Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

“Waralaba Dalam Perspektif Hukum”

Dosen Pengampu: Rahma Fitri, S.H., M.H.

Candra Irawan, Dr., S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Nama: Metina Anjelina

Npm: B1A019442

Kelas: Transaksi Bisnis Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BENGKULU

2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A Latar belakang.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Perjanjian waralaba sesuai dengan peraturan perundang-undangan.......4

B. Perlindungan hukum terhadap para pihak dalam Perjanjian Waralaba.....8

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................11
BAB I PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Persaingan dalam dunia bisnis kian semakin ketat setiap harinya. Peristiwa
ini semakin menyadarkan para pengusaha untuk dapat mencari
pendekatan-pendekatan baru serta terobosan yang inovatif dalam dunia
bisnis. Hal itu semata-mata dilakukan supaya bisnis yang dijalankan dapat
terus bertahan, yang mana ekspansi atau pengembangan usaha ini harus
menjadi pilihan wajib bagi para pelaku usaha. Berhasil atau tidaknya
ekspansi usaha sangat ditentukan oleh efektif atau tidaknya strategi
pemasaran yang dilakukan. 1

Seiring dengan perkembangan zaman globalisasi, maka berdampak pula


pada perkembangan konsep bisnis. Salah satunya adalah sistem waralaba
yang akhir-akhir ini telah menjadi salah satu pusat perhatian sebagai bentuk
terobosan pengembangan usaha. Mengingat usaha yang diwaralabakan
adalah usaha-usaha yang telah teruji dan sukses dibidangnya, sehingga
dianggap dapat “menjamin” mendatangkan keuntungan, faktor tersebut
kemudian menjadi “magnet” untuk menarik perhatian masyarakat secara
luas. Melalui konsep waralaba seseorang tidak perlu memulai usaha dari nol,
karena telah ada sistem yang terpadu dalam waralaba, yang memungkinkan
seorang penerima waralaba menjalankan usaha dengan baik. 2

Waralaba (franchise) pada awalnya tidak dikenal dalam kepustakaan


hukum Indonesia, karena pada dasarnya sistem waralaba tidak terdapat
dalam tradisi atau budaya bisnis di Indonesia. Hal ini baru timbul Karena
pengaruh globalisasi, maka saat itulah franchise masuk dalam budaya dan
tatanan hukum di Indonesia. “Istilah franchise kemudian di-Indonesiakan
dengan istilah “waralaba” oleh Lembaga Pengembangan dan Pendidikan
1
Zil Aidi , Hasna Farida “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan”,
Vol. 4, No.2, (2019).
2
Kadek Agus Arnawa Pariwesa Putra, Nyoman Putu Budiartha dan Ni Made Puspasutari Ujianti
“Kajian Yuridis Waralaba Dalam Persfektif Hak Kekayaan Intelektual” , Vol.4, No. 3, (2022).
Manajemen. Pada saat peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai waralaba di Indonesia belum berlaku, banyak kalangan yang
mengkhawatirkan eksistensi (keberadaan) waralaba karena tidak ada dasar
hukum yang mengaturnya. Waralaba diartikan usaha yang memberikan laba
lebih atau istimewa”3. Definisi yuridis waralaba dapat ditemukan pada Pasal 1
angka (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba mendefinisikan waralaba sebagai berikut: 4“

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau
badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.”

Kehadiraan bisnis waralaba sebagai suatu sistem bisnis mempunyai


karakteristik tersendiri di dalam kehidupan dan juga menimbulkan
permasalahan dibidang hukum dikarenakan bisnis waralaba ini didasarkan
pada suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak,
sehingga diperlukan hukum yang saling menguntungkan bagi masing-
masing pihak.5

Berdasarkan uraian latarbelakang diatas, berkaitan dengan perjanjian


waralaba antara para pihak dan perlindungan hukum bagi para pihak dalam
waralaba, maka penulis tertarik meneliti lebih lanjut tentang waralaba ini.
Dengan demikian, penelitian ini diberi berjudul: “Waralaba Dalam Perpektif
Hukum”.

3
Sutedi, A. Hukum Waralaba, ( Jakarta: Ghalia Indonesia,2008), Hal 23.
4
PP Nomor 42 Tahun 2007.
5
Asuan, “Eksistensi Waralaba (Franchise) Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
sebagai Perjanjian Innominaat”, Jurnal Hukum Universitas Palembang Vol.13 No. 3, (2017).
B.Rumusan Masalah

A.Bagaimana bentuk pelaksanaan perjanjian waralaba sesuai dengan


peraturan perundang-undangan?

B.Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam


Perjanjian Waralaba?

BAB II PEMBAHASAN
A.Bentuk pelaksanaan perjanjian waralaba sesuai dengan
peraturan perundang-undangan

Secara sederhana, waralaba didefinisikan sebagai hak istimewa


(privilege) yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada
penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atas
pembayaran. Dalam format bisnis, pengertian waralaba adalah pengaturan
bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh
franchisor kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk
atau jasa sesuai dengan kesepakatan. Di Indonesia waralaba didefinisikan
sebagai hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan
(company's goods and service) dalam suatu wilayah tertentu. Hak tersebut
diberikan oleh perusahaan kepada seseorang atau kelompok individu,
kelompok marketing, pengecer, atau grosir. 6 Franchise ini juga diartikan
suatu sistem pemasaran atau sistem usaha untuk memasarkan produk atau
jasa tertentu.7

Dari pemberian hak atau kerjasama yang terjalin antara franchisor dengan
franchisee, maka saat itu terbentuklah perjanjian waralaba yang dibuat oleh
pihak franchisor yang kemudian disetujui oleh franchisee. Perjanjian
waralaba itu sendiri harus memuat kumpulan persyaratan, ketentuan, dan
komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-
nya. Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan
pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada
franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan lama perjanjian waralaba dan
perpanjangannya, serta ketentuan lain yang mengatur hubungan antara
franchisor dengan franchisee.8
6
Fuady, M. Pembiayaan Perusahaan Masa Kini: Tinjauan Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), Hal 15.
7
Hasyim, F. Hukum Dagang, Cetakan Ketiga, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal 32.
8
Kadek Agus Arnawa Pariwesa Putra, Nyoman Putu Budiartha dan Ni Made Puspasutari Ujianti
“Kajian Yuridis Waralaba Dalam Persfektif Hak Kekayaan Intelektual” , Vol.4, No. 3 (2022).
Di dalam ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia, dasar
peraturan waralaba dapat di bagi menjadi :

1. Dasar hukum yang bersifat Administratif

Dasar hukum yang bersifat administratif yaitu dasar hukum yang memuat
mengenai ketentuan pelaksanaan dari sebuah ketentuan peraturan
perundang-undangan. Yang termasuk ketentuan dasar peraturan waralaba
yang bersifat administratif yaitu :

a). Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia


No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pendaftaran Usaha Waralaba

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/MDag/Per/3/2006


tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba,
Pasal 1 angka 4, pemberian waralaba dapat dilakukan dengan pemberian
hak lebih lanjut kepada penerima waralaba utama untuk mewaralabakannya
kembali kepada penerima waralaba lanjutan. Kewajiban franchisor untuk
menyampaikan keterangan kepada franchisee juga dirumuskan dalam
Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-Dag/Per/3/2006 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftara Usaha
Waralaba Pasal 5, yang mensyaratkan bahwa, “sebelum membuat
perjanjian,Pemberi Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis atau
prospektus mengenai data atau informasi usahanya dengan benar kepada
Penerima Waralaba.”

b). Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan


Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997. Lahirnya Peraturan Pemerintah
No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba ini dilandasi upaya Pemerintah
meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga
perlu mendorong pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan
menengah untuk tumbuh sebagai franchisor nasional yang andal dan
mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam
rangka memasarkan produk dalam negeri.

2. Dasar hukum yang bersifat Substantif

Dasar hukum yang bersifat substantif yaitu dasar hukum yang memuat
mengenai isi dari ketentuan sebuah peraturan perundang-undangan. Yang
termasuk ketentuan dasar peraturan waralaba yang bersifat subtansi yaitu :

a). Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Dasar hukum perjanjian waralaba lainnya, adalah asas kebebasan


berkontrak seperti dimaksud oleh Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua kontrak atau perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Perjanjian apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang
ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu: 9

1) Adanya kata sepakat;

2) Masing-masing cakap untuk membuat perjanjian;

3) Perjanjian mengenai suatu hal tertentu;

4) Suatu yang halal.

Dalam Pasal 1338 dan 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata


kaitannya dengan waralaba yaitu pada dasarnya sistem waralaba yang
berlaku di Indonesia karena adanya asas kebebasan berkontrak. Setiap
manusia berhak melakukan perjanjian dengan siapapun yang diinginkan.
9
Siti Malikhatun Badriyah, Aspek Hukum Perjanjian Franchise, (Semarang: Cv. Tiga Media
Pratama,2019) Hal 6.
Sehingga sudah jelas bahwa pengaturan waralaba di atur juga dalam Pasal
1338 dan 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

b). Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Ketentuan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan


salah satu peraturan yang menjadi dasar hukum dari terbentuknya suatu
perjanjian franchise merek dagang dan juga merupakan faktor utama serta
memegang peranan yang sangat penting di dalam adanya suatu franchise.
Franchise merupakan pengkhususan dari merek.

Oleh karena itu pada dasarnya, memperoleh waralaba sebenarnya sama


dengan membeli sebuah bisnis pada umumnya, tetapi berbeda dari jual beli
biasa. Artinya franchisor tidak kehilangan dan franchisee tidak mengambil
alih bisnis yang diwaralaba Franchisee juga tidak dapat menjalankan bisnis
yang diperolehnya melalui waralaba sesuai dengan keinginannya sendiri.
Bisnis waralaba dapat dilihat sebagai hak yang dimiliki franchisee untuk
menjalankan bisnis dengan menggunakan sistem dan merek dagang yang
dimiliki franchisor. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lisensi merek
juga merupakan hal yang utama dalam bisnis waralaba, di samping
kemungkinan adanya lisensi hak milik intelektual lainnya, misalnya lisensi
paten dan lisensi hak cipta sebagai alat transfer informasi. Dikatakan sebagai
alat transfer informasi karena biasanya penerima lisensi juga menerima
petunjuk ataupun pelatihan tentang cara produksi. Ini dikarenakan pemberi
lisensi biasanya berkeinginan agar hasil-hasil produksinya yang
menggunakan mereknya memiliki keseragaman atau kualitas yang seimbang.

B. Bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak dalam


Perjanjian Waralaba

Perlindungan hukum adalah suatu kepastian hukum. Dalam hal ini para
pihak yang bersengketa dapat dihindarkan dari kesewenangan penghakiman.
Ini berarti adanya kepastian hukum juga membatasi pihak-pihak yang
mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan kehidupan seseorang,
yaitu hakim dan pembuat peraturan.10

Lebih jauh berbicara mengenai perlindungan hukum, perlindungan hukum


yang dapat dilakukan kepada para pihak yakni subjek pelaku penerima
waralaba (franchisee) dan pemberi waralaba (franchisor) yakni perlindungan
hukum preventif dan represif. Perlindungan Hukum preventif bertujuan untuk
mencegah terjadinya suatu sengketa yang dilakukan kedua belah pihak
pelaku bisnis waralaba serta memberikan rambu-rambu atau batasan dalam
melaksanakan kewajiban dalam waralaba. Sedangkan perlindungan hukum
represif menitik beratkan pada mekanisme penyelesaian sengketa apabila
terjadi permasalahan di kemudian hari. Perlindungan hukum ini adalah
perlindungan hukum akhir dimana perlindungan yang diberikan berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah menjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. 11

Perlindungan hukum franchise atau waralaba diatur dalam Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 yang mengatur
tentang Waralaba dan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Mentri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Waralaba. Peraturan mengenai aturan maupun perlindungan hukum bagi
kedua pihak franchise tersebut diatur lebih spesialis dalam Peraturan Mentri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019. Seperti pada
pengawasannya terhadap franchise, dikatakan dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 15 ayat (1) yakni Menteri
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Waralaba dan ayat (2)
Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dimana

10
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana,2005), hal 60.
11
Zil Aidi, Hasna Farida, “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba Makanan”,
Vol.4, No.2, (2019).
pengawasannya tersebut memang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mentri
Perdagangan RI Nomor 71 Tahun 2019 pasal 25 dan 26.

Mengenai sanksi dalam perlindungan hukum terhadap franchise,


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 16
ayat (1) mengatakan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi
Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan.
Dalam Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2019 , sanksi tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 29 yang mengatakan
pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10, dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dimana Pasal 7
dan 10 Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun
2019 berisi tentang pemberi waralaba maupun penerima waralaba wajib
untuk memiliki STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba) dan
mendaftarkan perjanjian waralabanya.

Perlindungan hukum ini butuh lebih ditegakkan untuk melindungi para


pelaku bisnis franchise dari masalah-masalah yang mungkin timbul seperti
melakukan kecurangan maupun yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan
1.Perjanjian waralaba itu sendiri harus memuat kumpulan persyaratan,
ketentuan, dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi
para franchisee-nya. Di dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee, persyaratan lokasi,
ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee
kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan lama perjanjian
waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang mengatur
hubungan antara franchisor dengan franchisee. Dengan didasarkan
ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia yang terkait
dengan waralaba yang terbagi menjadi 2 dasar hukum yaitu dasar hukum
yang bersifat administratif dan dasar hukum yang bersifat subtantif.

2. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan berupa perlindungan hukum


preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif ini bertujuan mencegah
terjadinya suatu sengketa yang dilakukan kedua belah pihak pelaku bisnis
waralaba serta memberikan rambu-rambu atau batasan dalam melaksanakan
kewajiban dalam waralaba. Sedangkan Perlindungan hukum represif menitik
beratkan pada mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi
permasalahan di kemudian hari

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Sutedi, A. Hukum Waralaba, Jakarta: Ghalia Indonesia,2008.

Fuady, M. Pembiayaan Perusahaan Masa Kini: Tinjauan Hukum Bisnis , Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1997.

Siti Malikhatun Badriyah, Aspek Hukum Perjanjian Franchise, Semarang: Cv. Tiga

Media Pratama,2019.

Hasyim, F. Hukum Dagang, Cetakan Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana,2005.

Jurnal

Zil Aidi , Hasna Farida “Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian

Waralaba Makanan”, Vol. 4, No.2, (2019).

Kadek Agus Arnawa Pariwesa Putra, Nyoman Putu Budiartha dan Ni Made

Puspasutari Ujianti “Kajian Yuridis Waralaba Dalam Persfektif Hak Kekayaan

Intelektual” , Vol.4, No. 3, (2022).

Asuan, “Eksistensi Waralaba (Franchise) Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42

Tahun 2007 sebagai Perjanjian Innominaat”, Jurnal Hukum Universitas Palembang

Vol.13 No. 3, (2017).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang usaha Waralaba.

Peraturan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang

Penyelenggaraan Waralaba
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 12/M-

Dag/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha

Waralaba

Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Anda mungkin juga menyukai