Anda di halaman 1dari 17

KONSEPSI BANGUN GUNA SERAH

DALAM PEMERINTAHAN

OLEH:
MUH. FAWWAZ ABIYYU ABYAN AHKAM
(B021191047)
FARID MAHARDIKA
(B021191060)
AFIF ARBI WIBAWA
(B021191058)

PROGRAM STUDI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
Kerangka Konseptual ......................................................................................................... 3
1. Tinjauan Umum Pengertian Bangun Guna Serah............................................... 3
2. Perbedaan Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna ................................. 4
3. Kontrak Publik Bangun Guna Serah .................................................................... 5
Kerangka Yuridik ............................................................................................................... 5
Keduanya dalam konteks sosialnya................................................................................... 7
BAB II ...................................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 8
a. Status tanah Pemerintah Daerah yang menjadi objek perjanjian Bangun Guna
Serah .................................................................................................................................. 11
b. Perolehan hak atas tanah oleh Perseroan Terbatas yang berasal dari perjanjian
Bangun Guna Serah.......................................................................................................... 14
BAB III................................................................................................................................... 16
POST SCRIPTUM ................................................................................................................ 16
Keunggulan........................................................................................................................ 16
Kekurangan ....................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17
BAB I

PENDAHULUAN
Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian merupakan kaitan atau hubungan antara
gagasan satu dengan gagasan yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep didapatkan dari konsep ilmu/teori yang dipakai sebagai landasan penelitian
(Setiadi, 2013).

1. Tinjauan Umum Pengertian Bangun Guna Serah


Bangun Guna Serah (“Built Operate and Transfer”) adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa guna serah berakhir. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia,
Nomor: 248/KMK.04/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-
Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah
("Built Operate and Transfer") Pasal 1 menyatakan, Bangun Guna Serah ("Built
Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara
pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas
tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa
perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut
kepada pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna serah berakhir.

2. Perbedaan Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang
Pemanfaatan Barang Milik Negara, yang dimaksud dengan Bangun Guna Serah adalah
pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Selanjutnya diserahkan kembali
tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka
waktu (Pasal 1 ayat 15 PMK No.115 Tahun 2020) . Sedangkan definisi Bangun Serah
Guna diartikan sebagai berikut Pemanfaatan BMN berupa tanah oleh Pihak Lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah
selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh Pihak Lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. (Pasal 1 ayat 16 PMK No.115 Tahun
2020). Pembeda antara bangun guna serah dan bangun serah guna menitikberatkan
pada konsep kerjasamanya yang dimana Bangun Guna Serah melakukan penyerahan
hasil kerjasamanya setelah berakhirnya jangka waktu. Sedangkan pada model
kerjasama Bangun Serah Guna, penyerahan hasil kerja sama dilakukan setelah
pembangunan diselesaikan, sehingga waktu pelaksanaannya sebelum jangka waktu
perjanjian berakhir. Pada pembahasan Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna
yang diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020,
menyandingkan keduanya sejajar dalam hal apapun termasuk pemilihan mitra, bentuk
perjanjian, kontribusi tahunan dan lain sebagainya. BGS/BSG barang milik daerah
dilaksanakan dengan pertimbangan:
• Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kepentingan pelayanan
umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
• Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk
penyediaan bangunan dan fasilitas tersebut.
Jangka waktu BGS/BSG paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian
ditandatangani. Jangka waktu BGS/BSG 30 tahun itu hanya berlaku untuk 1 (satu) kali
perjanjian dan tidak dapat dilakukan perpanjangan.

3. Kontrak Publik Bangun Guna Serah


Kontrak publik dalam ranah adminisratif merupakan perwujudan kewajiban
pemerintah dalam melaksanakan fungsi pemerintahan. Kontrak publik adalah
perjanjian yang sebagian atau se-luruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah
satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintahan), misalnya perjan-jian ikatan
dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah. Meskipun istilah kontrak sangat
melekat pada hukum privat namun pada kenyataannya, jika pemerintah membuat
kontrak dengan badan hukum perdata dan kontrak tersebut dilakukan demi pelaksanaan
fungsi pemerintahan, maka kontrak tersebut dapat dikatakan sebagai kontrak
publik.Bangun Guna Serah sebagai bentuk perjanjian umunya dilakukan bersama
pihak investor. Perjanjian Bangun Guna Serah merupakan Bentuk Perjanjian tidak
bernama yang timbul karena adanya penerapan asas Kebebasan Berkontrak
sebagaimana ketentuan pasal 1338 ayat (1) BW. Sehingga para Pihak dapat membuat
bentuk Perjanjian yang dikehendakinya.

