GRACE IGNACIA
KELAS A/ 5616221076
HUKUM PERIKATAN
2017
A. Sejarah Perkembangan Dan Pengaturan Dasar Hukum Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/ Bot) di Indonesia
Istilah Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pertama kali ditemukan secara
resmi dalam peraturan perundang-undangan positif Indonesia adalah pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan
terhadap Pihak-pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah
(Build Operate and Transfer). Pengaturan ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada
pengaturan pajak penghasilan dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement).
Selanjutnya diterbitkan juga beberapa peraturan lain di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan (dahulu Departemen Keuangan) yang mengadopsi istilah resmi Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu diantaranya:
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan sehubungan dengan Perjanjian
Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996
tentang Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan;
3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-144/PJ.33/1996 tanggal 20 Agustus 1996 tentang
Penjelasan mengenai Penyusutan Bangunan di atas Tanah Sewa dan Pemotongan PPh
Pasal 23.
Seluruh peraturan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ini pada dasarnya
merupakan turunan atau peraturan pelaksana dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
248/KMK.04/1995 yang menitikberatkan pada pengaturan pajak penghasilan atas pelaksanaan
Bangun Guna Serah dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement). Dengan demikian, peraturan-peraturan ini
tidak dapat dijadikan acuan dalam pembahasan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/ BOT).
Pada tahun 2001, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (saat ini dikenal dengan
Menteri Dalam Negeri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Keputusan ini tidak
menggunakan istilah Bangun Guna Serah, tetapi menggunakan isitlah pengguna usahaan untuk
merujuk pada pengertian yang sama. Angka 29 Keputusan Menteri tersebut menyatakan
Pemanfaatan adalah Pendayagunaan barang daerah oleh instansi atau pihak ketiga dalam bentuk
pinjam pakai, penyewaan dan pengguna usahaan tanpa merubah status pemilikan.
Lebih lanjut Pasal 36 Keputusan tersebut tentang Pengguna Usahaan menyatakan: Barang
daerah yang diguna usahakan dalam bentuk kerjasama dengan Pihak Ketiga diatur oleh Kepala
Daerah.
Ketentuan Pasal 36 ini merupakan pasal pengaturan yang sangat minim dan memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada Kepala Daerah tanpa memberikan petunjuk lebih lanjut dalam
mengadakan pengguna usahaan barang milik daerah. Pada saat berlakunya Keputusan Menteri
ini, seluruh Kepala Daerah di seluruh Indonesia diberikan keleluasaan dalam mengadakan
perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dengan pihak lain. Hal ini tentu
saja sangat rawan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam pengelolaan barang
milik daerah karena:
a. Tidak ada keseragaman dalam pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/
BOT) di antara daerah-daerah di Indonesia, baik mengenai syarat, prosedur maupun tata
laksananya;
b. Ketidakseragaman tersebut menimbulkan tidak optimalnya pengawasan atas pelaksanaan
Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di seluruh daerah Indonesia;
c. Rawan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena memberikan kekuasaan dan
kewenangan yang sangat luas kepada Kepala Daerah.
Untuk pertama kalinya di dalam sejarah hukum positif Indonesia, PP Nomor 6 Tahun 2006
telah memberikan defenisi baku mengenai Bangun Guna Serah yaitu pada angka 12 yang
menyatakan:
Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati,
untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
PP Nomor 6 Tahun 2006 ini juga telah menetapkan asas pengelolaan barang milik
negara/daerah yaitu asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pasal 13 menyatakan bahwa status penggunaan barang milik
daerah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota. Pasal yang mengatur mengenai landasan
Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) adalah Pasal 15 dan Pasal 20 yang
menyatakan:
g. Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik daerah hasil bangun guna
serah harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintah.
h. Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang kurangnya
memuat
1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
2) Objek bangun guna serah;
3) Jangka waktu bangun guna serah;
4) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
5) Persyaratan lain yang dianggap perlu.
i. Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah harus diatasnamakan Pemerintah
Daerah.
j. Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan
bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
k. Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna
serah kepada gubernur/bupati/walikota pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah.
Sebagai aturan pelaksana dari PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut, Pemerintah menerbitkan
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007. Permendagri ini disusun dengan salah satu konsideran yaitu
PP Nomor 6 Tahun 2006. Permendagri ini mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.
Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar, yang pada
gilirannya dapat mewujudkan pengelolaan barang milik daerah dengan memperhatikan azas-azas
sebagai berikut:
Azas-azas ini harus diterapkan dan dijewantahkan secara konsisten dalam pengelolaan
Barang Milik Daerah sehingga tujuan penyusunan Permedagri Nomor 17 Tahun 2007 ini dapat
tercapai yaitu sebagai pedoman pelaksanaan bagi pejabat/ aparat pengelola barang milik daerah
secara menyeluruh sehingga dapat dipakai sebagai acuan oleh semua pihak dalam rangka
melaksanakan tertibadministrasi pengelolaan barang milik daerah.
