Anda di halaman 1dari 14

HUKUM DAGANG

WARALABA

Dosen Pengampu:

Ratnasari Fajariya Abidin S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Mualim (18103070058)

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.

Saya sebagai penulis berharap semoga kelak makalah ini dapat bermanfaat bagi orang
lain serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita semua tentang pentingnya
mengetahui waralaba.

Dalam pembuatan makalah ini saya sangat menyadari banyak sekali kekurangan dalam
makalah ini oleh karena itu saya masih butuh kritik serta saran untuk perbaikan makalah
tersebut. Akhir kata saya berharap semoga makalah ini tentang waralaba dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi bagi kita semua.

Yogyakarta, 03 Desember 2019

Penyusun

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan begitu pesatnya sektor perekonomian
yang semakin meningkat, dinamis dengan penuh persaingan serta tidak mengenal
batas-batas wilayah. Berbagai bisnis yang dijalankan dengan mudahnya untuk
dilaksanakan. Oleh karena itu bisnis di zaman sekarang ini diperlukannya hukum untuk
menaungi dan melindungi dengan tujuan untuk mewujudkan rasa keadilan sosial dan
adanya kepastian hukum, bukan hanya sekedar mencari keuntungan (profit oriented)
tetapi ada pertanggungjawaban terhadap dampak yang ditimbulkan dari operasional
bisnis secara menyeluruh tersebut.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, para bisnisman dan
orang-orang yang ingin terjun langsung di dunia bisnis hendaknya terlebih dahulu
mengetahui dan memahami hukum bisnis secara detail agar bisnis yang ditekuni
berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi dirinya dan menyejahterakan
masyarakat pada umumnya.
Di Indonesia seperti kebanyakan negara berkembang yang lain, berusaha
semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Untuk itu
pengembangan pada sektor ekonomi menjadi tumpuan utama agar taraf hidup rakyat
menjadi lebih mapan. Pembangunan ekonomi merupakan pengolahan kekuatan
ekonomi riil dimana dapat dilakukan melalui penanaman modal, penggunaan
teknologi dan kemampuan berorganisasi atau manajemen.
Syahrin Naihasy mengatakan lebih lanjut bahwa sejak perekonomian dunia
telah mengalami perubahan yang sangat dahsyat dan kini dunia, termasuk Indonesia,
menyaksikan fase ekonomi global yang bergerak cepat dan telah membuka tabir lintas
batas antar Negara. Dapat dikatakan bahwa dunia usaha adalah sebagai tumpuan utama
yang dipergunakan sebagai pilar dan dilaksanakan dengan berbagai macam cara yang
sekiranya dapat memupuk perkembangannya dengan lebih optimal dan berdaya guna.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Waralaba ?
2. Apa Pengertian Waralaba ?
3. Apa Jenis-Jenis Waralaba ?
4. Bagaimana Perjanjian dalam Waralaba ?

1
5. Bagaimana Perkembangan Waralaba di Indonesia ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah waralaba
2. Untuk mengetahui pengertian waralaba
3. Untuk mengetahui jenis-jenis waralaba
4. Untuk mengetahui perjanjian dalam waralaba
5. Untuk mengetahui perkembangan waralaba di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Waralaba
Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat
itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Kemudian, di Prancis pada
tahun 1200-an, penguasa negara dan penguasa gereja mendelegasikan kekuasaan
mereka kepada para pedagang dan ahli pertukangan melalui apa yang dinamakan
“diartes de franchise”, yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah hutan yang berada
di bawah kekuasaan negara atau gereja. Sebagai imbalannya, penguasa negara atau
penguasa gereja menuntut jasa tertentu atau uang. Pemberian hak tersebut diberikan
juga kepada para pedagang dan ahli pertukangan untuk penyelenggaraan pasar dan
pameran, dengan imbalan sejumlah uang. Namun, sebenarnya waralaba dengan
pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, waralaba mulai dikenal kurang lebih dua abad yang lalu
ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan
kecil sebagai upaya medistribusikan produk mereka. Sistem waralaba di Amerika
Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851. Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul
apa yang dinamakan sistem waralaba Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai
straight product franchising (waralaba produksi murni). Pada mulanya, sistem ini
berupa pemberian lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola),
kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-
Motors). Kemudian, sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar,
yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk
jaringan penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat.1
Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba
generasi kedua, yang disebut sebagai entire business franchising. Dalam sistem yang
semakin berkembang ini, ikatan perjanjian tidak lagi hanya mengenai satu aspek
produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh askpek pengoperasian perusahaan pemberi
waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu paket prestasi kepada
penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, konsep

1
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1

3
kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau organisasi perusahaan. Franchisor
mengarahkan dan “meleburkan” para franchisee ke dalam suatu sistem yang telah
franchisor tetapkan.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya pada tahun 60-70 an, waralaba
mengalami booming di Amerika Serikat. Namun, setelah mengalami booming, banyak
terjadi praktik penipuan bisnis yang mengaku sebagai waralaba, salah satunya dengan
cara menjual sistem bisnis waralaba yang ternyata belum teruji keberhasilannya di
lapangan. Selain itu, franchisor lebih fokus untuk menjual usaha waralaba milik mereka
dibandingkan membangun dan menyempurnakan sistem bisnisnya. Oleh karena itu,
banyak investor (franchisee) baru yang gagal karena modus ini. Hal inilah yang menjadi
salah satu pendorong terbentuknya IFA (International Franchise Association) pada
tahun 1960.
Salah satu didirikannya IFA ialah menciptakan iklim industri bisnis waralaba
yang dapat dipercaya karena IFA menciptakan kode etik waralaba sebagai pedoman
bagi anggota-anggotanya. Meskipun demikian, kode etik waralaba masih perlu
didukung oleh perangkat hukum agar dapat memastikan tiap-tiap pihak dalam industri
ini terlindungi, Oleh karena itu, pada tahun 1978, FTC (Federal Trade Commision)
mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap franchisor yang akan memberikan
penawaran peluang waralaba kepada publik untuk memiliki UFOC (Uniform Franchise
Offering Circular). UFOC adalah dokumen yang berisi informasi lengkap mengenai
peluang bisnis waralaba yang ditawarkan, seperti sejarah bisnis, pengelola, hal yang
berkaitan dengan hukum, prakiraan investasi, deskripsi konsep bisnis, dan salinan dari
perjanjian waralaba. Selain itu, daftar nama, alamat, dan nomor telepon franchisor
merupakan informasi yang diwajibkan. UFOC bertujuan untuk menyampaikan
informasi yang cuup mengenai perusahaan waralaba untuk membantu calon franchisee
dalam mengambil keputusan.2
B. Pengertian Waralaba
Secara bebas dan sederhana, waralaba didefinisikan sebagai hak istimewa
(privilege) yang terjalin dan diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada
penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran. Dalam
format bisnis, pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian

2
Ibid., hal. 3-4

4
hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak indipenden atau franchisee
untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepaktan
Franchise sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya
“bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha.
Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan, diambil
dari kata “franc” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara umum
diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Oleh sebab itu, pengertian franchise
diinterpretasikan sebagai pembebasan dari pembatasan tertentu, atau kemungkinan
untuk melaksanakan tindakan tertentu, yang untuk orang lain dilarang. Dalam bahasa
Inggris, franchise diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak
khusus). Di Amerika Serikat, franchise diartikan konsesi.
Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan hukum
Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal tidak
terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun, karena
pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise kemudian
masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia. Istilah
franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat, khususnya
masyarakat bisnis Indonesia dan menarik erhatian banyak pihak untuk mendalaminya.
Kemudian istilah franchise coba di Indonesiakan dengan istilah “waralaba” yang
diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen
(LPPM). Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung)
sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa.3
C. Jenis-jenis Waralaba
Pada umunya, waralaba dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Distributorships (Product Franchise)
Dalam waralaba ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk
menjual barang-barang hasil produknya. Pemberian lisensi ini bisa bersifat
eksklusif ataupun non-eksklusif. Seringkali terjadi franchisee diberi hak
eksklusif untuk memasarkan di suatu wilayah tertentu.
2. Chain-Style Busisness
Jenis waralaba inilah yang paling dikenali masyarakat. Dalam jenis ini,
franchisee mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama

3
Ibid., hal. 6-7.

5
franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee
harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah
pengawasan franchisor dalam hal bahan-bahan yang digunakan., pilihan tempat
usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan para karyawan, dan lain-
lain.
3. Manufacturing atau Processing Plants
Dalam waralaba jenis ini, franchisor memberitahukan bahan-bahan serta tata
cara pembuatan suatu produk, termasuk di dalamnya formula-formula
rahasianya. Franchisee memproduksi, kemudian memasarkan barang-barang
itu sesuai standar yang telah ditetapkan franchisor.4
D. Perjanjian Waralaba
Sistem bisnis dengan hak khusus yang disebut waralaba ini hanya dapat
dilakukan apabila telah ada perjanjian antara Pemberian Waralaba dan Penerima
Waralaba.
Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang
dimilikinya kepada Penerima Waralaba. Sedangkan Penerima Waralaba adalah orang
perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Warlaaba untuk
memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.
Perjanjian tersebut sedapat mungkin harus dibuat dalam bahasa Indonesia,
namun jika dibuat dalam bahasa asing, maka harus ada terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. Perjanjian waralaba paling sedikit harus memuat:
a. Nama dan alamat para pihak.
b. Jenis hak kekayaan intelektual.
c. Kegiatan usaha.
d. Hak dan kewajiban para pihak.
e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
f. Wilayah usaha.
g. Jangka waktu perjanjian.
h. Tata cara pembayaran imbalan.

4
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata (Bandung: PT Alumni, 1992), hal. 157

6
i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris,
j. Penyelesaian sengketa.
k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
(Pasal 6 PP No. 42 Tahun 2007)

Disamping itu, dalam perjanjian waralaba juga diperbolehkan untuk dibuat


ketentuan tentang pemberian hak bagi Penerima Waralaba untuk menunuk Penerima
Waralaba lain, dengan ketentuan bahwa Penerima Waralaba harus memiliki dan
menjalankan sendiri paling sedikit satu tempat usaha waralaba.5
E. Perkembangan Waralaba di Indonesia
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer
kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik
merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing
pada tahun 80-90 an. KFC, McDonald’s, Burger King, dan Wendys adalah sebagian
dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal berkembangnya
waralaba di Indonesia. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun mulai bertumbuhan
pada masa itu, salah satunya Es Teler 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem
waralaba disebabkan oleh faktor popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari
kemampuannya untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probalitas
keberhasilannya yang tinggi.
Sebagai salah satu lembaga hukum hak milik intelektual, waralaba saat itu terus
dijadikan sebagai sarana untuk mendorong investasi pada skala internasional dan juga
sebagai teknik pemasaran yang berperan untuk membantu perkembangan bisnis kecil
lokal. Contohnya, “Es Teler 77 Juara Indonesia” berhasil mengembangkan usahanya
dengan lebih dari 70 cabang. Seluruh sistem pengoperasiannya dikemas dalam bentuk
pewaralabaan. Ini berarti perusahaan Es Teler 77 merupakan pelopor pengunaan sistem
waralaba di kalangan pengusaha nasional di Indonesia.
Pada tahun 1991, tepatnya tanggal 22 November 1991, berdiri Asosiasi
Franchise Indonesia (AFI) sebagai wadah yang menaungi franchisor dan franchisee.
AFI didirikan dengan bantuan ILO (International Labour Oranization) dan pemerintah
Indonesia. Dengan berdirinya AFI diharapkan dapat menciptakan industri waralaba

5
Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanannya di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), hal. 159-160.

7
yang kuat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berbasiskan
usaha kecil dan menengah. Pada Juni 2003, AFI yang disponsori oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan (sekarang Departemen Perdagangan),
menyelengarakan pemilihan waralaba lokal terbaik. Pemilihan tersebut menghasilkan
pemenang Rumah Makan Wong Solo (kategori restoran), Indomaret (kategori retail)
dan ILP (kategori pendidikan).
Contoh bisnis waralaba yang sedang berkembang pesat di Indonesia ialah
Indomaret dan Alfamart. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya outlet yang bermunculan
di berbagai tempat. Bahkan di antara keduanya saling bersaing.
Saat ini, tidak sedikit jenis waralaba lokal yang sudah benar-benar mantap
menjaga kualitas dan membangun citra produknya sehingga sudah mulai go
international dengan mengikuti berbagai expo di mancanegara dan sudah membuka
cabangnya di luar negeri. Oleh karena itu, diharapkan suatu saat semua pihak waralaba
di Indonesia, baik franchisor maupun franchisee sudah mempunyai profesionalisme
dan etos kerja yang tinggi, yang melahirkan sistem yang benar-benar teruji sehingga
produk dan sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi suatu epidemi di
masyarakat Indonesia.6
Walau sistem waralaba telah berkembang pesat di Indonesia, tetapi sebelum
tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus mengatur waralaba. Saat itu di
Indonesia berlaku tiga undang-undang yang menjadi dasar pemberian perlindungan
hukum kepada hak milik intelektual perusahaan, yakni Undang-Undang Paten,
Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Merek. Dengan adanya Undang-
Undang Paten memungkinkan franchisor memperoleh perlindungan hukum terhadap
kemungkinan adanya usaha peniruan. Yang dapat dipatenkan mencakup, antara lain
teknologi, proses produksi, sistem, dan desain produk. Undang-Undang merek menjadi
dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum kepada
perusahaan yang mendaftarkan mereknya terhadap kemungkinan peniruan, pemalsuan,
ataupun penggunaan secara ilegal atas merek dagangannya.
Untuk membantu para pengusaha dalam mendaftarkan hak patennya, di
Indonesia terdapat beberapa konsultan paten. Konsultan ini dapat membantu
menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pendaftaran paten. Dengan adanya
undang-undang tersebut, walaupun belum ada ketentuan pemerintah ataupun suatu

6
Adrian Sutedi, Hukum Waralaba (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 21

8
kode etik khusus, sudah bisa memberikan gambaran pada ikatan perjanjian kerja sama
yang dibuat antara franchisor dan franchisee.
Selanjutnya, pada tahun 1997 dibuat Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997
tentang Waralaba, yang kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 tentang Waralaba. Adanya peraturan tersebut memberikan kepastian usaha dan
kepastian hukum bagi dunia usaha yang menjalankan waralaba, Peraturan Pemerintah
tersebut diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-
Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran
Usaha Waralaba.7
Waralaba di Indonesia, dengan diperkuat adanya kepastian hukum, saat ini
sudah mulai menunjukkan tren peningkatan dan kerap menjadi topik perbincangan
bisnis, baik di media maupun dalam praktik keseharian. Semakin hari, semakin banyak
orang yang tertarik untuk membeli hak waralaba. Namun, sayangnya data yang ada
menunjukkan bahwa peluang sukses waralaba di Indonesia hanya mencapai sekitar
60% saja. Bandingkan dengan di Amerika Serikat yang mencapai di atas 90%.
Proyeksi tren bisnis waralaba di Indonesia akan tetap menjanjikan, selama baik
franchisor maupun franchisee memegang teguh komitmen untuk terus-menerus
meningkatkan kualitas produk atau jasa yang mereka jual. Hal yang menarik dari isu
waralaba nasional ialah pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena
franchisor lokal memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian
waralaba mereka. Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan
marketing yang terus-menerus dan up to date. Pihak media di Indonesia juga
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan waralaba lokal. Berbagai media
bisnis telah banyak mengangkat waralaba sebagai suatu segmen liputan khusus, bahkan
sekarang telah ada majalah yang khusus mengupas seluk beluk waralaba secara
spesifik.
Sarana promosi yang menunjang ini semakin diperkuat oleh berbagai event
pameran skala nasional, yang tidak hanya diselenggarakan di Jakarta, tetapi juga di
berbagai kota-kota di daerah. Puluhan ribu pengunjung yang datang merupakan
representasi atensi masyarakat akan pengetahuan waralaba. Hal ini disebabkan oleh
semakin mudahnya rantai distribusi ke daerah dan potensi ekonomi mikro daerah yang

7
Ibid., hal. 22

9
menjanjikan. Keterkaitan industri perbankan juga makin memperkokoh konsep bisnis
waralaba, dengan hadirnya program perkreditan khusus kemitraan, sebagai contoh
Bank HS 1906 yang memberikan kredit investasi waralaba dan kredit modal kerja
waralaba.
Kerja sama developer di bidang penyediaan tempat (retail space) waralaba juga
mulai dilirik berbagai pemain properti karena dianggap lebih menguntungkan untuk
menjual tempat usaha (ruko, mal, atau trade center), jika diintegrasikan dengan
waralaba. Kerja sama ini sangat menguntungkan, karena selain arah dan tujuan
pemakaian tempat usaha sudah jelas untuk jenis waralaba tertentu, harga properti yang
didapat pun lebih murah dibandingkan jika mereka membeli secara terpisah.
Sinergi yang masif dari berbagai pihak ini makin memantapkan eksistensi
waralaba di Indonesia. Keberadaan waralaba bagi pemerintah sendiri sangat membantu
terutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu perekonomian
daerah.
Karena adanya peluang bagi waralaba lokal untuk meningkatkan perananya
dalam bisnis waralaba, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kebijakan bagi
tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal. Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui
penumbuhan pengusaha-pengusaha baru serta memberdayakan UKM dan koperasi
dalam bisnis waralaba baik sebagai franchisee maupun sebagai franchisor.
Bisnis waralaba sangat cocok dikembangkan oleh UKM. Waralaba merupakan
prospek bisnis bagi UKM karena sudah terbukti dapat meningkatkan akses pasar UKM,
menyinergikan perkembangan usaha besar dengan UKM melalui kemitraan, serta
mempercepat mengatasi persoalan kesenjangan kesempatan berusaha antara golongan
ekonomi kuat yang sudah mempunyai jejaring dengan golongan lemah. Sistem ini juga
mempercepat pemanfaatan produk dan jasa untuk didistribusikan ke daerah-daerah
karena sistem ini memungkinkan partisipasi sumber daya daerah untuk terlibat hingga
ke tingkat kecamatan, bahkan sampai ke pedesaan.8

8
Ibid., hal. 23-24.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat
itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Kemudian, di
Prancis pada tahun 1200-an, penguasa negara dan penguasa gereja
mendelegasikan kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli pertukangan
melalui apa yang dinamakan “diartes de franchise”, yaitu hak untuk
menggunakan atau mengolah hutan yang berada di bawah kekuasaan negara
atau gereja. Sebagai imbalannya, penguasa negara atau penguasa gereja
menuntut jasa tertentu atau uang. Pemberian hak tersebut diberikan juga kepada
para pedagang dan ahli pertukangan untuk penyelenggaraan pasar dan pameran,
dengan imbalan sejumlah uang. Namun, sebenarnya waralaba dengan
pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.
 Pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak
pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak indipenden atau
franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepaktan
 Pada umumnya jenis waralaba terbagi menjadi tiga jenis yaitu: Distributorships
(Product Franchise), Chain-Style Business, dan Manufacturing/Processing
Plants.
 Sistem bisnis dengan hak khusus yang disebut waralaba ini hanya dapat
dilakukan apabila telah ada perjanjian antara Pemberian Waralaba dan
Penerima Waralaba.
 Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer
kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal
pemilik merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya
waralaba asing pada tahun 80-90 an. KFC, McDonald’s, Burger King, dan
Wendys adalah sebagian dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia
pada awal-awal berkembangnya waralaba di Indonesia.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sutedi, Adrian. 2008. Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia.

Asyhadie, Zaeni. 2012. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanannya di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.

Setiawan. 1992. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata Bandung: PT Alumni.

12

Anda mungkin juga menyukai