Kerangka Yuridik
Skema pembangunan Build Operate Transfer (“BOT”) diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang
Milik Daerah (“Permendagri 19/2016”). Skema pembangunan BOT dalam
Permendagri 19/2016 dikenal dengan istilah Bangun Guna Serah (“BGS”). Ketentuan
Hukum Nasional Indonesia yang mengatur mengenai perjanjian BOT, yang pada
pokoknya didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ”Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, yang kemudian dijabarkan
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok-Pokok
Agraria . Kemudian sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian BOT didasarkan pada
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (van verbintenissen), khususnya Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak berkontrak.
Peraturan yang menjadi dasar dalam Perjanjian BOT meliputi aspek Hukum Perdata,
Hukum Pertanahan (Agraria), dan Hukum Administrasi.
• Dari Aspek Hukum Perdata tercantum dalam ketentuan Buku III BW
tentang Perikatan(van verbintenissen) ketentuan dalam buku III BW
yang dapat dijadikan dasar PerjanjanBOT adalah Pasal 1313-1352 BW.
Sumber Hukum utama dari lahirnya perjanjian BOT adalah Pasal 1338
BW tentang Kebebasan Berkontrak
• Dari aspek Hukum Pertanahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan
Pelaksananya baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Peraturan
Presiden dan Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri yang
membidangi masalah Agraria atau Pertanahan yang pengaturannya
sehubungan dengan Perolehan. Pengelolaan, Penggunaan, Pemindahan
maupun Tanah sebagai objek perjanjian BOT.
• Dari aspek Hukum Administrasi, pengaturan mengenai perjanjian BOT
adalah sangat berkaitan erat dengan pengaturan yang mengatur tentang
barang milik negara/daerah, karena pada umumnya objek perjanjian
BOT adalah Kekayaan negara yang harus dipertanggung jawabkan
dalam pengelolaannya.
Ketentuan mengenai Perjanjian Bangun Guna Serah pertama kali diatur dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dalam pasal 27 PP Nomor 26 Tahun 2006
menegaskan Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah
dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut: a. pengguna barang
memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah
untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi; dan b. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah untuk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.

Keduanya dalam konteks sosialnya


Dalam ranah sosial, pembahasan bangun guna serah dapat dikontekskan
tercipta atas kontrak-kontrak perjanjian yang bersifat privat antar individu dan individu
yang lainnya. Hal ini menghasilkan nalar perjanjian yang tercipta dimasyarakat
sebagaimana normanya, mengadakan kesepakatan atas pengelolaan “tanah” dan
melahirkan perjanjian tidak tertulis yang memiliki dasar kekuatan nilai sosial dan
bukanlah dasar yang berkekuatan hukum. Bangun Guna Serah memiliki ikatan atas
jangka waktu pembangunan yang nantinya, pihak individu pertama atau investor akan
memberikan hasil Kerjasama dalam jangka waktu tertentu kepada individu yang terikat
atas perjanjian. Hal ini haruslah disandarkan atas penggunaan dasar hukum yang kuat.
Maka, negara ada dengan dasar hukum yang kuat, mengatur bahwa sandaran wilayah
negara, merupakan miliki negara yang dimana dapat diolah oleh individu atau badan
tertentu melalui kontrak atau perjanjian dan mengikatkan kepada investor selaku
subjek pengelola sehingga kontrak tersebut memiliki transparansi perjanjian dengan
adanya dasar hukum dan melahirkan kontrak publik pemerintahan.
BAB II

