Anda di halaman 1dari 110

MENGANALISA PERJANJIAN PEMBORONGAN (TENTANG KONTRAK

KONSTRUKSI PEMBANGUNAN FASILITAS UMUM KABUPATEN LUWU)

RESANDI IDRIS SAUPADANG


19.023.22.201.079

FAKULTAS TEKNIK JURUSAN SIPIL


UNIVERSITAS ANDI DJEMMA
2022
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN :

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Kerangka Pemikiran

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

2. Syarat Sahnya Perjanjian

3. Asas-Asas Perjanjian

4. Subyek Perjanjian

5. Obyek Perjanjian

6. Wanprestasi

7. Overmacht

8. Berakhirnya atau Hapusnya Perjanjian

B. Tinjauan Tentang Perjanjian Pemborongan

1. Pengertian Perjanjian Pemborongan

2. Bentuk Perjanjian Pemborongan

3. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan

4. Isi Perjanjian Pemborongan

5. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

6. Tanggung Jawab Masing-Masing Pihak

7. Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian

8. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan


C. Tinjauan Umum Tentang Kontrak

1. Pengertian Kontrak

2. Syarat Sahnya Kontrak

3. Bentuk-Bentuk Kontrak

4. Jenis-Jenis Kontrak
5. Akibat Hukum Suatu Kontrak
6. Berakhirnya Suatu Kontrak

D. Tinjauan Tentang Kontrak Kerja Konstruksi

1. Pengertian Kontrak Kerja Konstruksi

2. Pengaturan Kontrak Kerja Konstruksi

3. Para Pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Kerja Konstruksi

5. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Kontrak KerjaKonstruksi

BAB III : PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA
2

Abstrak

Pembangunan terhadap fasilitas umum merupakan pembangunan yang

dilakukan oleh pemerintah untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan

aktivitas sehari-hari, salah satunya perbaikan dan pemeliharaan jalan, untuk

merencanakan, melaksanakan pembangunan dan mengawasi bangunan yang dalam

masa pembangunan sampai selesai diperlukan suatu perikatan tertulis antara pihak

pertama dengan pihak kedua. Perikatan antara kedua belah pihak disebut perjanjian

pemborongan, Pemborongan pekerjaan diatur dalam pasal 1601b KUH Perdata,

kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal 1604-1616 KUH Perdata. Perjanjian tersebut

dibuat dalam bentuk tertulis, tepatnya berbentuk kontrak kerja konstruksi. Penelitian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai pelaksanaan perjanjian pemborongan

antara pemerintah dengan swasta dalam proyek pembangunan fasilitas umum di

Kabupaten Ngawi. Untuk mengidentifikasi mengenai kendala-kendala yang terjadi

selama pelaksanaan perjanjian antara pihak pemerintah dengan swasta dalam

proyek pembangunan fasilitas umum di Kabupaten Ngawi. Penelitian ini

menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan yuridis

normatif yaitu meneliti bahan kepustakaan kemudian mengkaji dengan peraturan

perundang-undangan. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menjelaskan suatu

gambaran pada data yang diteliti secara tepat terhadap keadaan atau gejala-gejala

lain yang ada. Hasil penelitian menunjukan tahapan dan proses-proses awal dalam

perjanjian pemborongan antara Pemerintah Kabupaten Ngawi dengan CV. Karya

Utama untuk mencapai kesepakatan dalam proses penyusunan kontrak serta isi

dalam kontrak yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan proyek tersebut. Di dalam

perjanjian pemborongan, kendala yang dihadapi bisa timbul dari kontrak itu sendiri

atau karena diakibatkan oleh kelalaian para pihak (wanprestasi) dan keadaan di luar

dugaan para pihak. Upaya penyelesaian perselisihan disepakati untuk diselesaikan

melalui jalur di pengadilan maupun di luar pengadilan yang telah disepakati dan

tercantum dalam kontrak. Kata Kunci : perjanjian pemborongan, pelaksanaan,

kontrak
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fasilitas umum merupakan fasilitas yang disedikan untuk

kepentingan umum, dalam artian fasilitas tersebut digunakan untuk

kepentingan semua masyarakat dalam melaksanakan dan memudahkan

masyarakat untuk aktivitas sehari-hari.1 Jalan raya, jalan desa, saluran air,

jembatan, fly over, trotoar, tempat pembuangan sampah, halte, alat

penerangan umum dan lain sebagainya merupakan contoh dari fasilitas

umum.

Pembangunan terhadap fasilitas umum merupakan pembangunan

yang dilakukan oleh pemerintah untuk memudahkan masyarakat dalam

melakukan aktivitas sehari-hari dan pembangunan tersebut sangat penting,

salah satunya perbaikan dan pemeliharaan jalan. Jalan merupakan

penghubung dalam aktivitas sehari-hari yang digunakan masyarakat untuk

hilir mudik antara wilayah satu dengan wilayah lain. Kebutuhan akan

transportasi jalan meliputi: pembangunan prasarana jalan, peningkatan jalan

dan merehabilitasi jalan perlu suatu perencanaan dengan melihat dari

beberapa aspek antara lain: aspek sosial, aspek ekonomi, aspek politik serta

didukung anggaran yang sesuai.

Dalam rangka pengembangan prasarana jalan di daerah khususnya

di daerah Kabupaten luwu, kewenangan pelaksanaan pembangunan

diberikan kepada Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, Cipta Karya dan

Kebersihan

yang merupakan instansi pemerintah daerah di bidang pembangunan dan

pengembangan sarana dan prasarana fasilitas umum yang berkedudukan di

Luwu. Untuk melaksanakan pembangunan, peningkatan dan

perehabilitasian jalan tersebut harus dilaksanakan perencanaan,


4

pengawasan dan pelaksanaan secara matang.

Untuk merencanakan, melaksanakan pembangunan dan mengawasi

bangunan yang dalam masa pembangunan sampai selesai diperlukan suatu

perikatan tertulis antara pihak pertama (yang memborongkan/pemberi

tugas/pemilik proyek/bouwheer) dengan pihak kedua (pemborong/aanemer)

bisa meliputi konsultan pelaksana, kontraktor pelaksana, dan konsultan

pengawas. Perikatan antara kedua belah pihak tersebut disebut perjanjian

pemborongan. Perjanjian pemborongan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata) disebut dengan pemborongan pekerjaan.

Pemborongan pekerjaan diatur dalam pasal 1601b KUH Perdata, kemudian

diatur lebih lanjut dalam pasal 1604-1616 KUH Perdata, namun dalam pasal

1606-1616 hanya sedikit membahas hak-hak dan kewajiban-kewajiban para

pihak.

Perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik antara hak

dan kewajiban, yang mana terdapat persetujuan antara pihak satu yaitu

pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pekerjaan, sedang

pihak yang lain yang memborongkan, mengikatkan diri untuk membayar

suatu harga yang telah ditentukan.2 Perjanjian pemborongan bersifat

konsesuil yang artinya perjanjian, dimana adanya kata sepakat antara

para

.
5

pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya suatu perjanjian. Dalam perjanjian

pemborongan pada azasnya dibuat dalam bentuk yang tertulis,3 selain

berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan pengertian bahwa

perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang bisa

menimbulkan resiko bahaya yang menyangkut keselamatan umum dan tertib

bangunan.

Dalam penyelenggaraan prasarana jalan telah ditetapkan di dalam

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan

APBD/APBN, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun penyedia

barang/jasa. Disebutkan juga bahwa nilai paket pengadaan barang/jasa

pemborongan/jasa lainnya paling banyak 2.500.000.000 (dua miliar lima

ratus juta rupiah), dicadangkan dan peruntukannya bagi usaha kecil, kecuali

untuk paket pekerjaan yang menuntut kemampuan teknis yang tidak dapat

dipenuhi oleh usaha kecil. Disebutkan juga semua pengadaan dengan nilai

paling banyak Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah), pihak

penyelenggara hanya perlu memilih dari proposal yang diajukan kepada

mereka tanpa perlu adanya pelelangan. Oleh karena itu disebut Penunjukan

Langsung.

Dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum menetapkan kontraktor yang

mengerjakan proyek pembangunan jalan kepada CV. Karya Utama dengan

cara penunjukan langsung yang memenuhi syarat-syarat pelaksanaan

pekerjaan berdasarkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa

(SPPJB)
6

Nomor: 050/6201/404.109/2011. Dalam penawaran yang ditujukan kepada

CV. Karya Utama untuk melaksanakan pekerjaan proyek pembangunan

perbaikan jalan perempatan dungus dengan dana dari APBD sebesar Rp.

117.988.000,- (Seratus Tujuh Belas Juta Sembilan Ratus Delapan Puluh

Delapan Ribu Rupiah) termasuk pajak-pajak (PPN dan PPh) dengan jangka

waktu pembangunan selama 90 (sembilan puluh) hari kalender sesuai

dengan Perjanjian (Kontrak).

Keterlibatan pihak kontraktor selaku pelaksana proyek pekerjaan

pembangunan jalan perempatan dungus di Kabupaten Ngawi antara Dinas

Pekerjaan Umum Bina Marga, Cipta Karya dan Kebersihan Kabupaten

Luwu dengan CV. Karya Utama telah menimbulkan suatu hubungan hukum

yaitu perjanjian pekerjaan yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah

pihak. Sesuai dengan surat perjanjian dimana perjanjian tersebut telah

sesuai dan sah dengan undang-undang yang berlaku bagi mereka yang

membuatnya dan perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik

sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUH Perdata.4

Pada pelaksanaan kontrak kerja pembangunan perbaikan jalan

perempatan dungus antara Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, Cipta Karya

dan Kebersihan Kabupaten Luwu dengan CV. Karya Utama, telah jelas

diatur mengenai prosedur pelaksanaan pekerjaan, jangka waktu

penyelesaian pekerjaan. Untuk pihak kontraktor jika terjadi keterlambatan

penyelesaian pekerjaan dan melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

dan syarat-syarat di dalam kontrak, maka akan dikenakan denda atau

sanksi apabila alasan-


7

alasan dari pihak kontraktor tidak dapat diterima oleh Dinas Pekerjaan

UmumBina Marga, Cipta Karya dan Kebersihan Kabupaten Luwu.

Pada perencanaan proyek pembangunan fasilitas umum, proses

pertama dalam pengadaan jasa pembangunan konstruksi adalah dengan

cara pelelangan tender atau penunjukan secara langsung tergantung pada

nilai proyek yang akan dikerjakan, jika nilai proyek diatas 200.000.000 (Dua

Ratus Juta) maka dilakukan pelelangan, karena tidak semua perusahaan

jasa konstruksi mampu melaksanakan proyek diatas nilai tersebut secara

finansial sedangkan nilai proyek sekitar 200.000.000 (Dua Ratus Juta) atau

ke bawah maka penyelenggara tinggal memilih proposal yang diajukan oleh

pihak pelaksana pekerjaan yang biasa disebut dengan cara penunjukan

langsung kepada calon pemborong pekerjaan. Masalah yang sering dihadapi

dengan cara pelelangan tender adalah dalam tahap pra kualifikasi banyak

yang meloloskan perusahaan yang tidak memenuhi syarat administratif dan

teknis, sehingga menyebabkan ketidaktahuan apakah perusahaan

pemborong jasa tersebut pernah memiliki riwayat cacat dalam kinerja proyek

pengerjaan atau tidak dan banyak perusahaan yang memiliki koneksi

dengan pihak penyelenggara sehingga menyebabkan adanya unsur-unsur

KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sedangkan masalah yang dihadapi

dengan cara penunjukan langsung terhadap calon pelaksana proyek hampir

sama dengan cara pelelangan tender tersebut yaitu adanya persekongkolan

antara penyelenggara dan pihak pelaku usaha, padahal ada perusahaan lain

yang lebih mampu mengerjakan proyek tersebut, keadaan tidak mendesak

dan terdapat ketersediaan barang cukup banyak sehingga hal tersebut


8

mengundang temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bahkan

penegak hukum lainnya. Di dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi

tidak mungkin akan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

ada. Dalam kontrak yang dibuat pun, kadangkali bentuk dan isinya tidak

sesuai dengan standar pembuatan kontrak dan dalam pelaksanaan kontrak

kerja konstruksi yang dilakukan kedua belah pihak kemungkinan ada cidera

janji (wanprestasi) sehingga menyebabkan perselisihan dan perselisihan

tersbut harus diselesaikan diluar pengadilan (musyawarah, mediasi,

konsiliasi, atau arbitrase).

Dari uraian sebagaimana yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik

untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul

“PERJANJIAN PEMBORONGAN (Studi Tentang Kontrak Kerja Konstruksi

Pembangunan Fasilitas Umum di Kab. Luwu)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah diuraikan diatas, maka penulis

merumuskan perumusan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian pemborongan antara pemerintah

dengan swasta dalam proyek pembangunan fasilitas umum di Kab.

Luwu?”

2. Apa saja kendala-kendala yang terjadi dalam pemborongan proyek

pembangunan fasilitas umum


9

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian dilaksanakan dengan tujuan agar dapat memberikan

kegunaan jelas dan pasti. Berkaitan dengan masalah yang diuraikan diatas,

penelitian ini memiliki tujuan yang dicapai, yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan mengenai pelaksanaan perjanjian

pemborongan antara pemerintah dengan swasta dalam proyek

pembangunan fasilitas umum di Kab. Luwu.

2. Untuk mengidentifikasi mengenai kendala-kendala yang terjadi

selama pelaksanaan perjanjian antara pihak pemerintah dengan

swasta dalam proyek pembangunan fasilitas umum di Kab. Luwu.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

mempelajari dan mengembangkan keilmuan di bidang hukum perdata

khususnya tentang pelaksanaan perjanjian pemborongan antara

pemerintahdengan swasta dalam proyek pembangunan fasilitas umum.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa untuk dijadikan

bahan referensi dalam mempelajari lebih lanjut tentang perjanjian

pemborongan, terutama sebagai media untuk memperlancar dalam

penyelesaian skripsi.

b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat tentang

perjanjian pemborongan.
10

c. Bagi penulis, penelitian ini sebagai bahan dan wawasan

khususnyadalam bidang hukum perdata.

E. Kerangka Pemikiran

Keterangan:
Pada pelaksanaan kontrak kerja pembangunan perbaikan fasilitas

umum di Kabupaten Luwu, pihak I yaitu pemerintah telah melaksanakan

perjanjian pekerjaan dengan pihak II yaitu swasta/pemborong yang

diwujudkan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan yang dituangkan

dalam bentuk Kontrak Kerja Konstruksi. Pemilihan perusahaan jasa

konstruksi yang melakukan pekerjaan tersebut dipilih dengan penunjukan

langsung. Penunjukan langsung tersebut berdasarkan pada ketentuan yang

terdapat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2018tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Ditandanganinya perjanjian pemborongan tersebut menimbulkan

hubungan hukum antara para pihak untuk saling mematuhi ketentuan-

ketentuan dalam perjanjian tersebut. Perjanjian pemborongan didefinisikan

sebagai perjanjian antara pihak pemberi pekerjaan dengan perusahaan

penerima pemborongan pekerjaan yang memuat hak dan kewajiban para

pihak.5 Berdasarkan pada perjanjian pihak pemborong harus melaksanakan

dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur-

prosedur dalam dokumen kontrak. Apabila terjadi ketidaksesuaian

pengerjaan yang tertuang dalam dokumen kontrak, pihak pemborong wajib

untuk memperbaiki pekerjaannya tersebut.

Dengan adanya perjanjian pemborongan tersebut maka para pihak

terikat dengan hak dan kewajiban masing-masing. Hak dari pihak pemberi

pekerjaan dalam hal ini untuk memeriksa terlebih dahulu sebelum bagian

yang disiapkan oleh pemborong dikerjakan, dan setelah itu langsung


11

membayar sebagian yang telah diperiksanya tersebut.6 Kewajiban dari pihak

pemborong pada perjanjian tersebut untuk melaksanakan proyek

pembangunan, mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan

oleh pekerja yang dipekerjakannya dalam proyek pembangunan perbaikan

jalan perempatan dungus.

Dalam setiap pekerjaan proyek mungkin akan terjadi suatu keadaan

yang tidak diinginkan di lapangan. Para pekerja dihadapkan pada suatu

keadaan yang tidak diduga dan disadari dalam pelaksanaan hak dan

kewajiban masing-masing. Atas keadaan yang mungkin timbul secara tidak

terduga dan diinginkan, maka dalam kontrak tercantum tentang cara

penyelesainnya, beserta dengan sanksi-sanksinya. Dalam keadaan kahar

(force majeure) pihak pemborong dibebaskan dari tanggung jawab atas

kerugian dan keterlambatan pekerjaan yang dibuktikan dengan pengesahan

tertulis dari pihak berwenang.

