Anda di halaman 1dari 21

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PERJANJIAN WARALABA

(Analisis Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang


Penyelenggaraan Waralaba)

A. Latar Belakang Masalah

Waralaba atau biasa disebut juga Franchise secara garis besar merupakan
bentuk usaha yang melakukan penjualan paket usaha secara komprehensif dan siap
pakai yang mencakup merek dagang, material dan pengelolaan makanan. Waralaba
pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas
jaringan usaha secara cepat. Adapun pengertian lain dari Waralaba atau Franchise
adalah suatu cara melakukan Kerjasama di bidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih
perusahaan di mana 1 (satu) pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak lain
sebagai franchisee, di mana di dalamnya diatur bahwa pihak franchisor sebagai
pemilik suatu merek terkenal memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan
kegiatan bisnis dari/atas suatu produk barang atau jasa, berdasar dan sesuai dengan
rencana komersil yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilanya dan diperbaharui dari
waktu ke waktu, bai katas dasar hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan
sebaliknya suatu imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan
dengan hal tersebut.1

Pada zaman sekarang ini bisnis Franchise menjadi salah satu usaha yang
menjanjikan untuk dijalani karena Franchise memiliki tingkat resiko kerugian yang
kecil karena franchisee sebagai pelaku usaha kegiatan bisnis dari franchisor tidak
perlu memikirkan tentang bahan-bahan produksi yang diperlukan atau bagaimana
teknik pemasaran untuk mengembangkan usahanya yang kemungkinan besar
memakan banyak biaya. Waralaba asing yang pertama kali mengembangkan
usahanya di Indonesia adalah Kentucky Fried Chicken yaitu pada tahun 1979 dalam
naungan PT. Fast Food Indonesia2 sebelum menjamurnya waralaba-waralaba asing
baik di bidang makanan, pakaian dll seperti yang bisa kita lihat sekarang ini, belum
lagi dengan banyak juga produk-produk local yang melakukan kegiatan perjanjian

1
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005), hal.339
2
M. Fuad, Pengantar Bisnis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 50
Waralaba ini seperti, Es Teler 77 atau bahkan seperti Indomaret yang merupakan
Minimarket yang menjual segala macam barang kebutuhan sehari-hari.

Kata Waralaba pertama muncul dalam peraturan perundang-undangan di dalam


Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil, lalu
meindaklanjuti pasal 27 tersebut muncul Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
1997 Tentang Waralaba dengan tujuan untuk menciptakan tertib usaha,
meningkatkan peran masyarakat luas dalam usaha waralaba khususnya sebagai
penerima waralaba dan pemasok barang/jasa, diikuti dengan dikeluarkanya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/KEP/7/1997
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba yang
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
12/MDAG/PER/3/2006. Franchise di dalam Permendag No. 12 Tahun 2006 ini di
definisikan sebagai perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba
dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan
memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau
ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dengan sejumlah kewajiban
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh
Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.3

Menangapi perjanjian waralaba ini berkembang cukup pesat sehingga


dibutuhkan peraturan yang lebih menciptakan suasana usaha Waralaba yang tertib
maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
Waralaba diikuti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 38/M-
DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, sebagai peraturan
pelaksanaannya. Lalu pada tahun 2019 Waralaba nasional dinilai semakin
berkembang dan kompetitif dengan waralaba asing. Perkembangan dan daya saing
waralaba nasional ini didorong melalui penyempurnaan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, yaitu Peraturan Menteri Peradgangan
Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Dalam Peraturan
Tentang Penyelenggaraan Waralaba ini terdapat kewajiban Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba (STPW) bagi pemberi waralaba, pemberi waralaba lanjutan, penerima

3
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.12 Tahun 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Dalam BAB I Pasal I Ketentuan Umum
waralaba dan penerima waralaba lanjutan. 4 Pengajuan ini dilakukan melalui lembaga
Online Single Submission (OSS). Apabila tidak mendaftarkan SPTW maka pelaku
usaha waralaba akan dikenai sanksi administratif dan atau pencabutan izin usaha
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan tersebut.

Waralaba merupakan bisnis yang berbasis hubungan kontraktual, yaitu


berdasarkan kontrak atau perjanjian antara pemberi waralaba (Franchisor) dengan
penerima waralaba (Franchisee), yang harus jelas bagi kedua belah pihak setelah
mempelajari prospektus yang ditawarkan oleh pemberi waralaba.5 Prospektus
tersebut berisikan mengenai hal-hal yang wajib diberikan oleh pemberi waralaba
kepada pihak penerima waralaba yang kemudian di tandatangani oleh calon
penerima waralaba pada halaman terakhirnya sebagai tanda terima penawaran
waralaba. Prospektus ini kemudian menjadi hal penting khususnya bagi penerima
waralaba internasional agar tidak menjadi korban penipuan pemberi waralaba asing.
Prospektus dalam perjanjian waralaba telah di atur di dalam pasal 1 angka (7)
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Waralaba yang
menyebutkan : “Prospektus Penawaran Waralaba adalah keterangan tertulis dari
Pemberi Waralaba yang paling sedikit menjelaskan tentang identitas, legalitas,
sejarah kegiatan, struktur organisasi, laporan keuangan, jumlah tempat usaha, daftar
Penerima Waralaba, hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba,
serta Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Pemberi Waralaba”6

Kontrak yang dibuat dalam perjanjian harus memerhatikan beberapa asas yang
diatur di dalam KUH Perdata yang berlaku yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsesualisme, asas pacta sun servanda, serta asas beritikad baik. Sementara di
dalam perjanjian waralaba terdapat juga asas-asas selain yang disebutkan dalam
KUH Perdata antara lain:7

a. Asas kemitraan, yang mengharuskan sebuah usaha waralaba diletakkan di


atas dasar kerjasama usaha dengan menggunakan pola hubungan kemitraan,

4
Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
5
Mancuso dan Donald Boroian, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, (Jogjakarta: Dolphin Book, 2006), hal. 185
6
Pasal 1 Angka 7 Peraturan Menteri Perdagangan Menteri Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan
Waralaba
7
Moch Najib Imanullah dan Mohamad Hanapi, Kajian Penerapan Asas-asas Hukum Perjanjian Waralaba
Internasional Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba dan Implikasi Yuridisnya,
FH,UNISBA, Vol.XII No.1, Maret 2010, hal. 5
kemanfaatan, tanggung jawab, kepentingan bersama, saling menghargai
dan menghormati, saling membutuhkan, serta saling menguntungkan.
b. Asas pikul bareng, yaitu risiko dalam usaha waralaba harus dipikul bersama
antara pihak pemberi waralaba dengan penerima waralaba secara
proporsional. Jadi kerugian yang terjadi pada sebuah usaha waralaba tidak
dibenarkan hanya ditanggung pihak penerima waralaba atau pihak pemberi
waralaba saja.
c. Asas informatiplieplicht, yaitu adanya kewajiban bagi pihak pemberi
waralaba untuk memberikan informasi usaha waralabanya secara terbuka,
jelas dan jujur kepada pihak penerima waralaba, serta wajib pula
memberitahukan hal-hal yang menjadi rahasia bisnis waralabanya secara
proporsional kepada pihak penerima waralaba.
d. Asas confidential, merupakan asas yang mewajibkan kepada pihak pemberi
waralaba maupun penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan data
ataupun ketentuan-ketentuan yang termasuk kategori rahasia agar tidak
diketahui pihak luar terutama yang menjadi pesaing bisnis waralaba mereka

Asas merupakan suatu pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian
fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.8 Asas-asas tersebut kemudian
menjadi norma hukum yang mengatur bagaimana perjanjian tersebut dilaksanakan
agar tidak timbul kerugian diantara kedua belah pihak dan menghindari perbuatan
curang yang mungkin di lakukan oleh salah satu pihak yang membuat kesepakatan.

Selain dari kelima asas tersebut terdapat 1 (satu) asas lagi yang menjamin
keseimbangan hak dan kewajiban antara pemberi waralaba (Franchisor) dengan
penerima waralaba (Franchisee) yaitu asas proporsionalitas. Asas proposionalitas
dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban
para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proposionalitas pembagian hak dan
kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik
pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak.9 Asas
proporsionalitas sangat erat kaitanya dengan hak dan kewajiban antara pemberi
waralaba dengan pihak penerima waralaba. Peraturan tentang hak dan kewajiban
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 47
9
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Perkembangan Manusia Modern, (Bandung:
Refika Aditama, 2007), hal. 31
Waralaba, serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba. Asas proporsional menekankan kepada proporsi
pembagian hak dan kewajiban bagi para pihak, hal ini diperlukan agar tidak terjadi
posisi yang dominan dari pihak pemberi waralaba atau terjadi kejadian wanprestasi
dari pihak penerima waralaba.

