Anda di halaman 1dari 4

Apa Sih Perbedaan Konsesi,

Kontrak Karya, dan Perizinan di


Pertambangan?
Sistem konsesi di Indonesia kali pertama diperkenalkan pada masa penjajahan kolonial
berdasarkan konsep hukum perdata Barat yang diatur dalam Burgirljk Wetboek (BW) yang
dibawa oleh Belanda. Di bawah undang-undang Indische Mijnwet 1899, seluruh kerjasama
pertambangan diberikan dalam bentuk konsesi kepada warga negara Belanda dan asing
sekutunya untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan bahan galian Indonesia.
Berdasarkan UU tersebut, pemegang konsesi memiliki kewenangan yang sangat luas,
meliputi kewenangan publik, seperti mendirikan lapangan terbang, pelabuhan laut,
sarana transportasi sendiri, serta hak kepemilikan atas hasil pertambangan dan hak atas
tanah di atas permukaan. Hal ini menjadikan pemilik hak konsesi dapat dengan bebas
melokalisasi areanya dengan semua kebijakan yang bersumber langsung dari pemegang
konsesi.

Ketentuan Nomor 20 pada Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang administrasi


pemerintahan telah memberikan suatu definisi konsesi yang diartikan sebagai keputusan
pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan
badan dan/atau pejabat pemerintahan dengan selain badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan
pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jauh
sebelum adanya UU tersebut, konsesi sendiri telah termasuk dalam ranah hukum
administrasi negara sebagai perizinan yang bersifat publik.

Prof. R. Subekti, S.H. (1971) mengartikan konsesi sebagai suatu izin dari pemerintah untuk
membuka tanah dan menjalankan suatu usaha di atasnya, membuka jalan, menambang
dan seterusnya. Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan
dasar pokok-pokok agraria, hak konsesi dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan
(HGB).

Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo (1981) mendefinisikan konsesi sebagai suatu penetapan
administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat
dispensasi, izin, -lisensi disertai dengan pemberian wewenang pemerintah terbatas
kepada pemegang konsesi (konsesionaris).
Sistem konsesi ini lebih disukai oleh investor asing karena adanya sifat kepemilikan hak
pengusahaan dan pengelolaan bahan galian di dalamnya serta kecilnya ruang yang
diberikan kepada negara untuk mengontrol kegiatan mereka. Beberapa contoh negara
tambang yang menerapkan sistem konsesi ini dalam pengusahaan dan pengelolaan
kekayaan negara mereka, seperti Australia, Peru, Kanada, Brasil, Cile, Meksiko, Amerika
Serikat, dan Rusia

Adapun Sistem kontrak kali pertama diperkenalkan pada masa Orde Baru melalui
penerbitan UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
Dalam pasal 10 UU No. 11 Tahun 1967 disebutkan kontrak sebagai perjanjian karya,
tetapi dalam praktiknya, istilah kontrak karya (KK) lebih umum digunakan. Kontrak karya
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, contract of work (CoW). Dalam hukum
Australia, istilah kontrak karya disebutkan sebagai indenture, franchise agreement, state
agreement. atau government agreement. Dalam sistem kontrak dalam pertambangan,
kontrak karya disebut sebagai innominate contracts karena belum diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata.

Dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Pertambangan dan Energi No.


1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa
Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara, kontrak karya diartikan sebagai perjanjian antara pemerintah
Republik Indonesia dan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dan nasional
untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada UU No. 1 Tahun 1967 tentang
penanaman modal asing serta UU No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pertambangan.

Definisi lain kontrak karya dapat ditemukan dalam Kepmen No. 1614 Tahun 2004 tentang
Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Pasal 1 angka 1. Kontrak
karya dinyatakan sebagai perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan
berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan
usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi,
radioaktif, dan batubara. Berdasarkan definisi ini, subjek dalam kontrak karya adalah
Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia. Idealnya, badan hukum Indonesia
mendapatkan modal dari swasta asing hingga 95% dan bermitra dengan swasta dalam
negeri dengan setoran modal minimal 5% partisipasi.

Posisi sejajar pemerintah (sebagai de iure gesiones) dan kontraktor dalam kontrak dapat
membuat salah satu pihak melakukan gugatan terhadap pihak lain atas nama
pelanggaran kontrak (breach of contract). Namun, apabila pemerintah memperhatikan
kapasitasnya sebagai penguasa (de iure imperi), pemerintah memiliki kewenangan dan
kekebalan hukum berdasarkan prinsip state immunity dan acr of state doctrine. Dalam
prinsip sebagai penguasa, pemerintah berhak untuk menghentikan secara pihak
perjanjian kerja sama dalam rangka melindungi hak-hak adat, mengutamakan hak asasi
manusia dan lingkungan, serta tak sejalan dengan hukum yang berlaku.

Bagi investor, sistem kontrak sangatlah diminati karena memberikan keuntungan lebih
banyak bagi mereka. Sifat lex specialis atau nail down telah menjadikan kontrak tidak akan
terikat dengan peraturan perundangan yang berlaku setelah kontrak ditandatangani
hingga habis masa berlaku kontrak tersebut melainkan terikat pada setiap hal yang diatur
di dalam kontrak itu sendiri. Dikatakan sebagai lex specialis karena seluruh perjanjian
karya yang dibuat oleh pemerintah dan pihak swasta harus ditandatangani oleh menteri
atas nama Pemerintah Republik Indonesia (Pasal 19) yang telah direkomendasikan oleh
BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI.
Pada peraturan pembentukan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang
diatur dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat (1), setiap undang-undang yang dibuat harus
mendapatkan persetujuan DPR RI. Proses yang sama untuk ketentuan pembentukan KK
melalui presiden dan DPR RI mendorong posisi KK sebagai suatu lex specialis terhadap
undang-undang yang berlaku.

Namun ada yang berpendapat bahwa doktrin lex specialis derogat legi generali hanya
dapat diberlakukan terhadap produk hukum yang sama dengan substansi masalah yang
diatur sama dimana yang satu lebih khusus daripada yang lain, seperti undang-undang
dengan undang-undang dimana satu undang-undang mengatur hal secara umum
sementara undang-undang yang lain mengatur secara khusus. Apabila produk hukum
berbeda sementara yang satu mengatur secara khusus dan yang satu mengatur secara
umum, doktrin lex specialis derogat legi generali tidak dapat diberlakukan. Dengan
demikian, apabila perjanjian yang mengatur suatu hal dan pada saat bersamaan ada
peraturan perundang-undangan mengatur hal yang sama maka doktrin lex specialis
derogat legi generali tidak dapat diberlakukan, sehingga substansi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan hukum, termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akibatnya, perubahan yang dilakukan dalam undang-undang yang menjadi dasar


pengikatan perjanjian karya akan berimbas pada kewajiban kepatuhan setiap pihak dalam
kontrak terhadap perundang-undangan yang baru.

Kepastian hukum dan fiskal yang sangat dibutuhkan oleh investor untuk menjamin
investasi jangka panjang mereka dalam bisnis pertambangan akan terpenuhi, kewajiban-
kewajiban keuangan kepada pemerintah pun akan tetap sesuai dengan isi kontrak. Selain
itu, adanya stabilization clause dalam kontrak telah menambah kekuatan kontrak untuk
tidak diubah dengan sewenang-wenang oleh salah satu pihak tanpa suatu proses yang
dinamakan negosiasi. Keberadaan sistem kontrak ini secara tidak langsung lebih
memberikan stimulus positif bagi dana asing untuk berinvestasi di industri pertambangan
Indonesia sejak masa Orde Baru.

Sedangkan mengenai definisi Perizinan, Prof. Bagir Manan melalui makalahnya tentang
ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan penyelenggaraan hak kemerdekaan
berkumpul ditinjau dari perspektif UUD 1945, menjelaskan terminologi izin yang diartikan
sebagai persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang.

Definisi tersebut mirip dengan terminologi izin yang disampaikan oleh E. Utrecht dalam
buku Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (1957) yang berisikan, pembuat peraturan
umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret.

Selain itu, kententuan nomor 19, Pasal 1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan juga telah memberikan suatu definisi izin sebagai bentuk-bentuk
keputusan tata usaha negara, Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai
wujud persetujuan atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Beberapa negara menerapkan sistem perizinan dalam pelaksanaan pengelolaan


penambangan di negaranya adalah Bostwana, Mozambik, dan China.

Anda mungkin juga menyukai