Perjanjian pemborongan antara pihak I yaitu pemerintah dengan

pihak II yaitu swasta atau pemboron dilaksanakan dengan jangka waktu yang

telah ditentukan sebagaimana semestinya atau tergantung pada peristiwa

tertentu, dengan dipenuhinya kondisi diatas maka perjanjian pemborongan

antara
12

pemerintah dengan pemborong juga akan berakhir sesuai dengan yang

tercantum dalam kontrak.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan untuk kegiatan penelitian dan

penyusunan suatu karya ilmiah.7 Dengan metode penelitian akan terlihat jelas

bagaimana suatu penelitian itu dilakukan. Dalam garis besarnya uraian

metode penelitian pada setiap usulan penelitian hukum, berisi hal-hal sebagai

berikut:

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis

normatif. Pendekatan yuridis normatif yaitu menggunakan data sekunder

(bahan kepustakaan) sebagai bahan dasar yang diteliti dengan cara

mengkaji pada peraturan perundangan (tertulis) yang terkait dengan

objek yang diteliti, yakni mengenai pelaksanaan pemborongan yang

terdapatdalam kontrak kerja konstruksi pembangunan fasilitas umum.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan

menjelaskan suatu gambaran pada data yang diteliti secara tepat

terhadap keadaan atau gejala-gejala lain yang ada.8

3. Jenis Data

Oleh karena penulis menggunakan penelitian hukum

normatif/doktrinal, maka dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan

jenis data sebagai berikut:


13

1. Data Sekunder

Data yang diperoleh melalui kajian bahan kepustakaan, yang meliputi

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang diteliti,

yaitu berupa kontrak kerja konstruksi pembangunan fasilitas umum di

Kabupaten Ngawi ditunjang dengan bahan hukum primer yang berupa

literatur-literatur dan peraturan perundangan yang berhubungan

dengan objek yang diteliti.

2. Data Primer

Yaitu data-data berupa keterangan-keterangan yang berasal dari

pihak yang terlibat dalam objek penelitian ini dengan wawancara

secara langsung maupun tertulis dengan pihak-pihak yang terkait

dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan yaitu CV. Karya Utama

selaku pihak kontraktor (konsultan pelaksana/penyedia jasa). Data

primer ini berfungsi sebagai penunjang dari data sekunder.

4. Metode Pengumpulan Data

1. Studi Kepustakaan

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah

pengumpulan data dengan membaca, mengutip, merangkum dari

buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti.


14

2. Wawancara

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara bertatapan muka secara

langsung dengan responden dengan menanyakan perihal objek

penelitian tersebut.

5. Metode Analisa Data

Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, analisis dilakukan

dengan menggunakan metode analisis kualitatif yakni dengan cara

menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan. Hasil

dari analisis tersebut kemudian disajikan secara deskriptif, selanjutnya

disusun sebagai kesimpulan untuk menjawab problematika terkait

perjanjian pemborongan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) bab sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

I. Rumusan Masalah

J. Tujuan Penelitian

K. Manfaat Penelitian

L. Kerangka Pemikiran

M. Metode Penelitian

N. Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

E. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian


15

1. Pengertian Perjanjian

2. Syarat Sahnya Perjanjian

3. Asas-Asas Perjanjian

4. Subyek Perjanjian

5. Obyek Perjanjian

6. Wanprestasi

7. Overmacht

8. Berakhirnya atau Hapusnya Perjanjian

F. Tinjauan Tentang Perjanjian Pemborongan

1. Pengertian Perjanjian Pemborongan

2. Bentuk Perjanjian Pemborongan

3. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan

4. Isi Perjanjian Pemborongan

5. Pihak-Pihak dalam Perjanjian

PemboronganPekerjaan

6. Tanggung Jawab Masing-Masing Pihak

7. Hambatan-Hambatan dalam

PelaksanaanPerjanjian

8. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan

G. Tinjauan Umum Tentang Kontrak

1. Pengertian Kontrak

2. Syarat Sahnya Kontrak

3. Bentuk-Bentuk Kontrak

4. Jenis-Jenis Kontrak
19

5. Akibat Hukum Suatu Kontrak

6. Berakhirnya Suatu Kontrak

H. Tinjauan Tentang Kontrak Kerja Konstruksi

1. Pengertian Kontrak Kerja Konstruksi

2. Pengaturan Kontrak Kerja Konstruksi

3. Para Pihak dalam Kontrak Kerja Konstruksi

4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak

Kerja Konstruksi

5. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Kontrak

KerjaKonstruksi

BAB III : PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA
20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian pada

umumnya, dimana masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang

membedakannya dengan perjanjian yang lain. Namun seluruh jenis perjanjian

memiliki ketentuan yang umum yang dimiliki secara universal oleh segala jenis

perjanjian, yaitu mengenai asas hukum, sahnya perjanjian, subyek serta obyek

yang diperjanjikan, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.

Ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak

berisi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Dalam

hal ini tercantum asas kebebasan berkontrak (idea of freedom of contract), yaitu

seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan

apa yang terjadi antara mereka dalam perjanjian itu serta seberapa jauh hukum

mengatur hubungan antara para pihak.

1.1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja diatur secara khusus pada Bab VII KUHPerdata tentang

persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan. Menurut Pasal 1601a

KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

dimana pihak yang satu, pekerja, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak

yang lain, pemberi kerja, selama suatu waktu tertentu, dengan menerima

upah.Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara

pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

kerja, hak dan kewajiban para pihak.28

1.2. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja

Berdasarkan keterangan pengertian perjanjian kerja di atas dapat

disimpulkan, bahwa yang dinamakan Perjanjian Kerja harus memenuhi


21

persyaratan-persyaratan sebagai berikut:29

1. Adanya pekerjaan

Pekerjaan adalah prestasi yang harus dilakukan sendiri oleh pihak

penerima kerja, dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain (bersifat individual).

Di dalam suatu perjanjian kerja tersebut haruslah ada suatu pekerjaan yang

diperjanjikan dan dikerjakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian

tersebut. Pekerjaan mana, yaitu yang dikerjakan oleh pekerja itu sendiri, haruslah

berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian kerja.

2. Adanya unsur di bawah perintah

Bahwa dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan sebagai manifestasi

adanya perjanjian tersebut, pekerja haruslah tunduk pada perintah orang lain

yaitu pihak pemberi kerja dan harus tunduk dan di bawah perintah orang lain

yaitu atasan.
22

Adanya ketentuan tersebut menunjukkan, bahwa si pekerja dalam

melaksanakan pekerjaannya berada di bawah wibawa orang lain, yaitu atasan.

Mengenai seberapa jauh unsur “di bawah perintah“ ini diartikan, tidak ada

pendapat yang pasti tetapi bahwa dalam perjanjian kerja, unsur tersebut harus

ada, apabila tidak ada sama sekali ketaatan kepada pemberi kerja, maka tidak

ada perjanjian kerja.

3. Adanya upah tertentu

Upah merupakan imbalan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pihak

penerima kerja, yang dapat berbentuk uang atau bukan uang (in natura).

Pemberian upah ini dapat dilihat dari segi nominal (jumlah yang diterima oleh

pekerja), atau dari segi riil (kegunaan upah tersebut) dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup pekerja.

Oleh karena itu dikenal istilah “upah minimum”, yang biasanya ditentukan

oleh pemerintah guna meninjau kemanfaatan upah dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup, dengan menentukan jumlah minimal tertentu yang harus

diberikan kepada pekerja sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan.

Sistem pemberian upah biasanya didasarkan atas waktu atau hasil pekerjaan,

yang pada prinsipnya dengan mengacu pada hukum, ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, atau kebiasaan yang ada di masyarakat.

4. Adanya waktu

Bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan

sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam melakukan pekerjaannya

pekerja
23

tidak boleh melakukan sekehendak dari pemberi kerja dan juga tidak boleh

dilakukan dalam seumur hidup.

Jika pekerjaan tersebut selama hidup dari si pekerja tersebut, disini

pribadi manusia akan hilang sehingga timbullah apa yang dinamakan

perbudakan dan bukan perjanjian kerja. Pelaksanaan pekerjaan tersebut di

samping harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, juga sesuai dengan

perintah pemberi kerja, atau dengan kata lain dalam pelaksanaan pekerjaannya,

si pekerja tidak boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi

harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja

atau peraturan perusahaan. Demikian juga pelaksanaan pekerjaannya tidak

boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasaan

setempat dan ketertiban umum.

1.3. Syarat Sah Perjanjian Kerja

Syarat sahnya perjanjian kerja diatur dalam Bab IX tentang Hubungan

Kerja, yaitu pada Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan yang menentukan perjanjian kerja dibuat atas dasar:30

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila syarat pada poin a dan b tidak dipenuhi dalam membuat

perjanjian kerja, maka terhadap perjanjian kerja yang telah dibuat dapat

dibatalkan.sedangkan jika poin c dan d yang tidak dipenuhi maka perjanjian

kerja yangdibuat menjadi batal demi hukum.

1.4. Bentuk Perjanjian Kerja

Dalam pembuatan perjanjian kerja tidak ditentukan bentuk tertentu, jadi


24

dapat dilakukan secara lisan dengan surat pengangkatan oleh pihak pemberi

kerja dan tunduk pada ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan dapat

dilakukan secara tertulis, yaitu dalam bentuk surat perjanjian yang ditanda

tangani oleh kedua belah pihak dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undanganyang berlaku.

Mengenai bentuk perjanjian kerja diatur dalam Pasal 51 Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana pada ayat (1)

disebutkan perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Dengan demikian

jelas bahwa bentuk perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk tertulis ataupun

dilakukan secara lisan, namun lebih dianjurkan untuk dibuat secara tertulis demi

mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik. Hal yang sama juga

ditegaskan dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat

secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan

perjanjian kerja dibuat secara lisan.

Lebih lanjut pada Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa Perjanjian Kerja yang dibuat secara

tertulis sekurang-kurangnya memuat :31


25

1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja;

3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

4. Tempat pekerjaan;

5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan

pekerja;

7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja;

9. Tandatangan para pihak dalam perjanjian kerja.

1.5. Jenis Perjanjian Kerja

Jenis perjanjian kerja dapat dibedakan atas lamanya waktu yang

disepakati dalam perjanjian kerja, yaitu dapat dibagi menjadi Perjanjian Kerja

Untuk Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT).

1. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT)

Pada dasarnya perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) diatur untuk

memberikan perlindungan bagi tenaga kerja, dengan dasar pertimbangan agar

tidak terjadi dimana pengangkatan tenaga kerja dilakukan melalui perjanjian

dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang

sifatnya terus-menerus atau merupakan pekerjaan tetap/permanen suatu badan

usaha.

Perlindungan pekerja melalui pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu

(PKWT) ini adalah untuk memberikan kepastian bagi mereka yang

melakukan
26

pekerjaan yang sifatnya terus-menerus tidak akan dibatasi waktu perjanjian

kerjanya. Sedangkan untuk pemberi kerja yang menggunakan melalui

pengaturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) ini, pemberi kerja diberikan

kesempatan menerapkannya untuk pekerjaan yang sifatnya terbatas waktu

pengerjaannya, sehingga pemberi kerja juga dapat terhindar dari kewajiban

mengangkat pekerja tetap untuk pekerjaan yang terbatas waktunya.

Untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam

Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan hanya didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu

pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Selain itu perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan

selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalulama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau

produktambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

2. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Sedangkan untuk perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT)

dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan, dan di

masa percobaan ini pemberi kerja dilarang membayar upah di bawah upah

minimum yang berlaku.

Apabila masa percobaan telah dilewati, maka pekerja langsung menjadi

berstatus pekerja tetap. Dengan status tersebut pekerja memiliki hak

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, peraturan intern


27

perusahaan/instansi atau perjanjian kerja bersama.32

1.6. Isi Perjanjian Kerja

Isi perjanjian kerja merupakan inti dari perjanjian kerja. Ini berkaitan

dengan pekerjaan yang diperjanjikan. Adakalanya isi perjanjian kerja ini dirinci

dalam perjanjian, tetapi sering juga hanya dicantumkan pokok-pokoknya saja. Isi

perjanjian kerja sebagaimana isi perjanjian pada umumnya, tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban

umum.

Isi perjanjian kerja merupakan pokok persoalan, tegasnya pekerjaan yang

diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang

yang sifatnya memaksa atau dalam Undang-undang tentang ketertiban umum

atau dengan tata susila masyarakat. Sehingga secara positif isi perjanjian kerja

adalah dengan sendirinya merupakan kewajiban-kewajiban dan hak-hak pekerja

serta kewajiban-kewajiban dan hak-hak pemberi kerja, yang berpangkal pada

melakukan pekerjaan dan pembayaran upah, acap kali kewajiban pihak yang

satu tersimpul dalam pihak lainnya dan hak pihak yang satu tersimpul dalam

kewajiban pihak lainnya.33

Antara pekerja yang berada di dalam suatu perusahaan/instansi

menimbulkan adanya hubungan kerja, dimana hubungan kerja ini terjadi setelah

adanya suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Istilah perjanjian

kerja menyatakan, bahwa dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban suatu

pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan, yang tidak

menimbulkan hak dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan, tetapi memuat

syarat-syarat tentang perburuhan.

Bekerja pada pihak lainnya, menunjukkan bahwa pada umumnya

hubungan itu sifatnya ialah bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya. Perjanjian

kerja pada dasarnya memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan

hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban penerima kerja serta hak dan

kewajiban pemberi kerja. Ketentuan ini dapat pula ditetapkan dengan peraturan
28

yang secara sepihak ditetapkan oleh pemberi kerja yang disebut dengan

peraturan perusahaan/instansi.

1.7. Berakhirnya Hubungan Kerja

Mengenai berakhirnya hubungan kerja dalam kesepakatan kerja dapat

terjadi karena :

1. Pekerja meninggal dunia, dengan pengecualian jika yang meninggal dunia

pihak pemberi kerja, maka kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak

berakhir. Bahkan suatu kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak

berakhirwalaupun pemberi kerja jatuh pailit;

2. Demi hukum, yaitu karena berakhirnya waktu atau obyek yang diperjanjikan

atau disepakati telah lampau;

3. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap; atau

5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang

menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja

2.1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah suatu upaya perlindungan yang diberikan

kepada subyek hukum, tentang apa-apa yang dapat dilakukannya untuk

mempertahankan atau melindungi kepentingan dan hak subyek hukum

tersebut.34 Sedangkan Perlindungan sendiri adalah hal atau perbuatan

melindungi.35

Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari

fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,

ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Bagi masyarakat umum


29

perlindungan hukum merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan

diterapkan oleh setiap Negara yang mengedepankan diri sebagai Negara

hukum, namun seperti disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing Negara

mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana perlindungan

hukum itu diberikan.36

Agar hubungan antar subyek hukum itu berjalan secara harmonis,

seimbang, dan adil, dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang

menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka

hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut.

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrument untuk mengatur hak-hak

dan kewajiban-kewajiban subjek hukum, agar masing-masing subyek hukum

dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara

wajar. Disamping itu, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi

subyek hukum.

2.2 Jenis Perlindungan Hukum

Menurut Philipus M. Hadjon ada, dua macam perlindungan hukum, yaitu

perlindungan hukum preventif dan represif.

1. Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Artinya perlindungan

hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

sedangkan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa atau perselisihan.Perlindungan yang preventif sangat besar artinya

bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan

bertindak,karena adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah

terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang

didasarkan pada diskresi.38

Ada beberapa alasan warganegara harus mendapat perlindungan hukum dari

pemerintah yaitu: pertama, karena dalam berbagai hal warganegara dan


30

badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah.

Oleh karena itu warganegara dan badan hukum perdata perlu mendapat

perlindungan hukum, terutama untuk kepastian hukum dan jaminan

keamanan, yang merupakan faktor penentu bagi kehidupan dunia usaha;

kedua, hubungan antara pemerintah dengan warganegara tidak berjalan

dalam posisi sejajar, warganegara sebagai pihak yang lebih lemah

dibandingkan pemerintah; ketiga, berbagai perselisihan warganegara

dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan, sebagai instrumen

pemerintah yang bersifat sepihak dapat melakukan intervensi terhadap

kehidupan warganegara.