PEMBAHASAN
Konsep Bangun Guna Serah dalam ranah administrasi merupakan konsep
perjanjian publik sebagai bentuk kesepakatan. Kerjasama antara Pemerintah Daerah
dan swasta merupakan terobosan yang bisa dilakukan dalam rangka menunjang
pembangunan daerah. Selain itu, pelibatan swasta dan masyarakat dalam pembangunan
sejalan dengan prinsip tata kepemerintahan yang baik atau good governance yang
dewasa ini telah menjadi trend atau kecenderungan global sebagai model dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Adanya kewenangan daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 194 dan Pasal 195 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (sekarang Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014)
maka dengan melihat keterbatasan Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana untuk
pembangunan infrastruktur dan dalam rangka pendayagunaan barang milik daerah
kususnya barang miik daerah yang berupa tanah perlu dilakukan kerjasama dalm
bentuk Bangun Guna Serah (BGS) atau sering dikenal dengan Build Operate and
Transfer (BOT). Build Operate and Transfer (BOT) adalah perjanjian untuk suatu
proyek yang dibangun oleh pemerintah dan membutuhkan dana yang besar, yang
biasanya pembiayaannya dari pihak swasta. Pemerintah dalam hal ini menyediakan
lahan yang akan digunakan oleh swasta guna membangun proyek. Pihak pemerintah
akan memberikan ijin untuk membangun, mengoperasikan fasilitas dalam jangka
waktu tertentu dan menyerahkan pengelolaannya kepada pembangun proyek (swasta).
Setelah melewati jangka waktu tertentu proyek atau fasiitas tersebut akan menjadi
milik pemerintah selaku pemilik proyek.

Dari penjelasan di atas tentang perjanjain Build, Operate and Transfer (BOT).
Setidaknya terdapat tiga ciri proyek BOT, yaitu1 :

• Pembangunan (Build): pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan


memberikan kuasanya pada pemegang hak (kontraktor) untuk membangun

1
Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate and
Transfer), (Solo: Genta Press) hal.16
sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan
didanai bersama/participating interest). Desain dan spesifikasi bangunan
umumnya merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus
mendapatkan persetujuan dari pemilik proyek.
• Pengoperasian (Operate) : merupakan masa atau tenggang waktu yang
diberikann pemilik proyek pada pemegang hak untuk selama jangka waktu
tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat
ekonominya, bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan
pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini pemilik proyek dapat
juga menikmati sebagai hasil sesuai perjanjian jika ada.
• Penyerahan kembali (Transfer) : pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak
pengelolaan dan fisik proyek pada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai
tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah
ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.

Tanah yang ada diseluruh wilayah Republik Indonesia merupakan kekayaan


nasional. Oleh karena itu, tanah yang ada harus dipergunakan, dilindungi,
dimanfaatkan, diusahakan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun daerah juga perusahaan
swasta ataupun masyarakat, pada umumnya tidak dapat lepas dari keterbutuhan akan
tanah disebabkan kegiatan yang dilakukan olehnya pada umumnya berada diatas tanah.
Tanah yang ada dapat dipergunakan untuk keperluan mendirikan bangunan, contohnya
adalah diatas tanah didirikan bangunan rumah tempat tinggal atau hunian, apartemen,
rumah toko, rumah kantor, rumah sakit, toko, pabrik, hotel, dll. Tanah pula dapat
diusahakan atau dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, perikanan, peternakan, dan
perkebunan.

Kebutuhan akan tanah untuk kepentingan pemerintah pusat dan/atau daerah


juga masyarakat maupun perusahaan swasta pada umumnya terus meningkat setiap
tahunnya seiring dengan berkembangnya pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan
akan tanah untuk pembangunan diperlukan persediaan tanah. Permasalahannya adalah
tanah yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sangat terbatas,
sehinggag dapat terjadi persaingan untuk mendapatkan sebidang tanah. Terbatasnya
persediaan tanah membawa konsekuensi harga tanah terus melambung tinggi dan dapat
menimbulkan sengketa untuk mendapatkan tanah bagi para pihak terkait. Tanah dalam
pengertian yuridis yaitu ha katas tanah dapat dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan
warga negara Indonesia maupun orang asing yang berkedudukan di Indonesia, dan
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Dalam Hukum
Pertanahan Nasional ditetapkan macam-macam status tanah, yaitu hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, dan hak pengelolaan.
Ha katas tanah tersebut ada yang dikuasai oleh perseorangan dan ada yang dikuasai
oleh badan hukum. Salah satu contoh badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia adalah pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota yang dimana dapat memiliki mempunyai kekayaan berupa hak atas
tanah. Hak atas tanah diperlukan dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi
pemerintahan.

