Anda di halaman 1dari 93

PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD

BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN YANG TERKAIT


DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017)

TESIS

Oleh:

MUHAMMAD MAFTUHIN
NIM A2031181013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PONTIANAK
2020
PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD
BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN YANG TERKAIT
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017)

TESIS

Diajukan Untuk Diuji Dihadapan Tim Penguji Sebagai


Persyaratn Akademik Untuk Memperoleh
Gelar Magister Kenotariatan

Oleh:

MUHAMMAD MAFTUHIN
A2031181013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PONTIANAK
2020
PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD
BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN YANG TERKAIT
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017)

Lembar Persetujuan Dosen Pembimbing Untuk


Diujikan Dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Tesis
Dihadapan Tim Pembimbing Dan Pembahas
Pada tanggal 31 bulan Agustus tahun 2020

Oleh:

MUHAMMAD MAFTUHIN
A2031181013

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Hj. Sri Ismawati, SH.,M.Hum H. Alhadiansyah, SH.,M.Hum


NIP.196610291992022001 NIP.196909251996011001

Mengetahui
An. Ketua Program Studi
Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UNTAN,

Chandra Maharani, S.H.,M.H


NIP.196909301996032001
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh mahasiswa dengan identitas :

Nama : Muhammad Maftuhin


Nim : A2031181013
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul tesis : PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD
BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN YANG TERKAIT
DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017)
Tesis Ini Diuji Dan Berhasil Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Yang Ditetapkan
Berdasarkan Keputusan Dekan Nomor : 383/UN22.1/EP/2020
Pada Hari Senin Tanggal, 31 Bulan Agustus Tahun 2020

SUSUNAN TIM PENGUJI

KEDUDUKAN TIM
NO NAMA TIM PENGUJI TANDA TANGAN
PENGUJI
Dr. Hj. Sri Ismawati, S.H.,M.Hum
Ketua Tim Penguji/
1 196610291992022001
Pembimbing I
Pembina Tk. I/Lektor Kepala/IV/a
H. Alhandiansyah, S.H.,M.Hum
Sekretaris Tim Penguji/
2 196909251996011001
Pembimbing II
Pembina /Lektor Kepala/IV/a
Dr.Ibrahim Sagio, S.H.,M.Hum
3 196203071988101001 Penguji I
Pembina Tk. I/Lektor Kepala/IV/a
Rachmawati, S.H.,M.H
4 196411041989032001 Penguji II
Pembina /Lektor Kepala/IV/a
Hj. Herlina, S.H.,M.H
5 196407031996012001 Penguji III
Penata Tk.I/Lektor/III/d

Mengetahui
An. Ketua Program Studi
Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UNTAN,

CHANDRA MAHARANI, S.H.,M.H


NIP.196909301996032001
ABSTRAK

Penelitian ini adalah : PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN


BERITIKAD BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN TERKAIT DENGAN TINDAK
PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017)
Kreditur preferen beritikad baik merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
yang mempunyai sifat didahulukan dari pada kreditur lainnya didalam pembayaran
piutangnya tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan tersebut dirampas
oleh negara melalui putusan pengadilan karena terkait dengan tindak pidana korupsi.
Jaminan untuk kreditur mendapat pengembalian hutang diutamakan menjadi hilang
dikarenakan berhadapan dengan kepentingan hak negara.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat dua permasalahan Bagaimana perlindungan hak
kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan terkait dengan tindak pidana
korupsi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017?; Bagaimana upaya
hukum yang dapat dilakukan kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan yang
dirampas oleh negara terkait dengan tindak pidana korupsi?
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yaitu, mengkaji kaidah – kaidah
hukum yang berlaku yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam pembahasan ini
serta dikombinasikan dengan kasus yang telah terjadi, dengan menekankan pada sumber
data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari
sumber primer berupa perundang- undangan. Metode yang digunakan adalah deskriptif
analisis dengan pendekatan metode studi kasus.
Perlindungan hak Kreditur Bank Panin sebagai pemegang hak jaminan yang disita
dan diputus dirampas oleh pengadilan tetap mendapatkan perlindungan hukum sesuai
hukum yang berlaku. Beberapa alasan yang mengakibatkan penyitaan dibatalkan sesuai
pertimbangan hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2701 K/Pdt/2017 karena
objek jaminan yang diduga hasil korupsi sudah berpindah haknya sebab hubungan hukum
yang sah serta jaksa tidak bisa membuktikan objek jaminan tersebut hasil dari tindak pidana
korupsi dan penyitaan tersebut bertentangan dengan undang undang nomor 4 tahun 1996
tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Adapun upaya upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur preferen beritikad baik untuk
melindungi hak nya diantaranya (1) Pihak Ketiga Beritikad Baik Mengajukan Keberatan
Terhadap Putusan pengadilan Tipikor sesuai dengan pasal 19 ayat (2) undang undang
tipikor. (2) Upaya Hukum Luar Biasa Derden Verzet (Perlawan Pihak Ketiga) (3) Gugatan
Perdata Terhadap Debitur berdasarkan pasal 1131 Kuhperdata, (4) Mediasi, dan (5)
Negosiasi.

Kata kunci : Kreditur, Jaminan, Korupsi.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL TESIS PADA COVER BAGIAN DEPAN

HALAMAN JUDUL TESIS PADA COVER BAGIAN DALAM ............ i

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN ................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

ABSTRACT ................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 7

1.3. Keaslian Penelitian ............................................................................... 7

1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10

1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 11

1.6. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 12

1.6.1. Kerangka Teoritik ......................................................................... 12

1.6.1.1.Teori Negara Hukum ............................................................. 12

1.6.1.2.Teori Hak Asasi Manusia....................................................... 14

1.6.1.3.Teori Perlindungan Hukum.................................................... 16

1.6.2. Kerangka Konseptual .................................................................... 19

1.7. Metode penelitian ................................................................................. 25

1.7.1. Pendekatan Penelitian ................................................................... 26

1.7.2. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 27

1.7.3. Sumber Dan Jenis Data Penelitian ................................................ 28


1.7.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 29

1.7.5. Teknik Analisa Data...................................................................... 29

1.7.6. Sistematika Penulisan ................................................................... 30

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERJANJIAN, HUKUM JAMINAN, HAK

TANGGUNGAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI ............................. 32

2.1. Tinjauan Tentang Kreditur Dan Debitur ............................................. 32

2.1.1. Pengertian Kreditur Dan Debitur ................................................. 32

2.1.2. Macam Macam Kreditur .............................................................. 33

2.1.3. Kreditur Beritikad Baik ................................................................ 41

2.2.Tinjauan Tentang Hukum Jaminan ...................................................... 46

2.2.1. Pengertian Hukum Jaminan .......................................................... 46

2.2.2. Fungsi Jaminan ............................................................................. 50

2.2.3. Asas-Asas Hukum Jaminan .......................................................... 52

2.3. Tinjauan Tentang Hak Tanggungan .................................................... 53

2.3.1. Pengertian Hak Tanggungan ......................................................... 53

2.3.2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan .................................................... 54

2.3.3. Subjek dan objek Hak Tanggungan .............................................. 58

2.3.4. Proses pembebanan Hak Tanggungan .......................................... 59

2.4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi .......................................... 60

2.4.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................... 62

2.4.2. Unsur Unsur Tindak Pidana Korupsi ............................................ 63

2.4.3. Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi .. 63

BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 68

3.1. Perlindungan Hak Kreditur Preferen Beritikad Baik Terhadap Obyek Jaminan

Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi ......................................... 68


3.1.1. Pertimbangan Hakim Dalam Membatalkan Penetapan Penyitaan Objek

Jaminan Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah

Agung Nomor 2701 K/Pdt/2017 .............................................. 80

3.2. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Kreditur Preferen Beritikad Baik Terhadap

Obyek Jaminan Yang Dirampas Oleh Negara Terkait Dengan Tindak Pidana

Korupsi .............................................................................................. 83

BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 100

4.1. Kesimpulan ...................................................................................... 100

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Kreditur Preferen merupakan kreditur yang memiliki hak istimewa. Hak istimewa

dapat diartikan sebagai hak kreditur untuk didahulukan dari pada kreditur lainnya karena

alasan yang sah menurut hukum seperti karena diperintahkan oleh undang-undang atau

perintah putusan pengadilan.

Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-

undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatan kreditur tersebut lebih tinggi

dari pada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat tagihan kreditur tersebut.

Kreditur Preferen Yaitu Kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-

olah tidak terjadi kepailitan, artinya para kreditur preferen tetap dapat melaksanakan hak-hak

eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit.

Kreditur pemegang hak jaminan adalah kreditur preferen. Mariam Darus

Badrulzaman menyebutkan sebagai kreditur pemegang hak jaminan yang memiliki hak

preferen dan kedudukannya sebagai kreditur separatis.1 Perbedaan antara hak dan kedudukan

kreditur yang piutangnya dijamin dengan hak atas kebendaan, yaitu haknya disebut preferen

karena ia digolongkan oleh Undang undang sebagai kreditur yang di istimewakan

pembayarannya, sedangkan kedudukannya adalah sebagai kreditur separatis karena ia

memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan

hak kebendaan.2 Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditur

tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti ia dapat menjual benda sendiri

dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada

1
Mariam Darus Badrulzaman. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia. (Bandung: PT. Citra Aditia
Bakti, 1991). Hal 1
2
Ibid
umumnya.3 Kreditur pemegang hak jaminan ini karena sifat pemilik suatu hak yang

dilindungi secara preferen dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan karena

dianggap “separatis” (berdiri sendiri).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (selanjutnya disebut

Undang Undang Tipikor) dibuat tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi hukuman

yang menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi, tetapi harus juga dapat mengembalikan

harta kerugian Negara yang telah di korupsi.

Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan perundang

undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu pencegahan,

pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Amanat undang-undang

itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun

pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan

“kerugian” keuangan negara akibat dari tindak pidana korupsi. Kegagalan yang mungkin

terjadi dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tentu saja tidak dapat

mengembalikan kerugian negara dan tidak dapat mengurangi rasa jera terhadap para koruptor.

Upaya pengembalian kerugian negara dilakukan dengan cara penuntutan pidana

tambahan melalui proses persidangan yang mana hakim selain menjatuhkan pidana pokok

yakni pidana mati, pidana penjara dan denda juga dapat menjatuhkan pidana tambahan yakni

perampasan Sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tipikor :

Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

3
Munir Fuady. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998). Hal 105
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang

tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama denga

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

Pemerintah kepada terpidana.

Undang Undang Tipikor memungkinkan dilakukannya perampasan terhadap aset hasil

tindak pidana korupsi melalui jalur tuntutan pidana. Apabila penuntut umum dapat

membuktikan kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana tersebut dan aset aset yang

telah disita dalam perkara dimaksud merupakan hasil kejahatan tindak pidana korupsi. 4

Perampasan aset yang diduga kuat hasil tindak pidana korupsi di lakukan dengan

tindakan penyitaan oleh penyidik/kejaksaan untuk dijadikan barang bukti dan dimintakan

putusan kepada pengadilan tipikor untuk memutus bahwa aset tersebut hasil dari tindak pidana

korupsi dan seterusnya akan di kembalikan kepada negara.

Penyitaan dan perampasan yang dimaksud tidak terbatas pada aset yang masih dikuasai

atau atas nama terdakwa akan tetapi aset yang sudah dialihkan atau di jaminkan kepada pihak

ketiga juga dapat disita oleh pengadilan karena diduga hasil dari tindak pidana korupsi.

Problematika hukum muncul ketika penyitaan dan perampasan terhadap aset hasil

tindak pidana korupsi dilakukan terhadap aset yang sudah dijaminkan kepada pihak ketiga

yang memiliki hak preferen terhadap aset tersebut.

4
Muhammad Yunus, 2013Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi Di Indoesia,
Kompas, Jakarta, , hal. 162.
Pada keadaan sebagaimana diatas ada dua kepentingan yang saling bertolak belakang,

yang pertama kepentingan negara untuk merampas aset hasil tindak pidana korupsi sebagai

uang pengganti atas kerugian negara, yang kedua pihak ketiga atau kreditur preferen sebagai

pemegang jaminan kebendaan yang telah melakukan perbuatan hukum sesuai dengan undang

undang akan kehilangan hak preferennya diakibat tindakan penyitaan atau perampasan

sehingga barang tersebut dikuasai oleh negara.

Berangkat dari hal tersebut terdapat sengketa mengenai sita Obyek Hak Tanggungan.

Pemohon kasasi dahulu Terlawan I/Pembanding I adalah Pemerintah Republik Indonesia cq

Kejaksaan Agung Republik Indonesia cq Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara cq Kejaksaan

Negeri Bitung diwakili Agustian Sunaryo, S.H., C.N., M.H., PLH melawan Toni Handani,

Branch Manager PT Bank Panin, Tbk, Kantor Cabang Utama Banjarmasin yang selanjutnya

disebut PT Bank Panin KCU Banjarmasin memilih domisili PT Bank Panin, Tbk Kantor

Cabang Utama Manado sebagai Termohon Kasasi dahulu Pelawan/Terbanding dan Mohamad

Hasan Rahmat sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Terlawan II/Pembanding II

melakukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Obyek

Hak Tanggungan yang diperoleh dari hasil Tindak Pidana Korupsi yang tertuang di dalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2701 K/Pdt/2017.