Agus Yudha Hernoko memberikan kriteria yang dapat dijadikan pedoman


untuk menemukan asas proporsionalitas dalam kontrak:10

a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang


memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang
sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil
bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan
pada posisi para pihak yang mengandaikan :kesetaraan kedudukan dan
hak (equitability) (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak);
b. Berlandaskan pada kesaman/kesteraan hak tersebut maka kontrak yang
bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh
kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil
dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan);
c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
mampu menjamin pelaksanan hak dan sekaligus mendistribusikan
kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digaris bawahi
bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu
mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini
dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka
prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak
harus mengacu pada pertukaran yang fair (prinsip distribusi-
proporsional);

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan


dapat mencapai tujuanya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada 2 (dua)
pilihan langkah yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program; atau
melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut
sebagai kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan
10
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), hal. 75
pelaksanaan.11 Penelitian ini pada dasarnya mengkaji peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba. Karena dari identifikasi
di latar belakang penelitian ini diketahui bahwa dari peraturan-peraturan tersebut
tidak ada yang secara eksplisit memuat asas-asas perjanjian salah satunya adalah
asas proporsional dalam perjanjian waralaba, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengindentifikasi asas proporsional yang terkandung dalam peraturan tersebut untuk
menilai apakah perjanjian waralaba tersebut sudah dibuat dengan baik atau belum.

Berdasarkan hal inilah, peneliti tertarik untuk mengkaji dan membahas


permasalahan tersebut dengan judul “PENERAPAN ASAS
PROPORSIONALITAS DALAM PERJANJIAN WARALABA (Analisis
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba)”

B. Identikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan diatas, maka


identifikasi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Sejauh mana penerapan asas proporsionalitas diatur di dalam peraturan


Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan
Waralaba
b. Apakah asas proporsionalitas menjadi hal yang penting dalam pembuatan
perjanjian Waralaba.
c. Akibat hukum apabila perjanjian waralaba tersebut dibuat tanpa adanya asas
proporsionalitas.

2. Pembatasan Masalah

Agar pemasalahan yang ingin peneliti paparkan dan kaji tidak terlalu melebar,
maka pada penulisan skripsi ini rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti yaitu
terkait penerapan asas proporsionalitas yang di analisis di dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019.
11
Rian D. Nugroho, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, (Jakarta :PT.Alex Media Komputindo,
2006), hal. 494
3. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah peneliti identifikasi, maka pada penulisan
skirpsi ini rumusan masalah yang di angkat oleh peneliti yaitu terkait penerapan asas
proporsionalitas yang di analisis di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71
Tahun 2019. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka peneliti buat perumusan
masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

a. Bagimana penerapan asas proporsionalitas dalam pembentukan klausul


perjanjian waralaba?
b. Bagaimana asas proporsionalitas diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 71 Tahun 2019?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah di


paparkan dan di uraikan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh
peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah :

1) Untuk memahami bentuk asas proporsional dalam pembentukan klausul


perjanjian waralaba.
2) Untuk mengetahui seperti apa asas proporsional telah diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019.
3) Untuk menberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum antara pihak-
pihak dalam perjanjian waralaba.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan kontribusi positif bagi pembaca pada umumnya dan bagi
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada khususnya.
b. Dengan penelitian ini diharapkan bagi penulis untuk menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai penerapan asas proporsional dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
c. Memberikan gambaran acuan bagi penelitian yang akan dating sesuai dengan
bidang penelitian.
2. Manfaat Praktis
Dari penelitian ini diharapkan menimbulkan manfaat bagi perkembangan
pengetahuan di bidang hukum, terutama berkaitan dengan asas-asas dalam
perjanjian khususnya asas-asas dalam perjanjian waralaba dan diharapkan dapat
menjadi bahan rujukan apabila terkait dengan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada skripsi, buku maupub
jurnal terdahulu dengan menyamakan dan membedakan apa yang menjadi fokus
masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti munculkan diantaranya :

1. Moch Najib Imanullah dan Mohamad Hanapi dalam jurnalnya yang


berjudul “Kajian Penerapan Asas-Asas Hukum Perjanjian Waralaba
Internasional Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
Tentang Waralaba dan Implikasi Yuridisnya” (Universiti Utara
Malaysia, 2010). Jurnal ini menghasilkan ada asas-asas yang harus termuat
di dalam sebuah perjanjian waralaba yaitu asas keterbukaan informasi, asas
kemitraan, asas kesetaraan hak dan kewajiban, asas “pikul bareng” dan
asas kewajiban menjaga kerahasiaan. Dimana asas-asas tersebut menjadi
dasar dibentuknya perjanjian waralaba terlepas dari asas-asas perjanjian
yang diatur dalam KUH Perdata yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsesualis, asas berlaku sebagai undang-undang. Berdasarkan jurnal ini
beranggapan bahwa asas-asas tersebut harus dituangkan secara jelas dalam
klausul perjanjian yang berkategori klausul transaksional dan klausul
spesifik. Dalam jurnal ini juga menjelaskan bahwa pada Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun Tentang Waralaba dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang Penyelenggaran
Waralaba, telah memuat asas keterbukaan informasi, asas kemitraan, asas
kesetaraan hak dan kewajiban, dan asas kewajiban menjaga kerahasiaan.
Namun asas “pikul bareng” belum teradopsi dalam peraturan tersebut.
Permuatan asas-asas tersebut tidak disebutkan secara jelas dan tegas, tetapi
diformulasikan secara implisit dalam pasal-pasal, penjelasan dan lampiran-
lampiranya. Selain itu, implikasi terhadap tidak adanya asas-asas perjanjian
waralaba, maka perjanjian tersebut dapat batal karena hukum, dapat
dibatalkan, tidak memiliki daya mengikat dan tidak memenuhi rasa
keadilan.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah selain memposisikan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 sebagai sumber data
utama, penulis juga hanya memfokuskan bahasan kepada asas proporsional
dibandingkan dengan jurnal tersebut yang menyajikan banyak asas, mulai
dari asas-asas perjanjian yang aturanya terakomodir dalam KUH Perdata
dan juga asas-asas yang tertera dalam perjanjian waralaba menurut Moch
Najib Imanullah dan Mohamad Hanapi dalam jurnal ini.
2. Agus Yudha Hernoko dalam disertasinya yang berjudul “Asas
Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran Hak dan Kewajiban
Para Pihak Dalam Kontrak Komersial” (Univesitas Airlangga, 2016).
Disertasi ini menitikberatkan asas proporsional sebagai landasan pertukaran
hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak komersial. Dalam disertasi
menerangkan bahwa dalam menilai hubungan kontraktual, khususnya
kontrak bisnis komersial, tidak dapat dipergunakan kriteria pembagian hak
dan kewajiban menurut keseimbangan matematis. Asas proporsionalitas
membuka peluang adanya ketidakseimbangan posisi dengan syarat
pertukaran prestasi berlangsung secara fair dan proporsional. Asas
proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagianya
dalam seluruh proses kontraktual”. Asas proporsional mengandaikan
pembagian hak dan kewajiban yang diwujudkan dalam seluruh proses
hubungan kontraktual baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak
maupun pelaksanan kontrak (pre-contractual, contractual, post contractual).
Asas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan
kepentingan para pihak atau menjaga kelangsungan hubungan agar
berlangsung kondusif dan fair. Menurut penulis dalam disertasi ini juga
menilai bahwa asas proporsionalitas seyogyanya dijadikan dasar untuk: (i)
menjamin pertukaran hak dan kewajiban dalam berkontrak, (ii) rambu-
rambu aturan main dalam transaksi bisnis para pihak, dan (iii) sebagai batu
uji atau tolok ukur eksistensi kontrak. Bahkan menurut disertasi ini, apabila
terjadi sengketa mengenai kegagalan pelaksanaan kewajiban kontraktual,
maka hakim harus berpegang pada penerapan asas proporsionalitas dalam
menilai pembagian beban kewajiban para pihak yang berkontrak.
Yang menjadi pembeda skripsi ini dengan disertasi yang menjadi
studi terdahulu milik Agus Yudha Hernoko adalah pada bentuk kontrak
komersialnya. Agus Yudha Hernoko dalam disertasinya menjelaskan asas
proporsional yang menjadi asas dalam perjanjian atau kontrak komersial
secara umum. Sedangakan dalam penelitian ini membahas asas
proporsional dalam kontrak komersial yang lebih spesifik, yaitu pada
kontrak atau perjanjian usaha waralaba.
3. Ida Bagus Alit Yoga Mahaswara dalam tesisnya yang berjudul
“Penjabaran Asas Proporsionalitas Dalam Pembuatan Franchise
Agreement Untuk Mencapai Nilai Kesetaraan Antara Franchisor dan
Franchisee” (Universitas Udayana, 2015). Tesis ini membahas tentang
eksistensi asas proporsionalitas dalam kontrak franchise dimana asas
proporsionalitas dibutuhkan dalam mencapai suatu bentuk keadilan yang
fair dalam hubungan kontraktual. Asas proporsionalitas menunjukan daya
kerjanya dalam tahapan dalam berkontrak sesuai dengan teori momentum
dimulai dari tahap pra kontrak, kontrak dan pelaksanaan kontrak. Dalam
tahapan ini para pihak dimungkinkan untuk bernegoisasi dala menentukan
bentuk klausul yang akan dijalankan. Jadi tahapan-tahapan kontrak ini
sangat penting dalam menunjukan eksistensi asas proporsionalitas. Tesis ini
juga menganalisa cara pencapaian nilai kesetaraan antara franchisor dan
franchisee. Kontrak franchisor memang tidak bisa dinilai secara
“keseimbangan” karena dalam hubungan kepentingan waralaba diperlukan
suatu penilaian objektif yang bukan terletak pada hasil akhir atau jumlah
hak dan kewajiban yang dipenuhi sedangkan yang menjadi objek utama
adalah latar belakang para pihak, keadaan dan hak kekayaan intelektual
yang berada di dalamnya. Jadi, asas proporsionalitas dapat menunjang
kesetaran hak antar para pihak dalam menentukan dan mengatur prestasi
dan kontraprestasi para pihak.
Yang menjadi pembeda skripsi ini dengan tesis milik Ida Bagus Alit
Yoga Mahaswara adalah ada hal lain yang menjadi fokus peneliti dalam
penulisan skripsi ini, yaitu pada eksistensi asas proporsionalitas di dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba. Skripsi ini juga menganalisa apakah di dalam
peraturan Permendag Nomor 71 Tahun 2019 ini terdapat peraturan yang
mengatur adanya asas-asas proporsionalitas demi terciptanya kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptsual


1. Kerangka Teori
a. Teori Keadilan

Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relative, setiap orang tidak
sama, adil menurut satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang
menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan
dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan
sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala di definisikan dan
sepenuhnya di tentukan ole masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari
masyarakat tersebut.12 Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang di dasarkan pada
suatu asas bahwa semua orang sama kedudukanya di muka hukum (equality
before the law). Hakim dalam alasan dan pertimbangan hukumnya harus mampu
mengakomodir segala ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan
dan ketentuan hukum yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai
dasar memutus perkara yang dihadapi.

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan


pemikiran-pemikiranya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu
ketaatan terhadap hukum adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah
keutamaan dan ini bersifat umum. Aristoteles membedakan keadilan menjadi 2
(dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributif
menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus
pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh
anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan
pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang
dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Sehingga dapat
disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan keadilan. Menurut pandagan
12
M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 85.
plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang
dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.13 Keadilan dan hukum
memiliki ikatan yang sangat kuat. Keadilan dipereoleh melalui penegakan hukum.
Hukum menurut Plato adalah hukum positif yang dibuat oleh si pembuat undang-
undang yang maha tahu yaitu negara, Baginya negara adalah satu-satunya sumber
hukum.

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara


yang tertera di dalam sila kelima yaitu keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dalam sila tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan
dalam hidup bersama. Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubunganya manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lainya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan
negara, serta hubungan manusia dengan Tuhanya.

b. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara, dan dilain sisi
bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh
karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga
negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu
dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat,
dan martabat sebagai manusia. Sehingga pengakuan dan perlindungan terhadap
hak tersangka sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan.
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban
untuk melakukan suatu tindakan hukum14. Awal mula dari munculnya teori
perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam.
Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan
yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh

13
Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, (Surabaya: LaksBang Justitia,
2011), hal.58.
14
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm. 102
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah
cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang
diwujudkan melalui hukum dan moral15.

Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari


perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan
yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam
hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya
dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. Menurut
Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-
subyek hukum melalui peraturan perundangundangan yang berlaku dan
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh


pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan
rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.
b) Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan
perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman
tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.

Perlindungan hukum preventif maupun represif merupakan bentuk


perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum atas pemenuhan hak-haknya
untuk mendapatkan perlindungan hukum, dalam bentuk perangkat aturan hukum
dan cara cara tertentu baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif.
Hal tersebut merupakan representasi dari fungsi hukum itu sendiri untuk
memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

2. Kerangka Konseptual
a. Penerapan
15
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2000), hlm. 53
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian penerapan
adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa ahli, penerapan
adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk
mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu
kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.

Menurut J.S Badudu dan Sultan Mohammad Zain, penerapan adalah hal, cara
atau hasil. Adapun menurut Lukman Ali, penerapan adalah mempraktekkan,
memasangkan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penerapan merupakan bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan, atau
mekanisme suatu system. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa
penerapan bukan sekedar aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan
dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk
mencapai tujuan kegiatan.

b. Asas Proporsionalitas

Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas-asas dilaksanakanya


perjanjian yang sering juga diartikan dengan keseimbangan di dalam segala hal,
dalam artian semuanya seimbang secara matematis. Menurut Agus Yudha
Hernoko, asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang
melandasi pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai porsinya atau
bagianya. Asas proporsionaolitas tidak mempermasalahkan keseimbangan
(kesamaan) hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan
kewajiban di antara para pihak..16

Pada dasarnya proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan


berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam
beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas proporsionalitas bermakna
sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para
pihak sesuai proporsi atau bagianya dalam seluruh proses kontraktual. Asas
proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para
pihak.

c. Waralaba

16
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2009), hal 31.
Kata Franchise (waralaba) berasal dari Bahasa Prancis yaitu franchir yang
mempunyai arti memberi kebebasan kepada para pihak. Pengertian Franchise
dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu aspek yuridis dan bisnis. Franchise dari segi
yuridis dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, pendapat,
dan pandangan ahli seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
yang mendefinisikan Waralaba sebagai hak khusus yang dimiliki oleh orang-
perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.

Bryce Webster mengemukakan pengertian Franchise dari aspek yuridis


bahwa Franchise adalah lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan
pembayaran tertentu, lisensi yang diberikan itu dapat berupa lisensi paten, merek
perdagangan, merek jasa dan lain-lain yang digunakan untuk tujuan perdagangan
tersebut diatas. British Franchise Association (BFA) mendefinisikan Franchise
sebagai berikut: Franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh suatu
pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang:

1) Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode franchise


berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik franchisor.
2) Franchisor berhak untuk menjalankan control yang berlanjut selama periode
franchise.
3) Mengharuskan franchisor untuk meberikan bantuan oada franchisee dalam
melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek franchisenya (berhubungan
dengan pemberian pelatihan, merchandising atau lainnya).
4) Mewajibkan franchisee untuk secara periodic franchise berlangsung, untuk
membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas franchise atau produk atau
jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
5) Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk (holding company)
dengan cabangnya atau antara cabang dan perusahaan induk yang sam, atau
antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.17

17
Richard Burton Simatupang, Asoek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal.57-58.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan


perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual
approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan


menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani. Berdasarkan pendekatan ini akan dikaji kesesuaian antara
undang-undang satu dengan undang-undang lain untuk mendapatkan argumentasi
yang sesuai. Pendekatan konseptual (conseptual approach) beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam menyelesaikan isu yang
dihadapi.18

2. Jenis Penelitian

Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam


penelitian yang obyeknya permasalahan hukum maka tipe penelitian yang digunakan
adalah penelitian yuridis normatif, maksudnya penelitian ini difokuskan untuk
mengkaji dan menganalisis substansi peraturan perundang-undangan atas pokok
permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang
ada.19

3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang bersifat mengikat karena memiliki otoritas hukum, dalam
penelitian tesis ini terdiri dari:

a) Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)


b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba
c) Peraturan Menteri Nomor 31 Tahun 2008 Tentang Waralaba

18
Herowati Poesoko, Diktat Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (Jember : Fakultas Hukum Universitas
Jember, 2012), hal. 36.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Persada Group, 2010), hal. 35.
d) Permendag RI Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Penerbitan STPUW.
e) Permendag RI Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba
f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum terebut
terdiri atas buku-buku, teks dan jurnal ilmiah. Bahan hukum sekunder yang dapat
dijadikan rujukan adalah bahan hukum yang harus berkaitan dengan pengkajian
dan pemecahan atas isu hukum yang dihadapi.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam hal ini berupa kamus hukum,
internet dan ensiklopedia.20
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpuan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi
kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk
mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan
ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan peraturan perundang-undangan
di berbagai perpustakaan umum dan universitas.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil studi kepustakaan,
yaitu berupa data sekunder yang berasal dari bahan hukum primer dan sekunder.
Oleh karena itu penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif.
Data tersebut diolah dan dianalisis secara data kualitatif yang bersifat yuridis,
yaitu tidak menggunakan angka-angka (tidak menggunakan rumus matematika),
tetapi menggunakan kalimat-kalimat yang merupakan pandangan para ahli,
peraturan perundangundangan, termasuk data yang penulis peroleh di lapangan
yang memberikan gambaran secara rinci mengenai permasalahan.

6. Teknik Penulisan

20
Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Rajawali Press, 2003),
hal. 52.
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitaws Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
H. Rancangan Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan menjelaskan tahap-tahap penulisan pelaporan hasil


penelitian. Skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut
adalah uraian setiap bab:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan secara singkat kenapa penulis memilih judul


penelitian , yang didalamnya terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
studi terdahulu, metode penelitian dan terakhir adalah rancangan
sistematika penilitian.

BAB II KAJIAN TEORITIS

Dalam bab ini, penulis menerangkan tentang perjanjian waralaba dan


pihak-pihak yang melakukan perjanjian waralaba serta asas-asas yang
terkait di dalam perjanjian waralaba seperti asas kemitraan, asas pikul
bareng, asas informatiplielicht, asas confidential dan kemudian asas
proporsional yang kemudian akan lebih di telaah asas tersebut di dalam
skripsi ini.

BAB III PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS PADA


PERJANJIAN WARALABA

Dalam bab ini, menjelaskan tentang eksistensi asas proporsionalitas


dalam hukum kontrak, unsur nilai kesetaraan dalam perjanjian
waralaba, serta fungsi asas proporsionalitas dalam pembuatan kontrak
perjanjian waralaba

BAB IV EKSISTENSI ASAS PROPORSIONALITAS DALAM


PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 71
TAHUN 2019
Dalam bab ini menerangkan tentang kepastian hukum dalam perjanjian
waralaba kaitanya dengan penerapan asas proporsionalitas untuk
menciptakan perlindungan hukum bagi para pihak dan menganalisa
peraturan di dalam Menteri Perdagangan nomor 71 Tahun 2019
Tentang Penyelenggaraan Waralaba yang mengatur tentang asas
proporsionalitas

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian beserta saran-


saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran
lain yang dianggap penting.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011)

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1980)

Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum,


(Surabaya: LaksBang Justitia, 2011)

Herowati Poesoko, Diktat Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (Jember :


Fakultas Hukum Universitas Jember, 2012)

Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Perkembangan Manusia
Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2007)

M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2014)

M. Fuad, Pengantar Bisnis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000)

Mancuso dan Donald Boroian, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, (Jogjakarta: Dolphin
Book, 2006)

Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Persada Group, 2010)

Rian D. Nugroho, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, (Jakarta


:PT.Alex Media Komputindo, 2006)

Richard Burton Simatupang, Asoek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta,
2007)

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2000)


Soerjono Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta, Rajawali Press, 2003)

Jurnal
Moch Najib Imanullah dan Mohamad Hanapi, Kajian Penerapan Asas-asas Hukum
Perjanjian Waralaba Internasional Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
Tentang Waralaba dan Implikasi Yuridisnya, FH,UNISBA, Vol.XII No.1, Maret 2010, hal. 5

Perundang-undangan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.12 Tahun 2006 Tentang


Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Dalam BAB I
Pasal I Ketentuan Umum
Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba

Pasal 1 Angka 7 Peraturan Menteri Perdagangan Menteri Nomor 71 Tahun 2019


Tentang Penyelenggaraan Waralaba

Anda mungkin juga menyukai