Anda di halaman 1dari 73

Analisis kandungan nutrisi dan keragaman genetik

murbei (Morus sp.) pada beberapa provenasi di


sulawesi selatan

Oleh :
Muhammad Bima Akzad
M012192005

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................4
C. Tujuan Penelitian...............................................................................4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................6
A. Tanaman Murbei................................................................................6
B. Keragaman Genetik...........................................................................9
C. Penanda Genetik.............................................................................11
D. Inter simple sequence repeat (ISSR)...............................................13
BAB III. METODE PENELITIAN................................................................18
A. Waktu dan Tempat...........................................................................18
B. Alat dan Bahan.................................................................................19
C. Prosedur Penelitian..........................................................................20
1. Pengambilan Sampel....................................................................20
2. Isolasi DNA...................................................................................21
3. Seleksi primer...............................................................................22
4. Elektroforesis..................................................................................24
5. Analisis Data.................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................37

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.........................................................17

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama primer dan Sekuen Primer ISSR yang diseleksi (Kalpana
et al. 2012)..................................................................................22

iv
BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman Murbei (Morus sp ) merupakan tanaman asli dari Cina yang

tersebar luas di seluruh tempat baik di daerah iklim tropis maupun sub

tropis. Murbei adalah tanaman berumur panjang dan dapat beradaptasi

dengan baik pada beberapa jenis tanah. Murbei mempunyai peranan

penting dalam usaha persuteraan, sebab daun tanaman ini merupakan

pakan utama bagi ulat sutera (Bombyx mori) (Sunanto,1997).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis tanaman murbei yang banyak

dibudidayakan oleh masyarakat yaitu Morus alba, Morus nigra, Morus

cathayana, Morus australis, dan Morus macraura (Balai Persuteraan

Alam, 2007). Sulawesi Selatan merupakan sentra produksi sutera

nasional. Dengan kata lain lebih dari 80% dari total pasokan nasional

berasal dari provinsi. Sulawesi Selatan juga berperan sebagai sentra

industri sutera, di seluruh aspek sektor hulu dan hilir, termasuk

penanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan kokon, produksi

benang, dan penenunan rakyat (Nuraeni 2017).

Tanaman murbei yang umum dibudidayakan oleh petani sutera

mempunyai produksi daun relatif masih rendah yaitu 7-10 ton per ha per

tahun (Santoso, 2012). Murbei memiliki peranan penting mengingat bahwa

pemanfaatan murbei sebagai pakan ulat sutra mengalami peningkatan

sedangkan kondisi habitatnya terancam oleh pertambahan penduduk dan

5
aktifitas modernisasi serta kurangnya informasi genetik dari tanaman

murbei yang dibudidayakan.

Tersedianya tanaman murbei yang memenuhi dari segi kualitas dan

kuantitas merupakan salah satu faktor penentu kontinuitas pemeliharaan

ulat sutera. Pemilihan jenis atau varietas yang ditanam merupakan hal

yang sangat perlu diperhatikan (Muin et al., 2015). Oleh karena itu,

diperlukan adanya usaha seleksi jenis murbei sebagai pakan yang ideal

bagi ulat sutera, yaitu pakan yang mudah dicerna serta mengandung

nutrisi yang sesuai dengan setiap fase perkembangan ulat.

Kaomini (2003) menyatakan bahwa daun murbei dengan nutrisi yang

baik akan meningkatkan daya tahan ulat terhadap serangan penyakit dan

meningkatkan produksi kokon 20% lebih banyak. Kandungan unsur kimia

dalam daun murbei dapat mempengaruhi kesehatan ulat serta mutu kokon

yang dihasilkan. Kandungan unsur kimia penting dalam daun murbei yang

dibutuhkan ulat sutera adalah kandungan air, protein, karbohidrat dan

kalsium (Ca) (Sasminto, 1998).

Keragaman genetik ini dianggap penting karena sumberdaya

genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup

sampai generasi yang akan datang. Krisis biodiversitas atau keragaman

hayati dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik jenis.

Dalam melakukan pemuliaan tanaman, keragaman genetik merupakan

salah satu faktor penting. Hal ini disebabkan karena nilai suatu plasma

nutfah akan meningkat jika dilengkapi dengan data pola keragaman

6
secara morfologi, genotip (karakterisasi) dan responnya terhadap

cekaman biotik dan abiotik (Agisimanto dan Supriyanto, 2007).

Penanda molekuler yang berhasil dikembangkan sebagian besar

telah mengatasi masalah yang terkait dengan klasifikasi berbasis fenotipe.

Penanda molekuler populer untuk analisis keragaman meliputi panjang

fragmen restriksi polimorfisme (RFLP), polimorfik diperkuat yang dibelah

sequence (CAPS), sequence-tagged site (STS), sederhana sequence

repeat (SSR), polimorfisme nukleotida tunggal (SNP), DNA polimorfik yang

diperkuat secara acak (RAPD), wilayah diperkuat yang dikarakterisasi

diurutkan (SCAR), amplified fragment length polymorphism (AFLP), dan

penanda Inter Simple Sequence Repeats (ISSR) (Zietkiewcz, 1994).

Penanda ISSR merupakan penanda molekuler yang umumnya

digunakan untuk mengamati keragaman genetik, studi filogenik,

penandaan gen, pemetaan genom dan pengamatan evolusi dari berbagai

spesies (Reddy et. al., 2002). Analisis menggunakan penanda ISSR telah

dilakukan pada banyak jenis tumbuhan, dengan berbagai tujuan, seperti

untuk tujuan koleksi dan konservasi jeruk Afrika (Djè et al., 2010),

konservasi teh varietas japonica di Cina dan Jepang (Lin et al., 2013),

karakterisasi plasma nutfah ubi jalar Brasil (Moulin et al., 2012), dan studi

evolusi dan spesiasi pada Asteraceae (Archibald et al., 2006). Penanda

ISSR juga telah digunakan untuk melihat keragaman genetik dan

hubungan murbei di india (Awashti et al., 2004) dan di Cina untuk studi

kestabilan genetik hasil kultur jaringan (Rohela et al. 2020). Penanda

ISSR memiliki keunggulan dibandingkan penanda molekuler lainnya

7
seperti tingkat reproduksibilitas yang tinggi dibandingkan penanda RAPD

(Mei et al., 2015), penggunaan biaya yang lebih murah dan tidak perlu

digunakannya radioaktif pada penanda AFLP (Costa et al., 2016), dan

tidak perlu dilakukan pengembangan dan optimasi primer spesifik untuk

penanda SSR (Zulfahmi, 2013).

Penelitian ini akan sangat membantu proses pemuliaan karena

pendekatan untuk kajian keragaman genetik murbei di Indonesia yang

menggunakan penanda ISSR belum pernah dilakukan dan menganalisis

kandungann nutrisi dari berbagai jenis daun murbei di Perkebunan

sehingga data kandungan nutrisi daun murbei dapat dijadikan sumber

acuan untuk pemilihan jenis murbei sebagai pakan ulat sutera.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana primer ISSR mampu mengamplifikasi DNA Murbei dengan

baik dari berbagai provenansi di Sulawesi Selatan?

2. Bagaimana tingkat keragaman genetik Murbei provenansi Soppeng,

Enrekang, dan Wajo di Sulawesi Selatan menggunakan penanda

ISSR?

3. Bagaimana kandungan nutrisi pada murbei yang digunakan oleh petani

sebagai pakan ulat sutera di Sulawesi Selatan

8
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan primer ISSR yang dapat digunakan untuk kajian


molekuler tanaman murbei
2. Menganalisis keragaman genetik dengan penanda ISSR pada murbei
berdasarkan marka ISSR di kabupaten Soppeng, Enrekang, dan Wajo
di provinsi Sulawesi Selatan.
3. Menguji kandungan nutrisi murbei yang digunakan oleh petani sebagai
pakan ulat sutera

1.4 Manfaat Penelitian

Informasi keragaman genetik yang diperoleh dapat memberikan

manfaat sebagai sumber informasi pemuliaan murbei sebagai bahan

pakan untuk ulat sutera khususnya di Sulawesi Selatan yang akan

berpengaruh terhadap kualitas kokon ulat sutera. Penelitian ini juga akan

menjadi rujukan dalam pengembangan budidaya murbei dan

mengembalikan kejayaan persuteraan alam Sulawesi Selatan.

9
BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Murbei

2.1.1 klasifikasi
Tanaman murbei Morus spp. dikenal dengan nama khas atau nama

lokal, misalnya di Jawa (besaran), di Sumatera (babasaran) dan Sulawesi

(gertu). Sementara itu, tanaman ini dikenal sebagai mulberry di Inggris

dan moerbei di Belanda (Andadari et al. 2013). Tanaman murbei

diklasifikasikan (Tjitrosoepomo, 2007) sebagai berikut:

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledonae

Subclassis : Apetalae

Ordo : Urticales

Familia : Moraceae

Genus : Morus

Species : Morus spp.

Jenis-jenis Tanaman Murbei di Indonesia terdapat kira-kira 100 jenis

murbei, tetapi yang dikenal 6 jenis, yaitu: Morus cathayana, M. alba, M.

multicaulis, M. nigra, M. australis dan M. macroura. Jenis murbei yang

saat ini banyak dikembangkan adalah M. alba, Var. Kanva-11, M.

10
cathayana, M. multicaulis, M. nigra, M. khumpay dan M. lembang

(Andadari, 2013).

Varietas murbei unggul adalah yang memiliki kemampuan produksi

tinggi dan resisten terhadap kekeringan, hama dan penyakit, serta mudah

dibudidayakan. Oleh sebab itu, pengembangan tanaman ini perlu

dipertimbangkan untuk memperoleh varietas murbei yang baik (varietas

unggul). Jenis murbei dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan warna

daun, tepi dan permukaan daun, warna pucuk dan batang (Atmosoedardjo

et al.,2000).

Tanaman murbei termasuk tumbuhan perdu dan bila dibiarkan

tumbuh akan menjadi pohon yang besar dan tinggi. Umumnya, tanaman

ini bercabang banyak dan bentuk daunnya bermacam macam menurut

jenisnya; ada yang bulat, lonjong, berlekuk, bergerigi dan ada pula yang

bergelombang. Habitus tanaman murbei berupa perdu, tetapi apabila

dibiarkan tanpa ada pemangkasan akan menjadi pohon yang tinggi,

hingga mencapai 6 m dengan percabangan yang sangat banyak, tetapi

tajuknya sangat jarang (Andadari, 2013).

Persebaran tanaman murbei cukup luas, mulai dari daerah sedang

(sub tropis) sampai daerah tropis. Di Indonesia, tanaman murbei dapat

tumbuh mulai dari ketinggian 10-3.600 m dpl pada semua jenis tanah,

asalkan air dan udara dalam tanah cukup. Temperatur optimum untuk

pertumbuhan murbei antara 23,9-26,6° C. Namun demikian, murbei masih

baik pertumbuhannya pada daerah dengan temperatur tidak kurang dari

11
13° C dan tidak lebih dari 37,7° C. Curah hujan yang baik untuk

pertumbuhan murbei antara 635-2.500 mm/ tahun (Samsijah dan

Andadari, 1993).

2.1.2 Penyebaran dan Habitat

Tanaman murbei dipercayai sebagai tanaman yang berasal dari

India dan China di kaki pegunungan Himalaya. Dari wilayah tersebut

kemudian tanaman murbei tersebar sampai ke beberapa wilayah seiring

dengan perkembangan pengusahaan persuteraan alam. Selain itu,

penyebaran tanaman murbei ke beberapa wilayah juga didukung oleh

kemudahan tanaman murbei yang dapat tumbuh dari daerah sub tropis

hingga ke daerah tropis (Patandianan, 2010).

Persebaran tanaman murbei cukup luas, mulai dari daerah sub

tropis sampai daerah tropis. Di Indonesia, tanaman murbei dapat tumbuh

mulai dari ketinggian 10-3.600 m dpl., pada semua jenis tanah, asalkan air

dan udara dalam tanah cukup. Temperatur optimum untuk

pertumbuhan murbei antara 23,9-26,6 °C. Namun demikian, murbei

masih baik pertumbuhannya pada daerah dengan temperatur tidak kurang

dari 13 °C dan tidak lebih dari 37,7 °C. Curah hujan yang baik untuk

pertumbuhan murbei antara 635-2.500 mm/tahun (Samsijah dan

Andadari, 1993).

Tanaman murbei dapat tumbuh subur dan tahan terhadap penyakit

pada sistem agroforestri (Harbi et al., 2015). Di Indonesia dilaporkan

paling tidak terdapat tujuh spesies murbei (Katsuma, 1972) disitasi oleh

12
Sanchez (2002) yaitu M. alba var. tartanica, M. alba var. macrophyla, M

nigra, M. multicaulis, M. australia, M. chatayana dan M. mierovra.

