261
LAPORAN AKHIR
INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA
KEMENTERIAN/LEMBAGA :
KEMENTERIAN PERTANIAN
Peneliti/Perekayasa :
Ir. Saidah, MP
Dr. Ir. Sakka Samudin, MP
Ruslan Boy, SP
Mengetahui:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian,
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beras sebagai pangan pokok sebagian besar masyarakat
Indonesia dituntut tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas,
serta terjangkau. Kebutuhan beras nasional meningkat setiap
tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan
beras nasional pada tahun 2007 mencapai 30,91 juta ton dengan
asumsi konsumsi per kapita rata-rata 139 kg per tahun. Indonesia
dengan rata-rata pertumbuhan penduduk 1,7 persen per tahun dan
luas areal panen 11,8 juta hektar dihadapkan pada ancaman rawan
pangan pada tahun 2030. Ketahanan pangan merupakan program
utama pemerintah untuk mencukupi kebutuhan pangan seluruh
penduduk yang menyangkut ketersediaaan dan keterjangkauan
pangan dalam jumlah cukup serta bermutu. Program ini meliputi aspek
pasokan yang mencakup produksi dan distribusi, aspek daya beli, dan
keterjangkauan setiap penduduk terhadap pangan. Target dari
program ketahanan pangan adalah meningkatkan produksi padi
nasional agar seluruh kebutuhan beras dapat dipenuhi dari dalam
negeri. Usaha peningkatan produksi padi dilakukan dengan
peningkatan produktivitas padi di daerah yang belum optimal
(Departemen Pertanian, 2005; Simarmata, 2007; Simarmata et al.,
2011).
Perakitan varietas padi merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan produksi padi. Plasma nutfah merupakan bahan dasar
untuk merakit varietas unggul yang mempunyai sifat-sifat di antaranya
produktivitas tinggi, tahan hama-penyakit, toleran cekaman lingkungan
spesifik, dan mutu yang sesuai dengan selera masyarakat. Untuk
merakit varietas unggul diperlukan keanekaragaman plasma nutfah,
2
maka kelestariannya harus selalu dijaga. Kekayaan plasma nutfah
yang terdapat di alam memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam
industri pertanian. Oleh sebab itu, saat ini plasma nutfah banyak dikaji
dan dikoleksi dalam rangka meningkatkan produksi pertanian dan
penyediaan pangan. Hal ini dilakukan karena plasma nutfah
merupakan sumber gen yang berguna bagi perbaikan tanaman seperti
gen untuk ketahanan terhadap penyakit, serangga, gulma, dan juga
gen untuk ketahanan terhadap cekaman lingkungan abiotik yang
kurang menguntungkan seperti kekeringan. Selain dari itu plasma
nutfah juga merupakan sumber gen yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan kualitas hasil tanaman seperti kandungan nutrisi yang
lebih baik (Adiwilaga dan Hidayat, 2006).
Kamba merupakan salah satu varietas lokal padi dan koleksi
plasma nutfah yang dimiliki Sulawesi Tengah. Berasnya memiliki
aroma wangi dan pulen sehingga tetap dibudidayakan oleh
masyarakat. Jenis tanaman ini telah lama diusahakan oleh petani di
daerah-daerah yang terisolir yakni di daerah Kecamatan Lindu
Kabupaten Sigi dan Lore Selatan Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi
Tengah dan menjadi bahan makanan pokok masyarakat setempat,
namun produksinya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh cara
budidaya yang dilakukan masih bersifat konvensional. Selain itu juga
diduga kemurnian varietas ini mulai diragukan. Menurut Knight dalam
Kasno (1992), varietas lokal telah terbentuk dalam kurun waktu yang
lama sehingga gen-gen yang dikandungnya mengarah
kehomosigositas. Dengan demikian, setiap individu memiliki gen-gen
yang berbeda sehingga fenotipnya berbeda walaupun penampilannya
relatif seragam. Selain itu, karena jenis tanaman ini terbentuk dalam
kurun waktu yang lama, maka terjadi persilangan antara tanaman
dalam populasi maupun antar populasi sehingga terjadi percampuran
genotip.
3
Pencampuran genotip selain akibat persilangan, juga akibat
tercampur dengan biji-biji gulma maupun jenis yang lain sehingga
berpenampilan berbeda dengan aslinya. Untuk membentuk populasi
varietas lokal menjadi genotip dan fenotip yang lebih seragam maka
salah satu kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pemurnian
jenis lokal agar berpenampilan baik dan relatif seragam.
B. Pokok Permasalahan
Propinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu propinsi di
Indonesia yang dilewati oleh garis katulistiwa. Kondisi ini menjadikan
Sulawesi Tengah memiliki iklim yang spesifik dan memungkinkan
menyimpan sumber keragaman genetik yang eksotik dan memiliki nilai
ekonomis tinggi. Salah satu plasma nutfah yang banyak ditemukan di
daerah ini adalah tanaman padi. Eksplorasi adalah kegiatan mencari,
mengumpulkan, serta meneliti jenis varietas lokal tertentu (di daerah
tertentu) untuk mengamankan dari kepunahannya. Langkah ini
diperlukan guna menyelamatkan varietas-varietas lokal dan kerabat
liar yang semakin terdesak keberadaannya, akibat semakin
intensifnya penggunaan varietas-varietas unggul baru. Karakterisasi
merupakan kegiatan dalam rangka mengidentifikasi sifat-sifat penting
yang bernilai ekonomis, atau yang merupakan penciri dari varietas
yang bersangkutan. Karakter yang diamati dapat berupa karakter
morfologis (bentuk daun, bentuk buah, warna kulit biji, dan
sebagainya), karakter agronomis (umur panen, tinggi tanaman,
panjang tangkai daun, jumlah anakan, dan sebagainya), karakter
fisiologis (senyawa alelopati, fenol, alkaloid, reaksi pencoklatan, dan
sebagainya), marka isoenzim, dan marka molekular.
Sulawesi Tengah memiliki beragam plasma nutfah padi,
utamanya padi ladang dan telah dibudidayakan secara turun temurun.
Kamba merupakan salah satu jenis lokal padi yang memiliki aroma
4
wangi dan pulen sehingga tetap dibudidayakan oleh masyarakat.