Adapun objek perkara adalah 1 (satu) unit rumah yang terletak di Kompleks

Perumahan Green Yakin Nomor 13 Jalan Ahmad Yani Km. 10,200 Banjarmasin, sesuai

dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 01347/Sungai Lakum atas nama Mohammad Hasan

Rahmat yang merupakan menantu dari Sdr. Subchan, S.E., yang merupakan terdakwa

dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Keputusan Pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan Negeri Manado Nomor 18/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Mdo., tanggal 10

Juli 2014 menyatakan bahwa rumah tersebut diperoleh dari hasil korupsi, sesuai dengan

pengakuan Sdr. Subchan, S.E. adapun amar putusannya antara lain menyatakan Sdr.
Subchan, S.E., telah dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) unit

rumah permanen yang terletak di Komplek Perumahan Green Yakin Nomor 13, Jalan

Ahmad Yani KM-10,200 Banjarmasin sesuai dengan SertifikatHak Milik Nomor

01347/Sungai Lakum terakhir terdaftar atas nama Mohammad Hasan Rahmat tersebut

dirampas untuk Negara untuk dilelang dan uang hasil lelang barang bukti tersebut

diperhitungkan dengan pembayaran Uang Pengganti;

Adapun permasalahanya adalah objek perkara tersebut telah di bebani hak tanggungan

yang diberikan oleh Mohammad Hasan Rahmat kepada Toni Handani, Branch Manager PT

Bank Panin, Tbk., Kantor Cabang Utama Banjarmasin, dalam kedudukannya dari dan oleh

karenanya mewakili untuk dan atas nama PT Bank Pan Indonesia, Tbk., disingkat PT Bank

Panin, Tbk., cq Kantor Cabang Utama Banjarmasin, berkedudukan di Jalan H. Anang

Adenansi Nomor 1, Banjarmasin, sebagaimana tersebut dalam Sertifkat Hak Tanggungan I

Nomor 00376/2013 juncto Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor 008/2013, tanggal 8

Januari 2013, yang dibuat oleh dan di hadapan Tati Yuliati, S.H., M.Kn., PPAT di Kabupaten

Banjar,

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Tesis PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD

BAIK TERHADAP OBYEK JAMINAN YANG TERKAIT DENGAN TINDAK

PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2701/K/Pdt/2017).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan maka penulis mengemukakan masalah pokok

yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hak kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan

terkait dengan tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

2701/K/Pdt/2017 ?
2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan kreditur preferen beritikad baik

terhadap obyek jaminan yang dirampas oleh negara terkait dengan tindak pidana

korupsi?

1.3.Keaslian Penelitian

Karya ilmiah adalah hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan

belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penelitian ini

pada dasarnya didasari oleh penelitian terdahulu dari beberapa tesis yang sejenis. Berikut

beberapa penelitian tersebut diuraikan dalam bentuk tabel untuk menguraikan perbedaan

tersebut :

Nama/
No Jenis karya ilmiah Judul Pembahasan dan Rekomendasi
Tahun

1 Yenny Tesis Program Tinjauan Status hukum objek jaminan Hak

Yustisi Studi Magister Yuridis Tanggungan yang disita oleh

Yanti Hukum Kedudukan pengadilan karena berkaitan

(2013) Universitas Benda Jaminan dengan kasus tindak pidana

Sumatra Utara, HakTanggungan korupsi untuk sementara waktu

Medan Kepada Bank berada dalam pengawasan negara

Yang Terkait yang disimpan di dalam Rumah

Kasus Korupsi Penyimpanan Benda Sitaan

Negara (Rupbasan), namun

kedudukan hokum dari objek Hak

Tanggungan tersebut tetap sebagai

jaminan hutang kepada kreditur

sebagai pemegang sertipikat Hak

Tanggungan yang merupakan


kreditur yang diutamakan, yang

berwenang melakukan perbuatan

hokum atas objek Hak

Tanggungan tersebut apabila

debitur wanprestasi dalam

pelunasan hutangnya. Negara

tidak berwenang melakukan

penyitaan melalui putusan

pengadilan terhadap benda tidak

begerak yang sudah diikat dengan

jaminan Hak Tanggungan,

meskipun benda tidak bergerak

tersebut terkait dengan kasus

Tindak Pidana Korupsi.

Mocha Tesis Program Prinsip Perlindungan hukum terhadap

mad Studi Magister Perlindungan kreditur pemegang Hak

Reza Hukum Universitas Hukum Tanggungan sebagai kreditur

Kurnia Jember Terhadap separatis terhadap tindakan

wan Kreditur penyitaan objek Hak Tanggungan


2
(2018) Pemegang Hak yang dilakukan negara melalui

Tanggungan putusan pengadilan karena terkait

Terhadap Objek kasus korupsi secara preventif

Jaminan Yang diatur dalam Undang-Undang

Disita Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak


Pengadilan Tanggungan dimana objek Hak

Terkait Kasus Tanggungan yang disita oleh

Tindak Pidana pengadilan tersebut tetap

Korupsi menjadi kewenangan kreditur

pemegang Hak Tanggungan,

namun objek Hak Tanggungan

tersebut beralih sementara kepada

Negara sebagai barang bukti hasil

kejahatan tindak pidana korupsi

hingga perkara tersebut

mempunyai putusan hukum tetap.

Status hukum objek jaminan Hak

Tanggungan yang untuk

sementara waktu berada dalam

pengawasan negara yang disimpan

di dalam Rumah Penyimpanan

Benda Sitaan Negara, namun

kedudukan hukum dari objek Hak

Tanggungan tersebut tetap

sebagai jaminan hutang kepada

kreditur sebagai pemegang

sertipikat Hak Tanggungan

1.4.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perlindungan hak kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek

jaminan setelah adanya putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan kreditur preferen beritikad baik

terhadap obyek jaminan setelah adanya putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana

korupsi.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah :

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penulisan tesis ini

antara lain :

a. Sebagai pengembangan teori hukum perdata dan pidana, khususnya masalah

perlindungan hak kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan setelah

adanya putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi.

b. Sebagai referensi dan upaya untuk menelaah pengaturan perlindungan hak kreditur

preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan setelah adanya putusan pengadilan

terkait dengan tindak pidana korupsi.

1.5.2. Manfaat Praktis

Adapun secara praktis, hasil penulisan ini dapat berguna bagi

a. Praktisi, hasil penelitian diharapakan dapat meningkatkan pengetahuan tentang

perlindungan hak kreditur preferen beritikad baik dan upaya apa yang bisa dilakukan

ketika jaminan disita oleh pengadilan terkait tindakan pidana korupsi.


b. Akademisi, hasil dari penelitian ini dapat memberikan referensi dalam meningkatkan

kualitas pendidikan ilmu hukum

c. Peneliti, hasil dari penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dan bahan studi untuk

penulisan ataupun penelitian selanjutnya.

1.6. Kerangka Pemikiran

1.6.1. Kerangka Teoritik

Adapun dalam penelitian ini, Penulis menggunakan beberapa teori sebagai kerangka

acuan dalam penelitian. Teori yang digunakan adala Teori Negara Hukum sebagai Grand

Teori, Teori Hak Asasi Manusia sebagai Middle Teori dan Teori Perlindungan Hukum

sebagai aplikasi Teori.

1.6.1.1. Teori Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud

adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan

dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang

berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan

merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan

sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia

agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang

sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup

antar warga negaranya.

Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya,

melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan

keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-

undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan


pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik

manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin

kebahagiaan hidup warga negaranya.

Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu

berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di

hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak

bertentangan dengan hukum (due process of law).

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal

protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan

perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di

bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun.

Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika

tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan

kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan

petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini

sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya

sudah maju sekalipun.

Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality

before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun

berada di atas hukum (above the law).

Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus

dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak

fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib

(ordered liberty).

Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep

hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan , due


process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil,

logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban

membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan

yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila

diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan

proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan

dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia,

seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas

kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan

mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas

privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu

persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak

boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak

logis dan sewenang-wenang.

1.6.1.2. Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana

karena ia adalah seorang manusia. , misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau

Deklarasi Perancis. Hak Asasi Manusia yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang

dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai

batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit

untuk tidak melindungi Hak Asasi Manusia yang bukan warga negaranya. Dengan

kata lain, selama menyangkut persoalan Hak Asasi Manusia setiap negara, tanpa

kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan Hak

Asasi Manusia pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing

sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk
mengidentikan atau menyamakan antara Hak Asasi Manusia dengan hak-hak yang dimiliki

warga negara. Hak Asasi Manusia dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai

manusia. Hak Asasi Manusia bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum

internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas

internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu Hak Asasi Manusia di

tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam

perlindungan Hak Asasi Manusia karena sifat dan watak Hak Asasi Manusia itu sendiri

yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan

negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan

sejarah umat manusia sendiri. Contoh pelanggaran Hak Asasi Manusia:

1. Penindasan dan merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang- wenang.

2. Menghambat dan membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak

rakyat dan oposisi.

3. Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.

4. Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan

partai tiran/otoriter tanpa diikut/dihadir rakyat dan oposisi.

5. Penegak hukum dan/atau petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis

terhadap rakyat dan oposisi di manapun.

1.6.1.3.Teori Perlindungan Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya adalah

penyelenggaraan Negara di segala bidang harus didasarkan pada aturan hukum yang adil dan

pasti sehingga tidak didasarkan pada kepentingan ekonomi semata. Dalam hal ini setiap

warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan setiap warga negara berhak memperoleh

perlindungan hukum yang memadai. Selanjutnya dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesian Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum”, artinya pengakuan hukum, jaminan hukum, perlindungan hukum,

dan kepastian hukum yang diberikan kepada setiap warga Negara harus berdasarkan pada

asas keadilan dan kesetaraan hukum.

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi.

Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum,

menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian- pengertian yang dapat timbul

dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti

perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai

oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum

terhadap sesuatu.

Seetijono5 mendefinisikan perlindungan hukum sebagai tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai

dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. Pada prinsipnya,

perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan

hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek- subyek hukum

melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : 6

1) Perlindungan Hukum Preventif.

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

5
Soetijono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Universitas 11 Maret Surakarta, 2003, hlm.27
6
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2007, hlm.63
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

2) Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa

sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk

mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai

dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk

yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam

rangka menegakkan peraturan hukum.

Perlindungan hukum sebagaimana diuraikan oleh Barda Nawawi Arief bahwa

terpenuhinya hak-hak dan kewajiban seseorang, baik itu kepada individu maupun kelompok.

Perlindungan hukum tersebut, menyangkut pula terhadap korban. Hal tersebut merupakan

bagian dari perlindungan kepada masyarakat sebagai konsekwensi logis dari teori kontrak

sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidarity argument). 7

Pada dasarnya setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum. Setiap warga negara

berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa terkecuali. Perlindungan hukum harus

sejalan dengan tujuan hukum secara umum, yaitu untuk menegakkan keadilan, sehingga

ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan. Hukum ditempatkan sebagai

institusi sosial yang memiliki fungsi vital dalam kehidupan sosial. Roscoe Pounds

menyebutkan bahwa : Hukum itu adalah keseimbangan kepentingan, bahwa : hukum itu

adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingan-

7
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 54
kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang

proporsional. Perlindungan hukum pada akhirnya mewujudkan keseimbangan kepentingan

dalam masyarakat. 8 Perlindungan hukum dalam kaitannya dengan pembahasan khususnya

permasalahan kedua tentang perlindungan hukum perlindungan hukum terhadap kreditur

pemegang hak tanggungan terhadap objek jaminan yang disita pengadilan terkait kasus

korupsi

1.6.2. Kerangka Konseptual

Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya putusan pengadilan berupa

perampasan terhadap barang-barang yang terbukti dari hasil korupsi yang sementara

terpasang Hak Tanggungan, memberi konsekuensi yang merugikan terhadap lembaga

perbankan atau non perbankan sebagai pemegang Hak Tanggungan. Dengan adanya

perampasan tersebut hak-hak dari lembaga perbankan atau non perbankan berupa pelunasan

atas piutangnya telah diabaikan. Undang-undang Hak Tanggungan tidak memberikan

kepastian dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditor pemegang Hak

Tanggungan bila dihadapkan dengan tindak pidana korupsi. Undang-undang Hak

Tanggungan hanya mempunyai kedudukan yang kuat dan preferen bila diperhadapkan

dengan pihak swasta. Tapi apabila Undang-undang Hak Tanggungan berhadapan dengan

negara dalam hal ini Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka segala

perlindungan yang termuat dalam Pasal-Pasal Undang-undang Hak Tanggungan cenderung

diabaikan dan tidak bisa dilaksanakan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Hak Tanggungan, Hak

Tanggungan didefinisikan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

8
Roscoe Pounds dalam Bernard L. Tanya, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
(Surabaya : CV.Kita, 2006) , hlm.36
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Pengaturan mengenai jaminan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang Hak

Tanggungan, yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain melaksanakan amanat

UUPA, kelahiran Undang-undang Hak Tanggungan didasarkan pula pada pertimbangan

untuk memberi kepastian hukum bagi pihak- pihak yang berkepentingan dalam pemberian

kredit dengan membebankan hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah sebagai jaminan kredit serta untuk menciptakan unifikasi hukum jaminan hak atas

tanah. 9 Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi

kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk

dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cidera janji

dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas utang

debitor kepadanya10

Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga

keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditor dalam rangka

pelunasan piutangnya, apabila debitor wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditor

sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitor yang

bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi.

Pengertian Wanprestasi dianggap sebagai suatu kegagalan untuk melaksanakan janji

yang telah disepakati disebabkan debitor tidak melaksanakan kewajiban tanpa alasan yang

dapat diterima oleh hukum. Adapun bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh debitor dapat

berupa 4 (empat) macam, yaitu: tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,,

9
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2004), halaman
105
10
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Jilid I,
(Jakarta, Djembatan, 2008), halaman 70
melaksanakan yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, melakukan apa yang

dijanjikannya tetapi terlambat, melakukan sesuatuyang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukannya. Atau dapat dikatakan bahwa sama sekali tidak memenuhi prestasi , tidak

tunai memenuhi prestasi, terlambat memenuhi prestasi, keliru memenuhi prestasi.

Sebagaimana yang dikemukakan Poerwadarminta, secara harfiah korupsi dapat

diartikan dalam beberapa pengertian berupa :

a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidak jujuran;

b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya. 11

Sudarto, menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yaitu sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan.

“Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya memindahbukukan,

menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga sipembuat bertambah kaya;

b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum. Melawan hukum disini diartikan secara formil

dan materiil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan

delik;

c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara

dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu atau patut disangka oleh si pembuat

bahwa merugikan negara atau perekonomian negara. Bahwa perbuatannya secara

langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian

negara harus dibuktikan adanya secara objektif. Dalam hal ini hakim kalau perlu dapat

mendengar saksi ahli atau lebih dari satu orang untuk mengetahui kapan ada keadaan

11
Yunara, Edi, Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2012)
halaman 135.
yang “merugikan” itu. Dari rumusan ini tampak bahwa delik ini merupakan delik

materil.12

Sebagaimana hal tersebut terdapat sengketa mengenai sita Obyek Hak Tanggungan.

Pemohon kasasi dahulu Terlawan I/Pembanding I adalah Pemerintah Republik Indonesia cq

Kejaksaan Agung Republik Indonesia cq Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara cq Kejaksaan

Negeri Bitung diwakili Agustian Sunaryo, S.H., C.N., M.H., PLH melawan Toni Handani,

Branch Manager PT Bank Panin, Tbk, Kantor Cabang Utama Banjarmasin yang selanjutnya

disebut PT Bank Panin KCU Banjarmasin memilih domisili PT Bank Panin, Tbk Kantor

Cabang Utama Manado sebagai Termohon Kasasi dahulu Pelawan/Terbanding dan Mohamad

Hasan Rahmat sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Terlawan II/Pembanding II

melakukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait Obyek

Hak Tanggungan yang diperoleh dari hasil Tindak Pidana Korupsi yang tertuang di dalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2701 K/Pdt/2017.

Adapun objek perkara adalah 1 (satu) unit rumah yang terletak di Kompleks

Perumahan Green Yakin Nomor 13 Jalan Ahmad Yani Km. 10,200 Banjarmasin, sesuai

dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 01347/Sungai Lakum atas nama Mohammad Hasan

Rahmat yang merupakan menantu dari Sdr. Subchan, S.E., yang merupakan terdakwa

dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Keputusan Pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu putusan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan Negeri Manado Nomor 18/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Mdo., tanggal 10

Juli 2014 menyatakan bahwa rumah tersebut diperoleh dari hasil korupsi, sesuai dengan

pengakuan Sdr. Subchan, S.E. adapun amar putusannya antara lain menyatakan Sdr.

Subchan, S.E., telah dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun, dan 1 (satu) unit

rumah permanen yang terletak di Komplek Perumahan Green Yakin Nomor 13, Jalan

Ahmad Yani KM-10,200 Banjarmasin sesuai dengan SertifikatHak Milik Nomor

12
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009) Hlm, 20
01347/Sungai Lakum terakhir terdaftar atas nama Mohammad Hasan Rahmat tersebut

dirampas untuk Negara untuk dilelang dan uang hasil lelang barang bukti tersebut

diperhitungkan dengan pembayaran Uang Pengganti;

Ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan, apabila debitor

cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;

b. Title eksekutorial terdapat dalam sertipikat hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum

menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk

pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan Hak mendahulu dari pada

kreditor-kreditor lainnya.

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999

didalam Penjelasan Umum menyebutkan kalau Undang-undang ini menerapkan

pembuktian terbalik terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta

benda setiap orang atau korporasi yang di duga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Kata-

kata “bersifat terbatas” di dalam memori Pasal 37 dikatakan, apabila terdakwa dapat

membuktikan dalilnya, “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Hal itu tidak

berarti terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum,

masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 13

1.7.Metode Penelitian

13
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdana dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta, Raih Asa
Sukses, 2011) halaman 183.
Metode penelitian berasal dari Methodos dan Logos. Metode yang artinya adalah cara

tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi

metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama

untuk mencapai suatu tujuan.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan

menganalisis sampai menyusun laporannya.14

Penelitian Hukum Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, menyatakan:

“Seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar (right answer) dan/atau

jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer) mengenai suatu permasalahan. Untuk

menjawab segala macam permasalahan hukum diperlukan hasil penelitian yang cermat,

berketerandalan, dan sahih untuk menjelaskan dan menjawab permasalahan yang ada”. 15

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis,

metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisis dan

konstruksi data yang telah dikumpulan dan diolah.

1.7.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Yuridis Normatif. Metode

penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian ini menitikberatkan pada kajian terhadap

asas-asas dan norma-norma hukum, terutama yang berkaitan langsung dengan Undang-

Undang jaminan, Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pelaksanaannya, maupun asas-asas

dan norma-norma hukum yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan hal

tersebut.16

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif maka

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

14
Cholid Narbuko, 2002, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 1
15
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 18
16
Soerjono Soekanto, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 14
1. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), dilakukan dengan

menelaah semua undang undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu

argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi, sebagaimana diuraikan dalam

bahan hukum primer.

2. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach), metode pendekatan dengan

mempelajari pandangan pandangan dan ratusan doktrin yang berkembang di

dalam ilmu hukum penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan konsep

konsep hukum dan asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang

dihadapi penulis dalam hal ini akan mempelajari dan menelaah doktrin pakar

hukum sebagai sandaran bagi penulis dalam membangun suatu argumentasi

hukum untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi

3. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan meneliti alasan-alasan

hukum yang dipergunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya,

dengan memperhatikan fakta materiil, berupa orang, tempat, waktu, dan segala

yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta tersebut

diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum

yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Pendekatan kasus

dalam hal ini dengan melakukan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 2701 K/Pdt/2017

1.7.2. Spesifikasi Peneltian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

Deskriptif Analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan


dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut

tentang permasalahan yang akan dihadapi.17

Deskriptif yang dimaksudkan adalah penelitian yang dilakukan terhadap data primer,

sekunder, maupun tertier yang berhubungan dengan hak kreditur preferen beritikad baik

terhadap obyek jaminan yang terkait dengan tindak pidana korupsi, Selanjutnya dilakukanlah

analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan menggunakan peraturan perundang-

undangan, teori-teori hukum, asas-asas hukum yang relevan.

1.7.3. Sumber dan Jenis Data Penelitian

Pada penelitian ini, penulis mengumpulkan dan mempelajari data-data hukum yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang di kumpulkan melalui studi kepustakaan.

Data sekunder dapat digunakan sebagai landasan teori untuk menganalisis pokok-pokok

permasalahan yang menjadi topik utama dalam penelitian ini. Adapun terdapat 3 (tiga)

macam jenis data sekunder yang terdapat di dalam penelitian ini, meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan-peraturan yang mengikat, antara lain:

a) Kitab Undang Undang Hukum Perdata

b) Undang undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perubahan Atas Undang-Undang No 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

e) Putusan Nomor 2701 K/Pdt/2017

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer berupa

hasil penelitian dalam bentuk buku-buku yang ditulis oleh para ahli, artikel, karya ilmiah

maupun pendapat para pakar hukum.

17
Roni Hanitjo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 35
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu petunjuk atau yang memberikan sebuah penjelasan

mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan

ensiklopedia.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,

karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik

pengumpulan data tersebut, maka seorang peneliti tidak akan mendapatkan data, yang

memenuhi standar data yang telah ditetapkan. 18

Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Studi Kepustakaan (Library Research). Sebagaimana yang telah dijelaskan oeh Mukti Fajar

dan Yulianto Achamd, bahwa “Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif

dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier”. 19

1.7.5. Teknik Analisis Data

Dalam suatu penelitian sebelumnya perlu disusun secara sistematis kemudian akan

dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif. Kualitatif

berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau

prinsip bagaimana yang diatur di dalam bahan hukum primer.

Semua data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research)

kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisa dengan

mengggunakan meode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang

gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah yang akan diteliti. Selanjutnya ditarik

kesimpulan dengan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal-hal yang umum

untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus dengan menggunakan ketentuan berdasarkan

18
Sugiono, 2015, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta, hlm. 224
19
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hlm. 157
pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk

proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.20

1.7.6. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari: Latar Belakang yang menggambarkan pemikiran dasar dari

topik yang akan dikaji, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Kerangka Pemikiran yang mencangkup baik kerangka teoritik maupun

konseptual, Metode Penelitian serta dijelaskan pula gambaran umum mengenai

urutan penulisan penelitian yang ditulis dalam sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri dari: Kerangka Teoritik dan Kerangka Konseptual.Kerangka

Teoritik terdiri atas Teori Negara Hukum, Teori Hak Asasi Manusia, Teori

perlindungan hukum, serta beberapa gelar pustakan untuk mendukung penelitian.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang disesuaikan

dengan rumusan masalah, yaitu:

1. Perlindungan hak kreditur preferen beritikad baik terhadap obyek jaminan

setelah adanya putusan pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan kreditur preferen beritikad baik

terhadap obyek jaminan setelah adanya putusan pengadilan terkait dengan

tindak pidana korupsi

BAB IV PENUTUP

Bab ini penulis menguraikan kesimpulan mengenai masalah yang sudah di jawab

di bab III dan memberikan saran sesuai dengan kesimpulan.

20
Soerjono Soekanto, 1998, Metodologi Research, Yogyakarta, Andi Offse, hlm. 25
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II

TINJAUAN TENTANG KREDITUR DEBITUR, HUKUM JAMINAN, HAK

TANGGUNGAN, DAN TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1. Tinjauan Tentang Kreditur Dan Debitur

2.1.1. Pengertian Kreditur Dan Debitur

Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian kreditur adalah adalah orang yang

mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di

muka pengadilan21Namun dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004

memberikan defenisi yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik

kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai

kreditur separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan

pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki

terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan.Sedangkan Debitur adalah

orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.22

Selain itu adapun pengertian lain kreditur dan debitur yaitu Kreditur adalah

pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena

perjanjian atau undang-undang.17 Debitur adalah orang atau badan usaha yang

21
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
22
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
memilki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau

undang-undang.23

2.1.2. Macam Macam Kreditur

Dalam konsepsi hukum perdata dikenal tiga jenis kreditur, yaitu kreditur

preferen, separatis dan konkuren. Jenis kreditur ini ditentukan berdasarkan pada jenis

utang ataupun jenis jaminannya. Dalam KUH Perdata,istilah macam macam kreditur

tidak disebutkan, Namun jenis-jenis kreditur muncul dalam literatur yang berkaitan

dengan hukum benda dan hukum jaminan.

a. Kreditor Preferen

Menurut Pasal 1134 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh

undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatan kreditur

tersebut lebih tinggi dari pada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifat tagihan

kreditur tersebut.

Untuk megetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat dilihat

dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Menurut Pasal 1139 piutang-piutang

yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu antara lain :

1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk

melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari

pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang lainnya

yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula dari pada gadai dan hipotik;

2. Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang

menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban

memenuhi persetujuan sewa;

3. Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;

23
Riduan Tobink dan Bill Nikholaus, 2003. “Kamus Istilah Perbankan”, Atalya Rileni Sudeco,
Jakarta. Hal .118
4. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;

5. Biaya untuk melakukan pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus dibayar

kepada seorang tukang;

6. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai

demikian kepada seorang tamu;

7. Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;

8. Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukng kayu dan lain-lain tukang

untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda tidak bergerak,

asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang

bersangkutan masih tetap pada si berutang.

9. Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku

sebuah jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan

kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.

Adapun Pasal 1149 KUH Perdata menentukan bahwa piutang-piutangnya yang

diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya adalah

yang disebutkan di bawah ini, piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan

penjualan benda-benda itu menurut urutan sebaga berikut:

1. Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan

penyelesaian suatu warisan, biaya-biaya ini didahulukan dari pada gadai dan

hipotek;

2. Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk

menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;

3. Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan;

4. Upah para bururh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam

tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah;


5. Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si

berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir;

6. Piutang-piutang para pengusaha sekolah bersrama, untuk tahun yang

penghabisan;

7. Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap

sekalian wali dan pengampu mereka.

Menurut Frieda Husni Hasbullah didalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata Dalam

berbagai peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan diberikan batasan

mengenai hak istimewa kebendaan , yaitu :24

1. Gadai (Pasal 1150 KUHPerdata) :

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak,

yang diserahkan kepadanya oleh kreditor, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas

utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditor untuk mengambil pelunasan

piutangnya dan barang itu dengan mendahalui kreditor-kreditor lain; dengan

pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai

pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan

setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan.

2. Fidusia (Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia) :

a) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.

b) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) adalah hak

Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi

Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

c) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya

kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.

24
Frieda Husni Hasbullah, 2005,Hukum Kebendaan Perdata (Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan), Jakarta:
Ind-Hil- Co, hlm. 17.
3. Hak Tanggungan ( Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT) : Pasal 6 :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak

untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan

umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Penjelasan Pasal 6 :

Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah

satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak

Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari

satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan

oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak

Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum

tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada

kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak

Tanggungan.

Pasal 20 ayat (1) huruf b :

(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual

melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan

dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

4. Resi Gudang Pasal 1 angka 9 (UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi

Gudang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2011) :


Hak Jaminan atas Resi Gudang, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan, adalah hak

jaminan yang dibebankan pada Resi Gudang untuk pelunasan utang, yang

memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap

kreditor yang lain.

Kreditor preferen bersifat accesoir,beberapa ciri dari preferen:25

1. Harus dituntut,artinya pemegang hak istimewa ini jika tinggal diam maka

tagihannya dianggap sebagai tagihan biasa (konkuren).Pemilik tagihan

harus menuntut agar dimasukkan dalam daftar tingkatan menurut tingkatan

yang diberikan kepadanya berdasarkan undang-undang;

2. Preferen bukan hak kebendaan,pemilik hak tagihan istimewa tidak

mempunyai hak untuk menjual sendiri benda-benda atas mana ia

mempunyai hak didahulukan;

3. Preferen ditentukan oleh undang-undang;

4. Preferen hanya melekat selama benda-benda tersebut masih berada

ditangan debitor,ini menandakan bahwa hak istimewa bukan hak

kebendaan;

5. Preferen berpindah kepada ahli waris kreditor. Kreditor preferen terdiri dari

kreditor preferen khususyaitu hak yang didahuluan terhadap benda-benda

tertentu milik debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 BW,dan kreditor

preferen umum preferen terhadap semua harta benda milik debitur

sebagaimana diatur dalamPasal 1149 BW.

b. Kreditor Separatis

Kreditur separatis Adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang

dapat bertindaksendiri.Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan

pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dijalankan seperti

25
Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora Bakarbessy,Op.Cit., h. 26
tidak terkenaakibat putusan pernyataan pailit debitor,artinya hak-hak eksekusi

mereka tetapdapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor26.Munir Fuady

mengatakanbahwa separatis berkonotasi “perpisahan“ hal tersebut dikarenakan

kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti

bahwakreditor separatis dapat menjual serta mengambil sendiri dari hasil penjualan

yangterpisah.27 Sedangkan menurut Sri Soedewi, hak kreditor separatis atas para

pemegang jaminan kebendaan dapat melaksanaan haknya dengan cepat

danmudah, tidak terpengaruh dengan adanya kepailitan.28 Dalam BW pada Pasal 1134

ayat (2) diatur pula mengenai klasifikasi kreditor separatis yaitu kreditor pemegang

jaminan kebendaan yaitu gadai dan hipotik. Selebihnya jaminan–jaminan yang

tidak diatur oleh BW diatur oleh Undang-undang tersendiri.Saat ini jaminan-

jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia adalah:

a) Gadai (Pasal 1150BWsampai dengan Pasal 1160BW);

b) Fidusia (Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);

c) Hak Tanggungan (Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang

HakTanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan

Tanah);

d) Hipotik Kapal (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 BW).

c. Kreditor Konkuren

Kreditor Konkuren Adalah kreditor bersaing yang artinya bahwa kreditor

konkuren tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain

sama.29 Kreditor tersebut bersaing satu dengan yang lainnya untuk

26
Ivida Dewi Amrih dan Herowati Poesoko,Hak Kreditor Separatis dalam Mengeksekusi Benda Jaminan
Debitor Pailit, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, h.101
27
Munir Fuady,Jaminan Fidusia, CitraAditya Bakti, Bandung, 2000, h. 97
28
ri Soedewi Masjshoen sofyan,Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum jaminan dan Jaminan
Perorangan, Liberty, Yogyakarta 1980, h.77-78
29
Man S. Sastrawidjaja,Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban PembayaranUtang,Alumni, Cetakan ke-3,
2014, h.127
memperolehpembayaran dari hasil lelang, sehingga keududukannya pun tidak

diutamakandalam pelunasan.30 kreditor tersebut tidak termasuk dalam kreditor

separatis dan kreditor preferen sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 jo.Pasal 1132

BW bahwa mereka tidak mempunyai preferensi dalam pelunasan piutang-piutangnya,

dikarenakan kreditor konkuren adalah kreditor yang tidak diistimewakan dan atau

bukan merupakan kreditor yang diperjanjikan sebelumnya, Sehingga piutang-

piutang dari kreditor konkuren merupakan piutang yang masuk dalam boedel pailit

apabila debitor dinyatakan pailit oleh para krediturnya. Serta pelunasannyapun harus

menunggu dari hasil sisa pelunasan atau pelelangan harta pailit dan sisapelunasan

tersebut harus dibagikan setelah sebelumnya dikurangi dengankewajiban

membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan danpara kreditor

dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang

masing-masing kreditor konkuren tersebut (berbagi secara pari passu pro rata

parte).31

2.1.3. Kreditur Beritikad Baik

Kreditur adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang

memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang

diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) di mana diperjanjikan

bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau

jasa.32

Dalam hal membuat perjanjian ada satu asas yang harus dipatuhi bersama,

yaitu asas itikad baik sebagai landasan pembuatan perjanjian. Pasal 1338 Ayat (3)

KUHPerdata mengatur itikad baik sebagai landasan seseorang melakukan perbuatan

hukum dalam membuat suatu perjanjian.

30
Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora Bakarbessy,Op.Cit., h. 7
31
Sutan Remy Sjahdeini,Hukum Kepailitian, Grafiti, Jakarta, 2010, h. 6-7
32
https://id.wikipedia.org/wiki/Kreditur
Adapun pengertian itikad baik (good faith) dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Black’s Law Dictionary memberikan pengertian itikad baik adalah:“in or with good

faith; honestly, openly, and sincerely; without deceit or fraud.Truly; actually; without

simulation or pretense”33.

2. Prof. Subekti, SH merumuskan itikad baik sebagai berikut:“Itikad baik diwaktu

membuat suatu perjanjian berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh

kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak

menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari dapat menimbulkan

kesulitan-kesulitan”.34

Menurut Wirjono Prodjodikoro, membagi itikhad baik menjadi 2 macam yaitu :35

1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini

biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang

diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah dipenuhi. Dalam konteks ini hukum

memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang

tidak beritikad baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggangung

resiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 (1) BW dan

Pasal 1963 bw, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik

atas barang melalui daluwarsa. Itikhad baik ini bersifat subjektif dan statis.

2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban termaktub

dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 (3) BW adalah objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar

perbuatan hukumnya. Tititk berat itikhad baik di sin terletak pada tindakan yang akan

dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksana sesuatu hal.

33
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th edition, ThomsonWest, St. Paul, hal. 713.
34
Subekti,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2009).
35
Prodjodikoro Wirjono, 1992. Asas-asas Hukum Perdata,Sumur, Bandung H.56-62
Berdasarkan Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan

Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) itikhad baik hendaknya diartikan sebagai :36

a) Kejujuran pada waktu membuat kontrak

b) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat dihadapan pejabat, para

pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan

keberatannya).

c) Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik

terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam

kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam

pelaksanaan kontrak tersebut

Para pihak yang sedang berada dalam tahap pra kontraktual dan sedang

bernegosiasi untuk memperoleh kata sepakat, masing-masing mempunyai kewajiban-

kewjiban yang didasarkan pada itikad baik (kepatutan), kewajiban itu adalah:

a.Kewajiban untuk meriksa (Onderzoekplicht)

b.Kewajiban untuk memberitahukan (Mededeling plicht)37.

Misalkan saja dalam perjanjian kredit, debitur penjual berkewajiban untuk

memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting berkenan dengan

obyek/perjanjian itu, yang dapat membantu kreditur untuk mengambil keputusan untuk

memberikan kredit tersebut sedangkan kreditur berkewajiban untuk memeriksa obyek

jaminan tersebut apakah ada cacatnya atau tidak, apakah ada rencana pemerintah yang

akan berpengaruh terhadap benda tersebut. Kewajiban untuk memberitahukan dan

memeriksa itu harus diladasi itikad baik.

36
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 1981. Simposium Hukum Perdata Nasional,Kerjasama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21-23
Desember 1981.
37
Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit,hal. 70
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan penjelasan Pasal UU Perbankan, Bank wajib

memperhatikan syarat dalam pemberian kredit, disamping memiliki keyakinan bahwa

debitur beritikad baik dan mempunyai kemampuan untuk membayar, bank wajib

memperhatikan syarat yang disebut “the 5 C’s analysis of credit”, antara lain collateral

atau jaminan.

Obyek jaminan kebendaan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, mudah

diuangkan, yang diikat dengan janji yang dijadikan jaminan untuk pembayaran

hutang debitur, sehingga apabila terjadi ingkar janji atau kredit macet, maka benda

tersebut telah tersedia untuk sewaktu-waktu dapat dicairkan. Benda yang dapat menjadi

obyek perjanjian jaminan adalah benda dalam perdagangan dapat berupa benda

tanah dan benda bukan tanah baik yang tetap maupun yang bergerak. Mengingat fungsi

jaminan secara yuridis adalah adanya kepastian hukum bagi pelunasan hutang debitur atau

pelaksanaan suatu prestasi maka jelas sekali benda yang dapat dijaminkan itu harus dapat

diuangkan dengan kata lain mempunyai nilai ekonomi. Dalam perjanjian yang sifatnya

bertimbal balik, jaminan dapat diminta oleh pihak yang memiliki piutang untuk

memastikan pihak yang berhutang melakukan kewajibannya.

Para pihak hanya perlu memperhatikan bahwa prosedur pemberian jaminan haruslah

benar, agar hak kebendaan yang dimiliki kreditur benar-benar telah timbul.Secara umum

syarat-syarat ekonomis yang harus dipenuhi dari jaminan perkreditan antara lain benda

jaminan mempunyai nilai ekonomis artinya dapat diperjual belikan secara umum dan secara

bebas, dan harus mudah dipasarkan tanpa harus mengeluarkan biaya pemasaran yang

berarti. Nilai benda jaminan lebih besar dari jumlah kredit yang diberikan, dan harus

konstant bahkan lebih baik kalau nilainya juga dapat meningkat di kemudian hari. Secara

fisik jaminan tersebut tidak cepat rusak, lusuh, sebab akan mengurangi nilai ekonomisnya

dan mempunyai manfaat ekonomis dalam jangka waktu kredit yang dijaminnya. Kalau

objek jaminan berupa tanah dan bangunan kondisi dan lokasi benda jaminan tersebut
cukup strategis (dekat dengan pasar atau fasilitas umum).Syarat yuridis yang harus

dipenuhi dari suatu benda jaminan adalah bahwa benda tersebut harus betul- betul

milik calon debitur atau pihak penjamin, hal tersebut dengan memiliki tanda bukti

pemilikan berupa sertipikat atas nama debitur. Benda jaminan tidak berada dalam

persengketaan dengan pihak ketiga dan berada dalam kekuasaan calon debitur sendiri

artinya tidak sedang di pinjamkan atau di sewakan.

2.2.Tinjauan Tentang Hukum Jaminan

2.2.1. Pengertian Hukum Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu Zekerheid atau

Cautie. Zekerheid atau Cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

dipenuhinya tagihannya disamping pertanggung jawaban umum debitur terhadap barang-

barangnya. Sementara istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan Zakerheidsrechten atau

Security law. Dalam literatur juga ditemukan istilah Zakerheidsrechten yang bisa juga

diterjemahkan menjadi hukum jaminan.38

Kata “jaminan” didalam Peraturan Perundang-undangan dapat dijumpai pada

pasal 1131 KUH Perdata dan penjelasannya pasal 8 Undang-undang No. 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

namun dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan

jaminan. Tetapi dapat diketahui bahwa suatu jaminan itu berhubungan dengan

permasalahan utang, yang mana didalam perjanjian pinjam- meminjam uang pihak kreditur

meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaan untuk

pelunasan utang, yang apabila pihak debitur tidak melunasi utang dalam waktu

yang diperjanjikan.

38
Anton Suyanto, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak
Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan,(Jakarta : Kencana, 2016), h.81
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat didalam buku Djoni S.Gazali, Rachmadi Usman

“Hukum Perbankan” ia berpendapat bahwa ia tidak sependapat dengan dipakainya istilah

“jaminan pemberian kredit” didalam pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan yang diberi arti “keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit

sesuai dengan yang diperjanjikan”.39

Dalam pengertian selama ini sudah menjadi milik masyarakat umum bahwa

jaminan (pemberian) kredit itu merupakan alternatif terakhir dari sumber pelunasan kredit

dalam hal kredit tidak dapat dilunasi oleh nasabah debitur dari kegiatan usahanya karena

kegiatan usahanya itu mengalami kesulitan untuk menghasilkan uang. Dengan diberikan

pengertian “jaminan (pemberian) kredit” sama dengan “keyakinan bank atas kesanggupan

debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan”, maka arti dari “jaminan

(pemberian) kredit” itu telah bergeser, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertiannya yang

lazim dikenal selama ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa berdasarkan ketentuan

dalam pasal ini ialah bank bisa saja memberikan kredit kepada siapapun yang

dikehendakinya, asalkan kayakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk

melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Jadi, artinya bahwa kredit dapat

diberikan walaupun tanpa disertai dengan agunan atau jaminan tambahan asalkan bank

berkeyakinan terhadap kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya.

Nilai dari suatu jaminan yang diberikan kepada kreditur biasanya melebihi dari nilai

kredit, hal tersebut dilakukan oleh pihak kreditur agar ia terlindungi dari kerugian.40 Jadi,

ketika terjadi kemacetan kredit maka pihak bank dapat mempergunakan atau menjual

39
Djoni S. Ghozali, Rachmadi Usman, “Hukum Perbankan” (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h.280
40
Kasmir, Manajemen Perbankan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.80
jaminan kredit tersebut untuk membayar atau menutupi kredit yang macet. Tujuan dari

jaminan kredit disini untuk melindungi pihak bank dari nasabah yang nakal, sebab hanya

sedikit nasabah yang mampu tapi tidak membayar kreditnya. Intinya bahwa jaminan kredit

disini merupakan terikatnya pihak debitur kepada kreditur dengan utang yang dimiliki dengan

jaminan harta debitur, agar debitur tidak lari dari utangnya.

Perlunasan utang dengan jaminan itu ialah dengan cara lelang seperti yang telah

ditetapkan oleh peraturan yang berlaku, dan apabila terdapat sisa dari lelang tersebut maka

dikembalikan kepada debitur.

Pada prinsipnya barang jaminan itu harus milik debitur, tetapi didalam Undang-

undang juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga dipergunakan sebagai jaminan,

asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan

utang debitur.41

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa jaminan merupakan suatu

perlunasan utang oleh debitur kepada kreditur apabila dikemudian hari terjadi kemacetan

pembayaran utang debitur dengan sejumlah harta kekayaan milik debitur sesuai dengan

perjanjian yang telah dibuat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Salim HS, hukum jaminan adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan

jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.42 Unsur-unsur yang tercantum didalam defenisi

menurut Salim HS, didalam buku Anton Suyanto sebagai berikut :

a. Adanya kaidah hukum

Kaidah hukum dalam hukum jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua)

macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis kaidah hukum jaminan tidak tertulis.

Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah- kaidah hukum yang terdapat dalam

41
Gatot Supramono, Op.cit. h. 196
42
Anton Suyanto, Op.Cit, h.
Peraturan Perundang-undangan, Traktat, dan Yurisprudensi. Adapun kaidah hukum

tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan

berkembang dalam masyarakat .hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang

dilakukan secara lisan.

b. Adanya pemberi dan penerima jaminan

Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang membutuhkan

fasilitas kredit (debitur) dengan menyerahkan barang jaminan kepada penerima

jaminan. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang

jaminan dari pemberi jaminan. Penerima jaminan disini berupa orang atau badan

hukum, badan hukum merupakan lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat

berupa lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank.

c. Adanya jaminan

Pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan

material dan imaterial. Jaminan material merupakan jaminan yang berupa hak-hak

kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan

imaterial merupakan jaminan non- kebendaan.

d. Adanya fasilitas kredit

Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk

mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberi kredit

merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga

keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok

jaminan dan bungan. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan

nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.

2.2.2. Fungsi Jaminan

Dalam suatu pinjaman uang biasanya tidak lepas dari adanya jaminan utang,

yang didalam pengaturan positif indonesia terdapat berbagai Peraturan Perundang-


undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan jaminan utang yang disebut

dengan hukum jaminan.

Adapun fungsi dari jaminan kredit ialah :43

a. Jaminan kredit sebagai pengaman pelunasan kredit

Salah satu fungsi dari adanya jaminan kredit ialah sebagai pengaman bagi

pihak kreditur untuk mendapatkan kembali kredit yang diberikan kepada debitur.

Dengan adanya jaminan kredit maka pada saat debitur cidera janji maka pihak

kreditur dapat melakukan pencairan terhadap jaminan kredit yang diberikan, hal ini

disebabkan karena ketika kredit tidak dilunasi baik keseluruhan maupun sebagian

merupaka kerugian bagi pihak kreditur. Jadi, sepanjang debitur tidak cidera janji dan

melunasi semua utangnya maka tidak akan menjadi masalah terhadap harta jaminan

tersebut dan akan dikembalikannya kembali jaminan itu menurut perjanjian yang telah

disepakati.

b. Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur

Jika debitur melakukan pembayaran kredit tepat pada waktu yang

diperjanjiakan maka pihak kreditur tidak akan takut akan kehilangan harta yang

dijadikan sebagai jaminan utang. Hal ini akan memberikan motivasi kepada pihak

debitur untuk menggunakan kredit dengan sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usaha

dengan baik, mengelola kondisi keuangan dengan hati-hati.

c. Fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan

Keterkaitan jaminan kredit dengan ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh

Bank Indonesia, misalnya dapat diperhatikan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur

tentang penilaian agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA,

persyaratan agunan untuk rekstrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara

43
Op.Cit, M. Bahsan
pemberian tambahan fasilitas kredit, penilaian terhadap jaminan kredit dalam rangka

manajemen rediko kredit, dan sebagainya.

5. Asas-Asas Hukum Jaminan

Berdasarkan analisis terhadap berbagai Peraturan Perundang- undangan yang

mengatur tentang jaminan maupun kajian tentang terhadap berbagai literatur tentang

jaminan, ditemukan 5 asas penting dalam hukum jaminan:

1. Asas Publicitet

Yaitu asas bahwa semua hak baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek

harus didaftarkan. Pendaftaran tersebut agar pihak ke-tiga dapat mengetahui bahwa

benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak

tanggungan dikantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota. Pendaftaran

fidusia pada Kantor Dapartemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, sedangkan

pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan didepan Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Balik Nama, yaitu Syahbandar.;

2. Asas Specialitet

Yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat

dibebankan atas percil atau asas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang-

tertentu;

3. Asas Tak Dapat Dibagi-Bagi

Yakni asas dapat dibaginya utang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya

hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan gadai walaupun telah dilakukan

pembayaran sebagian;

4. Asas Inbezittstelling

Yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;

5. Asas Horizontal
Yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hak ini dapat

dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik.

Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi

tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.42

2.3.Tinjauan Tentang Hak Tanggungan

2.3.1. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan

Tanah, adalah :

“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-

benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor- kreditor lainnya.”

Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat

diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan

pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas

Tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.44

2.3.2. Sifat dan Ciri Hak Tanggungan

44
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group,
2005), hal.13.
Hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat dan mampu

memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai dengan ciri-ciri sebagai berikut

:45

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya

(kreditor tertentu)

Dari definisi mengenai hak tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas,

diketahui bahwa hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditor terhadap kreditor-kreditor lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”, dapat dijumpai

dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yaitu :

“Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak

menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum, menurut

ketentuan peraturan perundang- undangan yang bersangkutan, dengan hak

mendahulu dari pada kreditor-kreditor lain”

Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa

hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut

berada,14 sehingga hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak

tanggungan itu beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut droit

de suite memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk memperoleh

pelunasan dari hasil penjualan atas tanah -penguasaan fisik- atau Hak Atas Tanah -

penguasaan yuridis, yang menjadi objek hak tanggungan bila debitor wanprestasi,

45
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Penjelasan Umum Angka 3.
sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan itu dijual oleh

pemiliknya atau pemberi hak tanggungan kepada pihak ketiga.46

3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga

dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.

Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan

pada saat pendaftaran pemberian hak tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran

tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan

mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak ketiga.47

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Keistimewaan lain dari hak tanggungan yaitu bahwa hak tanggungan

merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Apabila debitor wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan perdata biasa yang

memakan waktu dan biaya. Bagi kreditor pemegang hak tanggungan disediakan cara-

cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah.

Menurut Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, S.H., MLI. Dengan ciri-ciri tersebut

diatas, maka diharapkan sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang

paling besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara

tidak langsung dapat menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam

pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.48

46
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi
oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan (Bandung : Alumni, 1999), hal.8.
47
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., ps. 13 Ayat (1)
48
Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu Kumpulan Karangan,
Cetakan Kedua, (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, 2002), hal.255.
Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai

beberapa sifat, seperti :

1. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Maksud dari hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu hak tanggungan

membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian dari padanya49. Pelunasan

sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban hak

tanggungan. Hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk

sisa utang yang belum dilunasi. Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan

perumahan, ketentuan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam hal

suatu proyek perumahan atau rumah susun ingin diadakan pemisahan. Apabila

tanahnya dibebankan hak tanggungan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau satuan rumah

susun yang telah dibangun tersebut. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan,

maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

membuka kesempatan untuk menyimpangi sifat tersebut, jika hak tanggungan

dibebankan pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan utang yang dijamin

dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing- masing Hak Atas Tanah yang

merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak

tanggungan tersebut. Dengan demikian hak tanggungan hanya akan membebani sisa

49
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 Ayat (1).
objek untuk sisa hutang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, maka harus

diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. 50

2. Hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir.

Hak tanggungan diberikan untuk menjamin pelunsaan hutang debitor kepada

kreditor, oleh karena itu hak tanggungan merupakan perjanjian accesoir pada suatu

perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian

pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya hak

tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang

dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin

pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada hak tanggungan.51

2.2.3. Subjek dan objek Hak Tanggungan

Subjek dan objek Hak Tanggungan adalah :

1. Subjek Hak Tanggungan

Hak Tanggungan di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 adalah :

a. Pemberi Hak Tanggungan, dapat perorangan atau badan hukum, yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

objek Hak Tanggungan;

b. Pemegang Hak Tanggungan, terdiri dari perorangan atau badan

hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.

2. Objek Hak Tanggungan dalam UUHT diuraikan bahwa tidak semua hak

atas tanah dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Hak-hak atas tanah yang
52
dapat dibebani Hak Tanggungan hanyalah Hak-Hak Primer

50
Undang-Undang Hak Tanggungan, Op. Cit., Pasal 2 Ayat (2)
51
Boedi Harsono, Op.Cit., hal.423.
52
Muljadi & Widjaja. Perikatan yang lahir dari perjanjian. Jakarta : Raja Grafindo Persada 2002,Hlm 19
Hak Atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan hanyalah hak atas

tanah yang berstatus:

a. Hak Milik;

b. Hak Guna angunan;

c. Hak Guna Usaha;

d. Hak Pakai atas Tanah Negara;

e. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun 53

2.2.4. Proses pembebanan Hak Tanggungan

Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan, maka pembebanan Hak

Tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang

piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan yang

menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk

memberikan Hak Tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang

dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang

yang bersangkutan.

Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan pemberian Hak

Tangggungan wajib didaftarkan pada kantor Pertanahan. Pemberian Hak Tanggungan

dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan Hak Atas Tanah dan akta

lain dalam rangka pembebanan Hak Atas Tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu

mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

2.3. Tinjauan Tindak pidana Korupsi

2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

53
Purnamasari, Irma devita. Hukum jaminan perbankan. Bandung : Kaifa, 2011 Hlm, 41
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke

berbagai bahasa. Misalya di salin ke dalam bahasa inggris menjadi corruption atau corrupt,

dalam bahasa prancis menjadi corruption dan dalam bahasa belanda disalin menjadi

corruptive (korruptie). Agaknya dari bahasa belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa

Indonesia.54 Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa belanda itu

mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.55 Secara harfiah istilah tersebut berarti segala

macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan,

keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.56 Sebagai pengertian yang

buruk, busuk, rusak, kebejatan moral, kelakuan yang menyimpang, penyuapan, hal itu juga

dapat dijumpai dalam kamus Engels woordenboek oleh F. Prick van Welly yang

menyebutkan bahwa “corruption……., bedorvenheid verdorvenheid, verdorvenheid,

verbastering; verknoeing of verminking, omkoping. Dalam arti sosial tampaknya masyarakat

memang mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik Negara atau kantor) dan

menerima suap dalam hubunnganya dengan jabatan atau pekerjaan, alaupun dari sudut

hukum tidak persis sama. Mengingat dari sudut hukum banyak

syarat/unsur yang harus dipenuhi bagi suatu tingkah laku agar dapat dikualifikasikan sebagai

salah satu dari tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.57

Dalam peraturan perundang-undangan penjelasan mengenai tindak pidana korupsi

terdapat pada pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

54
Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 7. Dikutip dari Adami Chazawi, 2016,
Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 1.
55
S. wojowasito, 1999, kamus umum belanda Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar baru, hlm. 128.
56
Andi Hamzah dalam Ibid.
57
Ibid
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan

denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp.1000.000.000,00.

2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Rumusan tindak pidana korupsi pada pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ini bila dirincikan, terdapat unsur-unsur:

1) Secara melawan hukum atau wederrechtelijk;

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

3) Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

2.3.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak

pidana korupsi, maka ditemukan beberapa unsur sebagai berikut:

1. Secara melawan hukum.

2. Memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.25

Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang dimaksud dengan secara

melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti

materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,

maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak

pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dapat

diketahui bahwa unsur melawan hukum dari ketentuan tindak pidana korupsi tersebut

merupakan sarana untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi. Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi

rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur
merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara

atau berkurangnya keuangan negara.

2.3.3. Pengembalian Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi


Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat

menentukan kelangsungan perekonomian, baik sekarang maupun yang akan datang.

Pengembalian dilakukan apabila terjadi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan

oleh pejabat yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi dan

mengakibatkan kerugian kepada keuangan negara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa, pengembalian ialah

proses, cara perbuatan mengembalikan, pemulangan, pemulihan 17 Kata Kerugian menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa diartikan sebagai menanggung atau

menderita rugi; sesuatu yang di anggap mendatangkan rugi 58

Kerugian keuangan negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan

oleh penyalahgunaan wewenang atau kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang

karena jabatan dan kedudukannya.59

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara telah diatur dengan 4 (empat) cara yang

biasa digunakan, antara lain:

1. Perampasan Barang

Perampasan barang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Perampasan barang ini dilakukan apabila terpidana tidak melaksanakan

putusan hakim untuk membayarkan uang pengganti

2. Pembayaran Uang Pengganti

58
Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV, Jakarta: Gramedia,
Hlm.661
59
Jawade Hafidz Arsyad, 2017, op.cit, Hlm 174
Dalam Undang-undang tindak pidana korupsi yang pernah berlaku di Indonesia,

penerapan uang pengganti pertama kali terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971. Menurut undang undang tersebut, pembayaran uang pengganti harus sama seperti

jumlah uang yang dikorupsi.

Terdapat kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut tentang

uang pengganti, pasalnya dalam undang-undang tersebut tidak menentukan kapan batas

waktu pembayaran uang pengganti tersebut, sehingga pada Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 dimuat batas maksimal pembayaran uang pengganti tersebut. Pembayaran uang

Pengganti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada dasarnya terdapat 2 (dua) model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh

hakim yang memutus perkara korupsi untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah

dikorupsi. Model pembebanan tersebut terdiri dari:

a. Pembebanan Tanggung-Renteng

Tanggung-renteng (tanggung-menanggung bersama) yang lebih dikenal dalam ranah

hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang banyak.

Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 (dua) bentuk tanggung-renteng yakni aktif dan

pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak yang berpiutang

(kreditur) lebih dari satu, dan sebaliknya, tanggung-renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak

yang berutang (debitur) lebih dari satu. Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim

dalam putusannya hanya menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian

rupiah dalam jangka waktu tertentu.

Majelis Hakim sama sekali tidak menghiraukan bagaimana cara para terdakwa

mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut, entah itu ditanggung sendiri oleh salah

satu terdakwa atau urunan dengn porsi tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatarbelakangi
konsep pemidanaan uang pengganti, negara hanya peduli bagaimana uang negara yang telah

dikorupsi dapat kembali lagi.

b. Pembebanan Secara Proporsional

Pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana

majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan berapa besar beban masing-

masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran

hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi terkait.60

3. Pidana Denda

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Denda adalah hukuman yang berupa

keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan, undang-undang, dan

sebagainya)61

Jenis pidana denda berbeda dengan jenis pidana lainnya karena pidana selain denda

merupakan pidana perampasan kemerdekaan. Dan ditujukan pada jiwa orang, sedangkan

pidana denda ditujukan pada harta benda si terpidana. Dalam tindak pidana korupsi pidana

denda merupakan pidana wajib dan tidak dapat digantikan dengan jenis pidana lainnya.62

Pada umumnya penerapan pidana uang pengganti dengan pidana denda dilakukan

bersamaan. Pidana uang pengganti digunakan untuk mengembalikan seluruh asset negara

yang hilang, sedangkan pidana denda diterapkan sebagai bentu hukuman tambahan bagi

pelaku tindak pidana korupsi yang apabila tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana

kurungan.

4. Gugatan Secara Perdata

Gugatan perdata sangat perlu dilakukan. Jaksa sebagai pengacara negara perlu

memperbanyak gugatan secara perdata kalau syarat-syarat untuk melakukan gugatan perdata
60
Guntur Rambey, 2016, “Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui
Pembayaran Uang Pengganti dan Denda”, Volume 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara, hlm. 152
61
Internet, 23 Agustus 2020, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/denda
62
Bambang Hartono, 2011, “Analisi Pidana Ganti Kerugian (Denda) Dalam Tindak Pidana Korupsi”,
Volume 2 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung, hlm. 3.
memang sudah cukup terpenuhi. Gugatan yang dilakukan jaksa sebagai pengacara negara

tentunya tidak sekedar hanya untuk memenuhi unsur menggugat, akan tetapi juga harus

memenuhi syarat formil dan materil.63

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 telah diatur pula kemungkinan penggunaan gugatan perdata, yakni dalam Pasal 32,

Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38 huruf c, dalam hal terdakwa atau tersangka meninggal dunia

atau tidak bisa dilanjutkannya penuntutan karena tidak cukup bukti meskipun sudah terdapat

kerugian negara30

Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping

upaya secara pidana, bukan sekedar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum pidana,

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

63
Desky Wibowo, “Pengembalian Aset Negara Melalui Gugatan Perdata dalam Tindak Pidana
Korupsi”, hlm. 4-5.
BAB III

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. PERLINDUNGAN HAK KREDITUR PREFEREN BERITIKAD BAIK TERHADAP

OBYEK JAMINAN TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Jika memperhatikan rumusan pasal 1134 Kuhperdata, dan undang undang lembaga

jaminan (Fidusia, Hak Tanggungan Dan Resi Gudang) Penulis memformulasikan hak

kreditur preferen dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Hak yang diberikan oleh undang undang baik itu didalam Kuhperdata maupun diluar

Kuhperdata

2. Mengenai di utamakan dalam pembayaran pelunasan hutang

3. Mengenai diutamakanya dalam melakukan eksekusi jaminan

Salah satu lembaga jaminan yang memberikan hak preferen kepada pemegangnya

(kreditur) ada pada undang undang Nomor 4 tahun 1996 tentang tentang Hak Tanggungan

atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT).

Hak tanggungan merupakan perjanjian accessoir atau bisa juga disebut perjanjian tambahan

dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pokok. Perjanjian tambahan tersebut

dimaksudkan agar keamanan kreditur lebih terjamin.

UUHT telah memberikan hak preferen terhadap kreditur pemegang jaminan hak

tanggungan berupa kepastian dalam eksekusi jaminan dan diutamakan dalam pelunasan

hutang apabila debitur cidera janji atau wanprestasi. akan tetapi hak tersebut bisa saja

terganggu bahkan hilang apabila objek jaminan tersebut diduga hasil dari korupsi karena

Negara juga mempunyai kewenangan untuk merampas objek jaminan untuk dikembalikan

sebagai ganti kerugian Negara sebagaimana diatur dalam pasla 18 undang undang Nomor 31

tahun 1999 yang telah direvisi dengan undang undang nomor 20 tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi.


Peristiswa jaminan hak tanggungan yang diduga hasil korupsi sebagaimana dimaksud

diatas, telah dialami oleh Bank Panin Tbk sebagai pemegang hak jaminan atas 1 (satu) unit

rumah permanen terletak di Komplek Perumahan Green Yakin Nomor 13, Jalan Ahmad

Yani KM-10,200 Banjarmasin, sebagaimana tersebut dalam Sertifikat Hak Milik

Nomor 01347/Sungai Lakum yang diberikan langsung oleh pemilik tanah tersebut atas nama

Muhammad hasan rahmat. Kemudian objek jaminan tersebut disita oleh penyidik kejaksaan

dan dijadikan barang bukti atas kasus mertuanya yang bernama Subchan SE, dan diputus oleh

pengadilan objek jaminan tersebut dirampas untuk dikembalikan kepada Negara sebagai

pengganti kerugian Negara ternyata dalam putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor

18/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Mdo.

Dengan adanya kasus tersebut membuktikan bahwa objek hak tanggungan dapat

dikenakan putusan perampasan oleh negara, sehingga UUHT tidak dapat memberikan

perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap pemegang jaminan tersebut. Dan akan

mengakibtakan kerugian terhadap pemegang hak tanggungan dikarenakan hak preferenya

hilang menjadi kreditur biasa / konkuren.

Menurut penulis ada beberapa alasan perlindungan kreditur pemegang hak jaminan

yang diputus dirampas oleh pengadilan karena terkait tindak pidana korupsi sebagai berikut :

Pertama : Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3)

UUD 1945. Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan

dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas

hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya

Indonesia sebagai negara hukum harus bisa melindungi dan memberikan kepastian

hukum kepada kreditur preferen yang telah melakukan perbuatan hukum sesuai hukum yang

berlaku dinegara Indonesia. Negara berdasarkan atas hukum harus didasarkan hukum yang
baik dan adil tanpa membeda-bedakan. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum yang adil

adalah hukum yang memenuhi maksud dan tujuan hukum yaitu keadilan. Keadilan dan hukum

ibarat dua sisi mata uang, Hukum dibuat untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan

kemanfaatan. hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai)

jika ia menuju peraturan yang adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara

kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak

mungkin yang menjadi bagiannya. Hukum yang baik dan adil perlu untuk dijunjung tinggi

karena bertujuan untuk melegitimasi kepentingan tertentu, baik kepentingan penguasa, rakyat

maupun kelompok.

Lebih jauh lagi UUD RI 1945 telah mengatur lebih spesifik hak hak yang harus

dilindungi negara diantaranya pada Pasal 28D (1) hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Apa yang

tertuang dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan secara amat jelas dan tegas

bahwa semua orang harus diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan

hukum yang sama tanpa diskriminasi. Sementara kepastian hukum mengamanatkan bahwa

pelaksanaan hukum harus sesuai dengan bunyi pasal-pasalnya dan dilaksanakan secara

konsisten dan profesional.

Menurut Friedrich Julius Stahl konsep negara hukum ditandai oleh empat unsur

pokok:64

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Negara didasarkan pada teori trias politica;

3. Pemerintahan diselengggarakan berdasarkan Undang-undang (wetmatig bertuur );

4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan

melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatig overheidsdaad)

64
Moh.Mahfud MD.1999,hukum dan pilar‐pilar demokrasi, Gama Media, yogjakarta hlm.24
UUD RI 1945 telah mengatur secara spesifik terhadap perlindungan hak asasi manusia

mengenai hak hak kebendaan pada Pasal 28G dan pasal 28H ayat (4) sebagai berikut :

Pasal 28G (1)

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28H (4)

“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil

alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

diaturnya hak asasi manusia dalam konstitusi indonesia menjadi sebuah keharusan bagi negara

untuk melindungi hak asasi manusia tersebut, Menurut Henc Van Maarseven bahwa konstitusi

berfungsi menjawab berbagai persoalan pokok negara dan masyarakat, yaitu: 65

a) Konstitusi menjadi hukum dasar suatu negara.

b) Konstitusi harus merupakan sekumpulan aturan-aturan dasar yang menetapkan

lembaga-lembaga penting negara.

c) Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya.

d) Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban warga negara dan

pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

e) Konstitusi harus mengatur dan membatasi kekuasaan negara dan lembaga-lembaga-

nya.

f) Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa.

g) Konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dan masyarakat.

65
Harahap, Krisna. 2008. Hukum Acara Perdata. Bandung: Grafiti Budi Utami.h.179
Kedua : Melakukan hubungan hukum di dasar itikad baik, menurut Prof. Subekti, SH

merumuskan itikad baik sebagai berikut:“Itikad baik diwaktu membuat suatu perjanjian

berarti kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak

lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang

dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan”.66

Menurut Wirjono Prodjodikoro, membagi itikhad baik menjadi 2 macam yaitu :67

1) Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini

biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang

diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah dipenuhi.

2) Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban termaktub

dalam hubungan hukum itu.

Menurut penulis itikad baik bisa tafsirkan dengan menghubungkan pendapat para ahli

diatas dengan pasal 1339 Kuhperdata disebutkan:

“suatu perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya,

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang”.

Para pihak yang sedang berada dalam tahap pra kontraktual dan sedang bernegosiasi

untuk memperoleh kata sepakat, masing-masing mempunyai kewajiban-kewajiban yang

didasarkan pada itikad baik (kepatutan), yang pertama Kewajiban untuk meriksa hal hal yang

menjadi dasar perjanjian yang kedua kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan

sesuatu yang dianggap penting sehingga tidak muncul dikemudian hari masalah masalah

yang akan menghambat perjanjian. Misalkan saja dalam perjanjian kredit, debitur

berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting

berkenan dengan obyek/perjanjian itu, yang dapat membantu kreditur untuk mengambil

66
Subekti,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,(Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2009).
67
Prodjodikoro Wirjono, 1992. Asas-asas Hukum Perdata,Sumur, Bandung H.56-62
keputusan untuk memberikan kredit tersebut sedangkan kreditur berkewajiban untuk

memeriksa obyek jaminan tersebut apakah ada cacatnya atau tidak, apakah ada rencana

pemerintah yang akan berpengaruh terhadap benda tersebut. Kewajiban untuk

memberitahukan dan memeriksa itu harus dilandasi itikad baik.

Penulis menafsirkan kata kebiasaan dalam 1339 Kuhperdata dengan cara melihat

bagaimana bank atau nonbank pada umunya memberikan sebuah kredit kepada debitur. Pada

biasanya kreditur harus memastikan syarat sahnya perjanjian terpenuhi 1320 Kuhperdata, dan

juga bank mempunyai kewajiban yang diperintahkan undang undang nomor 10 tahun 1998

tentang perbankan untuk bertindak atas dasar prinsip kehati hatian. Pada umunya bank dalam

memberikan kredit untuk mendapat kenyakinan terhadap debitur akan menganalisis dengan

menerapkan prinsip analisa 5C yang meliputi Character, Capacity, Collateral, Capital, dan

Condition of economi. Terkait dengan collateral atau jaminan apakah kreditur berkewajiban

menelusuri bagaimana pemilik hak tersebut memperoleh barang yang akan dijadikan objek

tersebut. Menurut penulis tidak ada kewajiban bagi kreditur untuk mengetahui sampai

ketahap bagaimana orang tersebut memperoleh barang yang akan dijadikan jaminan, cukup

mengetahui dasar hak yang dia miliki seperti sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN dan

kreditur berkewajiban untuk mengecek sertifikat tersebut kepada BPN, tentang keaslian

seertikat, dan apakah ada blokir atau tidak terhadap sertifikat.

Selanjutnya pasal 1339 mengaharuskan perjanjian tunduk kepada undang undang

yang berlaku dengan cara dari awal sampai akhir perjanjian harus dilaksanakan dengan dasar

undang undang salah satu contoh perjanjian jaminan barang tidak bergerak berupa tanah

harus dibuat dihadapan pejabat yang berwenang (PPAT/Notaris) dan ini selaras dengan
Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN) itikad baik hendaknya diartikan sebagai :68

d) Kejujuran pada waktu membuat kontrak

e) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat dihadapan pejabat, para

pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan

keberatannya).

f) Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik

terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam

kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam

pelaksanaan kontrak tersebut

Ketiga , Tujuan dari UUHT adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap para pihak

dalam melakukan perjanjian jaminan, itu terlihat jelas didalam pertimbangan UUHT. “bahwa69

dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang

ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak

jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang

berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”

Menurut penulis kalau tidak ada kepastian hukum dan perlindungan hak didalam

pemberian kredit yang dijaminkan khusunya dengan hak tanggungan maka para pemilik

modal dari luar maupun dalam negeri akan takut berinvestasi didunia perbankan karena negara

bisa sewenang wenang dalam merampas objek jaminan yang terkait dengan tindak pidana

korupsi yang diberikan kepada bank walaupun bank tersebut sudah melaksanakan aturan yang

68
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), 1981. Simposium Hukum Perdata Nasional, Kerjasama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21-23
Desember 1981.
69
Pertimbangan huruf a pembentukan undang undang hak tanggungan
ada dalam arti lain telah beritikad baik. Padahal tujuan dari undang undang hak tanggungan

adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada kreditur terhadap kredit yang

diberikannya.

Dengan adanya kepastian hukum dapat memberikan perlindungan hukum kepada

pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam UUHT, perlindungan kreditur pemegang Hak

Tanggungan diimplementasikan melalui asas-asas dan ciri-ciri Hak Tanggungan yang tersebar

dalam pasal-pasal dan penjelasan UUHT. Dalam pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1), telah

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya (droit de preference), yaitu:

Pasal 1angka 1 : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-

benda lain yang merupakan satu kesa-tuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-

kreditor lain;

Pasal 20 ayat (1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan

umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tang-gungan dengan hak mendahulu dari

pada kreditor-kreditor lainnya.

Pasal 14
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan

sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah

dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA".

(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte

Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

Keempat : adalah perlindungan hukum yang diatur dalam undang undang Tipikor, didalam

undang undang Tipikor pada pasal 19 telah jelas perlindungan hak dan hukum pihak ketiga

telah di atur , adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:

1. Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan

terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan

dirugikan.

2. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk

juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut

dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam

waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang

terbuka untuk umum.

3. Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak

menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

Menurut penulis didalam pasal ini telah dengan tegas memberikan perlindungan dan

kepastian hukum terhadap barang pihak ketiga bahwa negara tidak boleh merampas barang

milik pihak ketiga yang beritikad baik.


Kelima : Sesuai Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI No.1731 K/Pdt/2011 tanggal 14

Desember 2011 ditegaskan bahwa obyek jaminan kredit yang telah dibebani hak tanggungan

yang telah diterbitkan sertifakat hak tanggungan memiliki hak dan kepentingan yang melekat

dan harus mendapat perlindungan hukum, sebagaimana tersebut dalam kaedah hukumnya

sebagai berikut :

“Suatu obyek sengketa dalam perkara a quo yang telah diletakkan sertifikat hak tanggungan

menjadi hak utama bagi pemegang hak tanggungan untuk dijadikan pelunasan kewajiban

hukum debitur, oleh karena hak debitur atas obyek hak tanggungan dipandang secara hukum

berpindah kepada pemegang hak tanggungan (kreditur) Oleh karena itu kreditur mempunyai

hak istimewa atas penjualan obyek hak tanggungan untuk pelunasan kewajiban hukum

debitur adalah harus dilindungi oleh hukum”.

Didalam yurisprudensi ini menegaskan bahwa objek hak tanggungan tidak dapat

dikenakan sita eksekusi oleh pengadilan. Kepentingan pemegang hak tanggungan

didahulukan dari pada kepentingan yang lain karena telah dilindungi oleh hukum dalam

penjaminnanya.

3.1.1. Pertimbangan Hakim Dalam Membatalkan Penetapan Penyitaan Objek

Jaminan Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah

Agung Nomor 2701 K/Pdt/2017

Berdasarkan putusan di atas dapat dilihat pertimbangan hakim membatalkan

penetapan penyitaan dan putusan perampasan objek jaminan yang terkait dengan tindak

pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1. Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah
meneliti dengan seksama memori kasasi tanggal 30 Januari 2017 dan kontra
memori kasasi tanggal 29 Maret 2017, dihubungkan dengan pertimbangan Judex
Facti Pengadilan Tinggi Manado yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Bitung tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
2. Bahwa objek sengketa bukanlah milik Subchan, S.E., (terdakwa dalam perkara
tindak pidana Korupsi), karena telah dibeli oleh Terlawan II/Mohammad Hasan
Rahmat dari isteri Subhan, S.E., dengan membayar sisa angsuran sebesar
Rp105.750.000,- (seratus lima juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) kepada PT
Awang Sejahtera Permai dan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada
isteri Subchan, S.E., sebagai pelunasan, yang mana uang sebesar Rp105.750.000,00
(seratus lima juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) tersebut merupakan pinjaman Terlawan II kepada Pelawan
(bank Panin) dengan jaminan tanah objek sengketa dan telah dibebani dengan Hak
Tanggungan, lagi pula Terlawan I juga tidak dapat membuktikan bahwa objek
sengketa berasal dari timdak pidana korupsi;
3. Bahwa sesuai Sertifikat Hak Tanggungan I Nomor 00376/2013 juncto Akta
Pemberian Hak Tanggungan Nomor 008/2013, tanggal 8 Januari 2013, yang
memakai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan
perolehan haknya bersumber dari pembiayaan fasilitas Kredit Investasi Retail (KIR)
dari Pelawan, maka penyitaan yang dilakukan Terlawan I berdasarkan Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Bitung Nomor 60/Pen.Pid/2014/PN.Btg., tanggal 3 April
2014 tersebut sangat merugikan Pelawan sebagai lembaga keuangan publik, dan
karena itu cukup alasan agar Penyitaan maupun Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
Bitung a quo bertentangan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
juncto Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan demikian cukup alasan agar penyitaan
juncto Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bitung Nomor 60/Pen.Pid/2014/PN.Btg.,
tanggal 3 April 2014 tersebut untuk dinyatakan tidak memiliki kekuatan dan tidak
sah;
4. Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal tersebut tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan
dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum,
adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, atau apabila
Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Penulis menilai, yang benar-benar menjadi poin krusial terdapat pada nomor 2

dan 3, karena pada kedua poin tersebut terungkap fakta fakta yang mendukung terhadap

pembatalan penetapan penyitaan oeh pengadilan terhadap objek jaminan yang diduga hasil

korupsi.

Fakta yang pertama adalah objek penyitaan yang terkait dengan tindak pidana korupsi

tersebut pada awalnya memang diperoleh dari hasil korupsi yang dilakukan terdakwa
Subchan S.E dengan cara proses jual beli antara istri terdakwa, Rusline Subchan dengan

developer, PT Awang Sejahtera Permai, akan tetapi objek penyitaan tersebut kemudian dijual

kembali kepada menantunya, Muhammad Hasan Rahmat dengan cara pembayaran

menggunakan pembiayaan kredit dari Bank Panin dengan jaminan objek penyitaan tersebut.

Menurut penulis dengan adanya hubungan hukum berupa jual beli antara istri

terdakwa dan menantunya maka objek tersebut telah bebas dari keterkaitan tindak pidana

korupsi dikarenakan secara yuridis hak atas objek tersebut telah beralih kepada menantunya

dan uang hasil korupsi yang pertama kali digunakan untuk membeli objek penyitaan telah

dibayar kembali kepada istri terdakwa melalui pembiayaan yang diberikan Bank Panin oleh

karena itu, yang patut bertanggung jawab didalam pengembalian kerugian negara sesuai

dengan tujuan undang undang Tipikor berada pada terdakwa dan istrinya. Sehingga objek

tersebut harus dipandang bersih dari keterkaitan tindak pidana korupsi serta tindak memenuhi

ketentuan Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga

diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;

2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau

untuk mempersiapkannya;

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan

Fakta kedua adalah objek penyitaan tersebut telah dibebani hak tanggungan yang

mana hak hak pemegang hak tanggungan telah dilindungi oleh undang undang nomor 4 tahun

1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan

Tanah, oleh karena itu, menurut penulis kalau objek hak tanggungan tersebut tetap disita oleh

penyidik maka akan terjadi adanya ketidakpastian hukum didalam pembebanan jaminan hak
tanggungan. Sehingga tujuan hukum untuk menciptakan kepastian hukum tidak akan

tercapai.

3.2. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Kreditur Preferen Beritikad Baik Terhadap

Obyek Jaminan Terkait Dengan Tindak Pidana Korupsi.

Apabila terjadi penyitaan dan perampasan obyek jaminan hak tanggungan, akibat

yang ditimbulkan adalah kerugian bagi kreditur sebagai pemegang jaminan hak tanggungan,

karena objek jaminan yang menjadi jaminan utang dari debitur selaku pemberi hak

tanggungan dirampas oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap (incracht van recht) yang menyebabkan kreditur tidak mempunyai jaminan

utang yang pasti dan hak tanggungan tersebut tidak dapat dieksekusi ketika debitur tidak

dapat melakukan pelunasan terhadap utang-utangnya. Perampasan objek jaminan hak

tanggungan memberikan konsekuensi yuridis yang merugikan penerima hak tanggungan

karena peralihan obyek hak tanggungan menyebabkan hilangnya hak kepemilikan yang

dimiliki kreditur untuk mengeksekusi benda tersebut serta kedudukan benda yang dirampas

negara menjadi milik negara dan benda tersebut tidak dapat dipergunakan oleh siapapun

sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP.

Terkait obyek jaminan hak tanggungan yang dirampas negara, tidak ada ketentuan

yang mengatur mengenai hal tersebut. Perampasan obyek hak tanggungan tersebut tidak

menyebabkan hapusnya jaminan hak tanggungan, dimana hapusnya jaminan hak tanggungan

diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa :

Jaminan Hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :

a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua

Pengadilan Negeri;

d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.


Adapun upaya upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur preferen yang beritikad baik untuk

melindungi hak nya antara lain :

1. Pihak Ketiga Beritikad Baik Mengajukan Keberatan Terhadap Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menegaskan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat

keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Upaya untuk menjabarkan ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui

amandemen UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI)

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional

tentang HAM. Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, Bab X A yang bersikan pasal 28 A s.d

28 J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci lagi. Salah satu

pengaturan di dalam ketentuan UURI No 39 tahun 1999 adalah hak memperoleh keadilan

(misalnya hak : kepastian hukum, persamaan di depan hukum).

Pengaturan upaya keberatan di dalam Pasal 19 UURI No 31 tahun 1999 Jo UU No 20

tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah manifestasi Negara telah

melakukan tugas dan kewajibannya dalam rangka melindungi hak hak warga negara di

bidang penegakan hukum. Keberatan atas putusan pengadilan tentang perampasan barang

bukti adalah sarana baru bagi pihak ketiga untuk mendapatkan keadilan. Keadilan dari

perspektif prosedural, sesungguhnya negara telah memberikan intrumen hukumnya yaitu

melalui sarana keberatan. Namun dalam kenyataannya, apakah sarana baru berupa keberatan

tersebut digunakan oleh pihak ketiga atau tidak, merupakan hak dari pihak ketiga selaku

warga negara. Dari perspektif keadilan numerik sebagaimana yang kemukakan oleh

Aristoteles dimaknai sebagai kesamaan dalam hukum dan pemerintahan.


Pemaparan yang dikemukakan diatas, telah mencerminkan bahwa sesungguhnya

penegakkan hukum yang berkeadilan telah menegakkan sebagian kecil dari Hak Asasi

Manusia itu sendiri. Penegakkan hukum bagi pihak ketiga yang mengajukan keberatan atas

putusan pengadilan tentang perampasan barang bukti dilaksanakan oleh Hakim dengan

penetapan atau putusan yang progresif dengan mengedepankan tujuan hukum yaitu keadilan

adalah wujud nyata negara telah menegakkan Hak Asasi Manusia dari perspektif UU No 39

tahun 1999.

Berbicara tentang upaya hukum atau mekanisme atau tata cara pemeriksaan upaya

keberatan, sama halnya dengan upaya-upaya hukum lainnya, harus mengacu pada Hukum

Acara.

Hukum Acara menurut R.Soeroso adalah :

“kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari

kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum

materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi

kepada hukum materiil”

Demikian pula menurut Moeljatno memberikan batasan tentang pengertian hukum

formil (hukum acara) adalah:

“hukum yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiel (hukum pidana), dan hukum

acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/

mempertahankan hukum pidana materiil”

Ketentuan Pasal 19 ayat 2 Undang undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No 20

tahun 2001 tentang perubahaan atas Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi menyebutkan :

1. Putusan pengadilan mengenai perampasan barang barang bukan kepunyaan

terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak hak ketiga beritikad baik akan dirugikan.
2. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 termasuk juga

barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut

dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam

waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan disidang

terbuka untuk umum

Praktek Peradilan ditemukan terdapat beragam penafsiran tentang ketentuan Pasal 19

ayat 2 Undang-undang No 31 tahun 1999 Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah

dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang perubahaan atas UndangUndang No 31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penasiran pertama bahwa

terminologi keberatan dimaksudkan adalah sama dan sejiwa dengan upaya gugatan dalam

perkara perdata. Penafsiran kedua adalah terminologi keberatan adalah sama dengan upaya

Praperadilan dalam KUHAP tetapi tata cara pemeriksaan seperti dalam hukum acara perdata

(quasi perdata), sehingga keberatan disini tunduk pada ranah hukum acara pidana.70

Upaya dan tata cara pengajuan keberatan atas putusan pengadilan tentang perampasan

barang dapat dikontruksikan sebagai berikut :71

1) Pemohon keberatan mengajukan surat keberatan kepada Ketua Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Palu yang dibuat sekurang

kurangnya 3 rangkap.

2) Surat Permohonan keberatan di daftar dalam buku register yang dibuat tersendiri,

terpisah dari buku induk register perkara tindak pidana korupsi, karena belum ada

form baku atau petunjuk dari Mahkamah Agung sebagaimana buku register induk

perkara lainnya dan diberikan nomor perkara yaitu No,,,,,,,,,,,,,,,,,/ keberatan/Pid.Sus-

TPK/tahun /PN.......

70
Muhammad Nur Ibrahim,Mei,2016, Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Terhadap Keberatan Putusan
Pengadilan Dalam Perkara Korupsi” ejurnal katalogis hlm 217-228
71
Ibid hlm 217-228
3) Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Palu menunjuk

Hakim yang memeriksa dan memutus perkara permohonan keberatan dengan susunan

3 orang hakim yang terdiri atas Hakim tindak pidana korupsi (semuanya Hakim karir)

dan Panitera Pengadilan menetapkan Panitera Pengganti untuk membantu Hakim

dalam membuat risalah persidangan dalam bentuk Berita Acara Persidangan

4) Hakim Ketua Majelis membuat penetapan hari sidang dan memerintahkan jutu sita

pengadilan untuk memanggil para pihak yaitu pemohon keberatan dan termohon

keberatan yaitu Penuntut Umum atau pihak yang berkepentingan lainnya;

5) Persidangan pertama Pemohon dan berkepentingan lainnya hadir, maka persidangan

dilanjutkan dengan pembacaan surat pemohonan keberatan, apabila salah satu pihak

tidak hadir, maka persidangan ditunda dengan melakukan pemanggilan kembali

kepada para pihak yang tidak hadir dengan meneliti secara seksama relaas panggilan

apakah telah dilakukan pemanggilan secara sah dan patut. Apabila Pemohon telah

dipanggil secara sah dan patut tidak hadir tanpa alasan yang sah maka hakim akan

menjatuhkan penetapan gugur dan apabila pada persidangan selanjutnya, Pemohon

hadir sedangkan Termohon tidak hadir padahal yang bersangkutan telah dipanggil

secara sah dan patut akan tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka Hakim akan

menjatuhkan penetapan dengan verstek (tanpa kehadiran termohon).

6) Apabila Pemohon dan Termohon hadir persidangan dilanjutkan dengan pembacaan

surat permohonan keberatan, selanjutnya tanggapan atau jawaban dari Termohon,

replik dan duplik.

7) Pembuktian dari Pemohon dan Termohon baik alat bukti surat maupun saksi.

8) Kesimpulan (conclusi).

9) Musyawarah Hakim dan Penetapan.

2. Upaya Hukum Luar Biasa Derden Verzet (Perlawan Pihak Ketiga)


Derden Verzet merupakan upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan

pihak yang beperkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda

yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/ sedang disita atau

akan/sedang dijual, lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang

tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan milik

tergugat.72

Secara yuridis, perlawanan pihak ketiga (derden verzet) merupakan bagian dari pada

upaya hukum luar biasa dalam lapangan hukum acara perdata, yang merupakan suatu

perlawanan terhadap sita, baik sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindikasi

(revindicatoir beslag) atau sita eksekusi (executorial beslag).

Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita yang dilakukan oleh

Pengadilan, pada dasarnya hanya dapat diajukan atas dasar hak milik. Namun setelah adanya

hasil Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2007 di Makassar,

menyimpulkan bahwa selain pemilik barang yang disita, maka bagi penyewa atau pun

pemegang hak seperti hak tanggungan, juga berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap

sita yang telah diletakan oleh pengadilan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa perlawanan pihak ketiga mempunyai arti

yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim

yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang

bersangkutan dengan cara biasa.73 Selain dari pada itu Moh. Taufik Makarao berpendapat

bahwa yang dimaksud dengan perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan

orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa

berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda

tersebut akan/sedang disita atau akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk

72
M. Yahya Harahap, S.H. 2009. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta hlm 299
73
Sudikno Mertokusumo, 2002Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, , hlm. 237.
mempertahankan benda atau barang tersebut dengan alasan bahwa benda atau barang tersebut

adalah miliknya bukan milik tergugat. 74

Upaya hukum derden verzet secara yuridis digunakan untuk melawan putusan hakim,

baik putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maupun

perkara yang sedang dalam proses, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 206 ayat (6)

Rbg yang menyatakan bahwa:

“Perlawanan, juga yang datang dari pihak ketiga, berdasarkan hak milik yang diakui olehnya

yang disita untuk pelaksanaan putusan, juga semua sengketa mengenai upaya-upaya paksa

yang diperintahkan, diadili oleh pengadilan negeri yang mempunyai wilayah hukum di mana

dilakukan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan keputusan hakim.”

Salah satu syarat agar perlawanan dapat dipertimbangkan sebagai alasan untuk

menunda eksekusi, harus diajukan ‘sebelum’ eksekusi dijalankan. Kalau eksekusi sudah

dijalankan, tidak ada relevansinya untuk menunda eksekusi. Lagi pula menurut yurisprudensi

pun, seperti dalam Putusan MA tanggal 31 Agustus 1977 No. 697 K/Sip/1974, ditegaskan

tentang formalitas pengajuan perlawanan terhadap eksekusi harus diajukan sebelum

penjualan lelang dijalankan (sebelum eksekusi dijalankan). Kalau eksekusi sudah selesai

dijalankan, upaya yang dapat diajukan pihak ketiga untuk membatalkan eksekusi harus

melalui ‘gugatan’.75

Adapun mengenai ketentuan hukum acara yang membahas tentang perlawanan pihak

ketiga ini masuk pada bagian menjalankan putusan sebagaimanaketentuan Pasal 195 ayat (6)

dan (7) HIR menyatakan bahwa:

Ayat (6) Perlawanan terhadap putusan juga dari orang lain yang menyatakan barang

yang disita itu miliknya serta diadili seperti semua perselisihan tentang upaya paksa yang

75
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Op. Cit, hlm.314-315.
diperintahkan oleh Pengadilan (Negeri/Agama) yang dalam daerah hukumnya terjadi

pelaksanaan putusan itu.

Ayat (7) Perselisihan yang timbul dan putusan tentang perselisihan itu harus tiap-tiap

kali selekas-lekasnya diberitahukan dengan surat oleh Ketua Pengadilan (Negeri/Agama) itu

kepada Ketua Pengadilan yang semula memeriksa perkara itu.

Dari ketentuan Pasal 206 ayat (6) Rbg dan Pasal 195 HIR ayat (6) dan (7) tersebut di

atas dapat dipahami bahwa:

a. Pelaksanaan putusan pengadilan, dapat berupa penyitaan barang-barang atau tindakan

tindakan pelaksanaan lainnya.

b. Atas penyitaan atau tindakan pelaksanaan lainnya tersebut mungkin yang bersangkutan

atau pihak ketiga tidak menerima/keberatan dan mengajukan verzet (perlawanan).

c. Jika ada perlawanan terhadap sita/eksekusi yang dilakukan dengan pendelegasian, maka

derden verzet ini diajukan kepada Pengadilan (Negeri/Agama) yang malakukan tindakan

penyitaan/eksekusi itu, jadi bukan diajukan kepada Pengadilan yang memutus perkara

semula.

d. Pengadilan yang melaksanakan penyitaan/eksekusi wajib memeriksa dan memutus soal

derden verzet tersebut.

e. Jika timbul derden verzet seperti tercantum pada ayat (6) tersebut, maka Ketua

pengadilan yang menerima perlawanan tersebut, harus memberitahukan secara tertulis

kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara pokoknya.

f. Demikian pula halnya Jika Pengadilan yang menerima perlawanan tersebut telah

memberi putusan dalam verzet itu, harus memberitahukan putusannya kepada ketua

Pengadilan yang minta bantuan padanya yang memutus perkara pokoknya.


g. Jika ada banding terhadap putusan mengenai derden verzet tersebut, maka berlaku

peraturan tentang banding atas perkara lainnya.

Menurut penulis setelah membaca uraian di atas, PT Bank Panin Tbk untuk

melindungi haknya sebagai kreditur preferen beritikad baik yang objek jaminannya disita

telah melakukan upaya hukum perlawanan (derden verzet) Terhadap Penetapan Ketua

Pengadilan Negeri Bitung Nomor 60/Pen.Pid/2014/PN.Btg. tanggal 3 April 2014.

3. Gugatan Perdata Terhadap Debitur

Penyitaan objek hak tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap kreditur

selaku pemegang hak tanggungan karena status hukum objek hak tanggungan tersebut telah

beralih kepemilikannya untuk sementara kepada negara. Salah satu upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh kreditur dengan mengajukan gugatan perdata terhadap debitur pemberi hak

tanggungan berdasarkan Pasal 1131 Kuhperdata

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun

yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perikatan perorangan debitur itu”

Perjanjian kredit merupakan bukti telah adanya perikatan antara kreditur dan debitur

karena itu bila debitur tidak melaksanakan prestasi, dimana prestasi yang dimaksud adalah

memberikan jaminan pengganti senilai objek jaminan yang telah dirampas oleh negara

karena terkait korupsi maka kreditur dapat menuntut pemenuhan perikatan.

Upaya kreditur untuk menuntut prestasi debitur harus didahului dengan memberikan

somasi yaitu suatu teguran agar debitur berprestasi. Perikatan yang dibuat menjadi matang

untuk ditagih dan lewatnya tenggang waktu yang diberikan dalam somasi karena debitur

dalam keadaan lalai dan wanprestasi.76 Apabila setelah diberi somasi, debitur tetap tidak

76
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya ( Bandung: Alumni, 1998), hlm 136
melakukan pemenuhan prestasi, maka kreditur dapat menindaklanjutinya dengan

mengajukan gugatan ke Pengadilan (in court settlement).

Berdasarkan uraian tersebut PT. Bank Panin Tbk dapat melakukan penuntutan

prestasi terhadap objek jaminan hak tanggungan yang di sita dan dirampas oleh negara

kepada debitur, Muhammad Hasan Rahmat untuk mengganti jaminan dengan jaminan yang

lain.

4. Mediasi

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah sengketa yaitu

melalui proses Mediasi. Mediasi merupakan salah satu pilihan alternative yang digunakan

pada saat sengketa yang terjadi antara nasabah dan bank tidak dapat diselesaikan. Ciri utama

mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau consensus.

Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang berkembang pesat di

berbagai belahan dunia sejak tiga dasawarsa terakhir. Penggunaan mediasi tidak hanya

dilakukan di luar pengadilan oleh lembaga swasta dan swadaya masyarakat, tetapi juga

terintegrasi dalam sistem peradilan. Perkembangan mediasi merupakan hal yang

menggembirakan di tengah mandeknya mekanisme peradilan di dunia.77

Mediasi Perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator

untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk

kesepakatan sukarela terhadap sebagian maupun seluruh permasalahan yang disengketakan.

Di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 pada bagian menimbang

tertulis “Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat

77
Fatahillah A. Syukur, 2012, Mediasi Yudisial Di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h.1
dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan

penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.”

Dengan demikian, dalam sengketa yang salah satu pihaknya lebih kuat dan cenderung

menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk

menyetarakannya. Kesepakatan yang dicapai melalui mediasi karena para pihak yang

bersengketa berhasil mencapai saling pengertian. Mereka bersama sama merumuskan

penyelesaian sengketa tanpa arahan konkret dari pihak ketiga (mediator). Kekuatan mengikat

dari hasil mediasi sama dengan sebuah perjanjian karena dibuat berdasarkan kesepakatan

bebas para pihak. Untuk itu, wajib dilaksanakan dengan penuh itikad baik.78

Modal utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan iktikad baik para pihak

dalam mengakhiri persengketaan mereka. Keinginan dan iktikad baik ini, kadang-kadang

memerlukan bantuan pihak ketiga dalam perwujudannya. Mediasi merupakan salah satu

bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Adapun beberapa karakteristik

dari mediasi adalah sebagai berikut :

1. Interest accommodation/interest based-problem solving, penyelesaian sengketa

didasarkan pada terakomodasinya kepetingan-kepentingan pihak pihak yang

bersengketa. Mekanisme ini lebih mengutamakan persamaan dari pada perbedaan.

2. Voluntary and consensual, kesediaan para pihak untuk menyelesaikan sengketa

dengan menempuh melalui mediasi bersifat sukarela dan telah disepakati oleh pihak

yang bersengketa.

3. Procedural flexibility, prosedur yang ditempuh dalam proses untuk mencapai

kesepakatan bersifat informal, mudah, tidak ada suatu proses yang baku atau standar

yang harus diterapkan seperti dalam proses litigasi di pengadilan atau arbitrase. Pada

mediasi, prosedurnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersengketa dengan dibantu

oleh Mediator.

78
Khotibul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h..11
4. Norm creating, penyelesaian sengketa tidak harus mengacu pada norma hukum privat

yang berlaku atau pada isi perjanjian atau kontrak yang menjadi pokok sengketa. Di

dalam mekanisme ini para pihak dengan dibantu mediator dapat membangun norma-

norma baru yang disepakati para pihak sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa

mereka.

5. Person-centered, untuk dapat mencapai kesepakatan sangat tergantung dari kemauan

yang serius atau itikad baik dari para pihak untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan

tidak akan tercapai apabila dalam diri masing masing pihak masih ada keengganan

untuk melanjutkan kerjasama.

6. Relationship-oriented, mekanisme mediasi dilaksanakan dalam hal para pihak yang

bersengketa masih saling menghargai atau setidaknya menilai bahwa hubungan bisnis

atau kerjasama diantara mereka masih bisa untuk dilanjutkan.

7. Future focus, mediasi berfokus untuk mencapai kesepakatan karena para pihak

memahami bahwa jika konflik terus berlanjut maka para pihak akan mengalami

kerugian.

8. Private and confidential, sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme mediasi

adalah terutama dalam wilayah sengketa pribadi yang tunduk pada hukum perdata

atau dagang.79

Penyelesaian perkara antara PT Bank Panin Tbk dan kejaksaan pada putusan

Pengadilan Negeri Bitung nomor 70/ Pdt. BTH / 2015/ PN.Bit telah diperintahkan oleh

majelis hakim agar mengupayakan penyelesaian perkara secara mediasi sebagaimana ternyata

“Menimbang, bahwa dalam rangkaian upaya perdamaian bagi para pihak, telah

diperintahkan oleh Majelis Hakim agar mengupayakan penyelesaian perkara secara

79
Arus Akbar Silondae dan Andi Farian Fathoeddin, 2010, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis, Mitra
Wacana Media, Jakarta, h. 89
mediasi dengan memilih mediator sebagaimana terdaftar di Pengadilan Negeri Bitung,

namun upaya perdamaian melalui mediasi yang dilakukan oleh mediator yaitu Hakim

ANTHONIE S. MONA, SH ., sebagaimana dituangkan dalam laporan mediator

tertanggal 18 September 2015, ternyata tidak berhasil, maka acara persidangan

dilanjutkan dengan pembacaan surat Perlawanan Pelawan diatas dan dengan tanpa

perubahan yang isinya tetap dipertahankan oleh Pelawan”

5. Negosiasi

Istilah negosiasi berasal bahasa Inggris “negotiation”, dalam pengertian secara umum

negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan cara berunding untuk mencapai kesepakatan

kedua belah pihak.

Menurut ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga

kemungkinan wujud prestasi, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat

sesuatu. Jika dikemudian hari debitur tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti telah

ditetapkan dalam perikatan maka debitur dapat dikatakan wanprestasi.

Pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2701

K/Pdt/2017. PT Bank Panin Tbk bisa memanggil debitur Muhammad Hasan Rahmat untuk

melakukan negosiasi terkait jaminan hak tanggungan yang telah mendapatkan putusan

dirampas oleh negara sebagai ganti dari kerugian negara. PT. Bank Panin Tbk meminta

pengganti objek jaminan dengan jaminan yang lain dan membebankan hak tanggungan pada

jaminan yang baru tersebut, biasanya atas perubahan objek jaminan dalam perjanjian kredit.

Kreditur akan melakukan perubahan pada perjanjian pengikatan jaminanya.


BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

4.1.1. Perlindungan hak Kreditur Bank Panin sebagai pemegang hak jaminan yang disita dan

diputus dirampas oleh pengadilan tetap mendapatkan perlindungan hukum sesuai

hukum yang berlaku. Beberapa alasan yang mengakibatkan penyitaan dibatalkan sesuai

pertimbangan hakim pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2701 K/Pdt/2017 karena

objek jaminan yang diduga hasil korupsi sudah berpindah haknya sebab hubungan

hukum yang sah serta jaksa tidak bisa membuktikan objek jaminan tersebut hasil dari

tindak pidana korupsi dan penyitaan tersebut bertentangan dengan undang undang

nomor 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah.

4.1.2. Adapun upaya upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur preferen beritikad baik untuk

melindungi hak nya diantaranya pertama Pihak Ketiga Beritikad Baik Mengajukan

Keberatan Terhadap Putusan pengadilan Tipikor sesuai dengan pasal 19 ayat (2)

undang undang tipikor. Kedua Upaya Hukum Luar Biasa Derden Verzet (Perlawan

Pihak Ketiga) ketiga Gugatan Perdata Terhadap Debitur berdasarkan pasal 1131

Kuhperdata, keempat Mediasi, dan Negosiasi.


DAFAR PUSTAKA

Agus Yudha Hernoko. 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Alfitra, 2011 Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdana dan Korupsi di

Indonesia, (Jakarta, Raih Asa Sukses,

Andi Hamzah, 1991, Korupsi di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,

Anton Suyanto, 2016, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui

Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, Jakarta :

Kencana,.

Arie. S. Hutagalung, 2002, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu

Kumpulan Karangan, Cetakan Kedua, Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia,

Arus Akbar Silondae dan Andi Farian Fathoeddin, 2010, Aspek Hukum Dalam Ekonomi

dan Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti,

Cholid Narbuko, 2002, Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara

Daeng Naja.2009. Pengantar Hukum Bisnis Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia

Djoni S. Ghozali, Rachmadi Usman, 2010 “Hukum Perbankan” (Jakarta : Sinar Grafika.

Fatahillah A. Syukur, 2012, Mediasi Yudisial Di Indonesia, Penerbit Mandar Maju,

Bandung.

Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang- undang

Pokok Agraria Jilid I, Jakarta, Djembatan,

Hartanti, Evi, 2009 Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika.

Henny Tanuwidjaja,2012, Pranata Hukum Jaminan Utang Dan Sejarah Lembaga

Hukum Notariat, bandung, PT.Refika Aditama.


J. Satrio, 1998, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya ,Bandung: Alumni,.

Khotibul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta,

Kasmir, 2004 Manajemen Perbankan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005 Hak Tanggungan Jakarta : Penerbit Kencana

Prenada Media Group

M. Yahya Harahap, S.H. 2009. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta

Mariam Darus Badrulzaman. 1991 Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia.

Bandung: PT. Citra Aditia Bakti,

Munir Fuady. 1998, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti,

Muhammad Yunus, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi Di

Indoesia, Kompas, Jakarta,

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

Muljadi & Widjaja. 2002, Perikatan yang lahir dari perjanjian. Jakarta : Raja Grafindo

Persada

Philipus M. Hadjon. 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT.

Bina Ilmu,

Purnamasari, Irma devita. 2011, Hukum jaminan perbankan. Bandung : Kaifa,

Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV, Jakarta:

Gramedia.

Roscoe Pounds dalam Bernard L. Tanya, 2006, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya : CV.Kita,

Roni Hanitjo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia

Indonesia,
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta PT. Raja Grafindo

Persada,

Soetijono, 2003, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Universitas 11

Maret Surakarta,

Soerjono Soekanto, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

Sugiono, 2015, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta,

Soerjono Soekanto, 1998, Metodologi Research, Yogyakarta, Andi Offset,

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan

Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-

Undang Hak Tanggungan Bandung : Alumni,

Yunara, Edi, 2012 , Korupsi & Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung, PT.Citra

Aditya Bakti,

Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

Jurnal

Bambang Hartono, 2011, “Analisi Pidana Ganti Kerugian (Denda) Dalam Tindak

Pidana Korupsi”, Volume 2 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung,

Guntur Rambey, 2016, “Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

Melalui Pembayaran Uang Pengganti dan Denda”, Volume 1 No. 1, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Muhammad Nur Ibrahim,Mei,2016,

Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Terhadap Keberatan Putusan Pengadilan Dalam

Perkara Korupsi” ejurnal katalogis

Internet

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/denda Internet, 23 Agustus 2020,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt555a43bea9b65/status- objekhak-

tanggungan-yang-dirampas-oleh-negara/diakses tanggal 14 agustus pukul 23:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai