Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan dunia usaha global akan mempengaruhi kegiatan

perekonomian di Indonesia dan merupakan salah satu aspek yang harus

diperhatikan pula dalam rangka melakukan aktivitas bisnis. Persaingan yang ketat

menuntut para pelaku bisnis di Indonesia untuk terus berusaha dalam kondisi

perekonomian di negara kita yang belum kembali normal sejak terjadinya krisis

moneter.

Pelaku bisnis di Indonesia didominasi oleh pengusaha kecil dan menengah

yang harus sudah mulai memikirkan nasibnya agar dapat terus bertahan. Salah

satu cara untuk bertahan adalah dengan adanya pola distribusi barang dan jasa

yang baik, sehingga hasil produksi dari pelaku bisnis dapat disalurkan serta

diserap oleh konsumen secara optimal. Oleh karena itu pelaku usaha dituntut

untuk menemukan cara yang efektif dalam rangka memperluas jaringan usaha.

Cara yang dianggap efektif dalam memperluas jaringan usaha saat ini salah

satunya melalui format bisnis Waralaba atau Franchise.1

Bisnis waralaba merupakan cara bisnis yang telah terbukti mampu

meningkatkan akselerasi pengembangan perekonomian dan merupakan sistem

yang tepat bagi terciptanya pemerataan kesempatan berusaha.

1
P. Lindawaty S. Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif
Hukum & Ekono mi, Bandung, Penerbit CV. Utomo, 2004, hlm. 1.

repository.unisba.ac.id
2

Saat ini pengembangan usaha melalui sistem waralaba mulai banyak diterapkan

oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sebagai suatu cara pemasaran dan

distribusi, waralaba merupakan suatu alternatif lain di samping saluran

konvensional yang dimiliki perusahaan sendiri. Cara ini memungkinkan untuk

mengembangkan saluran eceran yang berhasil tanpa harus membutuhkan investasi

besar-besaran dari pihak induknya. Umumnya format bisnis waralaba berkembang

di sektor yang padat karya, sehingga sangat cocok dikembangkan di Indonesia,

yang saat ini memiliki lebih dari 40 juta penduduk yang menganggur.

Bisnis waralaba seperti Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Mc

Donald, Dunkin Donut's, dan lain sebagainya berkembang pesat. Di samping

keberhasilan waralaba asing, banyak juga kisah sukses waralaba yang berskala

nasional. Bisnis waralaba di Indonesia sebenarnya sudah dirintis cukup lama

dalam skala bisnis nasional oleh Es Teler 77, yang mulai menggunakan sistem

waralaba untuk pertama kali di Solo pada tahun 1987, Rudy Hadisuwarno Salon,

Ayam Goreng Mbok Berek, Ayam Bakar Wong Solo dan lain sebagainya yang

juga mengalami pertumbuhan yang baik. Berkembangnya waralaba lokal

diharapkan bisa menjadi pola kemitraan antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau usaha besar untuk meningkatkan keberadaannya sehingga pada

gilirannya dapat memperkuat perekonomian bangsa Indonesia.

Menurut Amir Karamoy seorang konsultan bisnis waralaba, di Indonesia

telah terjadi perkembangan bisnis waralaba yang dahsyat. Pada

repository.unisba.ac.
3

pertengahan tahun 1990 jumlah waralaba asing yang ada di Indonesia ada 6, di

tahun 1996 telah melonjak lebih dari 141. Sementara waralaba lokal dari angka 21

telah berubah menjadi 26. Total penjualan waralaba asing di Indonesia pada tahun

1996 berjumlah Rp 8,4 trilyun. Royalti yang diberikan penerima waralaba

berjumlah Rp 500 milyar, belum termasuk impor bahan baku, dan upah tenaga

kerja asing.2 Hal ini menunjukkan bahwa betapa perdagangan dengan sistem

waralaba sudah begitu sukses di Indonesia.

Usaha bisnis dengan mengggunakan sistem waralaba dibangun atas dasar

hubungan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian waralaba, yang akan

melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian waralaba merupakan suatu

pedoman hukum yang menggariskan tanggung jawab dari pemilik waralaba atau

yang disebut franchisor dan pemegang waralaba atau yang disebut franchisee.

Setiap pemilik waralaba pada umumnya mempunyai suatu standar perjanjian yang

ditawarkan kepada para calon penerima waralaba untuk dapat disepakati, dimana

bentuk perjanjian yang telah dibuat oleh pemberi waralaba ini disusun oleh para

ahli hukumnya sehingga substansinya sebagian besar menguntungkan pemilik

waralaba atau minimal tidak merugikannya serta dapat melindungi pemilik

waralaba.

Hubungan hukum antara pemberi dan penerima waralaba ini ditandai

dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar. Perjanjian

2
AM. Lilik Agung, Strategi Bisnis Marketing Dan Manajemen, Yogyakarta, Andi
Offset, 1997, hlm. 65.

repository.unisba.ac.
4

waralaba merupakan perjanjian yang dibuat oleh pemilik waralaba. Pemberi

waralaba menetapkan syarat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh penerima

waralaba yang memungkinkan pemberi waralaba dapat membatalkan perjanjian

apabila dia menilai penerima waralaba tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Pemberi waralaba memiliki discretionary power untuk menilai semua aspek

usaha penerima waralaba, sehingga perjanjian tidak memberikan perlindungan

yang memadai bagi penerima waralaba dalam menghadapi pemutusan perjanjian

dan penolakan pemberi waralaba untuk memperbaharui perjanjian.3 Hal ini tentu

saja mengakibatkan kerugian bagi penerima waralaba yang telah

menginvestasikan modalnya melalui bisnis waralaba tersebut.

Melihat kondisi yang seperti ini, sudah saatnya seluruh sektor yang terlibat

dalam bisnis waralaba untuk berbenah diri, termasuk juga di bidang hukum.

Sesungguhnya waralaba hanya memiliki satu aspek yang didambakan baik oleh

pengusaha pemberi waralaba maupun mitra usaha penerima waralaba, yaitu

masalah kepastian dan perlindungan hukum.4 Kepastian dan perlindungan hukum

menjadi persyaratan utama yang harus dimiliki agar waralaba dapat berkembang

dengan pesat, apalagi bisnis dengan sistem waralaba saat ini sedang mengalami

perkembangan yang sangat baik, terutama pertumbuhan waralaba lokal yang

diharapkan.

3
David Hess, The Iowa Franchise Act : Toward Protecting Reasonable
Expectations of Franchisees and Franchisors, Iowa Law Review, Vol 80 (Januari 1995) hal
342 sebagaimana disadur oleh Suhamoko, dalam Buku Hukum Perjanjian Teori dan Analisa
Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 85.
4
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hlm. 5.

repository.unisba.ac.
5

Franchise atau waralaba dalam praktek dunia bisnis telah cukup lama

dikenal secara internasional. Meskipun secara yuridis baru diatur di Indonesia

pada tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 16

Tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 Tentang Waralaba, dan Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 259/MPP/Kep/7/1997

tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran

Usaha Waralaba. Dan Kemudian telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI

Nomor 42 Tahun 2007, serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Nomor: 53/M- DAG/PER/8/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Sejak satu dekade terakhir, bisnis waralaba sangat marak di Indonesia.

Banyak perusahaan dan industri, seperti makanan, salon, bengkel, apotik,

pendidikan dan sebagainya dikembangkan melalui sistem yang disebut dengan

istilah waralaba ini. Peluang bisnis ini sendiri sangat terbuka lebar mengingat

kalangan pemilik waralaba selalu membantu pengembangan pemegang hak

waralabanya dengan berbagai cara. Pewaralaba lokal pun bermunculan ikut serta

meramaikan persaingan bisnis waralaba. Hal ini menunjukan waralaba diminati

oleh para pelaku bisnis dalam pengembangan usahanya.

Waralaba dalam dunia perdagangan merupakan salah satu sistem yang

dianggap sangat menguntungkan ini telah dibuktikan oleh berbagai perusahaan

nasional maupun perusahaan berkaliber internasional. Di Indonesia aturan hukum

mengenai Waralaba

repository.unisba.ac.
6

(Franchise) belum lengkap. Indikator hal ini dapat kita cermati dari ketentuan

hukum yang mengatur bisnis waralaba, yang sampai saat ini baru diatur dalam

satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu (1) Peraturan Menteri, sebagaimana

disebut di atas. Pengaturan melalui undang- undang belum tersentuh oleh

pemerintah. Memang ada peraturan dari Departemen teknis yang bersangkutan,

namun pengaturan ini sama sekali belum memadai mengingat bisnis melalui

sistem waralaba ini selalu berkembang secara dinamis sesuai perkembangan dunia

usaha, dan membentuk model-model baru dalam prakteknya. Padahal kalau terjadi

sesuatu yang menyangkut perjanjian mereka, maka para pihak memerlukan

pranata hukum yang komperhensif sebagai panduan atau guide lines baik pra

pembuatan perjanjian maupun pasca perjanjian. Hal ini diperlukan untuk

menghindari pemegang dan penerima waralaba dari kerugian yang tidak

diinginkan karena belum lengkapnya perangkat hukum yang melindungi mereka.

Perkembangan bisnis waralaba yang semakin marak dan kompleks dalam

prakteknya telah memunculkan fenomena-fenomena baru baik dari aspek

ekonomi maupun hukum khususnya yang menghendaki adanya pengaturan yang

lebih komprehensif untuk terciptanya kepastian hukum, perlindungan hukum dan

kerja sama yang saling menguntungkan.

Contoh kasus pemutusan perjanjian waralaba secara sepihak ialah:

Persengketaan antara Bambang N. Rachmadi dengan McDonald’s.

repository.unisba.ac.
7

Dipersepsikan masyarakat sebagai terwaralaba (franchisee) pioneer dalam

membuka pasar, sekaligus memperkenalkan / mempromosikan produk dan merek

dagang (brand) serta membesarkan citra McDonald's di Indonesia dengan

McDonald's Corporation, pemilik/pemberi waralaba (franchisor) dari Amerika,

berawal dari dikebirinya hak Bambang N. Rachmadi sebagai pemegang saham

minoritas pada PT. Bina Nusa Rama (PT. BNR).5

Menurut Bambang N. Rachmadi, sebagai pemegang saham minoritas

(10%) – melalui PT. Rezeki Utama – di PT. BNR hak-nya dilanggar seenaknya,

oleh sebab itu langkah yang dilakukannya adalah menggunakan hak-nya yang

tersisa, yaitu "(hak) menggugat" secara hukum untuk mendapatkan keadilan.

Persengketaan hukum ini menjadi terkait dengan waralaba, karena ditanda

tanganinya perjanjian waralaba utama (master franchise agreemet) antara PT.

Rekso Nasional Food (PT.. RNF) dengan McDonald's International Property

Company yang mengalihkan hak PT. BNR membangun restoran siap saji

McDonald's di Indonesia kepada PT. RNF – setelah PT. RNF membeli asset

restoran PT. BNR. Bambang N. Rachmadi hanya diberikan hak untuk mengelola

15 restoran, sedangkan PT. RNF jauh lebih banyak (diperkirakan akan mengelola

lebih kurang 200 restoran).

Merasa jasa-jasanya selama ini dalam membesarkan McDonald's

5
Akaramoy.blogspot.com, “Kasus Persengketaan Hukum McDonald’s di Indonesia”,
diunggah tanggal 23 November 2013, jam 5.10 WIB.

repository.unisba.ac.
8

di Indonesia, seperti disebut di atas, Bambang N. Rachmadi merasa dirinya telah

dilecehkan bahkan dianiaya oleh McDonald's Corp. Secara sepihak Mc Donald

telah memutus kontrak dengan Bambang, mengingat pengalihan hak waralaba dan

penjualan aset berupa 97 gerai Mc Donald kepada pengusaha nasional lain dan

pemilik sebuah perusahaan grup besar.

Peralihan hak waralaba ini tanpa restu darinya selaku pemegang hak

waralaba Mc Donald di Indonesia sejak 1991 silam. Demikianlah pokok-pokok

yang merupakan latar belakang terjadinya gugatan hukum yang dilancarkan

Bambang N. Rachmadi terhadap McDonald's Corp. Salah satu perusahaan

raksasa di dunia dari Amerika Serikat.

Kasus perseteruan McDonald's dengan Bambang Rachmadi karena tidak

adanya mekanisme clean break dalam perjanjian franchise. "Artinya, waktu

pemutusan perjanjian (break) harus bersih (clean) atau tidak ada tuntutan

hukum.6

Contoh kasus lainnya, yaitu Perjanjian Waralaba Avon dan Perjanjian

Waralaba Restoran Sea Food Lezat mengenai adanya klausul perjanjian waralaba

yang masih memuat adanya perjanjian yang dapat diputus secara sepihak oleh

pemberi waralaba. Meskipun pemutusan tersebut karena kesalahan dari penerima

waralaba, hanya pemutusan perjanjian waralaba tidak dapat dilakukan oleh

sepihak saja. Karena harus memenuhi mekanisme tertentu.

6
Ibid.

repository.unisba.ac.
9

Perjanjian waralaba tidak dapat diakhiri oleh salah satu pihak saja. Sesuai

ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-

DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba,

“Perjanjian Waralaba yang diputus secara sepihak oleh Pemberi Waralaba


sebelum masa berlaku Perjajian Waralaba berakhir, Pemberi Waralaba
tidak dapat menunjuk Penerima Waralaba yang baru untuk wilayah yang
sama, sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan oleh
kedua belah pihak (clean break) atau sampai ada putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan latar belakang mengenai pemutusan perjanjian waralaba yang

seringkali diputuskan oleh seorang pihak saja, maka penyusun meneliti skripsi

waralaba dengan judul “PEMUTUSAN PERJANJIAN WARALABA SECARA

SEPIHAK DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH RI

NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG WARALABA ”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penyusun menemukan beberapa

permasalahan yang berkaitan dengan pemutusan perjanjian waralaba dan

perlindungan bagi penerima waralaba :

1. Bagaimana perlindungan hukum atas penerima waralaba akibat

pemutusan perjanjian secara sepihak?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa akibat pemutusan perjanjian oleh

salah satu pihak?

repository.unisba.ac.
1

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas penerima

waralaba akibat pemutusan perjanjian secara sepihak.

2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa akibat pemutusan

perjanjian oleh salah satu pihak.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan dari segi teoretis dan praktis, antara

lain:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum waralaba pada

khususnya.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan bagi kami, lingkungan

kampus, para pihak yang terkait dan masyarakat yang akan

berkecimpung di bidang usaha waralaba.

E. Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya suatu waralaba adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya

memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba, yang

dapat terwujud dalam bentuk :

repository.unisba.ac.
1

1. hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau
jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merk dagang tertentu;
2. hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada
suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba.7

Bisnis waralaba adalah sebuah perjanjian mengenai metode

pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Pemberi waralaba dalarn

jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada penerima waralaba untuk

melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama dan identitas

pemberi waralaba dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai

dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, dalam hal ini

pemberi waralaba juga akan memberikan bantuannya, dan sebagai imbalannya

penerima waralaba akan membayar sejumlah uang.

Waralaba tunduk pada pasal ketentuan umum mengenai perikatan.

Perikatan yang timbul dalam perjanjian waralaba dilahirkan karena perjanjian

yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun

perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 KUH Perdata didefinisikan sebagai

berikut :

"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pihak yang mengikatkan diri dalam bisnis waralaba adalah pemberi

waralaba dan penerima waralaba, pengikatan tersebut kemudian

7
Gunawan Widjaja, Op.Cit. hlm. 75.

repository.unisba.ac.
1

dituangkan dalam suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian waralaba. Buku III

KUH Perdata menganut sistem terbuka (open system), artinya memberikan

kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian

yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar UU, ketertiban umum dan

kesusilaan, perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak

yang membuatnya dan harus tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian,

baik syarat umum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata

maupun syarat khusus untuk perjanjian tertentu8. Di samping itu, diperkenankan

untuk membuat perjanjian baik yang telah dikenal dalam KUH Perdata maupun

di luar KUH Perdata. Perjanjian-perjanjian yang telah dikenal dalam KUH Perdata

antara lain seperti jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam pakai, pinjam

meminjam, dan sebagainya yang diatur secara khusus dalam Bab V sampai

dengan Bab XVIII KUH Perdata ditambah titel VII A dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang (KUHD) mengenai perjanjian asuransi dan

pengangkutan. Sedangkan perjanjian di luar KUH Perdata merupakan perjanjian

yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalam praktek misalnya waralaba,9

timbulnya kontrak ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana

yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) (2) (3) KUH Perdata.

8
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 212.
9
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak lnnominat di Indonesia, Sinar Grafika,
2003, hlm. 1.

repository.unisba.ac.
1

Waralaba menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang

Waralaba dalam Pasal 1 angka I didefinisikan sebagai berikut :

"Waralaba adalah suatu perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri
khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan dan atau penjualan barang dan Jasa."

Waralaba mitra usaha diberikan hak untuk memanfaatkan hak atas

kekayaan intelektual dan sistem kegiatan operasional dari pengusaha waralaba,

baik dalam bentuk penggunaan merk dagang, merk jasa, hak cipta atas logo,

desain industri, patent berupa teknologi maupun rahasia dagang. Salah satu pihak

memperoleh imbalan royalty atas penggunaan hak atas kekayaan intelektual dan

sistem kegiatan operasional mereka oleh pihak lain. Pelaksanaan bisnis waralaba

ini dituangkan melalui perjanjian waralaba, di dalam perjanjian ini juga disepakati

bersama mengenai bahan dasar yang akan dipakai untuk membuat produk yang

telah ditentukan oleh pihak pemberi waralaba agar tetap menjamin mutu dari

produk yang dihasilkannya. Seperti dalam perjanjian waralaba asing pada bisnis

waralaba di bidang restoran fast food atau cepat saji terdapat penyesuaian dari

bahan dasar yang dipakainya dengan kondisi masyarakat di tempat bisnis

waralaba tersebut berada, misalnya seperti adanya nasi di restoran Mc Donald

Indonesia karena masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan

pokoknya. Penyesuaian tersebut harus disesuaikan dengan standar mutu yang

telah ditetapkan oleh pihak pemberi waralaba.

repository.unisba.ac.
1

Perjanjian waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 259/MPP/Kep/7/1997 Pasal 2 ayat (1)

yaitu :

"Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara


pemberi waralaba dan penerima waralaba".

Pihak pemberi waralaba memberikan hak kepada pihak penerima waralaba

untuk memproduksi atau memasarkan barang (produk) dan atau jasa (pelayanan)

dalam waktu dan tempat tertentu yang disepakati di bawah pengawasan pemberi

waralaba sementara penerima waralaba membayar sejumlah uang tertentu atas hak

yang diperolehnya.

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

1997 tentang Waralaba maupun Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997

disebutkan bahwa perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam bahasa

Indonesia. Ketentuan ini menjadi suatu konsekuensi yang logis dari adanya

kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian waralaba. Pendaftaran di atas

dilaksanakan dalam rangka dan untuk kepentingan dan pengembangan usaha

dengan cara waralaba serta memberikan perlindungan dalam menjalankan bisnis

waralaba.

Perjanjian waralaba tidak dapat diakhiri oleh salah satu pihak saja. Sesuai

ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-

DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba:

“Perjanjian Waralaba yang diputus secara sepihak oleh Pemberi Waralaba


sebelum masa berlaku Perjanjian Waralaba berakhir,

repository.unisba.ac.
1

Pemberi Waralaba tidak dapat menunjuk Penerima Waralaba yang baru


untuk wilayah yang sama, sebelum tercapai kesepakatan dalam
penyelesaian perselisihan oleh kedua belah pihak (clean break) atau
sampai ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap”.

Pelanggaran dengan pemutusan secara sepihak tanpa adanya putusan

hakim yang dilakukan pemberi waralaba tidaklah mendapatkan sanksi. Peraturan

menteri perdagangan lebih menekankan hal ini ke aspek perdata. Sehingga

apabila terjadi pelanggaran, maka dapat meminta keadilan ke pengadilan untuk

meminta ganti kerugian.

Untuk perjanjian waralaba yang memakai klausul baku, perjanjian batal

ditentukan oleh salah satu pihak. Biasanya pihak pemberi waralaba, sebagai pihak

kuat yang dapat menentukan isi perjanjian. Peraturan Menteri Nomor 53/M-

DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba,

mengisyarakatkan ada ataupun tidak pemutusan perjanjian yang diatur, pemutusan

perjanjian yang dilakukan salah satu pihak haruslah berdasarkan putusan

pengadilan.

Perjanjian waralaba yang dilakukan dengan pihak asing, haruslah tunduk

terhadap hukum positif di Indonesia. Dijelaskan dalam Pasal 5 ayat

(1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 Tahun 2012

Tentang Penyelenggaraan Waralaba menyatakan bahwa:

“Penyelenggaraan waralaba harus didasarkan pada Perjanjian Waralaba


yang mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka
berlaku hukum Indonesia”.

Dalam Pasal 1266 KUH Perdata, dinyatakan bahwa:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan

repository.unisba.ac.
1

yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi


kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan”.

Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, menyatakan bahwa:

“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih;


memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih
dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan
penggantian biaya, kerugian dan bunga.”

Pembatalan sepihak yang termasuk dalam klausul perjanjian dalam KUH

Perdata sebelumnya dapat digunakan, mengingat telah disepakati kedua belah

pihak. Hanya perkembangan sekarang dimanfaatkan oleh pihak pemberi waralaba

untuk memutuskan secara sepihak apabila penerima waralaba tidak memberikan

keuntungan yang diharapkan atau ada mitra kerja lain yang dianggap dapat

memberikan keuntungan dengan lebih. Persetujuan yang dipaksakan berupa

pemutusan secara sepihak, dianggap tidak berlaku lagi dalam perjanjian waralaba,

karena tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak dalam pemutusan perjanjian

waralaba.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah :

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu

menggambarkan berbagai peraturan perundang-undangan

repository.unisba.ac.
1

yang berlaku yang relevan dengan penelitian dikaitkan dengan teori-teori

hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif.10

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif11, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengkaji data

kepustakaan atau yang disebut data sekunder berupa hukum positif dan

bagaimana impelentasinya dalam praktik usaha bisnis.

3. Tahap Penelitian

Penelitian terhadap skripsi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan adalah menelusuri

literatur kemudian dianalis sebagai bahan utama penyusunan

skripsi di bidang waralaba. Penelitian kepustakaan pada dasarnya

bertujuan untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan

penelitian dengan cara mengkaji, meneliti, dan menelusuri data-

data yang terdapat di perpustakaan, laboratorium hukum, dan

sarana lainnya yang berupa :

- Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

10
Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986,
hlm. 52.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Dan Junimetri, Ghalia
11

Indonesa, Jakarta, 1990, hlm. 11.

repository.unisba.ac.
1

akan dikaji, terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945,

Peraturan-peraturan Menteri Perindustrian di Bidang Waralaba.

- Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer yang dapat membantu

menganalisis bahan-bahan hukum primer seperti hasil

penelitian dan karya ilmiah para ahli.

- Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti

surat kabar, ensiklopedia, Kamus Umum, Kamus Hukum,

majalah dan diktat kuliah, serta sumber lainnya.

Penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer,

sebab penelitian ini mengacu kepada Permendag Nomor 53 Tahun

2012 Tentang Penyelenggaraaan Waralaba. Penelitian ini juga akan

menggunakan bahan hukum sekunder yang banyak dipergunakan

untuk mengetahui pengertian menurut pendapat para ahli dari suatu

kata atau kalimat yang sering dipakai dalam penulisan hukum ini,

sedangkan bahan hukum tersier juga akan banyak dipakai dalam

penelitian ini.

repository.unisba.ac.
1

b. Studi lapangan

Penelitian lapangan dilakukan guna mendapatkan data primer

sebagai pendukung bagi analisis hasil penelitian. Penelitian

lapangan dilakukan pada lembaga terkait dengan permasalahan

yaitu di Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Barat.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah :

a. Studi dokumen yaitu mengumpulkan dan menganalisis data sekunder

mengenai objek penelitian.

b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab untuk memperoleh data

primer secara langsung dengan responden yang terdiri dari aparat

pemerintah, pelaku usaha di bidang waralaba.

5. Metode Analisis Data

Penelitian skripsi ini menggunakan analisis data secara normatif kualitatif.

Normatif, karena penelitian bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma

hukum positif. Kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data

deskriptif, artinya semua data dan informasi yang diperoleh diolah secara

berurutan untuk di analisis secara kualitatif menurut materinya, untuk mencapai

kejelasan masalah yang akan dibahas, kemudian dilakukan penambahan dengan

melakukan data

repository.unisba.ac.
2

sekunder sebagai penunjang dengan tidak menggunakan rumus maupun data

statistik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman dan analisis data, skripsi ini disusun

dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang penelitian, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian perjanjian, syarat- syarat

sahnya perjanjian, wanprestasi, asas-asas dalam hukum perjanjian, akibat

perjanjian, berakhirnya perjanjian, sejarah perkembangan waralaba di

Indonesia, pengaturan waralaba di Indonesia, pengertian waralaba, para

pihak dalam perjanjian waralaba, hak dan kewajiban para pihak,

karakteristik yuridis dan bisnis waralaba, berakhirnya perjanjian

waralaba.

BAB III Bab ini menguraikan risiko bisnis waralaba, keuntungan dan kerugian

bisnis waralaba, para pihak yang mengadakan perjanjian waralaba, hak

dan kewajiban para pihak, berakhirnya perjanjian, cara penyelesaian

sengketa.

BAB IV Bab ini menganalisis dari permasalahan di masyarakat mengenai:

perlindungan hukum atas penerima waralaba akibat pemutusan perjanjian

secara sepihak dan penyelesaian sengketa akibat pemutusan perjanjian oleh

salah satu pihak.

repository.unisba.ac.
2

BAB V Dalam bab ini diuraikan mengenai simpulan dan saran mengenai skripsi

waralaba. Simpulan merupakan jawaban dari identifikasi masalah dan

saran adalah masukan bagi perbaikan dari permasalahan yang di bahas

dalam skripsi ini.

repository.unisba.ac.

Anda mungkin juga menyukai