DAFTAR ISI.............................................................................................................................1
BAB IPENDAHULUAN..........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................................7
A. HAK – HAK DAN KEWAJIBAN PEMILIK TANAH DAN INVESTOR.............7
B. BENTUK PERLINDUNGAN INVESTOR.................................................................7
C . TEORI BUILD OPERATE TRANSFER (BOT).........................................................8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kontrak di dalam dunia bisnis merupakan sebuah keharusan, kontrak yang mengatur
hubungan hukum bagi pelaku bisnis penting untuk menjaga keberlangsungan transaksi serta
terlaksananya prestasi yang telah dijanjikan. Bahkan lebih jauh dapat dipahami, kontrak
bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan/ hak dasar bagi para pihak.
Kontrak perjanjian dengan melibatkan peran serta swasta dalam penyelenggaraan
pelayanan publik (public private partnership) mengemuka cukup kuat pada beberapa tahun
terakhir. Gagasan pemberian peran yang lebih besar pada swasta ini dilatarbelakangi
semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal
194 dan Pasal 195, telah membuka kesempatan bagi Pemerintah daerah untuk melakukan
kerja sama dengan berbagai pihak, baik Pemerintah Daerah lain maupun Pihak Ketiga yaitu
Departemen/Lembaga Non Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan
hukum, BUMN, BLMD, koperasi, yayasan dan lembaga lainnya di dalam negeri yang
berbadan hukum.
Adanya kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 194 dan Pasal 195 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dengan melihat keterbatasan Pemerintah Daerah dalam
penyediaan dana untuk membangun infrastruktur dan dalam rangka pendayagunaan barang
milik daerah khususnya barang milik daerah yang berupa tanah perlu dilakukan kerja sama
dalam bentuk Bangun Guna Serah (BGS) atau sering dikenal dengan Build Operate and
Transfer (BOT). Didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang
pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah menyatakan bahwa dalam pengelolaan
Barang Milik Daerah, Pemerintah Daerah dapat mengembangkan beberapa pola kerja sama
dengan pihak swasta dengan 2 model.
1. Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer) adalah pemanfaatan barang milik daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka walctu
tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali beserta bangunan
dadatau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
2. Bangun Serah Guna (Build Transfer Operate) adalah pemanfaatan Barang Milik daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didaya gunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati,
Selain itu definisi Bangun Guna Serah atau build operate transfer adalah bentuk kerja sama
yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT) dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah Perjanjian masa guna serah berakhir.
Build Operate and Transfer atau yang lebih dikenal dengan BOT merupakan perjanjian
untuk pemakaian tanah dalam sektor privat. BOT merupakan perwujudan dari pelaksanaan
asas pemisahan horisontal dalam Hukum Tanah Nasional, dimana hukum membedakan
kepemilikan antara tanah dan benda yang ada di atas tanah. BOT dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif pembiayaan proyek pembangunan, yang dapat disebabkan karena
keterbatasan lahan maupun dana. Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam perjanjian BOT
antara lain adalah: investor sebagai pemilik dana, pihak masyarakat yang memiliki tanah
(biasanya tanah tersebut letaknya cukup strategis), pemerintah, dan juga pemegang hak
ulayat. BOT tidak hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan
juga BUMN atau BUMD sebagai pemegang hak atas tanah, tetapi juga dapat dilakukan oleh
masyarakat.
Perjanjian pada prinsip BOT atau lazim juga disebut dengan “Bangun Guna Serah”
merupakan salah satu penjarjian baru pada KUHPerdata, tetapi syarat-syarat perjanjian
haruslah bertumpu pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Adanya objek
4. Adanya kausa yang halal
Perjanjian BOT adalah suatu bentuk perjanjian campuran dengan karakteristik sebagai
berikut:
1. Perjanjian terjadi antara satu pihak yang mempunyai modal tetapi tidak mempunyai
tanah.
2. Investor yang bersangkutan dapat membangun bangunan usahanya di atas tanah pihak
yang satu dan mengoprasionalkan usaha di atas bangunan sendiri, dan memberi
keuntungan kepada pihak pemilik tanah.
3. Setelah jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian habis, maka tanah objek
perjanjian dikembalikan kepada pemiliknya, dan bangunan yang didirikan oleh
investor dihibahkan kepada pemilik tanah.
Ketentuan Hukum Nasional Indonesia yang mengatur mengenai perjanjian BOT, secara
umum didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian
dijabarkan dalam UUPA. Kemudian sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian BOT juga
didasarkan pada Buku III KUH Perdata (KUHPer) tentang Perikatan (van verbintenissen),
khususnya Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dikenal sebagai asas kebebasan
berkontrak.
Ketentuan mengenai BOT dalam hal pemegang hak atas tanah adalah Pemerintah atau
Pemerintah Daerah mengacu pada Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Milik Daerah. Tanah dalam hal ini merupakan aset milik pemerintah,
namun dikarenakan pemerintah tidak memiliki dana untuk pembangunan, maka dapat
dilakukan kerjasama dengan swasta melalui kerja sama BOT. Dalam ketentuan Permendagri
tersebut terdapat dua istilah berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian terkait dengan
pemakaian tanah, yaitu Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG). BGS
adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya
diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka waktu. BSG adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah
selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati.