Permendagri ini disusun dengan maksud menyeragamkan langkah dan tindakan yang
diperlukan dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1
1
Angka 2 bagian Umum Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tanggal 21 Maret 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pengaturan mengenai prinsip Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini pada dasarnya sejalan dan sama dengan pengaturan
dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hanya saja, Permendagri ini memberikan pengaturan yang lebih
rinci dibandingkan PP Nomor 6 Tahun 2006. Salah satunya adalah mengenai defenisi Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) yaitu sebagai berikut:
Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah pemanfaatan tanah dan/atau
bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai
dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas tanah tanah dan/atau
bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama kurun waktu tertentu untuk kemudian
setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana
lain berikut fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah.
Beberapa penambahan ketentuan mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini adalah sebagaimana dinyatakan
dalam Lampiran VII bagian Pemanfaatan, yaitu sebagai berikut:
a. Penetapan mitra kerjasama Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/ lelang
dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 5 peserta/ peminat, apabila diumumkan 2
kali berturut-turut peminatnya kurang dari 5, dapat dilakukan proses pemilihan langsung
atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik tekhnis maupun harga.
b. Dasar pertimbangan bangun guna serah atas barang milik daerah yaitu :
1) Barang milik daerah belum dimanfaatkan;
2) Mengoptimalisasikan barang milik daerah;
3) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas;
4) Menambah/ meningkatkan pendapatan daerah; dan
5) Menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Pemerintah Daerah.
c. Persyaratan pelaksanaan Bangun Guna Serah:
1) Gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai dengan kebutuhan Pemerintah
Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi.
2) 2) Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan.
3) Dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD.
4) Bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh Pihak
Ketiga.
5) Mitra bangun guna serah harus mempunyai kemampuan dan keahlian.
6) Obyek Bangun Guna Serah berupa sertifikat tanah hak pengelolaan (HPL) milik
Pemerintah Daerah tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan pemindahtangankan.
7) Pihak Ketiga akan memperoleh Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah
Daerah.
8) Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan jaminan,
diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungan dimaksud akan
hapus dengan habisnya hak guna bangunan.
9) Izin mendirikan bangunan atas nama Pemerintah Daerah.
10) Obyek pemeliharaan meliputi tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya.
11) Mitra kerja bangun guna serah membayar kontribusi ke kas Daerah setiap tahun
selama jangka waktu pengoperasian.
12) Besaran konstribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan Tim yang dibentuk
dengan Keputusan Kepala Daerah dengan memperhatikan antara lain:
a) Nilai aset berupa tanah milik pemerintah daerah sebagai obyek bangun guna
serah ditetapkan sesuai NJOP dan harga pasaran umum setempat dibagi dua,
dan apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan harga pasaran umum
setempat yang berbeda, dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang
ada.
b) Apabila pemanfaatan tanah tidak merubah status penggunaan/ pemanfaatan
(fungsi), dimana pola bangun guna serah dilakukan pembangunannya dibawah
permukaan tanah, maka nilai tanahnya diperhitungkan separuh (50 %) dari
nilai sebagaimana dimaksud huruf (a).
c) Peruntukan bangun guna serah untuk kepentingan umum dan atau
kepentingan perekonomian/ perdagangan.
d) Besaran nilai investasi yang diperlukan/disediakan pihak ketiga.
e) Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD.
13) Selama masa pengoperasian, tanah dan/atau bangunan tetap milik pemerintah daerah.
14) Penggunaan tanah yang dibangun harus sesuai dengan rencana umum tata ruang
wilayah /kota (rutrwk).
15) Jangka waktu pengguna-usahaan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak dimulai
masa pengoperasian.
16) Biaya penelitian, pengkajian, penaksir dan pengumuman lelang, dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
17) Pelaksanaan penelitian, pengkajian dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan dengan sk
kepala daerah dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
18) Biaya yang berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat
perjanjian, konsultan pelaksana/pengawas, dibebankan pada Pihak Ketiga.
d. Prosedur/tata cara pelaksanaan Bangun Guna Serah Permohonan penggunausahaan
ditujukan kepada Panitia tender/lelang dengan dilengkapi data-data sebagai berikut:
1) Akte pendirian.
2) Memiliki siup sesuai bidangnya.
3) Telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya.
4) Mengajukan proposal.