Jenis tanaman ini telah lama diusahakan oleh petani di daerah-daerah
yang terisolir yakni di daerah Lindu dan Lore Selatan Provinsi
Sulawesi Tengah dan menjadi bahan makanan pokok masyarakat
setempat, namun produksinya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh
cara budidaya yang dilakukan masih bersifat konvensional. Diduga
kemurnian varietas ini mulai diragukan. Hal ini dimungkinkan, karena
jenis tanaman ini terbentuk dalam kurun waktu yang lama, maka
terjadi persilangan antara tanaman dalam populasi maupun antar
populasi sehingga terjadi percampuran genotip. Untuk membentuk
populasi varietas lokal menjadi genotip dan fenotip yang lebih
seragam maka upaya yang perlu dilakukan adalah pemurnian varietas
lokal agar berpenampilan baik dan relatif seragam
D. Metodologi Pelaksanaan
1. Lokus Kegiatan
Lokus kegiatan berada pada Koridor IV (Sulawesi), tepatnya
di Provinsi Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dilaksanakan pada dua
kabupaten yakni Kabupaten Sigi (Kec. Lindu) dan Kabupaten Poso
(Kec. Lore Barat, Lore Utara, Lore Tengah dan Lore Selatan).
Sedangkan lokasi pemurnian dilaksanakan di Desa Doda Kec. Lore
Tengah Kab. Poso Sulawesi Tengah pada ketinggian 1.280 m dpl.
Kegiatan dilaksanakan mulai bulan Februari – Oktober 2012.
5
2. Fokus Kegiatan
Fokus kegiatan penelitian termasuk bidang ketahanan
pangan, yaitu tanaman padi. Kegiatan difokuskan pada bagaimana
menghasilkan benih padi lokal Kamba yang murni, seragam dan
sehat/berkualitas untuk selanjutnya diserahkan ke kelompok tani
melalui Pemda Kabupaten Sigi dan Poso Sulawesi Tengah guna
pengembangan ke depan.
3. Ruang Lingkup
Kegiatan ini terdiri atas dua ruang lingkup, yakni (1) eksplorasi dan
survey karateristik padi lokal Varietas Kamba, (2) Pemurnian varietas padi
lokal Kamba.
Eksplorasi dan Survey Karakteristik. Kegiatan eksplorasi
dilakukan dengan tujuan untuk mencari, mengumpulkan, dan
meneliti padi varietas lokal Kamba. Eksplorasi dilaksanakan di
dua kabupaten, yakni Kabupaten Sigi (Kecamatan Lindu) dan
Kabupaten Poso (Kecamatan Lore Selatan, Lore Barat dan
Lore Tengah serta Lore Utara) Propinsi Sulawesi Tengah.
Kegiatan ini menggunakan dua metode yaitu, metode survey
dan wawancara. Metode survey dilakukan untuk mengetahui
penyebaran jenis padi lokal kamba yang dibudidayakan oleh
masyarakat di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso (lokasi
disekitar Taman Nasional Lore Lindu).
6
Penanaman dilakukan secara tanam pindah, sedangkan tanam
benih langsung (tabela) hanya diperagakan dengan cara
menggunakan alat tanam benih langsung (Atabela). Hal ini
dilakukan karena salah satu masalah yai Deng dihadapi oleh
petani di Desa Doda adalah keterbatasan tenaga kerja,
sehingga menyebabkan keterlambatan penanaman. Sistem
tanamnya dengan cara jajar legowo 2 : 1. Tanam pindah
dilakukan saat tanaman berumur satu bulan. Jarak tanam 20
cm x 10 cm x 40 cm. Sistem budidaya yang dilakukan secara
organik dengan menggunakan bokashi jerami dan bio pestisida.
Plot dipisahkan berdasarkan lokasi asal benih. Rouging/seleksi
dilakukan pada saat fase vegetatif dan generatif. Seleksi
dilakukan secara massa dengan seleksi positif yakni tanaman
yang menunjukkan tipe simpangan (off type) akan disingkirkan,
sedangkan tanaman yang menunjukkan fenotip jenis kamba
dikembangkan lebih lanjut. Berkaitan dengan pemilihan jenis
tanaman, untuk menghindari kesalahan pemilihan jenis kamba,
maka dilibatkan petani setempat yang membantu menunjukkan
ciri-ciri jenis kamba dengan pertimbangan bahwa mereka pasti
memahami secara jelas jenis tanaman ini sebagai pelaku
penanaman padi lokal sejak dahulu. Pada saat akan panen,
seleksi tetap dilakukan dengan melibatkan petani dalam seleksi
tersebut. Hasil panen padi lokal Kamba disatukan/dibulk. Padi
lokal Kamba yang telah dimurnikan tersebut akan dijadikan
sumber benih dan dibagi ke kelompok tani yang akan
mengembangkan pada musim berikutnya. Bila memungkinkan,
penyerahan benih dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
temu lapang. Namun bila tidak, maka benih akan diserahkan
kemudian setelah benih telah diproses seed cleaner.
Penyerahan akan dilakukan di Kantor Dinas Pertanian masing-
7
masing kabupaten untuk selanjutnya diserahkan kepada
kelompok tani yang masih mengembangkan padi jenis ini.
Pengamatan
Selama kegiatan pemurnian, untuk mengetahui ciri-ciri
padi lokal Kamba maka dilakukan pengamatan beberapa sifat
agronomis. Pengamatan dilakukan pada sampel tanaman
sebanyak 20 rumpun tanaman. Semua tanaman sampel harus
diamati dengan peubah sebagai berikut:
Tinggi tanaman saat panen (cm), diukur dari pangkal batang
sampai ujung malai tertinggi
Umur panen (hari), dihitung hari sejak tanam hingga umur
dimana 85% bulir dalam malai sudah matang)
Hasil (kg), ditimbang gabah yang telah dipanen pada luasan
yang berukuran 5 m x 5 m dalam ukuran tanaman sampel
dengan kadar air 14%
Golongan (indica, japonica, javanica atau intermediate)
Panjang daun (cm), diukur pada daun dibawah daun
bendera saat fase pembungaan
Lebar daun (cm), diukur bagian daun yang terlebar pada
daun dibawah daun bendera dan diamati pada saat afse
berbunga
Permukaan daun, diamati dengan cara meraba permukaan
daun pada fase bunting dan berbunga
Sudut daun, diukur sudut keterbukaan daun terhadap batang
pada daun pertama setelah daun bendera pada fase bunting
Sudut daun bendera, diukur dekat daun bendera sebagai
sudut yang terbentuk antara dau bendera dengan poros
malai utama pada fase bunting
Warna leher daun diukur pada fase pembungaan
Warna telinga daun, diamati pada fase bunting
8
Warna helai daun, diamati pada fase pembungaan
Jumlah anakan, diamati jumlah anakan yang terbentuk per
rumpun tanaman pada fase pembungaan
Panjang malai (cm), diukur mulai leher hingga ujung malai
diamati pada fase pengisian
Tipe malai, diamati bentuk malai apakah kompak, antara
kompak dan sedang, sedang, antara sedang dan terbuka
serta terbuka pada fas pengisian
Warna lemma dan palea, diamati pada fase pematangan
Keberadaan rambat pada lemma dan palea, diamati pada
fase pematangan
Warna ujung gabah, diamati pada fase pembungaan
Bulu ujung gabah, diamati pada fase pematangan
Warna bulu ujung gabah, diamatai pada fase pembungaan
Tipe endosperm diamati pada fase pematangan
Butir mengapur, diamati pada beras hasil giling pada fase
pematangan
Aroma, diamati pada fase pematangan dan setelah dimasak
Kadar amilosa, diamati di laboratorium
Kebeningan
Kandungan lysine
Kerontokan, diamati dengan cara genggam malai dan tarik
dengan tangan serta prosentase biji yang rontok.
4. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan adalah on farm research, dimana petani
sebagai pelaksana di lapangan.
9
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN
10
timur berbatasan dengan Kabupaten Poso dan Kabupaten
Parigi Moutong. Sigi adalah satu-satunya kabupaten di
Sulawesi Tengah yang wilayahnya tidak berbatasan dengan
laut. Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki luas 217.991,18
hektar merupakan cagar biosfer dan paru-paru dunia, sebagian
wilayahnya terdapat di Kabupaten Sigi (Statistik Daerah
Kabupaten Sigi, 2011).
Wilayah Kecamatan Lindu terdiri atas empat desa yaitu:
Desa Tomado, Langko, Anca dan Puro’o. Desa Langko dan
Desa Tomado memiliki lahan persawahan terluas dibanding
desa lainnya. Desa Tomado merupakan desa yang petaninya
masih mengusahakan padi lokal kamba. Dusun Salatui yang
terdapat pada Desa Tomado merupakan dusun yang setiap
tahun melakukan penanaman padi lokal kamba.
Kabupaten Poso wilayahnya membentang dari arah
Tenggara ke Barat Daya dan melebar dari arah Barat ke
Timur, dan sebagian besar berada di daratan pulau sulawesi.
Kabupaten Poso terletak ditengah Sulawesi yang merupakan
jalur strategis yang menghubungkan Sulawesi Utara dengan
Sulawesi Tengah. Berdasarkan garis lintang dan garis bujur
wilayah Kabupaten Poso terletak pada koordinat 1o06'
44,892" - 2o12' 53,172" LS dan 120o 05' 96" - 120o 52' 4,8" BT.
Berdasarkan letak astronomisnya, panjang wilayah
Kabupaten Poso dari ujung barat sampai ujung timur
diperkirakan jaraknya kurang lebih 86,2 Km. Lebarnya dari
Utara ke Selatan dengan jarak kurang lebih130 Km. Dilihat dari
posisinya dipermukaan bumi letak wilayah Kabupaten Poso
secara umum terletak di kawasan hutan dan lembah
pegunungan. Dan kawasan lainnya terletak pada pesisir pantai
yang sebagian terletak di perairan Teluk Tomini dan Teluk Tolo.
11
Secara geologis, wilayah Kabupaten Poso terletak pada
deretan pegunungan lipatan, yakni Pegunungan Fennema dan
Tineba di bagian barat, Pegunungan Takolekaju di bagian barat
daya, Pegunungan Verbeek di bagian tenggara, Pegunungan
Pompangeo dan Pegunungan Lumut di bagian timur laut.
Luas daratan Kabupaten Poso setelah terpisah dengan
Kabupaten Tojo Una-una diperkirakan sekitar 8.712,25 Km2
atau 12,81 persen dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tengah.
Bila dibandingkan dengan luas daratan kabupaten yang ada di
Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso menempati urutan
keempat.
Saat ini Kabupaten Poso memiliki 18 kecamatan, enam
kecamatan termasuk wilayah atau dataran Lore Lindu. Wilayah
lore terdiri atas enam kecamatan, yakni: Kecamatan Lore
Selatan, Kecamatan Lore Piore, Kecamatan Lore Timur,
Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Barat dan Kecamatan
Lore Tengah. Dari keenam kecamatan tersebut, hanya empat
kecamatan yang masih mengusahakan padi ladang khususnya
padi lokal kamba. Wilayah ini dapat ditempuh dengan
menggunakan kendaraan roda dua dan empat serta jalan kaki.
Waktu yang ditempuh untuk mencapai Kecamatan Lore Tengah
dari Palu ditempuh dengan waktu tempuh 6-7 jam dengan
kondisi jalan banyak yang rusak. Sedangkan Kecamatan Lore
Barat dan Selatan dapat ditempuh menggunakan kendaraan
roda empat selama 13 jam dengan kondisi jalan yang kurang
baik (Poso Dalam Angka, 2011).
Dataran Lore berada di ketinggian 800-1.250 meter di
atas permukaan laut. Kecamatan Lore Tengah terdiri atas
Desa Bariri, Katu, Rompo, Torire, Doda dan Hanggira. Doda
merupakan desa yang memiliki luas lahan sawah terluas
12
dibanding desa yang lain dan salah satu desa yang masih
pengusahaan padi lokal Kamba. Kecamatan Lore Utara terdiri
atas Desa Alitupu, Watumaeta, Banyubaru, Banyusari, Dodolo,
dan Sedoa. Pengusahaan padi lokal kamba di kecamatan ini
relatif merata dan tidak ada satupun yang belum pernah
mengusahakan padi kamba. Kecamatan Lore Barat terdiri atas
Desa Kageroa, Desa Kolori, Desa Lelio, Desa Lengkeka dan
Desa Tomehipi. Desa Kolori merupakan desa yang
mengusahakan padi lokal kamba terluas dibanding desa
lainnya. Demikian pula, Kecamatan Lore Selatan memiliki Desa
Bakekau, Desa Bewa, Desa Bomba, Desa Badangkaya dan
Desa Bulili. Desa Bulili merupakan desa yang mengusahakan
padi kamba relatif luas dibanding desa lain.
13
varietas unggul diperlukan antara lain varietas lokal maupun
kerabat liarnya sebagai tetua. Varietas lokal berperan penting
sebagai tetua yang adaptif pada lokasi spesifik, sedangkan
kerabat liar dan varietas introduksi dapat digunakan sebagai
tetua ketahanan terhadap hama dan penyakit (Rais, 2004)
Hasil informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan
tokoh masyarakat, tokoh adat, petani dan penyuluh pertanian di
Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan di Kabupaten Poso
menunjukkan bahwa varietas padi lokal Kamba merupakan
padi yang berasal dari nenek moyang dan sudah turun temurun
berada di Dataran Bada’ (nama umum untuk Lore Selatan dan
Lore Barat), dan berdasarkan informasi dari Kepala Desa Bulili
Kecamatan Lore Selatan bahwa memang sejak dulu padi
Kamba ini telah berada di Desa Bulili. Desa Bulili merupakan
desa pertama yang ada di dataran Bada’, diperkirakan telah
dibudidayakan sejak ratusan tahun yang lalu.
Padi lokal Kamba terdiri dari 3 (tiga) jenis (berdasarkan
informasi dari sumber lain), yaitu kamba pendek, kamba tinggi
dan kamba merah. Namun hingga saat ini yang dibudidayakan
oleh masyarakat hanya padi kamba pendek saja yang
sekarang disebut Kamba, sedangkan yang lainnya telah hilang.
Padi Kamba berumur lebih dari 5 bulan. Kebiasaan petani
menanam dengan cara tanam pindah dengan umur pindah
bervariasi antara 1,2 – 1,5 bulan bahkan ada yang sampai 2
bulan. Menurut informasi yang diperoleh jika bibit kamba
ditanam sebelum umur tersebut, padi Kamba tidak akan
tumbuh dengan baik dan mudah terserang hama dan penyakit.
Dalam membudidayakan padi Kamba, petani tidak
menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida karena hasil yang
diperoleh kurang baik dan tanaman mudah rebah. Rasa nasi
14
dari beras Kamba yaitu pulen, aromatik dan nasinya tidak cepat
basi. Hasil yang didapatkan masih tergolong rendah yaitu
berkisar 2,5 – 3 ton/ha (dalam hitungan orang Bada’ = 300 –
400 kaleng; dalam 1 kaleng sekitar 7 – 8 kg). Sebelum
adanya alat mekanisasi berupa traktor, petani di Bada’
menggunakan kerbau untuk mengolah sawah yang dikenal
dengan sistim Paruja’ (Paruja’=menggunakan beberapa ekor
kerbau dengan cara menggiring kerbau kesana kemari di
dalam petakan sawah hingga sawah berlumpur dan siap
ditanami). Di dataran Bada’, khususnya di Desa Bulili, mulai
tahun ini diprogramkan untuk penanaman varietas lokal Kamba
setidaknya sekali dalam setahun, hal ini dilakukan atas
instruksi Bupati Poso;
Beberapa varietas lokal padi yang masih dibudidayakan di
dataran tersebut merupakan padi sawah, sedangkan padi
ladang sudah tidak diusahakan lagi. Padi ladang yang pernah
diusahakan oleh masyarakat bernama Nomade, tetapi saat ini
padi ladang tersebut sudah tidak dikembangkan lagi oleh
masyarakat setempat. Beberapa varietas padi lokal yang
pernah dibudidayakan oleh masyarakat setempat adalah padi
lokal Kamba, Tomanado dan Topebuni. Varietas padi lokal
Tomanado dan Topabuni saat ini telah hilang dan tidak
dibudidayakan lagi oleh masyarakat setempat. Padahal
informasi dari petani bahwa padi lokal ini memiliki rasa paling
enak dan tahan terhadap beberapa penyakit.
Saat ini, hanya terdapat tiga padi lokal yang masih
dibudiayakan di dataran Bada, yakni padi lokal Kamba (dua
jenis) dan padi lokal karia. Ketiga jenis padi ini memiliki umur
panen relatif sama yaitu berkisar 6 bulan. Untuk jenis padi
lokal Kamba, satu jenis memiliki butir beras gemuk, sedangkan
15
satunya lagi memiliki ukuran biji yang ramping. Sedangkan
padi lokal karia memiliki biji yang sedikit lebih panjang
dibanding padi lokal Kamba. Kedua varietas tersebut juga
memiliki rasa pulen yang relatif sama. Beberapa penduduk
memberikan informasi bahwa kedua varietas tersebut memiliki
rasa enak yang relatif sama. Namun terdapat perbedaan yang
paling menonjol yaitu beras karya lebih mudah patah dibanding
varietas kamba. Diduga bahwa alasan inilah yang
menyebabkan varietas kamba masih dibudidayakan dalam
luasan yang lebih besar dibanding varietas karia. Walaupun
demikian, kelebihannya adalah kedua varietas ini ditanam oleh
petani di sawah tanpa pemberian saprodi, utamanya pupuk dan
pestisida.
Demikian pula hasil eksplorasi di wilayah Kecamatan
Lore Utara dan Lore Tengah Kabupaten Poso. Di dua
kecamatan ini, petani tetap menanam varietas padi lokal ini.
Namun demikian, tidak seperti kecamatan Lore barat dan
Selatan (dataran Bada), dimana di daerah ini para petani hanya
menanam satu jenis padi lokal sehingga tidak ada jenis lokal
yang lain. Kondisi yang berbeda terdapat di dataran Lore Lindu
Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi. Di daerah ini, khususnya
Desa Tomado Dusun Salutui, sebagian petaninya tetap
menanam padi lokal Kamba selain padi varietas unggul lainnya.
Di dataran Lindu hanya ada dua jenis padi lokal yaitu lokal
Kamba dan lokal Dewi.
16
yang diamati dapat berupa karakter morfologi (bentuk daun,
bentuk buah, warna kulit biji, dan sebagainya), karakter
agronomi (umur panen, tinggi tanaman, panjang tangkai daun,
jumlah anakan, dan sebagainya), karakter fisiologi (senyawa
alelopati, fenol, alkaloid, reaksi pencoklatan, dan sebagainya),
marka isoenzim, dan marka molekuler (Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, 2004; Polnaya, 2008).
Padi lokal Kamba masih diusahakan oleh petani karena
memiliki keunggulan, baik dari rasa, kepulenan maupun
fungsinya bagi tubuh. Keunggulan inilah yang diharapkan dapat
memberikan nilai tambah bagi beras Kamba, sehingga harga
jualnya lebih tinggi dibanding beras putih dari varietas unggul
baru.