2.1.3 Kandungan Nutrisi Daun Murbei

Kandungan gizi daun murbei secara umum meliputi unsur air, protein,

karbohidrat dan kalsium. Kandungan air daun murbei yang cocok bagi ulat

sutera berkisar 64-83% dari berat daun segar. M. multicaulis, M. alba dan

M. cathayana merupakan jenis murbei yang produksi dan kandungan

gizinya tinggi (Andadari, 2003).

Kandungan nutrisi dan produksi biomassanya yang tinggi menjadikan

murbei sebagai hijauan yang ideal untuk dibudidayakan dengan skala

besar didaerah yang beriklim tropis (Jelan and Saddul, 2004).

Produktivitas dan kualitas nutrisi tanaman pakan dipengaruhi oleh umur

(fase tumbuh) tanaman (Nelson and Moser, 1994) maupun komposisi

fraksi tanaman, seperti rasio daun/batang (Ugherughe, 1986; Thapa et al.,

1977). Disamping itu, frekuensi pemotongan dapat mempengaruhi

produksi bahan kering, komposisi morfologis, komposisi nutrisi serta

kecernaan pakan (Kabi and Bareeba, 2008).

Kandungan protein kasar daun murbei merupakan indikator kualitas

murbei yang baik (Setiawan, et al., 2015). Daun murbei terdiri dari protein

(terdiri dari asam amino) yang berlimpah dan sesuai secara proporsional.

Mengandung asam amino esensial dan semi esensial yang lebih dari

setengah asam amino total dengan kandungan metionin dan lisin yang

tinggi (Ma, et al., 2019). Selain itu, daun murbei juga kaya akan kalsium,

13
zat besi, fosfor, kalium, karoten, dan vitamin. Buah murbei segar kaya

akan asam amino, vitamin dan mineral, seperti Zn, Mn, Fe, Ca. Buah

murbei segar dan matang mengandung 85-88% air, karbohidrat 7,8-9,2%

(gula, terutama glukosa dan fruktosa), protein 0,4-1,5%, lemak 0,5-0,5%

(terutama asam lemak, seperti linoleat, stearat dan asam oleat dalam biji),

1.1-1,9% asam bebas (terutama asam malat), 0,9-1,4 serat, dan 0,7- 0,9%

mineral. Asam amino yang ditemukan dalam buah murbei adalah asam

aspartat, metionin, treonin, lisin, arginin, histidin, leusin, prolin dan triptofan

(Savithri dan Sujathamma, et al. 2016).

Kandungan nutrisi daun murbei disamping dipengaruhi oleh sifat

genetik tanaman, juga ditentukan oleh keadaan lingkungan tempat

tumbuh (Tazima 1978). Lebih lanjut, Andikarya (2019) menyatakan

bahwa, kandungan zat-zat makanan daun murbei berbeda-beda, karena

ketinggian tempat, kondisi agroklimat, kondisi kesuburan tanah, metode

dan waktu pemeliharaan tanaman.

2.1.4 Pemanfaatan Tanaman Murbei

Tanaman murbei (Morus spp.) sebagai pakan ulat sutera

merupakan salah satu faktor penting dalam usaha persuteraan. Jumlah

dan kualitas daun murbei mempengaruhi kesehatan ulat, produksi dan

kualitas kokon. Kualitas kokon pada akhirnya menentukan kualitas dan

kuantitas benang sutera yang dihasilkan. Pengaruh pakan terhadap

kualitas kokon telah banyak diteliti para pakar persuteraan.

14
Kaomini (2003) menyatakan bahwa daun murbei dengan nutrisi

yang baik akan meningkatkan daya tahan ulat terhadap serangan penyakit

dan meningkatkan produksi kokon 20% lebih banyak. Sasminto (1998)

menekankan pada kandungan unsur kimia dalam daun murbei yang

berpengaruh terhadap kesehatan ulat serta mutu kokon yang dihasilkan.

Kandungan unsur kimia penting dalam daun murbei yang dibutuhkan ulat

sutera adalah kandungan air, protein, karbohidrat dan kalsium (Ca). Lebih

lanjut, Sasminto menyatakan bahwa produksi kokon yang berkualitas baik

juga sangat ditentukan oleh jenis tanaman murbei yang unggul.

Abbasi et al. (2014), juga menyatakan bahwa buah murbei Morus

alba dapat digunakan untuk menyembuhkan sakit tenggorokan, kayunya

digunakan dalam gagang alat dan konstruksi serta daunnya digunakan

sebagai pakan ternak untuk kambing dan domba. Sedangkan murbei

hitam Morus nigra L. daunnya digunakan sebagai pakan ulat sutera,

sebagai obat untuk mengontrol kadar gula dan tekanan darah, dan

sebagai pakan ternak. Kayu murbei hitam digunakan sebagai bahan bakar

dan dalam kontruksi serta cabang mudanya yang lunak dan fleksibel

digunakan untuk membuat keranjang.

2.2 Keragaman Genetik

Keragaman genetik adalah suatu tingkatan biodiversitas yang

mengacu pada jumlah total variasi genetik dalam keseluruhan spesies

yang terdapat pada sebagian atau seluruh permukaan bumi yang dapat

didiami. Informasi keragaman genetik diperlukan untuk mendukung

15
kegiatan konservasi dan pemuliaan tanaman. Besarnya keragaman

genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk kegiatan

konservasi. Keragaman genetik yang luas diperlukan dalam kegiatan

seleksi untuk merakit tanaman unggul (Ardiyani et al., 2014).

Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam satu

spesies baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografik

maupun di antara individu-individu dalam satu populasi. Individu dalam

satu populasi memiliki perbedaan genetik antara satu dengan lainnya.

Variasi genetik timbul karena setiap individu mempunyai bentuk-bentuk

gen yang khas. Variasi genetik bertambah ketika keturunan menerima

kombinasi unik gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen

yang terjadi melalui reproduksi seksual. Proses inilah yang meningkatkan

potensi variasi genetik dengan mengatur ulang alela secara acak

sehingga timbul kombinasi yang berbeda-beda (Indrawan, 2007).

Menurut Kusuma, dkk. (2016) menyatakan keragaman genetik

merupakan suatu variasi di dalam populasi yang terjadi akibat adanya

keragaman di antara individu yang menjadi anggota populasi. Genetik

dapat dijadikan kunci konservasi karena berperan penting dalam

mempertahankan populasi dan pemulihan dari kerusakan. Oleh karena itu,

informasi mengenai keragaman genetik membantu dalam proses

pengelolaan Kawasan perlindungan laut secara berkelanjutan.

Penilaian keragaman genetik tanaman secara morfologi dilakukan

melalui uji progeni, uji provenan dan pengujian lainnya dengan mengamati

penampilan fenotipik tanaman. Pengujian ini dilakukan pada lingkungan

16
yang berbeda dengan fokus utama adalah ciri kualitatif dan kuantitatif

yang bernilai ekonomi serta ciri yang secara biologi penting seperti

kemampuan hidup (survive), sifat toleran terhadap stres lingkungan, sifat

produksi dan resistensi terhadap hama dan penyakit. Ciri–ciri tersebut

bersifat poligenik dan ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan. Studi

secara tradisional dengan metode genetika kuantitatif, penilaian

keragaman dan distribusi keragaman dikelompokkan ke dalam beberapa

kelas pengaruh, seperti pengaruh fenotifik, genotipe, lingkungan dan

interaksi antara lingkungan dan genotipe. Penentuan keragaman genetik

tanaman secara konvensional ini membutuhkan waktu yang lama, relatif

mahal, dipengaruhi oleh lingkungan dan keragaman yang diperoleh

terbatas dan tidak konsisten (Zulfahmi, 2013).

Penelitian keragaman genetik sebelumnya telah lama dilakukan di

laboratorium bioteknologi dan pemuliaan pohon fakultas Kehutanan

Universitas Hasanuddin. Penelitian yang dilakukan oleh (Larekeng et al.

2019) tentang keragaman Genetik indukan dan anakan Populasi eboni

(Diospyros celebica Backh.) menggunakan penanda Simple sequence

repeat (SSR). Dimana hasil yang didapatkan bahwa keragaman genetik

eboni pada penelitian ini tergolong rendah sehingga Infusi genetik

diperlukan untuk mencegah terjadinya penyerbukan sendiri dan

penurunan potensi genetiknya. Penggunaan marka SSR juga dilakukan

pada jenis Jabon merah (Arif et al. 2019) dan Duabanga moluccana

(Larekeng et al. 2020).

17
2.3 Penanda Genetik

Deoxiribose Nucleic Acid (DNA) adalah bahan yang diwariskan dan

merupakan unsur pokok kromosom yang disebut nuklein atau bahan yang

ada hubungannya dengan nukleus. DNA merupakan material dasar dari

hereditas dan makromolekul biologi untuk penyimpanan informasi genetik

(Finkeldey, 2005). Selkoe dan Toonen (2006), mengatakan DNA

merupakan substansi dasar penyusun gen. Gen berada dalam setiap

tubuh makhluk hidup yang berfungsi sebagai unit dasar hereditas.

Pendekatan secara genetik dapat mengidentifikasi tanaman dalam

melakukan pemuliaan atau untuk mengetahui variasi genetik. Penilaian

keragaman genetik tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan

penanda morfologi, biokimia dan molekuler DNA.

Sejak ditemukan teknologi PCR penanda molekuler DNA

berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai bidang, baik yang

menggunakan primer acak yang tidak memerlukan informasi sekuen DNA

maupun yang memerlukan informasi sekuen DNA, hal ini karena

kecepatan, efisiensi dan kesuksesan dalam mendeteksi berbagai tipe

variasi DNA yang tinggi. Teknologi PCR terus disederhanakan dan

dikembangkan, sehingga biaya relatif rendah, kecepatan tinggi,

membutuhkan contoh uji sangat sedikit, metode ekstraksi dan amplifikasi

yang sederhana sehingga membuat penanda berdasarkan PCR dapat

diaplikasikan pada semua spesies (Ishak, 1998).

18
Penanda genetik secara morfologi dilakukan melalui uji progeni, uji

provenan dan pengujian lainnya dengan mengamati penampilan fenotipik

tanaman. Pengujian ini dilakukan pada lingkungan yang berbeda dengan

fokus utama adalah ciri kualitatif dan kuantitatif yang bernilai ekonomi

serta ciri yang secara biologi penting seperti kemampuan hidup (survive).

Keterbatasan penanda morfologi ini mendorong perkembangan penanda

lain yang dapat langsung mengakses ke bagian material yang

mengendalikan karakter atau ciri suatu individu, yaitu yang dikenal dengan

penanda molekuler DNA (Finkeldey, 2005).

Penanda molekuler DNA dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu,

pertama penanda DNA tanpa PCR (non-PCR based techniques) seperti

RFLP, kedua penanda DNA berdasarkan PCR yang meliputi RAPD,

AFLP, SSR, CAPS, SCAR, SSCP dan DNA Barkoding (Fernandez et

al.,2002). Penanda mikrosatelit mempunyai sepasang sekuense primer

sehingga amplifikasi alel lebih stabil dan lebih powerful. Penanda

mikrosatelit bersifat kodominan dan mempunyai level keragaman genetik

dan pembeda genotipe yang sangat tinggi sehingga mampu membedakan

genotipe antar varietas (Karakousis dkk, 2006). Penanda mikrosatelit telah

digunakan untuk mengidentifikasi varietas gandum liar (Feng et al.,2006).

2.4 Inter simple sequence repeat (ISSR)

Inter-simple sequence repeat (ISSR) merupakan marka semi acak

yang diamplifikasi oleh primer yang komplementer terhadap suatu target

mikrosatelit. Marka ini dikembangkan dari daerah yang terletak di antara

19
dua lokus mikrosatelit. Teknik genotyping menggunakan marka ISSR

didasarkan pada variasi yang terdapat dalam sekuen yang terletak di

antara duan sekuen mikrosatelit yang berdekatan (Zietkiewics dkk.,1994).

Awalnya Zietkiewics dkk. (1994) menggunakan primer tunggal dengan

ulangan (CA)n dengan menambahkan nukleotida spesifik pada ujung

pelekatan 3- atau 5-. Primer tunggal yang telah didesain dapat berperan

sebagai primer forward yang akan mengamplifikasi cetakan DNA ke arah

downstream dan primer reverse yang akan mengamplifikasi cetakan DNA

ke arah upstream. Karakteristik primer ISSR yang memiliki sekuen

tambahan dengan inti mikrosatelit umumnya bersifat sama di dalam

genom seluruh organisme, yakni memiliki tingkat variasi alel yang tinggi

dan potensial untuk analisis yang dapat diulang sehingga menjadikan

daerah ini sebagai marka molekuler yang unggul (Trojanwska & Balibok

2004).