5) Memiliki keahlian dibidangnya
6) Memiliki modal kerja yang cukup.
7) Data teknis :
a) Tanah : Lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini.
b) Bangunan : Lokasi/alamat, luas,status kepemilikan.
c) Rencana Pembangunan gedung dengan memperhatikan KDB (Koefisien
d) Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan), Rencana
e) Pembangunan, dsb.
e. Pelaksanaan bangun guna serah atas barang milik daerah ditetapkan dalam Surat
Perjanjian yang memuat antara lain :
1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
2) Obyek bangun guna serah;
3) Jangka waktu bangun guna serah;
4) Pokok- pokok mengenai bangun guna serah;
5) Data barang milik daerah yang menjadi objek bangun guna serah;
6) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
7) Jumlah/besarnya kontribusi yang harus dibayar oleh pihak ketiga;
8) Sanksi;
9) Surat perjanjian ditandatangani oleh pengelola atas nama kepala daerah dan
10) mira kerjasama;
11) Persyaratan lain yang dianggap perlu.
Permenkeu ini hanya berlaku untuk barang milik pemerintah pusat terlihat juga dari
defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pada Lampiran V yang menyatakan
sebagai berikut:
Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak
lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut
fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka
waktu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa pengaturan mengenai
pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di Indonesia telah
perubahan berikutnya masih tetap terbuka jika Pemerintah merasa peraturan yang ada
saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat pada umumnya.
B. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam Hukum
Perdata Indonesia
kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Jika tanah tersebut dikelola
oleh Pemerintah Pusat maka akan dicatat dan dikelompokkan sebagai Barang Milik
Negara dan sebaliknya jika tanah tersebut dikelola oleh Pemerintah Daerah maka
45
Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah.
tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah.
Pengelolaan barang milik daerah sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah
memberikan pengertian yang lebih luas mengenai defenisi Barang Milik Daerah yaitu
sebagai berikut:
Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang
merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan
dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.
perundang-undangan;
b. Barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik
pokok Agraria;
47
Pemerintahan;
Keuangan Daerah;
Milik Negara/Daerah;
48
ini harus menjadi catatan dan perhatian bagi seluruh pengguna ketentuan
tersebut, terutama dalam hal ini Pemerintah Daerah karena setiap pelaksanaan
2) Pengadaan;
3) Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;
4) Penggunaan;
5) Penatausahaan;
6) Pemanfaatan;
49
8) Penilaian;
9) Penghapusan;
10) Pemindahtanganan;
12) Pembiayaan;
daerah yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja
bangun guna serah, bangun serah guna dengan tidak merubah status
kepemilikan.
imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, barang milik daerah
50
sarana lain berikut fasilitas diatas tanah dan/atau bangunan tersebut dan
51
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa jenis bentuk pemanfaatan Barang
Milik Daerah telah diatur secara terbatas (limitatif) ke dalam 5 (lima) jenis
Jika pengelolaan Barang Milik Daerah merubah status kepemilikan maka hal
Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan secara tegas bahwa Suatu Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.52 Sudikno menyatakan bahwa perjanjian adalah
hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
52R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Terjemahan KUH Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994),
hal. 306. 53Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, (Yogyakarta, Liberty, 1998), hal. 97.
54M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 6.
52
hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji
itu.55
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu
53
1. Suatu perbuatan;
2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);
tersebut.61
ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut masih terasa kurang memuaskan
Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata kerja mengikatkan sifatnya
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya
perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada konsensus antara pihak
pihak.
60Steven H. Gifis dalam Kusumati Dwiatmaja, Makalah - Perjanjian dalam Bidang Keuangan,
disajikan pada Seminar Penyusunan Kontrak Keuangan, LP3i, 2011. 61Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 7.
62Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 78-79.
54
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
a. Unsur essensialia;
63Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 98-99. 64R. M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum
Perikatan, (Bandung: Tarsiro, 1985), hal. 75. 65J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992), hal. 57.
55
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam
suatu perjanjian, unsur mutlak dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian
b. Unsur naturalia;
Dengan demikian, apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian
merupakan bawaan pada perjanjian. Sifat unsur ini adalah aanvullend recht
(hukum mengatur).
c. Unsur accidentalia.
Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas
dalam perjanjian. Unsur ini diatambahkan oleh para pihak dalam perjanjian
dan tidak diatur dalam undang-undang. Jika tidak diperjanjikan maka unsur
56
secara lisan melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa
kewajiban telah lahir pada pihak terhadap siapa yang telah berjanji untuk
66Subekti, Op. Cit., hal. 1. 67Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 80. 68Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 8-13.
pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji
untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak
melakukan atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian semacam ini dapat kita
temui misalnya dalam perjanjian mengenai hibah yang diatur dalam Pasal
1682 KUH Perdata yang memperlihatkan pada kita bahwa pada prinsipnya
hibah harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman hibah tersebut akan
batal jika tidak dibuat dengan akta notaris. Pernyataan bahwa hibah harus
dibuat dengan akta notaris merupakan formalitas yang harus dipenuhi agar
hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian
hibah tersebut.
dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang
58
kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
voorwarde).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang
pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak
akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
59
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Apakah suatu
maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang
dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka jika salah
satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.
suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh
para pihak yang membuat perjanjian itu.
atau ketertiban umum, kita merdeka untuk menciptakan perjanjian apa saja yang
tidak disebutkan dalam Buku III KUH Perdata. Dan memang dalam praktek
60
banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
ruangan dalam Buku III itu. Misalnya saja hal seorang yang menginap di suatu
hotel dengan mendapat makanan dan pelayanan. Perjanjian apakah yang ia tutup
dengan pemilik hotel? Bukan sewa menyewa kamar, sebab ia mendapat makanan
dan pelayanan; juga bukan jual beli makanan dan minuman, sebab ia menginap
juga disitu. Inilah suatu contoh dari suatu onbenoemde overeenkomst, suatu
sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hukum di atas adalah hal yang lumrah dan
pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. Lebih lanjut, Taryana
hukum, yaitu:
61
2. Prinsip iktikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Ada tiga unsur prinsip iktikad baik dan transaksi jujur, yaitu:
(a) Iktikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi
kontrak;
(b) Prinsip iktikad baik dan transaksi jujur ditekankan pada praktik
perdagangan internasional;
bisnis di negara lain, di dalam praktik harus tunduk pada hukum kebiasaan
setempat.
(d) Praktik kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan,
umum.
62
Praktik yang sudah biasa berlaku di antara para pihak secara otomatis akan
mengikat para pihak, kecuali apabila mereka sepakat secara tegas untuk
antara para pihak, hal itu tergantung pada situasi dan kondisi dari setiap
kasus. Akan tetapi, suatu praktik yang baru satu kali dilakukan dalam
Prinsip hukum yang berlaku bagi proses negosiasi adalah sebagai berikut:
Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang
terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada informasi yang memiliki
yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para
63
bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan
kata lain, apabila para pihak bebas menentukan fakta mana yang relevan
bukan rahasia. Yakni informasi yang pihak lain dapat membukanya kepada
orang ketiga atau menggunakannya untuk kepentingan sendiri walaupun
Apa yang menentukan bahwa suatu kontrak merupakan suatu kontrak baku?
Penekanannya adalah pada fakta bahwa syarat baku itu secara nyata telah
digunakan dan ditentukan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan
pihak lainnya. Pihak yang kedudukannya lebih lemah harus dilindungi dalam
Suatu kontrak adalah sah, bahkan apabila harta yang menjadi objek kontrak
(gross disparity)
Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksaan dari prinsip iktikad baik
(good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan dan
64
diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran yang berlawanan
Cara pemberlakuan aturan ini akan tergantung pada hal-hal sebagai berikut:
(b) Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi
(c) Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat
65
Apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak
Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menegaskan bahwa sebagai akibat
beban yang dapat dipikul oleh pihak yang melaksanakan. Dengan kata lain,
kontrak menjadi tidak berarti bagi pihak lain, kontrak bagaimanapun juga
majeur)
Wanprestasi dapat dimaafkan dengan alasan sikap perilaku pihak lain dari
66
diharapkan.
(a) Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat dimaafkan
(b) Apabila rintangan hanya bersifat sementara maka pemberian maaf akan
tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar setelah
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pacta Sunt
Servande).73
67
Pasal 1338 KUH Perdata mengatur Semua perjanjian yang dibuat secara
kalimat ini, dimaksudkan tidak lain bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara
pihak. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan
oleh undang-undang.74
Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ini merupakan konsekuensi
logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap
tersebut oleh debitor (schuld). Dalam hal ini ditentukan siapa debitor yang
kedua hal tersebut (schuld dan haftung) terletak di pundak debitor. Ini berarti
68
Perdata, pernyataan yang dimuat dalam Pasal 1338 KUH Perdata menguatkan
kembali atau menegaskan kembali asas personalia dari suatu perjanjian. Agak
perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih dalam
formil. Alasan mengapa perjanjian formil yang harus dibuat secara tertulis dan
kadangkala harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang adalah
1) Penyerahan hak milik dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut Pasal
613 dan 616 KUH Perdata harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau
akta di bawah tangan. Khusus mengenai hak atas tanah, ketentuannya dapat
2) Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang materi muatannya perlu dan harus
diketahui oleh umum. Pada umumnya jenis perjanjian ini dapat ditemukan
69
dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang
penting dalam hukum perdata Indonesia. Perjanjian telah ikut membentuk hukum
perdata Indonesia sebagai hukum positif. Perjanjian adalah satu bagian utama
dan pokok dari hukum perdata Indonesia. Tanpa perjanjian, mustahil KUH
Perdata dapat disusun seperti yang ada saat ini.77 Perjanjian tidak hanya memiliki
peranan penting bagi para pihak yang membuatnya,78 tetapi juga memberikan
manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pihak lain.
3. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam
Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu
76Ibid. hal. 60-61. 77Hasanuddin Rahman, Op. Cit., hal. 3. 78Ibid. hal. 3.
70
yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana,
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan
kembali) adalah tanah pemerintah dibangun oleh pihak ketiga dan setelah
bersangkutan untuk jangka waktu tertentu. Tanah dan bangunan tersebut harus
79Angka 1 Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik
Negara. 80Angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.
81Angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.
71
2008 yaitu:
Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah, dalam
bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah
dengan tidak mengubah status kepemilikan.83
82Yoga Puspita, Op. Cit. hal. 1. 83Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah.
72
2) Antara sekurangnya dua pihak (jadi dapat lebih dari dua pihak);
berjanji tersebut.84
pendayagunaan oleh pihak lain yaitu dalam hal ini pihak swasta;
2) Terdapat dua pihak atau lebih yaitu Pemerintah selaku pemilik tanah
swasta untuk tujuan dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian.
73
Dengan telah dipenuhinya unsur-unsur perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata
c. Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam
1) Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana
3) Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;
6) Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja yang
7) Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan
74
8) Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan dikemudian
hari, seperti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam
sangat wajar dan sangat beralasan demi hukum, pelaksanaan Bangun Guna Serah
Walau demikian, hingga saat ini tidak ditemukan literatur yang mengatur
yaitu:
Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih
dengan defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu:
Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain dengan
mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak
lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta
bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang
setelah berakhirnya jangka waktu.
75
dalam hal pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain tersebut
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
2) Perjanjian atas beban yaitu perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
Muljadi dan Gunawan Widjaja87 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build
tertulis; dan
86Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit. hal. 80. 87Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.
Cit., hal. 8-13.
76
yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak
penyerahan tanah milik pemerintah kepada pihak lain, pengelolaan oleh pihak
Soenandar88 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT
Agreement) termasuk dalam jenis kontrak formal dan kontrak timbal balik.
maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement)
termasuk dalam jenis perikatan yang tidak dapat dibagi dan perjanjian tidak
bernama (onbenoemde overeenkomst).
inisiatif dan pendanaan dari pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam
88Taryana Soenandar, Op. Cit. hal. 106. 89Subekti, Op. Cit. hal. 128 s.d. 131.
77
adalah untuk mendapatkan pendanaan dari pihak swasta serta sumber daya yang
sebanding dengan risiko dan tingkat return on investment; risiko lebih tinggi jika
secara ekonomi proyek tersebut tidaklah ekonomis. Dalam keadaan seperti itu,
memakan waktu yang lama, membuat proyek BOT lebih mahal daripada jika
pemerintah mengerjakan proyek itu sendiri. Jadi, ketika proyek dianggap tidak
devaluasi mata uang lokal.90 Dengan kata lain, Perjanjian Bangun Guna Serah
hukum yang ada yaitu pemerintah merasa lebih diuntungkan dengan memberikan
dikembalikan kepada pemerintah dalam kondisi dan sesuai jangka waktu yang
diperjanjikan.
78
Di sisi lain, Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT
Agreement) sebagai salah satu dari sekian banyak perjanjian tidak bernama
atau Party Autonomy. Istilah yang pertama lebih umum dipakai daripada yang
kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal
sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.91
Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu
dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:
91Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal.
22. 92Ibid.,hal. 12. 93Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 45-46.
79
dasar eksistensi dan landasan prinsip yang sah sehingga menjadi suatu jenis
Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) secara khusus memiliki
Perjanjian dapat mengisi kekosongan hukum dan dapat menjadi solusi alternatif
Berdasarkan hal tersebut, menjadi jelas bahwa Perjanjian Bangun Guna Serah
(Build Operate Transfer/ BOT Agreement) merupakan salah satu bagian kecil dari
begitu banyaknya jenis perjanjian yang ada saat ini tetapi Perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) tersebut memiliki peranan yang