Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN MENGENAI

FRANCHISE BUSINESS

DIBUAT OLEH:
Alya Almira Millania Prasetyo G0018017
Faradiba Janiyustika G0018069
Graciella Angelica Lukas G0018091
Maria Maratus’sholikhah G0018091
Naomi Heidi Amarda Murti G0018155
Riza Atala G0018177
Syahrani Natilla G0018201
'Aininna 'Izzah Zafira G0018221
Fadhlan Maulana Yusuf H G0018067
Hans Steven Kurniawan G0018097

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2020
A. Kriteria Bisnis Franchise dalam PP No.42 tahun 2007
Untuk mengembangkan usaha diajang internasional dapat dilakukan
melalui setidaknya lima cara yaitu: melalui ekspor barang, pemberian lisensi,
membentuk suatu waralaba atau franchising, pengadaan perusahaan
patungan(joint ventures) dan total ownership atau kepemilikan secara menyeluruh
melalui direct ownership(kepemilikan langsung) ataupun melalui akusisi.
Model dari sistem franchise terdiri tidak hanya ijin menggunakan merek,
teknologi dan know how tetapi juga paket atau keseluruhan dari sistem usaha
milik franchisor yang terdiri dari merek, teknologi, know how serta pengawasan
yang terus menerus atas terlaksananya usaha, metode, produksi serta kebutuhan
yang menunjang berjalannya usaha.
Franchise merupakan perikatan, perikatan yang salah satu pihak diberikan
hak memanfaatkan ataupun menggunakan Hak dari Kekayaan Intelektual (HAKI)
atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang disahkan oleh pihak lain tersebut dalam tujuan
penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa. Dalam perikatan franchise terdiri
dari dua pihak yang disebut franchisor (pemilik hak) dan franchisee (yang diberi
hak) untuk menjalankan bisnis dari franchisor menurut sistem yang diberikan
franchisor.
Secara ringkas, waralaba diartikan sebagai hak istimewa (privelege) yang
terjalin atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima
waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran. Indonesia
sendiri mengenal franchise dengan istilah waralaba. Waralaba secara tatanan
bahasa terdiri dari kata wara yang berarti lebih dan laba yang berarti untung
dengan makna secara keseluruhan lebih untung.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau
badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

2
Mulanya peraturan mengenai waralaba pertama kali disahkan pada tahun
1997 yaitu Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 tentang waralaba (franchise).
Tetapi seiring maraknya pertumbuhan franchise di Indonesia, maka pemerintah
kembali menyempurnakan kembali Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 yang
merupakan revisi dari peraturan sebelumnya, yang kemudian disebut dengan PP
Waralaba.
Di negara Indonesia sendiri waralaba berkembang dengan pesat, dimana
bentuk usaha waralaba ini banyak digunakan dalam usaha restaurant fast food
seperti Kentucky Fried Chiken, Pizza Hut, Mc Donald, Hotel dan jasa penyewaan
mobil. Bentuk ini juga digunakan oleh bisnis lokal di Indonesia seperti Es Teller
77.
Pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
Waralaba dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pembinaan
usaha dengan waralaba di Indonesia. Sehingga terbentuk Pemberi Waralaba yang
handal dan mempunyai daya saing di dalam dan di luar negeri. Selain itu
diharapkan juga PP ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak Pemberi
dan Penerima waralaba dalam berkegiatan. PP ini merupakan suatu bentuk tindak
lanjut dari PP Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
Pada Pasal 1, menjelaskan bahwa definisi waralaba merupakan suatu hak
khusus yang dimiliki oleh seseorang atau suatu badan usaha yang memliki
kekayaan intelektual atau ciri khas dalam berusaha (pemberi waralaba) untuk
memberikan kekayaan intelektual atau usahanya, untuk dimanfaatkan atau
digunakan oleh pihak lainnya (penerima waralaba) berdasarkan perjanjian yang
telah dilakukan oleh kedua piihak tersebut. Terdapat penambahan ayat (ayat 4)
pada PP no. 42 Tahun 2007, dicantumkan bahwa menteri yang bertanggung jawab
atas waralaba itu sendiri adalah menteri yang bertugas pada bidang perdagangan.
Pada PP no. 42/2007 Pasal 3 tercantum kriteria waralaba yaitu sebagai
berikut.

3
a. Memiliki ciri khas usaha: Suatu usaha mempunyai keunggulan atau perbedaan
yang tidak mudah ditiru oleh usaha lain yang sejenis. Hal ini bisa berupa
pelayanan, sistem manajemen, cara penjualan, dan lainnya.
b. Terbukti sudah memberikan keuntungan: Sekurang-kurangnya telah ada dan
bertahan selama 5 (lima) tahun.
c. Memiliki standar pelayanan atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara
tertulis: Mempunyai Standard operating prosedure (SOP) yang jelas.
d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan.
e. Terdapat dukungan yang berkesinambungan: Terdapat dukungan dari Pemberi
Waralaba kepada Penerima Waralaba. Dapat berupa bimbingan operasional,
pelatihan, atau promosi.
f. Hak Kekayaan Intelektual sudah terdaftar: Mempunyai sertifikat dan terdaftar
pada instansi yang berwenang.
Kriteria tersebut tidak tercantumkan secara tertulis pada PP no. 16/1997.
Pada bab III tentang Perjanjian Waralaba, PP no. 42/2007 menjelaskan
bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Pemberi dan Penerima harus
memperhatikan hukum Indonesia yang berlaku, serta perjanjian harus ditulis
menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini berkesinambungan dengan Pasal 2 dan 3
pada PP no. 16/1997. Selain itu pada PP no. 42/2007 dicantumkan pula beberapa
klasula atau persyaratan yang harus terncantum pada isi perjanjian tersebut. Yaitu:
a. Nama dan alamat kedua pihak.
b. Jenis kekayaan intelektual.
c. Kegiatan usaha.
d. Hak dan Kewajiban kedua pihak; Kewajiban Pemberi Waralaba dijelaskan pada
pasal 7 dan 8 PP no. 42/2007.
e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
f. Wilayah usaha.
g. Jangka waktu perjanjian.
h. Tata cara pembayaran imbalan.

4
i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris.
j. Penyelesaian sengketa.
k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Pasal 9 PP no. 42/2007 memberikan poin yang sama dengan pasal 4 PP
no. 16/1997. Yaitu, kedua pihak mengutamakan penggunaan barang/jasa dari
hasil produk dalam negeri selama masih memenuhi standar mutu barang/jasa yang
telah ditetapkan dalam perjanjian secara tertulis oleh Pemberi Waralaba. Selain
itu Pemberi Waralaba diharuskan untuk bekerjasama dengan pengusaha kecil dan
menengah di daerah setempat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan standar
pengusaha kecil dan menengah, serta meningkatkan penggunaan produk dalam
negeri.
Penambahan atau perincian kegiatan usaha waralaba pada PP no 42/2007
yang sebelumnya tidak tercantum pada PP no. 16/1997 terdapat pada Pasal 10 dan
selanjutnya. Terdapat beberapa pokok bahasan yang ditambahkan dan diperinci
oleh PP no. 42/2007. Antara lain, Bab Pendaftaran, Pembinaan dan Pengawasan,
Sanksi, dan Ketentuan Peralihan.
Bab V yang tentang Pendaftaran dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pada Pasal 10 Pemberi Waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran
Waralaba sebelum membuat suatu perjanjian waralaba dengan memberikan
beberapa lampiran. Perjanjian ini dapat dilakukan oleh pihak yang diberikan
wewenang oleh Pemberi Waralaba. Pada Pasal 12 ayat 1 dijelaskan lampiran yang
dimaksud adalah: Fotokopi prospektus penawaran waralaba, dan fotokopi
legalitas usaha.
2. Pada Pasal 11 Penerima Waralaba wajib mendaftarkan perjanjian Waralaba
dengan memberikan beberapa lampiran dokumen. Perjanjian Waralaba juga dapat
dilakukan oleh pihak yang diberikan wewenang oleh Penerima Waralaba. Pasal
12 ayat 1 menyebutkan lampiran yang perlu disediakan oleh Penerima Waralaba
sebagai persyaratan antara lain: Fotokopi legalitas usaha, perjanjian waralaba,
prospektus waralaba, dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus
perusahaan (Pemberi Waralaba).

5
3. Kemudian Kedua lampiran tersebut diajukan kepada menteri (Pasal 12 ayat 3),
Menteri mengeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (Pasal 12 ayt 4). Surat
tersebut berlaku selama 5 tahun (Pasal 12 ayat 5) dan dapat diperpanjang selama
5 tahun (Pasal 12 ayat 6). Ketentuan atau tata cara pendaftaran Waralaba dapa
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bab VI tentang Pembinaan dan Pengawasan dibuat untuk memastikan
performa atau kualitas Waralaba yang tinggi. Sebagaimana tercantum pada Pasal
14, Pemerintah maupun Pemerintah Daerah berperan dalam pembinaan ini.
Pembinaan dapat berupa pemberian pendidikan dan pelatihan, pemberian
rekomendasi sarana perpasaran, rekomendasi pameran Waralaba di dalam dan di
luar negeri, bantuan konsultasi, pemberian penghargaan, dan bantuan modal
usaha. Untuk fungsi pengawasan kegiatan usaha Waralaba itu sendiri dilakukan
oleh menteri yang bertanggungjawab dalam bidang perdagangan sebagaimana
dicantumkan pada Pasal 15.
Sanksi dapat diberikan kepada Pemberi dan Penerima Waralaba yang
melanggar ketentuan, Sanksi dapat diberikan berupa peringatan tertulis, denda,
atau pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba.

B. Tipe Bisnis Franchise dan Perjanjian Franchise


Menurut Brayce Webster ada tiga bentuk dari franchise, yaitu:
1. Product franchising / Product distribution franchising
Product franchising, adalah suatu franchise, yang franchisor-nya memberikan
lisensi kepada franchisee untuk menjual barang hasil produksinya. Pada waralaba
distribusi produk, franchisor sebagai pemberi lisensi atas trademark dan logo
kepada franchisees tapi tidak memfasilitasi keseluruhan sistem bisnis. Franchisee
berfungsi sebagai distributor produk franchisor. Sering kali terjadi franchisee
diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk tersebut di suatu wilayah tertentu.
Misalnya dealer mobil, stasiun pompa bensin. Meskipun product distribution
franchising mereprentasikan mayoritas bisnis ritel, kebanyakan waralaba saat ini
merupakan peluang besar untuk business format.

6
2. Manufacturing franchises
Manufacturing franchise merupakan suatu jenis waralaba yang mendapatkan hak
untuk melakukan produksi misalnya PT. Great River yang mempunyai hak untuk
melakukan produksi pakaian dalam Triumph dengan lisensi dari Jerman.
Franchisor memberikan know-how dari suatu proses produksi. Franchisee
memasarkan barang-barang itu dengan standar produksi dan merek yang sama
dengan yang di-miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini banyak
digunakan dalam produksi dan distribusi minuman soft drink,seperti Coca Cola
dan Pepsi.
3. Business format franchising
Business format franchising adalah suatu bentuk franchise yang franchisee-nya
mengoprasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama franchisor. Sebagai
imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchisee harus mengikuti
metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawaan franchisor
dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat
usaha, jam penjualan, persyaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga franchisor
memberikan seluruh konsep bisnis yang meliputi strategi pemasaran, pedoman
dan standar pengoperasian usaha dan bantuan dalam mengoperasikan franchise.
Sehingga franchisee memiliki identitas yang tidak terpisahkan dari franchisor. Di
lain sisi, tidak hanya menggunakan produk, pelayanan, dan trademark franchisor,
tapi juga metode komplit untuk menjalankan bisnis itu sendiri, seperti pada
marketing plannya dan manual operasi nya. Business format saat ini menjadi tipe
franchise atau waralaba yang paling umum. Waralaba business format banyak
dipakai pada sektor fast food, Retail, service, automotive, restaurants,
maintenance, building and construction, retail—food, business services, lodging.
Bentuk Waralaba (Franchise) menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan
Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/ 2006 Tentang Ketentuan dan Tata
Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba adalah berbentuk
tertulis.

7
Sifat perjanjian Waralaba (Franchise) (agreement franchise) adalah,
sebagai berikut:
1. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement)
2. Memberi kemungkinan pewaralaba/franchisor tetap mempunyai hak atas nama
dagang dan atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang
dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.
3. Memberikan kemungkinan pewaralaba/ franchisor mengendalikan sistem
usaha yang dilinsensikannya.
4. Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima
pewaralaba/franchisee.
Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku
hukum Indonesia. Sebelum membuat perjanjian, Pemberi Waralaba wajib
memberikan keterangan tertulis atau prospektus mengenai data dan atau informasi
usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba yang paling sedikit memuat:
a. Identitas Pemberi Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya
termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 (satu) thun terakhir;
b. Hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi
objek waralaba disertai dokumen pendukung;
c. Keterangan mengenai kriteria atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
Penerima Waralaba termasuk biaya investasi;
d. Bantuan atau fasilitas yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima
Waralaba;
e. Hak dan kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba; dan
f. Data atau informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima Waralaba dalam
rangka pelaksanaan perjanjian Waralaba selain huruf a sampai dengan huruf e.
Di samping itu, penerima waralaba utama, wajib memberitahukan secara tertulis
dokumen autentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima waralaba
utama memiliki hak atau izin membuat perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi
waralaba.

8
Hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian Waralaba (Franchise), yaitu
sebagai berikut :
a. Nama dan alamat perusahaan para pihak;
b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha
seperti sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau distribusi yang
merupakan karakteristik khusus yang dimiliki Objek Waralaba;
c. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penerima Waralaba;
d. Wilayah usaha (zone) Waralaba dimana pada perjanjian waralaba biasanya
ditentukan wilayah waralaba oleh pemberi waralaba dengan tujuan agar antara
penerima waralaba yang satu dengan penerima waralaba lainnya tidak saling
bersaing;
e. Jangka waktu perjanjian biasanya antara 5-10 tahun dan dapat diperpanjang lagi
untuk jangka waktu tertentu yang biasanya untuk jangka waktu yang sama;
f. Cara penyelesaian perselisihan;
g. Tata cara pembayaran imbalan;
h. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba yang menjadi
kewajiban dari pemberi waralaba dengan biaya yang dibebankan kepada penerima
waralaba;
i. Kepemilikan dan ahli waris;
j. Penyediaan Produk atau Materi Waralaba bagi penerima waralaba untuk
menjalankan usahanya harus melalui pemberi waralaba;
k. Panduan dan Sistem yang bersifat rahasia karena mengandung informasi-
informasi rahasia yang tidak dimiliki oleh semua orang;
l. Merek Dagang/Jasa pada umumnya merupakan obyek utama dalam suatu
perjanjian waralaba meskipun hak-hak yang diberikan tidak hanya terbatas merek,
tetapi dapat juga meliputi rahasia dagang, paten dan hak cipta;
m. Kerahasiaan dan Non Kompetisi selalu ada dalam perjanjian waralaba;
n. Hak dan Kewajiban Para Pihak dimana terdapat suatu perjanjian waralaba yang
hanya mencantumkan kewajiban bagi penerima waralaba, sedangkan kewajiban