Tanah yang dikuasai oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah


kabupaten/kota ada yang masih berupa tanah kosong. Tanah yang berupa tanah kosong
tersebut tidak memiliki nilai ekonomis atau nilai ekonomis tersebut tergolong dalam
kualitas rendah. Maka, agar tanah kosong tersebut memiliki nilai ekonomis, pemerintah
dapat mendayagunakan atau mengoptimalkan tanah kosong ini dalam bentuk
melaksanakan kerjasama dengan perusahaan swasta. Kerjasama antar pemerintah dan
perusahaan swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) untuk mempergunakan
tanah yang dikuasai oleh pemerintah dalam bentuk perjanjian Bangun Guna Serah.
Melalui perjanjian tersebut, maka tanah kosong yang tidak bernilai dapat dijalankan
dan diusahakan melalui pembangunan yang dilakukan dengan berdasar pada perjanjian
BGS.

Dalam ranah Bangun Guna Serah terkhusus pada kontekstualitas pertanahan,


dengan adanya nalar pembahasan pada poin pembahasan awal, hal ini memunculkan
dua pertanyaan besar yaitu bagaimana status tanah yang menjadi objek perjanjian
Bangun Guna Serah dan bagaimana perolehan hak atas tanah oleh Perseroan Terbatas
yang berasal dari perjanjian Bangun Guna Serah.

a. Status tanah Pemerintah Daerah yang menjadi objek perjanjian Bangun


Guna Serah, hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 50 ayat (2) UUPA
menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, dan hak sewa Untuk bangunan diatur dengan peraturan
perundangan.2 Peraturan perundangan yang dimaksudkan oleh Pasal 50 ayat (2)
UUPA, adalah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak atas tanah diatur
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar hak menguasai
negara, ditentukan bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, serta badan-badan hukum.3 Hak atas
permukaan bumi juga disebut hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain yang berasal dari warga negara Indonesia atau orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia. UUPA tidak memberikan pengertian apa
yang dimaksud dengan hak atas tanah. Menurut Urip Santoso, hak atas tanah
adalah hak yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki. Perkataan
“menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk

2
Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
3
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat”
mengandung pengertian bahwa hak atas tanah untuk kepentingan pertanian,
perikanan, peternakan, dan perkebunan.4 Hak atas tanah yang disebutkan dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA dijabarkan macam haknya dalam Pasal 16 ayat (1)
UUPA dan Pasal 53 ayat (1) UUPA. Sri Hajati menyatakan bahwa macam-
macam hak atas tanah berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama, hak atas tanah yang bersifat tetap,
macam haknya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil
hutan; Kedua, hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang; dan
Ketiga, hak atas tanah yang bersifat sementara, macam haknya adalah hak
gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.5
Pasal 4 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh bumi, air, dan ruang yang ada di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA.6 Pemegang hak atas tanah tidak
hanya berwenang mempergunakan tanah untuk kepentingan mendirikan
bangunan atau kepentingan pertanian, juga mempunyai wewenang
mempergunakan tubuh bumi (di bawah permukaan bumi), air, dan ruang yang
ada di atas tanah sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu.
Yang dapat mempunyai hak atas tanah, dikenal dengan sebutan subjek
hak atas tanah sebagai subjek hukum. Pengertian subjek hukum menurut R.
Soeroso, adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk

4
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Kencana Prenada Media, Jakarta, hlm. 84.
5
Sri Hajati, “Retrukturisasi Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pembaruan Hukum Agraria Nasional”,
Pidato, Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Universitas Airlangga, Surabaya, 5 Maret 2005.
6
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043).
melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk
bertindak dalam hukum, sesuatu pendukung hak yang menurut hukum
berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak, dan segala sesuatu
yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.7 Subjek hak atas tanah
adalah perseorangan dan badan hukum. Secara terperinci, subjek hak atas tanah
adalah warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
lembaga negara, departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintahan desa, badan otoritas, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia, Perseroan Terbatas, perwakilan negara
asing, perwakilan badan internasional, badan keagamaan, dan badan sosial.
Dalam peraturan perundang-undangan ditetapkan bahwa hak atas tanah yang
dapat dikuasai oleh pemerintah kabupaten/kota, adalah:
• Hak Pakai
Pengertian Hak Pakai disebutkan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA, yaitu:
“Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”. Pasal 42 UUPA menetapkan bahwa
yang dapat mempunyai hak pakai, adalah:
(a) Warga Negara Indonesia;
(b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
(c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia;