Hasil karakteristik padi kamba adalah sebagai berikut:
Daun Bulu daun : Halus
Muka daun : Halus
Posisi daun : Miring
Daun bendera : Tegak
Warna helai daun : Hijau berpinggir ungu
Warna pelepah : Hijau
daun
Warna lidah daun : Tidak berwarna
Warna leher daun : Tidak berwarna/sampai putih
Warna telinga daun : Tidak berwarna
Lebar daun : Sedang
Ketuaan daun : Lambat
Batang Sudut batang : Tegak
Kekuatan batang : Kuat
Warna nodia : Hijau
Warna internode : Kuing keemasan
Malai Tipe malai : intermadiate
Leher malai : sebagian tertutup
Kesuburan malai : fertile
Gabah Bulu pada gabah : sebagian berbulu
Warna stigma : tidak berwarna
(kepala putik)
17
Kerontokan : tahan
Bulu gabah : pendek
(apiculus)
Warna ujung gabah : warna jerami
Warna sterillema : tidak berwarna
(kelopak bunga)
Warna gabah : keemasan sampai coklat
Bentuk gabah : ramping
Tipe endosperm : berperut
(beras)
Jumlah anakan : 9-11
Tinggi tanaman (cm) : 86 – 105 cm
Umur berbunga : 3 bulan
Umur panen : 5 bulan
18
sedangkan tanaman yang menunjukkan fenotip jenis kamba
dikembangkan lebih lanjut. Berkaitan dengan pemilihan jenis
tanaman, untuk menghindari kesalahan pemilihan jenis kamba,
maka dilibatkan petani setempat yang membantu menunjukkan
ciri-ciri jenis kamba dengan pertimbangan bahwa mereka pasti
memahami secara jelas jenis tanaman ini sebagai pelaku
penanaman padi lokal sejak dahulu. Pada saat akan panen,
seleksi tetap dilakukan dengan melibatkan petani dalam seleksi
tersebut. Hasil panen padi lokal Kamba disatukan/dibulk. Padi
lokal Kamba yang telah dimurnikan tersebut akan dijadikan
sumber benih dan dibagi ke kelompok tani yang akan
mengembangkan pada musim berikutnya. Bila memungkinkan,
penyerahan benih dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
temu lapang. Namun bila tidak, maka benih akan diserahkan
kemudian setelah benih telah diproses seed cleaner.
Penyerahan akan dilakukan di Kantor Dinas Pertanian masing-
masing kabupaten untuk selanjutnya diserahkan kepada
kelompok tani yang masih mengembangkan padi jenis ini.
Sedangkan untuk menghasilkan benih dasar (FS), sebagian
dari benih ini masih akan ditanam dipertanaman petani yang
akan dibina menjadi penangkar. Pembinaan dilakukan oleh
instansi terkait (Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah
melalui UPTD Sertifikasi Benih, Dinas Pertanian Kabupaten
Sigi dan Poso, serta BPTP Sulawesi Tengah. Pengawasan di
lapangan dilakukan oleh tenaga Pengawas Benih setempat.
Selain penanaman di lokasi calon penangkar, juga akan
ditanam di Kebun Percobaan Sidondo yang merupakan milik
BPTP Sulawesi Tengah.
Hingga saat ini kondisi pertanaman masih dalam fase
pematangan sehingga temu lapang direncanakan setelah
19
panen (awal oktober 2012). Benih yang dihasilkan akan
diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sigi dan Poso untuk
selanjutnya diserahkan ke kelompok petani yang masih
mengembangkan padi lokal Kamba.
20
2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran
Mekanisme pengelolaan anggaran berdasarkan peraturan
yang berlaku. Dana yang ditransfer melalui Badan Litbang
Pertanian selanjutnya dikelola dimasing-masing unit kerja melalui
Pemegang Uang Muka Kerja yang telah ditunjuk berdasarkan Surat
Keputusan Kepala BPTP. Penggunaan anggaran didasarkan
kebutuhan penanggung jawab dan rencana kerja yang telah dibuat
sesuai proposal. Sedangkan pembayaran dilakukan berdasarkan
alat bukti yang sah (kuitansi) dan disetujui oleh Kepala Balai.
Pelaporan dan pertanggung jawaban dilakukan secara bertahap
dengan mekanisme pengelolaan anggaran penelitian terpusat
layaknya kegiatan pengkajian/penelitiam APBN.
Realisasi anggaran hingga termin kedua disajikan di bawah
ini :
No Uraian Termin I Termin II Jumlah (Rp)
21
mengembangkan padi jenis ini melalui Pemerintah Kabupaten Sigi
dan Poso. Saat ini kondisi pertanaman yang akan dijadikan
sumber benih yang dimurnikan masih pada tahap pematangan dan
panen diperkirakan akhir September hingga awal oktober 2012.
22
BAB. III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA
23
Pada saat akan panen, seleksi tetap dilakukan dengan melibatkan
petani dalam seleksi tersebut. Hasil panen padi lokal Kamba
disatukan/dibulk. Benih padi lokal Kamba yang dihasilkan dari
kegiatan pemurnian akan diserahkan ke kelompok tani yang masih
mengembangkan padi jenis ini melalui Pemda kabupaten masing-
masing.
2. Indikator Keberhasilan
• Terlaksananya kegiatan eksplorasi dan survei karakterisasi/
identifikasi padi lokal Kamba di dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Sigi dan Poso.
• Kegiatan pemurnian padi yang akan menghasilkan benih yang
murni dan seragam serta berkualitas
• Adanya perbaikan teknologi di tingkat petani tentang budidaya
padi dari konvensional ke yang lebih efesien.
24
Utara. Sedangkan Kabupaten Sigi dilakukan di Kecamatan
Lindu.
25
laut. Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki luas 217.991,18
hektar merupakan cagar biosfer dan paru-paru dunia, sebagian
wilayahnya terdapat di Kabupaten Sigi (Statistik Daerah
Kabupaten Sigi, 2011).
Wilayah Kecamatan Lindu terdiri atas empat desa yaitu:
Desa Tomado, Langko, Anca dan Puro’o. Desa Langko dan
Desa Tomado memiliki lahan persawahan terluas dibanding
desa lainnya. Desa Tomado merupakan desa yang petaninya
masih mengusahakan padi lokal kamba. Dusun Salatui yang
terdapat pada Desa Tomado merupakan dusun yang setiap
tahun melakukan penanaman padi lokal kamba.
Kabupaten Poso wilayahnya membentang dari arah
Tenggara ke Barat Daya dan melebar dari arah Barat ke
Timur, dan sebagian besar berada di daratan pulau sulawesi.
Kabupaten Poso terletak ditengah Sulawesi yang merupakan
jalur strategis yang menghubungkan Sulawesi Utara dengan
Sulawesi Tengah. Berdasarkan garis lintang dan garis bujur
wilayah Kabupaten Poso terletak pada koordinat 1o06'
44,892" - 2o12' 53,172" LS dan 120o 05' 96" - 120o 52' 4,8" BT.
Berdasarkan letak astronomisnya, panjang wilayah
Kabupaten Poso dari ujung barat sampai ujung timur
diperkirakan jaraknya kurang lebih 86,2 Km. Lebarnya dari
Utara ke Selatan dengan jarak kurang lebih130 Km. Dilihat dari
posisinya dipermukaan bumi letak wilayah Kabupaten Poso
secara umum terletak di kawasan hutan dan lembah
pegunungan. Dan kawasan lainnya terletak pada pesisir pantai
yang sebagian terletak di perairan Teluk Tomini dan Teluk Tolo.
Secara geologis, wilayah Kabupaten Poso terletak pada
deretan pegunungan lipatan, yakni Pegunungan Fennema dan
Tineba di bagian barat, Pegunungan Takolekaju di bagian barat
26
daya, Pegunungan Verbeek di bagian tenggara, Pegunungan
Pompangeo dan Pegunungan Lumut di bagian timur laut.
Luas daratan Kabupaten Poso setelah terpisah dengan
Kabupaten Tojo Una-una diperkirakan sekitar 8.712,25 Km2
atau 12,81 persen dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tengah.
Bila dibandingkan dengan luas daratan kabupaten yang ada di
Propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso menempati urutan
keempat.
Saat ini Kabupaten Poso memiliki 18 kecamatan, enam
kecamatan termasuk wilayah atau dataran Lore Lindu. Wilayah
lore terdiri atas enam kecamatan, yakni: Kecamatan Lore
Selatan, Kecamatan Lore Piore, Kecamatan Lore Timur,
Kecamatan Lore Utara, Kecamatan Lore Barat dan Kecamatan
Lore Tengah. Dari keenam kecamatan tersebut, hanya empat
kecamatan yang masih mengusahakan padi ladang khususnya
padi lokal kamba. Wilayah ini dapat ditempuh dengan
menggunakan kendaraan roda dua dan empat serta jalan kaki.
Waktu yang ditempuh untuk mencapai Kecamatan Lore Tengah
dari Palu ditempuh dengan waktu tempuh 6-7 jam dengan
kondisi jalan banyak yang rusak. Sedangkan Kecamatan Lore
Barat dan Selatan dapat ditempuh menggunakan kendaraan
roda empat selama 13 jam dengan kondisi jalan yang kurang
baik (Poso Dalam Angka, 2011).
Dataran Lore berada di ketinggian 800-1.250 meter di
atas permukaan laut. Kecamatan Lore Tengah terdiri atas
Desa Bariri, Katu, Rompo, Torire, Doda dan Hanggira. Doda
merupakan desa yang memiliki luas lahan sawah terluas
dibanding desa yang lain dan salah satu desa yang masih
pengusahaan padi lokal Kamba. Kecamatan Lore Utara terdiri
atas Desa Alitupu, Watumaeta, Banyubaru, Banyusari, Dodolo,
27
dan Sedoa. Pengusahaan padi lokal kamba di kecamatan ini
relatif merata dan tidak ada satupun yang belum pernah
mengusahakan padi kamba. Kecamatan Lore Barat terdiri atas
Desa Kageroa, Desa Kolori, Desa Lelio, Desa Lengkeka dan
Desa Tomehipi. Desa Kolori merupakan desa yang
mengusahakan padi lokal kamba terluas dibanding desa
lainnya. Demikian pula, Kecamatan Lore Selatan memiliki Desa
Bakekau, Desa Bewa, Desa Bomba, Desa Badangkaya dan
Desa Bulili. Desa Bulili merupakan desa yang mengusahakan
padi kamba relatif luas dibanding desa lain.
28
kerabat liar dan varietas introduksi dapat digunakan sebagai
tetua ketahanan terhadap hama dan penyakit (Rais, 2004)
Hasil informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan
tokoh masyarakat, tokoh adat, petani dan penyuluh pertanian di
Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan di Kabupaten Poso
menunjukkan bahwa varietas padi lokal Kamba merupakan
padi yang berasal dari nenek moyang dan sudah turun temurun
berada di Dataran Bada’ (nama umum untuk Lore Selatan dan
Lore Barat), dan berdasarkan informasi dari Kepala Desa Bulili
Kecamatan Lore Selatan bahwa memang sejak dulu padi
Kamba ini telah berada di Desa Bulili. Desa Bulili merupakan
desa pertama yang ada di dataran Bada’, diperkirakan telah
dibudidayakan sejak ratusan tahun yang lalu.
Padi lokal Kamba terdiri dari 3 (tiga) jenis (berdasarkan
informasi dari sumber lain), yaitu kamba pendek, kamba tinggi
dan kamba merah. Namun hingga saat ini yang dibudidayakan
oleh masyarakat hanya padi kamba pendek saja yang
sekarang disebut Kamba, sedangkan yang lainnya telah hilang.
Padi Kamba berumur lebih dari 5 bulan. Kebiasaan petani
menanam dengan cara tanam pindah dengan umur pindah
bervariasi antara 1,2 – 1,5 bulan bahkan ada yang sampai 2
bulan. Menurut informasi yang diperoleh jika bibit kamba
ditanam sebelum umur tersebut, padi Kamba tidak akan
tumbuh dengan baik dan mudah terserang hama dan penyakit.
Dalam membudidayakan padi Kamba, petani tidak
menggunakan pupuk kimia ataupun pestisida karena hasil yang
diperoleh kurang baik dan tanaman mudah rebah. Rasa nasi
dari beras Kamba yaitu pulen, aromatik dan nasinya tidak cepat
basi. Hasil yang didapatkan masih tergolong rendah yaitu
berkisar 2,5 – 3 ton/ha (dalam hitungan orang Bada’ = 300 –
29
400 kaleng; dalam 1 kaleng sekitar 7 – 8 kg). Sebelum
adanya alat mekanisasi berupa traktor, petani di Bada’
menggunakan kerbau untuk mengolah sawah yang dikenal
dengan sistim Paruja’ (Paruja’=menggunakan beberapa ekor
kerbau dengan cara menggiring kerbau kesana kemari di
dalam petakan sawah hingga sawah berlumpur dan siap
ditanami). Di dataran Bada’, khususnya di Desa Bulili, mulai
tahun ini diprogramkan untuk penanaman varietas lokal Kamba
setidaknya sekali dalam setahun, hal ini dilakukan atas
instruksi Bupati Poso;
Beberapa varietas lokal padi yang masih dibudidayakan di
dataran tersebut merupakan padi sawah, sedangkan padi
ladang sudah tidak diusahakan lagi. Padi ladang yang pernah
diusahakan oleh masyarakat bernama Nomade, tetapi saat ini
padi ladang tersebut sudah tidak dikembangkan lagi oleh
masyarakat setempat. Beberapa varietas padi lokal yang
pernah dibudidayakan oleh masyarakat setempat adalah padi
lokal Kamba, Tomanado dan Topebuni. Varietas padi lokal
Tomanado dan Topabuni saat ini telah hilang dan tidak
dibudidayakan lagi oleh masyarakat setempat. Padahal
informasi dari petani bahwa padi lokal ini memiliki rasa paling
enak dan tahan terhadap beberapa penyakit.
Saat ini, hanya terdapat tiga padi lokal yang masih
dibudiayakan di dataran Bada, yakni padi lokal Kamba (dua
jenis) dan padi lokal karia. Ketiga jenis padi ini memiliki umur
panen relatif sama yaitu berkisar 6 bulan. Untuk jenis padi
lokal Kamba, satu jenis memiliki butir beras gemuk, sedangkan
satunya lagi memiliki ukuran biji yang ramping. Sedangkan
padi lokal karia memiliki biji yang sedikit lebih panjang
dibanding padi lokal Kamba. Kedua varietas tersebut juga
30
memiliki rasa pulen yang relatif sama. Beberapa penduduk
memberikan informasi bahwa kedua varietas tersebut memiliki
rasa enak yang relatif sama. Namun terdapat perbedaan yang
paling menonjol yaitu beras karya lebih mudah patah dibanding
varietas kamba. Diduga bahwa alasan inilah yang
menyebabkan varietas kamba masih dibudidayakan dalam
luasan yang lebih besar dibanding varietas karia. Walaupun
demikian, kelebihannya adalah kedua varietas ini ditanam oleh
petani di sawah tanpa pemberian saprodi, utamanya pupuk dan
pestisida.
Demikian pula hasil eksplorasi di wilayah Kecamatan
Lore Utara dan Lore Tengah Kabupaten Poso. Di dua
kecamatan ini, petani tetap menanam varietas padi lokal ini.
Namun demikian, tidak seperti kecamatan Lore barat dan
Selatan (dataran Bada), dimana di daerah ini para petani hanya
menanam satu jenis padi lokal sehingga tidak ada jenis lokal
yang lain. Kondisi yang berbeda terdapat di dataran Lore Lindu
Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi. Di daerah ini, khususnya
Desa Tomado Dusun Salutui, sebagian petaninya tetap
menanam padi lokal Kamba selain padi varietas unggul lainnya.
Di dataran Lindu hanya ada dua jenis padi lokal yaitu lokal
Kamba dan lokal Dewi.
31
jumlah anakan, dan sebagainya), karakter fisiologi (senyawa
alelopati, fenol, alkaloid, reaksi pencoklatan, dan sebagainya),
marka isoenzim, dan marka molekuler (Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, 2004; Polnaya, 2008).
Padi lokal Kamba masih diusahakan oleh petani karena
memiliki keunggulan, baik dari rasa, kepulenan maupun
fungsinya bagi tubuh. Keunggulan inilah yang diharapkan dapat
memberikan nilai tambah bagi beras Kamba, sehingga harga
jualnya lebih tinggi dibanding beras putih dari varietas unggul
baru.
Hasil karakteristik padi kamba adalah sebagai berikut:
Daun Bulu daun : Halus
Muka daun : Halus
Posisi daun : Miring
Daun bendera : Tegak
Warna helai daun : Hijau berpinggir ungu
Warna pelepah : Hijau
daun
Warna lidah daun : Tidak berwarna
Warna leher daun : Tidak berwarna/sampai putih
Warna telinga daun : Tidak berwarna
Lebar daun : Sedang
Ketuaan daun : Lambat
Batang Sudut batang : Tegak
Kekuatan batang : Kuat
Warna nodia : Hijau
Warna internode : Kuing keemasan
Malai Tipe malai : intermadiate
Leher malai : sebagian tertutup
Kesuburan malai : fertile
Gabah Bulu pada gabah : sebagian berbulu
Warna stigma : tidak berwarna
(kepala putik)
Kerontokan : tahan
Bulu gabah : pendek
(apiculus)
Warna ujung gabah : warna jerami
32
Warna sterillema : tidak berwarna
(kelopak bunga)
Warna gabah : keemasan sampai coklat
Bentuk gabah : ramping
Tipe endosperm : berperut
(beras)
Jumlah anakan : 9-11
Tinggi tanaman (cm) : 86 – 105 cm
Umur berbunga : 3 bulan
Umur panen : 5 bulan
33
maka dilibatkan petani setempat yang membantu menunjukkan
ciri-ciri jenis kamba dengan pertimbangan bahwa mereka pasti
memahami secara jelas jenis tanaman ini sebagai pelaku
penanaman padi lokal sejak dahulu. Pada saat akan panen,
seleksi tetap dilakukan dengan melibatkan petani dalam seleksi
tersebut. Hasil panen padi lokal Kamba disatukan/dibulk. Padi
lokal Kamba yang telah dimurnikan tersebut akan dijadikan
sumber benih dan dibagi ke kelompok tani yang akan
mengembangkan pada musim berikutnya. Bila memungkinkan,
penyerahan benih dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
temu lapang. Namun bila tidak, maka benih akan diserahkan
kemudian setelah benih telah diproses seed cleaner.
Penyerahan akan dilakukan di Kantor Dinas Pertanian masing-
masing kabupaten untuk selanjutnya diserahkan kepada
kelompok tani yang masih mengembangkan padi jenis ini.