9
bagi pemberi waralaba tidak ada. Dalam perjanjian tersebut, hanya dinyatakan
bahwa pemberi waralaba akan melakukan suatu prestasi, tetapi tidak dinyatakan
sebagai suatu kewajiban sebagaimana halnya terhadap penerima waralaba;
o. Wanprestasi dalam 2 perjanjian waralaba diatas, hanya membahas mengenai
hal-hal apa saja yang menyebabkan penerima waralaba dianggap berada dalam
keadaan wanprestasi dan akibat hukumnya, sedangkan wanprestasi yang mungkin
dapat dilakukan oleh pemberi waralaba tidak dicantumkan dalam pasal tersebut;
p. Pengakhiran Perjanjian Waralaba dapat terjadi karena habisnya jangka waktu,
atau karena pengakhiran secara sepihak oleh pemberi waralaba yang disebabkan
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh Penerima Waralaba;
q. Perjanjian waralaba tunduk pada dan ditafsirkan serta diartikan sesuai dengan
hukum negara Republik Indonesia. Adapun dalam hal terjadi perselisihan maka
biasanya diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat terlebih dahulu.
Apabila penyelesaian musyawarah tidak dapat dicapai, maka para pihak setuju
untuk menyelesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
dengan menggunakan peraturan, prosedur dan ketentuan arbitrase pada BANI.
Berdasarkan hasil uraian mengenai hal-hal pokok yang terdapat dalam
perjanjian waralaba diatas, maka dapat diketahui bahwa kedua substansi
perjanjian waralaba tersebut telah memenuhi klausula minimum yang harus ada
dalam perjanjian waralaba sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Perjanjian waralaba selain harus sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007, juga harus
memenuhi asas-asas perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III.
Yang menjadi subjek hukum dalam perjanjian franchise, yaitu franchisor
dan franchisee. Franchisor adalah perusahaan yang memberikan lisensi, baik,
berupa paten, merek dagang, merek jasa, maupun lainnya kepada franchisee.
Sedangkan franchisee adalah perusahaan yang menerima lisensi dari franchisor.
Di samping itu, ada dua pihak lainya dalam perjanjian Waralaba (Franchise) yang
terkena dampak dari perjanjian ini, yaitu :
a. Franchisee lain dalam system franchise (franchising system) yang sama.

10
b. Konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat pada umumnya.
Objek dalam perjanjian franchisee adalah lisensi. Lisensi adalah izin yang
diberikan oleh franchisor kepada franchisee. Ada dua kriteria lisensi sebagaimana
dikemukakan oleh Dieter Plaff, yaitu tujuan ekonomis dan acuan yuridis. Tujuan
ekonomis adalah apa yang hendak dicapai oleh lisensi itu. Sedangkan acuan
hukum, yaitu instrumen hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Kontrak yang dibuat oleh pihak franchisor dengan franchise berlaku
sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan kontrak
antara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban dari
pihak franchisor adalah menyerahkan lisensi kepada franchisee. Sedangkan yang
menjadi haknya adalah sebagai berikut :
1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name), dan nama
baik/repurtasi (goodwill) yang terkait dengan merek dan atau nama tersebut.
2. Format/pola usaha, yaitu suatu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku
pegangan (manual), yang sebagian isinya dalam rahasia usaha.
3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, desain, dan program khusus.
4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bisa dalam bentuk tertulis dan
terlindungi dalam undang-undang hak cipta.

C. Bisnis Sistem Franchise, Bisnis Sistem Cabang, Bisnis Sistem MLM dan
Business Opportunity (BO)
1. Bisnis Sistem Franchise
2. Bisnis Sistem Cabang
Pembukaan cabang adalah salah satu usaha pebisnis dalam
mengembangkan usahanya agar menjangkau pasar yang lebih luas. Bisnis
Sistem Cabang Merupakan suatu cara untuk memperluas bisnis dengan cara
membuat bisnis cabang yang terafiliasi pada perusahaan induk dalam
manajemennya. Bisnis cabang merupakan anak dari perusahaan induk yang
berlokasi berbeda dengan perusahaan induk. Ekspansi ini dapat dilakukan
dengan membangun kantor atau bangunan yang sesuai dengan tujuan bisnis

11
(contoh : restoran, toko, kantor). Hubungan kantor pusat dan kantor cabang
yaitu hubungan antara kantor pusat (perusahaan induk) dengan kantor
pengembangan (kantor cabang) yang skala usahanya lebih kecil
dan merupakan bagian dari kantor pusat tersebar di daerah-daerah lain. Sifat
dan jenis usahanya operasi kantor cabang, biasanya berada di bawah
pengelolaan seorang manajer cabang yang bertanggung jawab langsung
kepada top manajemen di kantor pusat. Meskipun kantor cabang berusaha dan
bekerja sebagai unit yang berdiri sendiri, tetapi tetap dikontrol oleh kantor
pusat.
Dikarenakan pembukaan cabang memiliki risiko dan modal yang besar
maka perlu diuji kelayakannya. Tujuan dari analisis kelayakan usaha adalah
agar pebisnis dapat mengetahui dan mengantisipasi risiko yang terdapat pada
usaha tersebut, memudahkan perencanaan, seperti merencanakan seberapa
besar dana yang dibutuhkan, dan masih banyak lagi (Lutfi, 2010).
Terdapat beberapa aspek dalam uji kelayakan bisnis yang menjadi
pertimbangan dalam memulai usaha baru seperti aspek pasar, aspek
pemasaran, aspek teknis dan juga yang terpenting adalah aspek keuangan.
Dengan adanya aspek-aspek tersebut, dapat disimpulkan kelayakan dari usaha
tersebut untuk dijalankan. Analisis kelayakan bisnis tidak hanya terbatas pada
pendirian usaha baru, namun dapat juga dilakukan pada pembukaan cabang
baru atau pembelian perusahaan (Setiawan, 2018).
Cara membuka Cabang:
1. Buat sebuah bisnis yang memiliki pertumbuhan bagus di suatu tempat
– Pupuk keuntungan untuk mengembangkan
– Kembangkan dengan membuka cabang
2. Gunakan sebagian keuntungan untuk membuka bisnis yang sama di tempat
lain yang diperkirakan strategis dan menjadi cabang pertama
3. Bisnis Sistem MLM
a. Pengertian Multi Level Marketing

12
MLM merupakan suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan
pemasaran dan distribusi. Perhatian utama MLM adalah menentukan cara
untuk menjual produk dari suatu perusahaan melalui inovasi agar produk
dapat terjual dengan lebih efisien dan efektif ke pasar. Inovasi tersebut
yaitu konsep pemasaran dan pendistribusian yang dilakukan melalui
banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah upline (tingkat
atas) dan downline (tingkat bawah), orang akan disebut upline jika
mempunyai downline (Santoso, 2006:27).
Inti dari bisnis MLM digerakkan dengan jaringan ini, baik yang bersifat
vertikal atas bawah maupun horizontal kiri kanan ataupun gabungan
antara keduanya (Muslich, 2010:613). Jadi dapat disimpulkan bahwa
MLM adalah suatu sistem pemasaran berjenjang melalui jaringan
distribusi yang dibangun dengan menjadikan konsumen (pelanggan)
sekaligus sebagai tenaga pemasaran dan akan memperoleh keuntungan di
dalam garis kemitraan.
b. Ciri - Ciri Multi Level Marketing
Adapun yang menjadi ciri-ciri dan bisnis Multi Level Marketing adalah:
• Memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota untuk berhasil.
• Keuntungan dan keberhasilan distributor sepenuhnya ditentukan oleh
hasil kerja (keras) dalam bentuk penjualan dan pembelian produk dan jasa
perusahaan.
• Setiap anggota berhak menjadi anggota satu kali.
• Biaya pendaftaran menjadi anggota tidak terlalu mahal dan dapat
dipertanggungjawabkan karena nilainya setara dengan barang yang
diperoleh.
• Keuntungan yang diperoleh distributor independen dihitung dengan
sistem perhitungan yang jelas berdasarkan hasil penjualan pribadi maupun
jaringannya.

13
• Setiap distributor independen dilarang untuk menumpuk barang, karena
yang terpenting adalah pemakaian produk yang dirasakan manfaat atau
khasiatnya secara langsung oleh konsumen.
• Keuntungan yang dinikmati anggota Multi Level Marketing, tidak hanya
bersifat finansial tetapi juga non finansial seperti penghargaan, posisi
dalam peringkat, derajat sosial, kesehatan, pengembangan karakter, dan
sebagainya.
• Perusahaan Multi Level Marketing membina distributornya dalam
program pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan.
• Dalam sistem Multi Level Marketing pelatihan produk menjadi hal yang
sangat penting untuk disampaikan kepada konsumen.
• Setiap sponsor atau up-line berkepentingan untuk meningkatkan kualitas
distributor di jaringannya.
• Pembagian komisi atau bonus biasanya dilakukan sebulan sekali.
(Andreas Harefa, 1999: 19)
c. Sistem Kerja Multi Level Marketing
Pakar marketing ternama Don Failla, membagi marketing menjadi tiga
macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung
ke konsumen), Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang
melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan
pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran). Kemunculan trend
strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern
sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen
maupun perusahaan MLM). Hal ini disebabkan karena adanya
penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para
distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas
(tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan
inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan

14
usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat
menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam
bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi,
tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan. (Ahmad
Basyuni Lubis, AlIqtishad, November 2000).
Secara umum, cara kerja dalam bisnis MLM adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang akan mendapat keuntungan dari aktifitas jual beli yang
dilakukannya. Jika dia ingin mendapatkan bonus yang lebih besar, maka
dia bisa membangun organisasi yang lebih besar pula.
2. Mereka yang ada di bawah, tetapi bisa membangun organisasi yang
lebih besar daripada yang mengajaknya, maka yang bersangkutan
memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
daripada orang yang mengajaknya di atas.
3. Jika pada periode tertentu seorang mitra tidak melakukan pembelian
produk, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan walau pun jalur
dibawahnya menghasilkan omzet yang tidak terhingga.
4. Setiap orang yang bergabung dengan bisnis MLM dan ingin
mendapatkan bonus yang lebih besar, maka dia harus berperan sebagai
seller atau enduser dengan membeli sejumlah produk yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan bonus,dan dia juga harus mensponsori orang
lain agar terbentuk organisasi bisnis yang bisa menghasilkan omzet.
Secara global sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara menjaring calon
nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member
(anggota) dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Adapun secara
terperinci bisnis MLM dilakukan dengan cara: 1) Mulamula pihak
perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi member,
dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk
perusahaan dengan harga tertentu. 2) Dengan membeli paket produk
perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir keanggotaan
(member) dari perusahaan. Sesudah menjadi member maka tugas

15
berikutnya adalah mencari member-member baru dengan cara seperti
diatas, yakni membeli produk perusahaan dan mengisi folmulir
keanggotaan. 3) Para member baru juga bertugas mencari calon member-
member baru lagi dengan cara seperti diatas yakni membeli produk
perusahaan dan mengisi formulir keanggotaan. 4) Jika member mampu
menjaring member-member yang banyak, maka ia akan mendapat bonus
dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring, maka
semakin banyak pula bonus yang didapatkan karena perusahaan merasa
diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus mennjadi konsumen
paket produk perusahaan. Dengan adanya para member baru yang
sekaligus menjadi konsumen paker produk perusahaan, maka member
yang berada pada level pertama, kedua dan seterusnya akan selalu
mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan, karena perusahaan
merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru tersebut.
Diantara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana
masyarakat untuk menanamkan modal diperusahaan tersebut, dengan janji
akan memberikan keuntungan sebesar hampir 100% dalam setiap
bulannya. Ada beberapa perusahaan MLM lainnya yang mana seseorang
bisa menjadi membernya tidak harus dengan menjual produk perusahaan,
namun cukup dengan mendaftarkan diri dengan membayar uang
pendaftaran, selanjutnya dia bertugas mencari anggota lainnya dengan
cara yang sama, semakin banyak anggota maka akan semakin banyak
bonus yang diperoleh dari perusahaan tersebut.
d. Keunggulan Multi Level Marketing
Banyak keunggulan bagi distributor dari penggunaan metode MLM pada
suatu perusahaan. Hal ini dapat dijumpai pada perusahaan yang benar-
benar menjual produk berkualitas. Keunggulan tersebut meliputi(Santoso,
2003:47):
a. Tidak memerlukan modal yang besar untuk dapat melibatkan diri.

16
b. Adanya jaringan pemasaran yang dapat memudahkan dalam
memasarkan produk.
c. Waktu yang fleksibel bagi distributor untuk melakukan penjualan.
d. Tempat yang baik untuk belajar keterampilan bisnis dalam
kehidupan nyata. Diantara pelajaran yang dapat diambil dari MLM adalah
menumbuhkan sikap terhadap kesuksesan, keahlian memimpin, keahlian
berkomunikasi, keahlian manajemen uang, keahlian berinvestasi, keahlian
manajemen waktu, mengatasi ketakutan pribadi, dan keahlian humas.
e. MLM juga memiliki keuntungan yang besar, akan tetapi
keuntungan tersebut hanya berlaku bagi MLM yang memiliki produk
dengan kualitas baik.

4. Business Opportunity (BO)


Business opportunity adalah cikal bakal suatu usaha untuk dapat menjadi
waralaba. Umumnya merupakan suatu usaha yang baru berjalan dibawah 3
(tiga) tahun tetapi mempunyai peluang yang sangat menjanjikan bagi para
pemilik modal yang berinvestasi didalamnya.18 Perbedaannya adalah
business opportunity tidak seketat waralaba.
Kecenderungan pada business opportunity adalah investasi yang lebih
kecil dari waralaba, tidak adanya pelatihan awal dan standar atau sistem yang
harus dijalankan, minimnya dukungan dan monitoring dari pemilik baik dari
segi operasional maupun pemasaran serta kontrak yang relatif terbuka.
Waralaba merupakan pola bisnis yang paling diminati oleh para pebisnis
di belahan dunia manapun. Bisnis dengan menggunakan pola waralaba
memberikan keuntungan dan peluang bagi kedua belah pihak ketimbang
masing-masing memulai dari awal dengan investasi yang terkadang sulit
untuk mencapai titik impas sebelum meraih keuntungan. Hal ini menarik
minat banyak pengusaha, termasuk di Indonesia untuk melakukan pola bisnis
tersebut.

17
Waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan, menggunakan hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau
ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan,
penjualan barang dan jasa.
Perbedaan antara business opportunity dengan waralaba, bisa jadi mereka
tidak memenuhi kriteria di atas sebagaimana dipersyaratkan pemerintah
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2007 Tentang Waralaba. Mereka mengadaptasi format waralaba tetapi
memberikan keleluasaan kepada mitra usahanya untuk mengembangkan
bisnisnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah epublik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba, sebuah usaha dapat
dikatakan sebagai waralaba apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki Ciri Khas Usaha
“Yang dimaksud dengan “ciri khas usaha” adalah suatu usaha yang
memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru
dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen selalu
mencari ciri khas dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan
dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan
karakteristik khusus dari Pemberi Waralaba.”
2. Terbukti Sudah Memberikan Keuntungan
“Yang dimaksud dengan “terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah
menunjuk pada pengalaman Pemberi Waralaba yang telah dimiliki kurang
lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi
masalahmasalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan
masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan
menguntungkan.”
3. Memiliki Standar Atas Pelayanan dan Barang dan/atau Jasa yang
Ditawarkan yang Dibuat Secara Tertulis

18
“Yang dimaksud dengan “standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa
yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis” adalah standar secara tertulis
supaya Penerima Waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka
kerja yang jelas dan sama (Standard Operational Procedure).”
4. Mudah Diajarkan dan Diaplikasikan
“Yang dimaksud dengan “mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah
mudah dilaksanakan sehingga Penerima Waralaba yang belum memiliki
pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat
melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan
manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh Pemberi
Waralaba.”
5. Adanya Dukungan yang Berkesinambungan
“Yang dimaksud dengan “dukungan yang berkesinambungan” adalah
dukungan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba secara terus
menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.”
6. Hak Kekayaan Intelektual yang Telah Terdaftar.
“Yang dimaksud dengan “Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar”
adalah Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek,
hak cipta, paten, dan rahasia dagang, sudah didaftarkan dan mempunyai
sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang
berwenang.”
Perbedaan antara waralaba dengan business opportunity secara lebih jelas
antara lain sebagai berikut:
1. Investasi
Waralaba memiliki biaya atau investasi awal lebih tinggi, sedangkan
business opportunity memiliki investasi yang lebih rendah.
2. Pemilihan lokasi
Pada waralaba, lokasi menjadi faktor penting bagi pewaralaba.
Sedangkan pada business opportunity hanya dilakukan survei, tetapi tidak
selalu.

19
3. Bantuan pra operasi
Waralaba mengenal adanya konsultasi pembangunan, pembelian dan
rekrutmen, sedangkan pada business opportunity dilakukan tapi sangat
minim.
4. Pelatihan
Waralaba mengenal adanya pelatihan dan manual serta praktek lapangan,
sedangkan pada business opportunity tidak ada pelatihan.
5. Bantuan teknis operasi
Waralaba mengenal adanya pengawasan secara berkala, sedangkan pada
business opportunity dilakukan hanya bila ada masalah.
6. Produk dan jasa
Pada waralaba, produk dan layanan sudah ditentukan oleh pemberi
waralaba sedangkan pada business opportunity mitra memiliki kebebasan
mengembangkan produk dan jasa.
7. Sistem operasi dan layanan
Waralaba mempunyai sistem operasi dan layanan yang telah ada secara
baku dan memiliki manual, sedangkan pada business opportunity tidak
ada dan lebih disesuaikan dengan karakter mitra.
8. Legal dan perpajakan
Pada waralaba detail tercantum dalam kontrak, sedangkan pada business
opportunity legal dilakukan dalam kontrak, tetapi mengenai perpajakan
tidak jelas.
9. Pemasaran dan promosi
Waralaba mengenal adanya dukungan pemasaran dan promosi dari
pemberi waralaba, sedangkan pada business opportunity dilakukan
minimal, sebagian besar hanya untuk pengembangan outlet.
10. Fleksibilitas
Waralaba memiliki fleksibilitas yang minim dan harus persetujuan
pemberi waralaba, sedangkan business opportunity lebih bebas dan
terbuka tanpa harus ada persetujuan.

20
Perbedaan antara waralaba dengan business opportunity diatas
memperlihatkan bahwa meskipun business opportunity memiliki konsep
dengan mengadaptasi konsep waralaba, namun memiliki banyak kekurangan
jika dibandingkan dengan waralaba. Padahal jika memang sejak awal
business opportunity ditujukan supaya kelak dapat dikonversi menjadi
waralaba, maka seharusnya business opportunity yang ditawarkan juga
memiliki karakteristik sebagai waralaba. Artinya, seharusnya kita dapat
memandang bahwa business opportunity yang ada bukan merupakan sebagai
suatu pola bisnis pra-waralaba, namun sebagai sebuah pola bisnis yang
mandiri.
Definisi business opportunity tidak ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia. Sebagai bahan perbandingan,
definisi business opportunity menurut Federal Trade Commission rule title
16 part 437.1 (c) Business Opportunity rule bahwa:
1. Seorang penjual meminta calon pembeli untuk memasuki bisnis baru
2. Para calon pembeli melakukan pembayaran yang diperlukan
3. Penjual, baik secara tersurat maupun tersirat, secara lisan atau tertulis,
menyatakan bahwa penjual atau satu atau lebih orang yang ditunjuk akan:
a. Menyediakan lokasi untuk penggunaan atau pengoperasian peralatan,
display, mesin penjual, atau perangkat sejenis, yang dimiliki, disewakan,
dikendalikan, atau dibayar oleh pembeli
b. Menyediakan outlet, rekening, atau pelanggan, termasuk, namun tidak
terbatas pada, outlet, rekening, atau pelanggan internet, untuk barang atau
jasa pembeli; atau
c. Membeli kembali salah satu atau semua barang atau jasa yang dibuat,
diproduksi, difabrikasi, ditumbuhkan, dikembangbiakan, dimodifikasi, atau
disediakan oleh pembeli, termasuk tetapi tidak terbatas untuk menyediakan
pembayaran untuk layan seperti, misalnya, mengisi amplop dari rumah
pembeli.

21
Pengertian business opportunity di satas mengandung makna bahwa
antara penjual atau pemberi business opportunity dengan pembeli atau
penerima business opportunity memiliki hubungan secara berkesinambungan,
sehingga secara ringkas business opportunity ialah suatu penawaran
komersial kepada penerima business opportunity untuk menjalankan suatu
sistem usaha yang ditawarkan oleh pemberi business opportunity.
Perjanjian dalam business opportunity merupakan bentuk perjanjian baku.
Istilah perjanjian baku merpakan terjemahan dari bahasa asing yaitu
“standard contract”. Perjanjian secara tradisional terjadi berdasarkan asas
kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang
seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan.
Perjanjian secara tradisional ini berbeda dengan perjanjian baku. Perjanjian
baku digunakan sebagai upaya untuk mewujudkan suatu perjanjian yang
dapat dilakukan secara cepat. Bentuk perjanjian baku seringkali
menimbulkan masalah karena memberikan kewajiban yang memberatkan
hanya kepada salah satu pihak saja, dalam hal ini penerima business
opportunity.
Pihak yang lebih kuat kadang-kadang menggunakan kedudukannya itu
untuk membebankan kewajiban yang berat kepada pihak lainnya, sedangkan
ia sendiri berusaha sedapat mungkin untuk membatasi atau menyampingkan
semua tanggung jawabnya. Menurut Sutan Remy Syahdeini kebebasan
berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki
bargaining power yang seimbang. Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini
menjelaskan:
“bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang
lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat
lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak
sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut
menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.”

22
Maka dapat kita lihat akibatnya, apabila mitra usaha dalam perjanjian
business opportunity dapat dikatakan sebagai pihak yang tidak cukup kuat
dalam memiliki posisi tawar, maka kontrak yang diajukan dapat menjadi
tidak adil dan merugikan bagi mitra usaha, seperti misalnya :
1. Tidak adanya pelatihan
Dalam dunia bisnis, pelatihan usaha menjadi sangat penting dalam
menentukan keberhasilan suatu usaha, menyangkut dengan kelangsungan
usaha yang dijalankan. Dengan tidak diberikannya pelatihan, hal ini
menjadi tanda tanya, apakah dalam perjanjian business opportunity para
pihak memiliki kedudukan yang seimbang.
2. Tidak diberikannya bantuan teknis
Bantuan teknis dalam menjalankan usaha sangat diperlukan bagi setiap
pelaku usaha. Tidak adanya bantuan teknis yang diberikan bagi mitra
usaha menimbulkan kerugian yang sangat besar.
3. Tidak adanya dukungan pemasaran dan promosi
Pemasaran serta promosi adalah salah satu kunci untuk mencapai
kesuksesan dalam berbisnis. Dengan menghilangkan dukungan terhadap
kedua faktor kunci tersebut, tingkat kegagalan dalam berbisnis menjadi
semakin tinggi, yang tentu merugikan bagi mitra usaha.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,


2002, hlm. 374.
Andreas Harefa. 1999. Multi Level Marketing, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Beshel B. 2001. An Introduction to Franchising. Washington DC: IFA EDUCATIONAL
FOUNDATION.
Lutfi, Mochamad. 2010. Studi Kelayakan Bisnis Pengembangan Usaha Isi Ulang Minyak
Wangi Pada Usaha Perseorangan Boss Parfum. Bogor.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: AMZAH
Pan, Lindawaty Suherman Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Perspektif
Hukum dan Ekonomi, Bandung: Utomo, 2004, hlm. 2.
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang
Waralaba
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba.
Rusli T. ANALISIS TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)
USAHA TOKO ALFA MART. 2015;6(26).
Santosa, Benny. 2006. All About MLM Memahami Lebih Jauh MLM dan Pernak-
Perniknya. Yogyakarta: ANDI.
S.B. Marsh and J. Soulsby, Hukum Perjanjian, terjemahan Abdulkadir Muhammad,
Bandung: Alumni, 2010, hlm. 146. 27
Setiawan, A., 2018. ANALISIS KELAYAKAN BISNIS PEMBUKAAN CABANG
BARU RUMAH MAKAN VEGETARIAN. Jurnal Manajemen Maranatha, 18(1),
pp.69-78.
Slamet, Sri Redjeki. (2011). Waralaba (Franchise) di Indonesia. Lex Jurnalica Volume 8
Nomor 2. p 127-139.
Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1993, hlm. 185.

24

Anda mungkin juga menyukai