Kerja sama dengan menggunakan konstruksi perjanjian BOT ini tidak hanya dapat
dilakukan oleh Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah sebagai pemegang hak atas tanah,
tetapi juga oleh masyarakat. Ketentuan mengenai hal terkait perbedaan antara pemilik tanah
dan pemilik bangunan yang berdiri di atas tanah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung. Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 35 menentukan bahwa dalam hal
pembangunan gedung, maka diperlukan pemenuhan syarat-syarat administratif salah satunya
berupa izin pemanfaatan pemegang hak atas tanah. Izin pemanfaatan pada prinsipnya
merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas
tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. Hal ini dikarenakan pembangunan
bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
Syarat pembangunan dalam konteks yang demikian diharuskan adanya perjanjian tertulis
antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
Oleh karena perjanjian BOT memungkinkan berbagai pihak untuk dapat bertindak sebagai
penyedia tanah dalam rangka pembangunan, maka lama perjanjian tersebut tetap harus
memperhatikan siapa subjek pemegang hak atas tanah dan batasan-batasan apa yang diatur
pada setiap subjek pemegang hak dan hak apa yang dimiliki, apakah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak Pengelolaan. Kerja sama pembangunan dengan sistem
BOT ini memungkinkan masyarakat pemilik hak atas tanah tidak perlu menjual dan
melepaskan hak atas tanahnya jika pihak swasta ingin mendirikan bangunan ataupun
prasarana untuk kepentingan bisnis. Meskipun demikian, prinsip BOT ini tidak sama dengan
prinsip sewa tanah. Dengan sistem ini, masyarakat pemilik tanah tidak hanya tidak
kehilangan hak atas tanah yang dimilikinya, tetapi juga ia dapat menjadi investor dalam
pembangunan tersebut, asalkan semua di perjanjikan secara win-win solution. Saat perjanjian
telah selesai, pemilik tanah tetap memperoleh kembali tanah miliknya sekaligus menerima
bangunan atau prasarana yang telah dibangun tersebut.
Adapun alasan mendasar pemilihan topik penerapan asas keseimbangan antara kepentingan
pemilik tanah dan investor dalam pembangunan dengan pola BOT adalah melihat
pertumbuhan bangunan yang pesat dimana pembangunan infrastruktur merupakan tanggung
jawab Pemerintah Daerah. Perjanjian pembangunan dan pengelolaan sisi tersebut haruslah
memuat Prinsip BOT yang diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak. Karena
dalam dunia bisnis, investor atau para pelaku bisnis sangatlah lihai dalam berbisnis dan
cenderung untuk menguntungkan dirinya sendiri, prinsip BOT yang ada di dalam perjanjian
kerja sama juga termasuk hal yang baru maka untuk menghindari kerugian pada
pemerintahan daerah.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah perlindungan hak-hak dan kewajiban pemilik tanah dan investor dalam
pembangunan dengan pola BOT?
Bagaimanakah bentuk perlindungan investor dalam pembangunan dengan pola BOT?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Build, Operate, and Transfer (BOT) sebagai bentuk perjanjian yang diadakan oleh
kebijakan pemerintah dengan pihak swasta adalah sebagai perbuatan hukum oleh badan
atau pejabat administrasi negara yang membuat kebijakan publik sebagai obyek
perjanjian. meskipun yang melekat dalam dirinya adalah sebagai pejabat badan atau
publik, namun perbuatan hukum pemerintah dalam melaksanakan hubungan kontrak
dengan pihak lain (swasta) tidak diatur oleh hukum publik, melainkan hukum privat.
Secara garis besar, model kontrak konstruksi BOT merupakan model kontrak yang
melibatkan dua pihak yaitu pengguna jasa (pada umumnya pemerintah) dan penyedia jasa
(pihak swasta/investor). Pengguna jasa memberikan kewenangan kepada penyedia jasa
untuk membangun infrastruktur dan mengoperasikannya dalam kurun waktu tertentu
(disebut juga masa konsesi) dan penyedia jasa akan menyerahkan kepada pengguna jasa
infrastruktur tersebut apabila masa konsesi sudah berakhir.
Pola kerja sama BOT banyak diterapkan dalam pembangunan infrastruktur yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai hal dilakukan pemerintah, termasuk
dalam menentukan model kontrak yang akan digunakan adalah bagian dari kebijakan.
Apabila pola BOT dipilih sebagai bentuk kerja sama, maka diperlukan pengetahuan
yang memadai bagi aparat pemerintah pusat atau daerah untuk melaksanakannya.
pelaksanaan yang keliru dapat membawa kerugian bagi pemerintah, masyarakat,
termasuk investor
BOT hadir untuk menanggulangi penguasaan tanah seluas-luasnya oleh investor
sekaligus untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah. Karena dalam prrinsip BOT
terdapat Asas Keseimbangan yang berarti kedudukan kedua belah pihak dalam perjanjian
adalah sama, tidak ada pihak yang mendominasi pihak yang lain. Hal ini berjalan lurus
dengan salah satu prinsip hukum bisnis yaitu prinsip keadilan dan prinsip saling
menguntungkan.
Hal ini dianggap sangat perlu untuk dibakukan menjadi perjanjian kerja sama yang
dapat menguntungkan kedua belah pihak yaitu pihak pemerintah daerah dan investor.
Karena dalam perjanjian kerja sama maka akan timbul hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi oleh kedua belah pihak yang mengikatkan diri. seperti halnya pada Pasal
131KUHPerdata bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pristiwa ini, timbullah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
BAB 3
PEMBAHASAN
http://repository.umsu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1760/Pelaksanaan%20Perjanjian
%20Kerjasama%20Build%20Operate%20And%20Transfer%20%28Bot%29%20Dalam
%20Pembangunan%20Dan%20Pengelolaan%20Lapangan%20Merdeka%20Sebagai
%20Tempat%20Usaha%20%28Studi%20Di%20Pemerintah%20Kota%20Medan%29.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/download/42447/37479
https://lampung.bpk.go.id/wp-content/uploads/2017/08/
tulisan_hukum_BOT_Pwk_Lampung_rev.pdf
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/31/pemilik-tanah-dan-pelaksanaan-pembangunan-
melalui-perjanjian-bot/