Marka ISSR merupakan daerah di dalam DNA yang panjangnya

sangat bervariasi dalam suatu spesies yang sama (Salimath et al.,1995).

Amplifikasi menggunakan marka ISSR tidak membutuhkan informasi

sekuen genom dan pola pita multilokus yang dihasilkan sangat polimorfik.

Ukuran pita DNA yang diamplifikasi oleh primer ISSR berkisar 100-3000

pasang basa (Nagaoka dan Ogihara, 1997). Metode ISSR sering

digunakan untuk mempelajari sidik jari genetik, penandaan gen, deteksi

variasi klon, identifikasi kultivar, analisis filogenetik, deteksi ketidakstabilan

genom, dan pengujian hasil hibridisasi pada tumbuhan maupun hewan

yang berkerabat dekat (Song, 2005).

20
Keuntungan penggunaan marker ISSR antara lain (1) tidak

dipengaruhi musim dan lingkungan (Azrai, 2005), (2) tidak diperlukannya

data sekuen terlebih dahulu, (2) hanya membutuhkan 5-50 ng cetakan

(template) DNA per reaksi, (3) ISSR tersebar di seluruh genom (4) dapat

menghasilkan pola polimorfisme lebih tinggi dari pada RAPD (Guo et al.,

2009), (5) menghasilkan polimorfisme pada tingkat kultivar (Lu et al.,

2011; Sanjay et al., 2011), (6) bersifat dominan (Kumar, 2009), dan (7)

dapat digunakan untuk analisis keragaman genetik dan analisis

kekerabatan (Trojanowska dan Bolibok, 2004).

Keunggulan ISSR adalah secara teknis analisisnya cepat, murah,

jumlah DNA yang digunakan sedikit, dan mampu mendeteksi genetik

polimorfisme tanpa perlu mengetahui susunan basa genom yang

dianalisis (Kumar et al. 2009). Penanda molekuler ISSR telah digunakan

untuk membuat sidik jari (fingerprint) plasma nutfah Garcinia mangostana

(Widiastuti et al.,2013), identifikasi kerapatan hubungan kekerabatan

kultivar jeruk keprok (Yulianti et al.,2010), identifikasi keanekaragaman

genetika durian lokal Thailand (Vani- jajiva 2012), dan keanekaragaman

genetika durian D. kutejensis (Handayani & Rahayu 2017).

2.5 Analisi Progsimat

Analisis proksimat merupakan analisis kandungan makro zat dalam

suatu bahan makanan. Analisis proksimat adalah analisis yang dapat

dikatakan berdasarkan perkiraan saja, namun sudah dapat

menggambarkan komposisi bahan yang dimaksud (Hermita, et al., 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vionita dan Insafitri (2020), analisis

21
proksimat terdiri dari uji kandungan air, abu, lemak, protein, serat dan

karbohidrat. Analisis proksimat dapat dilakukan dengan metode sebagai

berikut:

2.5.1 Metode Gravimetri

Metode gravimetri yaitu analisis kimia secara kuatitatif berdasarkan

proses pemisahan dan penimbangan suatu unsur atau senyawa tertentu

dalam bentuk yang murni (Hairunnisa, et al., 2017). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Prasetyaningsih, at al. (2018), analisis

proksimat dengan menggunakan metode gravimetri dapat digunakan

dalam penetapan kadar air, kadar abu dan kadar serat. Selain itu,

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Murningsih, et al. (2019),

kadar lemak juga dapat ditetapkan secara gravimetri.

Kadar air adalah banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan

dan biasanya dinyatakan dalam persen (Lisa, et al., 2015). Kadar air yang

dimaksud dalam analisa proksimat adalah air yang masih tersisa dalam

bahan selama terjadi proses pengeringan pada suhu 100-105˚C dengan

tekanan udara atmosfer, hingga mencapai bobot tetap penimbangan

(Prasetyaningsih, et al., 2018). Prinsip kerja analisis kadar lemak dengan

metode gravimetri adalah kehilangan bobot pada pemanasan 105˚C

dianggap sebagai kadar air yang terdapat dalam sampel (Hairunnisa, et

al., 2017). Analisis kadar abu dilakukan untuk mengetahui kandungan

mineral anorganik pada suatu bahan dalam bentuk abu setelah melalui

proses pembakaran dalam tanur (Seftiono, et al., 2019).

22
Kadar abu merupakan parameter untuk menunjukkan nilai

kandungan bahan anorganik (mineral) yang ada dalam suatu bahan atau

produk. Semakin tinggi nilai kadar abu maka semakin banyak kandungan

bahan anorganik didalam bahan tersebut (Lestari, et al., 2018). Prinsip

kerjanya adalah memisahkan bahan organik dan bahan anorganik.

Kandungan abu ditentukan dengan cara membakar untuk mengabukan

sampel dalam tanur pada suhu 400-600˚C sampai semua karbon hilang

dari sampel. Dalam range suhu tersebut bahan organik seperti sulfur dan

fosfor yang berasal dari senyawa protein akan hilang selama masa

pembakaran (Prasetyaningsih, et al., 2018).

Penentuan kadar lemak yang terkandung pada suatu sampel

didasarkan pada prinsip pengujian metode ekstraksi yang bertujuan

untuk menarik komponen-komponen yang terkandung dalam suatu

sampel dengan menggunakan pelarut organik. Selanjutnya untuk

mendapatkan lemaknya maka pelarut diuapkan dengan cara dioven.

Analisis perhitungan kadar lemak menggunakan metode gravimetri

berdasarkan pada perbandingan berat lemak kasar dengan berat sampel

awal (Pratama, et. al., 2014). Kandungan lemak yang didapat dari analisa

lemak proksimat bukanlah lemak murni, melainkan didalamnya terdapat

wax, asam organik, dan pigmen, sehingga hasil yang didapat dalam

analisa proksimat disebut dengan lemak kasar (Prasetyaningsih, et al.,

2018).

Fraksi serat dalam bahan pangan yang dianalisa secara proksimat

mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Langkah pertama

23
dalam penentuan serat kasar adalah dengan pendidihan menggunakan

asam sulfat. Bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan

menggunakan larutan alkali. Residu dari proses tersebut yang tidak larut

merupakan serat kasar (Prasetyaningsih, et al., 2018).

2.5.2 Metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl merupakan metode yang umum digunakan untuk

menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. Metode ini

didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total yang ada di dalam

sampel. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio

tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk sampel yang dianalisis.

Karena unsur nitrogen tidak hanya berasal dari protein, maka metode ini

umumnya mendasarkan pada asumsi bahwa kandungan nitrogen di dalam

protein adalah sekitar 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam

kadar protein, digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6,25.

Kelemahan dari metode ini adalah mengukur bukan hanya nitrogen pada

protein, tetapi juga nitrogen dari non-protein, dengan demikian informasi

kadar nitrogen dalam protein menjadi sangat penting untuk digunakan

sebagai faktor konversi dalam perhitungan (Yenrina et al., 2015).

Pengujian kadar protein dengan menggunakan metode Kjeldahl terdiri

dari tiga tahapan yaitu destruksi, destilasi dan titrasi (Khamidah, et al.,

2019). Prinsip penetapan protein dengan metode ini adalah berdasarkan

oksidasi bahan- bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia.

Selanjutnya amonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk

amonium sulfat. Larutan dibuat menjadi basa, dan amonia diuapkan untuk

24
kemudian diserap dalam larutan asam borat. Nitrogen yang terkandung

dalam larutan dapat ditentukan jumlahnya dengan titrasi menggunakan

HCL 0,02 N (Yenrina, et al., 2015).

2.5.3 Metode Luff Schroorl

Kandungan karbohidrat dalam suatu bahan dapat ditentukan secara

kuantitatif dengan menggunakan metode Luff Schroorl. Metode Luff

Schroorl merupakan salah satu metode yang digunakan untuk

menstandarkan analisis gula pereduksi (Afriza dan Ismanilda et al., 2019).

Prinsip dasar penetapan kadar karbohidrat dengan metode Luff Schoorl

adalah hidrolisa menjadi gula-gula pereduksi yang kemudian ditetapkan

secara luff school. Gula-gula pereduksi (glukosa dan maltosa) dapat

mereduksi Cu2+ menjadi Cu+. Kemudian Cu2+ yang tidak tereduksi (sisa)

dapat dititer secara iodometri. Jumlah Cu2+ asli ditentukan dalam suatu

percobaan blanko dan dari perbedaannya dapat ditentukan jumlah gula

dalam larutan yang dianalisis (Yenrina, 2015). Namun terdapat kelemahan

pada metode ini karena dapat menimbulkan hasil yang kurang konsisten.

Selain itu, metode ini juga membutuhkan pekerjaan yang tidak sederhana

karena rangkaian alatnya yang cukup sulit dan lebih banyak

memakan waktu dibandingkan dengan metode lain (Afriza dan Ismanilda

et al., 2019).

2.6 Kerangka Pikir Penelitian

Tanaman murbei merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera.

Hasil dari budidaya ulat sutera berupa kokon dapat langsung dipasarkan

25
atau dapat juga diolah menjadi benang sutera sebagai bahan untuk

pembuatan kain sutera. Budidaya ulat sutera dapat memberikan hasil

berupa kokon dalam waktu kurang lebih satu bulan. Budidaya ulat sutera

merupakan usaha yang potensial, mengingat kebutuhan benang nasional

belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Keragaman genetik ini dianggap penting karena sumberdaya genetik

merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai

generasi yang akan datang. Dalam melakukan pemuliaan tanaman,

keragaman genetik merupakan salah satu faktor penting. Hal ini

disebabkan karena nilai suatu plasma nutfah akan meningkat jika

dilengkapi dengan data pola keragaman secara morfologi, genotip

(karakterisasi) dan responnya terhadap cekaman biotik dan abiotik

(Agisimanto dan Supriyanto, 2007).

Kajian keragaman genetik murbei yang menggunakan penanda ISSR

di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan. Namun, dibeberapa negara

lain analisis menggunakan penanda ISSR telah dilakukan pada banyak

jenis tumbuhan, dengan berbagai tujuan. Penanda ISSR adalah penanda

multilokus yang didasarkan pada amplifikasi (penggandaan) fragmen

DNA, yang diapit oleh sekuen nukleotida berulang sederhana dengan

orientasi terbalik. Peran fragmen berulang dalam kromosom dapat

merupakan daerah berpeluang tinggi terjadinya pindah silang pada

peristiwa reduksi kromosom (meiosis). Penanda ini merupakan penanda

dominan yang memiliki beberapa keunggulan, dibandingkan dengan

penanda dominan lain, seperti RAPD (Ziętkiewicz et al.,1994).

26
Dalam rangka memenuhi kebutuhan murbei sebagai pakan ulat

sutra yang tinggi dilakukan analisis keragaman genetik berdasarkan

marka ISSR kabupaten Soppeng, Enrekang, dan Wajo di Sulawesi

Selatan. Sehingga, penelitian ini menjadi solusi yang tepat untuk

menyediakan sumber informasi genetik dalam mendukung kegiatan

pemuliaan murbei khususnya di Sulawesi Selatan yang akan berpengaruh

terhadap kualitas kokon ulat sutera. Penelitian ini juga akan menjadi

rujukan dalam pengembangan budidaya murbei dan mengembalikan

kejayaan persuteraan alam Sulawesi Selatan.

Analisis Keragaman
Informasi
Penanda Genetik Murbei
genetik
Molekuler Berdasarkan
Murbei
Penanda ISSR

Ketersediaan Murbei
Terjaminnya murbei
sebagai pakan yang Sumber Informasi
yang sesuai untuk
sesuai kebutuhan Genetik Tersedia
pakan ulat sutera
ulat sutera

Informasi
kandungan
nutrisi murbei

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

27
BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga

Februari 2021. Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu

pengambilan sampel penelitian dan analisis keragaman genetik. Sampel

penelitian ini diambil di beberapa pertanaman di Kabupaten Soppeng,

Kabupaten Enrekang, dan Kabupaten Wajo. Kegiatan laboratorium untuk

analisis keragaman genetik dilakukan Laboratorium Bioteknologi dan

Pemuliaan Pohon Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar

dan untuk analisis kandungan kimia setiap jenis daun murbei bertempat

di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar

28
Pegambilan sampel dilakukan pada arean perkebunan petani murbei
ditiga kabupaten berbeda yaitu Kabupaten Soppeng, Enrekang, dan Wajo

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel daun murbei di Kabupaten


Soppeng, Enrekang, dan Wajo di provinsi Sulawesi Selatan.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu gunting, timbangan analitik, mikropipet,

Centrifuge, Tube (1,5 ml), mortar, waterbath, vortex, freezer, mesin PCR,

29
cetakan agar, gelas erlenmeyer, microwave, mesin elektroforesis, UV

transiluminator, kamera digital dan spatula.

Bahan yang digunakan yaitu glove, sampel daun Murbei, alkohol,

aquades, larutan CTAB, isoamil alcohol + chloroform, isopropanol, buffer

TE, chloroform, ddH2O, tube, tip biru, tip kuning, DNA Murbei, primer

RAPD, PCR kappa, Cl, tip putih, agarose 2%, buffer 1x TAE, produk hasil

PCR, dan gel red.

C. Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan adalah daun Murbei, bagian yang digunakan

untuk isolasi DNA adalah bagian daun yang masih hijau atau daun ketiga

dari bagian pucuk. Karena pada bagian tersebut banyak mengandung

DNA dan masih sedang aktif melakukan proses pembelahan dan

pertumbuhan sel. Sampel daun berasal dari provenans. Jumlah daun yang

diambil untuk setiap jenis berbeda-beda sesuai dengan jumlah pohon

yang ada di lapangan, sampel daun yang telah diambil dari setiap jenis

Murbei dimasukkan ke dalam wadah atau Corelbox yang berisi icegel

yang berfungsi agar daun tetap terjaga kualitasnya sehingga daun menjadi

tidak rusak dan selanjutnya daun disimpan dalam freezer hingga proses

ekstraksi dilakukan.

30
1. Isolasi DNA

Isolasi DNA dilakukan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimentyl

Ammonium Bromide) Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

1. Sampel dari setiap daun Murbei ditimbang 0,3 gr tanpa tulang daun

kemudian digerus hingga menjadi halus.

2. Setelah digerus hingga halus menambahkan 800 µ1 buffer ekstraksi

CTAB untuk memisahkan DNA dengan komponen lain (100 mM Tris

Hcl pH 8,0 ; 20 Nm EDTA (Etilen Diamin Tetra Acetic Acid), 2%

CTAB ; 1,4 M. NaCl) dan divortex selama 15 detik.

3. Proses selanjutnya adalah proses lisis dinding sel pada sampel yang

dilakukan dengan menginkubasi tabung berisi sampel daun ke dalam

waterbath suhu 65ºC selama 120 menit.

4. Setiap sampel yang telah diinkubasi ditambahkan isoamilalkohol :

chloroform agar DNA terpisah dengan kandungan-kandungan organik

(24 : 1) 100 µ1 dan dicampur secara perlahan-lahan kemudian

disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 5 menit.

5. Supernatan atau cairan bening yang berada di atas sampel hasil

sentrifugasi dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan 800

µl isopropanol sebagai pencuci untuk menghilangkan kandungan

garam yang masih tersisa (dapat dilihat pada Lampiran 3 Gambar 1).

6. Larutan kemudian disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama

10 menit dan endapan DNA dikeringkan selama semalam.

31
7. Endapan DNA yang diperoleh dipurifikasi dengan menambahkan 500

µ1 buffer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 7,5 mM EDTA), lalu disentrifugasi

selama 10 menit pada kecepatan 10. 000 rpm.

8. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung tube 2 ml baru dan

ditambahkan 100 µ1 kloroform.

9. Larutan supernatan selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000

rpm selama 10 menit. Supernatan diambil kemudian ditambahkan 100

µ1 natrium asetat 3 M dan 800 µ1 isopropananol, kemudian

disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 10. 000 rpm.

10. Endapan diambil dan dikeringkan selama semalam lalu ditambahkan

100µ1 Buffer TE sebagai pengikat DNA murni dan disimpan dalam

lemari freezer bersuhu -20 °C

4. Seleksi primer

Primer yang dipilih adalah primer yang bersifat polimorfik,

menghasilkan pita yang jelas. Kondisi optimum serta tingkat variasi pita

yang dihasilkan dari setiap primer, membutuhkan beberapa primer yang

berbeda pada kondisi yang sama, dan menggunakan sampel DNA yang

berbeda. Primer-primer yang diseleksi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nama primer dan Sekuen Primer ISSR yang diseleksi (Kalpana et
al. 2012)
No. Nama Primer Urutan Sekuen Nukleotida (5’-3’) Tm(°C)

1 UBC 810 CTC TCT CTC TCT CTC TT 45,7


2 UBC 813 CTC TCT CTC TCT CTC TA 44,7
3 UBC 814 GTG TGT GTG TGT GTG TC 51,0
4 UBC 820 TCT CTC TCT CTC TCT CA 47,0
5 UBC 822 TCT CTC TCT CTC TCT CC 48,1

32
No. Nama Primer Urutan Sekuen Nukleotida (5’-3’) Tm(°C)

6 UBC 823 TCT CTC TCT CTC TCT CG 48,5


7 UBC 824 ACA CAC ACA CAC ACA CG 53,0
8 UBC 827 TGT GTG TGT GTG TGT GG 52,7
9 UBC 830 GAA GAA GAA GAA GAA GAA 43,2
10 UBC 868 GAG AGA GAG AGA GAG AT 45,4
Seleksi primer dengan memilih 12 sampel secara acak karena pada

mesin PCR terdapat 12 gradien suhu, gunanya untuk melihat pada suhu

keberapa sampel tersebut dapat teramplifikasi. Satu kali reaksi PCR

dengan terdiri atas 3 µl DNA working, 1,25 µl primer , PCR mix kappa 6,25

µl, dan ddH2O 3 µl untuk setiap reaksi dengan total reaksi 13,50 µl.

Amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR.

Tahapan amplifikasi PCR ialah sebagai berikut:

1. Denaturasi awal, suhu 95º C selama 180 detik

2. Denaturasi siklus pertama, suhu 95º C selama 50 detik

3. Penempelan primer spesifik (suhu disesuaikan dengan masing-

masing pasangan primer) selama 30 detik

4. Pemanjangan primer pada suhu 72º C selama 1 menit

5. Pemanjangan akhir 72º C selama 300 detik

6. Penyimpanan 4º C.

4. Elektroforesis

Tahapan elektroforesis ialah sebagai berikut:

1. Agarose ditimbang seberat 3,6 gram kemudian dimasukkan sebanyak

180 ml buffer TAE 1 x di Erlenmeyer ukuran 500 ml

2. Larutan dipanaskan menggunakan microwave selama 5 menit

33
3. Setelah agar larut, ditambahkan gelred sebanyak 1,5 µl kemudian

didiamkan sampai hangat.

4. Larutan dituang ke dalam cetakan agar dan diberi sisir kemudian

didiamkan hingga agar mengeras

5. Sisir dilepas kemudian agar dimasukkan ke dalam tank yang berisi

larutan buffer TAE 1 x

6. Sampel dimasukkan kedalam lubang. Lubang paling ujung berisi

ladder

7. Elektroforesis dilakukan selama 60 menit pada tegangan 120 volt

8. Agar dilepas dan cetakan kemudian diletakkan di dalam Geldoc untuk

didokumentasikan.

5. Analisis Proksimat

A. Analisis Kadar Air

Pengujian kadar air dilakukan dengan metode gravimetri sebagai

berikut:

1. Disiapkan 13 buah cawan porselin dan diberi kode sesuai dengan

kode tiap jenis sampel

34
2. Dipaskan cawan porselin pada oven dengan suhu 105˚C selama 3 jam.

3. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

4. Ditimbang bobot cawan porselin kosong dan dicatat hasil penimbangan.

5. Ditambahkan 1 gr sampel dalam cawan porselin. Kemudian dicatat hasil

penimbangan (bobot cawan porselin dengan sampel).

6. Dipanaskan cawan porselin yang berisi sampel pada oven dengan suhu

105˚C selama 1 jam.

7. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

8. Ditimbang bobot cawan porselin yang berisi sampel setelah pemanasan,

kemudian dicatat hasil penimbangan untuk pemanasan pertama.

9. Diulangi tahap pemanasan dan penimbangan hingga diperoleh bobot

konstan.

B. Analisis Kadar Abu

Pengujian kadar air menggunakan metode gravimetri sebagai

berikut:

1. Digunakan kembali cawan porselin yang berisi sampel dari hasil analisis

kadar air.

2. Diabukan dalam tanur pada suhu 550 ˚C sampai mengabu dengan

sempurna.

3. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

4. Ditimbang bobot cawan porselin yang berisi abu sampel dan dicatat

hasil penimbangan.

C. Analisis Kadar Lemak

Pengujian kadar lemak dilakukan dengan metode gravimetri sebagai

berikut:

35
1. Disiapkan 13 buah botol kaca sebagai wadah filtrat lemak dan diberi

kode sesuai dengan kode tiap jenis sampel.

2. Dipanaskan botol kaca dalam oven pada suhu 105˚C selama 1 jam.

3. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

4. Ditimbang botol kaca dan dicacat hasil penimbangan.

5. Disiapkan 13 buah erlenmeyer ukuran 50 mL atau botol kaca dan diberi

kode.

6. Ditimbang 0,5 gram sampel dalam erlenmeyer 50 mL atau botol

kaca dan dicatat bobot penimbangan.

7. Direndam sampel dengan petroleum benzene selama 1 jam.

8. Disaring hasil rendaman dengan kertas saring Whatmann dan

ditampung dalam botol kaca yang telah dipanaskan dan didinginkan

sebelumnya.

9. Diulang perendaman sampel (ekstraksi) hingga tidak nampak lagi cairan

kekuningan atau kehijauan.

10. Diuapkan masing masing botol kaca yang berisi filtrat dalam lemari

asam sehingga hanya menyisakan lemak.

11. Dipanaskan dalam oven pada suhu 105˚C selama 1 jam.

12. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

13. Ditimbang dan dicatat hasil penimbangan.

D. Analisis Kadar Serat Kasar

Pengujian kadar serat kasar dilakukan dengan metode gravimetri

sebagai berikut:

1. Disiapkan 13 buah erlenmeyer ukuran 250 mL dan diberi kode sesuai

dengan kode tiap jenis sampel.

2. Disiapkan 13 lembar kertas saring Whatmann 41 yang juga diberi kode.


36
3. Dikeringkan kertas saring dalam oven pada suhu 105˚C selama 1 jam.

4. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

5. Ditimbang bobot kertas saring dan dicatat hasil penimbangan.

6. Sampel yang telah di ambil lemaknya melalui ekstraksi, dimasukkan

dalam erlenmeyer.

7. Ditambahkan 50 mL H2SO4 1,25% kedalam erlenmeyer.

8. Dipanaskan pada pendingin tegak selama 30 menit.

9. Ditambahkan 50 mL NaOH 3,25% kedalam erlenmeyer melalui tabung

destilat (kondensor).

10. Dipanaskan lagi selama 30 menit.

11. Disaring dalam keadaan panas dengan kertas saring Whatmann 41.

12. Dibilas hasil saringan dengan H2SO4, air panas, dan alkohol.

13. Dibiarkan hingga mengering.

14. Dikeringkan kertas saring dalam oven pada suhu 105˚C selama 1 jam.

15. Didinginkan dalam desikator selama 30 menit.

16. Ditimbang kembali bobot kertas saring dan dicatat hasil penimbangan.

E. Analisis Kadar Karbohidrat

Pengujian kadar karbohidrat dilakukan dengan metode gravimetri

sebagai berikut:

1. Disediakan 13 buah erlenmeyer ukuran 250 mL dan erlenmeyer ukuran

500 mL serta 13 buah botol kaca yang masing-masing diberi kode

sesuai dengan kode tiap jenis sampel.

2. Ditimbang 1 gr sampel dalam erlenmeyer 250 mL.

3. Ditambahkan 25 mL HCL 3% dan dipanaskan selama 3 jam dengan

pendingin tegak

37
4. Dibiarkan hingga dingin.

5. Ditambahkan NaOH 30% setetes demi setetes sambil diaduk dan

diukur pH sampai 5,5 jika berlebih, diturunkan pH-nya dengan asam

asetat 3%.

6.Ditambahkan aquades hingga volume mencapai 50 mL dan

dihomogenkan.

7. Disaring dengan kertas saring Whatmann 41 dan ditampung filtrat dalam

botol kaca.