7
R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 228.
(d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.8
• Hak Pengelolaan
Istilah hak pengelolaan tidak disebutkan dalam UUPA, UUPA hanya
menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA,
yaitu: “Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang
atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,
misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, atau
memberikannya dalam pengelolaan (garis bawah penulis) kepada sesuatu badan
penguasa (departemen, jawatan atau daerah swatantra) untuk digunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing- masing”.9
b. Perolehan hak atas tanah oleh Perseroan Terbatas yang berasal dari
perjanjian Bangun Guna Serah, Tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah
dapat dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, atau dapat
dipergunakan oleh pihak lain atas persetujuan dari pemerintah daerah.
Penggunaan tanah pemerintah daerah oleh pihak lain dapat disebabkan oleh
ketiadaan atau keterbatasan dana yang ada pada Pemerintah kabupaten/kota.
Untuk lebih mengoptimalkan dalam penggunaan tanah, pemerintah
kabupaten/kota membuat perjanjian kerjasama dengan perusahaan swasta
dalam bentuk Perjanjian Banguna Guna Serah. Dalam Perjanjian Banguna
Guna Serah disini, perusahaan swasta mendapatkan persetujuan dari
pemerintah kabupaten/kota untuk mempergunakan tanah pemerintah
kabupaten/kota guna didirikan bangunan gedung.
Bangun guna serah merupakan salah satu bentuk pengelolaan barang
milik negara/daerah yang berupa pemanfaatan, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2006 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2008. Macam pemanfaatan barang milik negara/ daerah selain

8
Pasal 49 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
9
Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043).
bangun guna serah, adalah persewaan, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan,
dan bangun serah guna.
Prosedur perolehan hak atas tanah oleh Perseroan Terbatas yang berasal
dari Perjanjian Bangun Guna Serah dengan Pemerintah Daerah, adalah:
• Pembuatan Perjanjian Banguna Guna Serah atau Build, Operate, and
Transfer (BOT).
• Penerbitan surat rekomendasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
• Permohonan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan oleh Perseroan Terbatas.
• Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).
• Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
BAB III

POST SCRIPTUM
Keunggulan
Keunggulan yang dimiliki dengan adanya perjanjian BGS ini yang terutama yaitu
dengan adanya kontrak publik tersebut, maka dapat memberikan kecukupan
infrastruktur yang diperlukan public terutama negara-negara berkembang, pemenuhan
dana untuk membangun infrastruktur tersebut, dan menjadi salah satu solusi bagi
pemerintah untuk mendanai infrastruktur tanpa melalui peminjaman pada organisasi-
organisasi keuangan seperti IMF. Keunggulan yan lain pula yaitu dari sistem Bangun
Guna Serah (Build, Operate and Transfer-BOT) ini selain pemerintah dapat
memperoleh prasarana dan sarana kerja yang dibutuhkan tanpa menyediakan anggaran,
juga selama masa pengoperasian oleh pihak ketiga pemerintah memperoleh masukan
berupa uang yang disetor ke Kas Negara, sedangkan tanahnya menjadi aset negara dan
terakhir setelah jangka waktu BGS diserahkan kepada pemerintah sehingga aset
menjadi lebih besar, yaitu berupa tanah, bangunan, dan prasarana pelengkap.
Pemerintah Daerah yang semula tidak mempunyai anggaran untuk membangun pada
akhirnya dapat memiliki bangunan yang dapat dioperasikan untuk memperoleh
keuntungan. Sebaliknya bagi investor yang semula hanya memiliki anggaran yang
sangat terbatas, dapat mendirikan bangunan komersial tanpa harus membeli lahan
terebih dahulu.

Kekurangan
Dalam perjanjian Bangun Guna Serah ini, hal yang dapat dianalisis dan dapat dianggap
sebagai kekurangan yaitu, dalam beberapa perjanjian BGS sangat minim untuk
menyatakan pula ketentuan khusus dalam muatannya mengenai tanggungjawab sosial
dari pihak investor terhadap kepentingan masyarakat daerah misalnya dengan
mencantumkan hal tersebut atau ketentuan khusus tentang tenaga kerja lokal sebagai
eksekutor dan ketentuan khusus kepada investor terkhusu pada pemeliharaan
lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, B. (2008). Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build
Operate and Transfer). Solo: Genta Press.

Santoso, U (2012), Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Kencana Prenada Media,


Jakarta, hlm. 84.
R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 228.
Peraturan

Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
Pasal 49 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan.
Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).

Anda mungkin juga menyukai