2. Perlindungan hukum represif, adalah perlindungan hukum yang mengabdi

kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif.

Kekuasaan yang memerintah adalah represif, dikatakan kurang

memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan apabila

ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut

atau menolak legitimasinya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara(ASN)

dalam Pasal 106 mengatur:

1. Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:


a. Jaminan hari tua
b. Jaminan kesehatan
c. Jaminan kecelakaan kerja
d. Jaminan kematian, dan
e. Bantuan hukum
2. Perlindungan berupa jaminan haritua, jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada
ayat(1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai sistem
jaminan sosial nasional.

2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja

Salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah memberikan

perlindungan kepada pekerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan, yaitu

sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 13


31

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Lingkup perlindungan terhadap pekerja yang diberikan dan diatur dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :

1. Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja, obyek perlindungan ini adalah

sebagai berikut :

a. Perlindungan pekerja/buruh perempuan;

b. Perlindungan terhadap pekerja/buruh anak;

c. Perlindungan bagi penyandang cacat;

2. Perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu

hakdari pekerja atau buruh seperti yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 86

ayat

(1) huruf Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan.Untuk itu pemberi kerja wajib melaksanakan secara
sistematis dan terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Perlindungan ini bertujuan untuk melindungi keselamatan pekerja guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian cahaya di tempat
kerja, promosi kesehatan, pengobatan danrehabilitasi.
3. Perlindungan atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Pengertian dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana diatur pada Pasal

1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja, adalah suatu perlindungan bagi pekerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang

hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan

yang dialami oleh pekerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin,

hari tua, dan meninggal dunia.

Perlindungan ini merupakan perlindungan ekonomis dan perlindungan sosial,

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 8 ayat

(2),

Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 dan Pasal 15 serta Pasal 16 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


32

Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992 merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan

kewajiban dari pemberi kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial

tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus

penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh

penghasilan yang hilang. Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja

mempunyai beberapa aspek antara lain :

a. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup

minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

b. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah

menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya

bekerja.40

Untuk pegawai negeri sipil dilindungi dengan Peraturan Pemerintah Nomor

26 Tahun 1981 tentang Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)

dan program Asuransi Kesehatan (ASKES) berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) Pasal 101-104 dan pasal

106, Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:

a. Jaminan hari tua;

b. Jaminan kesehatan

c. Jaminan kecelakaan kerja;

d. Jaminan kematian; dan

e. Bantuan hukum

Untuk program jaminan sosial nasional saat ini telah diatur dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS), yang selanjutnya dibentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS

Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS kesehatan menyelenggarakan

program jaminan kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan menyelenggarakan


33

program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun,

danjaminan kematian.

4. Perlindungan atas Upah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan

Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan

daripengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah

atau akandilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang

ditetapkanmenurut persetujuan atau peraturan perundang-undangan yang

berlaku dandibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha

dengan buruh,termasuk tunjangan, baik untuk buruh itu sendiri maupun

keluarganya.41 Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1,

memberikanpengertian upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

dinyatakan dalambentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau

pemberi kerja kepadapekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut

suatu perjanjian kerja,kesepakatan atau peraturan perundang-undangan,

termasuk tunjangan bagipekerja/buruh dan keluarganya atas suatu

pekerjaan dan/atau jasa yang telahatau akan dilakukan.42

Pengupahan merupakan aspek yang sangat penting dalam perlindungan

pekerja/buruh. Hal ini secara tegas diamanatkan dalam Pasal 88 ayat (1)

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang

memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lebih lanjut

dalam penjelasan dari Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah

penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga

mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara

wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,

pendidikan,kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.


34

Upah yang dibayarkan kepada pekerja harus memenuhi ketentuan upah

minimun regional, sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga

Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum, yang dimaksud

dengan upah minimum adalah upah bulanan yang terendah, terdiri dari upah

pokok dan tunjangan tetap.

2.4 Hak Pekerja Dalam Perjanjian Kerja

Masalah yang menyangkut dengan Hak Asasi Manusia yang tidak boleh

dilanggar, sudah merupakan bagian dari hukum positif di Indonesia. Meskipun

Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara lengkap tentang Hak-hak

Asasi Manusia akan tetapi hak untuk hidup, hak persamaan dalam hukum,

kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat telah

dijamin dalam konstitusi. Di samping itu sebagai anggota PBB Indonesia terikat

deklarasi universal Hak Asasi Manusia. Meskipun Indonesia belum meratifikasi

konvensi hak sipil dan politik, tidak berarti Indonesia boleh melanggar Hak-hak

Asasi tersebut karena konvensi ini telah menjadi International Customary Law

dimana Indonesia mempunyai kewajiban moral untuk menghormati dan

melindunginya.43

Adapun hak-hak pekerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk

memperoleh pekerjaan (Pasal 5);

2. Setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi

dari pemberi kerja (Pasal 6);

3. Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan

dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan

kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11);

4. Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan

kerja sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));


35

5. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah

mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja

pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat kerja

(Pasal 18 ayat (1));

6. Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas

pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga

sertifikasi (Pasal 23).

7. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk

memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan

yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31);

8. Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan

sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah

melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat

(1);

9. Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak

memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat

keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2);

10. Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82

berhak mendapat upah penuh (Pasal 84);

11. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

a. Keselamatan kerja;

b. Moral dan kesusilaan; dan

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1);

12. Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupanyang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));

13. Setiap pekerja dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan


36

sosialtenaga kerja (Pasal 99 ayat (1));

14. Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja

(Pasal104 ayat (1));

15. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara

sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);

16. Dalam hal pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah dalam

melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh

pemberi kerja, pekerja berhak mendapatkan upah (Pasal 145);

Adapun hak-hak pekerja dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992

Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) adalah antara lain sebagai

berikut:

1. Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat (2));

2. Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima Jaminan

Kecelakaan Kerja (Pasal 8 ayat (1));

3. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja,

keluarganya berhak atas Jaminan Kematian (Pasal 12 ayat (1));

4. Tenaga kerja, suami atau istri dan anak berhak memperoleh Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan (Pasal 16 ayat (1));

5. Setiap tenaga kerja atau keluarganya berhak atas Jaminan Hari Tua,

karenafaktor usia pensiun 55 (lima puluh lima) tahun, cacat total tetap atau

beberapaalasan lainnya (Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992).Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap

pekerja/buruh dalam status apapun termasuk PKWT atau PKWTT sesuai

dengan ketentuan di atas berhak menerima Jaminan Sosial Tenag Kerja

Pengaturan hak atas kebebasan berserikat yang diimplementasika dalam

bentuk serikat pekerja, di dalamnya terkandung hak (right) yang antara

1. Hak membuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara mandiri;

2. Hak memilih wakil organisasi secara bebas tanpa tekanan atau campur
37

tanganpihak lain;

3. Hak mengorganisasikan kegiatan administrasi dan aktivitas secara bebas

danmandiri;

4. Hak membuat program kerja organisasi;

5. Hak untuk bebas dari campur tangan pemerintah dalam menjalankan

kegiatannya;

6. Hak untuk melakukan kerja sama dalam bentuk federasi atau konfederasi,

maupun melakukan afiliasi dengan organisasi-oragnisasi pekerja pada tingkat

internasional;

7. Hak membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;

8. Hak mewakili pekerja dalam penyelesaian perselisihan industrial;

9. Hak mewakili pekerja dalam lembaga ketenagakerjaan.

Pasal 23 deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia 1948 menentukan

bahwa:

1. Setiap orang berhak atas pekerjaan, atas pilihan pekerjaan secara bebas,

atas kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan serta atas

perlindungan dari pengangguran;

2. Setiap orang tanpa diskriminasi apapun berhak atas upah yang sama untuk

pekerjaan yang sama;

3. Setiap orang yang bekerja berhak atas imbalan yang adil dan

menguntungkan yang menjamin suatu eksistensi yang layak bagi martabat

manusia untuk dirinya sendiri dan keluarganya dan dilengkapi, manakala

perlu oleh sarana perlindungan sosial lainnya;

4. Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung ke dalam serikat

buruh guna melindungi kepentingan-kepentingannya.

2.5 Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin

meningkat disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya. Oleh karena
38

itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan

peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat

meningkatkan produktivitas nasionalnya.

Bentuk perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan

dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja

yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan

gotong- royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila

dan Undang- Undang Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada

perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih

lemah. Oleh sebab itu pengusaha memikul tanggung jawab utama dan secara

moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan

kesejahteraan tenaga kerja.


39

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek

mengenai hak pekerja atas jaminan sosial menyebutkan bahwa setiap tenaga

kerja berhak atas jamsostek. Dengan demikian undang-undang ini tidak

mengeksklusifkan status pekerja tertentu saja yang dapat disertakan dalam

program jamsostek, termasuk pekerja yang terikat PKWT maupun PKWTT juga.

Semakin meningkatnya peran tenaga kerja dalam pembangunan nasional

dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan

sering kali berakibat pada tingginya resiko yang mengancam keselamatan,

kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, dengan demikian perlu upaya

perlindungan tenaga kerja.

Perlindungan tenaga kerja yang diperlukan baik yang melakukan

pekerjaan dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja dilakukan

melalui jamsostek. Karena melalui program ini diharapkan dapat memberikan

ketenangan kerja dan dampak positif terhadap usaha peningkatan disiplin dan

produktivitas tenaga kerja.44

Jamsostek menanggulangi resiko-resiko kerja sekaligus akan

menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya

akan membantu meningkatkanproduktivitas kerja. Ketenangan

kerja dapat tercipta karena jamsostek mendukungkemandirian dan harga diri

manusia dalam menghadapi berbagai resiko sosialekonomi tersebut. Selain

itu, jamsostek diselenggarakan dengan metode

pendanaan akan memupuk dana yang akan menunjang pembiayaan

pembangunan nasional.45

Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang

atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang

dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua

dan meninggal dunia.46


40

Jamsostek adalah upaya kebijaksanaan yang ditujukan kepada tenaga

kerja, terutama yang berada di lingkungan perusahaan dalam hal penyelamatan,

perlindungan sehubungan dengan interaksi kerja yang saling menguntungkan

kedua belah pihak (Tenaga Kerja dan Perusahaan). Sedangkan pengertian yang

diungkapkan oleh Iman Soepomo bahwa ”Jaminan sosial adalah pembayaran

yang diterima pihak buruh diluar kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi

menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan

upahnya karena alasan diluar kehendaknya”.47

Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa program jamsostek merupakan

bentuk perlindungan ekonomis dan perlindungan sosial. Dikatakan demikian,

karena program ini memberikan perlindungan dalam bentuk santunan berupa

uang atas berkurangnya penghasilan dan perlindungan dalam bentuk pelayanan

perawatan atau pengobatan pada saat seorang pekerja tertimpa resiko-resiko

tertentu. Maka dapat ditarik kesimpulan, jaminan sosial mempunyai beberapa

aspek, antara lain:

1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal

bagi tenaga kerja beserta keluarganya;

2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan

tenaga dan fikirannya kepada perusahaan tempat dimana mereka bekerja;

3. Dengan adanya upaya perlindungan dasar akan memberikan kepastian

berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti

sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang;

4. Menciptakan ketenagakerjaan, karena adanya upaya perlindungan terhadap

resiko-resiko kerja dan upaya pemeliharaan terhadap tenaga kerja;

5. Dengan adanya jamsostek akan menciptakan ketenagakerjaan yang pada

akhirnya akan mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam

menghadapi resiko ekonomi.

Kebijaksanaan tenaga kerja di bidang jaminan sosial mempunyai

keselarasan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila


41

yaitu dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan

masyarakat Indonesia seluruhnya, untuk mewujudkan masyarakat yang

sejahtera, adil dan makmur dan merata baik materil dan spiritual. Sementara kita

ketahui bahwa pembangunan itu bersifat dinamis, dimana sangat besar

pengaruhnya didalam kehidupan manusia, kegiatan usaha semakin meningkat

dan tidak terlepas pula dari resiko yang akan menimpa mengancam

keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu

penanganan secara serius terhadapperlindungan tenaga kerja.

Keberadaan jamsostek sebagai upaya perlindungan hidup tenaga kerja di

suatu perusahaan sangat besar manfaatnya, oleh sebab itu sebagai langkah

untuk menjamin hidup tenaga kerja, perusahaan perlu memasukkan tenaga kerja

dalam program jamsostek yang dikelola oleh PT. Jamsostek. Perlunya jamsostek

di suatu perusahaan karena perusahaan yang memasukkan tenaga kerjanya

dalam program jamsostek adalah perusahaan yang telah bijaksana pemikirannya

dan telah bertindak:

1. Melindungi para tenaga kerja sedemikian rupa dalam menghadapi

kecelakaan kerja yang mungkin saja terjadi, baik karena adanya proyek

mutakhir maupun karena penetapan tenaga kerja pada proyek-proyek di luar

daerah dalam rangka menunjang pembangunan.

2. Mendidik para pekerjanya agar menyisihkan penghasilannya atau menabung

apabila sewaktu-waktu terjadi suatu kejadian yang harus dihadapi tenaga

kerjabeserta keluarganya.

3. Melindungi perusahaan dari kerusakan kemungkinan berjumlah sangat besar,

karena terjadinya musibah yang menimpa beberapa pekerja, dimana setiap

kecelakaan atau musibah sama sekali tidak diharapkan.

4. Memberikan ketenangan kerja kepada seluruh tenaga kerja beserta

keluarganya, karena terjadinya kecelakaan yang sama sekali yang tidak

diharapkan, mereka telah berhak memperoleh jaminan yang layak yang tida

perlu sulit-sulit mengurusnya. Program jamsostek dibiayai dari, oleh dan


42

untuk peserta, dengan pengumpulan dana dari jumlah yang relatif kecil

terkumpul dan yang memberikan perlindungan dan pemeliharaan

kesejahteraan pada pesertanya. Dalam sistem jamsostek berlaku prinsip

gotong-royong dalam arti kerja sama antara yang mampu dan kurang

mampu, antara yang berusia tua dan yang berusia muda, antara yang sehat

dan yang sakit. Dengan demikian jamsostek salah satu wujud dari

pemerataan pembangunan, bagi para peserta jamsostek itu sendiri.

5. Menciptakan kemandirian, dalam arti tidak menggantungkan diri pada orang

lain dalam menghadapi resiko kehidupan. Dengan jamsostek, pesertanya

tidak perlu menggantungkan diri pada orang lain pada saat pesertanya

menjadi tua dan tidak mampu bekerja. Demikian juga peserta tidak perlu

belas kasihan orang lain pada saat membutuhkan biaya untuk perawatan

sewaktu menderita sakit atau mengalami kecelakaan.

Ketidaktergantungan pada orang lain ini merupakan manifestasi kemandirian

yang menempatkan harga diri manusia pada tingkat yang setinggi-tingginya.

Program jamsostek merupakan program Asuransi Sosial Tenaga Kerja

(Astek) yang didirikan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977.

Secara yuridis penyelenggaraan program jamsostek dimaksudkan sebagai

pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja

(sekarang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan).50

Adapun dasar hukum dari pelaksanaan program jamsostek adalah:

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagerjaan;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan

Program Jamsostek;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan


43

Program jamsostek;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan

Program jamsostek sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 79 Tahun 1998;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Perubahan Ketiga

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan

Program Jamsostek;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keempat

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan

Program jamsostek;

8. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul

Karena Hubungan Kerja;

9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-03/MEN/1993 Tentang

Penyelengaraan Program jamsostek;

10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-04/MEN/1993 Tentang jaminan

Kecelakaan Kerja.

Ada beberapa hal penting yang berkenaan dengan pelaksanaan program

jamsostek, antara lain sebagai berikut:

1. Setiap Tenaga Kerja berhak atas jamsostek (Pasal 3 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1992);

2. Setiap perusahaan wajib melaksanakan program jamsostek bagi tenaga kerja

yang melakukan pekerjaan berdasarkan hubungan kerja (Pasal 4 ayat (1)

dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992);

3. Setiap tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima

Jaminan Kecelakaan Kerja (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1992;

4. Yang termasuk tenaga kerja dalam program jamsostek Pasal 8 ayat (2)
44

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992) ialah:

a. Peserta magang atau siswa/murid yang bekerja di perusahaan, baik

menerima upah atau tidak;

b. Mereka yang memborong pekerjaan, kecuali jika yang memborong

adalahperusahaan;

c. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

5. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan

kerja,keluarganya berhak atas Jaminan Kematian (Pasal 12 ayat (1) Undang-

UndangNomor 3 Tahun 1992.

6. Setiap tenaga kerja atau keluarganya berhak atas Jaminan Hari Tua, karena

faktor usia pensiun 55 (lima puluh lima) tahun, cacat total tetap atau

beberapa alasan lainnya (Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1992);

7. Tenaga kerja dan keluarganya berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan (JPK) (Pasal 16 Undang-Undang nomor 3 Tahun 1992);

8. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan ditanggung oleh pengusaha. (Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992), sedangkan Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh

pengusaha dan tenaga kerja Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3

Tahun1992);

9. Besarnya Iuran Jamsostek (Pasal 9 PP Nomor 14 Tahun 1993):

a. Jaminan Kecelakaan Kerja berkisar antara 0,24 % sampai dengan 1,74%

dari upah sebulan, yang ditanggung oleh pangusaha;

b. Jaminan Hari Tua sebesar 5,70% dari upah sebulan, ditanggung oleh

pengusaha 3,70% dan pekerja 2%;

c. Jaminan Kematian sebesar 0,30% dari upah sebulan, yang ditanggung

olehpengusaha;

d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebesar 6% dari upah sebulan bagi


45

tenaga kerja yang berkeluarga dan 3% dari upah sebulan bagi tenaga

kerja bujang, yang ditanggung oleh pengusaha.

10. Penyelenggara Program Jamsostek dilakukan oleh Badan Penyelenggara

sebagai BUMN yang dibentuk dengan Undang-Undang(Pasal 25 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1992);

11. Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib

membayar jamsostek dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan (Pasal 26

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992);

12. Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jamsostek oleh Badan

Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh

Pemerintah sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur

pengusaha dan unsur tenaga kerja dalam wadah yang menjalankan fungsi

pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992);

13. Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1),

ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1)

dan Pasal26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam)

bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);

14. Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

untuk kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan

selama- lamanya 8 (delapan) bulan;

15. Sanksi administratif, ganti rugi atau denda bagi pengusaha dan badan

penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan

(Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993);

a. Pencabutan izin usaha bagi pengusaha yang sudah diperingatkan, tetapi

tetap tidak melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5


46

ayat

(1) , Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 19 dan Pasal
20

ayat (1);
b. Denda sebesar 2% perbulan bagi pengusaha yang terlambat membayar

iuran kepesertaan seperti diatur pada Pasal 10 ayat (3);

c. Ganti rugi sebesar 1% perhari dari jumlah jaminan yang terutang bagi

Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 26 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1992 (Pasal 47 PP Nomor 14 Tahun 1993).

Dari berbagai pengaturan tentang jamsostek yang telah diuraikan di atas

terlihat bahwa program jamsostek merupakan hal yang penting dalam

perlindungan terhadap pekerja. Pekerja dalam hal ini adalah pihak yang

mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha.

Program jamsostek merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pengusaha terhadap pekerjanya. Dalam kaitannya dengan pekerja kontrak maka

pekerja kontrak juga berhak untuk mendapatkan perlindungan melalui jamsostek.

Maka perusahaan harus memberikan perlindungan kepada pekerja kontrak

denganmemasukkan pekerja kontrak tersebut dalam program jamsostek.

2.6 Keselamatan Dan Kesehatan Kerja

Kesehatan merupakan nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa dan Hak Asasi

Manusia yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, setiap manusia ingin

mendapatkan kesehatan tersebut dan menjaganya semaksimal mungkin agar


47

terhindar dari penyakit yang akan mengganggu aktivitas manusia itu sendiri.

Menurut Iman Soepomo, kesehatan kerja adalah:51

“Aturan-aturan dan usaha-usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau


keadaan perburuhan yang merugikan kesehatan dan kesusilaaan dalam
seseorang itu melakukan atau karena ia itu melakukan pekerjaan dalam
suatu hubungan kerja”.

“Tujuan norma-norma kesehatan kerja ini ialah memungkinkan buruh itu


mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia
pada umumnya dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota
keluarga, sebagai wanita yang merupakan ibu dan calon ibu, sebagai calon
muda dan anak yang masih harus mengemban jasmani dan rohaninya”.

Menurut Suma’mur keselamatan kerja adalah “Keselamatan yang

bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya,

landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara dalam melakukan

suatu pekerjaan”.52 Sedangkan dalam bukunya yang lain, Suma’mur memberikan

pengertian kesehatan kerja adalah:53

“Spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang


bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya, baik fisik atau mental maupun sosial dengan usaha-
usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-penyakit/gangguan-
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum”.

Dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu hak

pekerja/buruh.Untuk itu pengusaha wajib melaksanakan secara sistematis dan

terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Untuk menjamin

keselamatan dan kesehatan kerja maupun orang lain yang berada di tempat

kerja serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam

keadaan aman, perlu penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan

kerja (Sistem Manajemen K3).

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor

PER.05/MEN/19996, yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan

dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan

yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan,


48

prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,

penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan

dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan

kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.54

Tujuan dan sasaran sistem manajemen K3 adalah menciptakan Sistem

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur

manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam

rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta

terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.55

Sejalan dengan upaya untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor

14 Tahun1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, khususnya Pasal

2 ayat (4) yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun

2005 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun

1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, maka perusahaan dapat

menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga

kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Dasar. Dengan mempertimbangkan hal ini, perusahaan yang bersangkutan tidak

diwajibkan untuk ikut dalam pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan

badanpenyelenggara.

Penanggung jawab Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat

kerja adalah pengusaha atau pimpinan atau pengurus tempat kerja. Pelaksanaan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja dilakukan secara

bersama- sama oleh pimpinan atau pengurus perusahaan dan seluruh pekerja.

Pengawasan atas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

dilakukan olehpejabat/petugas yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja, yaitu:56

a. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebagai

pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja;

b. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebagai ahli teknis berkeahlian

khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja.


49

Perusahaan yang bermaksud menyelenggarakan sendiri pemeliharaan

kesehatan bagi tenaga kerjanya dapat melakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Menyediakan sendiri atau bekerja sama dengan fasilitas Pelaksana

Pelayanan Kesehatan (PPK);

b. Bekerja sama dengan badan yang menyelenggarakan pemeliharaan


kesehatan;

c. Secara bersama-sama dengan perusahaan lain menyelenggarakan suatu

pelayanan kesehatan.
50

Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pernyataan

tertulis yang ditandatangani pengusaha atau pengurus yang memuat

keseluruhan visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan

keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja yang mencakup

kegiatan perusahaansecara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional.

Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dibuat melalui proses

konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang selanjutnya harus

dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluruh tenaga kerja, pemasok dan

pelanggan. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja bersifat dinamik dan

selalu ditinjau ulang dalam rangka peningkatan kinerja keselamatan dan

kesehatan kerja.57 Beberapa peraturan keselamatan dan kesehatan kerja adalah

sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja;

c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1981

Tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja;

d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1983 Tentang Instalasi

Alarm Kebakaran Otomatik;

e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1978 Tentang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Penerbangan dan Pengangkutan

Kayu;

f. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1980 Tentang

Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan

Keselamatan Kerja;

g. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1984 Tentang

Pengawasan Terpadu Bidang Ketenagakerjaan.

Sama halnya dengan pekerja yang mempunyai status tetap maka pekerja
51

kontrak juga mempunyai hak untuk mendapatkan keselamatan dan kesehatan

kerja. Artinya dalam melakukan pekerjaannya maka pekerja kontrak wajib

mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerjanya. Para

pekerja kontrak juga cenderung melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja

tetap. Oleh sebab itu perlindungan yang diberikan kepada pekerja kontrak

haruslah sesuai dengan apa yang diterima oleh pekerja tetap yang melakukan

jenis pekerjaan yang sama.

2.7 Perlindungan Atas Upah

Upah merupakan hak dari pekerja yang diterimanya sebagai imbalan atas

pekerjaan yang telah dilakukannya. Hak untuk menerima upah itu timbul pada

saat dimulainya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus.

Edwin B. Flippo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah harga

untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan

seseorang atau badan hukum.58

Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang

Perlindungan Upah menyebutkan pengertian upah adalah sebagai berikut;


52

“Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk
suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan,dinyatakan atau dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-
undangan dan dibayar atas dasar sesuatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan
buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarga”.

Ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/

buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan

dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-

undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu

pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa sesungguhnya upah dibayarkan

atas kesepakatan kedua belah pihak, namun untuk menjaga agar jangan sampai

upah yang diterima terlampau rendah, maka pemerintah turut serta dalam

menetapkan standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan

yang dikenal dengan upah minimum.

Eggi Sudjana memberikan pengertian upah dari sudut pandang ekonomi

yakni segala macam bentuk-bentuk penghasilan (earning) yang diterima

buruh/pegawai (tenaga kerja), baik berupa uang maupun barang, dalam jangka

waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi.59 Batasan tentang upah menurut

Dewan Penelitian Pengupahan adalah bahwa upah itu merupakan suatu

penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk

pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai

jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi,

dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan menurut suatu

persetujuan undang-undang dan peraturan-peraturan dan dibayarkan atas dasar

suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja.

Selanjutnya secara sederhana dapat dikemukakan bahwa upah dapat

diartikan sebagai pembayaran suatu imbalan yang wujudnya dapat bermacam-


53

macam, yang dilakukan atau diberikan oleh seseorang/ suatu kelembagaan atau

instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan

(servicing) yang telah dilakukannya. Uraian-uraian di atas menuju pada

kesimpulan bahwa defenisi dan pengertian mengenai upah keseluruhannya

secara jelas mengandung maksud yang sama yaitu upah merupakan pengganti

jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak

lain/pengusaha.

Ketentuan hukum yang mengatur masalah pengupahan sangat banyak

jumlahnya mulai dari tingkat undang-undang sampai peraturan daerah.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:

1. Ketentuan Pokok, yaitu:

a. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN Republik

Indonesia2003 Nomor 39).

b. PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

2. Ketentuan Operasional Pengupahan:

a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1999 jo. Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang

Upah minimum.

b. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 107 Tahun

2004tentang Dewan Pengupahan.

c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 49 Tahun 2004

tentang Struktur dan Skala Upah.

d. Peraturan Daerah tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan

Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMPS).

3. Ketentuan Penunjang, yaitu peraturan perundang-undangan yang secara

tidak langsung berkaitan dengan perlindungan upah yakni peraturan

perundang- undangan dalam hal pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB),

peraturan perundang-undangan dalam hal penyelesaian PHK dan penetapan


54

uang pesangon dan uang penghargaan, pengaturan perundang-undangan

dan hal penentuan pajak atas upah, peraturan perundang-undangan dalam

bidang jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) dan peraturan perundang-

undangan dalam hal proses penyelesaian perselisihan dalam hubungan

industrial.

Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 memberikan

pengertian perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja/ buruh dan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban kedua belah pihak. Berdasarkan pengertian kerja di atas dapat

ditarikbeberapa unsur dari perjanjian kerja yaitu:60

1. Adanya unsur work atau pekerjaan

2. Adanya unsur perintah, dan

3. Adanya upah

Adanya upah dalam unsur suatu perjanjian kerja adalah merupakan

hukum yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang memuat perjanjian kerja

tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang

menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain bahwa

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, termasuk upah adalah

merupakan undang-undang sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan

oleh pekerja dan pengusaha dengan syarat perjanjian kerja tersebut dibuat

secara sah.

Perjanjian kerja sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka

harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UU No.

13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;


55

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sehubungan dengan kedudukan perjanjian kerja yang sah sebagai

ketentuan hukum dibidang pengupahan, maka syarat tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan perundang-undangan mempunyai makna bahwa pengaturan

upah dalam perjanjian kerja dapat dijadikan sebagai ketentuan hukum apabila

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama dibidang

pengupahan yang berlaku. Sehingga dengan demikian ketentuan hukum

pengupahan dapat diatur dalam perjanjian kerja dan berlaku sebagai ketentuan

hukum bagi pihak-pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal perjanjian kerja tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, perjanjian tersebut

dinyatakan batal demi hukum, dan secara otomatis tidak berlaku sebagai

ketentuan hukum.

Dampak langsung yang dialami pekerja atas status sebagai pekerja

kontrak adalah soal upah. Ada kecenderungan menurunnya besaran upah saat

pekerja menjadi pekerja kontrak. Hal ini mengakibatkan diskriminasi upah antara

pekerja tetap dengan pekerja kontrak, walaupun jenis pekerjaan yang dilakukan

sama.

Pemahaman mengenai kompensasi tidak sama dengan upah.Upah

adalah salah satu perwujudan riil dari pemberian kompensasi. Bagi perusahaan,

upah adalah salah satu perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan

kepadatenaga kerja.

Pengertian kompensasi selain terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan

innatura, fasilitas perumahan, fasilitas kenderaan, tunjangan keluarga, tunjangan

kesehatan, pakaian seragam (tunjangan pakaian) dan sebagainya yang dapat

dinilai dengan uang serta cenderung diberikan secara tetap. Oleh karena itu
56

apabila perusahaan pada suatu saat mengadakan rekreasi dengan para tenaga

kerjanya, uang untuk alokasi rekreasi tersebut bukan merupakan kompensasi.

Jadi, kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh

perusahaan kepada tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah

memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.61

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam

bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada

pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanijan kerja,

kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah

atau akan dilakukan (Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).

Suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk

sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan atau akan dilakukan,

dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu

persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar

suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan, baik

untuk buruh sendiri maupun keluarganya (Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun1981).

Dari penjelasan dua (2) peraturan perundang-undangan di atas, maka

upah diberikan dalam bentuk uang, namun secara nomatif masih ada

kelonggaran bahwa upah dapat diberikan dalam bentuk lain berdasarkan

perjanjian atau peraturan perundang-undangan, dengan batasan nilainya tidak

boleh lebih dari 25

% (dua puluh lima persen) dari upah yang seharusya diterima (Pasal 12

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981).

Sesuai Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-

01/MEN/1999 Tentang Upah Minimum, yaitu upah bulanan terendah yang terdiri
57

dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Berdasarkan Peraturan Menteri

Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga

Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-226/ME/2000, jangkauan wilayah

berlakunya upah minimum meliputi:

1. Upah Minimun Provinsi (UMP) berlaku di seluruh Kabupaten/Kota dalam 1

(satu) wilayah provinsi;

2. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berlaku dalam 1 (satu) wilayah

Kabupaten/Kota.

Di samping itu, upah minimum berdasarkan Kelompok Lapangan Usaha

Indonesia (KLUI) disebut Upah Minimum Sektoral, yang terbagi menjadi Upah

Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota

(UMSK).

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-

01/MEN/1999, penetapan upah minimum dilakukan dengan mempertimbangkan:

1. Kebutuhan Hidup Minimum (KHM);

2. Indeks Harga Konsumen (IHK);

3. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan;

4. Upah pada umumnya berlaku di daerah tertentu dan antar daerah;


5. Kondisi pasar kerja;

6. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-

01/MEN/1999 jo. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor

KEP-226/ME/2000, dalam pelaksanaan upah minimum perlu memperhatikan

beberapa hal:

1. Besarnya Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum

Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) minimal 5% lebih besar dari Upah

Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) (Pasal

5);

2. Perusahaan dilarang membayar upah lebih dari Upah Minimum Provinsi


58

(UMP)/Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau Upah Minimum Sektoral

Provinsi (UMSP)/ Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) (Pasal

13);

3. Upah minimum berlaku untuk semua status pekerja, baik tetap, tidak tetap

maupun percobaan (Pasal 14 ayat (1);

4. Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang memiliki masa kerja kurang

dari 1 (satu) tahun (Pasal 14 ayat (2);

5. Peninjauan besarnya upah bagi pekerja di atas masa kerja 1 (satu) tahun

dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja dan pengusaha (Pasal 14

ayat (3);

6. Bagi pekerja borongan atau berdasarkan satuan hasil yang dilaksanakan 1

(satu) bulan atau lebih, upah rata-rata sebulan minimal upah minimum di

perusahaan yang bersangkutan (Pasal 15 ayat (1));

7. Pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah yang telah diberikan

lebih tinggi dari upah minimum yang berlaku (Pasal 17);

8. Bagi pengusaha yang melanggar Pasal 7, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan

ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999

dikenakan sanksi;

a. Pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal

Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah);

b. Membayar upah pekerja sesuai putusan hakim.

Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 8 1981 menyatakan

bahwa upah harus dibayar oleh pengusaha kepada pekerja secara tepat waktu

sesuai kesepakatan. Apabila pengusaha terlambat membayar upah, maka

pengusaha wajib membayar denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah

pekerja/buruh (Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, atau tambahan upah (Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Pengganti Upah) kepada pekerja/buruh sebesar:


59

1. 5% per hari keterlambatan, untuk hari keempat sampai hari kedelapan

2. 1% per hari keterlambatan, untuk hari kesembilan dan seterusnya. Dengan

catatan tidak boleh melebihi 50% dari upah keseluruhan yang seharusnya

diterima oleh pekerja.

Adapun dasar hukum perlindungan upah adalah antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 Tentang Persetujuan Konvensi

International Labour Organization (ILO) Nomor 100 mengenai Pengupahan

Bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah;

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 Tentang Upah

Minimum jo. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Nomor KEP-226/ME/2000 Tentang Perubahan Pasal 1, 3, 4, 8, 11, 20 dan

Pasal 21 Peraturan Menteri Tenaga Kerja PER-01/MEN/1999 Tentang Upah

Minimum;

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-

49/MEN/2004 Tentang Ketentuan Struktur Dan Skala Upah;

6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-

231/MEN/2003 Tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur;

7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-

231/MEN/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah

Minimum;

8. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor SE-

01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8

Tahun 1981.
60

3. Pengaturan Perjanjian Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13Tahun


2003 Tentang Ketenagakerjaan

3.1 Pengaturan Perjanjian Kerja Secara Umum

Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan

perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini

disebabkan dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya mempunyai

derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang

seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian

kerja, karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun

pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang,

akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, maka

kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang

mengadakan perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang.62

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom

mempunyai beberapa pengertian. KUHPerdata memberikan pengertian

perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja)

mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu pemberi kerja untuk

sewaktu-waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah.63

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan

pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pemberi

kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.64

Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada

dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan pekerja dan pemberi kerja terjadi

setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dan pemberi kerja dimana pekerja

menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pemberi kerja dengan

menerima upah dan dimana pemberi kerja menyatakan kesanggupannya untuk

mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.65 Perjanjian yang demikian itu

disebut perjanjian kerja.


61

Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,

yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi

berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan

kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang

perburuhan.66 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Wirjdono Prodjodikoro

menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja.

Sedangkan untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan

perburuhan bersama.67 Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah

persetujuan perburuhan untuk perjanjian kerja sedangkan perjanjian perburuhan

diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif.68 Dari pengertian yang

dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi yang

satu (pekerja/buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu berada di posisi

bawahdibandingkan pemberi kerja.

Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak pemberi kerja dalam

melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua

belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang. Jika

menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian perjanjian adalah

suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain

untuk melakukan sesuatu hal. Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa

pada umumnya hubungan itu sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini

perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya

dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk

orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinannya. Karena itu

perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah merupakan perjanjian

kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah

penerima kerja dan orang yang berobat bukanlah pemberi kerja dan hubungan

antara mereka bukanlah hubungan kerja.

Adanya pekerja ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak

lainnya serta menerima upah dan adanya pemberi kerja jika ia memimpin
62

pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan pekerja dan pemberi kerja

tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil

pekerjaan. Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian

melakukan tertentu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat

hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan

akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut

perjanjian.

Menyimak perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas

tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Di

bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan

pemberi kerja adalah hubungan antara bawahan dengan atasan (subordinasi).

Pemberi kerja sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan

perintah kepada pihak pekerja yang secara sosial ekonomi mempunyai

kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya

wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan

perjanjian lainnya.

Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih

umum karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pemberi

kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja

berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan

kewajiban para pihak salah satunya adalah upah.

Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian

kerja itu lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan

atau tidak sebagaimana sebelumnya hal tersebut diatur dalam Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan pengertian Perjanjian Kerja di atas dapat ditarik beberapa

unsur dari perjanjian kerja yaitu:


63

1. Adanya unsur Pekerjaan (worDalam suatu perjanjian kerja harus ada


pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya dengan seizin pemberi kerjalah
pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata
Pasal 1603 a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya,
hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk
menggantikannya.”
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena

bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jika

pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

2. Adanya unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pemberi

kerja adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pemberi

kerja untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan

hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter

dengan pasien dan pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan

merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada

perintah pasien dan klien.

3. Adanya Waktu Tertentu71

Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu

yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan.

Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari

pemberi kerja atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai

dengan waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan

perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kebiasaan dan ketertiban umum.

4. Adanya upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja,

bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pemberi

kerja adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka

suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja.

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja


64

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja

harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang

dikehendaki pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja

menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pemberi kerja menerima pekerja

tersebut untuk dipekerjakan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat

perjanjian merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pemberi

kerja harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang

cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan

hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun.72 Selain itu

seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak

terganggu jiwanya (waras).

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320

KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek

dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya

melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus

halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum

dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur

perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat

kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua

belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai

syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian


65

sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang

diperjanjikan tersebut harus halal sebagai syarat objektif karena menyangkut

objek perjanjian.

Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum

artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang

dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut

dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas

demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap

membuat perjanjian dapat meminta pembatalan kepada hakim. Dengan demikian

perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan

oleh

hakim. Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis.73

Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para

pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses

pembuktian.

Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan

yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan

karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman

sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.

Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat

keterangan:74

1. Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha;

2. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;

3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

4. Tempat pekerjaan;

5. Besarnya upah dan cara pembayaran;

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;
66

7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat;

9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Selain hal-hal di atas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur

dalam suatu perjanjian kerja.

1. Macam pekerjaan!

2. Cara-cara pelaksanaannya;

3. Waktu atau jam kerja;

4. Tempat kerja;

5. Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya;

6. Fasilitas-fasilitas yang disediakan majikan/perusahaan bagi pekerja;

7. Biaya kesehatan/pengobatan bagi pekerja;

8. Tunjangan-tunjangan tertentu;

9. Perihal cuti;

10. Perihal izin meninggalkan pekerjaan;

11. Perihal hari libur;

12. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja;

13. Perihal pakaian kerja;

14. Perihal jaminan perlindungan kerja;

15. Perihal penyelesaian masalah-masalah kerja;

16. Perihal uang pesangon dan uang jasa;

17. Berbagai masalah yang dianggap perlu.

Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu

bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak

tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau

selesai pekerjaan tertentu.

Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi.


67

Dalam hal prestasi ini Soebekti menulis: “suatu pihak yang memperoleh hak-

hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan

kebalikan dari hak yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul

kewajiban-kewajiban juga memperoleh yang dianggap sebagai kebalikan

pengusaha dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi

kewajiban pekerja/buruh”.76

Perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja menghasilkan hubungan

kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pemberi kerja

yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Secara normatif pengertian

hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja

berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan

perintah.77 Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena

adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan pekerja. Substansi

perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian

perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/ Perjanjian Kerja Bersama

(PKB). Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan

peraturan intern perusahaan/instansi yang dibuat oleh pemberi kerja.

Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus

perjanjian, apa yang dikemukakan oleh Soebekti di atas berlaku juga. Artinya apa

yang menjadi hak pekerja/buruh akan menjadi kewajiban pengusaha dan

sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja.

Pekerja yang baik adalah pekerja yang menjalankan kewajiban-

kewajibannya dengan baik, yang dalam hal ini kewajiban untuk melakukan atau

tidak melakukan segala sesuatu yang dalam keadaan yang sama, seharusnya

dilakukan atau tidak dilakukan.79 Selain itu pekerja yang melakukan hubungan

kerja harus mentaati peraturan perusahaan, secara normatif peraturan

perusahaan/instansi adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pemberi


68

kerja yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan/instansi.

Dengan pengertian tersebut, jelas bahwa peraturan perusahaan dibentuk oleh

dan menjadi tanggung jawab pemberi kerja dengan memperhatikan saran dan

pertimbangandari wakil pekerja di perusahaan/instansi yang bersangkutan.

Apabila peraturan perusahaan tersebut telah terbentuk, pemberi kerja

diwajibkan untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan

perusahaan/instansi yang berlaku di perusahaan/instansi yang bersangkutan.

Peraturan perusahaan/instansi sekurang-kurangnya memuat:

1. Hak dan kewajiban pemberi kerja;

2. Syarat kerja;

3. Tata tertib perusahaan/instansi;

4. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan/instansi.Jangka waktu


berlakunya peraturan perusahaan/instansi paling lama dua

(2) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.

Ketentuannyatidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan

yang berlaku.

Pengertian perjanjian kerja tertentu atau lebih lazim disebut dengan

kesepakatan kerja tertentu ada ditentukan dalam Peraturan Menteri Tenaga

Kerja Nomor 05/Men/1986 yang berbunyi Kesepakatan Kerja Tertentu adalah

kesepakatan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang diadakan untuk waktu

tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.80

Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu

(PKWT) disebutkan bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan

pemberi kerja untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau

untuk pekerja tertentu.81 Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara

pekerja dengan pemberi kerja untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat

tetap.82 Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa PKWT tidak dapat
69

diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut

dengan perjanjian kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjanya

adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian

kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian

kerja tetap atau status pekerjanya adalah pekerja tetap.

3.2 Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu

Suatu perjanjian yang diadakan untuk waktu tertentu berakhir secara

otomatis apabila waktunya habis. Pada prinsipnya suatu perjanjian kerja,

baik untuk waktu tertentu maupun yang tanpa waktu tertentu, dapat diputuskan

baik oleh pihak penerima kerja maupun pemberi pekerjaan dengan suatu

pernyataan petisi, asal diperhatikan tenggang waktu pengakhiran, waktu mana

menurut Pasal 1603 g dihubungkan dengan Pasal 1603 i, adalah satu bulan.83

Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan penerima

kerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan

perintah. Dalam pasal 50 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan disebut bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian

kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. Perjanjian kerja dibuat secara

tertulis atau lisan.84

Menurut pendapat Payaman Simanjuntak bahwa perjanjian kerja dengan

waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara penerima kerja dengan pemberi

kerja untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu

tertentu

,yang relatif pendek, yang jangka waktunya paling lama dua tahun dan hanya

dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan perjanjian kerja

pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi 3

(tiga) tahun lamanya.85 Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut

kesepakatan bagi yang mengikat dirinya, maksudnya bahwa pihak-pihak yang

mengadakan perjanjian kerja harus telah saling setuju/sepakat, mufakat


70

mengenai hal-hal yang diperjanjikan

Menurut ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara

tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a) Nama,alamat perusahaan, dan jenis usaha;


b) Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c) Jabatan atau jenis pekerjaan;
d) Tempat bekerja;
e) Besarnya upah dan cara membayar;
f) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja;
g) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
i) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut juga

sebagai perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status

pekerjanya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak, sedangkan perjanjian

kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian

kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap.87

Perjanjian kerja waktu tertentu, menurut Pasal 59 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:

(1) Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yangtidak terlalu lama dan paling lama 3(tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
(2) Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(5) Pemberi kerja yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tetulis kepada pekerja yang bersangkutan.
(6) Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya
71

perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian


kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling
lama 2 (dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.

Dalam KUHPerdata Buku III Bab 7A diatur perjanjian kerja yang bersifat

hukum privat, namun dalam perkembangannya banyak ketentuan-ketentuan

yang tidak berlaku lagi, sehingga diganti dengan peraturan baru yang bersifat

publik. Sepertinya misalnya masalah pengupahan, tidak berlaku ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata melainkan Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, didalamnya terdapat

ketentuan mengenai ancaman pidana. Hal ini dapat dimengerti karena hukum

perburuhan sebagai ketentuan yang berdiri sendiri serta mempunyai ciri yang

bersifat perdata dan bersifat pidana.

Pada hakekatnya perjanjian kerja yang tersebut dalam KUHPerdata

adalah perjanjian kerja yang berlaku terbuka umum, artinya tidak membedakan

jenis perusahaan maupun orang-orang yang mengadakan perjanjian kerja, akan

tetapi sistem ini ada pengecualiannya yaitu perjanjian kerja tidak berlaku bagi

pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berlaku adalah Undang-undang

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-undang ini telah

dicabut setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (ASN). Undang-undang ini telah mengatur tentang tenaga

kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dengan sebutan Pegawai

Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pengaturan terhadap manajemen

PPPK belum ada diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun dalam Pasal 139

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan:

“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-


undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
72

Republik Indonesia tahun 1974 nomor 55, tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
Undang- undang nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-
Undang nomor
8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1999 nomor 169, tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.

Dari uraian tersebut berarti masih diberlakukan peraturan yang mengatur

tentang tenaga kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yang dalam

hal ini Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1199/MESKES/PER/X/2004 tentang

Pedoman Pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja di sarana

kesehatanmilik pemerintah. Adapun syarat-syarat perjanjian kerja tersebut :

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang diatur

dalam Peraturan Menteri kesehatan Nomor 1199/Menkes//PER/X/2004 tentang

Pedoman Pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja di sarana

kesehatan milik pemerintah, dikategorikan dalam hukum publik karena terkait

dengan aspek Hukum Kepegawaian.

Dalam Peraturan Menteri kesehatan Nomor 1199/Menkes//PER/X/2004

tentang Pedoman Pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja di

sarana kesehatan milik pemerintah, perjanjian kerja untuk waktu tertentu diatur

bahwa:

1. Jangka waktu perjanjian kerja untuk tenaga kesehatan tertentu yang memiliki

izin praktik sementara paling lama 18 bulan.

2. Sedang untuk tenaga kesehatan tertentu yang telah memiliki surat izin

praktik,jangka waktu perjanjian kerja paling lama 2 (dua) tahun.

3. Perpanjangan perjanjian kerja tenaga kesehatan dimaksud butir 2, hanya


73

boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun

dengan ketentuan jumlah seluruh Perjanjian kerja tidak boleh lebih dari tiga

tahun.

4. Perpanjangan perjanjian kerja dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari

sebelum perjanjian kerja berakhir.

Berkenaan dengan pembuatan perjanjian kerja, dijelaskan bahwa yang

dapat membuat perjanjian kerja pada hakekatnya adalah orang dewasa yang

mempunyai tanggung jawab serta kemampuan untuk menyelenggarakan

perjanjian kerja. Sedangkan yang dimaksud dengan orang dewasa, kita

berkewajiban bersandar kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ini, pengertian orang dewasa

adalah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas)

tahun keatas. Mengenai isi dari perjanjian kerja dapat dikemukakan bahwa,

dalam KUHPerdata tidak ditemukan apa saja yang harus dimuat dalam perjanjian

kerja. Hal ini sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.

Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

normanya ditujukan bagi hubungan kerja antara pemberi kerja dan penerima

kerja, sedangkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menjadi norma

hukumnya ditujukan bagi hubungan kerja antara pemerintah dengan pekerja

yang berstatus Pegawai Negeri dan Pegawai tidak tetap. Sementara dasar

hukum ius constitutum yang dapat disebut lex generalis yang mengatur

persoalan mengenai hubungan kerja dalam aspek hukum ketenagakerjaan atau

hukum kepegawaian adalah berbagai ketentuan yang tercantum dalam

KUHPerdata. Dalam hal lex specialis atau lex generalis tersebut, maka dalam

ilmu hukum dikenal adanya lex specialis derogat lex generalis, asas yang

mengadung arti bahwa bila ada terdapat suatu ketentuan dalam lex spesialis

maka ketentuan dalam lex generalis dapat dikesampingkan. Dengan demikian,


74

untuk tepat gunanya penggunaan asas tersebut maka harus dipahami terlebih

dahulu hubungan kerja itu apakah hubungan kerja yang timbul itu ada di

ranah hukum publik atau ranah hukum privat.

Dengan demikian perjanjian kerja dengan waktu tertentu yang diatur

dalam Permenkes nomor 1199/Menkes /PER/X/2004 tentang Pedoman

Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan

Milik Pemerintah, berlaku asas lex spesialis derogat lex generalis artinya

ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.

Menurut ketentuan Permenkes nomor 1199/Menkes /PER/X/2004 tentang

Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja di Sarana

Kesehatan Milik Pemerintah, diatur materi muatan perjanjian kerja adalah:

1. Nama dan alamat sarana kesehatan pemberi kerja;

2. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ tenaga kesehatan;

3. Jabatan atau jenis pekerjaan;

4. Tempat pekerjaan;

5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan

tenagakesehatan;

7. Besarnya gaji/ upah dan cara pembayarannya;

8. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

9. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

10. Ketetapan tanggal mulai berlaku dan berakhir serta ditandatangani oleh

keduabelah pihak;

11. Penyelesaian perselisihan.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam rangka

mewujudkan pelayanan kesehatan yang prima perlu pertimbangan yang matang

melalui prosedur yang komprehensif dari proses analisis kebutuhan tenaga


75

sampai kepada evaluasi kinerjanya. Pertimbangan ini perlu dilakukan disamping

untuk mendapatkan tenaga yang sesuai dengan kebutuhan dan kualifikasinya

juga sebagai dasar dalam penetapan butir-butir Perjanjian kerja.

3.3 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Menurut Undang-Undang Nomor 13


Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Alasan pemerintah melegalkan sistem kerja dengan perjanjian kerja untuk

waktu tertentu (PKWT) adalah untuk menuntaskan masalah pengangguran.

Hal ini dapat dilihat bahwa sistem PKWT baru ditemukan dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, walaupun dengan batasan-

batasan yang tidak terlalu ketat.

Pada Undang-Undang sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1948 Tentang Kerja dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 Tentang

Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, hubungan kerja tidak tetap tersebut

tidak ada diatur, sebaliknya juga tidak ada dilarang. Sehingga kalau terjadi

hubungan kerja kontrak dikarenakan masyarakat menggunakannya sebagai

suatu kebiasaan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

memberikan landasan yuridis yang lebih kuat dibandingkan dengan undang-

undang sebelumnya. Hal ini dapat terlihat bahwa PKWT terdapat pengaturan

tersendiri dalam sub bab tentang hubungan kerja. Kemudian dibuatlah

peratuan

pelaksananya yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.100/MEN/VI/2004.

Pengaturan tentang PKWT dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan menimbulkan pengertian ganda sekaligus

perbedaan tafsir dalam merumuskan tentang pekerjaan kontrak (apakah menurut

jangka waktunya atau menurut selesainya pekerjaan). Sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (2). Pengertian ganda tersebut dapat

dilihat dalam hal:89


76

1. Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT. Apakah pekerjaan

menurut jangka waktu atau menurut selesainya pekerjaan. Menurut jangka

waktu, tidak mempersoalkan apakah pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja

bersifat tetap atau tidak tetap. Banyak pekerjaan yang dilakukan dengan

sistem PKWT namun bentuk pekerjaannya adalah pekerjaan inti yang juga

dilakukan pekerja yang berstatus tetap. Dengan kata lain batasan yang

diberikan oleh Undang-Undang tentang PKWT telah ditafsirkan secara

sepihak oleh kalanganpemberi kerja yang hanya berpegang pada bunyi Pasal

56 ayat (2);

2. Aturan tentang pembaruan perjanjian (Pasal 59 ayat (6)) digunakan sebagai

dasar untuk terus-menerus menggunakan pekerja kontrak meskipun

pekerjaan yang dilakukan adalah jenis pekerjaan inti dan tetap.Dalam hal ini

pemerintah berkeinginan untuk memberikan kesempatan bagi pengusaha

yang akan menggunakan sistem kerja kontrak dengan lebih leluasa. Hal ini

didukung oleh kondisi pasar kerja yang menyediakan banyak tenaga

kerja potensial sehingga mengganti pekerja lama dengan pekerja baru

bukan hal yang sulit bagi pengusaha.

Untuk menghindari multitafsir ini maka perlu ditetapkan secara tegas

tentang:

1. Kategori pekerjaan tetap dan tidak tetap;

2. Kategori pekerjaan inti dan non inti;

3. Syarat perpanjangan dan pembaharuan PKWT;

4. Sanksi yang tegas bagi pelanggaran butir-butir di atas.

Mengenai jangka waktu PKWT juga diatur dengan tegas termasuk

persoalan syarat perpanjangan dan pembaharuan PKWT dan sanksi apa yang

dapat dijatuhkan pada pemberi kerja apabila melanggar ketentuan. Seorang

pekerja yang dipekerjakan dalam PKWT tidak boleh terikat dengan perjanjian

kerja selama lebih dari 3 (tiga) tahun, namun masih terdapat celah bagi pemberi
77

kerja untuk dapat lebih lama lagi mengikat pekerja dengan sistem PKWT, yaitu

dengan melakukan perpanjangan dan pembaharuan PKWT.

Dalam usulan rumusan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan oleh pemerintah disebutkan bahwa perlu

dilakukan perubahan pengaturan tentang PKWT yang terdapat dalam Pasal 59,

antara lain:90

1. PKWT yang dilakukan atas dasar jangka waktu dapat dilakukan untuk semua

jenis pekerjaan;

2. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu dapat diadakan untuk paling lama

lima tahun;

3. Setelah berakhirnya PKWT sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan

pekerja/buruh berhak atas santunan yang besarnya diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;

4. PKWT yang dilakukan secara terus-menerus dan melebihi jangka waktu lima

tahun demi hukum berubah menjadi PKWTT;

5. Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang

disebabkan oleh pemberi kerja maka pemberi kerja wajib membayar sisa

upah dan santunan yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT;

6. Dalam hal hubungan kerja sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan oleh

pekerja melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja maka pekerja tidak

berhak atas santunan dan pekerja yang bersangkutan wajib membayar sisa

upah dan santunan yang seharusnya diterima sampai masa berakhirnya

PKWT;

7. Dalam hal PKWT yang dilakukan atas dasar selesainya pekerjaan tertentu

sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (2) huruf b, tidak ada pembatasan

jangkawaktu;

8. PKWT atas selesainya suatu pekerjaan harus memuat batasan suatu

pekerjaan dinyatakan telah selesai


78

Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, PKWT harus memenuhi

syarat-syarat pembuatan sehingga perjanjian yang dibuat dapat mengikat dan

menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Untuk pembuatan

perjanjian atau kesepakatan kerja tertentu terdapat persyaratan yang harus


dipenuhi yang terdiri dari dua macam syarat, yaitu syarat formil dan syarat materil. Syarat

materil diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Mengenai syarat-syarat materil yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian kerja untuk

waktu tertentu adalah sebagai berikut:91

1. Kesepakatan dan kemauan bebas dari kedua belah pihak;

2. Adanya kemampuan dan kecakapan pihak-pihak untuk mebuat kesepakatan;

3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan;

4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian, syarat materil dari perjanjian kerja tertentu

disebutkan bahwa kesepakatan kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud ayat (1) pada angka 1 dan 2 atau tidak memenuhi syarat subjektif

maka perjanjian dapat dibatalkan,92 yaitu dengan permohonan atau gugatan kepada

pengadilan, sedangkan yang bertentangan dengan ayat (1) angka 3 dan 4 atau tidak memenuhi

syarat objektif maka secara otomatis perjanjian yang dibuat adalah batal demi hukum.93

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis.94

Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan

sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. PKWT tidak boleh mensyaratkan adanya masa

percobaan.95 Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan,

keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan

pemberi kerja dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang

berwenang). Walau demikian, dalam masa percobaan ini pemberi kerja tetap dilarang

membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Ketentuan tidak membolehkan adanya masa percobaan dalam PKWT adalah karena

perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. PKWT yang mensyaratkan adanya masa

79
percobaan, maka PKWT tersebut batal demi hukum.96 PKWT hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam

waktu tertentu.97

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004 disebutkan bahwa

dalam PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang

didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.98

Apabila dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT tersebut dapat

diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada

saat selesainya pekerjaan.

Selanjutnya dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus

dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai, namun apabila dalam hal PKWT

dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu pekerjaan tersebut belum dapat

diselesaikan dapat dilakukan pembaruan PKWT. Pembaruan sebagaimana yang dimaksud

yaitu dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya

perjanjian kerja dan selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada

hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Selain itu disebutkan juga para

pihak dapat mengatur hal lain dari ketentuan tersebut yang dituangkan dalam perjanjian.

Undang-undang ketenagakerjaan ini diatur sedemikian rupa, sehingga terpenuhi hak-hak

dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan serta pada saat yang bersamaan

dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.99 Dalam

ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor

13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan :

1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar :


a) Kesempatan kedua belah pihak;
b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) dan (b) dapat dibatalkan.

80
3. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan b batal demi hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaandalam Pasal

56 disebutkan :

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidaktertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan atas :

a. Jangka waktu atau.


b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu memiliki ketentuan jangka waktu yang

diperkenankan terhadap tenaga kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang

Nomor 13 tahun 2003, yaitu:

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau.
c. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1(satu) kali
untuk jangka waktu paling lama 1(satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut,
paling lama 7(tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah
memberitahukan maksudnya secara tertuliskepada pekerja yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 ( tiga puluh ) hari berakhirnya kerja waktu tertentu ini hanya
boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2(dua) tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalan pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
BAB 3
PERENCANAAN FASILITAS

Setelah aktivitas perencanaan produk dan pengembangan produk baru selesai


dilakukan, maka aktivitas berikutnya adalah perencanaan fasilitas yang akan digunakan
81
untuk melaksanakan proses produksi atau transformasi.

Aktivitas PERENCANAAN FASILITAS, dapat dibagi dalam beberapa fasil


6. Perencanaan lokasi usaha
7. Perencanaan tata letak (layout) tempat usaha
8. Perencanaan system material handling

TUJUAN dari aktivitas perencanaan fasilitas ini adalah :


6. Mengoptimalkan material handling & penyimpanan. Fasilitas produksi yang
direncanakan dengan baik, akan memudahkan arus lalu lintas material dari
gudang ke tempat produksi, dari satu departemen ke departemen lainnya.
7. Menggunakan sumber daya secara optimal. Seringkali perusahaan
dihadapkan pada terbatasnya fasilitas produksi yang dimiliki, seperti terbatasnya
lahan produksi, terbatasnya jumlah ruangan dan mesin-mesin, dll. Dengan
perencanaan yang baik, kesulitas produksi akibat keterbatasan itu dapat
dikurangi.
8. Meminimalkan investasi. Dengan optimalnya perencanaan fasilitas yang ada,
maka berbagai pengeluaran dan investas dapat dikurangi. Sebagai contoh,
perusahaan tidak perlu lagi menambah lahan atau jumlah bangunan, karena
atau jumlah bangunan yang ada dapat dioptimalkan
9. Mempermudah pemeliharaan. Pemilihan dan penataan fasilitas produksi yang
baik tentunya akan memudahkan pemeliharaan, seperti jarak antar mesin yang
cukup baik, posisi mesin dan bangunan, dst.
10. Meningkatan keselamatan & kepuasan kerja. Fasilitas produksi yang tertata
rapi tentunya akan membawa dampak bagi keselamatan dan kepuasan kerja.
Sebagai contoh, tersedianya ruang lapang antar gedung, ventilasi udara dan
penerangan yang cukupakan membuat pekerja meras nyaman dalam
menjalankan aktivitas produksinya.
A. PERENCANAAN LOKASI USAHA
Perencanaan fasilitas yang pertama berkaitan dengan perencanaan dan
penentuan lokasi usaha. Perencanaan dan pertimbangan penentuan lokasi usaha
untuk usaha baru dan perluasan usaha, akan berbeda. Untuk perusahaan yang baru
pertama kali berdiri , tujuan dari perencanaan lokasi adalah :
h. Agar dapat melayani konsumen dengan baik. Tempat usaha yang strategis
tentunya akan memudahkan perusahaan baru mendapatkan dan selanjutnya

82
mempertahankan konsumennya. Tempat usaha yang baik, mudah ditemukan
dan dijangkau tentu akan menarik bagi konsumen.
i. Untuk mendapatkan bahan baku yang baik & kontinyu. Seringkali
perusahaan harus memilih lokasi usaha di daerah dimana bahan baku produksi
mudah diperoleh. Baik untuk mengantisipasi mudah rusaknya bahan baku,
ataupun kesulitas angkut bahan baku tersebut. Contoh : Perusahaan
pengalengan ikan, perusahaan minuman, dan sejenisnya.
j. Untuk mendapatkan tenaga kerja yang baik. Selain bahan baku,
pertimbangan lainnya adalah kemudahan dalam mendapatkan sumber daya
manusia yang akan menjadi karyawan atau pekerja. Perusahaan padat karya
seperti perusahaan rokok, perusahaan garmen, tentu akan memilih lokasi usaha
yang padat penduduk guna mendapatkan SDM yang cukup.
k. Untuk keperluan usaha di kemudian hari. Antisipasi terhadap berkembangnya
perusahaan juga perlu diperhatikan. Jangan sampai perusahaan mengalami
kesulitan dalam memperluas usahanya dikarenakan tidak ada lagi lahan kosong
di kiri, kanan, belakan, atau depan (sekitar) lokasi usaha saat ini. Sempitnya
lahan usaha dapat diantisipasi dengan merencanakan pondasi untuk keperluan
bangunan bertingkat, yang dapat ditambah, sewaktu-waktu dibutuhkan tambahan
ruangan.
l. Agar operasi perusahaan dapat berjalan dengan optimal. Semua alasan
tersebut di atas dimaksudkan akan proses produksi lacar, tidak terganggu
oleh masalah kekurangan bahan baku, kekurangan tenaga kerja, sampai dengan
kesulitas menambah kapasitas produksi di kemudian hari.
m. Menyesuaikan kemampuan perusahaan. Aspek lain yang tidak kalah
pentingnya adalah masalah kemampuan perusahaan saat ini dan di kemudian
hari. Penentuan lokasi usaha seringkali dipengaruhui juga oleh tersedianya dana
perusahaan. Lokasi yang diinginkan tidak selamanya sesuai dengan dana yang
tersedia, karena lokasi usaha yang baik/strategis biasanya menuntut investasi
yang besar/mahal juga.

Sedangkan bagi perusahaan yang telah beroperasi sebelumnya, tujuan atau alasan
perencanaan lokasi adalah :
5. Berpindahnya pusat kegiatan bisnis. Seperti kita ketahui, bahwa pusat bisnis
merupakan salah satu pasar yang paling potensial bagai perusahaan. Di pusat
bisnislah banyak transaksi akan terjadi, dan di pusat bisnislah peredaran uang

83
sangat besar, sehingga perusahaan harus mengikuti di mana pusat bisnis itu
berlangsung.
6. Berubahnya adat kebiasaan masyarakat. Seiring dengan waktu, seringkali
diikuti dengan perubahan adat atau kebiasaan masyarakat, tempat di mana
perusahaan saat ini beroperasi. Sebagai contoh, sebuah lingkungan yang
berangsur-angsur ditempati oleh masyarakat yang mayoritas muslim misalnya,
tentu akan mendorong pengusaha peternak atau restoran yang menyediakan
masakan dari binatang babi untuk memindahkan lokasi usahanya.
7. Berpindahnya konsentrasi perumahan. Selain perumahan masyarakat identik
dengan tersedianya pasar, perumahan tersebut juga identik dengan semakin
menyempitnya lahan dan tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut.
Sebagai contoh, sebuah peternakan ayam yang terletak ditengah-tengan sawah,
mungkin 10 tahun kemudian harus memindahkan usahanya karena tuntutan dari
penduduk sekitar karena sawah telah berubah menjadi perumahan padat dan
keberadaan peternakan tersebut dianggap mengganggu ? Adilkah kalau
peternakan yang harus mengalah dan pindah lokasi ?

84
8. Adanya sarana prasarana yang lebih baik. Operasi perusahaan membutuhkan
sarana dan prasarana seperti akses jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi, dll.,
yang baik. Memburuknya sarana prasarana tersebut di lokasi usaha saat ini
tentu akan mendorong perusahaan untuk mencari lokasi usaha yang lebih baik.
9. Untuk meningkatkan kapasitas produksi. Pemindahan lokasi usaha juga
sering dilakukan sebagai akibat dari berkembangnya usaha perusahaan,
sementara lokasi usahaan saat sudah tidak mampu lagi menampung aktivitas
perusahaan. Untuk menghindari terjadinya ‘opportunity cost’, perusahaan
kemudian mencari lokasi usaha yang lebih layak untuk menampung
perkembangan usaha yang terjadi.
10. Peraturan pemerintah. Salah satu faktor yang seringkali tidak dapat dihindari
adalah adanya peraturan pemerintah yang menghendaki perusahaan
memindahkan lokasi usahanya, karena misalnya alasan pelebaran jalan,
pembuatan jalur hijau, dan kebijakan penataan kota lainnya.
11. Persaingan yang ketat. Meskipun tidak semua usaha menghindari persaingan,
namun persaingan yang terlalu ketat dan berat, juga sering menjadi alasan
mengapa sebuah perusahaan memindahkan lokasi usahanya, guna
mendapatkan pasar yang lebih mudah (karena persaingannya belum ketat).
12. Sebab-sebab lain. Yang dimaksud di sini misalnya terjadinya bencana alam
yang memaksa perusahaan memindahkan lokasi usahanya.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan penentuan lokasi adalah:
4. Letak pasar. Faktor ini sangat penting, khususnya bagi perusahaan jasa (bank,
restoran, toko, jasa konsultan, dll) atau manufaktur (meskipun jarang jarang)
yang memang memiliki karakteristik dekat dengan pasar. Coba perhatikan di
dalam kehidupan sehari-hari kita ? Benarkah perusahaan jasa yang umumnya
didirikan di tempat atau lokasi yang dekat dengan pasar ?
5. Bahan baku. Berbeda dengan perusahaan jasa, perusahaan manufaktur
umumnya didirikan di lokasi yang dekat dengan bahan baku (Perusahaan
pengolahan kayu, miniman, makanan, dll).