8. Dilakukan pembakuan natrium tiosulfat 0,1 N dengan cara:

a. Ditimbang 24,818 gr Na2S2O3 (natrium tiosulfat) dalam gelas ukur.

b. Ditambahkan aquades sampai volume 1000 mL dan ditambahkan 2

gr natrium karbonat.

c. Ditimbang KIO3 (kalium iodat) antara 0,14 sampai 0,15 gr dan

masing- masing dimasukkan dalam erlenmeyer (triplo).

d. Ditambahkan masing-masing dengan aquades dan dicukupkan

sampai volume 100 mL.

e. Ditambahkan masing-masing dengan 2 gram KI (kalium iodide). f.

Ditambahkan masing-masing dengan 10 mL HCl 2 N.

g. Dititrasi dengan Na2S2O3 hingga tidak berwarna

(bening).

h. Dicatat volume titrasi masing-masing.

N Na2S2O3 = gr KIO3

0,03567 x mL Na2S2O3

9. Dipipet 10 mL filtrat dengan pipet gondok dan dimasukkan dalam

erlenmeyer ukuran 500 mL.

38
10. Ditambahkan 15 mL aquades dan 25 mL pereaksi Luff Scrhoorl

kedalam erlenmeyer yang berisi filtrat.

11. Dipanaskan dengan pendingin tegak selama 30 menit.

12. Didiamkan hingga dingin.

13. Ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 15 mL KI 20%.

14. Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga berubah warna menjadi putih

susu dan bila ditetesi indikator amilum 0,5% sudah tidak menghasilkan

warna ungu kehitaman.

15. Dicacat volume titrasi.

16. Dibuat blanko dengan cara:

a. Disediakan labu ukur ukuran 500 mL.

b. Ditambahkan 15 mL aquades, 25 mL pereaksi Luff Scrhoorl, 15

mL KI 20% dan 25 mL H2SO4 25%.

c. Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga berubah warna menjadi putih

susu dan bila ditetesi indikator amilum 0,5% sudah tidak menghasilkan

warna ungu kehitaman.

d. Dicacat volume titrasi blanko.

F. Analisis Kadar Protein

Pengujian kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl sebagai

berikut:

1. Disediakan 13 buah erlenmeyer ukuran 250 mL diberi kode sesuai

dengan kode tiap jenis sampel.

2. Ditimbang 1 gr sampel dalam erlenmeyer.

3. Ditambahkan 0,5 gram selen reagen mixture kedalam erlenmeyer

yang berisi sampel.

39
4. Ditambahkan 25 mL H2SO4 pekat (dikerjakan dalam lemari asam).

5. Dipanaskan dengan hotplate dalam lemari asam hingga cairan menjadi

bening kembali.

6. Dibiarkan hingga dingin.

7. Ditambahkan 200 mL aquades dan 1 mL indikator PP 0,1% kedalam

erlenmeyer.

8. Ditambahkan NaOH sambil diaduk hingga warna merah.

9. Disiapkan erlenmeyer yang berisi asam borat 1% sebanyak 20 mL.

10. Didestilasi hingga volume destilat 100 mL dalam 20 mL asam borat

sebagai penampung.

11. Ditetesi destilat dengan 3 tetes indikator Conway.

12. Dilakukan pembakuan HCl 0,1 N dari HCl 37% dengan cara:

a. Dipipet 8,29 mL HCl dalam labu ukur 1000 mL.

b. Ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1000 mL. c.

Ditimbang 1,9064 gr Na2B4O710H2O dalam erlenmeyer.

d. Ditambahkan 100 mL aquades dan 1-2 tetes indikator MM.

e. Dititrasi dengan HCl 0,1 N (triplo).

f. Dicatat volume titrasi.

13. Dititrasi destilat dengan HCl 0,1 N hingga berubah warna menjadi

pink atau ungu muda.

14. Dicatat volume titrasi.

15. Dibuat blanko dengan cara:

a. Disiapkan erlenmeyer 250 mL, kemudian ditambahkan 200 mL

aquades, indikator PP 1-2 tetes, NaOH hingga mera

40
b. Destilasi dengan penampung 20 mL asam borat hingga volume

destilat mencapai 100 mL.

c. Dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga berubah warna menjadi pink

atau ungu muda.

d. Dicatat volume titrasi.

5. Analisis Data

Hasil yang diperoleh berupa pita (band) yang muncul pada agar. Pita

tersebut mempresentasikan alel yang terdapat pada lokus tertentu. Setiap

primer yang digunakan mempresentasikan suatu lokul tertentu. Pita yang

muncul diberi skoring angka sesuai ukuran pita. Pita yang paling besar

ukurannya diberi angka 1 dan apabila tidak terdapat pita diberi angka 0.

Penilaian ada atau tidaknya pita dilakukan dengan mengamati foto

elektroforegram secara manual. Data kemudian ditabulasikan dan diolah

menggunakan perangkat lunak Darwin 6.5 untuk melihat kekerabatan dan

tingkat variasi genetiknya. Nilai heterozigositas dihitung menggunakan

rumus sebagai berikut (Wallace, 2003):

individu yang tidak memiliki pita 1


Heterozigot : qi =( )
jumlah seluruh sampel yang diamati 2

Pi = 1- qi

He = 1 – pi2 – qi2

Keterangan: qi= frekuensi alel nol

Pi= frekuensi dominan alel

Nilai polymorphic information content (PIC) dihitung menggunakan rumus

sebagai berikut (Guo, 2014) :


41
PIC = 2 fi (1- fi)

Keterangan : PIC = polymorphic information content

Fi = frekuensi alel

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisa kuantitatif, dengan

menggunakan rumus khusus dari masing-masing analisis proksimat. Data

kandungan nutrisi pada tiap jenis murbei disajikan dalam bentuk diagram.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

A. Kandungan Air

Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

A−B
Kadar Air (%) = x 100 %
C

Keterangan:

A = Bobot sebelum pemanasan (g)

B = Bobot konstan (g)

C = Bobot sampel (g)

B. Kandungan Abu

Penentuan kandungan abu merupakan indeks untuk menentukan

jumlah unsur mineral tertentu. Jumlah kandungan abu penting untuk

menentukan perhitungan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Vionita dan

Insafitri, 2020). Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut

42
A−B
Kadar Abu (%) = x 100 %
C

Keterangan:

A = Bobot cawan porselin + abu


(g)

B = Bobot cawan porselin (g)

C = Bobot sampel (g)

C. Kandungan Lemak

Penentuan kandungan lemak merupakan analisa yang digunakan

untuk mengetahui lemak pada bahan. Lemak merupakan senyawa

organik yang tidak larut dalam air, namun larut dalam pelarut organik

sebagai sumber energi terpenting untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup makhluk hidup (Vionita dan Insafitri, 2020).

Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

A−B
Kadar Lemak (%) = x 100 %
C

Keterangan :

A = Bobot labu lemak + lemak


(g)

B = Bobot labu lemak (g)

C = Bobot sampel (g)

D. Kandungan Serat

Perhitungan kadar serat kasar dilakukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

43
A−B
Kadar Serat Kasar (%) = x 100 %
C
Keterangan

A = Bobot serat dalam kertas saring (g)

B = Bobot kertas saring kering (g)

C = Bobot sampel (g)

E. Kandungan Karbohidrat

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut:

Larutan Na2S2O3 yang digunakan =

(m Lb l a nko−m L s a mpel)x N Na 2 S 2 O 3
=Z
0,1

Z dilihat pada tabel Luff schroorl untuk melihat kandungan gulanya (mg
mg g lukosa x F P x 0,90
glukosa) Karbohidrat (%) =
W (m g)

Keterangan:

W = Bobot sampel

FP = Faktor Pengenceran

F. Kandungan Protein

Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

Jumlah N Total (%) = ( V. Titrasi Sampel - V. Titrasi Blanko) x N. HCL x


14,007

Bobot Sampel (g)

Protein % = N% x F. Konversi

Keterangan :

44
F = Faktor pengenceran

N. HCl = Normalitas HCl ml larutan/bobot contoh (g)

Prosedur penelitian secara umum untuk analisis keragaman genetik


Bambu dengan teknik RAPD.

Sampel Daun Murbei

Isolasi DNA

Seleksi Primer ISSR

Amplifikasi DNA menggunakan primer ISSR

Elektroforesis teramplifikasi
Tidak teramplifikasi

Foto

PCR dengan primer


ISSR Polimorfik

Elektroforesis menggunakan agarose 2%

Foto

Interpretasi dan analisis


data

Softwere Darwin 6.5


45
Gambar 2. Prosedur Penelitian Analisis Keragaman Genetik

Prosedur penelitian secara umum untuk analisis kandungan nutrisi daun


murbei

Pengambilan Sampel
Daun Murbei

Analisi Laboratorium

Preparasi Sampel

Analisis Proksimat

Pembuatan Larutan

Uji Kadar Uji Kadar Uji Kadar Uji Kadar Uji Kadar Uji Kadar
Air Abu Abu Serat Protein Karbohidrat

Metode Metode Metode


Gravemetri Kjeldahl Schoorl

Analisi Data

46
Gambar 3. Prosedur Penelitian Analisis Kandungan Nutrisi

47
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

4.1.1 SELEKSI PRIMER

Seleksi primer yang telah dilakukan dari 10 primer ISSR pada 12

sampel yang diuji berhasil mengamplifikasi seluruh primer. Namun hanya

terdapat 9 primer yang menghasilkan pita/alel jelas dan polimorfik yaitu

primer UBC 810, UBC 813, UBC 814, UBC 820, UBC 822, UBC 823, UBC

824, UBC 827, dan UBC 830 sehingga dapat membedakan antara

individu satu dengan yang lainnya. Sedangkan primer UBC 868

menghasilkan pita kurang jelas sehingga tidak dapat digunakan untuk

analisi lebih lanjut. Primer yang digunakan untuk analisis lebih lanjut

adalah primer yang menghasilkan pita jelas, terang, dan polimorfik

(Larekeng et al., 2015). Hasil seleksi primer ISSR pada sampel murbei

disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Nama Primer ISSR Hasil Amplifikasi pada Murbei


Suhu Jumlah Sampel
No. Nama Primer Keterangan
Annealing (oC) Tramplifikasi
Polimorfik
1 UBC 810 49,1 11
Polimorfik
2 UBC 813 45,1 11
Polimorfik,
3 UBC 814 48,4 11
Polimorfik
4 UBC 820 49,3 11
Polimorfik
5 UBC 822 45,3 12
Polimorfik
6 UBC 823 49,8 12
Polimorfik
7 UBC 824 47,9 10

1
Suhu Jumlah Sampel
No. Nama Primer Keterangan
Annealing (oC) Tramplifikasi
Polimorfik
8 UBC 827 50,2 12
Polimorfik
9 UBC 830 52,1 11
Pita kurang jelas
10 UBC 868 47,7 12

Primer polimorfik dibutuhkan dalam menganalisis keragaman

genetik suatu populasi tanaman dengan memperlihatkan keragaman pola

pita yang dihasilkan. Keberhasilan amplifikasi DNA menggunakan primer

tertentu ialah berdasarkan kesamaan sequens antara genom dengan

primer. Hasil foto primer yang hasilkan pita polimorfik dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Elektroforegram hasil amplifikasi PCR primer ISSR UBC 810,


UBC 813, UBC 814, dan UBC 820 (Keterangan: M = Marker dan
1-12 = pita sampel
Hasil amplifikasi primer UBC 810, UBC 813, UBC 814, dan UBC

820 Gambar 2 mengahasilkan pita polimorfik dan terang. Seleksi primer

dilakukan untuk memilih primer-primer yang bersifat polimorfik, dapat

2
teramplifikasi dengan baik dan menentukan suhu annealing yang tepat.

Pemilihan suhu annealing merupakan tahapan yang dapat mempengaruhi

keberhasilan amplifikasi, karena proses penempelan primer pada untai

DNA yang sudah terbuka, memerlukan suhu yang optimal. Suhu yang

dipilih apabila terlalu tinggi maka dapat menyebabkan gagalnya

amplifikasi karena tidak terjadi penempelan primer, sebaliknya apabila

suhu terlalu rendah, menyebabkan primer menempel pada sisi lain, yang

mengakibatkan DNA yang terbentuk memiliki spesifitas yang rendah.

Pemilihan suhu annealing didasarkan pada primer yang digunakan.

4.1.2 ANALISIS KERAGAMAN GENETIK

Hanya ada dua alel yang dianggap ada pada lokus penanda dominan,

Alel dominan dan alel null. Kehadiran sebuah pita menunjukkan heterogen

atau ataukah homozigot untuk alel dominan ( Wallace, 2003). Parameter

keragaman genetik berupa nilai heterozigot dan jumlah pita. Parameter

tersebut diperoleh dari hasil skoring keseluruhan amplifikasi PCR secara

manual dan ditabulasi kedalam rumus Heterozigositas dan Rumus

Polymorphic Information Content (PIC). Nilai Heterozigositas seluruh

populasi yang dapat pada tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Pita, Pita Monomorfik, Pita Polimorfik, dan Nilai Heterozigositas

No. Populasi Primer Jumlah Pita Heterozigositas

1. Populasi Wajo UBC 810 3 0.4800


UBC 813 2
UBC 814 4
UBC 820 3
UBC 822 2
UBC 823 2
UBC 824 3
UBC 827 2

3
UBC 830 2
2. UBC 810 3
UBC 813 4
UBC 814 4
UBC 820 3
Populasi UBC 822 3 0.4848
Enrekang UBC 823 2
UBC 824 3
UBC 827 2
UBC 830 2
3. UBC 810 3
UBC 813 3
UBC 814 5
UBC 820 3
Populasi Soppeng UBC 822 5 0.4009
UBC 823 3
UBC 824 4
UBC 827 2
UBC 830 2
Rata-rata Heterozigot 0.4552

Tabel 5 menunjukkan nilai heterozigositas murbei pada seluruh

populasi. Populasi Enrekang memiliki jumlah nilai zigositas yang paling

tinggi yaitu 0.4848 Dengan jumlah pita sebanyak 26 pita. Populasi Wajo

memiliki nilai heterozigositas 0.4800 dengan jumlah pita sebanyak 23 pita.

Sedangkan populasi Soppeng memiliki nilai heterozigositas yang paling

rendah yaitu 0.4009 dengan jumlah pita sebanyak 30 pita. Nilai rata-rata

heterozigositas yaitu 0.4552 yaitu berarti keragaman genetik pupulasi

murbei tinggi hal ini disebabkan oleh marka ISSR merupakan marka

dominan yang hanya dapat mendeteksi dua alel homozigot pada masing-

masing lokus dan tidak sensitif terhadap alel heterozigot sehingga nilai

heterozigositas maksimum yang diperoleh yaitu 0,5 (Weising et al. 2005).

Tabel 4. Nilai Polimorphic Information Content (PIC)

4
No. Nama Primer PIC

1 UBC 810 0.50

2 UBC 813 0.40

3 UBC 814 0.44

4 UBC 820 0.50

5 UBC 822 0.38

6 UBC 823 0.49

7 UBC 824 0.41

8 UBC 827 0.50

9 UBC 830 0.50

Berdasarkan nilai Polymorphic Information Content (PIC)

menunjukkan bahwa nilai PIC tertinggi UBC 810, UBC 820, UBC 827, dan

UBC 830 yaitu sebesar 0.5. Guo et., al (2014) Menyatakan bahwa nilai

PIC yang mendekati 0.5 merupakan nilai yang sangat efektif dalam

membedakan antar individu. Nilai PIC pada 9 primer ISSR dapat dilihat

pada Tabel 4.

4.1.4 ANALISI HUBUNGAN KEKERABATAN SELURUH POPULASI

Hubungan kekerabatan dapat diketahui dari dendogram dan jarak

genetik antar individu dan populasi. Jarak genetik ini dapat diketahui

dengan melakukan analisis terhadap pola pita yang digambarkan dari

hasil amplifikasi lalu dimasukkan ke dalam software Darwin 6.5. Berikut

hasil analisis kekerabatan genetik tanaman Murbei dari Kabupaten Wajo,

Enrekang, dan Soppeng.

5
Hasil analisis menunjukkan 3 kluster utama kekerabatan genetik

murbei. Kluster I terbagi menjadi dua sub kluster dimana sub kluster I

terdapat individu sebanyak 27 dan sub kluster II hanya terdapat 2 individu.

Kluster II terbagi menjadi dua sub kluster dimana sub kluster I terdapat 28

dan sub kluster II hanya terdapat 2 individu. Sedangkan Kluste III terdiri

atas 4 individu. Hasil analisis hubungan kekerabatan keragaman genetik

dapat dilihat pada Gambar 3.

6
Kluster I

Kluster II

Keterangan :

Populasi Wajo

Populasi Enrekang
Kluster III
Populasi Soppeng

Gambar 3.
Dendrogra
1
4.1.5 KANDUNGAN NUTRISI

Daun murbei mempunyai potensi sebagai substitusi konsentrat karena

daun murbei memiliki kandungan protein kasar yang tinggi, potensi produksi

yang baik, kandungan nutrien yang lengkap, serta daya adaptasi tumbuh pada

berbagai kondisi. Hasil analisa proksimat dari daun murbei dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis progsimat pada 13 jenis tanaman murbei


Parameter Analisis (%)
Jenis Daun
Air Abu Lemak Serat Protein Karbohidrat

M. Nigra 6,82 10,50 1,45 15,90 18,68 19,95

M. macroura 27,45 6,92 0,67 14,47 13,58 15,45

M. australis 19,22 8,52 1,43 11,02 16,01 20,82

M. alba 14,25 10,19 2,00 20,07 17,75 14,81

M. cathayana 18,93 7,57 1,07 17,28 14,89 18,55

BNK-3 16,43 8,29 1,39 19,62 14,48 19,10

M. multicaulis 11,37 8,51 1,31 15,03 17,21 17,27

Sp. 1 (Bangladesh) 31,55 7,95 0,84 15,47 12,28 9,66

M. indica 30,47 10,20 0,93 9,30 8,21 11,31

Sp. 2 (Rajawali) 34,75 6,84 1,30 21,90 12,20 12,48

M. canva 56,89 6,05 0,70 29,14 9,40 6,89

Cathayana x acidosa 31,37 7,90 0,41 28,57 8,30 16,41

Sp. 3 (China) 56,15 6,92 1,38 38,82 7,13 9,04

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi murbei

menunjukkan bahwa jenis M. australis memiliki kandungan protein yang tinggi

sebesar 20,82 %, lalu jenis M. nigra sebesar 19,95 %. Kandungan air tertinggi

pada jenis M. canva sebesar 56,89 % dan Sp.3 sebesar 56,15 %. Kandungan

abu tertinggi pada jenis M. nigra sebesar 10,50% dan M. indica sebesar 10,20 %.
2
Lemak tertinggi pada jenis M. alba dan M. nigra masing-masing sebesar 2 % dan

1,45 %. Serat tertinggi pada jenis Sp.3 dan M. canva masing-masing sebesar

38,82 % dan 29,14 %. Adapun kandungan protein tertinggi pada jenis M. nigra

dan M. alba masing-masing sebesar 18,68 % dan 17,75 %.

4.2 PEMBAHASAN

4.2.1 Seleksi primer

Penggunaan primer acak dalam analisis ISSR mengakibatkan perlunya

tahapan seleksi primer untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA hasil

amplifikasi yang sangat berguna untuk analisis keragaman genetik antar individu

tanaman. Sejumlah primer tersebut memberikan hasil amplifikasi yang berbeda-

beda dan beberapa teramplifikasi jelas dan tidak jelas.

Keberhasilan amplifikasi DNA genom menggunakan teknik ISSR selain

ditentukan oleh urutan basa primer yang digunakan serta kuantitasnya

(kandungan primer dalam setiap reaksi), ditentukan pula oleh kondisi PCR yang

meliputi suhu annealing primer dan ekstensi. Menurut Gusmiaty dkk., (2015)

Pengaturan suhu fase annealing pada proses PCR sangat berpengaruh pada

proses pelekatan primer sehingga perubahan suhu satu derajat akan

menyebabkan primer gagal melekat.

Tingginya persentase polimorfisme pita yang teramplifikasi merupakan

keunggulan marka ISSR. Primer ISSR menempel pada sekuen simple sequence

repeats yang melimpah pada genom eukariot dengan laju evolusi yang tinggi

sehingga dapat menunjukkan tingkat polimorfisme yang tinggi (Zietkiewics et al.

1994). Hasil seleksi 10 primer hanya terdapat 9 primer yang menghasilkan

pita/alel jelas dan polimorfik yaitu primer UBC 810, UBC 813, UBC 814, UBC
3
820, UBC 822, UBC 823, UBC 824, UBC 827, dan UBC 830. Primer UBC 868

menghasilkan pita kurang jelas sehingga tidak dapat digunakan untuk analisi

lebih lanjut karna dapat menyebabkan kesalahan dalam interpetasi data. Primer

yang digunakan untuk analisis lebih lanjut adalah primer yang menghasilkan pita

jelas, terang, dan polimorfik (Larekeng et al., 2015).

Amplifikasi yang tidak memunculkan pita pada beberapa primer dapat

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pada saat proses PCR, DNA tidak

tercampur dengan baik pada larutan PCR mix yang didalamnya terdapat primer

sehingga primer tidak melekat pada DNA cetakan. Faktor lainnya yaitu

kemurnian dan konsentrasi DNA cetakan yang mengandung senyawa-senyawa

seperti polisakarida dan senyawa fenolik, serta konsentrasi DNA cetakan yang

terlalu kecil sehingga gambar pita DNA amplifikasi yang dihasilkan redup atau

tidak jelas (Weeden dkk, 1992).

4.2.3. Analisis Keragaman Genetik

Keragaman genetik pada penelitian ini merupakan perbedaan sifat diantara

individu pada suatu populasi tanaman. Setiap pita yang dihasilkan dari

amplifikasi DNA genom dengan menggunakan primer acak dianggap sebagai

suatu sifat. Keragaman genetik terkait erat dengan jarak genetik. Semakin besar

jarak genetik semakin besar keragaman genetik individu dalam populasi.

Sebaliknya semakin kecil jarak genetik maka semakin rendah keragaman

genetiknya.

Nilai PIC memberikan perkiraan kekuatan pembeda dari marka dengan

menghitung bukan saja jumlah alel dalam satu lokus tetapi juga frekuensi relatif
4
dari sejumlah alel dari suatu populasi yang diidentifikasi. Lokus marka dengan

jumlah alel yang banyak akan terdapat pada frekuensi yang seimbang dengan

nilai PIC yang paling tinggi (Mulsanti 2011). Marka yang menghasilkan alel lebih

sedikit memiliki kemampuan yang lebih kecil untuk membedakan sampel yang

diuji. Nilai PIC tinggi berarti sangat informatif yang ditunjukan pada marka yang

menghasilkan banyak alel.

Nilai PIC diklasifikasikan menjadi tiga kelas berdasarkan kemampuannya

memberikan informasi kekuatan pembeda suatu marka, termasuk tinggi dengan

nilai PIC>0.5 yang berarti marka yang digunakan sangat informatif, 0.25>PIC>0.5

termasuk sedang dan PIC<0.25 memiliki nilai informatif yang rendah (Botstein et

al., 1980). Primer UBC 810, UBC 820, UBC 827, dan UBC 830 merupakan primer yang

memiliki nilai PIC tertinggi yaitu sebesar 0.50 sehingga primer tersebut mempunyai

polimorfisme yang tinggi dibandingkan dengan 5 primer ISSR lainnya. Penelitian ini

memperoleh rata-rata nilai PIC berkisar antara 0.38 sampai 0.5 yang berarti primer

tersebut termasuk sedang.

Nilai heterozigositas (He) dari setiap populasi hampir sama, dimana nilai

heterozigositas berkisar antara 0.40 – 0.48 dengan nilai rata-rata He sebesar

0.4552. Nilai heterogizositas ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian

keragaman genetik rambutan liar menggunakan penanda ISSR oleh Napitu dkk.,

(2015) sebesar 0.18. Memiliki nilai heterozigot yang tinggi membuktikan bahwa

tingkat keragaman murbei dibeberapa populasi ditiga provenansi Sulawesi

Selatan tergolong tinggi dan memiliki tingat ketahanan yang sangat bagus.

Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor yang tinggi

untuk merakit varietas unggul baru. Peningkatan ataupun mempertahankan

keragaman genetik dapat dilakukan dengan memanfaatkan plasma nutfah yang


5
tersedia di alam dan dapat pula melalui persilangan. Usaha perbaikan genetik

tanaman memerlukan plasma nutfah dengan keragaman genetik yang luas

(Martono, 2009).

Keragaman genetik yang tinggi dalam suatu populasi dapat disebabkan

oleh tingginya potensi keragaman genetik yang dimiliki. Faktor lainnya dapat

berupa populasi alami yang belum mengalami gangguan dan terjadinya

perkawinan random yang menghasilkan stabilitas keragamanan genetik tetap

terjaga (Widyatmoko dkk, 2010)

4.2.4. Hubungan Kekerabatan Individu Pada Seluruh Populasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu murbei dari 3 populasi cendrung


mengelompok secara umum berkelompok berdasarkan populasinya.

Pengelompokan tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi

pemulia untuk menentukan arah pengembangannya. Pengembangan

pemuliaan tanaman murbei. pada kelompok yang sama akan meningkatkan

derajat kekerabatan, sehingga hasilnya tidak jauh beda dengan tetuanya.

Sebaliknya, pengembangan pemuliaan tanaman murbei pada kelompok yang

berbeda akan meningkatkan keragaman tanaman yang dihasilkan, sehingga

lebih efektif dan efisien dalam program pemuliaan lanjutan.

Individu dalam kelompok yang sama apabila dijadikan tetua persilangan

(hibrid) akan menghasilkan keturunan (anakan) dengan variasi genetik yang

rendah, sedangkan persilangan antar kelompok akan menghasilkan keturunan

dengan variasi genetik yang lebih tinggi. Moedjiono dan Mejaya (1994) dalam

Nugroho (2008) menyatakan bahwa salah satu keberhasilan kegiatan

pemuliaan tanaman sangat bergantung kepada adanya variasi genetik. Plasma

6
nutfah yang memiliki variasi besar merupakan sumber gen untuk sifat-sifat daya

hasil tinggi, ketahanan terhadap hama atau penyakit, umur genjah, dan sifat

baik lainn

7
4.2.5 kandungan nurisi

Kandungan gizi daun murbei secara umum meliputi unsur air, protein,

karbohidrat dan kalsium. Kandungan air daun murbei yang cocok bagi ulat

sutera berkisar 64-83% dari berat daun segar. M. multicaulis, M. alba dan

M. cathayana merupakan jenis murbei yang produksi dan kandungan

gizinya tinggi (Andadari, 2003).

Hasil tersebut menginformasikan bahwa dari nutrisi yang diperoleh

terlihat bahwa Morus nigra dan Morius australis berada diperingkat terbaik untuk

kandungan protein dan karbohidrat, tetapi untuk kandungan air pada analisis

terlihat pada Sp3 (Shalom) dan M. canva. Kandungan air daun murbei yang

cocok bagi ulat sutera berkisar 64-83% dari berat daun segar (Lincah et al.,

2013).

Kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20,4% merupakan

salah satu indikator kualitas daun murbei yang baik. Pada daun murbei

juga teridentifikasi adanya kandungan asam askorbat, karoten, vitamin B1,

asam folat, provitamin D, mineral Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si. Protein

daun murbei meliputi globulin, prolamin, dan albumin, sedangkan asam-

asam aminonya meliputi methionin, alanin, valin, leusin, isoleusin, lisin,

asam aspartat, glisin, arginin, asam glutamat, fenilalanin, prolin, oksiprolin,

tirosin, histidin, sistin serta GABA (gamma-aminobutyric acid) (Machii et al.

2000).

1
Andadari (2013) menyatakan bahwa, kandungan air daun murbei

yang cocok bagi ulat sutera berkisar 64-83% dari berat daun segar.

Sedangkan Tazima (1978) menyatakan bahwa daun murbei yang memiliki

kandungan air sekitar 64- 83%, protein kasar 24-36%, serat kasar 9-11%,

lemak kasar 2-4%, dan abu 7-9%, baik bagi pertumbuhan ulat sutera.

Susmara (2017) menyatakan bahwa, untuk serangga jenis fitofagus

seperti Orthoptera, Lepidoptera dan Coleoptera, kebutuhan akan

protein dan karbohidrat umumnya seimbang. Ulat sutera termasuk dalam

serangga Lepidoptera, sehingga berdasarkan pernyataan Susmara

(2017), maka kebutuhan akan protein dan karbohidrat ulat sutera

umumnya seimbang.

Hasil analisis kandungan air memperlihatkan kadar air dari 13 jenis

mubei yang dianalisis. Namun, dari ke 13 jenis murbei ini, kandungan air

dalam daunnya tidak ada yang memenuhi standar kandungan air daun

murbei yang baik dari pertumbuhan ulat sutera yaitu 64-83%. Sehingga

hanya dapat ditentukan jenis murbei dengan kandungan air tertinggi

diantara jenis yang lain. Jenis murbei yang memiliki kandungan air

tertinggi yaitu murbei Morus canva (56,89%), sp. 13 (56,15), sp. 12

(34,75%), sp 11 (31,55%), Morus indica (30,47%) dan Morus macroura

(27,45%). Namun, dari ke enam jenis murbei tersebut, tiga diantara

merupakan murbei yang memiliki kandungan serat yang tinggi, melebihi

standar kebutuhan serat yang baik bagi pertumbuhan ulat sutera yaitu 9-

11%. Tiga jenis murbei tersebut yaitu sp. 13, Morus canva dan sp. 12,

sehingga ke tiga jenis murbei tersebut kurang baik untuk dijadikan sebagai

2
pakan ulat sutera. Sedangkan tiga jenis murbei yang memiliki kandungan

air yang tinggi dibandingkan jenis murbei yang lain dengan kandungan

serat yang relatif rendah yaitu; sp. 11, Morus indica dan Morus macroura.

Kandungan abu yang baik bagi pertumbuhan ulat sutera yaitu

sekitar 7- 9%. Semakin tinggi kadar abu maka semakin banyak bahan

mineral dalam bahan tersebut. Kandungan mineral pakan digunakan ulat

sutera dalam pembentukan kulit kokon. Jenis murbei yang memiliki

kandungan abu sesuai standar kandungan abu yang baik yaitu, BNK-3,

Morus multicaulis, dan sp. 11. Morus alba dan Morus indica juga

merupakan jenis murbei yang memiliki kandungan abu yang dapat

dikatakan masih termasuk dalam standar kandungan abu yang baik bagi

pertumbuhan ulat sutera yaitu dengan kadar abu 10,19% dan 10,2%.

Sehingga terdapat lima jenis murbei yang memiliki kandungan abu yang

baik.

Kandungan lemak yang baik bagi ulat sutera yaitu sekitar 2-4%.

Namun dari hasil analisis kandungan lemak, memperlihat hanya Morus

alba yang memenuhi standar kandungan lemak yang baik yaitu dengan

kadar lemak 2%. Morus alba memiliki kandungan serat yang relatif tinggi,

jauh dari standar kandungan serat pakan yang baik bagi ulat sutera (9-

11%). Morus alba memiliki kandungan serat sebesar 20,07%. Karena

hanya morus alba yang memiliki kandungan lemak yang sesuai dengan

standar, namun memiliki kandungan serat yang relatif tinggi, maka

ditentukan jenis murbei yang kandungan lemaknya mendekati standar

kandungan lemak pakan yang baik bagi ulat sutera. Jenis murbei tersebut

3
yaitu; Morus nigra (1,45%), Morus australis (1,43%), BNK-3 (1,39%),

sp.13 (1,38%) dan Morus multicaulis (1,31%). Namun, dari ke lima jenis

murbei tersebut, murbei jenis BNK-3 dan sp. 13 memiliki kandungan serat

yang relatif tinggi, jauh melebihi standar kadar serat pakan yang baik bagi

pertumbuhan ulat sutera. Sehingga, jenis murbei yang memiliki

kandungan lemak yang tinggi (mendekati standar lemak yang baik bagi

ulat sutera) dengan kadar serat yang relatif rendah yaitu Morus nigra,

Morus australis dan Morus multicaulis.

Kandungan serat dibutuhkan ulat sutera dalam pembentukan kulit

kokon. Namun, serat yang terlalu tinggi dapat mengganggu kecukupan

energi dengan cara menghalangi penyerapan nutrien dari pakan dalam

saluran pencernaan ulat sutera. Berdasarkan standar kadar serat yang

baik bagi pertumbuhan ulat sutera (9-11%), maka dapat diketahui

bahwa murbei jenis Morus indica dan Morus australis yang memiliki

kandungan serat yang sesuai dengan standar serat pakan yang baik bagi

ulat sutera. Kandungan seratnya yaitu 9,30% dan 11,02%. Sedangkan,

jenis murbei yang memiliki kandungan serat yang jauh melebihi standar

yaitu, sp. 13 (38,82%), Morus canva (29,14%), Morus cathayana x Morus

acidosa (28,57%), sp. 12 (21,90%), Morus alba (20,07%) dan BNK-3

(19,62%), sehingga jenis murbei ini kurang baik untuk dijadikan sebagai

pakan ulat sutera dari segi kandungan kimia yang dibutuhkan bagi

pertumbuhan ulat sutera.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa, dari keenam parameter yang

dianalisis dari ke 13 jenis murbei, hanya kadar serat, lemak dan abu dari

4
ke 13 jenis murbei yang sesuai dengan standar kandungan kimia murbei

yang baik untuk pertumbuhan ulat sutera. Faktor lingkungan merupakan

hal yang memengaruhi pertumbuhan dari tanaman murbei. Kandungan

hara dalam tanah merupakan salah satu hal yang memengaruhi

kandungan kimia atau nutrisi dari tanaman murbei selain faktor genetik

dari setiap jenis murbei itu sendiri. Unsur hara seperti nitrogen, fosfor,

kalium dan magnesium berperan dalam pertumbuhan tanaman murbei.

Menurut Sutejo (1994), nitrogen berperan dalam meningkatkan kadar

protein dalam tubuh tanaman, Riswandi et al. (2017) menyatakan bahwa,

fosfor berperan sebagai penyusun fosfolipid (kelompok lemak), Sudaryono

(2019) menyatakan bahwa, Kalium berperan dalam pembentukan protein

dan karbohidrat tanaman dan Fitria, et al. (2018) menyatakan bahwa

Magnesium berperan dalam sintesis protein.

5
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan kesimpulan dari penelitian

ini adalah:

1. Primer yang dapat digunakan untuk analisis keragaman genetik

murbeiadalah primer UBC 810, UBC 813, UBC 814, UBC 820, UBC

822, UBC 823, UBC 824, UBC 827, dan UBC 830

2. Keragaman genetik murbei di tiga kabupaten yaitu Kabupaten

Soppeng, Enrekang dan Wajo, memperlihatkan stabilitas dan informasi

genetik yang masih tinggi karena sebarannya per populasi masih

tersebar.

3. Kandungan nutrisi jenis murbei yang berada di tingkat teratas adalah

Morus nigra, Morus australis, Morus indica, dan murbei jenis shalom

5.2 Saran

Primer UBC 810, UBC 813, UBC 814, UBC 820, UBC 822, UBC 823, UBC 824,

UBC 827, dan UBC 830 dapat digunakan untuk penelitian sejenis yang

menggunakan metode ISSR

6
Penentuan jenis murbei sebagai pakan ulat sutera sebaiknya juga

dilihat dari kandungan nutrisi jenis murbei tersebut. Setelah berakhirnya

penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penentuan

jenis murbei yang baik dijadikan pakan ulat sutera dari segi nutrisi

DAFTAR PUSTAKA

Arif, A., S. H. Larekeng, M. Restu, Y. F. Cahyaningsih, and J. Mukti. 2019.


“A Genetic Diversity on Jabon Merah (Anthocephalus
Macrophyllus Roxb.) from Three Different Provenances in South
Sulawesi.” IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science 270(1).
Agisimanto, D., C. Martasari, dan A. Supriyanto. 2007. Perbedaan primer
RAPD dan ISSR dalam identifikasi hubungan kekerabatan genetik
jeruk siam (Citrus suhuniensis L. Tan) Indonesia. J. Horti 17 (2) :
101 110.
Andadari L., Sugeng P., Suwandi, dan Rahmawati T. 2013. Budidaya
Murbei dan Ulat Sutera: Kaomini M., Farikhah N.,Herawati T.,
Editor, Forda Press. Pusat Penelitian dan Pengembangan
peningkatan produksi.

Ardiyani, M., Sulistiyaningsi, L. D., dan Esthi, Y. N. 2014. Keragaman


Genetik Tacca leontopetaloides (L.) Kuntze (taccaceae) dari
beberapa Provenansi di Indonesia Berdasarkan marka Inter
/Simpel Sequence repeats (ISSR). Berita Biologi, 13(1): 85-96

Aswathi, A.K., Nagaraja, G.M., Naik, G.V., Kanginakudru, S., Thangavelu,


K., Nagaraju, J., 2004. Genetic diversity and relationships in
mulberry (genus Morus) as revealed by RAPD and ISSR marker
assays. BMC Genet. 5, 1.
Balai Persuteraan Alam. 2007. Budidaya Tanaman Murbei (Morus spp.)
Petunjuk Teknis. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Botstein D, White RL, Skolnik M, Davis RW: Construction of a linkage map
in man using restriction fragment length polymorphism. Am J Hum
Genet 1980, 32:314-31.
Fernandez, I. 2002. Macromedia Flash Animation & Cartooning: A
Creative Guide. Pennsylvania State University

7
Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar
IZ, Siregar UJ & Kertadikara AW, penerjemah. Bogor: IPB Press.
Terjemahan dari: An Introduction to Tropical Forest Genetics.
Indrawan M. 2007. Karakter Sutera dari Ulat Jedung (Attacus atlas L.)
yang Dipelihara pada Tanaman Pakan Senggugu (Clerodendron
serratum Spreng). Biodiversitas. vol 3(8): 215-217.
Ishak. 1998. Identifikasi DNA Genom Mutan Padi Atomita-2 dan Tetuanya
Menggunakan RAPD Markers. Zuriat. 9: 71-83.
Jana S, Pietrzak LN: Comparative assessment of genetic diver- sity in wild
and primitive cultivated barley in a centre of diversity. Genetics
1988, 119:981-90.
Kumar P, Gupta VK, Misra AK, Modi DR & Pandey BK. 2009. Potential of
molecular markers in plant biotechnology. Plant Omics Journal
Southern Cross Journal 2(4): 141– 162.
Kalpana, Duraisamy, Si Hyuk Choi, Tae Ki Choi, Kalaiselvi Senthil, and
Yang Soo Lee. 2012. “Assessment of Genetic Diversity among
Varieties of Mulberry Using RAPD and ISSR Fingerprinting.”
Scientia Horticulturae 134:79–87.
Larekeng, Siti Halimah, Muhammad Restu, Arida Susilowati, and Henti
Hendalastuti Rachmat. 2019. “Genetic Diversity of Parental and
Offspring Population in Ebony (Diospyros Celebica Bach)
Revealed by Microsatellites Marker.” International Journal on
Emerging Technologies 10(2):178–85.
Larekeng, Siti Halimah, Yusniar, Muh. Restu, Rismawati, Yuni Fitri
Cahyaningsih, Mirza Arsiaty Arsyad, and Arif Nirsatmanto. 2020.
“Genetic Diversity of Duabanga Moluccana Blume from Two
Provenances in West Nusa Tenggara Revealed by Microsatellite
Markers.” International Journal of Agriculture System 8(1):34–43.
Nagaoka T, Ogihara Y: Applicability of inter-simple sequence repeat
polymorphisms in wheat for use as DNA markers in comparison to
RFLP and RAPD markers. Theor Appl Genet 1997.
Nuraeni, Sitti. 2017. “Gaps in the Thread: Disease, Production, and
Opportunity in the Failing Silk Industry of South Sulawesi.” Forest
and Society 1(2):110–20.
Rohela, Gulab Khan, Phanikanth Jogam, Mohammad Yaseen Mir, Aftab
Ahmad Shabnam, Pawan Shukla, Sadanandam Abbagani, and
Azra Nahaid Kamili. 2020. “Indirect Regeneration and Genetic
Fidelity Analysis of Acclimated Plantlets through SCoT and ISSR
Markers in Morus Alba L. Cv. Chinese White.” Biotechnology
Reports 25:e00417.
Sanchez, M.D. 2002. World distribution and utilization of mulberry and its
potential for animal feeding. Editor: Sanchez, M.D, In: Mulberry for

8
Animal Production. Animal Production and Health Paper, No. 147.
FAO Rome, Italy. pp. 1–9.
Santoso, 2000. Produksi dan kandungan nutrisi daun beberapa varietas
murbei. Buletin Penelitian Kehutanan 6(2):48-57. Balai Penelitian
Kehutanan Ujung Pandang.
Selkoe K. A., Toonen R.J. 2006. Microsatellites for ecologists: a practical
guide to using and evaluating microsatellite markers. Ecol Lett.
9:615-629.
Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam.
Kanisius. Yogyakarta.
Vanijajiva O. 2012. The application of ISSR markers in genetic variance
detection among durian (Durio zibethinus Murr.) cultivars in the
Nonthaburi Province, Thailand. Procedia Engineering 32: 155–
159.
Vos P., Hogers R., Bleeker M., Reijans M., van de Lee T., Hornes M. et
al.: AFLP: a new technique for DNA Fingerprinting. Nucleic Acids
Res 1995, 23:4407-14.
Wallace, L. 2003. Methods available for the analysis of data from dominat
moleculer markers. Departemen of Biology, University of south
Dakota.

Weber JL, May PE: Abundant class of human DNA polymor- phisms which
can be typed using the polymerase chain reaction. Am J Hum
Genet 1989, 44:388-96.
Widiastuti A, Sobir & Suhartanto MR. 2013. Analisis keragaman genetik
manggis (Garcinia mangostana) diradiasi dengan sinar gamma
berdasarkan penanda ISSR. Bio- teknologi 10(1): 15–22.
Yulianti F, Marasari C, Karsinah & Hartono T. 2010. Variasi genetik jeruk
keprok SoE (Citrus reticulata Blanco) hasil radiasi sinar gamma
menggunakan penanda ISSR. Buletin Plasma Nutfah 16(2): 134–
139.
Zietkiewicz E, Rafalski A, Labuda D: Genome fingerprinting by simple
sequence repeat (SSR-) anchored polymerase chain reaction
amplification. Genomics 1994, 20:176-83.
Zulfahmi. 2013. Penanda DNA untuk analisis genetik tanaman. Jurnal
Agroteknologi 3(2): 41–52.
Emrani H, Aminiria C, Arbabe MAR. 2011. Genetic variation and
bottleneck in japanese quail (Coturnix japonica) strain using
twelve microsatelitte markers. African Biotech. 10(20):4289-
4295.

9
De Vicente MC, Fulton T. 2003. Using Molecular Marker Technique in
Studies on Plant Genetic Diversity. [internet]. [diunduh 2 Juni
2014]. Tersedia pada:
www.bioversityinternational.org/fileadmin/user_upload/online_libr
ary/publicat ions/pdfs/Molecular_Markers_Volume_1_en.pdf.
Mulsanti IW. 2011. Identifikasi dan evaluasi kemurnian genetik benih padi
hibrida menggunakan marka mikrosatelit [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Botstein D, White RL, Skolnick M, David R. 1980. Construction of genetic
linkage map in pan pusing restriction fragmen lenght
polymorphism. Am J. Human Gene. 32: 314-331.

Arif, A., S. H. Larekeng, M. Restu, Y. F. Cahyaningsih, and J. Mukti. 2019.


“A Genetic Diversity on Jabon Merah (Anthocephalus Macrophyllus
Roxb.) from Three Different Provenances in South Sulawesi.” IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science 270(1).
Kalpana, Duraisamy, Si Hyuk Choi, Tae Ki Choi, Kalaiselvi Senthil, and
Yang Soo Lee. 2012. “Assessment of Genetic Diversity among
Varieties of Mulberry Using RAPD and ISSR Fingerprinting.” Scientia
Horticulturae 134:79–87.
Larekeng, Siti Halimah, Muhammad Restu, Arida Susilowati, and Henti
Hendalastuti Rachmat. 2019. “Genetic Diversity of Parental and
Offspring Population in Ebony (Diospyros Celebica Bach) Revealed
by Microsatellites Marker.” International Journal on Emerging
Technologies 10(2):178–85.
Larekeng, Siti Halimah, Yusniar, Muh. Restu, Rismawati, Yuni Fitri
Cahyaningsih, Mirza Arsiaty Arsyad, and Arif Nirsatmanto. 2020.
“Genetic Diversity of Duabanga Moluccana Blume from Two
Provenances in West Nusa Tenggara Revealed by Microsatellite
Markers.” International Journal of Agriculture System 8(1):34–43.
Napitu, Christyne SPLS, Nina Ratna Djuita, and Tatik Chikmawati. 2015.
“Keragaman Genetik Kerabat Rambutan Liar (Nephelium Spp.) Di
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat Berdasarkan Marka SSR Dan
ISSR.” 5(4):1–15.
Rohela, Gulab Khan, Phanikanth Jogam, Mohammad Yaseen Mir, Aftab
Ahmad Shabnam, Pawan Shukla, Sadanandam Abbagani, and Azra
Nahaid Kamili. 2020. “Indirect Regeneration and Genetic Fidelity
Analysis of Acclimated Plantlets through SCoT and ISSR Markers in
Morus Alba L. Cv. Chinese White.” Biotechnology Reports 25:e00417.

10
Martono, B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi Antar
Karakter Kuantitatif Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas.
Jurnal Littri. 15 (1): 9-14
Widyatmoko, A. Y. P. B. C., Lejo, E. S. P., dan Prasetyaningsih, A. 2010.
Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii Menggunakan
Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan, Vol. 4 No. 2, 63-77

Mengingat pentingnya peran murbei sebagai sumber pakan bagi ulat


sutra khususnya sumber karbohidrat, upaya konservasi dan pemuliaan
tanaman ini harus terus dilakukan dan ditingkatkan. Dalam hal ini murbei
berperan sebagai sumber plasma nutfah. Dengan demikian kondisi
properti genetika setiap populasi dan individu-individu di dalam populasi
tersebut hendaknya mendasari upaya konservasi dan pemuliaan tanaman
tersebut. Informasi genetika dapat digunakan dalam rangka menyilangkan
individu-individu untuk menghasilkan individu yang mempunyai properti
genetik yang keragamannya jauh lebih tinggi.
Tingkat polimorfisme (PIC) diperlukan untuk memilih marka yang dapat

membedakan antar galur/tetua yang digunakan. Nilai PIC merupakan

standar yang baik untuk mengevaluasi marka genetik (Emrani et al 2011).

Kuantifikasi PIC adalah jumlah alel yang dapat dihasilkan oleh suatu

marka dan frekuensi dari tiap alel dalam set genotipe yang diuji. Nilai

polimorfisme ditentukan oleh frekuensi kemunculan alelnya (DeVicente

dan Fulton 2003).

Karsinah (2002) menyatakan pita DNA merupakan hasil

berpasangannya nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman.

Dalam penelitian ini, pita yang dihasilkan tidak selalu memperoleh

intensitas pita yang sama. Hasil elektroforesis memperlihatkan pita – pita

yang jelas dan redup. Menurut Poerba dan Martanti (2008), jumlah dan

intensitas pita DNA yang dihasilkan sangat tergantung pada kemampuan

11
primer mengenali urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA yang

digunakan. Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer

dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA

yang mengandung senyawa – senyawa seperti polisakarida dan senyawa

fenolik sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup (Poerba dan

Martanti, 2008). Demikian pula apabila konsentrasi DNA terlalu rendah

akan menghasilkan fragmen sebagai pita yang sangat tipis pada gel atau

bahkan pita tidak terlihat secara visual. Sebaliknya, konsentrasi DNA yang

terlalu tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit

dibedakan antara satu pita dengan pita lainnya (Haris et al., 2003).

Marka Inter Simple Seguence Repeats (ISSR) adalah teknik

pendeteksian genetik polimorfisme DNA tanpa perlu lebih dulu

mengetahui susunan basa dari genomik tanaman diantara susunan basa

yang berulang yang membentang pada utas DNA (Wahyuni et al., 2004).

ISSR menggunakan primer tunggal yang panjang dan kekuatan yang

tinggi dicapai dengan suhu annealing (Gurcan et al., 2009). Amplifikasi

terjadi jika dua mikrosatelit sekuen berulang yang sama, dalam orientasi

terbalik, berlokasi cukup dekat satu sama lain sehingga memungkinkan

sekuen diantaranya untuk teramplifikasi (Pharmawati, 2009).

Tingginya persentase polimorfisme pita yang teramplifikasi

merupakan keunggulan marka ISSR. Primer ISSR menempel pada

sekuen simple sequence repeats yang melimpah pada genom eukariot

12
dengan laju evolusi yang tinggi sehingga dapat menunjukkan tingkat

polimorfisme yang tinggi (Zietkiewics et al. 1994).

Marka Inter Simple Seguence Repeats (ISSR) adalah teknik

pendeteksian genetik polimorfisme DNA tanpa perlu lebih dulu

mengetahui susunan basa dari genomik tanaman diantara susunan basa

yang berulang yang membentang pada utas DNA (Wahyuni et al., 2004).

ISSR menggunakan primer tunggal yang panjang dan kekuatan yang

tinggi dicapai dengan suhu annealing (Gurcan et al., 2009). Amplifikasi

terjadi jika dua mikrosatelit sekuen berulang yang sama, dalam orientasi

terbalik, berlokasi cukup dekat satu sama lain sehingga memungkinkan

sekuen diantaranya untuk teramplifikasi (Pharmawati, 2009).

Amplifikasi keseluruhan sampel menggunakan primer ISSR yang


polimorfik untuk sampel Murbei menunjukkan perbedaan jumlah pita yang
berbeda. Hasil tersebut disebabkan oleh perbedaan urutan basa
nukleotida primer ataupun interaksi antara primer dengan DNA sampel
Murbei. Hubungan kekerabatan antar aksesi disajikan dalam bentuk
dendogram.

13

Anda mungkin juga menyukai