Sedangkan untuk menghasilkan benih dasar (FS), sebagian
dari benih ini masih akan ditanam dipertanaman petani yang
akan dibina menjadi penangkar. Pembinaan dilakukan oleh
instansi terkait (Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah
melalui UPTD Sertifikasi Benih, Dinas Pertanian Kabupaten
Sigi dan Poso, serta BPTP Sulawesi Tengah. Pengawasan di
lapangan dilakukan oleh tenaga Pengawas Benih setempat.
Selain penanaman di lokasi calon penangkar, juga akan
ditanam di Kebun Percobaan Sidondo yang merupakan milik
BPTP Sulawesi Tengah.
Hingga saat ini kondisi pertanaman masih dalam fase
pematangan sehingga temu lapang direncanakan setelah
panen (awal oktober 2012). Benih yang dihasilkan akan
diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sigi dan Poso untuk
34
selanjutnya diserahkan ke kelompok petani yang masih
mengembangkan padi lokal Kamba.
35
produksinya dengan tetap mempertahankan sifat-sifat yang unggul
lainnya (tektur, rasa, aroma, ketahanan terhadap hama/penyakit
tertentu). Kegiatan perbaikan genetik akan bekerjasama dengan
Balai Besar Padi Sukamandi-Jawa Barat.
36
BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
37
B. Pemanfaatan Hasil Litbangyasa
1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil
Kegiatan kajian ini akan dimulai dengan survey lokasi dan
eksplorasi padi lokal Kamba di wilayah yang masih
membudidayakan padi tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah
melakukan karakterisasi padi lokal varietas Kamba. Metoda yang
digunakan adalah survey dan wawancara. Bahan tanaman berupa
benih disetiap lokasi diambil untuk ditanam pada kegiatan
pemurnian. Dalam kegiatan pemurnian, dilakukan juga perbaikan
teknik budidaya dengan mengenalkan inovasi teknologi budidaya
padi organik dengan sistem tanam jajar legowo 2:1 dan
pemanfaatan bahan organik serta biopestisida. Setiap tahapan
budidaya dilakukan sekolah lapang. Tujuannya adalah agar petani
mengetahui dan penerapkan komponen teknologi tersebut pada
musim tanam berikutnya untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas padi varietas lokal Kamba. Diperkirakan produksi
yang dihasilkan akan mencapai 2-3 ton/ha yang keseluruhannya
akan diserahkan kepada kelompok tani setempat melalui
Pemerintah Daerah masing-masing pada saat temu lapang
dilaksanakan. Kegiatan temu lapang akan dilaksanakan
bersamaan dengan panen perdana. Peserta yang diundang
adalah Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan
Desa), Instansi terkait, Balai Penyuluhan Pertanian setempat, PPL
dan kelompok tani. Mekanisme pemanfaatan hasil kajian disajikan
pada Gambar 1.
38
Strategi pemanfaatan hasil diawali dengan sosialisasi
kegiatan di tingkat petani, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)
dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di lokasi pemurnian. Hal ini
dilakukan agar petugas dan petani mengetahui apa tujuan dan
luaran yang akan dicapai. Setiap tahapan kegiatan dilakukan
melalui sekolah lapang. Sekolah lapang ditujukan untuk kelompok
tani dengan harapan petani akan mengetahui komponen teknologi
baru dan langkah-langkah pelaksanaannya serta menerapkan di
lahan masing-masing. Selain itu juga, benih yang dihasilkan
dalam kegiatan pemurnian akan diserahkan ke Pemkab masing-
masing untuk diberikan ke kelompok tani pada saat temu lapang.
Temu lapang dilaksanakan dengan tujuan untuk mempertemukan
pengambil kebijakan, peneliti, penyuluh dan petani guna
menyusun strategi pengembangan padi lokal varietas Kamba.
Hasil-hasil kegiatan kajian ini akan ditulis dalam bentuk publikasi
ilmiah (prosiding dan jurnal) sebanyak 2-3 buah.
39
telah dilakukan bersama dengan petani dan petugas lapangan
dalam bentuk sekolah lapang tentang teknologi penyiapan lahan
dan pesemaian, penanaman dengan sistim legowo 2:1,
pembuatan pupuk organik dari bahan jerami padi, rouging gulma
dan tanaman tipe simpang, pengendalian hama dan penyakit serta
pengamatan karakteristik tanaman. Hal ini dilakukan agar petani
dan petugas lapangan mengetahui dan lebih paham tentang
teknologi-tenologi yang telah disampaikan baik pada kegiatan
sekolah lapang, demo, maupun pada kunjungan lapangan.
40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran
Telah dilakukan beberapa tahapan kegiatan yaitu :
Eksplorasi dan survey karakteristik padi lokal Kamba telah
dilaksanakan di dua kabupaten, yaitu Poso dan Sigi. Kegiatan
ini dilakukan bulan Maret hingga April 2012. Metode yang
digunakan adalah survey dan wawancara dengan tujuan untuk
mengetahui penyebaran, asal-usul dan sejarah padi lokal
Kamba.
Pemurnian. Pemurnian dilakukan dengan cara menanam
benih hasil eksplorasi dari beberapa lokasi pengembangan.
Sistem tanam yang digunakan adalah tanam pindah saat bibit
padi berumur satu bulan di pesemaian. Penanaman dilakukan
dengan system jajar legowo 2 : 1 pada jarak tanam 20 cm x 10
cm x 40 cm. Selama padi dipertanaman dilakukan rouging
dilakukan pada fase vegetatif dan reproduktif. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui karakteristik sebagai penciri padi
lokal Kamba.
41
unsur pemerintah terkait (Dinas Pertanian propinsi, kabupaten,
UPTD BPSB, lembaga penyuluhan dan kelompok tani) saat
temu lapang.
42
dilakukan temu lapang. Temu lapang dilaksanakan dengan
tujuan untuk mempertemukan pengambil kebijakan, peneliti,
penyuluh dan petani guna menyusun strategi pengembangan
padi lokal varietas Kamba.
Hasil-hasil kegiatan kajian ini akan ditulis dalam bentuk
publikasi ilmiah (prosiding dan jurnal) sebanyak 2-3 buah.
B. Saran
43
LAMPIRAN (Dokumentasi Kegiatan)
44
Gambar 2. Kegiatan Pesemaian di Lapangan
45
Gambar 3. Kondisi Pertanaman Padi di Lapangan
46
Gambar 4. Pengamatan Karakteristik Tanaman bersama Petani
47