85
6. Tenaga kerja. Ketersediaan tenaga kerja juga menjadi faktor penting dalam
menentukan lokasi usaha, terutama bagi perusahaan manufaktur yang umumnya
banyak membutuhkan banyak tenaga kerja dalam proses produksinya
7. Masyarakat. Masyarakat merupakan faktor penting dalam penentuan lokasi
usaha mengingat keberadaan perusahaan disamping dapat memberi manfaat
tapi juga bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat, di sekitar usaha
khusunya. Oleh karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan
perusahaan menjadi sangat penting. Sebagai contoh, perusahaan yang
mempekerjakan masyarakat sekitar biasanya tidak mengalami masalah ini,
namun perusahaan yang mengolah sampah atau limbah seringkalai ditolak
keberadaannya oleh masyarakat sekitar.
8. Peraturan Pemerintah. Pemerintah selama ini telah menentukan mana
kawasan untuk pemukiman dan mana untuk industri. Dengan demikian
perusahaan tidak dapat atau akan mengalami kesulitas bila memilih lokasi yang
bukan untuk kawasan industri. Termasuk juga di sini masalah ijin mendirikan
bangunan, ketinggian maksimal bangunan, pembauangan limbah, dan kebijakan
pemerintah lainnya.
9. Listrik, air, telepon. Sarana pendukung ini tidak dapat diabaikan, karena hampir
setiap aktivitas perusahaan membutuhkan listrik, air, dan alat komunikasi.
10. Transportasi. Faktor ini juga penting, karena dengan transportasi ini bahan baku
didatangkan dan bahan jadi akan dikirim. Ter-abaikannya masalah transportasi
akan menimbulkan kesulitas produksi (karena keterlambatan pengiriman bahan
baku misalnya) dan tersendatnya distribusi hasil produksi ke pasar.
11. Sarana prasarana pendukung. Ketersediaan lahan parkir yang memadai, ,
pembuangan limbah, keamanan, fasilitas kesehatan kerja, merupakan faktor
yang juga tidakkalah pentingnya di dalam penentuan lokasi usaha.

METODE-METODE PEMILIHAN LOKASI

Meskipun tidak semua perusahaan menyadari dan menggunakannya, beberapa


metodeilmiah yang biasanya dipergunakan untuk perencanaan dan penentuan lokasi
usaha diantaranyan adalah:

86
11.1 Metode Factor Rating
11.2 Metode Nilai Ideal
11.3 Metode Analisis Ekonomi
11.4 Metode Analisisn Volume Biaya
11.5 Metode Pusat Grafitin (Grid)
11.6 Metode Transportasi

(3) Metode Factor Rating

Penentuan lokasi usaha dengan metode ini dilakukan dengan beberapa langkah
sebagai berikut :
Pertama, menentukan dan mengurutkan faktor-faktor yang diperkirakan akan
mempengaruhi aktivitas perusahaan nantinya.
Kedua, setelah faktor-faktor tersebut diberikan bobot sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Semakin penting pengaruh faktor tersebut pada operasional
perusahaan, semakin besar bobot yang harus diberikan. Perlu diingat bahwa total bobot
dari keseluruhan faktor haruslah 100%.
Ketiga, tentukan beberapa lokasi alternatif usaha, selanjutnya bandingkan beberapa
alternatif lokasi tersebut dengan mengacu pada faktor yang telah ditentukan sebelumnya
Keempat, menganalisis kemungkinan dampak setiap faktor pada masing-masing
lokasialternatif. Lokasi yang lebih baik kondisinya untuk setiap faktor akan diberikan
nilai yang lebih tinggi. Sebagai contoh dalam tabel di bawah, untuk faktor pasar, ternyata
lokasi 1 lebih baik dari lokasi 2, sehingga nilainya diberi lebih tinggi.
Kelima, Setelah semua faktor dibandingkan dan semua lokasi memiliki nilai, kalikan
masing-masing nilai dalam setiap lokasi dengan bobotnya, dan selanjutnya dijumlah ke
bawah. Lokasi yang memiliki nilai total tertinggi akan dipilih menjadi lokasi usaha
perusahaan.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh penggunaan metode Factor Rating berikut ini :

87
Faktor Bobot Lokasi 1 Lokasi 2
Nilai Bx N Nilai Bx N
Pasar 25 100 25 80 20
Bahan baku 20 90 18 100 20
Tenaga kerja 20 100 20 90 18
Listrik, air 15 100 15 80 12
Telepon 10 60 6 100 10
Transportasi 5 80 4 100 5
Perluasan 5 100 5 100 5
Jumlah 100 93 90

Dari contoh perhitungan di atas, lokasi 1 lebih baik, karena memiliki nilai total yang lebih
baik (nilai 93) dibanding dengan lokasi 2 (nilai 90).

(4) Metode Analisis Nilai Ideal


Secara umum penggunaan metode ini mirip dengan metode 1, hanya menggunakan
bobot untuk membedakan berbagai alternatif lokasi yang akan dipilih. Lokasi dengan
total jumlah bobot yang terbesarlah yang akan dipilih sebagai lokasi usaha.

(5) Metode Analisis Ekonomi


Sesuai dengan namanya, dalam menentukan lokasi usaha, yang pertama metode ini
akan membandingkan besaran beberapa kompenen biaya untuk setiap alternatif lokasi
usaha. Sebagai contoh, untuk masalah tenaga kerja, lokasi manakah yang memberikan
perkiraan biaya paling murah, begitu pula untuk komponen biaya lainnya. Lokasi yang
memberikan total biaya paling kecil akan dipilih sebagai olkasi usaha. Namun demikian
tetap harus mempertimbangkan jenis dan karakteristik usaha masing-masing
perusahaan. Bagi perusahaan rokok yang umumnya padat karyawan, tentunya akan
mencari lokasi yang komponen biaya tenaga kerjanya paling murah, karena komponen
inilah yang paling penting. Sehingga bisa saja lokasi tersebut secara total biaya bukan
yang paling murah, namun tetap dipilih, karena pertimbangan tenaga kerja tersebut.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh penggunakaan metode ini :

Faktor Biaya Lokasi 1 2 3 4


B. Tenaga Kerja 380 397 422 452
B. Transportasi 98 90 88 72
B. Umum & Adm 37 27 33 32
88
B. Bahan Baku 17 12 11 18
Total 532 526 554 574

Apabila hanya memperhatikan total biaya yang diperlukan, maka lokasi 2-lah yang
terpilih, namun sekali lagi, penentuan lokasi yang dipilih, sangat tergantung dari tipe
produksi yang dilaksanakan dan faktor apa yang menjadi prioritas tipe produksi tersebut.

Metode di atas biasanya dikombibasi dengan beberapa penilaian secara kualitatif


beberapa faktor berikut ini.
Faktor Non Biaya Lokasi 1 2 3 4
Sikap Masyarakat BS BS B BS
Fasilitas Transport BS B B BS
Keamanan KS BS BS C
Dll.

BS : Baik Sekali C : Cukup


B : Baik KS : Kurang Sekali

Dengan demikian, bisa saja pilihan lokasi usaha jatuh pada alternatif lokasi yang
meskipun secara ekonomi bukan termurah, namun faktor kualitatifnya memiliki nilai
yang bagus.

(6) Metode Analisis Volume Biaya

Metode ini sangat tergantung dari besar kecilnya volume produksi yang akan dihasilkan
yang secara ekonomi, akan berdampak pada biaya produksi variabelnya. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan contoh berikut ini :

Lokasi Bi. Tetap Bi. Variabel Total Biaya


1 320.000 15 (10.000 unit) 470.000

89
2 250.000 20 (10.000 unit) 450.000
3 200.000 30 (10.000 unit) 500.000

Bila hanya memperhatikan contoh pada tabel di atas, di mana volume produksinya
hanya 10.000 unit, maka lokasi terbaik untuk usaha adalah lokasi ke-2, namun bila
angka-angka produksi tersebut digunakan untuk menggambar biaya produksi di
masing-masing lokasi, maka keputusan penentuan lokasinya akan berbeda untuk
volume produksi yang berbeda. Perhatikan gambar berikut dengan cara mengubah-
ubah beberapa alternatif volume produksi (dengan biaya tetap dan variabel seperti
terdapat di tabel atas, maka gambar biaya produksi untuk masing-masing alternatif
lokasi usaha dapat dibuat seperti terlihat pada gambar di atas.
:

Perhatikan, bahwa ketika volume produksi sebesar 0 sampai dengan 5000 (5), maka
lokasi terbaik dan termurah adalah lokasi 3 (garis paling bawah). Selanjutnya,
apabila volume produksi perusahaan mencapai 5000 hingga 14.000, lokasi terbaik
untuk perusahaan adalah di lokasi 2, dan apabila volume produksi lebih dari 14.000,-
maka lokasi usaha terbaik adalah lokasi 1.

(7) Metode Pusat Grafiti (Grid)

90
Metode ini dipakai untuk menentukan lokasi usaha dengan memanfaatkan lokasi
geografis dari pasar yang dimiliki. Langkah-langkah umum yang diperlukan dalam
penggunaan metode ini adalah :
Pertama, tentukan pasar-pasar yang akan dilayani dan tentukan nilai kebutuhan dari
masing-masing pasar tersebut
Kedua, cari koordinat pasar yang akan dilayani tersebut di peta geografis
Ketiga, masukkan data kebutuhan dan koordinat pasar tujuan tadi dalam formulasi di
bawah ini untuk mendapatkan koordinat lokasi usaha.

Formulasi Koordinat Lokasi Usaha yang Optimal adalah :

Xi . Vi Yi . Vi
X = ------------ Y = ---------------
Vi Vi

Dimana :
Vi : Kebutuhan Produk Di Suatu Lokasi
Xi : Koordinat Suatu Tempat Pada Sumbu
XYi : Koordinat Suatu Tempat Pada Sumbu
Y

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini :

91
Misal, kebutuhan di kota A, B, C, D, adalah 20, 30, 15, dan 10 unit. Koordinat kota-kota
tersebut :

Dari data dan peta di atas, dapat dihitung koordinat lokasi usaha yang sebaiknya
dipilih,yakni :

Xi . Vi 10(20) + 18(30) +30(15) + 22(10)


X = = = 18.8o
Vi 20 + 30 + 15 + 10

Y Yi . Vi = 12(20) + 6(30) + 18(15) + 24(10)


= = 12.4o
Vi 20 + 30 + 15 + 10

Jadi lokasi yang disarankan terletak di daerah dengan koordinat 18,8o dan 12,4o (tanda
bintang, dekat kota/pasar D).

(8) Metode Transportasi

Metode ini menjelaskan penentuan lokasi usaha dengan memanfaatkan alokasi


pengiriman yang paling optimal dari lokasi usaha yang akan didirikan, menuju
pasaryang akan dituju, dengan bantuan metode transportasi.

92
Seperti telah diketahui (perhatikan bab Transportasi pada mata kuliah Riset Operasi
sebelumnya), dalam masalah transportasi, secara umum penyelesaian masalah
dilakukan dengan dua tahap, yakni :

Tahap 1, dengan penyelesaian awal, dimana metode yang dapat digunakan adalah :
• Metode NWC (North West Corner)
• Metode LC (Least Cost)
• Metode VAM (Vogel Aproximation Method)
• Metode RAM (Russel Aproximation Method)

Tahap 2, Penyelesaian akhir, dengan metode :


• Stepping Stone
• MODI (Modified Distribution)

Metode MODI sebenarnya merupakan modifikasi dari metode Stepping Stone yang
sudah ada sebelumnya.
Namun demikian, langkah kedua akan digunakan penuh apabila dalam langkah pertama
(penyelesaian awal), masalahnya belum dapat dioptimalka.
Untuk mendapatkan gambaran dari masalah ini, perhatikan contoh berikut ini.

Sebuah perusahaan saat ini beoperasi dengan 3 buah pabrik yang memiliki
kapasitasmasing-masing sebagai berikut :

Pabrik Kapsitas produksi tiap bulan

Pabrik 1 90 ton
Pabrik 2 60 ton
Pabrik 3 50 ton

Total 200 ton

Saat ini ada kebutuhan dari tiga kota besar yang harus dipenuhi, dengan besaran
permintaan masing-masing kota :

93
Kota Kapsitas produksi tiap bulan
A 50 ton
B 110 ton
C 40 ton
Total 200 ton

Perhatikan ! bahwa antara kapasitas pabrik/sumber daya perusahaan dan kebutuhan


masing-masing kota adalah sama, yakni sebesar 200 ton. Apabila dijumpai kasus
semacam ini, maka kasus yang sedang dihadapi adalah normal.

Perkiraan biaya transportasi dari setiap pabrik ke masing-masing kota adalah :

Dari pabrik 1 ke kota A = 20 Dari pabrik 3 ke kota A = 25


Dari pabrik 1 ke kota B = 5 Dari pabrik 3 ke kota A = 10
Dari pabrik 1 ke kota C = 8 Dari pabrik 3 ke kota A = 19
Dari pabrik 2 ke kota A = 15
Dari pabrik 2 ke kota B = 20
Dari pabrik 2 ke kota C = 10

Pertanyaannya adalah :
18. Bagaimana distribusi sumber daya atau kapasitas perusahaan yang paling
optimal,guna memenuhi kebutuhan dari ketiga kota besar tersebut ?
19. Berapakan total biaya optimal yang harus dikeluarkan perusahaan dalam
memenuhi kebutuhan ketiga kota tersebut ?

Jawab :
Untuk menyelesaikan masalah tersebut di atas dan apabila dikaitkan dengan metode
penyelesaian yang dapat digunakan, maka kemungkinan kombinasi metode yang
digunakan adalah sebagai berikut :

94
Kombinasi metode yang
Alternatif
dapatdigunakan

1 NWC – Stepping Stone


2 LC – Stepping Stone
3 VAM – Stepping Stone
4 Russel – Stepping
Stone
5 NWC – MODI
6 LC – MODI
7 VAM – MODI
8 Russel - MODI

Penggunaan alternatif di atas hanya dapat digunakan apabila dalam penyelesaian awal,
hasil optimal belum ditemukan.
Dengan alternatif berapapun ( 1 s.d. 8), hasil optimal yang diperoleh adalah (Langkah-
langkah untuk mendapatkan hasil optimal ini, silahkan lihat catatan bab transportasi
matakuliah OR sebelumnya), :

Ke-
Kota A Kota B Kota C Kapasitas
Dari
2 5 8
Pabrik 1 0 90
60 30
1 20 10
Pabrik 2 5 60
50 10
2 10 19
Pabrik 3 5 50
50

Kebutuhan 50 110 40 200

Pengujian
Sel C11 = 20 – 8 + 10 – 15 =7 (menjadi lebih mahal 7/ton)
Sel C22 = 20 – 5 + 8 – 10 = 13 (menjadi lebih mahal 13/ton)
Sel C31 = 25 – 15 + 10 – 8 + 5 - 10 =7 (lebih mahal 7/ton)
Sel C33 = 19 – 10 + 5 – 8 = 6 (menjadi lebih mahal 6/ton)

95
Dari hasil pengujian tersebut, ternyata semua sel sudah tidak ada yang bernilai negatif
lagi, atau dengan kata lain semua sel sudah tidak dapat memberikan penurunan
biaya lagi, sehingga dengan demikian dapat dikatakan kasus telah optimal, dengan total
biaya :

Biaya mengirim 60 ton dari P1 ke kota B = 60 x 5 = 300


Biaya mengirim 30 ton dari P1 ke kota C = 30 x 8 = 240
Biaya mengirim 50 ton dari P2 ke kota A = 50 x 15 = 750
Biaya mengirim 10 ton dari P2 ke kota C = 10 x 10 = 100
Biaya mengirim 50 ton dari P3 ke kota B = 50 x 10 = 500
+
Total biaya pengirimannya = 1890

Dengan hasil optimal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat melayani 3
pasar yang ada dengan baik, maka lokasi usaha (dalam hal ini pabrik) sebaiknya
ditentukan dengan ketentuan :

Pabrik 1 akan didirikan di lokasi yang mendekati kota/pasar B dan C, dan cenderung
mendekati kota B, karena pabrik 1 hanya akan melayani kedua kota tersebut, serta
pengiriman ke kota B cenderung lebih besar jumlahnya.
Pabrik 2 akan didirikan di dekat kota/pasra A dan C, dan cederung mendekati kota A,
karena pabrik 2 hanya akan melayani kedua kota tersebut, serta pengiriman ke kota A
cenderung lebih besar jumlahnya
Pabrik 3 akan didirikan didekat kota B, karena pabrik 3 tersebut hanya melayani
kota/pasar B saja.

96
PERENCANAAN TATA LETAK (LAY OUT)

Beberapa hal yang dapat membantu dalam perencanaan Lay Out:


• Atap cukup tinggi, hal ini akan memudahkan perusahaan di dalam mengatur
penerangan dan sirkulasi udara.
• Gang-gang cukup lebar, akan meudahkan arus barang dan manusia, dan juga
memudahkan perawatan fasilitas perusahaan
• Daya tahan lantai & bangunan, sangat berguna apabila perusahaan memilih
bangunan berlantai lebih dari satu (bangunan bertingkat).Penting juga bila
perusahaan menggunakan mesin atau fasilitas lain yang berat
• Dudukan mesin yang fleksibel, penting untuk memudahkan perawatan dan
pergantian mesin misalnya
• Fleksibel untuk kondisi ‘Emergency’, Dll

Tujuan Perencanaan Tata Letak:


2. Pemanfaatan fasilitas & peralatan dengan optimal, terutama bagi perusahaan
yang tidak memiliki lahan atau bangunan yang luas
3. Aliran manusia & material menjadi lancar
4. Pemakaian ruang dengan efisien, dalam arti memudahkan pergerakan bahan
danmanusia
5. Memberi ruang gerak yang cukup, untuk kelancaran dan kenyamanan
operasionalperusahaan
6. Biaya investasi & produksi yang rendah,
7. Fleksibilitas untuk perubahan
8. Keselamatan kerja
9. Suasana kerja yang baik
10. Penggunaan tenaga kerja & persediaan yang efisien

97
Jenis-jenis Bangunan yang dapat dipilih:

10.1. Bangunan Berlantai


TunggalKeunggulan:
• Fleksibel / Lebih mudah diperluas, karena tidak tergantung pondasi
bangunan misalnya
• Pergerakan material & manusia lebih murah dan mudah, karena tidak
perlu naik turun tangga/lift
• Cocok untuk peralatan-peralatan berat, dalam arti memudahkan
pemasangan dan operasional kerja, serta dapat mengurangi beban
bangunan
• Cocok untuk produksi masa, karena untuk produksi ini umumnya
menggunakan seragkaian mesin dan roda berjalan yang saling berkaitan
dan membutuhkan ruangan yang luas
• Pengawasan lebih mudah
Kelemahan:
6. Perlu lahan yang luas
7. Penerangan harus cukup
8. Ventilasi / AC harus cukup
9. Sisi artistik atau estetika yang kurang

10.2. Bangunan
BertingkatKebaikan:
• Tidak terlalu memerlukan lahan yang luas karena perluasan tempat
usahadapat dilakukan dengan menambah lantai
• Lebih cocok untuk perusahaan jasa, karena perusahaan jasa
umumnyatidak banyak membutuhkan mesin-mesin dan lebih
mengutamakan pelayanan
• Bangunan lebih menarik untuk konsumen, motivasi karyawan, dll

98
Kelemahan:
9. Investasi Bangunan cukup tinggi / mahal, karena memerlukan pondasi
yang lebih baik dan material yang cenderung lebih mahal (untuk tangga
dan lift misalnya)
10. Sulit diperluas, karena sangat tergantung kekuatan pondasi dan juga
peraturanpemerintah
11. Penanganan material lebih sulit, karena pergerakan bahan menuntut naik
danturun lantai, sehingga tidak mungkin menggunakan roda berjalan,
hanya mengandalkan lift saja
12. Penerangan alam berkurang, karena terhalang oleh lantai-lantai di atasnya
13. Pengawasan cukup sulit, dalam arti membutuhkan pengawasan untuk
tiaplantainya
14. Masalah keamanan, karena semakin tinggi bangunan masalah keamanan
dankeselamatan yang muncul juga akan semakin besar

10.3. Tipe Bangunan Lainnya


Faktor-faktor yang mempengaruhi:
• Biaya lahan & bangunan
• Sarana & prasarana pendukung (komunikasi, k. mandi)
• Keamanan
5. Karakteristik produk & perubahannya
6. Material handling

Jenis-jenis Tata Letak :

Dalam merencanakan tata letak, perusahaan dapat memilih beberapa tipe tata letak
seperti berikut ini, tentunya dengan tidak mengesampikan tipe dan karakteristik aktivitas
dan operasional perusahaan masing-masing. Dengan kata lain, tipe tata letak yang
cocok dan tetap bagi sebuah perusahaan, belum tentu cocok dan tepat bagi perusahaan
lainnya.

99
9. Tata letak proses / tata letak fungsional
Penyusunan tata letak dimana alat yang sejenis atau memiliki fungsi yang sama
ditempatkan pada bagian yang sama
contoh: - Perusahaan pembuat roti
• Perusahaan mebel
• Bengkel

Ilustrasi Layout Proses / Fungsional


Output

Input

A A B B C C D D

A A B B C C D D

Keterangan :
10. : Ruangan dengan kumpulan alat ukur
11. : Ruangan dengan kumpulan alat
penghalusC : Kumpulan alat pengecatan
D : Kumpulan alat pemotong

Keuntungannya:
6. Mesin serba guna, misalnya sebuah alat potong dapat digunakan untuk
memotong berbagi produk dengan desain yang berbeda, sehingga investasi
rendah

10
0
7. Fleksibilitas produk tinggi, artinya dengan peralatan yang tersedia,
perusahaandapat membuat berbagai macam produk yang berbeda satu sama
lainnya.
8. Spesialisasi mesin & karyawan tinggi
9. Memperkecil terhentinya produksi karena merusak salah satu mesin

Kekurangannya:
5. Karena proses & produknya beragam, pengendalian material menjadi lebih sulit
6. Pengawasan lebih sulit
7. Meningkatnya persediaan dalam proses
8. Total waktu produksi / unit lebih lama
9. Memerlukan keterampilan yang lebih tinggi dan penjadwalan lebih sulit

10. Tata Letak (Layout) Produk

Tata letak ini Untuk proses produksi standar & masal.

I
A B C D E
N
O
U
P A B D E
T
P
U
U
A E
T
T

Contoh perusahaan yang menggunakan tata letak produk ini adalah :


3 Perusahaan mie instan
4 Perusahaan pemintalan
5 Perusahaan surat kabar
6 Perusahaan semen
7 Perusahaan minuman, dll.

10
1
Keuntungannya:
5. Aliran & pengendalian material lebih mudah & langsung
6. Pengawasan lebih mudah
7. Persediaan produk dalam proses rendah
8. Tidak memerlukan keterampilan yang tinggi
9. Waktu proses / unit lebih cepat
10. Dapat menggunakan mesin otomatis & ban berjalan
11. Penjadwalan lebih mudah

Kekurangan / kelemahan:
3. Proses produk dapat terganggu jika salah satu mesin rusak
4. Produk tidak fleksibel terhadap perubahan
5. Bersifat monoton jadi membosankan

11. Layout
Kelompok Output

Input

A D A D A D

B C B C B C

Contoh: Universitas, Tempat hiburan


Kebaikan:
(3) Pengawasan lebih mudah
(4) Posisi produk yang berbeda mudah diketahui
(5) Penjadwalan lebih mudah
(6) Pengendalian material lebih mudah

10
2
Kelemahan :
5. Investasi tinggi
6. Butuh keterampilan yang tinggi
7. Bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat

12. Layout Posisi Tetap


Jika dalam lay out-layout lain, produk yang bergerak sesuai tahapan produksinya, maka
pada tata letak jenis ini, justru produk tidak bergerak, bahan baku dan alat produksi-lah
yang mendatangi produk.

A Input A

A Produk A

A A A

Contoh: Bengkel
Industri pesawat, kapal, kereta, dll

Sebab dari perusahaan memilih tata letak ini diantaranya adalah :


5. Karakteristik produk yang tak bisa dipindahkan
6. Risiko pemindahan
7. Perlu ketelitian

Kebaikannya:
c. Gerakan material minim, pengawasan mudah
d. Kesempurnaan produk lebih terjamin
10
3
Kekurangannya:
11. Butuh keterampilan yang tinggi
12. Waktu proses / unit lama
13. Memerlukan ruang yang luas

Metode-metode Dalam Perencanaan Layout

A. Untuk Usaha dengan Layout Produk/Garis

Dalam merencanakan tata letak dengan proses Produk/Garis, pilihan metode yang
dapatdigunakan antara lain adalah :

12. Metode Diagram string

Gudang bahan Pemotongan Mesin Obras Mesin Jahit


baku

Buat lubang & Setrika Pembungkusan Gudang bhn jadi


pasang kancing

Penetaan layout di atas tidak optimal, mengapa ?


Sehingga perlu dilakukan perubahan menjadi seperti berikut ini.

Gudang bahan Pemotongan Mesin Obras Mesin Jahit


baku

Gudang Pembungkusan Setrika Buat lubang


bahan jadi & pasang
kancing

10
4
13. Metode Line Balancing
Untuk mendapatkan kejelasan dari metode ini, perhatikan contoh berikut :
Suatu perusahaan menghasilkan barang melalui suatu departemen perakitan. Hasil
produksi setiap jamnya 10 unit per jam. Data-data lainnya adalah :

Elemen kerja prasyarat


Elemen kerja Waktu ( menit )
yang mendahuluinya

1 3,2 -
2 0,8 1
3 3,0 2
4 3,0 1
5 1,6 1
6 1,2 5
7 1,8 2
8 3,0 3
9 2,8 4
10 2,8 6 dan 7
11 0,8 8
12 2,0 10
13 1,6 9, 11, dan 12

Jumlah 27,6

Langkah 1
Mencari pekerjaan, dan mendata elemen-elemen kerja yang ada ( lihat tabel di atas )
danMencari waktu setiap elemen kerja ( lihat tabel di atas )

Langkah 2
Menyusun precedence diagram
4 9

1 5 6

1
2 7 1 1

3 8 1

10
5
Langkah 3
Menghitung cyrcle time ( c ) yakni waktu maksimum mengerjakan satu unit produk di
suatu work station )
c = ( 1/r )3.600 sekon = ( 1/10 )3.600 sekon
= 350 detik
= 6 menit
Langkah 4
Menghitung jumlah work station

TM ( theoritical minimum ) = n = t/c


= 27,6 menit / 6 menit
= 4,6 dibulatkan 5 stations

Langkah 5
Mencari alternatif alternatif anggota stations

Eleme
Station Alternatif nkerja waktu Waktu Idle
terpilih komulatif

S1 1, 5, 6 1 3.2 3.2 2.8


1, 2, 3 5 1.6 4.8 1.2
1, 2, 7 6 1.2 6.0 0

S2 2, 7, 10 2 0.8 0.8 5.2


2, 7, 3 7 1.8 2.6 3.4
3 3.0 5.6 0.4

S3 4, 9 4 3.0 3.0 3.0


9 2.8 5.8 0.2

S3 8, 10, 11 10 1.8 2.8 3.2


10, 12 12 2.0 4.8 1.2

S5 8, 11, 13 8 3.0 3.0 3.0


11 0.8 3.8 2.2
13 1.6 5.4 0.6

10
6
Langkah 6
Menghitung waktu komulatif setiap alternatif ( lihat tabel )

Langkah 7
Menentukan pilihan wark stations, yang waktu komulatifnya tidak melebihi cyrcle time
dan paling mendekati cyrcle time. ( lihat tabel )

4 9

1 5 6

2 7 1 1 1

3 8 1

Langkah 8
Menghitung tingkat pengangguran dan tingkat efisiensi

Jumlah pengangguran komulatif tiap station ( i ) = 0 + 0.4 + 0.2 + 1.2 + 0.6 = 2,4 menit

Tingkat pengangguran = i / ( n.c ). 100 % = 2,4 / ( 5 x 6). 100 % =8%


Tingkat efisiensi = t / ( n.c ). 100 % = 27,6 / ( 5 x 6 ) . 100 % = 92 %

Jadi, dengan cara ini operasional perusahaan 92 % telah dilakukan secara efisien.
Semakin besar % efisiensi yang dicapai, semakin optimal perusahaan tersebut.

10
7
PERENCANAAN MATERIAL HANDLING

Salah satu alatnya: BEP (Break Even


Point)Model dasarnya:

Rp
Total Pendapatan

Laba Total Biaya

BEP Biaya Variabel


}

Biaya Tetap
Rugi }
Volume

10
8
Notasi-notasi dalam BEP:
BEP (rp) : BEP dalam rupiahBEP (x) : BEP dalam
unit
X : Jumlah unit yang terjualF : Total biaya tetap
v : Biaya variabel per unit
P : Harga jual netto per unit
TR: Total Revenue (Pendapatan total)
TC: Total biaya
: Laba / keuntungant : Pajak keuntungan
BEP dalam unit BEP dalam rupiah TR = TC BEP
(x) = F
P.x = F + v.x P-v
P.x – v.x = F BEP
(x).P = F . P( P –
v )x = F P-v
BEP (x) = F BEP (rp) = F
(P-v) 1- v/P

Contoh:

Sebuah perusahaan memiliki biaya tetap Rp. 1.000.000. Saat ini biaya
tenaga kerja langsungnya Rp. 1.500/unit biaya material Rp. 500/unit.
Apabila harga jual produk Rp. 4.000/unit, tentukanlah:
17. Titik Break Even
18. Apabila keuntungan ditargetkan Rp. 560.000 berapa unit harus dijual?
19. Bila keuntungan tersebut dikenakan pajak 30%, berapa unit
terjual, agarkeuntungan tetap sebesar Rp. 560.000,-?

10
9
DAFTAR PUSTAKA

Fisu, A. A. (2018). Ananlisa Lokasi pada perencanaan Terminal topoyo Mamuju


tengah. Pena TEKNIK: Jurnal ilmiah ilmu ilmu Teknik,3(1) 1-2.

Fisu, A. A. (2016). Potensi Demand Terhadap pengembangan kanal


& panampu sebagai moda transportasi (waterway) di kota makassar.
Jurnal manajemen transportasi & logistik, 3(3).285-298

Fisu, A. A. ( 2016). Analisis dan konsep perencanaan kawasan pelabuhan kota


Penajam sebagai pintu gerbang kab.penajam paser utara kalimantan
Timur.
PENA TEKNIK: jurnnal ilmiah ilmu-ilmu teknik, 1(2), 125-136

Hafid,Z.,Fisu, A. A., Humang,W.P.,& Natsir, R. (2002). Application of the


PPP Scheme on the tourism-transportation,case study: The concept Of
Palopo City Tourism. PENA TEKNIK: jurnal ilmiah ilmu-ilmu Teknik
7(1),35-52.

Marsus,B.,Indriani, N. K., Darmawan ,V.,& Fisu, A. A (2020). Pengaruh Panjang


Infrastruktur Jalan Terhadap PDRB Dan Pertumbuhan Ekonomi Kota
Palopo.

Nurhijrah,N., & Fisu, A. A (2020). Place Memory Masyarakat pada Bangunan


Cagar Budaya di Kota Palopo. RUAS (Review of Urbanism and
Architectural Studies), 17(2), 63-70.

Sri Soedewi Masjchun sofwan, 1982, Hukum Bangunan: perjanjian


Pemborongan Bangunan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

J. Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suratman dan Philips Dillah,2012, Metode Penelitian Hukum: Dilengkapi


Tata Cara & Contoh Penulisan Karya Ilmiah Bidang Hukum, Alfabeta.

Amiruddin & Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

11
0

Anda mungkin juga menyukai