UU P3 oleh DPR, saya
teringat kembali penggalan ungkapan pak Tjip dalam suatu esainya yang mengatakan bahwa
“Hukum tidaklah lahir dalam ruang hampa, ia lahir mengikuti kosmologi masyarakatnya karena
muncul dan dimunculkan dari a peculiar form of social life.” Ungkapan ini sangat relevan untuk
setidaknya mempertanyakan ulang tentang“ apa dibalik revisi UU P3 ?.” Selain karena
penyusunan dan pembahasan yang teramat singkat, juga tidak sedikit kalangan akademisi
khususnya hukum tatanegara yang mengatakan bahwa revisi ini mempunyai niat besar hanya
untuk meloloskan omnibus cipta kerja itu sendiri yang telah dinyatakan inkonstitusional
bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jika benar hal ini hanya satu tujuan yaitu demi
meloloskan omnibus cipta kerja, maka ini sama halnya dengan mengulang kesalahan yang sama
dalam proses pembentukan uu cipta kerja atau sebagaimana kata Herlambang P. Wiratrama
bahwa “revisi UU P3 sama halnya dengan buruk muka cermin dibelah dua, yang diperintahkan
oleh MK apa, lalu yang dikerjakan oleh Pemerintah dan DPR apa”.
Selain karena pembahasan yang relatif singkat yaitu hanya 7 hari, lebih jauh sejak mulai
di bahas di DPR pada 7 April 2022 tidak terlihat adanya upaya untuk menjadikan proses legislasi
ini transparan. Dalam waktu teramat singkat, Badan legislasi (Baleg) DPR pada 13 April 2022
sepakat membawa draf RUU kepembicaraan tingkat dua, yakni rapat paripurna. Alih-alih
menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa “partisipasi masyarakat
yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk
didengarkan pendapatnya ( right to be heard ); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya
( right to be considered ); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas
pendapat yang diberikan (right to be explained).” 1Revisi UU P3 justru tidak menerapkan
partisipasi bermakna. Hanya dengan forum-forum yang bersifat sosialisasi dan mengundang
orang-orang yang sepakat dengan revisi ini, Pemerintah dan DPR menganggap bahwa aspirasi
dan masukan masyarakat telah di tampung. Menarik ketika DPR dalam rangka memberi
masukan revisi UU P3 di sebuah universitas terkemuka di Jawa tengah yang hanya mengundang
prof pidana, pertanahan juga prof bisnis dan tidak memanggil ahli lain terkhusus dalam hukum
tatanegara maupun administrasi negara. Padahal hal ini berkaitan dengan pembentukan
perundang-undangan juga penyusunan perundang-undangan. Apakah ketiga professor dalam
bidang di atas tidak mempunyai kapasitas ? Tentu saja mempunyai kapasitas khususnya dalam
bidang masing-masing, namun karena hal ini berkaitan dengan pembentukan perundang-
undangan dan administrasi perundang-undangan maka seharusnya kita berbicara tentang otoritas
yang lebih pas. Hal ini tentu menambah kecurigaan bahwa Pemerintah dan DPR tidak
mempunyai niat untuk membuat revisi UU P3 sebagai reformasi regulasi namun hanya sebatas
mencari stempel untuk mendapatkan legitimasi.

1
Niat Dibalik Revisi
Untuk melihat apa dibalik revisi UU P3 oleh DPR dan Pemerintah, tidaklah cukup jika
hanya dengan membaca proses pembahasan, namun tidak kalah penting ialah muatan materi
yang di ubah dalam UU PPP tersebut. Untuk membaca hal ini, setidaknya terdapat 4 pasal dalam
revisi UU PPP yang dapat membawa kita untuk mendapatkan jawaban, yaitu pasal 72 ayat (1a),
pasal 73 ayat 1, pasal 96 ayat 3 dan ayat 8. Pada draf revisi pasal 72 ayat (1a) yang
mencantumkan bahwa “Dalam hal draf RUU yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat
kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh
kementerian yang membahas RUU tersebut”. Selanjutnya, dalam pasal 73 ayat 1 mencantumkan
bahwa “Dalam dalam hal draf RUU telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden
sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 masih ditemukan kesalan teknis, kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretarian negara bersama dengan
Kementerian yang membahas RUU tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan
alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut”. Jika kita mengacu pada UU No. 11 tahun
2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada pasal 72 ayat 1,
maka kita dapat melihat bahwa tahapan paling penting dalam pembentukan suatu UU ada pada
tahap persetujuan bersama DPR dan Pemerintah, pengesahan tidaklah terlalu penting karena
pada akhirnya ketika telah disetujui bersama pada rapat paripurna suatu RUU akan menjadi UU
baik dengan pengesahan presiden ataupun tidak (Pasal 73 ayat 2 UU 12/2011). Beda halnya
dengan negara Amerika Serikat yang juga menganut sistem Pemerintahan Presidensial, dimana
tahapan paling penting pembentukan UU berada pada tahap pengesahan yang artinya tanda
tangan presiden yang menjadi penentu apakah RUU tersebut diterima ataukah ditolak. Jika
presiden menandatangani maka suatu RUU akan menjadi Undang-Undang, namun jika Presiden
menolak menandatangani maka RUU tidak dapat menjadi Undang-Undang, ini disebut dengan
Pocket Veto.
Hal yang ingin saya sampaikan bahwa secara tidak langsung pasal 72 ayat (1a) maupun
Pasal 7 ayat 1 yang terdapat dalam revisi UU P3 menjadikan suatu RUU yang telah disetujui
bersama tidak jauh berbeda dengan revisi skripsi ataupun makalah, sehingga akan
menghilangkan sakralitas suatu RUU karena dimungkinkan untuk diperbaiki kembali dalam hal
teknis penulisan meskipun setelah tahapan persetujuan bersama. Selain daripada itu, pasal dalam
revisi UU P3 nampak jelas hanya ingin melegitimasi kesalahan yang terjadi dalam prosedur
pembentukan omnibus cipta kerja yang ketika itu pembuat Undang-Undang masih saja
mengubah pasal setelah persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah.
Selanjutnya ialah mengenai penambahan frasa “terdampak langsung” pada pasal 96 ayat
3 sebagai prasyarat yang melekat pada hak memberi masukan justru dapat memunculkan
masalah baru. Pengaturan pasal tersebut terkesan menciptakan kriteria yang kabur serta
berpotensi menyempitkan ruang partisipasi publik. Keberadaan frasa tersebut bisa jadi
bermaksud untuk mempermudah proses partisipasi agar lebih cepat, tetapi hal itu juga bisa hanya
mengindikasikan bahwa RUU yang dibuat justru lebih cenderung untuk mengakomodasi
kepentingan kemudahan teknis-operasional DPR ketimbang kepentingan masyarakat secara luas.
Ditambah lagi dengan pasal 96 ayat 8 yang mencantumkan bahwa “Pembentuk Peraturan
Perundang-Undangan “dapat menjelaskan” kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan
masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1.” Frasa “dapat menjelaskan” tentunya
mengaburkan kewajiban DPR dalam memberikan penjelasan atau jawaban yang disampaikan
oleh publik. Hal ini tentu sarat dengan pengurangan partisipasi bermakna atau meaningful
participation sebagaimana perintah putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 UU Cipta Kerja
pada halaman 393 yang mengatakan bahwa selain hak untuk didengar pendapatnya dan juga hak
untuk dipertimbangkan pendapatnya, lebih jauh publik berhak untuk mendapat penjelasan atau
jawaban atas pendapat yang diberikan.
Jika kita mengaitkan pasal yang dimaksud di atas dengan putusan MK Nomor 91/PUU-
XVIII/2020 UU Cipta Kerja yang kurang lebih mengatakan bahwa UU Cipta Kerja melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan, melanggar berbagai asas, melanggar mekanisme
pembentukan karena metode omnibus belum di atur dalam sistem pembentukan perundang-
undangan juga perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh DPR pasca disetujuinya Undang-
Undang, maka sangat erat kaitannya antara Omnibus Cipta Kerja dan revisi UU P3. Oleh
karena itu, konklusi yang mungkin lebih tepat bahwa niat dibalik revisi UU P3 tidak lain hanya
sekedar ingin melegitimasi UU Cipta Kerja. Alih-alih melakukan perbaikan terhadap UU Cipta
Kerja dan melaksanakan putusan MK, justru DPR dan Pemerintah mengambil jalan pintas
dengan cara revisi UU P3 yang tentunya tidak akan menjawab persoalan melainkan hanya
menambah masalah.
Masalah Yang Seharusnya Terjawab
Setidaknya ada lima masalah dalam tata kelola regulasi di Indonesia yang mencakup: (1)
perencanaan legislasi yang tidak sinkron dengan perencanaan pembangunan; (2) materi muatan
yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan; (3) adanya kondisi hiper-regulasi; (4) masih
lemahnya pelaksanaan monitoring dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan
perundang-undangan; dan (5) kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang
bekerja parsial.
Jika Pemerintah dan DPR istiqomah dalam jalan yang lurus untuk melakukan reformasi
regulasi, maka seharusnya revisi UU P3 harusnya menjawab setidaknya masalah di atas. Dari
kelima permasalahan tersebut, pemerintah dan DPR terkesan hanya berfokus pada persoalan
hiper-regulasi, yang seolah-olah dapat diselesaikan dengan ketentuan tambahan tentang metode
omnibus. Apakah salah jika kita memasukkan metode omnibus dalam pedoman pembentukan
undang-undang ? Tentu tidak, sebagai suatu metode tentu omnibus law adalah suatu pilihan. Hal
ini juga diamini oleh MK jika kita melihat putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 UU Cipta
Kerja pada halaman 413-414 (3.20.3) yang mencantumkan bahwa “Dengan pertimbangan
hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan
hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan
414 menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.” Secara
implisit mengisyaratkan bahwa MK sepakat dan menyetujui metode omnibus law dimasukkan
sebagai salah satu sistem pembentukan undang-undang.
Sebagai suatu metode tentu Omnibus Law memiliki berbagai kelebihan disamping
kekurangan. Di antara keuntungan jika kita menggunakan metode omnibus dalam membuat
suatu RUU yaitu: (1) proses legislasi lebih cepat; (2) menghemat biaya penyusunan dan
pembahasan; (3) memudahkan harmonisasi peraturan. Jika memang perlu untuk memasukkan
metode Omnibus Law dalam sistem pembentukan peraturan Undang-Undang, maka selain
keharusan kesesuaiannya dengan UUD 1945 maupun kesesuaiannya dengan UU 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU 15/2019, yang patut juga untuk menjadi
acuan ialah: (1). Omnibus law seharusnya mengatur topik-topik yang berkaitan saja (interrelated
topics) yang tentunya berbeda dengan omnibus Cipta Kerja yang membahas berbagai topik
didalamnya. Persyaratan ini digunakan oleh Jerman, Selandia Baru, dan Kanada untuk
membatasi materi muatan omnibus law; (2). Omnibus law harus mengatur satu subjek (single
subject) saja yang tergambarkan dalam judulnya. Persyaratan ini dapat menghindarkan praktik
riders. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat (Arizona dan California), ketentuan yang
tidak bekaitan dengan judul akan di anggap tidak berlaku (void).2
Pertanyaan selanjutnya setelah disahkannya revisi UU P3 ialah apakah dengan revisi
tersebut secara langsung memberikan legitimasi kepada UU Cipta Kerja ? Jika kita mengacu
pada pasal 1 ayat 1 kuhp atau yang biasa disebut dengan asas non-retroaktif, maka hal di atas
tidaklah dibenarkan. Apalagi jika kita mengacu pada putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang
memerintahkan adanya perbaikan dan juga dimuatnya meaningful participation.

Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 UU Cipta Kerja
Article 1 Section 7 The Constitution of United States of America
Jurnal
Juwana dkk. (2020). Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara dan Analisis RUU
Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making. Indonesia Ocean Justice Iniative.

Internet
PSHK. (2022). DPR Gagal Memahami Momentum Reformasi Regulasi dalam Proses Revisi UU
12/2011. Diakses pada 23 Mei 2022, dari https://pshk.or.id/publikasi/dpr-gagal-memahami-
momentum-reformasi-regulasi-dalam-proses-revisi-uu-12-2011/.

Zainal Arifin Mochtar, Legislasi Ugal-Ugalan Demi Omnibus Law UU Cipta Kerja,
https://youtu.be/Xo2_nCfMBC0, diakses 10 Agustus 2022.

2
Biodata Penulis
ADRIANTO ZUL – Lahir di Ujung Pandang, Prov. Sulawesi Selatan.
Penulis merupakan alumni strata 1 pada prodi Jurusan Perbandingan
Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Alauddin
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai