Anda di halaman 1dari 160

ANALISIS YURIDIS PELEPASAN HAK GUNA USAHA PT.

PERKEBUNAN NUSANTARA II UNTUK PENGADAAN TANAH


DALAM PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI

TESIS

Oleh

MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA


147011178/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS YURIDIS PELEPASAN HAK GUNA USAHA PT.
PERKEBUNAN NUSANTARA II UNTUK PENGADAAN TANAH
DALAM PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA


147011178/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PELEPASAN HAK GUNA
USAHA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II
UNTUK PENGADAAN TANAH DALAM
PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI
Nama Mahasiswa : MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA
Nomor Pokok : 147011178
Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Syamsul Arifin, SH, MH)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. OK. Saidin, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 04 February 2017

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal : 04 February 2017

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Syamsul Arifin, SH, MH
Anggota : 1. Dr. OK. Saidin, SH, MHum
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA
Nim : 147011178
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PELEPASAN HAK GUNA
USAHA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNTUK
PENGADAAN TANAH DALAM PEMBANGUNAN
JALAN TOL MEDAN-BINJAI

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA


Nim : 147011178

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Guna meningkatkan pelayanan jalan tersebut sebagai penyelenggara jalan


merasa perlu membenahi sistem jaringan jalan, baik dengan melakukan peningkatan
jalan maupun dengan cara pembangunan jalan bebas hambatan (jalan
tol).Khususdalam pelaksanaan pembangunan jalan Tol Medan-Binjai yang telah
direncanakan oleh pemerintah, ternyata akan melintasi lahan perkebunan milik PT.
Perkebunan Nusantara II. Oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi lebih lanjut
antar pihak-pihak yang terkait dalam pembebasan lahan maupun terhadap penilaian
ganti kerugian lahan dan asset milik PT. Perkebunan Nusantara II yang terkena
dampak dari rencana pembangunan jalan tol tersebut.Hal inilah yang menjadi dasar
pemikiran untuk melakukan penelitian dengan menjawab permasalahan, bagaimana
pelaksanaan pelepasan tanah hak guna usaha PT. Perkebunan Nusantara II untuk
pembangunan jalan Tol Medan-Binjai? bagaimana penetapan ganti rugi tanahPT.
Perkebunan Nusantara II untuk pengadaan tanah pembangunan jalan Tol Medan-
Binjai? bagaimanakah perlindungan hukum terhadap PT. Perkebunan Nusantara II
dalam pelepasan hak atas untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai?
Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan
menggunakan pendekatan yuridis empiris. Sumber data diperoleh dengan
mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat
pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan
wawancara, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati dalam pelaksanaan
pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai diselenggarakan
melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan terakhir
penyerahan hasil kepada pihak yang memerlukan tanah bersamaan dengan pemberian
ganti kerugian. Penilaian besarnya ganti kerugian terhadap lahan dan asset milik
PT. Perkebunan Nusantara II dinilai berdasarkan per bidang tanah, tanaman, rumah
dinas karyawan dan kantor perusahaan, dimana ganti kerugiannya dalam bentuk
uang. Selanjutnya bentuk perlindungan hukum serta penghormatan hak atas tanah
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dengan adanya ganti
kerugian, adanya kesempatan untuk melakukan musyawarah dan penetapan besarnya
nilai ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah.

Kata Kunci: Pelepasan Hak, Pengadaan Tanah, PembangunanJalan Tol

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

In order to increase road service, the road organizer needs to improve road
network system by improving road condition and constructing toll roads. The Medan-
Binjai tollroad which has been planned by the government passes plantation area of
PTPN (PT Perkebunan Nusantara) II. Therefore, it is necessary tocoordinate with the
party concerned about land clearing and about compensation on the land and asset
of PTPN II which have the impact of the tollroad construction. The research
problems were as follows: how about the implementation of the renunciation of rights
of the leasehold land of PTPN II for the Medan-Binjai tollroad construction, how
about the compensation of the land acquisition for the Medan-Binjai tollroad
construction, and how about legal protection for PTPN II in the renunciation of
rights for the Medan-Binjai tollroad construction.
The research used descriptive and judicial normative method. Primary data
were gathered by conducting documentary study and interviews with the informants,
and secondary data were obtained from primary, secondary, and tertiary legal
materials. The gathered data were analyzed qualitatively.
The result of the research showed that in the implementation of land
acquisition for the Medan-Binjai toll road construction was done in some stages:
planning, preparation, implementation, submitting its result, and the compensation to
those who own the land. The amount of the compensation of the land and asset of
PTPN II based on per piece of land, plants, employees’ houses, and offices; the
compensation was in the form of money. Legal protection and valuation on land
rights for land acquisition to public utility are compensation, the opportunity to
negotiation, and the amount of compensation given to the land owners.

Keywords: Transfer of Title, Land Acquisition, Toll Road Construction

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat

serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut

keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, atas terselesaikannya penulisan

Tesis dengan judul: “Analisis Yuridis Pelepasan Hak Guna Usaha PT.

Perkebunan Nusantara II Untuk Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Jalan

Tol Medan Binjai.”

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat untuk memperoleh

gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun

yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan

tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan

kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.

Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa

adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik

langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara, atas kesempatan yang diberikan untuk dapat menjadi mahasiswa Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

iii

Universitas Sumatera Utara


2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan untuk dapat menjadi

mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., CN., MS., selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

selaku Ketua Komisi Penguji dalam penelitian ini.

4. Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH., MH., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan

Tesis ini.

5. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan

Tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Anggota Komisi

Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun

teknik penulisan Tesis ini.

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji

dalam penelitian ini.

8. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama

menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

iv

Universitas Sumatera Utara


9. Seluruh staff pegawai administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada rekan-rekan seperjuangan stambuk 2014 dan seluruh rekan- rekan lainnya

di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

11. Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas

dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian penulisan Tesis ini.

Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang

disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak

yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa

semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah disisi-

Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini dapat

berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa

Robbal’alamin

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.


Medan, February 2017
Penulis

MUHAMMAD RIZKI SYAHPUTRA

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Muhammad Rizki Syahputra


Tempat / Tanggal Lahir : Binjai, 26 Juni 1992
Agama : Islam
Alamat : Jl. Danau Tempe Km. 18 No. 1, Kelurahan
Sumber Karya, Kecamatan Binjai Timur,
Kota Binjai.

II. KELUARGA

Nama Ayah : H. M. Ali Umri, SH., M.Kn.


Nama Ibu : T. Silvia Anim
Nama Abang : Muhammad Reza Syahputra
Nama adik : Muhammad Real Fatha Syahputra
Siti Rerizha Syahputri
Muhammad Reysi Umri Syahputra

III. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : SD Negeri Binjai 027950


Tamat Tahun 2004

2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 1 Binjai


Tamat Tahun 2007

3. Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 5Binjai


Tamat Tahun 2010

4. S-1 Fakultas Hukum : Universitas Medan Area


Tamat Tahun 2014

5. S-2 Program Studi Magister


Kenotaritan : Fakultas Hukum USU
Tamat Tahun 2017

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
E. Keaslian Penelitian...................................................................... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..................................................... 11
1. Kerangka Teori .................................................................... 11
2. Konsepsi............................................................................... 20
G. Metode Penelitan......................................................................... 22
1. Spesifikasi Penelitian ........................................................... 22
2. Metode Pendekatan .............................................................. 22
3. Sumber Data......................................................................... 23
4. Alat Pengumpulan Data ....................................................... 25
5. Analisis Data ........................................................................ 26
BAB II PELAKSANAAN PELEPASAN TANAH HAK GUNA USAHA
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNTUK
PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI ..................... 27
A. Sejarah BerdirinyaPT. Perkebunan Nusantara II ........................ 27
B. Hak atas Tanah ........................................................................... 34
1. Pengertian Hak atas Tanah................................................... 34

vii

Universitas Sumatera Utara


2. Macam-macam Hak atas Tanah ........................................... 36
C. Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum......... 39
1. Pengertian Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.... 39
2. Pengertian Kepentingan Umum ........................................... 42
3. Dasar Hukum Pengadaan Tanah .......................................... 47
D. Asas-asas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.. ......... 50
E. Proses Pelepasan Tanah Hak Guna Usaha PT. Perkebunan
Nusantara II Untuk Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai ....... 52

BAB III PENETAPAN GANTI RUGI TANAH PT. PERKEBUNAN


NUSANTARA II UNTUK PENGADAAN TANAH
PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI ..................... 70
A. Profil Proyek Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai................. 70
B. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum. .......... 74
1. Pengertian Ganti Rugi.......................................................... 74
2. Bentuk Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum ............................................................. 79

C. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Melalui Pembebasan Hak 87


D. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Melalui Pencabutan Hak.. 93
E. Musyawarah Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi.................... 94
F. Penetapan Ganti Rugi Tanah Milik PT. Perkebunan Nusantara
II Untuk Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Tol Medan-
Binjai................................................................................................... 97
BAB IV
PERLINDUNGANHUKUMTERHADAPPT.PERKEBUN
ANNUSANTARAII DALAM PELEPASAN HAK ATAS
UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN JALAN TOL
MEDAN-BINJAI.............................................................................. 109
A. Konsep Hukum Tanah Nasional.. ............................................... 109
B. Prinsip-Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah .. 114
C. Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas Tanah ...................... 119
D. Sengketa Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. 126

viii

Universitas Sumatera Utara


E. PerlindunganHukumTerhadapPT.PerkebunanNusantaraII
Dalam Pelepasan Hak Atas Untuk Kepentingan Pembangunan
Jalan Tol Medan-Binjai............................................................... 129
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 138
A. Kesimpulan ................................................................................ 138
B. Saran ........................................................................................... 140
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 141

ix

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah adalah tempat bermukim bagi umat manusia disamping sebagai sumber

kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha. Tanah dan pembangunan

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa tanah pembangunan

hanya akan menjadi rencana.1 Disisi lain, tanah yang digunakan oleh negara untuk

menunjang proses pembangunan semakin sedikit dan jarang dijumpai, ketersediaan

tanah sebagai sarana dalam menyelenggarakan seluruh segi kehidupan manusia

semakin terbatas karena tanah tidak akan bisa bertambah luas, serta melonjaknya

harga tanah secara tidak terkendali di daerah-daerah strategis membuat pemerintah

semakin sulit melakukan pembangunan untuk penyediaan prasarana dan kepentingan

umum.

Pembangunan yang dilakukan Pemerintah dewasa ini antara lain pemenuhan

kebutuhan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana tertuang dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan pendekatan yang

mencerminkan pola pikir yang proaktif yang dilandasi sikap kritis dan obyektif, guna

mewujudkan cita-cita yang luhur bangsa Indonesia, maka diperlukan komitmen

politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah yang adil dalam

1
I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta, Cetakan Kedua,
1994, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara


2

pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan tidak

menyengsarakan rakyat, sehingga adanya keseimbangan antara kepentingan

Pemerintah dan kebutuhan masyarakat.

Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan

tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang

menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Kemudian ditunaskan secara kokoh dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selanjutnya merambah ke

berbagai peraturan organik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

Peraturan Presiden, dan Peraturan yang diterbitkan oleh pimpinan instansi teknis di

bidang pertanahan.

Melalui hak menguasai dari Negara inilah, maka Negara selaku badan

penguasa akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan pengelolaan fungsi

bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sesuai

dengan peraturan dan kebijakan yang ada, yaitu dalam lingkup penguasaan

secara yuridis yang beraspek publik.2

Ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria sendiri memberikan

landasan hukum bagi pengambilan tanah hak, hal mana sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 18 yaitu untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan

Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,

2
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi
Agraria), Yogyakarta, Citra Media, 2007, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara


3

dengan memberi ganti rugi yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-

Undang.

Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan

segala peraturan terkait dengannya di Indonesia mengalami proses perkembangan.

Sampai saat ini dapat ditemukan beberapa peraturan yang mengatur mengenai

pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu antara lain UUPA No.5/1960,

Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan

Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan

pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975,

kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, kemudian digantikan dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum dan terakhir digantikan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

Setelah melewati perjalanan waktu yang cukup panjang, akhirnya pada

tanggal 14 Januari 2012, Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur secara

khusus tentang pengadaan tanah, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pemerintah

berharap dengan diterbitkannya Undang-Undang tersebut akan menjadi payung

Universitas Sumatera Utara


4

hukum yang kuat guna memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk

kepentingan umum.

Pembangunan oleh pemerintah, khususnya pembangunan fisik mutlak

memerlukan tanah. Tanah yang diperlukan tersebut dapat berupa tanah yang dikuasai

secara langsung oleh negara atau tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak oleh

suatu subyek hukum. Jika tanah yang diperlukan untuk pembangunan itu berupa

tanah negara, pengadaan tanahnya tidaklah sulit, yaitu pemerintah dapat langsung

mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut untuk selanjutnya digunakan untuk

pembangunan. Namun demikian, tanah negara saat ini jarang ditemukan, oleh karena

itu tanah yang diperlukan untuk pembangunan umumnya adalah tanah hak yang dapat

berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan suatu

proyek yang terlebih dahulu direncanakan dalam penetapan rencana pembangunan

untuk kepentingan umum dan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota.

Pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, menurut

peraturan perundang-undangan harus dibantu dengan Panitia Pengadaan Tanah.

Panitia pengadaan Tanah dibentuk untuk membuat dan menyusun pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan dengan melakukan berbagai kegiatan pendahuluan

dalam pelepasan/penyerahan hak atas tanah.3

Dalam praktiknya dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan

tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah untuk

3
Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 79.

Universitas Sumatera Utara


5

kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial dan bukan

komersial atau bukan sosial.4 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan

salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang

sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan

digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah

untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar dan bentuk ganti rugi yang

diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.5

Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan

atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan

tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut dua sisi dimensi harus

ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan

pemerintah.6

Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Secara sederhana dikatakan bahwa tidak ada pembangunan tanpa tanah.

Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyek-proyek, baik

yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah sendiri, maupun

perusahaan milik swasta. Hubungan pembangunan dan tanah bukan hanya

melingkupi aspek ekonomi namun juga politik. Sebagai alas hidup manusia, tanah

4
Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : Regulasi, Kompensasi
Penegakan Hukum, Jakarta, Pustaka Margareta, 2011, hal. 129.
5
Ibid., hal. 131.
6
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


6

dengan sendiri menempatkan posisi yang vital, atas pertimbangan karakternya yang

unik sebagai benda yang tak tergantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat

direproduksi.7

Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

tersebut di atas, maka pada saat ini pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan

infrastruktur jalan termasuk salah satunya adalah membangun jalan tol. Kebutuhan

akan jalan bebas hambatan dirasakan sudah sangat dibutuhkan untuk melancarkan

konektivitas serta menekan biaya logistik transportasi di tanah air.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun

2015–2019, Pemerintah telah mencanangkan pembangunan jalan tol sepanjang 1000

km yang akan dilakukan selama lima tahun ke depan. Penambahan jalan tol 1000 km

tersebut terdiri atas Trans Sumatera, Trans Jawa, Tol Samarinda-Balikpapan dan Tol

Manado-Bitung. Sementara untuk Provinsi Sumatera Utara yang menjadi target

pembangunan jalan Tol salah satunya adalah Jalan Tol Medan-Binjai sepanjang

+ 16,72 Km. Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai yang merupakan rangkaian dari

rencana pemerintah untuk membangun Tol Trans Sumatera.

Kebutuhan terhadap jalan dikarenakan merupakan prasarana transportasi darat

yang berperan banyak dalam menunjang pergerakan arus barang dan jasa. aktivitas

pemerintahan. serta dinamika sosial ekonomi masyarakat. Perkembangan ekonomi

yang cepat disertai. pertumbuhan penduduk dan kenaikan jumlah kendaraan yang

tinggi. serta sistem jaringan jalan dan kondisi jalan yang kurang memadai. akan

7
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Yogyakarta, Total Media, 2009,
hal. 270.

Universitas Sumatera Utara


7

menyebabkan pelayanan terhadap pemakai jalan menurun. Guna meningkatkan

pelayanan jalan tersebut sebagai penyelenggara jalan merasa perlu membenahi sistem

jaringan jalan, baik dengan melakukan peningkatan jalan maupun dengan cara

pembangunan jalan bebas hambatan (jalan tol).

Khusus untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai hampir 70 persen lahan

yang digunakan adalah dalam status Hak Guna Usaha milik PT. Perkebunan

Nusantara II yang melintasi beberapa areal kebun milik perusahaan. Oleh karena itu,

perlu dilakukan musyawarah antara pihak pemilik tanah dengan pihak yang

memerlukan tanah terkait dalam pembebasan lahan maupun terhadap penilaian ganti

kerugian lahan mdan asset milik PT. Perkebunan Nusantara II yang akan dibebaskan

terkait pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol tersebut.

Oleh karena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Medan Binjai

yang mana lahan yang dibutuhkan pada saat ini dikuasai oleh PT. Perkebunan

Nusantara II dengan diberikannya status tanah Hak Guna Usaha, maka dalam

pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh

pemerintah atau dikuasai/dimiliki Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik

Daerah harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik

Negara No. PER/02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan

Pemindahtanganan Aktiva Tetap dan aturan-aturan terkait lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:

”Analisis Yuridis Pelepasan Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II

Untuk Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Jalan Tol Medan Binjai”.

Universitas Sumatera Utara


8

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pelepasan tanah hak guna usaha PT. Perkebunan

Nusantara II untuk pembangunan jalan Tol Medan-Binjai?

2. Bagaimana penetapan ganti rugi tanah PT. Perkebunan Nusantara II untuk

pengadaan tanah pembangunan jalan Tol Medan-Binjai?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap PT. Perkebunan Nusantara II

dalam pelepasan hak tanah atas untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pelepasan tanah hak guna usaha PT. Perkebunan

Nusantara II untuk pembangunan jalan Tol Medan-Binjai.

2. Untuk mengetahui bentuk penetapan ganti rugi tanah PT. Perkebunan Nusantara

II untuk pengadaan tanah pembangunan jalan Tol Medan-Binjai.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap PT. Perkebunan Nusantara II

dalam pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu:

a. Secara teoritis hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu

sumbangan

Universitas Sumatera Utara


9

pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan hukum agraria tentang

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam hal ini pembangunan jalan tol.

b. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

dan pemikiran-pemikiran baru kepada pemerintah dan masyarakat yang

memerlukan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dalam pembangunan jalan tol.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Pelepasan Hak Guna Usaha

PT. Perkebunan Nusantara II Untuk Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Jalan Tol

Medan Binjai”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian

penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan.

Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian

mengenai masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum, namun menyangkut

judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan

penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum tersebut yang pernah dilakukan yaitu oleh:

1. Elfriza Meutia, 2004, dengan judul: “Pelaksanaan Pelepasan Hak Atas Tanah

Pada Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum”. Adapun

permasalahan yang dibahas adalah:

a. Apakah pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan pelabuhan

Ulee Lheu sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku?

Universitas Sumatera Utara


10

b. Adakah hambatan yang ditemui pada pelaksanaan pelepasan hak atas tanah

untuk pembangunan pelabuhan Ulee Lheue?

c. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang

ditemui dilapangan?

2. Abinur Hamzah, 2006, dengan judul: “Aspek Yuridis Pelaksanaan Pengadaan

Tanah Untuk Kepentingan Umum Setelah Keluarnya Perpres Nomor 36 Tahun

2005 (Studi Kasus Kwala Namu di Kecamatan Pantai Labu dan Proyek

Pelebaran Tanjung Morawa di Desa Buntu Bedimbar, Kecamatan Tanjung

Morawa Kabupaten Deli Serdang)”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005?

b. Bagaimanakah penentuan besarnya ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum sebelum dan setelah keluarnya Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005?

c. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum?

3. Bukhari, 2008, dengan judul: “Problematika Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Untuk Pembangunan Kepentingan Umum (Studi Kasus Pada Pembangunan

Kampus Unimal Di Desa Reuleut Timur, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten

Aceh Utara)”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah :

a. Apakah Pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan kampus

Universitas Malikussaleh sudah sesuai dengan prosedur?

Universitas Sumatera Utara


11

b. Hambatan apa yang ditemui pada pelaksanaan pengadaan tanah untuk

pembangunan kampus Universitas Malikussaleh?

c. Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ditemui

antara pemilik tanah dan Universitas Malikussaleh di lapangan?

4. Yuselina, 2008, dengan judul: “Pelepasan Hak Ulayat Nagari Untuk Kepentingan

Umum (Studi Pengadaan Tanah Dari Hak Ulayat Untuk Bandar Udara

International Minang Kabau). Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan pengadaan tanah yang berasal dari hak ulayat nagari

Ketaping untuk pembangunan Bandar Udara International Minangkabau?

b. Apakah ada hambatan/masalah yang timbul dalam pelepasan hak ulayat

nagari ketaping untuk pembangunan Bandar Udara International

Minangkabau?

c. Upaya apakah yang dilakukan oleh pemerintah Daerah untuk mengatasi

hambatan/masalah dalam pengadaan tanah yang berasal dari hak ulayat untuk

kepentingan umum?

Jika diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini,

baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian

ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat, hukumpun mengalami

perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada

Universitas Sumatera Utara


12

metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.8

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai

landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum

dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam,

sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam

bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.9

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses

tertentu terjadi.10 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.11

Teori adalah merupakan suatu pinsip yang di bangun dan dikembangkan

melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan

suatu masalah.

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori

tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.12

Sedangkan menurut W.L Neuman, memberikan pendapatnya sebagaimana

yang dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, menyebutkan: “teori adalah

suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama

lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan


8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Jakarta, Press, 1986, hal. 6.
9
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 2.
10
.J.J M. Wuisman, Penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1, Jakarta,
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203.
11
Ibid., hal. 216.
12
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80.

Universitas Sumatera Utara


13

tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan

bagaimana dunia itu bekerja”.13

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Snelbecker mendefenisikan “teori sebagai perangkat proposisi yang

terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan

secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi

sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.14

Adapun teori menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono adalah:

Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah
didefenisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan
pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable
dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable
tersebut.

Fungsi teori dalam suatu kegiatan penelitian adalah untuk memberikan arahan

dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi, karena penelitian ini

merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu

hukum.

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori keadilan

pemikiran Roscoe Pound yang menganut teori Sociological Jurisprudence yang

menitikberatkan pendekatan hukum ke masyarakat. Menurut Sociological

13
HR. Otje Salman S. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2005,
hal. 22.
14
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2002, hal. 34-35.

Universitas Sumatera Utara


14

Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang

hidup (the living law) di masyarakat. Teori Roscoe Pound tersebut selanjutnya

dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya berjudul Konsep-

Konsep Hukum Dalam Pembangunan, dimana hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat (a tool of social engineering).

Kepentingan pembangunan, dimana pembangunan merupakan proses

perubahan terencana dan berjangka dari suatu kondisi menuju kondisi yang lebih baik

dalam rangka untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Dengan demikian setiap

kegiatan untuk kepentingan umum yang membutuhkan tanah-tanah rakyat seharusnya

memerlukan cakupan visi, misi, dan bidang kerja yang kedepannya jelas-jelas

terukur.

Konsep kepentingan umum harus dilaksanakan sejalan dengan terwujudnya

Negara, dimana hukum merupakan sarana utama untuk mewujudkan kepentingan

umum. Hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali disamping menjamin

kepentingan umum juga melindungi kepentingan perorangan agar keadilan dapat

terlaksana. Hal ini berarti bahwa hukum sendiri tidak dapat dipisahkan dari

norma keadilan, karena hukum adalah pengejawantahan dari prinsip-prinsip

keadilan.15

Menurut pendapat Pluto dijelaskan bahwa, kepentingan negara selalu melebihi

kepentingan pribadi, sehingga apapun yang menjadi milik pribadi termasuk pula

milik negara. Negara harus mempunyai kekuasaan atas warganya. Kekuasaan itu

15
Tholahah Hasan, Pertanahan Dalam Perspektif Agama Islam dan Budaya Muslim,
Yogyakarta, STPN, 1999, hal. 37.

Universitas Sumatera Utara


15

diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral. Bagi Pluto, individu

memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya

sendiri tetapi negara harus mencegahnya.16

Untuk melaksanakan kepentingan pembangunan kepentingan umum, negara

mempunyai hubungan hukum dengan tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia

atas nama bangsa melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UUPA dan peraturan

pelaksanaannya. Hubungan hukum tersebut dinamakan hak menguasai negara. Hak

ini tidak memberi kewenangan secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas

tanah, karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA.17

Kepentingan bangsa dan negara, setidaknya memberikan penjelasan dari

ketentuan UUPA, sebagaimana yang tercantum pada penjelasan umum butir ke-2

menyebutkan bahwa negara/pemerintah bukanlah subyek yang dapat mempunyai hak

milik, demikian pula tidak dapat sebagai subyek jual-beli dengan pihak lain untuk

kepentingannya sendiri.

Muhammad Yamin menyatakan pendapatnya bahwa: ”Negara sebagai

organisasi kekuasaan dalam tingkatan-tingkatan tertinggi diberi kekuasaan sebagai

badan penguasa untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa, dalam arti bukan

memiliki”.18

16
Arif Budiman, Teori Negara Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
1997, hal. 6.
17
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang
Pertanahan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 23.
18
Muhammad Yamin, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar Atas
Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 5.

Universitas Sumatera Utara


16

Terdapat 3 (tiga) prinsip yang dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan benar-

benar ditujukan untuk kepentingan umum, yaitu:19

a. Kegiatan pembangunan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah,

b. Kegiatan pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah,

c. Kegiatan pembangunan tersebut tidak mencari keuntungan (non profit).

Kegiatan pembangunan nasional khususnya pembangunan berbagai fasilitas

untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup. Usaha-usaha

pengembangan perkotaan baik berupa perluasan, pembukaan tempat pemukiman baru

di pinggir kota dan pembangunan jalan tol, senantiasa membutuhkan tanah, hanya

saja kebutuhan tersebut tidak dengan mudah dapat dipenuhi.

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan pembangunan fisik

tersebut, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah diharapkan dapat berperan

serta dengan cara merelakan tanah yang dimilikinya untuk diserahkan kepada pihak

yang membutuhkan, tentunya dengan mengikuti ketentuan yang ada, sebab pada

asasnya hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial, sebagaimana disebutkan di

dalam Pasal 6 UUPA.

Walaupun hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum

berfungsi sosial, hak atas tanah tersebut sesuai dengan hukum tanah nasional

dilindungi dari gangguan pihak mana pun dan hak atas tanah tersebut tidak boleh

dirampas dengan sewenang-wenang serta dengan secara melawan hukum termasuk

oleh penguasa.

19
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 75-76.

Universitas Sumatera Utara


17

Oleh karenanya dalam rangka mengisi dan melaksanakan pembangunan untuk

sarana kepentingan umum perlu adanya pengadaan tanah yang merupakan langkah

pertama yang dilakukan untuk meningkatkan/menunjang pembangunan melalui

musyawarah dan mufakat dengan pemilik/pemegang hak atas tanah dan benda-benda

yang ada di atasnya. Musyawarah yang dilakukan terkait dengan pemberian ganti rugi

secara wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sama dengan pembayaran ganti

rugi terhadap hak-hak lainnya atas tanah, bangunan dan tanaman dengan tata cara

yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Menurut Marmin M. Roosadijo berpendapat bahwa, pembebasan tanah atau

mengambil tanah yang diperlukan oleh pemerintah dengan cara pembebasan banyak

dipergunakan karena cara ini dianggap lebih cepat terlaksana, juga dianggap tidak

menimbulkan keresahan, sebab cara pembebasan tanah ini didasarkan adanya

keharusan tercapai kata sepakat.20

Adanya kata sepakat atau musyawarah dalam pembebasan tanah dimaksudkan

untuk dapat memberikan rasa kesejahteraan bagi pemilik dan yang memerlukan

tanah. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman, pembebasan tanah adalah

melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat di antara pemegang

hak/penguasaan atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi atas dasar musyawarah

dengan pihak yang bersangkutan.21

20
Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Di Atasnya, Jakarta, Chalia Indonesia, 1997, hal. 38.
21
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


18

Pada umumnya dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua

pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang

tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu

pengadaan tanah dimaksud haruslah dilakukan melalui proses yang menjamin tidak

adanya pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak yang lain, pengadaan

tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut harus dilakukan dengan

mengindahkan asas keadilan.22

Adanya asas keadilan dimaksudkan bahwa kepada masyarakat yang terkena

dampak harus diberikan ganti kerugian kepadanya untuk dapat memulihkan kondisi

sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan

memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik. Kerugian yang

bersifat non fisik misalnya, hilangnya bidang usaha atau sumber penghasilan,

hilangnya pekerjaan, dan lain-lain.

Ganti rugi merupakan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas

tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk benda-benda yang berada

diatasnya, terhadap tanah yang telah dilepas atau diserahkan dan dengan adanya ganti

rugi ini menyebabkan pemegang hak atas tanah akan kehilangan hak atas tanah dan

bangunan yang berada diatasnya.

Selain itu, adanya ketentuan mengenai ganti kerugian dianggap sebagai suatu

upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan

yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil, apabila hal

22
Maria S.W. Soemardjono (I), Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya
Jakarta, Kompas, 2008, hal. 282.

Universitas Sumatera Utara


19

tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya, atau sebaliknya menjadi lebih

miskin dari keadaan semula

Maria S.W. Sumardjono mengatakan, ganti rugi dapat disebut adil apabila

keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak kondisi sosial ekonominya setara

dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan

hidup mereka yang tergusur.23

Sedangkan disisi lain prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang

membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana

peruntukkannya dan memperoleh perlindungan hukum.24

Oleh karena itu, dengan ditempatkannya asas keadilan di dalam peraturan

pengadaan tanah, hal tersebut mencerminkan keadilan distributif sebagaimana

dikemukakan oleh Aristoteles. Keadilan distributif ialah menyangkut soal pembagian

barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam

masyarakat. Ia menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama

memperoleh perlakuan yang sama pula dihadapan hukum.25

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

harus dilakukan dengan prinsip keadilan, yaitu dengan penghormatan terhadap hak-

hak atas tanah yang diusahakan dengan cara seimbang dan dilakukan dengan cara

musyawarah. Perlakuan yang seimbang antara pemilik tanah dan yang membutuhkan

tanah adalah merupakan pemenuhan rasa keadilan bagi masing-masing pihak. Dalam

23
Maria S.W. Soemardjono (II), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi,
Edisi Revisi, Jakarta, Kompas, 2006, hal. 89.
24
Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Medan, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 156.
25
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Ke IV, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 258.

Universitas Sumatera Utara


20

hal ini maka, Pemerintah harus bertindak secara adil dan dilaksanakan dengan etika

moral yang tinggi.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”26

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, “kerangka konsepsi pada hakekatnya

merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis

yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional

yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”27

Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep,

yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai

kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,

yang disebut dengan defenisi operasional”.28 Defenisi operasional perlu

disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki

makna ganda.

Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses

penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan

serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya,

untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang

26
Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 28.
27
Soerjono Soekanto, Op.cit., hal. 133.
28
Samadi Surya Barata, Op.cit, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


21

tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi

dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

Pelepasan Hak adalah pelepasan hubungan hukum antara sebidang tanah hak

dengan pemiliknya, yang dilaksanakan melalui musyawarah yang selanjutnya disertai

pemberian imbalan yang layak.

Hak Guna Usaha adalah Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan

tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana telah

ditentukan oleh undang-undang, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau

peternakan.

PT. Perkebunan Nusantara II adalah sebuah bekas Badan Usaha Milik Negara

yang bergerak dalam bidang agribisnis perkebunan. Badan usaha ini dibentuk

berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1996 tanggal 14 Februari

1996

Pengadaan Tanah adalah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah

dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan

tanah dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Jalan Tol adalah jalan umum yang kepada pemakainya dikenakan kewajiban

membayar tol dan merupakan jalan alternatif lintas jalan umum yang telah ada. Jalan

tol diselenggarakan dengan maksud untuk mempercepat pewujudan jaringan jalan

dengan sebagian atau seluruh pendanaan berasal dari pengguna jalan untuk

meringankan beban pemerintah.

Universitas Sumatera Utara


22

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan

dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna

terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau

menjawab problemnya.29

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan

untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu,

kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.30

Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan

objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data

secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang

berlaku maupun dari pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran

tentang data faktual yang berhubungan dengan pelepasan hak guna usaha dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum untuk pembangunan jalan tol Medan

Binjai .

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat

yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban

dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam pengadaan

29
Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta,
1997, hal. 2.
30
Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Garanit, 2004, hal. 58.

Universitas Sumatera Utara


23

tanah untuk kepentingan umum, sehingga akan diketahui secara hukum tentang

pelepasan hak guna usaha dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol

Medan Binjai.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data

primer dan data sekunder.

Data primer didapat dengan cara wawancara secara mendalam (deep

interview) dilakukan secara langsung kepada responden dan narasumber. Dalam hal

ini, mula-mula diadakan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan keterangan lebih

lanjut, sehingga dapat diperoleh jawaban yang memperdalam data primer dan

sekunder lainnya.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan

mempelajari :

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen

resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden No. 36 Tahun

2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Universitas Sumatera Utara


24

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan

Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden No. 71

Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 99

Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun

2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 148 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaran Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No.

5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah,

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Pengadaan Tanah dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

No. PER/02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan

Pemindahtanganan Aktiva Tetap.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak

Universitas Sumatera Utara


25

resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah”.31

3. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,

jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga

apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil

penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat

dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat

pengumpulan data.

Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan

alat pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi Dokumen.

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu

dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen

kontrak perjanjian kerjasama yang berhubungan dengan permasalahan yang

akan diteliti.

b. Pedoman Wawancara

Untuk memperoleh data primer, maka akan dilakukan wawancara dengan

pihak terkait langsung dalam kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan

31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,
hal. 141.

Universitas Sumatera Utara


26

jalan Tol Medan Binjai yaitu pada Bagian Hukum dan Pertanahan

PT. Perkebunan Nusantara II.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan

data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.32

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang

diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul

dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam

usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan

metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari analisis yang telah selesai diolah

tersebut yang merupakan hasil penelitian.

32
Lexy J. Moleong, Op.cit., hal. 101.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

PELAKSANAAN PELEPASAN TANAH HAK GUNA USAHA


PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNTUK PEMBANGUNAN
JALAN TOL MEDAN-BINJAI

A. Sejarah Berdirinya PT. Perkebunan Nusantara II

Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara II lahir setelah melalui proses yang

cukup panjang setelah pengambilan alih perusahaan-perusahaan milik Belanda pada

tahun 1957 dimana hal tersebut berkaitan dengan perjuangan Bangsa Indonesia

melepaskan diri dari penjajahan bangsa Belanda.

Keberadaan PT. Perkebunan II yang bergerak dibidang pertanian dan

perkebunan didirikan dengan Akte Notaris G.H.S Loemban Tobing, SH., No. 12,

tanggal 5 April 1976, yang diperbaiki dengan Akte No. 54, tanggal 21 Desember

1976 dan mendapat pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan

No. Y.A 5/43/8, tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran

Negara No. 52 tahun 1978 sebagai tambahan Berita Negara Republik Indonesia

No. 6, tanggal 20 Januari 1978, yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri

Tingkat I Medan, tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977. Dalam ataruan undang-

undang disebutkan perseroan terbatas ini bernama: Perusahaan Perseroan (Persero)

PT. Perkebunan II, disingkat ”PT. Perkebunan II” merupakan perubahan bentuk dan

gabungan dari PN. Perkebunan II dan PN. Perkebunan Sawit Seberang.

Pendirian Perusahaan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-

ketentuan dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 12

Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

27

Universitas Sumatera Utara


28

1975. Mulai tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang

Saham Akte Pendirian tersebut diatas telah dirobah dan diterangkan dalam Akte

Notaris Imas Fatimah No. 94 tanggal 13 Agustus 1984, yang kemudian diperbaiki

dengan Akte No. 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman

No. C2-5013- HT.0104 Tahun 1985, tanggal 14 Agustus 1985. Sesuai dengan

Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 akte tersebut

mengalami perobahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah No. 2 tanggal 1

April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman No. C2-4939-HT.01.04 TH-91

tanggal 20 September 1991.

Selanjutnya pada tanggal 11 Maret 1996, kembali diadakan reorganisasi

berdasarkan wilayah kerja, dimana PT. Perkebunan II (Persero) yang didirikan

dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH., No. 6, tanggal 1 April 1974 dan

PT. Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH., No. 100

tanggal 18 September 1983, dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama

PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun

Kamil, SH, No. 35, tanggal 11 Maret 1996, yang berkedudukan dan berkantor pusat

di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Perseroan

didirikan atas dasar Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

No.188/KMK.061/116, tanggal 11 Maret 1996 tentang Penempatan Modal pada

PT Perkebunan Nusantara II (Persero). Anggaran dasar mana kemudian diperbarui

dengan Akte Notaris Sri Rahayu Prasetyo, SH., No. 7 tanggal 08 Oktober 2002.

Anggaran dasar ini direvisi kembali dengan Akte Notaris Nur Muhammad Dipo

Nusantara Pua Upa, SH., No.33 tanggal 13 Agustus 2008, akta perubahan ini telah

Universitas Sumatera Utara


29

mendapat pengesahan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia

sesuai dengan surat Keputusan No. AHU.69248.AH.01.02 tahun 2008, tanggal 25

September 2008.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72

Tahun 2014 Tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke

Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara III

(Persero) dan surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia,

No.468/KMK.06/2014 tentang penetapan Nilai Penambahan Penyertaan Modal

Negara ke dalam modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara III tanggal 1 Oktober 2014. Sebagai anak perusahaan Holding BUMN

Perkebunan adalah PTPN I, PTPN II, PTPN IV, PTPN V, PTPN VI, PTPN VII,

PTPN VIII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, PTPN XIII dan PTPN XIV.33

Oleh karena terbentuknya Holding Perkebunan maka Anggaran Dasar

perseroan telah mengalami perubahan sesuai Akta No. 24 tanggal 23 Oktober 2014,

Pernyataan Keputusan Pemegang Saham Perseroan (Persero) PT. Perkebunan

Nusantara II tentang Perubahan Anggaran Dasar yang dibuat dihadapan Nanda Fauz

Iwan, SH, M.Kn., Notaris di Jakarta, Akta perubahan ini telah mendapat pengesahan

Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan surat

keputusannya No. AHU-10527.40.20.2014, tanggal 04 Nopember 2014 tentang

Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perseroan Terbatas PT. Perkebunan

Nusantara II.

33
Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 23 Nopember
2016.

Universitas Sumatera Utara


30

Dalam menjalankan kegiatan usahanya PT. Perkebunan Nusantara II

mengelola budidaya Kelapa Sawit, Karet, Tembakau dan Tebu. Perusahaan

mengelompokkan unit usaha dalam Distrik Unit Usaha dan unit Pengembangan.

Distrik Usaha yang dikelola terdiri atas : Distrik Tanaman Tahunan Rayon Utara,

Distrik Tanaman Tahunan Rayon Selatan, Distrik Tanaman Tebu, Distrik Tanaman

Tembakau dan Distrik Rumah Sakit. Sedangkan pengelompokan Kebun

Pengembangan adalah: Kebun Arso dan Prafi didaerah Papua. Masing-masing Distrik

Unit Usaha (DUU) dipimpin oleh 1 (satu) orang Manajer, sementara Kebun

Pengembangan dipimpin oleh masing-masing Manajer Kebun.

Pada tanggal 09 Juni 2009 PT. Perkebunan Nusantara II melakukan kerja

sama dengan Kuala Lumpur Kepong Plantation Holding BHD. (KLK. PH) untuk

mendirikan perusahaan patungan yang diberi nama PT. Langkat Nusantara Kepong,

pada tanggal 01 Juli 2009 untuk melakukan kerja sama operasi (KSO) dalam

mengelola Distrik Rayon Tengah (5 unit usaha kebun termasuk 2 pabrik kelapa sawit

di dalamnya).

Saat ini PT. Perkebunan Nusantara II mengelola sendiri 35 unit usaha

(termasuk 6 unit Pabrik Kelapa Sawit, 2 unit Pabrik Gula (PG, 2 unit Pabrik Karet, 3

unit Rumah Sakit (RS), 1 unit Bengkel Pusat (BP), 1 unit Balai Penelitian Tembakau

Deli (BPTD), dan 1 unit Riset dan Pengembangan Tebu (Risbang Tebu).

Untuk areal yang dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara II tersebar

dibeberapa wilayah Sumatera Utara dan Papua, dengan total keseluruhan areal

mencapai 119.869,47 hektar, pada sebaran wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas

117.169,47 hektar (termasuk luas area kerja sama operasi dengan PT. Langkat

Universitas Sumatera Utara


31

Nusantara Kepong (LNK) seluas 23.402,92 hektar dan Wilayah Provinsi Papua

seluas 2.700 hektar.

Budidaya kelapa sawit diusahakan pada areal seluas 61.577 hektar, karet

11.256 hektar, dan kakao seluas 7.370 hektar. Selain penanaman komoditi pada areal

sendiri ditambah inti PT. Perkebunan Nusantara II juga mengelola areal Plasma

milik petani seluas 25.250 hektar untuk tanaman kelapa sawit. Disamping itu

PT. Perkebunan Nusantara II juga mengelola tanaman musiman yaitu tanaman tebu

dan tembakau. Tanaman tebu lahan kering ditanam pada areal seluas 16.046 hektar,

terdiri dari tebu sendiri (TS) 14.476 hektar dan tebu rakyat (TR) seluas 1.572 hektar,

sedangkan tanaman tembakau ditanam pada areal seluas 2.443 hektar.34

Untuk areal kebun milik PT. Perkebunan Nusantara II tersebar dibeberapa

daerah yang terbagi dalam beberapa distrik yaitu meliputi:

1. Distrik Tanaman Tahunan Kelapa Sawit & Karet Rayon Selatan:

- Kebun Tanjung Garbus

- Kebun Melati

- Kebun Limau Mungkur

- Kebun Patumbak

- Kebun Bandar Klippa

2. Distrik Tanaman Tahunan Kelapa Sawit & Karet Rayon Utara:

- Kebun Sei Musam

- Kebun Sei Serdang

34
Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 23 Nopember
2016.

Universitas Sumatera Utara


32

- Kebun Sawit Hulu Utara

- Kebun Sawit Hulu Selatan

- Kebun Sawit seberang

- Kebun Batang Serangan

- Kebun Air Tenang

- Kebun Babalan

- PKS Padang Tualang

3. Strategic Business Unit (SBU) Tanaman Tembakau:

- Kebun Helvetia

- Kebun Klumpang

- Kebun Bulu Cina

4. Distrik Tanaman Tebu:

- Kebun Sei Semayang

- Kebun Kwala Madu

- Pabrik Gula Sei Semayang

- Pabrik Gula Kwala Madu

- Kebun Kwala Bingei

- Kebun Tandem Hilir

- Kebun Tanjung Jati

- Kebun Sampali

- Kebun Helvetia

- Kebun Klumpang

- Kebun Bulu Cina

Universitas Sumatera Utara


33

- Kebun Tandem

- Unit Risbang Tebu

5. Unit Papua:

- Kebun Arso (termasuk PKS)

Dari areal yang dikuasai oleh PT. Perkebunan Nusantara II seluas 106.796,71

hektar, yang telah memiliki sertifikat Hak Guna Usaha seluas 92.082,31 hektar,

sementara yang masih dalam proses pembuatan surat permohonan Hak Guna Usaha

seluas 3.111,77 hektar, proses perpanjangan Hak Guna Usaha pada Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara dan pada Kantor Badan Pertanahan

Nasional Pusat seluas 11.602,63 hektar, sedangkan areal yang digarap oleh

masyarakat pada saat ini seluas 16.142,59 hektar.35

Sedangkan untuk areal Hak Guna Usaha milik PT. Perkebunan Nusantara II

yang tidak diperpanjang seluas 5.873,06 hektar, dimana pada saat ini sedang dalam

proses pelepasan yang peruntukkannya akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Kementerian Badan Usaha

Milik Negera (BUMN).36

Selanjutnya dalam menghadapi tantangan bisnis global, maka PT. Perkebunan

Nusantara II kedepan akan terfokus terhadap pengelolaan bisnis perkebunan dan

bisnis non perkebunan dengan memanfaatkan aset-aset non produktif serta

ekstensifikasi usaha perkebunan melalui Agro Wisata, Agro Bisnis dan Agro Industri.

35
Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 23 Nopember
2016.
36
Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 23 Nopember
2016.

Universitas Sumatera Utara


34

Dalam menjalankan kegiatannya PT. Perkebunan Nusantara II memiliki visi

yaitu: ”Dari perusahaan perkebunan menjadi perusahaan multi usaha berdaya saing

tinggi”. Sedangkan yang menjadi misi perusahaan yaitu: ”Mengoptimalkan seluruh

potensi sumber daya dan usaha, memberikan kontribusi optimal, menjaga kelestarian

dan pertambahan nilai”.37

B. Hak Atas Tanah

1. Pengertian Hak atas Tanah

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan

serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang

untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria

atau tolok pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam

hukum tanah.38

Ketentuan mengenai hak menguasai dari negara dinyatakan dalam Pasal 2

ayat (1) UUPA, yaitu bahwa: “Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan

hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan yang tertinggi

dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh masyarakat.”

Oleh karena itu, atas dasar ketentuan tersebut maka negara berwenang untuk

menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada

perseorangan dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan.

37
Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-bisnis, diakses pada tanggal 23 Nopember 2016
38
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 283.

Universitas Sumatera Utara


35

Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:

“Atas dasar hak mengusai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang

dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.”

Kemudian didalam ayat (2) dinyatakan bahwa: “Hak-hak atas tanah yang

dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan

tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada

diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-

peraturan hukum yang lebih tinggi.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka negara menentukan hak-hak atas

tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:

a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalm hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebut dalam Pasal.

Hak-hak atas tanah tersebut diatas yang bersifat sementara diatur lebih lanjut

dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

Hak-hak yang bersifat sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1
huruf h, ialah hak gadai, hak usah bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan

Universitas Sumatera Utara


36

dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam


waktu yang singkat.

Seseorang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah, oleh

UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara

aktif serta wajib pula memelihara termasuk menambah kesuburan dan mencegah

kerusakan tanah tersebut.

Selain itu, UUPA juga menghendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai

oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk

kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan

masyarakat umum atau dengan kata lain semua hak atas tanah tersebut harus

mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA yang menyatakan

bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.

Pihak yang dapat mempunyai hak atas tanah diatur dalam ketentuan Pasal 9

ayat (2) UUPA, yaitu: “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun

perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas

tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun

keluarganya”.

2. Macam-macam Hak atas Tanah

a. Hak atas Tanah Bersifat Tetap

Hak atas tanah sebagai diatur dalam UUPA, yaitu:

1). Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

Universitas Sumatera Utara


37

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 16.39

2). Hak Guna Usaha

Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang diknasai

langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam

Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.40

3). Hak Guna Bangunan

Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan

jangka waktu paling lama 30 tahun.41

4). Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh penjabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.42

b. Hak atas Tanah Bersifat Sementara

Hak atas tanah yang bersifat sementara diatur dalam Pasal 53 UUPA. Hak

tersebut dimaksudkan sebagai hak yang bersifat sementara karena pada suatu

ketika hak tersebut akan dihapus. Hal tersebut dapat disebabkan karena

39
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal
20 ayat 1
40
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal
28 ayat 1.
41
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal
35 ayat 1
42
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal
41 ayat 1.

Universitas Sumatera Utara


38

bertentangan dengan asas yang terdapat dalam Pasal 10 UUPA, yaitu:43

“seseorang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan

mengerjakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan,

namun sampai saat ini hakhak tersebut masih belum dihapus.”

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan hak atas tanah yang bersifat

sementara adalah:

1). Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende.

Hak gadai/jual gadai/jual sende adalah menyerahkan tanah dengan

pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang

menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah

tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama.

2). Hak Usaha Bagi Hasil.

Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk

menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa

hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang

telah disetujui sebelumnya.

3). Hak Sewa Tanah Pertanian.

Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada

orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan

perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah

selama jangka waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada

pemiliknya.

43
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 290.

Universitas Sumatera Utara


39

4). Hak menumpang.

Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain.

Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada yang

empunya tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat

lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh yang empunya tanah

jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut.

C. Pengaturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

1. Pengertian Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama

pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah yang terdiri dari kepentingan umum,

sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi

kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 yang

dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah: “Kegiatan menyediakan tanah dengan

cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah

menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 harus dilakukan dengan memberikan

ganti rugi kepada pihak pemilik atas tanah. Hal ini berarti adanya unsur keadilan bagi

pemilik tanah sehingga pada akhirnya dapat menjamin kepada pemilik tanah untuk

mempertahankan kehidupannya.

Universitas Sumatera Utara


40

Berdasarkan pengertian pengadaan tanah menurut Undang-Undang No. 12

Tahun 2012 tersebut, maka dapat disimpulkan dengan berlakunya undang-undang

yang baru tersebut dalam pengadaan tanah tidak ada lagi istilah “pencabutan hak atas

tanah”. Hal ini berarti tidak ada lagi unsur-unsur pemaksaan kehendak untuk

dilakukannya pencabutan hak atas tanah terhadap tanah yang dibutuhkan dalam

pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum.

Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk mewujudkan

tersedianya tanah untuk digunakan dalam berbagai kepentingan bagi pembangunan

untuk kepentingan umum. Prinsip dasar dalam pengadaan tanah, demokratis, adil,

transparan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengedepankan asas

musyawarah. Peradilan adalah pintu terakhir dalam menghadapi kebuntuan dalam

musyawarah antara pemerintah yang memerlukan tanah dengan masyarakat pemilik

tanah.

Pembangunan untuk kepentingan umum menjadi salah satu dasar bagi

pemerintah untuk melegitimasi dalam rangka melaksanakan pengadaan tanah, karena

pemerintah memerlukan tanah untuk mewujudkan pembangunan di segala bidang dan

ternyata dalam praktek di lapangan ketersediaan tanah semakin terbatas, akibatnya

pengadaan tanah menjadi terhambat dan pembangunan fisiknya tidak dapat dilakukan

sesuai jadwal yang telah di tetapkan, dengan demikian pemerintah menderita

kerugian yang sangat besar karena proyek yang akan dibangun tertunda

pengoperasiannya.

Keterbatasan ketersediaan tanah dimaksud tidak dapat dikonotasikan bahwa

tanah sudah tidak tersedia, tetapi di lapangan tanah-tanah yang akan diperlukan oleh

Universitas Sumatera Utara


41

pemerintah ternyata telah dikuasai atau dimiliki oleh berbagai badan hukum, baik

privat maupun publik seperti, tanah aset pemerintah, tanah kawasan hutan, dan

tanah-tanah yang telah dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum merupakan

salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah, pengadaan tanah dipandang

sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri. Pengadaan tanah bagi

kepentingan umum hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak

atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang

hak atas tanah itu sendiri. Karena merupakan perbuatan pemerintah untuk

memperoleh tanah pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara

musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang

tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.44

Selain itu fungsi sosial atas tanah yaitu tanah haruslah dimanfaatkan untuk

kepentingan yang lebih besar bagi bangsa Indonesia sebagaimana mandat negara

kepada pemerintah yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk

mewujudkan berbagai fungsi sosial atas tanah maka dibentuk berbagai badan publik

dan berbagai peraturan perundang-undangan guna mewujudkan berbagai fungsi sosial

atas tanah di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum itu diartikan sebagai kegiatan untuk

44
Lieke Lianadevi Tukgali, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Jakarta, Kertas Putih Communication, 2010, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara


42

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan

maupun yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda- benda yang

berkaitan dengan tanah, untuk digunakan bagi kepentingan umum.

2. Pengertian Kepentingan Umum

Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja

dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan

yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada

batasannya.45

Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan

dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public

access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the product of

the facility”.46

Menurut John Salindeho belum ada definisi yang sudah dikentalkan mengenai

pengertian kepentingan umum, namun cara sederhana dapat ditarik kesimpulan atau

pengertian bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan,

kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas. Oleh Karena

itu rumusan demikian terlalu umum, luas dan tak ada batasnya, maka untuk

mendapatkan rumusan terhadapnya, kiranya dapat dijadikan pegangan sambil

menanti pengentalannya yakni kepentingan umum adalah termasuk kepentingan

bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan

45
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004, hal. 6.
46
Maria S.W. Soemardjono (I), Op.cit., hal. 200.

Universitas Sumatera Utara


43

segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan

Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta wawasan Nusantara.47

Sedangkan Adrian Sutendi memberikan pendapatnya bahwa, prinsip-prinsip

kriteria kepentingan umum dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi sifat

kepentingan umum, bentuk kepentingan umum, dan ciri-ciri kepentingan umum.

Demikian metode penerapan tiga aspek tersebut sehingga kriteria kepentingan umum

dapat diformulasikan secara pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat.48

Selanjutnya berdasarkan ketentuan didalam UUPA kepentingan umum

dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara,

kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan

tersebut harus memenuhi peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya,

dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara

langsung.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata kepentingan berasal dari kata

dasar “penting” yang berarti amat perlu, amat utama, sangat berharga, dan kata

“kepentingan” mengandung arti keperluan, sesuatu yang penting. Sedangkan kata

“umum” mempunyai arti keseluruhan, sekaliannya, untuk siapa saja, khalayak

manusia, masyarakat luas.49

47
John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, 1988, hal. 40
48
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 70.
49
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1986,
hal. 600.

Universitas Sumatera Utara


44

Pengertian kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

No. 2 Tahun 2012 yaitu: ”Kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus

diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat”. Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan undang-undang

tersebut dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya

dimiliki oleh pemerintah serta digunakan kesejahteraan masyarakat dan tidak untuk

mencari keuntungan.

Dalam pengadaan tanah ada tiga prinsip yang dapat dijadikan patokan bahwa

suatu kegiatan benar-benar untuk kepentingan umum yaitu:50

1. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.

Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh

perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat

memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan

pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.

2. Kegiatan pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah.

Prinsip ini mau memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan

pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat diperankan

oleh pemerintah.

3. Tidak mencari keuntungan.

Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga berbeda

dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan.

50
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 75-76.

Universitas Sumatera Utara


45

Ruang lingkup kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan

ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 yaitu meliputi:

a. pertahanan dan keamanan nasional;


b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan
air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.

Berbeda dengan batasan tentang kepentingan umum dalam Perpres No. 65

Tahun 2006, dimana ruang lingkup kegiatan kepentingan umum yang terdapat dalam

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 cakupannya sangat luas dikarenakan semakin

banyaknya kebutuhan pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah kedepannya,

sebagai konsekuensinya adalah makin banyak juga tanah yang dibutuhkan untuk

melaksanakan pembangunan tersebut.

Maria S.W. Sumarjono dalam uraiannya mengenai pengadaan tanah

menyampaikan bahwa kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh

lapisan masyarakat, sedangkan mengenai kegiatan pembangunan untuk kepentingan

umum dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki

Universitas Sumatera Utara


46

oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian

interpretasi kegiatan yang termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada

terpenuhinya ketiga unsur tersebut.51

Konsekuensi dari batasan kriteria tersebut maka walaupun kegiatan itu

dilakukan oleh pemerintah dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, akan tetapi

untuk mencari keuntungan maka hal ini jelas tidak dapat dikategorikan sebagai

kepentingan umum. Sebagaimana diketahui dalam perkembangannya banyak

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi juga digunakan untuk

mencari keuntungan. Misalnya kegiatan pos dan telekomunikasi dalam

perkembangannya merupakan kegiatan yang nyata-nyata mencari keuntungan.

Oleh karena itu sebenarnya tidak tepat dimasukkan dalam pengertian kepentingan

umum.

Kepentingan merupakan tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan

untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan

dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Di dalam masyarakat terdapat

banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang

tidak dapat dihitung jumlahnya maupun jenisnya, yang kesemuanya itu harus

dihormati dan dilindungi. Dengan demikian wajarlah kalau setiap orang atau

kelompok mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingannya itu dilindungi

dan dipenuhi, yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semua sekaligus,

mengingat bahwa kepentingan-kepentingan itu banyak pula yang bertentangan satu

sama lain.

51
Maria S.W Sumardjono (II), Op.cit., hal. 73.

Universitas Sumatera Utara


47

Oleh karena itu, kepentingan umum dapat dikatakan sebagai kepentingan

umum bila peruntukan dan manfaatnya dirasakan benar-benar oleh masyarakat secara

keseluruhan atau secara langsung, termasuk oleh pemilik tanah sebelumnya, dimana

kemudian kegiatan pembangunannya dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah dan

tidak digunakan untuk tujuan mencari keuntungan semata atau tidak bersifat

komersil. Contoh kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum antara lain

pembangunan jalan umum, jembatan layang, rumah sakit umum, saluran pembuangan

air, tempat pemakaman umum dan lain-lain.

3. Dasar Hukum Pengadaan Tanah

Regulasi pengaturan hukum mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan

umum di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA.

Diawali dengan diundangkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 yang mengatur

tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Pembentukan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 ini merupakan amanat dari Pasal

18 UUPA untuk segera menerbitkan undang-undang tentang pencabutan hak atas

tanah. Penggunaan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dilakukan jika tanah yang

bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak

dimungkinkan menggunakan tanah yang lain, sedangkan musyawarah yang dilakukan

tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilaksanakan pengambilan secara paksa,

dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya.

Kemudian pada tahun 1975 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam

Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata

Universitas Sumatera Utara


48

Cara Pembebasan Tanah. Keberadaan PMDN No. 15 Tahun 1975 ini sejak semula

sudah diperdebatkan keabsahannya karena secara yuridis tidak mempunyai kekuatan

hukum eksekutorial untuk dipaksakan kepada warga masyarakat, akibatnya

pembebasan tanah yang dilakukan dengan cara penggusuran-penggusuran adalah

batal demi hukum dan pihak warga masyarakat yang terkena pembebasan dapat

menuntut ganti kerugian melalui Pengadilan Perdata.52

Oleh karena keberadaan PMDN No. 15 Tahun 1975 tersebut menjadi

kontroversi dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka

selanjutnya pemerintah mencabut PMDN No. 15 Tahun 1975 tersebut dan

selanjutnya menerbitkan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Akan tetapi dengan pertumbuhan pembangunan yang semakin meningkat,

sehingga keberadaan Keppres No. 55 Tahun 1993 dianggap tidak dapat lagi untuk

mengakomodir dengan baik pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada saat itu

dan pada akhirnya Presiden menerbitkan Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Selanjutnya beberapa ketentuan pasal-pasal didalam Perpres No. 36 Tahun 2005

tersebut direvisi dengan diterbitkannya Perpres No. 65 Tahun 2006.

Selanjutnya karena dianggap ketentuan didalam Perpres No. 65 Tahun 2006

belum mampu mengakomodir kepentingan para pihak dalam pelaksanaan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum, sehingga dibutuhkan adanya perangkat hukum yang

52
Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 39.

Universitas Sumatera Utara


49

setingkat undang-undang untuk menjadi payung hukum yang kuat, oleh karena itu

setelah melewati perjalanan waktu yang cukup panjang, kemudian lahirlah Undang-

Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum yang disahkan pada tanggal 14 Januari 2012.

Dengan lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tersebut, maka tugas

pemerintah selanjutnya menerbitkan beberapa aturan pelaksananya, yaitu antara lain:

1. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

2. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 99 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum

3. Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 148 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaran Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum

5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 5

Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

6. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan

Universitas Sumatera Utara


50

Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Pengadaan Tanah.

D. Asas-asas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Asas-asas pengadaan tanah adalah serangkaian kaedah fundamental yang

menfundamentir peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan

pembangunan telah diatur dalam suatu undang-undang, dimana keberadaannya

mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya

hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonominya yang substansinya didasarkan atas

asas-asas hukum.

Secara umum asas-asas atau kaedah fundamental konsep pengadaan tanah

terdiri dari:

1. Asas Kemanusiaan;

Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta penghormatan

terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.

2. Asas Keadilan;

Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak

dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk

dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.

3. Asas Kemanfaatan;

hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi

Universitas Sumatera Utara


51

kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Asas Kepastian;

Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan

tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang

berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.

5. Asas Keterbukaan;

Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses

kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan

pengadaan tanah.

6. Asas Kesepakatan;

Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa

unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama..

7. Asas Keikutsertaan;

Dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui partisipasi

masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan

sampai dengan kegiatan pembangunan.

8. Asas kesejahteraan;

Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi

kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas.

9. Asas Keberlanjutan;

Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus-menerus,

berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan

10. Asas Keselarasan;

Universitas Sumatera Utara


52

Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan

kepentingan masyarakat dan negara.

E. Proses Pelepasan Tanah Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara II


Untuk Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai

Rencana pembangunan jangka panjang merupakan salah satu bagian dari

proses untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Perencanaan

merupakan salah satu tahapan penting dalam proses manajemen suatu institusi atau

organisasi. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan

yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang

tersedia.

Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan

pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau

masyarakat itu sendiri baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun

kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan

atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk

ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atau tanah itu sendiri.

Kebijaksanaan pengembangan dan peningkatan sistem kota dilakukan antara

lain melalui penataan sistem jaringan transportasi. Pengembangan sistem jaringan

transportasi harus dapat menjamin kelancaran pergerakan barang dan penumpang

regional, antar kota dan internal kota yang didukung oleh struktur jaringan jalan

sesuai dengan fungsi dan pelayanannya.

Universitas Sumatera Utara


53

Adanya pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai sangat diharapkan oleh

masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Oleh karena

itu, salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

adalah dengan mempersiapkan infrastruktur pendukungnya, yaitu melakukan

perbaikan-perbaikan jalan, pelebaran jalan maupun membuka akses jalan baru yang

menghubungi antar daerah untuk memperlancar sarana transportasi dalam

perdagangan.

Kemajuan suatu kawasan tidak terlepas dari kontribusi kemajuan infrastruktur

didaerah tersebut. Sudah merupakan suatu rumusan umum, jika terdapat

pembangunan infrastruktur pada suatu kawasan atau wilayah tertentu akan selaras

dengan perkembangan (pertumbuhan) ekonomi pada kawasan tersebut. Hal ini

dikarenakan pembangunan infrastruktur merupakan suatu variabel dalam akselerasi

pertumbuhan ekonomi suatu kawasan. Tersedianya infrastruktur yang memadai, akan

mempercepat distribusi barang dan jasa dari suatu kawasan ke wilayah lainnya.

Sehingga akan memacu laju pertumbuhan ekonomi regional suatu kawasan. Pada

akhirnya akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu, karena sangat pentingnya Jalan Tol Medan-Binjai sebagai

salah satu instrumen penunjang kesejahteraan rakyat, maka pemerintah telah

memprioritaskan untuk pembangunan jalan tol yang akan menghubungkan beberapa

Kota dan Kabupaten didalam Provinsi Sumatera Utara. Pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai merupakan bagian dari Master Plan Percepatan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Sumatera.

Universitas Sumatera Utara


54

Keberadaan Jalan Tol Medan-Binjai dari sisi ekonomi akan berimplikasi

terhadap pertumbuhan daerah yang merupakan isu strategis dalam pembangunan di

tanah air. Kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara yang berada pada

pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, memiliki posisi strategis. Kota Medan

menjadi pintu terhadap jalur perdagangan domestik maupun luar negeri. Bagi Kota

Medan, kegiatan perdagangan menjadi motor penggerak roda perekonomian kota. Ini

bisa terwujud bila didukung oleh fasilitas jalan yang baik.

Pembangunan ruas Jalan Tol Medan-Binjai diperkirakan sepanjang + 16,72

kilometer dengan lebar jalan 120 meter. Untuk jumlah lahan yang dibutuhkan dalam

pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai tidaklah sedikit. Oleh karena itu, sudah pasti

dibutuhkan tanah baik dari milik pemerintah maupun dari masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan pembangunannya. Khusus untuk pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai hampir 70 persen lahan yang digunakan adalah dalam status Hak Guna

Usaha milik PT. Perkebunan Nusantara II yang melintasi beberapa areal kebun.

Sebagai langkah awal dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai, pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini PT. Hutama Karya yang

dipercaya oleh pemerintah untuk pengerjaannya, terlebih dahulu membuat

perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam hal perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan

umum haruslah didasarkan atas rencana tata ruang wilayah dan prioritas

pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah,

Rencana Strategis, Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara


55

Langkah selanjutnya, untuk memperoleh tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum, maka berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 2

Tahun 2012 telah menginstruksikan kepada instansi yang memerlukan tanah terlebih

dahulu menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit

memuat:

a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;


b. Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional dan Daerah;
c. Letak tanah;
d. Luas tanah yang dibutuhkan;
e. Gambaran umum status tanah;
f. Perkiraan waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
g. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
h. Perkiraan nilai tanah; dan
i. Rencana penganggaran.

Untuk dokumen perencanaan pengadaan tanah ditetapkan oleh pimpinan

PT. Hutama Karya yang memerlukan tanah atau pejabat yang ditunjuk dan

selanjutnya terhadap dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut disampaikan

kepada Gubernur Provinsi Sumtera Utara yang berwenang untuk itu berdasarkan

kedudukan tanah berada.53

Setelah menerima dokumen perencanaan pengadaan tanah dari PT. Hutama

Karya sebagai pihak yang memerlukan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-

Binjai, maka selanjutnya Gubernur akan melaksanakan tahapan kegiatan persiapan

pengadaan tanah dengan membentuk tim persiapan dalam waktu paling lama 10

(sepuluh) hari kerja.

53
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


56

Tim persiapan yang dibentuk beranggotakan Bupati/Walikota, satuan kerja

perangkat daerah Provinsi terkait, Instansi yang memerlukan tanah, dan Instansi

terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur akan

membentuk sekretariat persiapan pengadaan tanah yang berkedudukan di Sekretariat

Daerah Provinsi.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 10 Perpres No. 71 Tahun 2012, tim

persiapan memiliki tugas, yaitu antara lain:

a. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;


b. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
c. Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan;
d. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan;
e. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum;
f. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur.

Tim persiapan melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan kepada

masyarakat pada lokasi rencana pembangunan. Pemberitahuan rencana pembangunan

dilaksanakan dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak dokumen

perencanaan pengadaan tanah diterima secara resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan

rencana pembangunan memuat informasi mengenai:

a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;

b. Letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;

c. Tahapan rencana Pengadaan Tanah;

d. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;

e. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;

f. Informasi lainnya yang dianggap perlu.

Universitas Sumatera Utara


57

Tahap kedua adalah persiapan pengadaan tanah, dimana dalam tahap ini

PT. Hutama Karya selaku pihak yang memerlukan tanah bersama pemerintah

Provinsi Sumatera Utara berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah

sebagaimana diajukan oleh pihak yang memerlukan tanah melaksanakan kegiatan-

kegiatan, berupa:

a. Pemberitahuan rencana pembangunan;

b. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan

c. Konsultasi publik rencana pembangunan.

Untuk pemberitahuan rencana pembangunan tersebut, maka PT. Hutama

Karya selaku pihak yang memerlukan tanah bersama dengan pemerintah Provinsi

Sumatera akan menyampaikan rencana tersebut kepada masyarakat termasuk juga

kepada pihak PT. Perkebunan Nusantara II selaku pemegang hak guna usaha, dimana

lahannya masuk dalam rencana lokasi untuk rencana pembangunan Jalan Tol Medan-

Binjai.54

Tugas tim persiapan pengadaan tanah selanjutnya akan melakukan pendataan

awal lokasi rencana pembangunan, dimana tim persiapakan akan melakukan kegiatan

pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Untuk

kegiatan pendataan awal dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal lokasi

rencana pembangunan akan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi

publik rencana pembangunan.

54
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


58

Adanya konsultasi publik dalam rencana pembangunan diperlukan untuk

mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak.

Konsultasi publik dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat

yang terkena dampak serta dilaksanakan ditempat rencana pembangunan kepentingan

umum atau di tempat yang disepakati.

Keterlibatan pihak yang berhak dapat dilakukan melalui perwakilan dengan

surat kuasa dari dan oleh pihak yang berhak atas lokasi rencana pembangunan.

Selanjutnya atas kesepakatan yang dicapai akan dituangkan dalam bentuk berita

acara kesepakatan. Atas dasar kesepakatan tersebut maka pihak yang memerlukan

tanah dalam hal ini PT. Hutama Karya dapat mengajukan permohonan penetapan

lokasi kepada Gubernur Provinsi Sumtera Utara. Kemudian atas permohonan

penetapan lokasi yang diajukan oleh PT. Hutama Karya, maka Gubernur akan

menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empatbelas) hari kerja terhitung

sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan lokasi oleh instansi yang

memerlukan tanah.

Selanjutnya Gubernur Provinsi Sumatera bersama dengan PT. Hutama Karya

selaku pihak yang memerlukan tanah akan mengumumkan penetapan lokasi

pembangunan untuk kepentingan umum. Pengumuman tersebut dilakukan untuk

pemberitahuan kepada masyarakat maupun kepada pihak PT. Perkebunan Nusantara

II yang memiliki hak atas tanah bahwa di lokasi tersebut akan dilaksanakan

pembangunan untuk kepentingan umum.55

55
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


59

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Perpres 71 Tahun 2012 telah ditentukan

terhadap pemberitahuan rencana pembangunan kepada pihak-pihak selaku pemilik

tanah harus memuat informasi mengenai:

a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;


b. Letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;
c. Tahapan rencana Pengadaan Tanah;
d. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah;
e. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; dan
f. Informasi lainnya yang dianggap perlu.

Pemberitahuan rencana pembangunan oleh tim persiapan dapat disampaikan

secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat pada rencana lokasi

pembangunan. Untuk pemberitahuan secara langsung sebagaimana dapat

dilaksanakan dengan cara:

a. Sosialisasi;

b. Tatap muka; atau

c. Surat pemberitahuan.

Sedangkan untuk pemberitahuan secara tidak langsung dapat dilakukan oleh

tim persiapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum melalui media cetak atau

media elektronik. Atas asar pemberitahuan dari PT. Hutama Karya selaku pihak yang

memerlukan tanah pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai tersebut, maka pihak

PT. Perkebunan Nusantara II akan mengambil tindakan dengan diadakan rapat

Direksi untuk membahas asset perkebunan yang terkena dampak dari pembangunan

jalan tol tersebut.56

56
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


60

Dalam rapat yang diadakan tersebut diambil keputusan bahwa pada intinya

Direksi PT. Perkebunan Nusantara II tidak keberatan untuk melepaskan sebagian

asset guna pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai, akan tetapi untuk perbuatan

pelepasan/pemindahtanganan asset milik perseroan Direksi harus terlebih dahulu

mengajukan permohonan tertulis kepada Komisaris/Dewan Pengawas. Dimana dalam

perbuatan Direksi untuk melakukan pemindahtanganan asset Badan Usaha Milik

Negara hanya dapat dilakukan terlebih dahulu dengan memperoleh persetujuan dari

RUPS/ Menteri BUMN.57

Ketentuan mengenai tindakan Direksi PT. Perkebunan Nusantara II yang

harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari RUPS/Menteri BUMN dalam

melepaskan sebagian assetnya untuk kepentingan pembangunan Jalan Tol Medan-

Binjai, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 18 Peraturan Menteri Negara

BUMN No. PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan

Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara, yang berbunyi:

1. Dalam hal pelaksanaan penghapusbukuan dan pemindahantanganan aktiva


tetap terlebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS/Menteri, dilakukan
dengan tata cara sebagai berikut :
a. Direksi mengajukan permohonan tertulis kepada komisaris/dewan
pengawas disertai dengan :
1. Kajian legal atas aktiva tetap yang dimohonkan penghapusbukuannya.
2. Kajian ekonomis (termasuk manfaat, potensi dan nilai tambah yang
akan diperoleh perusahaan).
3. Penjelasan mengenai alasan penghapusbukuan dan/atau
pemindahtanganan.
4. Dokumen pendukung berupa bukti kepemilikan, berita acara (apabila
hilang/musnah) serta data lain berupa lokasi/peta lokasi, jenis,
spesifikasi, nilai perolehan, nilai buku, tahun perolehan, kondisi aktiva
tetap dan foto kondisi terakhir.

57
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


61

5. Cara pemindahtanganan yang diusulkan (khusus untuk pelaksanaan


pemindahtanganan).
b. Dewan Komisaris/Dewan Pengawas memberikan tanggapan tertulis
paling lambat 30 hari yang ditujukan kepada direksi setelah menerima
permohonan dari direksi.
c. Dalam hal komisaris/dewan pengawas belum dapat memberikan
tanggapan tertulis karena memerlukan data atau informasi lain, maka hal
tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada direksi dlam kurun
waktu sebagaimana yang dimaksud pada huruf b.
d. Apabila terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dewan
komisaris/dewan pengawas sudah harus memberikan tanggapan tertulis
kepada direksi paling lambat 30 hari sejak menerima atau memperoleh
data atau informasi lain yang dibutuhkan.
e. Dalam hal dewan komisaris/dewan pengawas tidak memberikan
tanggapan tertulis dalam kurun waktu yang telah ditetapkan, maka direksi
dapat meminta persetujuan kepada RUPS/Menteri disertai dengan
penjelasan bahwa usulan tersebut tanpa tanggapan dewan
komisaris/dewan pengawas karena belum diperoleh dalam kurun waktu
yang ditetapkan.
f. Setelah memperoleh tanggapan tertulis dari dewan komisaris/dewan
pengawas BUMN atau apabila terjadi keadaan sebagaimana dimaksud
pada huruf e, direksi mengajukan permohonan kepada RUPS/Menteri
disertai dengan:
1. Tanggapan tertulis dewan komisaris/dewan pengawas BUMN atau
penjelasan mengenai tidak adanya tanggapan tertulis dewan
komisaris/dewan pengawas.
2. Kajian legal atas aktiva tetap yang dimohonkan penghapusbukuannya.
3. Kajian ekonomis (termasuk manfaat, potensi dan nilai tambah yang
akan diperoleh BUMN).
4. Penjelasan mengenai alasan penghapusbukuan dan/atau
pemindahtanganan.
5. Dokumen pendukung berupa bukti kepemilikan, berita acara (apabila
hilang/musnah) serta data lain berupa lokasi/peta lokasi, jenis,
spesifikasi, nilai perolehan, nilai buku, tahun perolehan, kondisi aktiva
tetap, penetapan mengenai RUTR/W dan foto kondisi terakhir.
6. Cara pemindahtanganan yang diusulkan (khusus untuk pelaksanaan
pemindahtanganan).
g. RUPS/Menteri sudah harus memberikan persetujuan atau tanggapan
paling lambat 30 hari setelah menerima permohonan dari direksi BUMN.
g. RUPS/Menteri sudah harus memberikan persetujuan atau tanggapan
paling lambat 30 hari setelah menerima permohonan dari direksi BUMN.
h. Dalam hal RUPS/Menteri belum dapat memberikan persetujuan atau
tanggapan karena memerlukan data atau informasi lain maka hal tersebut
harus disampaikan seara tertulis kepada direksi dalam kurun waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf g.

Universitas Sumatera Utara


62

i. Apabila terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada huruf h, RUPS/


Menteri sudah harus memberikan persetujuan atau penolakan kepada
direksi paling lambat 30 hari sejak menerima atau memperoleh data atau
informasi lain yang dibutuhkan.
2. Dalam hal tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berbeda dengan
ketentuan anggaran dasar, maka ketentuan anggaran dasar yang diberlukan.
3. Dalam hal tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 belum diatur dalam
anggaran dasar, maka tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
diberlukan.

Selanjutnya berdasarkan adanya permohonan dari Direksi tersebut, maka

ditindaklanjuti dengan diadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh seluruh

pemegang saham. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tersebut

menghasilkan suatu keputusan sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Keputusan

Pemegang Saham PT. Perkebunan Nusantara II No. 824/MBU/12/2014 dan No.

300/SKPTS/07/2014, tanggal 30 Desember 2014, dimana dalam keputusannya

menyetujui tindakakan Direksi PT. Perkebunan Nusantara II untuk melakukan

tindakan pengalihan sebagian asset kepada PT. Hutama Karya untuk digunakan

pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai.58

Setelah mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

tersebut, kemudian Direksi PT. Perkebunan Nusantara II menyikapinya dengan

mengadakan rapat internal perusahaan dengan agenda membentuk Tim Pelepasan

Asset, yang terdiri dari beberapa bidang yang terkait asset perusahan. Tim Pelepasan

Asset yang dibentuk bertugas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan

pelepasan asset milik perusahaan, termasuk kajian dari sisi ekonomi dan hukum.59

58
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.
59
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


63

Selain itu, tugas Tim Pelepasan Asset yang dibentuk akan melakukan

melakukan inventarisasi asset perusahaan berupa objek tanah, jenis tanaman,

melakukan sosialisasi kepada karyawan yang rumah terkena dampak pembangunan

jalan tol, penilaian ganti kerugian dan melakukan musyawarah berkaitan dengan

penetapan ganti kerugian dengan pihak PT. Hutama Karya dan tugas-tugas lain yang

dianggap perlu berkaitan dengan pelesapan asset.60

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dilapangan, terhadap areal

perkebunan milik PT. Perkebunan Nusantara II yang akan dibebaskan terkait

pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai adalah sebagaimana

tercantum dalam tabel dibawah ini:

Tabel 1
Letak Areal Kebun PT. Perkebunan Nusantara
Yang Dibebaskan

No Lokasi Kebun Jenis Tanaman

1 Tandem Kelapa Sawit & Tebu

2 Sei Semayam (Paya Bakung & Mulio Rejo) Tebu

3 Helvetia (Kelambir Lima & Manunggal) Kelapa Sawit & Tebu

Sumber : Data Primer yang diolah tahun 2016

Tahap ketiga, setelah tidak ada keberatan dari pemegang hak atas tanah yaitu

PT. Perkebunan Nusantara II berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), maka dilanjutkan dengan pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah oleh

60
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


64

PT. Hutama Karya kepada Lembaga Pertanahan yaitu Badan Pertanahan Provinsi

Sumatera berdasarkan berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan

umum.

Pelaksanaan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Sumatera Utara selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

Sedangkan susunan keanggotaan pelaksanaan Pengadaan Tanah akan ditetapkan

oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

Soedhargo Soimin menyatakan bahwa: “Panitia ini bukan merupakan panitia

yang sifatnya tetap, ia hanya merupakan panitia yang bersifat khusus artinya kalau

pembebasan tanah itu sudah selesai, panitia itu hanya untuk pembebasan tanah

tertentu saja”.61

Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 3 Perkaban No. 5 Tahun 2012

dijelaskan, apabila pengadaan tanah dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional, maka susunan keanggotaan dalam pelaksana pengadaan tanah,

paling kurang terdiri dari:

a. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua;


b. Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah atau Pejabat setingkat
Eselon III yang ditunjuk sebagai Anggota;
c. Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi pengadaan tanah sebagai
Anggota;
d. Pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah provinsi paling rendah setingkat
Eselon III yang membidangi urusan pertanahan atau Pejabat setingkat Eselon
III yang ditunjuk sebagai Anggota;
e. Pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota paling rendah
setingkat Eselon III yang membidangi urusan pertanahan atau Pejabat
setingkat Eselon III yang ditunjuk sebagai Anggota;
f. Camat atau nama lain setempat pada lokasi pengadaan tanah sebagai Anggota;

61
Soedhargo Soimin, Status Hak Dan Pembabasan Tanah, Jakarta, Sinar Grafika, 1994,
hal. 34.

Universitas Sumatera Utara


65

g. Lurah/Kepala Desa atau nama lain setempat pada lokasi pengadaan tanah
sebagai Anggota;

Lebih lanjut didalam Pasal 5 Perkaban No. 5 Tahun 2012 telah menentukan

tahapan pelaksanaan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sampai

dengan Pasal 111 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum meliputi:

a. Penyiapan pelaksanaan;
b. Inventarisasi dan identifikasi;
c. Penetapan penilai;
d. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
e. Pemberian ganti kerugian;
f. Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
g. Penitipan ganti kerugian;
h. Pelepasan objek pengadaan tanah;
i. Pemutusan hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah; dan
j. Pendokumentasian peta bidang, daftar nominatif dan data administrasi
pengadaan tanah.

Setelah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menerima

pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah dari PT. Hutama Karya yang memerlukan

tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012

tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, selanjutnya Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional akan

meneliti dan mempertimbangkan apakah pelaksanaan Pengadaan Tanah dilakukan

oleh Kepala Kantor Wilayah.

Kemudian Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah akan melakukan penyiapan

pelaksanaan pengadaan tanah yang akan dituangkan dalam rencana kerja paling

kurang dan juga akan membentuk Satuan Tugas Pelaksana Pengadaan Tanah yang

membidangi inventarisasi dan identifikasi:

Universitas Sumatera Utara


66

Pelaksana Pengadaan Tanah bersama Satuan Tugas melakukan pemberitahuan

kepada pihak yang berhak yaitu PT. Perkebunan Nusantara II selaku pemegang hak

atas tanah, yang disampaikan secara langsung dengan surat pemberitahuan. Setelah

adanya pemberitahuan dilaksanakan, Satuan Tugas akan melakukan inventarisasi dan

identifikasi dengan melakukan pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah

meliputi:

a. Pengukuran batas keliling lokasi pengadaan tanah;

b. Pengukuran bidang per bidang;

c. Menghitung, menggambar bidang per bidang dan batas keliling;

d. Pemetaan bidang per bidang dan batas keliling bidang tanah.

Pada saat melaksanakan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang per

bidang tanah yang dilakukan oleh Satuan Tugas dilapangan, akan melibatkan Tim

Pelepasan Asset yang dibentuk oleh PT. Perkebunan Nusantara II. Keterlibatan Tim

Pelepasan Asset dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan dianggap diperlukan

untuk menunjuk letak lokasi tanah dan mengetahui mengenai data-data rumah

karyawan yang akan dilepas terkait pembangunan jalan tol.62

Kemudian hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Satuan

Tugas akan diserahkan oleh Ketua Satuan Tugas kepada Ketua Pelaksana Pengadaan

Tanah dengan Berita Acara Hasil Inventarisasi dan Identifikasi, yang selanjutnya

akan diumumkan di lokasi pembangunan dalam waktu paling kurang 14 (empat

belas) hari kerja.

62
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


67

Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Satuan

Tugas atas tanah yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah dalam pembangunan Jalan

Tol Medan-Binjai, yang berada pada areal perkebunan milik PT. Perkebunan

Nusantara II seluruhnya seluas 98,5838 hektar, dimana objek tanah tersebut berdiri

diatas beberapa sertifikat sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2
Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
PT. Perkebunan Nusantara II

No Jenis dan Nomor Hak Atas Tanah Letak Tanah

1 Hak Guna Usaha No. 101 Tandem Hulu

2 Hak Guna Usaha No. 102 Kelambir Lima

3 Hak Guna Usaha No. 109 Mulio Rejo

4 Hak Guna Usaha No. 111 Helvetia

Sumber : Data Primer yang diolah tahun 2016

Oleh karena dari hasil inventarisasi dan identifikasi yang telah diumumkan

tidak ada keberatan dari pihak PT. Perkebunan Nusantara II, maka atas dasar tidak

ada keberadaan tersebut akan menjadi dasar Satuan Tugas untuk penentuan terhadap

pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.

Setelah seluruh rangkaian kegiatan inventarisasi dan identifikasi atas asset

milik PT. Perkebunan Nusantara II selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan

pelepasan hak objek pengadaan tanah yang dilakukan dihadapan Kepala Kantor

Pertanahan setempat, dan dilaksanakan bersamaan pada saat pemberian ganti

kerugian.

Universitas Sumatera Utara


68

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

No. PER/02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan

Aktiva Tetap, menjelaskan bahwa terhadap pelepasan hak atas tanah yang dikuasai

oleh BUMN merupakan tindakan penghapusbukuan dan pemindahtanganan aktiva

tetap BUMN dari pembukuan/Neraca BUMN. Dimana dalam ketentuan Pasal 4

menyebutkan bahwa: “Pemindahbukuan dapat dilakukan melalui: penjualan, tukar

menukar, ganti rugi, aktiva tetap dijadikan penyerta modal”.

Khusus untuk pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah merupakan milik atau

dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara yang akan dipergunakan dalam pengadaan

tanah untuk kepentingan umum, maka Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah wajib

untuk membuat Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah sesuai hak yang dilepaskan.

Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah tersebut harus dibuat dalam Berita Acara

Daftar Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang merupakan milik atau dikuasai

Badan Usaha Milik Negara.

Sejak terjadinya pelepasan objek tanah tersebut maka hubungan hukum antara

pihak yang berhak dengan objek pengadaan tanah terhadap aset Badan Usaha Milik

Negara akan menjadi putus. Pemutusan hubungan hukum ini berlaku sejak

dilepaskannya hak sesuai dengan peraturan yang mengatur Barang Milik Negara atau

paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak ditetapkannya penetapan lokasi

pembangunan untuk kepentingan umum.

Terhadap biaya-biaya yang timbul selama proses pelepasan maupun pada saat

pengalihan asset PT. Perkebunan Nusantara II yang akan pergunakan untuk

pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai, seluruhnya akan ditanggung dan dibayar oleh

Universitas Sumatera Utara


69

pihak PT. Hutama Karya selaku pihak yang memerlukan tanah. 63 Ketentuan

mengenai biaya dalam pengadaan tanah sesuai dengan 51 Perkaban No. 5 Tahun

2012 yang menyatakan bahwa: ”...Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah mengajukan

biaya pelaksanaan pengadaan tanah yang dibutuhkan kepada Instansi yang

memerlukan tanah”.

Setelah seluruh proses pelepasan dan pengalihan asset milik PT. Perkebunan

Nusantara II dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Medan-Binjai

selesai dilaksanakan, maka yang menjadi tugas Direksi PT. Perkebunan Nusantara II

selanjutnya adalah menyampaikan laporan pelaksanaan penghapusbukuan dan/atau

pemindahtanganan kepada RUPS/Menteri atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas

sesuai dengan kewenangan pemberian persetujuan dalam waktu paling lambat 3 (tiga)

bulan setelah selesainya pelaksanaan Penghapusbukuan dan/atau

Pemindahtanganan.64

63
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.
64
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENETAPAN GANTI RUGI TANAH PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II


UNTUK PENGADAAN TANAH PEMBANGUNAN
JALAN TOL MEDAN-BINJAI

A. Profil Proyek Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai

Saat ini di Indonesia, infrastruktur jalan tol dirasakan masih kurang apabila

dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, seperti Jepang, Malaysia, Korea dan

China. Mengingat banyaknya jumlah penduduk di Indonesia dan banyaknya

kepemilikan kendaraan bermotor, tetapi tidak diimbangi dengan pembangunan

infrastruktur jalan tol yang memadai.

Menghadapi kondisi seperti itu, pemerintah mulai menunjukkan perhatian

yang serius terhadap pembangunan infrastruktur. Ada dua hal yang perlu segera

dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta dalam memperbaiki

kondisi infrastruktur di dalam negeri, yakni membangun infrastruktur baru dan

memperbaiki infrastruktur yang sudah ada. Pemerintah meyakini bahwa mutu

infrastruktur dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, investasi asing, pengentas

kemiskinan dan mutu lingkungan hidup.

Untuk menghadapi ketertinggalan infrastruktur jalan tol dari negara tetangga

tersebut, maka Pemerintah berinisitiaf untk membangun jalan tol diberbagai daerah di

Indonesia. Salah satu perhatian pemerintah yang sedang dijalankan adalah

pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera. Jalan Tol Trans Sumatera dibangun dari

Provinsi Lampung hingga Provinsi Banda Aceh dengan perkiraan sepanjang 2.048

kilometer.

70

Universitas Sumatera Utara


71

Salah satu dari rencana pembangunan jalan tol tersebut adalah Jalan Tol

Medan-Binjai berada di Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan dan Kabupaten Deli

Serdang sepanjang 16,6 km. Keberadaan Jalan Tol Medan-Binjai akan

menghubungkan koridor-koridor ekonomi yang berada di Pronpinsi Sumatera Utara

antara lain Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang (Mebidang). Selain

itu Jalan Tol Medan-Binjai akan terhubung langsung dengan Jalan Tol Belawan-

Medan-Tanjung Morawa (Belmera) dan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi.

Oleh karena itu, dengan pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai secara tidak langsung

akan terkoneksi dengan Pelabuhan Internasional Belawan dan Bandara Internasional

Kualanamu.

Keberadaan Jalan Tol Medan-Binjai ini merupakan jaringan tol Trans

Sumatera yang mempunyai nilai strategis bagi kegiatan transportasi manusia, barang

dan jasa serta akan mengurangi kemacetan di sepanjang jalur tersebut dan

memperpendek waktu tempuh.

Rencana pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai di awali pada tanggal 20

Februari 2012, dimana pada saat itu Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan

mengadakan pertemuan dengan para Gubernur se-Sumatera di Griya Agung

Palembang, Sumatera Selatan. Pada pertemuan tersebut membahas percepatan

pembangunan jalan tol di Sumatera. Dalam pertemuan tersebut juga hadir Deputi

Kementerian BUMN bidang Infrastruktur, Direktur Utama PT. Jasa Marga dan

Direktur Pengembangan Usaha PT. Jasa Marga.65

65
Https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Tol_Trans_Sumatera, diakses pada tanggal 26
Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


72

Dikarenakan secara ekonomi pembangunan jalan tol di Sumatera masih terlalu

berat, serta kurang diminati investor, maka awalnya disepakati untuk membangun

perusahaan patungan antara PT. Jasa Marga dan setiap Pemerintah Daerah di

Sumatera. Pembagian tugasnya adalah Pemerintah Daerah membebaskan tanah dan

mencadangkan sejumlah kawasan di sepanjang jalan tol untuk sebuah proyek bisnis

pada masa depan yang akan kelak dikelola bersama.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mengeluarkan Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014 tentang Percepatan

Pembangunan Jalan Tol di Sumatera, tanggal 17 September 2014. Dalam Perpres

tersebut disampaikan sebagai langkah awal pembangunan jalan tol di Sumatera

tersebut akan dilaksanakan pada empat ruas jalan tol yang meliputi ruas Jalan Tol

Medan-Binjai, ruas Jalan Tol Palembang-Simpang Indralaya, ruas Jalan Tol

Pekanbaru-Dumai, dan ruas Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar.66

Kemudian pada era Presiden Joko Widodo merevisi aturan tersebut dengan

Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015. Dalam Perpres tersebut terdapat

penambahan ruas-ruas jalan tol lain yang akan digarap, yaitu ruas Jalan Tol

Terbanggi Besar-Pematang Panggang, ruas Jalan Tol Pematang Panggang-

Kayuagung, ruas Jalan Tol Kisaran-Tebing Tinggi, serta ruas Jalan Tol Palembang-

Tanjung Api-Api.

Selanjutnya untuk menindaklanjuti kesepakatan pembangunan jalan tol

tersebut, dilakukan Penandatanganan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Ruas

66
Https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Tol_Trans_Sumatera, diakses pada tanggal 26
Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


73

Medan-Binjai antara Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dengan PT. Hutama

Karya (Persero) bertempat di Kantor Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Jalan Tol

Ruas Medan-Binjai merupakan salah satu dari 4 ruas jalan tol yang merupakan

penugasan kepada PT. Hutama Karya (Persero) sesuai amanat Peraturan Presiden

No. 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera. Dalam

Perpres tersebut PT. Hutama Karya (Persero) juga diberi kepercayaan untuk

pembangunan ruas Jalan Tol Palembang-Indralaya, Jalan Tol Pekanbaru-Kandis-

Dumai dan Jalan Tol Bakauheuni- Terbanggi Besar.67

Khusus untuk pembangunan ruas Jalan Tol Medan-Binjai yang memiliki

panjang 16,6 km terdiri dari 3 seksi, yaitu :

1. Seksi 1 : Tanjung Mulia-Helvetia, panjang 6,3 km.

2. Seksi 2 : Helvetia-Semayang, panjang 6,1 km.

3. Seksi 3 : Semayang-Binjai, panjang 4,2 km.

Untuk pembiayaan pembangunan jalan tol Medan-Binjai tersebut telah

dianggarkan dana sebesar Rp1.605 miliar. Porsi ekuitas akan bersumber dari

Penyertaan Modal Negara sebesar Rp1.124 miliar.

Keberadaan dari Jalan Tol Medan-Binjai akan memberikan banyak manfaat

terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi masyarakat, yaitu:

- Industri dan aktivitas ekonomi akan berkembang.

- Ekspor dan impor tumbuh.

- Infrastruktur maritim (pelabuhan) berkembang.

67
Http://bpjt.pu.go.id/berita/pdf/penandatanganan-perjanjian-pengusahaan-jalan-tol-ppjt-ruas-
medan-binjai, diakses pada tanggal 29 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


74

- Biaya logistik turun.

- Lebih banyak kota dan kabupaten yang berkembang.

Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan

pembangunan dan menjaga keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan

memperhatikan keadilan, yang dapat dicapai dengan membina jaringan jalan yang

dananya berasal dari pengguna jalan. Selain itu tujuan dari dibangunnya jalan tol

yakni untuk meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi guna menunjang

peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah yang sudah tinggi tingkat

perkembangannya, seperti di Pulau Sumatera.

Untuk kepastian dalam hal pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol

Medan-Binjai diharapkan dengan telah diimplementasikannya Undang-Undang No.2

tahun 2012 dapat memberikan kepastian yang lebih baik terhadap permasalahan

pembebasan tanah.

B. Ganti Rugi Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum

1. Pengertian Ganti Rugi

Masalah pokok yang dihadapi dalam setiap kegiatan pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah menyangkut

penetapan ganti rugi. Ganti kerugian merupakan penggantian yang layak dan adil

dengan berbagai macam bentuk atas pelepasan benda-benda yang terkait dengan

tanah pada proses pengadaan tanah.

Selain melindungi kepentingan para pemegang hak atau tanah yang telah

ditentukan, pemberian ganti kerugian juga harus melindungi kepentingan pihak yang

Universitas Sumatera Utara


75

akan memperoleh tanah. Dalam ganti kerugian tidak boleh ada keinginan untuk

menekan kepentingan pihak lain.

R. Setiawan mengatakan bahwa: ”Ganti rugi dapat berupa penggantian dari

pada prestasi, tetapi dapat berdiri sendiri disamping prestasi”.68

Lebih lanjut Subekti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian

adalah:

Kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau kerugian yang sungguh-
sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa
kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat
seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).69

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, disebutkan ganti kerugian

adalah: “Penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses

Pengadaan Tanah”.

Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas kerugian

yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut. Masalah

ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah.

Pembebasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses

yang panjang, dan berlarut-larut akibat tidak adanya titik temu yang disepakati oleh

pihak-pihak yang bersangkutan.

Apabila dicermati makna ganti rugi sebagaimana disebutkan pada Pasal 1

angka 10 tersebut, bahwa penggantian terhadap kerugian yang dialami pemilik tanah

68
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1987, hal. 18.
69
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1985, hal. 163.

Universitas Sumatera Utara


76

bersifat layak dan adil kepada pihak yang berhak. Terhadap pengganti kerugian yang

bersifat layak dan adil, undang-undang pengadaan tanah tersebut tidak memberikan

penjelasan lebih lanjut mengenai nilai kerugian yang dianggap layak dan adil bagi

pemilik tanah.

Mengenai adanya ganti rugi dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu dari sudut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dari sudut Undang-Undang Pokok

Agraria yaitu:

1. Menurut KUHPerdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi persoalan yang

menyangkut, apa yang dimaksud dengan ganti rugi itu, bilamana ganti rugi itu

timbul dan apa ukuran dari ganti rugi itu serta bagaimana peraturannya dalam

undang-undang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1243 KUHPerdata ganti

rugi dirumuskan sebagai:

Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhi suatu perikatan
mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai
untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.

2. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berkaitan dengan pencabutan

hak atas tanah, diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUPA yang menyatakan:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan

memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang di atur dengan undang-

undang”.

Sebagai realisasi dan ketentuan Pasal 18 UUPA, maka selanjutnya Pemerintah

Universitas Sumatera Utara


77

mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 1961,

tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di

Atasnya. Kemudian dikeluarkan lagi Peraturan Presiden Republik Indonesia

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum, sebagaimana telah di rubah dengan Peraturan Presiden

Republik Indonesia No. 65 Tahun 2006. Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Presiden

Republik Indonesia No. 65 Tahun 2006 tersebut menyatakan: “Pengadaan

tanah selain bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar

menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

Selanjutnya untuk kepastian hukum pengadaan tanah untuk kepentingan

umum, maka pemerintah mengesahkan undang-undang yang mengatur secara

khusus tentang pengadaan tanah, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dalam undang-undang pengadaan tanah dianut asas keadilan, yang bermakna

bahwa kepada masyarakat yang tanahnya dibebaskan untuk kepentingan umum akan

diberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang perhak dalam proses

Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan

kehidupan yang lebih baik.

Asas keadilan tersebut jelas sekali menyatakan bahwa ganti rugi tersebut

harus dapat memulihkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak

pengadaan tanah dimaksud dan ganti rugi itu haruslah memperhitungkan kerugian

Universitas Sumatera Utara


78

tidak hanya fisik seperti, hilangnya tanah, bangunan, tanaman, dan hal-hal lain yang

berkaitan dengan tanah, tetapi juga kerugian yang sifatnya non fisik, misalnya,

hilangnya pekerjaan, atau pun lahan berusaha, dan lain-lain.

Pada dasarnya kondisi ekonomi masyarakat yang terkena pembebasan sulit

akan pulih jika tidak ada bidang usaha. Karena usaha atau pekerjaanlah yang

membuat masyarakat akan tetap mampu untuk meneruskan roda perekonomian

keluarga. Oleh karenanya ganti rugi yang bersifat non fisik ini tidak boleh diabaikan

begitu saja, perlu adanya pengaturan dan penjelasan lebih lanjut oleh pembuat

kebijakan.

Prinsip pemberian ganti rugi haruslah seimbang dengan nilai tanah.

Keseimbangan tersebut adalah bahwa ganti rugi yang diberikan merupakan imbalan

yang dianggap layak, atau tidak menjadikan pemegang hak atas tanah (yang

melepaskan atau menyerahkan tanah) mengalami kemunduran sosial atau tingkat

ekonominya”.70

Penilaian dalam penetapan besaran ganti rugi akan sangat menentukan

terhadap masa depan para pemegang hak atas tanah, hal tersebut sebagaimana

dinyatakan oleh Adrian Sutedi:

Begitu vitalnya ganti rugi, maka ganti rugi itu minimal harus sama dan senilai
dengan hak-hak dan pancaran nilai atas tanah yang akan digusur. Bila tidak
senilai, namanya bukan ganti rugi, tetapi sekadar pemberian pengganti atas
tanahnya yang tergusur. Prinsip dan tujuan UUPA harus dimaknai bahwa
ditempuhnya prosedur penggusuran tidak berarti akan merendahkan nilai ganti
rugi tanah, bangunan dan tanamannya serta benda-benda lain yang melekat pada
bangunan dan tanah.71

70
Oloan Sitorus Op.cit, hal. 30.
71
Adrian Sutedi, Op.cit., hal.184

Universitas Sumatera Utara


79

Adanya ganti kerugian yang diberikan kepada masyarakat diharapkan

merupakan ganti kerugian yang dianggap layak bagi tanah yang dilepaskan oleh

masyarakat. Besarnya ganti kerugian merupakan hasil kesepakatan antara masyarakat

dengan pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tanah.

2. Bentuk Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Secara rasional seseorang akan melepaskan haknya jika kompensasi ganti

kerugian yang diterima dianggap layak, tetapi sering kali dalam upaya pembebasan

tanah masyarakat merasa tidak puas dengan ganti kerugian yang ditetapkan, bahkan

istilah ganti kerugian dipersepsikan sudah pasti orang yang melepaskan hak Atas

tanahnya mengalami atau menderita kerugian. Walaupun tidak dapat dipungkiri

adakalanya ganti kerugian atau kompensasi yang diminta masyarakat dianggap terlalu

tinggi.

Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya sebatas ganti

kerugian fisik yang hilang, akan tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non

fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan ke

lokasi yang baru. Oleh karena itu, sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harus

tidak membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan

atas haknya tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang akan

lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan

pembangunan.72

72
Maria S.W. Sumardjono (I), Op.cit., hal. 200.

Universitas Sumatera Utara


80

Oleh karena itu, terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang

dilakukan oleh pemerintah benar-benar harus menyentuh dan masuk dalam katagori

untuk kepentingan umum, sehingga manfaat dari dilaksanakannya pembangunan

serta pelaksanaan pembayaran ganti kerugian benar-benar dapat dirasakan oleh

pemilik/pemegang Hak Atas Tanah yang melepaskan/menyerahkan hak atas

tanahnya. Sebaliknya terhadap penawaran jumlah ganti kerugian atas tanah tersebut

juga hendaknya sesuai dengan standar nilai jual yang berlaku dan wajar berdasarkan

pertimbangan akal sehat.

Adapun dalam Pasal 36 Undang-undang pengadaan tanah mengatur masalah

ganti rugi, yang dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:

a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 36 Undang-undang pengadaan tanah

menyebutkan ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:

a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Permukiman kembali;
d. Kepemilikan saham; atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Ganti kerugian dengan uang menyangkut besarnya ganti rugi yang dikaitkan

dengan harga tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan

dengan tanah yang akan diganti.

Ganti rugi terhadap bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain

Universitas Sumatera Utara


81

yang ada diatas tanah Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang diberikan di atas tanah

Hak Milik atau tanah hak pengelolaan, diberikan kepada pemilik bangunan dan/atau

tanaman dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Ganti rugi tanah untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan di

atas tanah hak milik atau tanah hak pengelolaan, diberikan kepada pemegang hak

milik atau hak pengelolaan.

Sebagai dasar untuk perhitungan ganti rugi setelah berlakunya Undang-

Undang No. 2 Tahun 2012, penentuan besarnya ganti rugi diserahkan sepenuhnya

kepada Tim Appraisal (Juru Taksir). Bagi juru taksir sendiri tidak mempunyai acuan

harga tanah, mungkin didasarkan harga pasar dan perlu diketahui harga pasar itu

sendiri tidak pasti.

Ketentuan perhitungan ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan tanah

menurut undang-undang pengadaan tanah tersebut tidak mengatur secara terperinci

tentang tata cara perhitungan ganti rugi, dimana hal ini sangat berbeda dengan

pengaturan ganti rugi didalam ketentuan Pasal 15 Perpres No. 36 Tahun 2005, yang

telah menetapkan perhitungannya yaitu:

1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas;


a. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau Nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun berjalan
berdasarkan Penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk
oleh Panitia;
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pembangunan;
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab dibidang pertanian.
2) Dalam rangka penetapan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai
Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


82

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat 1 Perpres No. 65 Tahun 2006 tersebut

di atas, dapat dilihat penetapan tentang besarnya ganti rugi berpedoman kepada

NJOP. Meskipun besarnya ganti rugi dinilai oleh Lembaga/Tim Penilai yang

independen dan profesional, tetapi karena dasar penetapan ganti rugi berpedoman

kepada NJOP, maka lazimnya besarnya ganti rugi yang ditetapkan tidak akan jauh

berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Gunanegara memberikan pendapatnya mengenai pemberian ganti rugi

berpedoman pada NJOP yaitu: “NJOP tidak selalu equivalen dengan harga tanah

yang sesungguhnya (real price) atau nilai pasar (market value). NJOP hampir

selalu lebih rendah dari harga pasar, mengingat penetapan besarnya NJOP

ditetapkan 3 tahun sekali, hanya daerah-daerah tertentu yang ditetapkan setahun

sekali. Potensi terjadi permasalahan harga apabila ganti rugi pengadaan tanah

didasarkan pada NJOP yang ditetapkan 3 tahun yang lalu, dengan demikian harga

ganti rugi akan merugikan pemilik.73 Disamping itu tidak mencerminkan nilai tanah

secara riil karena memang NJOP merupakan ranah perpajakan (fiscal value/tax

value/land tax).74

John Salindeho menyatakan mengenai pengertian harga dasar dan harga

umum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah. Karena

dikatakan harga dasar tanah atau NJOP maka harus menjadi dasar untuk menentukan

harga tanah/uang ganti rugi untuk tanah. Sedangkan harga umum setempat diartikan

73
Ismail Omar Dalam Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Cet. Pertama, Jakarta, Tatanusa, 2008, hal. 223.
74
Ibid., hal. 247.

Universitas Sumatera Utara


83

suatu harga tanah yang terdapat secara umum dalam rangka transaksi tanah disuatu

tempat.75

Untuk penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat

diberikan ganti rugi dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk

lain yang disepakati telah oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Bentuk

lain dalam penggantian tanah ulayat dapat berupa pembangunan fasilitas umum,

seperti: pembangunan tempat peribadatan, sarana olah raga, sarana pendidikan, dan

lain-lain.

Berdasarkan bentuk ganti rugi terhadap hak ulaya tersebut dapat dipahami

karena hak ulayat adalah tanah kepunyaan bersama dari semua warga masyarakat

hukum adat yang bersangkutan. Tanah ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum

adat itu dengan amanat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat yang berarti

kepentingan bersama dan kepentingan warga masing-masing.76

Selain itu didalam Perpres No. 71 Tahun 2012 yang baru muncul kehadiran

penilai pertanahan dan penilai publik. Keberadaan penilai pertanahan dan penilai

publik dibutuhkan untuk membantu proses menentukan nilai jual beli atau tukar

menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak dalam pengadaan tanah

bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Perpres No. 71 Tahun 2012

disebutkan bahwa: ”Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah

orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional

75
Ten Haar, seperti dikutip dalam John Salindeho, Op.cit., hal. 62.
76
Budi Harsono, Op.cit., hal. 285.

Universitas Sumatera Utara


84

yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah

mendapat lisensi dari BPN untuk menghitung nilai/harga Objek Pengadaan Tanah”.

Sedangkan yang dimaksud Penilai Publik dalam Pasal 1 angka 12 Perpres

No. 71 Tahun 2012, dijelaskan yaitu: ”Penilai yang telah memperoleh izin dari

Menteri Keuangan untuk memberikan jasa penilaian”.

Menurut Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa;

Perlu diadakan suatu lembaga penaksir tanah yang bersifat independen dan
bekerja dengan profesionalisme, karena begitu sulit menentukan besaran ganti
rugi atas tanah karena selain berdasarkan NJOP, juga mempertimbangkan lokasi,
jenis hak atas tanah, status penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, kesesuaian
dengan rencana tata ruang wilayah, prasarana, fasilitas dan urilitas, lingkungan
dan faktor-faktor lain. Keberadaan dan peran lembaga penilai swasta yang
profesional tersebut mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk menetapkan
nilai nyata tanah yang obyektif dan adil.77

Selanjutnya Penilai publik berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 2 Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 2012, dijelaskan bahwa:

“Merupakan penilai pemerintah yang sudah ditetapkan/memperoleh izin dari Menteri

Keuangan untuk memberikan jasa penilaian”. Kemudian dalam ketentuan ayat 3

dijelaskan lebih lanjut bahwa: “Penunjukan penilai publik dilakukan oleh Ketua

Pelaksana Pengadaan Tanah setelah berkoordinasi dengan Instansi yang membawahi

penilai pemerintah.”.

Dalam melakukan tugasnya penilai atau penilai publik meminta peta bidang

tanah, daftar nominatif dan data yang diperlukan untuk bahan penilaian dari ketua

pelaksana pengadaan tanah. Atas permintaan tersebut selanjutnya ketua pelaksana

77
Maria S.W. Sumardjono (II), Op.cit., hal. 86.

Universitas Sumatera Utara


85

pengadaan tanah wajib untuk menyerahkan data yang diminta dengan dibuat dalam

berita acara penyerahan hasil inventarisasi dan identifikasi.

Ketentuan di dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 tidak menyebutkan

dasar perhitungan ganti rugi sebagaimana sebelumnya diatur cukup tegas dalam

Perpres No. 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2006. Oleh karena itu penilaian

terhadap harga tanah akan diserahkan kepada penilai pertanahan atau lembaga

penilai.

Akan tetapi berbeda untuk pengadaan tanah dalam keadaan khusus, dimana

untuk keadaan khusus telah ketentuan dalam Perpres No. 71 Tahun 2012 telah

mengatur tentang dasar perhitungan nilai ganti rugi. Ketentuan dalam Pasal 84 ayat 3

Perpres dijelaskan bahwa: ”Dalam hal pihak yang berhak membutuhkan ganti

kerugian dalam keadaan mendesak, pelaksana pengadaan tanah memprioritaskan

pemberian ganti kerugian”. Untuk dikatakan sebagai keadaan mendesak harus

dipenuhinya syarat oleh pihak yang berhak membutuhkan ganti kerugian,

sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 84 ayat 4 yaitu: ”Keadaan mendesak

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan surat keterangan dari

lurah/kepala desa atau nama lain”.

Oleh karena dianggap keadaan yang mendesak, maka berdasarkan ketentuan

Pasal 85 ayat 1 Perpres No. 71 Tahun 2012, telah menentukan nilai ganti kerugian,

yaitu: ”Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3), diberikan

maksimal 25 (duapuluh lima) persen dari perkiraan ganti kerugian yang didasarkan

atas nilai jual objek pajak tahun sebelumnya”.

Universitas Sumatera Utara


86

Dalam hal menentukan nilai ganti rugi, Maria S.W. Sumardjono memberikan

pendapat untuk menentukan ganti rugi terhadap tanah ada beberapa faktor yang dapat

dipertimbangkan, karena faktor-faktor ini dapat mempengaruhi harga tanah. Faktor-

faktor dimaksud adalah:78

a. Lokasi/letak tanah, strategis atau kurang strategis.


b. Status penguasaan tanah. Pemegang yang sah atau penggarap.
c. Status hak atas tanah. (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dll).
d. Kelengkapan sarana, prasarana.
e. Keadaan penggunaan tanahnya, terpelihara atau tidak.
f. Kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang.
g. Biaya pindah tempat/pekerjaan.
h. Kerugian terhadap turunnya penghasilan pemegang hak.

Apabila dibanding dengan negara India dalam hal pengadaan tanah untuk

kepentingan, dimana negara India dalam mempertimbangkan nilai ganti rugi adalah

nilai pasar tanah pada saat diumumkannya pelepasan tanah, kerugian yang timbul

karena dipecahnya bidang tanah tertentu, ganti rugi akibat pengurangan keuntungan

yang diharapkan dari tanah tersebut, semenjak pengumuman pengambilan tanah

sampai dengan selesainya seluruh proses. Sedangkan kenaikan nilai tanah

dibubungkan dengan penggunaannya dikemudian hari dan segala perbaikan yang

dilakukan setelah adanya pengumuman tentang pengambilan tanah tersebut, tidak

diperhitungkan sebagai faktor penentu ganti kerugian.79

Sedangkan di Singapura berdasarkan Pasal 33 ayat 1 Land Acquision Act

Tahun 1970, faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan besarnya ganti

kerugian antara lain adalah nilai pasar tanah saat diumumkannya pengambilan hak

atas tanah, kerugian akibat dipecahnya bidang tanah tertentu, dan turunnya

78
Maria S.W. Sumardjono (II), Op.cit., hal. 81.
79
Kitay dalam Maria S.W. Soemardjono, Ibid., hal. 78.

Universitas Sumatera Utara


87

penghasilan pemegang hak. Segala perbaikan yang dilakukan dengan sepengetahuan

pejabat yang berwenang dapat juga dijadikan pertimbangan untuk menentukan

besarnya ganti kerugian.80

Berdasarkan contoh dari Negara India dan Singapura dalam menentukan nilai

ganti rugi dapat dikatakan negara-negara tersebut telah lebih maju dalam pemberian

ganti rugi terhadap pengambilan tanah-tanah masyarakat. Pertimbangan didasarkan

kepada nilai tanah dan didasarkan pada nilai pasar, kerugian yang sifatnya non fisik

seperti turunnya penghasilan pemegang hak atas tanah turut dijadikan pertimbangan

dalam menentukan besarnya ganti kerugian.

Sedangkan didalam undang-undang maupun Perpres yang mengatur mengenai

pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia tidak menjabarkan ganti

kerugian immaterial tersebut. Bentuk ganti rugi dalam pengadaan tanah di Indonesia

hanya diberikan terhadap kerugian yang sifatnya fisik semata.

Untuk negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon telah menggunakan

institusi independen yang berprofesi sebagai lembaga penilai tanah. Keanggotaan

lembaga penilai tanah terdiri dari individu-individu yang mempunyai pengetahuan

dan kemahiran tertentu dalam bidang khusus atau profesional dan tidak berasal dari

pemerintah serta tidak berafiliasi dengan pemerintah.81

C. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Melalui Pembebasan Hak

Pengadaan tanah melalui pembebasan hak telah dilaksanakan oleh pemerintah

sejak jaman kolonial dulu. Pada masa penjajahan Hindia Belanda pembebasan tanah

80
Ibid., 78-79.
81
Ismail Omar Dalam Gunanegara, Op.cit., hal. 219.

Universitas Sumatera Utara


88

untuk kepentingan pemerintah diatur dengan Bijdblad (BB) No. 11372 juncto

Bijdblad 12746. Bijdblad tersebut yaitu: Gouvernements Besluit (Keputusan

Gubernemen/Pemerintah) tanggal 1 Juli 1932 No. 7 (BB 11372) dan Gouvernements

Besluit tanggal 18 Januari 1932 No. 23 (BB 12746).82

Dalam peraturan tersebut ditentukan bahwa apabila pemerintah membutuhkan

tanah untuk pembangunan sebuah gedung kantor dan tidak tersedia tanah negara,

yang bebas dari hak sesorang atau badan, maka dilakukan dengan cara pembelian

melalui bantuan panitia pembelian tanah untuk dinas. Panitia ini dibentuk oleh

Gubernur atau Residen sesuai wewenang yang dilimpahkan setiap kali pemerintah

membutuhkan tanah.83

Cara perolehan tanah melalui pembelian tanah karena menurut asas hukum

agraria kolonial, pemerintah Belanda adalah suatu badan hukum publik yang

dapat mempunyai/memiliki hak atas tanah seperti hak eigendom, hak opstal

dan sebagainya.84 Dengan demikian maka baik perseorangan/individu, badan

hukum privat, maupun badan hukum publik tidak dibedakan untuk dapat

mempunyai hak atas tanah dengan hak yang sama (hak eigendom), kecuali beberapa

hak tertentu (seperti hak erfpacht) yang diperuntukan bagi bangsa Eropa yang

kurang mampu.

Panitia pembelian tanah mempunyai tugas untuk bermusyawarah dengan

pemilik tanah termasuk bangunan, tanaman yang tumbuh diatasnya, untuk

memusyawarahkan jumlah uang ganti rugi (harga tanah), dan mengatur

82
John Salindeho, Op.cit., hal. 71.
83
Ibid., hal. 71.
84
Ibid., hal. 72.

Universitas Sumatera Utara


89

pembayaranya oleh pemerintah/instansi yang membutuhkanya, serta menyiapkan

dokumentasi dan administrasinya. Selanjutnya Panitia tersebut harus dapat

membedakan bahwa penginventarisasian dimaksud adalah menurut hukum mana satu

bidang tanah harus diperlakukan, bukannya status kewarganegaraan atau golongan

dari pemilik atau pemegang hak.85

Inventarisasi yang dilakukan meliputi semua hak baik mengenal tanahnya

maupun benda-benda yang ada di atas tanah merupakan kegiatan yang sangat penting

pada semua hak guna menghindari berbagai masalah yang akan timbul dari adanya

pembebasan hak.86

Semakin pesatnya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah setelah

beberapa tahun Indonesia merdeka, maka pembelian tanah dengan menggunakan

peraturan Bijdblad No. 11372 jo. Bijdblad No. 12746 dianggap sudah tidak sesuai

lagi dan perlu diganti dengan peraturan baru yang lebih sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan jaman.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan

Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah Untuk Keperluan Pemerintah dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan

Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan

Tanah Swasta. Peraturan tersebut pada intinya mengatur mengenai tata cara

85
Ibid., hal. 73-74.
86
Ibid., hal. 74-75.

Universitas Sumatera Utara


90

pembebasan tanah, pembentukan panitia pembebasan tanah dan tugas-tugasnya dan

penetapan ganti rugi.

Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Proyek Pembangunan

di Wilayah Kecamatan. Dimana dalam peraturan tersebut mengubah dan menambah

sebagaian dari peraturan sebelumnya.

Sebagai upaya menampung aspirasi berbagai kalangan masyarakat dan

sebagai reaksi terhadap pembebasan tanah yang telah dilakukan sebelumnya, maka

pada tanggal 17 Juni 1993, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 55

Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum. Selanjutnya guna melengkapi ketentuan tersebut diterbitkan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun

1994 tentang Keputusan Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55

Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk

Kepentingan Umum.

Penerbitan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dimaksudkan untuk

memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan perolehan tanah, terutama

untuk proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan sarana

kepentingan umum. Hal ini didasari oleh adanya kenyataan yang terjadi selama ini

yang menunjukkan kurang adanya jaminan kepastian hukum terutama bagi pihak

yang menyerahkan tanahnya.

Universitas Sumatera Utara


91

Pembangunan yang terjadi dengan pesat ternyata menuntut peraturan yang

lebih dapat mengakomodatif dalam masalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi kebutuhan pengaturan

tersebut kemudian Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, yang ditetapkan pada tanggal 3 Mei 2005, sebagai pengganti Keputusan

Presiden No. 55 Tahun 1993.

Namun dalam tenggang waktu kurang lebih satu tahun dilaksanakan,

Pemerintah mengubah Peraturan Presiden tersebut dengan Peraturan Presiden No. 65

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Bagi kepentingan Umum.

Selanjutnya dikarenakan Perpres dianggap belum mengakomdir kebutuhan

dalam pengadaan tanah, maka selanjutnya pemerintah menerbitkan undang-undang

yang mengatur secara khusus tentang pengadaan tanah dengan disahkannya Undang-

Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum. Banyak substansi atau materi dari Perpres tersebut yang

kemudian diadopsi ke dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tersebut. Walaupun

dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang dimasukkan sebagai substansi original

dari undang-undang pengadaan tanah. Diaturnya penyelenggaraan pengadaan tanah

dengan undang-undang yang dahulunya diatur dengan Perpres membuat landasan

hukumnya menjadi lebih kuat. Disamping juga karena pertimbangan bahwa segala

sesuatu yang mengambil hak tertentu dari warga negara harus diatur dengan undang-

undang.

Universitas Sumatera Utara


92

Perubahan terkait dengan ganti rugi meliputi bentuk dan dasar perhitungan

ganti rugi. Bentuk ganti rugi dalam undang-undang tersebut tidak menyebutkan dasar

perhitungan ganti rugi sebagaimana sebelumnya diatur dalam Perpres No. 36 Tahun

2005 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2006. Apakah penetapan ganti rugi berpedoman

kepada NJOP atau nilai nyata pada saat dilaksanakan pengadaan tanah. Pengaturan

terkait ganti rugi didalam undang-undang pengadaan tanah akan diserahkan kepada

penilai pertanahan atau lembaga penilai.

Walaupun keberadaan lembaga penilai harga tanah di dalam pengadaan tanah

tersebut dapat dikatakan merupakan langkah maju, sudah cukup lama disarankan oleh

para ahli di bidang pertanahan karena pada peraturan tentang pengadaan tanah

sebelumnya tidak dikenal lembaga seperti ini. Hanya saja lembaga penilai harga

tanah ini haruslah memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan dan

terpercaya serta tidak memihak atau obyektif dalam melakukan penilaian terhadap

nilai tanah.

Mencermati tugas lembaga penilai yaitu melakukan penilaian terhadap harga

tanah, jadi yang dinilai adalah harga tanah bukan nilai tanah. Nilai tanah mengandung

makna yang lebih luas dari harga tanah. Harga tanah memuat makna yang lebih

sempit yaitu harga secara fisik atau terbatas pada konsep ekonomi. Bagi masyarakat

Indonesia, tanah tidak hanya mengandung nilai ekonomis semata akan tetapi lebih

luas dari hal itu, ada nilai-nilai lain yang terdapat pada sebidang tanah, seperti nilai

magis religius, nilai budaya dan lain sebagainya. Hal-hal ini sulit untuk diukur atau

dinilai dengan sejumlah uang.

Universitas Sumatera Utara


93

Dalam hal ini ganti kerugian hanya diberikan kepada orang-orang yang hak

atas tanahnya terkena proyek pembangunan. Pada kenyataannya, masyarakat disekitar

proyek tersebut juga terkena dampak, baik yang positif maupun negatif, seperti

kehilangan akses hutan, sungai dan sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti

kerugian komunal harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat.

Inventarisasi asset saja tidak mencukupi dan diusulkan untuk terlebih dahulu

melakukan survai sosial ekonomi yang menyeluruh sebelum pembebasan tanah

dilakukan. Perlu juga dikembangkan bentuk ganti kerugian dalam pola kemitraan

jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau

pemerintah dengan masyarakat pemilik hak atas tanah.

D. Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Melalui Pencabutan Hak

Pada asasnya, jika diperlukan tanah atau benda-benda lainya yang menjadi

milik orang lain untuk suatu keperluan haruslah atas persetujuan pemilik tanah atau

pemegang hak atas tanah dan diproses melalui cara sesuai kesepakatan antara pihak

yang membutuhkan tanah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah antara lain

melalui jual beli atau tukar menukar.

Namun seringkali proses tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana yang

diharapkan karena pemilik tanah atau pemegang hak meminta harga tanah yang

terlampau tinggi atau sama sekali tidak bersedia melepaskan tanah yang diperlukan,

sementara kebutuhan akan tanah tersebut sangat mendesak.

Dalam Undang-Undang pengadaan tanah tidak menyebutkan pencabutan hak

atas tanah sebagai bagian dari pengadaan tanah, atau pencabutan hak atas tanah bukan

Universitas Sumatera Utara


94

merupakan bagian pengadaan tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-

Undang No. 2 Tahun 2012. Oleh karena itu, pengertian pengadaan tanah menurut

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 jelas berbeda sekali dengan pengertian

pencabutan tanah dan pembebasan tanah, yang tersirat adanya tindakan khusus dari

pihak pemerintah secara sepihak maupun tindakan pihak swasta yang difasilitasi oleh

pemerintah, juga adanya perbedaan mengenai objek yang akan diberikan ganti rugi,

dalam aturan yang baru ini, juga secara eksplisit ditegaskan termasuk atas bangunan

dan tanaman serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Persamaan dari istilah pencabutan hak, pembebasan tanah dan pengadaan

tanah terletak dari adanya ketentuan “pemberian ganti rugi” dari setiap kegiatan

tersebut yang diberikan kepada pemilik pemegang hak atas tanah.87

E. Musyawarah Sebagai Dasar Penentuan Ganti Rugi

Unsur musyawarah dalam penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi menjadi

syarat yang penting di dalam setiap proses pengadaan tanah. Essensinya adalah

kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan tanah

tentang besarnya nilai ganti rugi dan bentuk ganti rugi.

Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar,

saling memberi dan saling menerima pendapat, keinginan untuk mencapai

kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang

berkaitan dengan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara

pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang

87
Umar Said Sugiharto, Suratma, Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah, Malang,
Setara Press, 2014, hal.25.

Universitas Sumatera Utara


95

berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.88

Kata-kata saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat,

menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat di dalam proses musyawarah

berkedudukan hukum yang sama atau sederajat. Kata-kata didasarkan atas

kesukarelaan, memberikan makna bahwa dalam proses untuk mencapai kata

kesepakatan tersebut tidak boleh ada unsur-unsur yang bersifat ancaman, tekanan

fisik maupun tekanan non fisik serta lain-lain kegiatan yang pada akhirnya

membuat pihak yang mempunyai tanah takut untuk tidak menerima apa yang

ditawarkan pihak lain.

Moch. Koesno menyatakan bahwa: “Musyawarah menunjuk kepada

pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama

dalam masyarakat yang bersangkutan secara keseluruhan”.89

Kuntjoro Poerbopranoto berpendapat bahwa musyawarah adalah: “Suatu

sistem tertentu melalui berunding dan berunding hingga memperoleh kata sepakat”. 90

Oleh karena itu tidak ada musyawarah bila ada salah satu pihak yang ditakuti,

yang disumbat keinginannya, dikondisikan untuk tidak sanggub mengemukakan

aspirasinya, diteror dan diintimidasi, ada salah satu pihak yang menurut peraturan

tidak diberikan kesempatan untuk ikut mengambil keputusan yang menyangkut

persoalannya sendiri dan sebagainya.91

88
Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 angka 10.
89
Koesno dalam Ahmad Rubaie, Op Cit., hal. 32.
90
Koentjoro Purbopranoto dalam Gunanegara, Op.Cit., hal. 215.
91
Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Cet. 1, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997,
hal. 51.

Universitas Sumatera Utara


96

Dalam pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum, kata

sepakat merupakan kata kunci yang seharusnya dipedomani dan dipatuhi dalam

menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi, dilakukan menurut alur yang

sepantasnya, berarti juga masing-masing pihak merasa tidak dirugikan, sehingga

tercapai kompromi yang hasilnya memuaskan.

Pelaksanaan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak

atas tanah dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah

pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara

efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan instansi

pemerintah atau pemda yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk

diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku

kuasa mereka.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No.2 Tahun

2012, dimana lembaga pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai

disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau

besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil kesepakatan

dalam musyawarah tersebut menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak

yang berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.

Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti

kerugian, maka pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan

Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah

musyawarah penetapan ganti kerugian.

Universitas Sumatera Utara


97

Pengadilan Negeri dalam menangani keberatan yang diajukan oleh pihak yang

berhak akan memutuskan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu

paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Sebagai

pertimbangan dalam memutus putusan atas besarnya ganti kerugian, pihak yang

berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar

pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian.

Sedangkan bagi pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri

mengenai besarnya ganti kerugian, maka dalam waktu paling lama 14 (empat belas)

hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI. Dalam hal ini

Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

Selanjutnya terhadap putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian

kepada pihak yang mengajukan keberatan. dalam hal pihak yang berhak menolak

bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam

waktu 14 (empat belas) hari setelah musyawarah ganti kerugian, maka pihak yang

berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian tersebut.

F. Penetapan Ganti Rugi Tanah Milik PT. Perkebunan Nusantara II Untuk


Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai

Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali

berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik

tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-

prinsip kepentingan umum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengadaan

Universitas Sumatera Utara


98

tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti

rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam proses pengadaan tanah, maka

ganti rugi merupakan hal yang paling teramat penting, karena ganti rugi di sini

merupakan pengganti hak atas tanah yang terkena proses pengadaan tanah untuk

kepentingan umum.

Pembangunan nasional yang memerlukan tanah dari masyarakat yang punya

tanah, memerlukan suatu metoda yang pas dan manusiawi serta berkeadilan dalam

melepaskan hubungan hukum antar tanah dengan pemegang haknya, agar natinya

tidak membuat kehidupan bekas pemegang haknya menjadi lebih buruk dari sebelum

tanahnya dibebaskan,92 dan pembangunan yang dihasilkan pasca pembebasan hak-

hak warga negara diharapkan dapat memajukan rakyat secara keseluruhan.

Pada hakekatnya, peraturan-peraturan mengenai pengadaan tanah yang ada

menempatkan prioritas kepentingan umum atas tanah dengan tetap mengakui

terhadap hak milik atas tanah, hal ini ditunjukkan dengan menetapkan ganti rugi

sebagai syarat dalam pelepasan hak milik atas tanah dan tersedianya mekanisme

musyawarah sebagai upaya memberikan kesempatan terhadap pemilik tanah untuk

melakukan dialog sehubungan dengan konsekuensi penyerahan hak atas tanah

miliknya tersebut.

Lembaga pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum

diterjemahkan sebagai intuisi yang terkait langsung denga fortofolio masing-masing

berupa: tugas pokok, fungsi, kewenangan, kewajiban, keharusan, larangan, hak,

92
AP. Parlindungan, Komentar Tentang UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 44.

Universitas Sumatera Utara


99

tanggung jawab (responsibility) dan tanggung gugat (accountability) dalam

menjalankan tugas kegiatan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan

untuk kepentingan umum.93

Sebagai tahap awal dalam pembangunan jalan tol dimulai dari perencanaan,

dimana tahapan ini lebih bersifat intern dari instansi yang memerlukan tanah atau

bermaksud melakukan pembangunan kepentingan umum. Masyarakat belum bisa

mengetahui tentang perencanaan yang dibuat. Hasil akhir dari perencanaan berupa

dokumen perencanaan yang kemudian diserahkan kepada pemerintah provinsi yang

bersama-sama dengan instansi yang memerlukan tanah akan melakukan persiapan

pengadaan tanah sebagai tahapan berikutnya. Dalam tahap persiapan inilah pemilik

tanah yang terkena obyek pengadaan tanah mulai dilibatkan dalam kegiatan

sosialisasi rencana pembangunan, pendataan awal lokasi, serta konsultasi publik.

Tahapan persiapan ini merupakan tahapan yang cukup krusial dalam pengadaan

tanah, terutama saat konsultasi publik.

Pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol jelas berhubungan dengan

hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat maupun milik perusahaan. Untuk itu

dalam menentukan nilai ganti kerugian tanah haruslah dilakukan dengan musyawarah

dengan pemilik tanah. Hal ini dianggap penting dikarenakan tanpa adanya

musyawarah dengan pemegang hak atas tanah maka proses pengadaan tanah untuk

pembangunan tidak akan terealisasi.

93
Anonim, Dasar-Dasar Pengadaan Tanah, Modul Diklat Pengadaan Tanah, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, 2015,
hal. 16.

Universitas Sumatera Utara


100

Kata-kata saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat

satu dengan lainnya, menunjukkan bahwa para pihak yang ada di dalam proses

musyawarah berkedudukan hukum yang sama atau sederajat. Kata-kata tersebut

didasarkan atas kesukarelaan, memberikan makna bahwa dalam proses untuk

mencapai kesepakatan tersebut tidak boleh ada unsur-unsur yang bersifat ancaman,

tekanan fisik maupun non fisik serta lain-lain kegiatan yang akhirnya membuat pihak

yang mempunyai tanah takut untuk tidak menerima apa yang ditawarkan pihak lain.

Pelaksanaan musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak

atas tanah dan instansi yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas

tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka

musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah dan instansi pemerintah

atau pemda yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk diantara dan

oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.

Maria S.W. Soemardjono mengatakan ganti rugi atas dasar musyawarah

mengandung makna: “Bahwa dalam musyawarah tersebut harus diberlakukan asas

kesejajaran antara pemerintah dengan pemilik tanah dan harus dihindari adanya

tekanan-tekanan berupa apa pun dalam pertemuan maupun di luar pertemuan, jika

tidak maka kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan dalam keadaan terpaksa dan

kesepakatan demikian bukanlah kesepakatan”.94

Selanjutnya A.A. Oka. Mahendra mengatakan bahwa: “Pada praktek

pembebasan tanah/pengadaan tanah, asas musyawarah yang diwajibkan berubah

94
Maria S.W. Soemardjono, Dalam Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan
Pengadilan. Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 1996, hal. 119.

Universitas Sumatera Utara


101

menjadi pengarahan”.95 Dalam pelaksanaan musyawarah dapat berubah menjadi

briefing, instruksi maupun pernyataan sepihak dari pihak yang memerlukan tanah

tersebut, yang dilakukan oleh Camat dan Kepala Desa.96

Dalam perbuatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hal terpenting

yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pihak yang memerlukan tanah adalah

penetapan lokasi. Selanjutnya setelah adanya penetapan lokasi maka instansi yang

memerlukan tanah meminta kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

untuk melaksanakan pengadaan tanah. Selanjutnyan atas permintaan tersebut Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia akan melakukan berbagai kegiatan, seperti

persiapan, inventarisasi dan identifikasi, penetapan penilai dan berbagai kegiatan

lainnya diatas tanah tersebut.

Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-

Binjai yang dilaksanakan pembangunannya oleh pihak PT. Hutama Karya, dimana

untuk melakukan penilaian ganti kerugian terhadap objek tanah dan benda-benda

yang berada diatas tanah tersebut, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah akan

menetapkan penilai yang terlebih dahulu telah diseleksi sesuai aturan perundang-

undangan.

Penilai dalam menjalankan tugasnya dapat meminta peta bidang tanah, daftar

nominatif dan data yang diperlukan untuk bahan penilaian dari Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah. Pelaksanaan tugas penilai dalam melakukan penilaian terhadap

95
A.A. Oka Mahendra, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi Dan Pertanahan, Cet. Ke-1.
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 1996, hal. 267.
96
A.P. Parlindungan, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Study
Perbandingan, Cet. I, Bandung, Mandar Maju, 1993, hal. 55.

Universitas Sumatera Utara


102

nilai ganti rugi dilaksanakan paling lama 30 (tigapuluh) hari kerja sejak ditetapkannya

penilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Terhadap penilaian ganti rugi yang

dilakukannya, penilai harus bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah

dilaksanakannya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 Perkaban No. 5 Tahun 2012, penilai

bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah, yang

meliputi:

a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.

Adapun penilaian yang dilakukan oleh penilai untuk menetapkan ganti

kerugian terhadap asset milik PT. Perkebunan Nusantara II yang akan dilakukan

pembebasan terkait pembangunan jalan tol Medan Binjai, dapat dilihat dalam tabel

dibawah ini:

Tabel 3
Asset Milik PT. Perkebunan Nusantara II
Yang Mendapat Ganti Rugi

No Lokasi Kebun Jenis Tanaman

1 Tandem Tanah & Tanaman

Tanah, Tanaman &


2 Sei Semayam (Paya Bakung & Mulio Rejo)
Rumah Dinas
Tanah, Tanaman, Rumah
3 Helvetia (Kelambir Lima & Manunggal)
Dinas & Kantor
Sumber : Data Primer yang diolah tahun 201

Universitas Sumatera Utara


103

Atas dasar penilaian ganti kerugian yang dilakukan oleh penilai tersebut,

maka selanjutnya pelaksana pengadaan tanah akan melaksanakan musyawarah

dengan mengundang para pihak yang berhak yaitu pihak pemegang hak atas tanah

PT. Perkebunan Nusantara II dan pihak pelaksana pekerjaan PT. Hutama Karya,

untuk penetapan ganti kerugian, yang dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai diterima oleh Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah.97

Sebelum dilakukan musyawarah dalam menetapkan ganti rugi atas pelepasan

asset, terlebih dahulu Direksi PT. Perkebunan Nusantara II membentuk tim penaksir

harga yang terdiri dari beberapa divisi perusahaan yang dianggap berkompeten untuk

itu. Dimana tugas tim penaksir harga yang dibentuk untuk menilai asset yang akan

dilepas dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai. Hasil

dari tim penaksir harga yang selanjutnya akan menjadi dasar dalam musyawarah

dalam menentukan nilai ganti rugi.98

Pembentukan tim penaksir harga yang dilakukan oleh Direksi PT. Perkebunan

Nusantara II telah sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Negara Badan Usaha

Milik Negara No. PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan

Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara, dimana dalam

ketentuan Pasal 28 ayat 1 dinyatakan bahwa: ”Dalam rangka menetapkan harga jual,

nilai tukar, dan nilai ganti rugi minimum atas Aktiva Tetap BUMN, RUPS/Menteri

97
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.
98
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


104

atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangan pemberian

persetujuan, dapat menetapkan agar Direksi membentuk Tim Penaksir Harga atau

menggunakan jasa perusahaan penilai”.

Musyawarah yang dilakukan penilai dengan melibat pihak yang berhak yaitu

PT. Perkebunan Nusantara II yang dalam hal ini diwakilkan kepada Tim Penaksir

Harga dan PT. Hutama Karya selaku pihak yang memerlukan tanah, untuk

membicarakan penilaian ganti rugi. Pada musyawarah tersebut Ketua Pelaksana

Pengadaan Tanah menyampaikan penetapan besarnya nilai ganti kerugian

berdasarkan hasil penilai. Pada awalnya pihak PT. Perkebunan Nusantara II merasa

keberatan atas nilai ganti kerugian tersebut dan selanjutnya meminta nilai ganti rugi

didasarkan pada harga pasar yang berlaku pada saat ini. Akan tetapi permintaan PT.

Perkebunan Nusantara II tersebut ditolak oleh pihak PT. Hutama Karya dengan

alasan bahwa pengadaan tanah yang dilakukan oleh pihak perusahaan

diselenggarakan atas perintah Presiden dan ditujukan untuk kepentingan umum yaitu

pembangunan jalan tol. Walaupun sempat terjadi perdebatan yang panjang mengenai

penilaian ganti rugi, namun pada akhirnya disepakati nilai ganti kerugian berdasarkan

hasil penilai penilai. Penilaian terhadap ganti rugi yang dilakukan oleh penilai

berdasarkan Nilai Jual Objek Tanah (NJOP) tahun berjalan. Untuk penilaian ganti

rugi atas tanaman akan dinilai berdasarkan usia dan hasil tanaman. Sedangkan

penilaian ganti rugi atas rumah karyawan dan kantor perusahaan akan dinilai

berdasarkan kondisi fisiknya.99

99
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


105

Mengenai penilaian terhadap nilai ganti kerugian, Adrian Sutedi memberikan

pendapatnya bahwa:

Dalam pemberian ganti rugi tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan adalah ganti
rugi yang layak. Untuk itu, perlu dirumuskan pengertian dari kata “layak”
tersebut, yang secara awam dapat saja kita sebut dengan “harga yang wajar” atau
titik tengah dari harga pasar dengan harga dalam tagihan pajak (nilai jual objek
pajak/NJOP).

Selanjutnya setelah terjadi kesepakatan dalam musyawarah dalam penetapan

nilai ganti rugi terhadap tanah berikut asset milik PT. Perkebunan Nusantara II yang

akan dilepaskan haknya, maka selanjutnya berdasarkan hasil kesepakatan yang

dicapai dalam musyawarah tersebut akan menjadi dasar pemberian ganti kerugian

kepada pihak pemegang hak atas tanah. Hasil kesepakatan musyarawah dari kedua

belah pihak akan dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani

oleh Pelaksana Pengadaan Tanah, pihak PT. Perkebunan Nusantara II dan pihak PT.

Hutama Karya.100

Berdasarkan kesepakatan yang dicapai antara PT. Perkebunan Nusantara II

selaku pemegang hak atas tanah dengan PT. Hutama Karya selaku pelaksana

pekerjaan, maka tahapan selanjutnya akan dilaksanakan pemberian ganti kerugian

dari pihak yang memerlukan tanah kepada PT. Perkebunan Nusantara II. Untuk

bentuk ganti rugi yang diberikan sesuai kesepakatan adalah dalam bentuk uang,

dimana terhadap pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tersebut dilakukan melalui

transfer ke rekening milik PT. Perkebunan Nusantara II yang dibuktikan dengan

adanya tanda terimanya.

100
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


106

Alasan pihak PT. Perkebunan Nusantara II untuk memilih ganti kerugian

dalam bentuk uang didasarkan pada Surat Keputusan Pemegang Saham

PT. Perkebunan Nusantara II No. 824/MBU/12/2014 dan No. 300/SKPTS/07/2014,

tanggal 30 Desember 2014, dimana didalam surat keputusan tersebut para pemegang

saham lebih memilih ganti kerugian dalam bentuk uang.101

Tindakan PT. Perkebunan Nusantara II yang memilih ganti kerugian dalam

bentuk uang dianggap telah sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat 1 Perpres No. 71

Tahun 2012 yang menyatakan: “Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 68 pelaksana pengadaan tanah mengutamakan pemberian ganti rugi dalam

bentuk uang”

Untuk pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang harus diberikan dalam

bentuk mata uang rupiah dan akan dilakukan oleh PT. Hutama Karya selaku pihak

yang memerlukan tanah kepada PT. Perkebunan Nusantara II berdasarkan validasi

dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, dimana pelaksanaannya dilakukan

bersamaan dengan pelepasan hak atas tanah dan dilakukan paling lama dalam waktu

7 (tujuh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan bentuk ganti kerugian oleh

pelaksana pengadaan tanah.

Pelepasan hak objek pengadaan tanah akan dilakukan dihadapan Kepala

Kantor Pertanahan setempat dan akan dibuat pelepasan hak sesuai hak yang

dilepaskan. Sebelum pelepasan hak dilakukan, pihak PT. Perkebunan Nusantara II

akan menyerahkan bukti-bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah.

101
Hasil Wawancara dengan Edwin Fauzi, Bagian Hukum dan Pertanahan PT. Perkebunan
Nusantara II, pada tanggal 26 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


107

Bukti tersebut merupakan satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum

dan tidak dapat diganggu gugat dikemudian hari. Pihak yang berhak menerima ganti

kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau

kepemilikan yang akan diserahkan tersebut.

Terhadap pembayaran ganti kerugian yang dilakukan melalui transfer ke

rekening milik PT. Perkebunan Nusantara telah sesuai dengan ketentuan didalam

Pasal 31 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-

02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva

Tetap Badan Usaha Milik Negara, yang dinyatakan bahwa: ”Pembayaran atas

transaksi pemindahtanganan disetorkan langsung ke kas BUMN dan dilakukan secara

tunai/sekaligus pada hari pelaksanaan pemindahtanganan dilakukan”.

Pemberian ganti kerugian kepada pihak PT. Perkebunan Nusantara II selaku

pemegang hak atas tanah yang dilepaskan haknya akibat dari pengadaan tanah untuk

pembangunan jalan tol dianggap suatu yang layak dan berkeadilan. Hal ini berkaitan

dengan asas keadilan dalam pengadaan tanah dimana PT. Perkebunan Nusantara II

selaku pemegang hak atas tanah yang selama ini mempunyai nilai ekonomis harus

diberikan jaminan penggantian/kompensasi yang layak.

Prinsip pemberian ganti rugi harus seimbang dengan nilai tanah.

Keseimbangan tersebut adalah bahwa ganti rugi yang diberikan merupakan imbalan

yang layak, atau tidak menjadikan pemegang hak atas tanah yang melepaskan

tanahnya mengalami kemunduran sosial atau tingkat ekonominya.102

102
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Op.cit., hal. 30.

Universitas Sumatera Utara


108

Oleh karena itu, dengan ditempatkannya asas keadilan dalam pemberian ganti

kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah mencerminkan

prinsip keadilan, yaitu dengan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang

diusahakan dengan cara seimbang dan dilakukan dengan cara musyawarah. Perlakuan

yang seimbang antara pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah adalah merupakan

pemenuhan rasa keadilan bagi masing-masing pihak. Dalam hal ini maka, sudah

seharusnya pemerintah harus bertindak secara adil dalam pelaksanaan kegiatan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II


DALAM PELEPASAN HAK ATAS UNTUK KEPENTINGAN
PEMBANGUNAN JALAN TOL MEDAN-BINJAI

A. Konsep Hukum Tanah Nasional

Hukum Tanah Nasional Indonesia diatur di dalam Undang-undang No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan

sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Sejak berlakunya UUPA, telah

dilakukan banyak kajian mengenai sistem penguasaan tanah menurut Hukum Tanah

Nasional Indonesia dengan berbagai fokus kajian, antara lain, kesesuaian sistem hak

atas tanah dalam hukum tanah nasional dengan kebutuhan masyarakat dan

perkembangan, aspek kepastian hukum penguasaan tanah, dan lembaga tanah negara

dan pengelolaannya.

Prinsip dasar kebijakan dibidang pertanahan di Indonesia diatur dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang

dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Namun, dengan semakin

meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap penguasaan dan penggunaan tanah,

maka semakin besar pula tuntutan untuk melakukan pembaharuan pemikiran yang

mendasari terbitnya kebijakan di bidang pertanahan.

Kewenangan Pemerintah dalam mengatur bidang pertanahan tumbuh dan

mengakar dari amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan

bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebelum

109

Universitas Sumatera Utara


110

dilakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945, ketentuan dalam

Pasal 33 ayat 3 tersebut sebagaimana didalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang

berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah

pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Hubungan antara negara dengan tanah akan berlangsung tidak terputus-putus

untuk selama-lamanya. Sifat abadi artinya selama rakyat Indonesia masih bersatu

sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah bersama tersebut masih ada pula, dalam

keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat

memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

Sedangkan hubungan antara bangsa Indonesia dengan “kekayaan nasional”

menunjukkan adanya unsure keperdataan, yaitu hubungan “kepunyaan” antara bangsa

Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan kepunyaan menurut arti yang asli

member wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai “empu”-nya atau “tuan”-nya.

Hubungan kepunyaan bisa merupakan hubungan pemilikan tetapi tidak selalu

demikian.103

Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah

Nasional. Ini berarti antara lain bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional

dilandasi konsepsi hukum adat, yang dirumuskan sebagai: “komunalistik religius,

yang artinya memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak

atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan”.104

103
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 217.
104
Ibid., hal. 228.

Universitas Sumatera Utara


111

Sifat komunalistik religius konsepsi hukum tanah nasional dapat dilihat

berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUPA, yang menyatakan bahwa: ”Seluruh

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah

bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Hak Bangsa Indonesia atas tanah merupakan induk bagi hak-hak penguasaan

yang lain atas tanah, mengandung pengertian bahwa semua hak penguasaan atas

tanah yang lain bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah dan bahwa

keberadaan hak-hak penguasaan apapun, hak yang bersangkutan tidak meniadakan

eksistensi Hak Bangsa Indoensia atas tanah

Sedangkan dalam konteks perlindungan hukum terhadap masyarakat yang

tanahnya diambil untuk kepentigan umum yang secara formal telah dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan itu terus ditingkatkan perwujudannya secara

konsekuen dan konsisten. Penghormatan kepada hak dasar manusia semestinya

diberikan secara proposional, sebab hukum hanya dalam dan untuk hal-hal yang

konkrit. Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari

rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”

Ketentuan didalam UUPA merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak

atas tanahnya, termasuk terhadap pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang

akan mengambil tanah-tanah milik masyarakat. Dimana dalam pelaksanaan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 telah

Universitas Sumatera Utara


112

memberi jaminan hukum kepada pemegang hak yang tanahnya diambil akan

diberikan ganti rugi yang layak, termasuk juga ganti rugi terhadap benda-benda yang

berada diatas tanah tersebut. Pengambilan tanah milik masyarakat sangat

dimungkinkan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, akan tetapi diikat

dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak.

Pelepasan hak atas tanah adalah langkah pertama yang dilakukan dalam

pelaksanaan pengadaan tanah. Namun cara ini tidak selalu produktif, dan memiliki

nilai jual dengan harga tinggi sehingga kerap terjadi dialog atau musyawarah yang

cukup alot antara pemerintah dengan pemilik tanah tersebut. Khususnya mengenai

pemberian ganti rugi.

Pengadaan tanah hanya dapat dilakukan melalui pemberian ganti rugi atas

dasar musyawarah. Musyawarah disini diartikan sebagai proses atau kegiatan saling

mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan

atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah,

untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah dengan

pihak instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

menjadi landasan hukum adanya hubungan antara tanah dan subyek tanah, dimana

Negara dalam hal ini bertindak sebagai subyek yang mempunyai kewenangan

tertinggi terhadap segala kepentingan atas tanah yang bertujuan untuk kemakmuran

rakyat.

Universitas Sumatera Utara


113

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan

bahwa: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal tersebut menjelaskan

bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan

bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk

kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan rugi bagi masyarakat

luas. Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas tanahnya

saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa

penggunaan hak atas sebidang tanah juga harus memperhatikan kepentingan

masyarakat.

Dalam penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat

daripada haknya sehingga dapat bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan

yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Namun hal

tersebut bukan berarti kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat

atau Negara, dan diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.

Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan

merupakan salah satu syarat mutlak dalam era keterbukaan dan kebebasan ini.

Diabaikannya kegiatan peran serta masyarakat ini telah terbukti menyebabkan

terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri

yaitu keseluruhan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemborosan

keuangan negara merupakan implikasi lain dari deviasi tersebut.105

105
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Dalam Pebangunan
Daerah, http:/zuryawanisvandiarzoebir. wordpress.com/2011/10/24, diakses pada tanggal 24 Oktober
2010.

Universitas Sumatera Utara


114

B. Prinsip-Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah

Menurut pendapat Adrian Sutendi, prinsip-prinsip kriteria kepentingan umum

dapat diuraikan lebih rinci, yakni meliputi sifat kepentingan umum, bentuk

kepentingan umum, dan ciri-ciri kepentingan umum. Demikian metode penerapan

tiga aspek tersebut sehingga kriteria kepentingan umum dapat diformulasikan secara

pasti, adil dan dapat diterima oleh masyarakat.106

Permasalahan yang masih timbul adalah sejauh mana sifat tersebut harus

melekat pada suatu jenis kegiatan untuk kepentingan umum. Apakah sifat tersebut

harus melekat secara kuat dan dominan, atau sekedarnya, serta bagaimana ukurannya.

Karena dalam prakteknya, suatu kegiatan sebenarnya hanya sedikit terlekati

kepentngan umum, namun disimulasikan untuk kepentingan umum. Masih adanya

permasalahan mengenai sifat itulah maka sifat kepentingan umum yang demikian itu

masih memerlukan penjelasan yang lebih konkrit.

Sifat yang pertama, adalah kepentingan bangsa dan negara. Terhadap

penyebutan yang demikian itu timbul pertanyaan, benarkan kepentingan negara

identik dengan kepentingan umum. Sehubungan dengan hal tersebut tentunya

tergantung jenis negaranya, yang hal ini sangat dipengaruhi oleh paradigma suatu

negara yang bersangkutan dalam memahami hubungan antara kepentingan umum dan

kepentinagn individu. Paling tidak ada tiga golongan negara berkaitan dengan

pengaturan kepentingan umum dan individu, yaitu paham negara sosialis, paham

negara korporasi, dan paham negara sublimasi.107

106
Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 45
107
Ibid., hal. 71.

Universitas Sumatera Utara


115

Menurut paham negara sosialis, segala kekayaan dalam negara dikuasi dan

dimiliki oleh negara. Negara mengatur segala aspek kehidupan individu. Dalam

konteks kepemilikian tanah, kepada warga negara tidak diberi hak milik tanah, namun

hanya diberi hak menggarap atas tanah. Kepentingan umum identik dengan

kepentingan negara, dengan kata lain bahwa setiap kepentingan negara adalah

kepentingan umum. Kepentingan individu ada dalam sektor yang sempit, misalnya

sektor keluarga, isteri, anak. Jadi, kepentingan individu ada namun relatif sempit dan

dalam prakteknya terkalahkan oleh kepentingan negara.

Sebaliknya, menurut paham negara korporasi, negara dalam banyak hal dapat

bertindak sebagaimana badan hukum perusahaan dapat mempunyai hak milik dan

dapat menjalankan segala kegiatan yang bersifat profit. Dalam paham ini, negara

relatif memberikan peluang seluas-luasnya kepada kepentingan individu. Bahkan,

Negara dapat berkedudukan sebagimana individu, misalnya sebagai pihak penjual

atau pembeli dengan pihak swasta. Kepentingan umum dapat saja dilakukan oleh

Negara ataupun oleh sawasta. Akibatnya sifat kepentingan umum tidak jelas

wujudnya. Kepentingan negara belum tentu kepentingan umum, mengingat negara

dapat bertindak sebagai individu yang dapat melakukan kegiatan profit.

Sementara di negara-negara yang berpaham sublimasi menerangkan bahwa

negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat mempunyai wewenang menguasai dan

mengatur kepentingan umum ataupun kepentingan individu. Negara dapat menguasai

berbagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun tidak dapat

mempunyai suatu barang atau tanah misalnya.dengan status hak milik. Negara

menurut paham ini, memberikan pengakuan terhadap hak-hak atas tanah individu

Universitas Sumatera Utara


116

dalam posisi seimbang dengan kepentingan umum dalam hubungannya yang tidak

saling merugikan. Walaupun terpaksa kepentingan umum harus dimenangkan, maka

kepentingan individu harus tetap dilindungi dengan memberikan kompensasi ganti

keuntungan atau rugi yang layak.

Hukum Tanah Nasional yang diatur dalam UUPA, pada Penjelasan Umum

butir kedua disebutkan bahwa negara atau pemerintah bukanlah subyek yang

mempunyai hak milik (eigenaar), demikian pula tidak dapat sebagai subyek jual beli

dengan pihak lain untuk kepentingan sendiri. Pengertian lainnya, negara hanya diberi

hak menguasai dan mengatur dalam rangka kepentingan kesejahteraan rakyat secara

keseluruhan (kepentingan umum).

Sifat dan bentuk kepentingan umum di atas masih saja dapat disimpangi

dalam penafsirannya ataupun dalam operasionalnya sehingga sangat penting dalam

tulisan ini dibahas tentang karakteristik yang berlaku sehingga kegiatan kepentingan

umum benar-benar untuk kepentingan umum, dan dapat dibedakan secara jelas

dengan kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingan umum. Dengan kata lain,

akan dibahas hal-hal yang paling prinsip sehingga suatu kegiatan benar-benar untuk

kepentingan umum.

Ada tiga prinsip yang dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu kegiatan benar-

benar untuk kepentingan umum, yaitu:108

a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah.


Mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum tidak dimiliki oleh
perorangan atau swasta. Dengan kata lain, swasta dan perorangan tidak dapat
memiliki jenis-jenis kegiatan kepentingan umum yang membutuhkan
pembebasan tanah-tanah hak maupun negara.

108
Ibid., hal. 75

Universitas Sumatera Utara


117

b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah, Memberikan


batasan bahwa proses pelaksanaan dan pengelolaan suatu kegiatan untuk
kepentingan umum hanya dapat diperankan oleh pemerintah.
c. Tidak mencari keuntungan
Membatasi fungsi suatu kegiatan untuk kepentingan umum sehingga benar-
benar berbeda dengan kepentingan swasta yang bertujuan mencari keuntungan
sehingga terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali
tidak boleh mencari keuntungan.

Kriteria kepentingan umum di atas agar secara efektif dapat dilaksanakan di

lapangan harus memenuhi kriteria sifat, kriteria bentuk, dan kriteria karakteristik atau

ciri-ciri:109

1. Penerapan untuk kriteria sifat suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar
memilki kualifikasi untuk kepentingan umum harus memenuhi salah satu sifat
dari beberapa sifat yang telah ditentukan dalam daftar sifat kepentingan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.
Jadi, penggunaan daftar sifat tersebut bersifat wajib alternatif
2. Penerapan untuk kriteria bentuk suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar
mempunyai kualifikasi sebagai kegiatan untuk kepentingan umum harus
memenuhi salah satu syarat untuk kepentingan umum sebagaimana daftar
bentuk kegiatan kepentingan umum tersebut tercantum dalam Pasal 2
Instruksi Presiden tahun 1973 dan Pasal 5 Peraturan Presiden No. 36 tahun
2005.
3. Penerapan untuk kriteria suatu kegiatan untuk kepentingan umum agar
memenuhi kualifikasi ciri-ciri kepntingan umum sehingga benar-benar
berbeda dengan bukan kepentingan umum, maka harus memasukkan ciri
kepentingan umum, yaitu bahwa kegiatan tersebut benar-benar dimiliki
pemerintah, dikelola pemerintah dan tidak untuk mencari keuntungan.

Kriteria kepentingan umum serta prosedur untuk menerapkannya tidak akan

dapat berjalan dengan baik apabila tidak tersedia sumber daya manusia pelaksana

yang memenuhi kualifikasi, baik secara moral maupun profesional. Pertama,

kualifikasi moral, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan umum dibutuhkan

orang-orang yang secara jelas mempunyai sikap, prilaku dan komitmen terhadap

moral, menjaga kejujuran, dan kebenaran dalam menentukan pemanfaatan

109
Ibid., hal. 76

Universitas Sumatera Utara


118

kepentingan umum tersebut sehingga tidak ada lagi kepentingan umum sekedar

kedok untuk mewujudkan kepentingan pribadi.

Kedua, kualifikasi profesional, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan

umum dibutuhkan orang-orang yang benar mengerti segala kompleksitas persoalan

hukum tanah, baik hukum positif maupun hukum yang hidup di masyarakat.

Persoalan sengketa tanah yang akhir-akhir ini justru menggejala dan menimbulkan

korban manusia terjadi diakibatkan oleh kecerobohan dan ketidaktahuan aparat

tentang hukum tanah.

Menurut pendapat Ali Ahmad Chomzah, bahwa:110

Pengambilan keputusan oleh Pemerintah pada setiap jenjang pemerintahan untuk


mendapatkan hak atas tanah harus selalu didasarkan pada kebutuhan tanah dalam
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan negara
sebagaimana dirumuskan pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa.

Dari konsep di atas dapat dipahami bahwa tujuan dan perolehan tanah yang

dilakukan pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan umum dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga manakala pemerintah

membutuhkan tanah masyarakat haruslah dilakukan dengan cara-cara atau sesuai

dengan prosedur hukum sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kepentingan umum tidak bersebrangan dengan pemilik tanah yang berhak atas tanah

tersebut.111

110
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002, hal. 308.
111
Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara


119

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, atau cara lain yang disepakati

secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

hanya dapat dilaksanakan apabila penetapan rencana pembangunan untuk

kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang

Wilayah yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Perolehan hak atas tanah dilakukan

dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia, serta penghormatan

terhadap hak atas tanah yang sah.

C. Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas Tanah

Prinsip penghormatan terhadap hak perorangan keberadaannya telah diakui

di dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana disebutkan dalam ketentua Pasal

28H ayat (4) menyatakan bahwa: ”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi

dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh

siapapun”.

Lebih lanjut didalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) ditegaskan bahwa:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.

Universitas Sumatera Utara


120

Adanya prinsip tersebut maka hak atas tanah yang dipunyai seseorang sesuai

dengan hukum tanah nasional dilindungi dari gangguan pihak lain. Demikian juga

hak atas tanah seseorang tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang dan secara

melawan hukum, termasuk oleh penguasa.112

Dalam prinsip hak atas tanah adalah fungsi sosial maka apabila bidang tanah

dipergunakam untuk kepentingan umum maka penghormatan terhadap hak atas tanah

yang dikuasai seseorang adalah sangat kurang, hal ini dikarenakan tanah adalah

fungsi sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Boedi Harsono, andaikata dikatakan

bahwa hak-hak atas tanah adalah fungsi sosial maka pernyataan yang demikian itu

bukan berpangkal pada pengakuan terhadap hak-hak perorangan atas tanah melainkan

sebaliknya, berarti mengingkarinya.113

Dalam UUPA tidak dikenal hak atas tanah adalah “fungsi sosial”, akan tetapi

setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dengan kata “mempunyai fungsi

sosial” ini maka hak-hak atas tanah yang ada pada seseorang itu akan tetap dihormati.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial.

Kemudian didalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa

semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial berarti bahwa hak atas tanah apapun

yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan

dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya,

apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah

112
Maria S.W. Sumardjono (I), Op.cit., hal. 269.
113
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 303-304.

Universitas Sumatera Utara


121

harus sesuai dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik

bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun bermanfaat pula

bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan

perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA

menghormati serta memperhatikan hak-hak dan kepentingan-kepentingan perorangan

atas bidang tanahnya. Selanjutnya kepentingan masyarakat dan kepentingan

perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai

tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Boedi Harsono mengemukakan bahwa salah satu tujuan UUPA sebenarnya

bukan menambah pembatasan atau mengurangi kebebasan individu dalam

menentukan peruntukan dan penggunaan tanah yang dipunyainya, karena hal itu

sudah terkandung dalam sifat hakekat hak yang ada padanya.114 Tujuan UUPA justru

akan memperkuat kedudukan individu dalam hubungan dengan masyarakatnya dan

anggota masyarakat yang lain yakni dengan menyediakan perangkat peraturan hukum

yang tertulis dan memberikan surat tanda bukti pemilikan tanah, melalui

penyelenggaraan pendaftaran tanah.115 Dengan demikian apa yang tercantum dalam

UUPA tersebut sebenarnya merupakan penegasan pokok-pokok pembatasan

kebebasan individu yang sudah ada dalam menggunakan haknya atas bagian dari

tanah bersama yang dipunyai.116

Keberadaan fungsi sosial atas tanah dapat diartikan sebagai suatu daya kerja

kemasyarakatan tertentu yang timbul atau muncul pada waktu sesuatu digerakkan,

114
Ibid., hal. 302.
115
Ibid
116
Ibid., hal. 303.

Universitas Sumatera Utara


122

diaktifkan, atau dikerjakan. Terdapat karakteristik tertentu yang menunjukkan

adanya daya kerja kemasyarakatan. Dengan demikian dibutuhkan karakteristik

tertentu untuk menandai arti dari tanah memiliki fungsi sosial, maupun fungsi sosial

dari hukum.117

Oleh karena itu, maka tanah dengan hak apapun juga, jika digunakan atau

tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, harus pula melibatkan kepentingan atau

kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam pengertian itu, kepentingan dan kemanfaatan

bagi masyarakat harus diutamakan.

Hal demikian memberi petunjuk bahwa ketika tanah dipergunakan atau tidak

dipergunakan, pada saat itu juga daya kerja dari dipergunakan atau tidak

dipergunakannya tanah itu menjangkau kepentingan pribadi dan kepentingan

masyarakat secara bersama-sama. Inilah arti dari pernyataan bahwa setiap

penggunaan atau tidak dipergunakannya tanah, daya kerja kemasyarakatan dari tanah

itu selalu diwujudkan.

Dalam berbagai literature ditemukan bermacam-macam istilah mengenai hak.

Seperti dalam kepustakaan berbahasa Inggris ditemuka adanya istilah natural right,

human right dan fundamental right. Sedangkan dalam literature berbahasa Belanda

terdapat istilah recht yang dapat diartikan hak dan dapat pula diartikan hukum. Selain

itu ditemukan pula istilah-istilah seperti groundrechten, mensenrechten, rechten van

den mens dan fundamentalen rechten. Sedangkan dalam kepustakaan berbahasa

117
Dian Chandra Buana, Analisis RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Mengulangi
Debat Lama Negara vs Rakyat, http://www.gema-nurani.com/2011/07, diakses pada tanggal 12
Oktober 2011.

Universitas Sumatera Utara


123

Indonesia ditemukan istilah hak asasi manusia, hak-hak kodrat, hak-hak dasar yang

sering diberi imbuhan manusia sehingga menjadi hak-hak dasar manusia. 118

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum melindungi kepentingan

seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak

dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara

terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya, kekuasaan yang demikian

itulah yang disebut hak.119

Sedangkan Fitzgerald sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo

mengemukakan bahwa hak menurut hukum yaitu:120

1. Hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek
dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki title atas barang
yang menjadi sasaran dari hak.
2. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
3. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, ini bisa
disebut sebagai isi dari hak.
4. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa disebut objek
dari hak.
5. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo membedakan hak menjadi dua yakni hak

absolut dan hak relatif. Hak absolut adalah hubungan hukum antara subyek hukum

dengan obyek hukum yang menimbulkan kewajiban pada setiap orang untuk

menghormati hubungan-hubungan hukum tersebut. Hak absolut memberi wewenang

pada pemegangnya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang pada

118
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya, Bina
Ilmu, 1987, hal. 38-39.
119
Satjipto Rahardjo, Op.cit., hal. 54.
120
Ibid., hal. 55.

Universitas Sumatera Utara


124

dasarnya dapat dilaksanakan terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak

absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada

seseorang maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan tidak

mengganggunya. Pada hak absolut pihak ketiga mempunyai kepentingan untuk

mengetahui keberadaannya sehingga memerlukan publikasi.121

Hak relatif adalah hubungan subyek hukum dengan subyek hukum tertentu

lain dengan perantaraan benda yang menimbulkan kewajiban pada subyek hukum

lain tersebut. Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang

hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu (kreditur tertentu dan debitur

tertentu). Pada dasarnya tidak ada pihak ketiga yang terlibat. Hak relatif ini tidak

berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu, jadi hanya berlaku

bagi mereka yang menjadi pihak dalam perjanjian. Hak relatif ini berhadapan dengan

kewajiban seseorang tertentu. Pihak ketiga yang berada di luar perjanjian tidak

mempunyai kewajiban. Antara para pihak yang melakukan perjanjian terjadi

hubungan hukum yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan

yang lain wajib memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian.122

Dalam kaitan hukum pertanahan dapat pula dibedakan antara hak absolut dan

hak relatif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA bahwa atas

dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah,

yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang

bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya

121
Ibid., hal. 46
122
Ibid

Universitas Sumatera Utara


125

sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan

peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Macam-macam hak atas tanah tersebut

dijabarkan dalam Pasal 16 UUPA yang meliputi hak milik, hak guna usaha (HGU),

hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, serta hak atas tanah yang akan

ditetapkan dengan undang-undang dan hak atas tanah yang bersifat sementara.

Sedangkan hak membuka tanah dan memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah

tetapi lebih tepat disebut hak keagrariaan yakni hak yang menyangkut tanah.123 Dari

hak-hak atas tanah diatas maka hak milik, HGU, HGB diklasifikasikan sebagai hak

absolut dan mengikat setiap orang, sedangkan hak pakai dan hak sewa merupakan

hak relatif.

Dalam setiap hak terdapat empat unsur yaitu subyek hukum, obyek hukum,

hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan

hukum. Dalam hubungannya dengan pemegang hak atas tanah maka terdapat subyek

dalam arti pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yakni bisa perorangan atau

badan hukum, obyek hak tersebut adalah tanah. Dengan adanya hubungan hukum

tersebut mengakibatkan pihak lain untuk menghormati hubungan itu. Kalau

kewajiban itu tidak diindahkan akan terjadi pelanggaran hak, maka subyek atau

pemegang hak dapat minta bantuan perlindungan hukum kepada pengadilan.124

123
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 46 ayat (2) UUPA, bahwa dengan mempergunakan
hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah.
Penjelasan Pasal 46 UUPA mengemukakan bahwa hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah.
124
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 37.

Universitas Sumatera Utara


126

D. Sengketa Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan

paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keadaaan

yang sama. Secara umum konflik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan

pendapat yang berlainan antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan

keadaan yang sama.125 Selanjutnya, kata ”konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer

adalah pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisihan.126

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan pertentangan atau

percekcokan.127 Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kata

”konflik” mempunyai pengertian yang lebih luas, oleh karena istilah konflik tidak

hanya digunakan dalam kasus pertanahan yang terkait dengan proses perkara pidana,

juga terkait dalam proses perkara perdata dan proses perkara tata usaha negara.

Dalam penelitian ini konflik yang dimaksudkan adalah konflik pertanahan yang

terkait proses perkara pidana, khususnya ketentuan perundang-undangan di luar

kodifikasi hukum pidana.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang

disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk digunakan atau

dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak tersebut tidak

akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan

bumi saja.

125
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan
Tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1992, hal. 42
126
A. Partanto Dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arloka, 1994, hal. 354.
127
Poerwadarminta, Op.cit., hal. 518.

Universitas Sumatera Utara


127

Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan

sebagai tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang di

permukaan bumi. Oleh karena itu dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA dinyatakan bahwa hak-

hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian

tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut "tanah", tetapi juga tubuh

bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada diatasnya, dengan

demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian

tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber

dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi

yang ada di bawah tanah, air serta ruang yang ada di atasnya. 128

Menurut A.P. Parlindungan tanah hanya merupakan salah satu bagian dari

bumi.129 Pembatasan pengertian tanah dengan permukaan bumi seperti itu juga diatur

dalam penjelasan Pasal Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana tertuang

dalam Pasal 1 bagian II angka I bahwa dimaksud dengan tanah ialah permukaan

bumi.130 Pengertian tanah dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960

tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atas Kuasanya,

dirumuskan:131

1. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara;

2. Tanah yang tidak dikuasai oleh negara yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh

perorangan atau badan hukum.

128
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 18
129
A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia : Suatu Perbandingan, Bandung, Mandar
Maju, 1990, hal. 90.
130
Boedi Harsono, Op.cit., hal. 37
131
Ibid., hal. 37

Universitas Sumatera Utara


128

Tanah dalam pengertian geologis agronomis, diartikan lapisan permukaan

bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan yang

disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan, dan

tanah bangunan yang digunakan untuk mendirikan bangunan.132

Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan

pengertiam tanah ialah bagian permukaan bumi termasuk tubuh bumi di bawahnya

serta yang berada di bawah air yang langsung dikuasai oleh negara atau dipunyai

dengan sesuatu hak oleh perorangan atau badan hukum.

Penguasaan atas tanah sering terjadi konflik ditengah-tengah masyarakat, baik

itu terjadi dikarenakan internal individu masyarakat itu sendiri, pemilik dengan

penggarap dan masyarakat dengan pemerintah dalam hal pengadaan tanah untuk

kepentingan sosial.

Konflik pertanahan menurut A. Hamzah diistilahkan dengan delik di bidang

pertanahan, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas 2 (dua bagian), yaitu yang

meliputi:133

1. Konflik pertanahan yang diatur dalam kodifikasi hukum pidana, yakni konflik
(delik) pertanahan yang diatur dalam beberapa Pasal yang tersebar dalam
kodifikasi hukum pidana (KUHP);
2. Konflik pertanahan yang diatur di luar kodifikasi hukum pidana, yakni konflik
(delik) pertanahan yang khusus terkait dengan peraturan perundang-undangan
pertanahan di luar kodifikasi hukum pidana.

Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan konflik itu sendiri

adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi perselisihan itu hanya dipendam dan

132
Sunindhia dan Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Jakarta,
Bina Aksara, 1988, hal. 8.
133
A. Hamzah. Hukum Pertanahan Di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara


129

tidak diperlihatkan dan apabila perselisihan itu diberitahukan kepada pihak lain maka

akan menjadi sengketa.134

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian sengketa

adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau

perbantahan.135

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu

pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak

atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan

harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan

peraturan yang berlaku.136

Alasan yang sebenarnya menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak

yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang disengketakan, oleh

karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut tergantung dari

sifat permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap

tertentu sebelum diperoleh suatu keputusan.

E. Perlindungan Hukum Terhadap PT. Perkebunan Nusantara II Dalam


Pelepasan Hak Atas Untuk Kepentingan Pembangunan Jalan Tol Medan-
Binjai

Philipus M. Hadjon mengemukakan, perlindungan hukum dalam kepustakaan

hukum berbahasa Belanda dikenal dengan sebutan “rechbescherming van de

134
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung, Citra
Aditya Bhakti, 2003, hal. 1.
135
Poerwadarminta, Op.cit., hal. 643.
136
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung, Mandar Maju,
1991, hal. 22.

Universitas Sumatera Utara


130

burgers”.137 Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum

berasal dari bahasa Belanda, yakni “rechbescherming” dengan mengandung

pengertian bahwa dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan

hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan.

Perlindungan hukum merupakan konsep yang universal dari Negara hukum.

Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang

bertentangan dengan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, baik perbuatan

penguasa yang melanggar undang-undang maupun masyarakat yang harus

diperhatikannya. Pengertiannya dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu usaha

untuk memberikan hak-hak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang harus

dilakukan.

Hukum tanah nasional memberikan perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas tanah bahwa penggunaan dan pengawasan tanah oleh siapapun dan untuk

apapun harus dilandasi dengan hak atas tanah yang disediakan oleh hukum

pertanahan nasional. Penguasaan dan penggunana tanah dilindungi hukum terhadap

gangguan-gangguan pihak manapun, baik sesama anggota masyarakat maupun pihak

penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak berdasarkan landasan hukum.

Dengan kata lain, apabila tanah dikuasai oleh pemegang hak secara sah, jika

diperlukan untuk pembangunan harus didahului dengan musyawarah terlebih dahulu.

Perlindungan hukum dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum,

secara garis besar dapat diartikan sebagai penghormatan terhadap hak-hak perorangan

atas tanah. Hal ini berkaitan dengan konsekuensi pengakuan negara terhadap tanah

137
Philipus M. Hadjon, Op.cit., hal.1.

Universitas Sumatera Utara


131

seseorang atau suatu masyarakat hukum adat, maka negara wajib untuk memberi

jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut sehingga lebih mudah

bagi seseorang untuk mempertahankan haknya terhadap gangguan-gangguan dari

pihak lain.138

Dalam setiap hak terdapat empat unsur yaitu subyek hukum, obyek hukum,

hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban dan perlindungan

hukum. Dalam hubungannya dengan pemegang hak atas tanah maka terdapat subyek

dalam arti pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yakni bisa perorangan atau

badan hukum, obyek hak tersebut adalah tanah. Dengan adanya hubungan hukum

tersebut mengakibatkan pihak lain untuk menghormati hubungan itu.139

Apabila dibandingkan dengan ketentuan peraturan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun

1975, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1976, serta Peraturan Menteri

Dalam Negeri No. 2 Tahun 1985, di dalam isi dan semangat peraturan hukumnya

pada dasarnya memperhatikan secara seimbang kepentingan umum dan kepentingan

para pihak. Timbulnya kesan seakan hukum tidak cukup memberikan perlindungan

hukum kepada para pemilik tanah, yang umumnya terdiri atas rakyat kecil,

disebabkan karena pelaksanaannya yang tidak sesuai dengan semangat dan isi

peraturan dan hukumnya.140

138
Maria S.W. Sumardjono (II), Op.cit., hal. 159.
139
Ramli Zein, Op.cit., hal. 37.
140
Boedi Harsono, Masalah-Masalah Aktual di Bidang Pertanahan Yang Menyangkut Hak
Asasi Manusia Dewasa Ini, dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum No. 4 Tahun 1992, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara


132

Implemetasi pengadaan tanah perlu memerhatikan beberapa prinsip (asas)

sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait yang

mengaturnya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:141

1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa
pun harus ada landasan haknya.
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada
hak bangsa.
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan
hukum harus melalui kata sepakat antarpihak yang bersangkutan dan
4. Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh agar maka
presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak, tanpa
persetujuan subyek hak menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.

Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum, lebih menekankan pada bentuk perwujudan perlindungan

hukum kepada pemilik hak atas tanah dalam pembaharuan hukum yang berkaitan

dengan pengadaan tanah dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Ketentuan mengenai perlindungan hukum didalam aturan undang-undang yang

ditujukan kepada pemilik hak atas tanah dengan jelas tertuang dalam pasal demi pasal

yang mengaturnya.

Mengenai arti pengadaan tanah sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 3

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, yaitu: ”Pengadaan Tanah untuk Kepentingan

Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat

dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.”.

Boedi Harsono memberi pendapatnya atas pelepasan hak atas tanah berkaitan

dengan pengadaan tanah, yaitu:

141
Abdurrahman, Op.cit., hal. 23.

Universitas Sumatera Utara


133

Dalam keadaan biasa tanah tersebut hanya dapat diperoleh atas persetujuan pihak
yang mempunyai tanah, melalui prosedur pemindahan hak (jual-beli, tukar-
menukar atau hibah) atau pengadaan tanah. Tidak dibenarkan pihak yang
mempunyai tanah dipaksa untuk menyerahkan tanahnya, bagi keperluan apapun
tanah yang bersangkutan diperlukan. Dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika
musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat mengenai penyerahan
tanahnya, sedang tanah itu benar-benar diperlukan untuk penyelenggaraan
kepentingan umum, Presiden Republik Indonesia oleh UU No. 20 Tahun 1961
diberi kewenangan untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa, melalui
prosedur yang dikenal sebagai pencabutan hak. Dalam acara ini untuk
pengambilan tanah yang diperlukan tidak diperlukan persetujuan yang
mempunyai tanah.142

Sedangkan Maria S.W. Sumardjono, memberikan tanggapan terhadap

peraturan pengadaan tanah kaitannya dengan hak asasi dan keadilan, yaitu:

Perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tanahnya diambil untuk


kepentingan umum yang secara formal telah dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan itu perlu terus ditingkatkan perwujudannya secara
konsekuen dan konsisten. Adalah hak dari negara mengambil tanah-tanah hak
untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan, namun penghormatan kepada
hak-hak dasar manusia seyogyanya diberikan secara proporsional.143

Berkaitan pendapat tersebut diatas, dari untuk mencapai tujuan berupa

kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, yang diperlukan adalah perspektif

berfikir untuk terpenuhinya hal-hal yang bersifat formal dan substansial dalam

mewujudkan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia.144

Hukum pada hakikatnya sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam

menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu:

142
Boedi Harsono Ibid., hal. 3.
143
Maria S.W. Sumardjono (II), Op.cit., hal. 161.
144
Ibid., hal. 162.

Universitas Sumatera Utara


134

kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweekmassigkeit) dan keadilan

(Gerechtigkeit).145

Adanya kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap

tindakan sewenang-wenang, yang berart bahwa seseorang akan dapat memperoleh

sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib.

Selain itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di

dalam masyarakat.

Sebagai bentuk perwujudan perlindungan hukumnya yang paling esensial

dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah masalah paling mendasar

dan cara penetepan ganti kerugian yang tertuang di dalam Pasal 33 Undang-Undang

No. 2 Tahun 2012, yang menyatakan penentuan ganti kerugian tanah didasarkan

pada ketentuan:

Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh Penilai sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 32 ayat (1) dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
a. Tanah;
b. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. Bangunan;
d. Tanaman;
e. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. Kerugian lain yang dapat dinilai.

145
. Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, Citra Aditya Bakti,
1999, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


135

Dasar dan cara penilaian besarnya ganti kerugian sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 33 tersebut, jauh lebih maju bila dibandingkan dengan

ketentuan yang berlaku dalam Perpres No. 65 Tahun 2006, dimana penentuan ganti

kerugian dalam Perpres hanya ditentukan untuk tanah, bangunan, tanaman dan benda-

benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 telah memberi peluang kepada

pemilik tanah yang dilepas dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

menuntut ganti kerugian terhadap ruang atas tanah dan bawah tanah dan kerugian lain

yang dapat dinilai. Ganti kerugian terhadap hal tersebut merupakan bentuk

perlindungan hukum terhadap pemilik tanah apabila ruang atas dan bawah tanah

terdapat benda-benda yang memiliki nilai ekonomis untuk dapat dimintakan ganti

kerugiannya.

Bentuk lain dari perlindungan hukum serta penghormatan hak atas tanah

dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dengan dilakukannya

musyawarah terlebih dahulu antara pemilik tanah dengan pihak yang memerlukan

tanah untuk menentukan dan menetapkan besarnya ganti rugi yang diberikan kepada

pemilik tanah.

Sementara itu ketentuan mengenai jaminan kepastian dan perlindungan

hukum terhadap hak atas tanah dapat juga dalam peraturan mengenai pendaftaran

tanah, diantaranya adalah:

a. Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang

menyebutkan bahwa sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat.

Universitas Sumatera Utara


136

b. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 disebutkan

bahwa: “Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang

hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai

bagaimana kekuatan pembutian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat

pembuktian yang kuat oleh UUPA”. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa

selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang

dicantumkan dalam setipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik

dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan.

c. Kemudian didalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) menyebutkan: “Setipikat

merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat

dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya

harus diterima sebagai data yang benar”.

Kemudian sebagai salah satu tindak lanjut dari pemberian jaminan kepastian

dan perlindungan hukum, didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

mencantumkan lembaga Rehtverwerking sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2)

yang telah lama ada menurut hukum adat. Lembaga Rechsverwerking dalam hukum

adat adalah dianggap melepaskan hak atau kehilangan hak untuk menuntut yang

artinya apabila seseorang memiliki tanah tetapi selama jangka waktu tertentu

membiarkan tanahnya tidak diurus, dan tanah itu dipergunakan oleh orang lain

dengan itikat baik, hilanglah hak menuntut pengembalian tanah tersebut.

Jaminan kepastian hukum terhadap tanah lebih menjurus pada

terselenggaranya kepastian hak dalam arti sesuatu hak yang telah diterbitkan

sertipikatnya dapat diketahui secara pasti siapa pemiliknya, batas-batasnya dan

Universitas Sumatera Utara


137

berapa tjumlah luasnya. Sedang perlindungan hukum terhadap hak atas tanah adalah

apa yang disajikan dalam pendaftaran tanah dapat memberikan perlindungan hukum

bagi pemiliknya untuk membuktikan kepemilikannya terhadap pihak-pihak yang

ingin mengganggu.

Tindakan PT. Perkebunan Nusantara II selaku pemegang Hak Guna Usaha

yang mengalihkan sebagaian tanahnya dalam rangka pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dan mendapat ganti rugi, dianggap telah sesuai dengan aturan

hukum yang berlaku. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah

No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai

atas Tanah, yaitu: ”Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna

Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya

berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti

kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru.”

Selain itu, pengalihan asset PT. Perkebunan Nusantara II untuk kepentingan

umum telah memenuhi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.

PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan

Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara, sebagaimana yang diatur Pasal 5 ayat 1

huruf c, dimana dalam pasal tersebut memperkenankan perusahaan BUMN untuk

melakukan pemindahtanganan asset dengan cara penjualan apabila dilakukan untuk:

”Peruntukkan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan dan RUTR/RUTRWK yang telah disahkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

Universitas Sumatera Utara


138

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dalam pelaksanaan pelepasan tanah hak guna usaha PT. Perkebunan Nusantara II

untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai terlebih dahulu dilakukan oleh

pihak yang memerlukan tanah dengan membuat perencanaan pengadaan tanah.

Berdasarkan hal tersebut, kemudian dilanjutkan dengan persiapan pengadaan

tanah dimana PT. Hutama Karya bersama pemerintah Provinsi Sumatera Utara

berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah, mengadakan kegiatan

pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal lokasi rencana

pembangunan dan konsultasi publik rencana pembangunan. Tahap selanjutnya

adalah pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah oleh PT. Hutama Karya kepada

Lembaga Pertanahan yaitu Badan Pertanahan Provinsi Sumatera berdasarkan

berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Tahap

terakhir adalah pelepasan hak objek pengadaan tanah dari PT. Perkebunan

Nusantara II kepada PT. Hutama Karya yang dilakukan dihadapan Kepala Kantor

Pertanahan setempat dan dilaksanakan bersamaan pada saat pemberian ganti

kerugian.

2. Untuk penetapan ganti rugi lahan Milik PT. Perkebunan Nusantara II dalam

pengadaan tanah pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai, terlebih dahulu Ketua

Pelaksana Pengadaan Tanah menetapkan penilai yang telah diseleksi sesuai

aturan perundang-undangan. Penilaian besarnya ganti kerugian terhadap lahan

138

Universitas Sumatera Utara


139

milik PT. Perkebunan Nusantara II dinilai berdasarkan bidang per bidang tanah.

Selain penilaian terhadap tanah, penilai juga melakukan penilaian terhadap

tanaman, rumah dinas karyawan dan kantor perusahaan untuk menetapkan ganti

kerugian. Dalam hal bentuk ganti kerugian yang diterima, PT. Perkebunan

Nusantara II memilih ganti kerugian dalam bentuk uang, hal ini didasarkan pada

Surat Keputusan Pemegang Saham PT. Perkebunan Nusantara II No.

824/MBU/12/2014 dan No. 300/SKPTS/07/2014, tanggal 30 Desember 2014,

dimana didalam surat keputusan tersebut para pemegang saham lebih memilih

ganti kerugian dalam bentuk uang.

3. Perlindungan hukum terhadap PT. Perkebunan Nusantara II dalam pengadaan

tanah untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai, maka melalui Undang-

Undang No. 2 Tahun 2012 telah memberi perlindungan hukum kepada

pemilik/pemegang hak atas tanah. Sebagai bentuk perlindungan hukum yang

diberikan pemerintah melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tersebut yaitu,

pemberian ganti rugi yang layak berdasarkan penilaian dari penilai yang ditunjuk

oleh panitia pengadaan tanah. Bentuk lain dari perlindungan hukum serta

penghormatan hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum

adalah dengan dilakukannya musyawarah terlebih dahulu dengan pemilik tanah

untuk menentukan dan menetapkan besarnya ganti rugi yang diberikan kepada

pemilik tanah. Selain itu, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

No.PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan

Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara, telah memberi

Universitas Sumatera Utara


140

perlindungan kepada PT. Perkebunan Nusantara II terkait pelepasan hak atas

dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

B. Saran

1. Hendaknya dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

terlebih dahulu dilakukan upaya mensosialisasikan aturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sehingga

terdapat suatu persamaam persepsi mengenai pengertian, makna, tujuan dan

prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Hendaknya Pemerintah membuat aturan mengenai penetapan nilai ganti

kerugian, dimana didalam undang-undang pengadaan tanah tidak memberi

penjelasan mengenai dasar penetapan nilai ganti kerugian. Dengan adanya aturan

dasar penetapan nilai ganti kerugian maka pemilik hak atas tanah dapat

mengetahui dasar-dasar dalam penetapan nilai ganti kerugian.

3. Hendaknya Pemerintah dalam memberi perlindungan hukum kepada pemegang

hak atas tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum agar dilakukan

pengawasan terhadap pihak yang memerlukan tanah. Hal ini sangat diperlukan

agar dalam pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan oleh instansi yang

memerlukan tanah tidak dengan sewenang-wenang dapat mengambil hak atas

tanah milik masyarakat tanpa memberikan ganti rugi sebagaimana mestinya.

Universitas Sumatera Utara


141

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di


Indonesia, Edisi Revisi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991.

______________, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk


Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung:, 1994.

Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Garanit, Jakarta, 2004.

Anonim, Dasar-Dasar Pengadaan Tanah, Modul Diklat Pengadaan Tanah, Pusat


Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, 2015.

Barata, Samadi Surya, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.

Budiman, Arif, Teori Negara Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1997.

Chomzah, Ali Ahmad, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2002.

Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media,


Yogyakarta, 2009.

Friedmann, W., Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan,


Cet. Pertama, Jakarta, Tatanusa, 2008.

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya, Bina
Ilmu, 1987.

Hamzah, A., Hukum Pertanahan Di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1991.

Hasan, Tholahah, Pertanahan Dalam Perspektif Agama Islam dan Budaya Muslim,
STPN, Yogyakarta, 1999.

Husein, Ali Sofwan, Konflik Pertanahan, Cet. 1, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
1997.

141

Universitas Sumatera Utara


142

Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang


Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cetakan
Kedua, 1994.

Kalo, Syafruddin, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,


Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004.

______________, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk


Kepentingan Umum, Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004.

Limbong, Bernhard, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : Regulasi, Kompensasi


Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, 2011.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Mahendra, A.A. Oka, Menguak Masalah Hukum, Demokrasi Dan Pertanahan, Cet.
Ke-1. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 1996.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,
2005.

Mertokusumo, Sudikno, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, Citra Aditya


Bakti, 1999.

Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung, Mandar


Maju, 1991.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,


2002.

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan


Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1992.

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria), Yogyakarta, Citra Media, 2007.

Parlindungan, AP., Landreform di Indonesia : Suatu Perbandingan, Bandung,


Mandar Maju, 1990.

______________, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Study


Perbandingan, Cet. I, Bandung, Mandar Maju, 1993.
______________, Komentar Tentang UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1998.

Universitas Sumatera Utara


143

Partanto, A. Dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Arloka, 1994.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,


1986.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cet. Ke IV, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Roosadijo, Marmin M., Tinjauan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda
Yang Ada Di Atasnya, Chalia Indonesia, Jakarta, 1997.

S, HR. Otje Salman. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung,
2005.

Salindeho, John, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Jakarta,


Sinar Grafika, 1988.

Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1987.

Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soemardjono, Maria S.W., Dalam Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan


Pengadilan. Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 1996.

______________, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Edisi


Revisi, Kompas, Jakarta, 2006.

______________, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,


Kompas, Jakarta, 2008.

Soimin, Soedhargo, Status Hak Dan Pembabasan Tanah, Jakarta, Sinar Grafika,
1994.

Subagyo, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997.

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Alumni, 1985.

Sugiharto, Umar Said, Suratma, Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah,


Malang, Setara Press, 2014.
Sutedi, Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Universitas Sumatera Utara


144

Sunindhia dan Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran),


Jakarta, Bina Aksara, 1988.

Tukgali, Lieke Lianadevi, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Jakarta, Kertas Putih
Communication, 2010.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung,


Citra Aditya Bhakti, 2003.

Wuisman, J.J M., Penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1,


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Yamin, Muhammad, Jawaban Singkat Pertanyaan-Pertanyaan Dalam Komentar


Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Edisi Revisi, Pustaka Bangsa Press,
Medan, 2003.

Zein, Ramli, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Jakarta, Rineka Cipta, 2010.

B. Makalah dan Internet:

Buana, Dian Chandra, Analisis RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:


Mengulangi Debat Lama Negara vs Rakyat, http://www.gema-
nurani.com/2011/07, diakses pada tanggal 12 Oktober 2011.

Harsono, Boedi, Masalah-Masalah Aktual di Bidang Pertanahan Yang Menyangkut


Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, dalam Majalah Masalah-Masalah Hukum No.
4 Tahun 1992..

Zoebir, Zuryawan Isvandiar, Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat Dalam


Pebangunan Daerah, http:/zuryawanisvandiarzoebir.
wordpress.com/2011/10/24, diakses pada tanggal 24 Oktober 2010.

Http://ptpn2.com/index/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 23


Nopember 2016.

Https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Tol_Trans_Sumatera, diakses pada tanggal 26


Nopember 2016.

Http://bpjt.pu.go.id/berita/pdf/penandatanganan-perjanjian-pengusahaan-jalan-tol-
ppjt-ruas-medan-binjai, diakses pada tanggal 29 Nopember 2016.

Universitas Sumatera Utara


145

C. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Diatasnya

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan


Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah


Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden No. 71
Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 99 Tahun 2014 Tentang Perubahan


Kedua Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 148 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaran Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012
Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6
Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Universitas Sumatera Utara


146

Nasional No. 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan


Tanah

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER/02/MBU/2010


tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai