Anda di halaman 1dari 51

PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH (BUILT OPERATE TRANSFER/ BOT)

GRACE IGNACIA

KELAS A/ 5616221076

HUKUM PERIKATAN

DR. TETTI SAMOSIR

MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS PANCASILA

2017
A. Sejarah Perkembangan Dan Pengaturan Dasar Hukum Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/ Bot) di Indonesia

Istilah Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pertama kali ditemukan secara
resmi dalam peraturan perundang-undangan positif Indonesia adalah pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan
terhadap Pihak-pihak yang Melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah
(Build Operate and Transfer). Pengaturan ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada
pengaturan pajak penghasilan dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement).

Selanjutnya diterbitkan juga beberapa peraturan lain di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan (dahulu Departemen Keuangan) yang mengadopsi istilah resmi Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu diantaranya:

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal 14 Juli 1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan sehubungan dengan Perjanjian
Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17);
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 tanggal 26 Agustus 1996
tentang Pembayaran PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan;
3. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-144/PJ.33/1996 tanggal 20 Agustus 1996 tentang
Penjelasan mengenai Penyusutan Bangunan di atas Tanah Sewa dan Pemotongan PPh
Pasal 23.

Seluruh peraturan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ini pada dasarnya
merupakan turunan atau peraturan pelaksana dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
248/KMK.04/1995 yang menitikberatkan pada pengaturan pajak penghasilan atas pelaksanaan
Bangun Guna Serah dan bukan mengenai prosedur atau pelaksanaan Perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement). Dengan demikian, peraturan-peraturan ini
tidak dapat dijadikan acuan dalam pembahasan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/ BOT).
Pada tahun 2001, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (saat ini dikenal dengan
Menteri Dalam Negeri) menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Keputusan ini tidak
menggunakan istilah Bangun Guna Serah, tetapi menggunakan isitlah pengguna usahaan untuk
merujuk pada pengertian yang sama. Angka 29 Keputusan Menteri tersebut menyatakan
Pemanfaatan adalah Pendayagunaan barang daerah oleh instansi atau pihak ketiga dalam bentuk
pinjam pakai, penyewaan dan pengguna usahaan tanpa merubah status pemilikan.

Lebih lanjut Pasal 36 Keputusan tersebut tentang Pengguna Usahaan menyatakan: Barang
daerah yang diguna usahakan dalam bentuk kerjasama dengan Pihak Ketiga diatur oleh Kepala
Daerah.

Ketentuan Pasal 36 ini merupakan pasal pengaturan yang sangat minim dan memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada Kepala Daerah tanpa memberikan petunjuk lebih lanjut dalam
mengadakan pengguna usahaan barang milik daerah. Pada saat berlakunya Keputusan Menteri
ini, seluruh Kepala Daerah di seluruh Indonesia diberikan keleluasaan dalam mengadakan
perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dengan pihak lain. Hal ini tentu
saja sangat rawan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam pengelolaan barang
milik daerah karena:

a. Tidak ada keseragaman dalam pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/
BOT) di antara daerah-daerah di Indonesia, baik mengenai syarat, prosedur maupun tata
laksananya;
b. Ketidakseragaman tersebut menimbulkan tidak optimalnya pengawasan atas pelaksanaan
Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di seluruh daerah Indonesia;
c. Rawan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena memberikan kekuasaan dan
kewenangan yang sangat luas kepada Kepala Daerah.

Menyadari permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan dan sebagai peraturan


pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka
pada tahun 2006 Pemerintah menerbitkan aturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (selanjutnya disebut PP Nomor 6
Tahun 2006). Dibandingkan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, pengaturan mengenai
Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) di dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 ini telah
mengalami perbaikan yang signifikan.

Untuk pertama kalinya di dalam sejarah hukum positif Indonesia, PP Nomor 6 Tahun 2006
telah memberikan defenisi baku mengenai Bangun Guna Serah yaitu pada angka 12 yang
menyatakan:

Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati,
untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.
PP Nomor 6 Tahun 2006 ini juga telah menetapkan asas pengelolaan barang milik
negara/daerah yaitu asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai. Pasal 13 menyatakan bahwa status penggunaan barang milik
daerah ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota. Pasal yang mengatur mengenai landasan
Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) adalah Pasal 15 dan Pasal 20 yang
menyatakan:

Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan


tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk
dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok
dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa:
a. Sewa;
b. Pinjam pakai;
c. Kerjasama pemanfaatan;
d. Bangun guna serah dan bangun serah guna.
Ketentuan pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) khusus untuk barang
milik daerah selanjutnya diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 31 yaitu sebagai berikut:

a. Bangun Guna Serah dilaksanakan dengan persyaratan:


1) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan
2) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk
penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.
b. Bangun Guna Serah barang milik daerah dilaksanakan oleh pengelola barang setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
c. Penetapan status penggunaan barang milik negara/daerah sebagai hasil dari pelaksanaan
bangun guna serah dilaksanakan oleh gubernur/bupati/walikota dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah terkait.
d. Jangka waktu bangun guna serah paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian
ditandatangani.
e. Penetapan mitra bangun guna serah dilaksanakan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.
f. Mitra bangun guna serah yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian
harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
1) Membayar kontribusi ke rekening kas umum daerah setiap tahun, yang besarannya
ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang
berwenang;
2) Tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahtangankan objek bangun guna
serah;
3) Memelihara objek bangun guna serah.

g. Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagian barang milik daerah hasil bangun guna
serah harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintah.
h. Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang kurangnya
memuat
1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
2) Objek bangun guna serah;
3) Jangka waktu bangun guna serah;
4) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
5) Persyaratan lain yang dianggap perlu.
i. Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah harus diatasnamakan Pemerintah
Daerah.
j. Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan
bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
k. Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna
serah kepada gubernur/bupati/walikota pada akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah.

Seiring dengan perkembangan jaman, Pemerintah merasa bahwa terdapat ketentuan-


ketentuan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
masyarakat saat itu sehingga Pemerintah mengadakan perubahan atas PP Nomor 6 Tahun 2006
tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negera/ Daerah (untuk
selanjutnya disebut dengan PP Nomor 38 Tahun 2008). Tetapi khusus mengenai ketentuan-
ketentuan terkait Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT), tidak terdapat ketentuan
pasal yang mengalami perubahan dalam PP Nomor 38 Tahun 2008. Dengan demikian, ketentuan
mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yang berlaku saat ini adalah
ketentuan sebagaimana diatur PP Nomor 6 Tahun 2006.

Sebagai aturan pelaksana dari PP Nomor 6 Tahun 2006 tersebut, Pemerintah menerbitkan
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007. Permendagri ini disusun dengan salah satu konsideran yaitu
PP Nomor 6 Tahun 2006. Permendagri ini mencabut Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor152 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.

Permendagri ini berlaku sebagai pedoman pelaksanaan bagipejabat/apparat pengelola barang


milik daerah secara menyeluruh sehingga dapatdipakai sebagai acuan oleh semua pihak dalam
rangka melaksanakan tertibadministrasi pengelolaan barang milik daerah. Pada bagian Umum
lampiran Permendagri ini disebutkan asas pengelolaan barang milik daerah yaitu sebagai berikut:

Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar, yang pada
gilirannya dapat mewujudkan pengelolaan barang milik daerah dengan memperhatikan azas-azas
sebagai berikut:

a. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang


pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang,
pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenangdan
tanggungjawab masing-masing;
b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;
c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus
transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar;
d. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah
digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka
menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;
e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat;
f. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya
ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan
pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah.

Azas-azas ini harus diterapkan dan dijewantahkan secara konsisten dalam pengelolaan
Barang Milik Daerah sehingga tujuan penyusunan Permedagri Nomor 17 Tahun 2007 ini dapat
tercapai yaitu sebagai pedoman pelaksanaan bagi pejabat/ aparat pengelola barang milik daerah
secara menyeluruh sehingga dapat dipakai sebagai acuan oleh semua pihak dalam rangka
melaksanakan tertibadministrasi pengelolaan barang milik daerah.

Permendagri ini disusun dengan maksud menyeragamkan langkah dan tindakan yang
diperlukan dalam pengelolaan barang daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1

1
Angka 2 bagian Umum Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tanggal 21 Maret 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pengaturan mengenai prinsip Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam
Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini pada dasarnya sejalan dan sama dengan pengaturan
dalam PP Nomor 6 Tahun 2006. Hanya saja, Permendagri ini memberikan pengaturan yang lebih
rinci dibandingkan PP Nomor 6 Tahun 2006. Salah satunya adalah mengenai defenisi Bangun
Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) yaitu sebagai berikut:

Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah pemanfaatan tanah dan/atau
bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai
dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas tanah tanah dan/atau
bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama kurun waktu tertentu untuk kemudian
setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana
lain berikut fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah.
Beberapa penambahan ketentuan mengenai Bangun Guna Serah (Build Operate
Transfer/BOT) dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 ini adalah sebagaimana dinyatakan
dalam Lampiran VII bagian Pemanfaatan, yaitu sebagai berikut:

a. Penetapan mitra kerjasama Bangun Guna Serah dilaksanakan melalui tender/ lelang
dengan mengikut sertakan sekurang-kurangnya 5 peserta/ peminat, apabila diumumkan 2
kali berturut-turut peminatnya kurang dari 5, dapat dilakukan proses pemilihan langsung
atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik tekhnis maupun harga.
b. Dasar pertimbangan bangun guna serah atas barang milik daerah yaitu :
1) Barang milik daerah belum dimanfaatkan;
2) Mengoptimalisasikan barang milik daerah;
3) Dalam rangka efisiensi dan efektifitas;
4) Menambah/ meningkatkan pendapatan daerah; dan
5) Menunjang program pembangunan dan kemasyarakatan Pemerintah Daerah.
c. Persyaratan pelaksanaan Bangun Guna Serah:
1) Gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai dengan kebutuhan Pemerintah
Daerah sesuai dengan tugas dan fungsi.
2) 2) Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan.
3) Dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD.
4) Bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh Pihak
Ketiga.
5) Mitra bangun guna serah harus mempunyai kemampuan dan keahlian.
6) Obyek Bangun Guna Serah berupa sertifikat tanah hak pengelolaan (HPL) milik
Pemerintah Daerah tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan pemindahtangankan.
7) Pihak Ketiga akan memperoleh Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah
Daerah.
8) Hak Guna Bangunan diatas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan jaminan,
diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungan dimaksud akan
hapus dengan habisnya hak guna bangunan.
9) Izin mendirikan bangunan atas nama Pemerintah Daerah.
10) Obyek pemeliharaan meliputi tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya.
11) Mitra kerja bangun guna serah membayar kontribusi ke kas Daerah setiap tahun
selama jangka waktu pengoperasian.
12) Besaran konstribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan Tim yang dibentuk
dengan Keputusan Kepala Daerah dengan memperhatikan antara lain:
a) Nilai aset berupa tanah milik pemerintah daerah sebagai obyek bangun guna
serah ditetapkan sesuai NJOP dan harga pasaran umum setempat dibagi dua,
dan apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan harga pasaran umum
setempat yang berbeda, dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang
ada.
b) Apabila pemanfaatan tanah tidak merubah status penggunaan/ pemanfaatan
(fungsi), dimana pola bangun guna serah dilakukan pembangunannya dibawah
permukaan tanah, maka nilai tanahnya diperhitungkan separuh (50 %) dari
nilai sebagaimana dimaksud huruf (a).
c) Peruntukan bangun guna serah untuk kepentingan umum dan atau
kepentingan perekonomian/ perdagangan.
d) Besaran nilai investasi yang diperlukan/disediakan pihak ketiga.
e) Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD.
13) Selama masa pengoperasian, tanah dan/atau bangunan tetap milik pemerintah daerah.
14) Penggunaan tanah yang dibangun harus sesuai dengan rencana umum tata ruang
wilayah /kota (rutrwk).
15) Jangka waktu pengguna-usahaan paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak dimulai
masa pengoperasian.
16) Biaya penelitian, pengkajian, penaksir dan pengumuman lelang, dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
17) Pelaksanaan penelitian, pengkajian dilaksanakan oleh tim yang ditetapkan dengan sk
kepala daerah dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
18) Biaya yang berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat
perjanjian, konsultan pelaksana/pengawas, dibebankan pada Pihak Ketiga.
d. Prosedur/tata cara pelaksanaan Bangun Guna Serah Permohonan penggunausahaan
ditujukan kepada Panitia tender/lelang dengan dilengkapi data-data sebagai berikut:
1) Akte pendirian.
2) Memiliki siup sesuai bidangnya.
3) Telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya.
4) Mengajukan proposal.
5) Memiliki keahlian dibidangnya
6) Memiliki modal kerja yang cukup.
7) Data teknis :
a) Tanah : Lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini.
b) Bangunan : Lokasi/alamat, luas,status kepemilikan.
c) Rencana Pembangunan gedung dengan memperhatikan KDB (Koefisien
d) Dasar Bangunan), KLB (Koefisien Luas Bangunan), Rencana
e) Pembangunan, dsb.
e. Pelaksanaan bangun guna serah atas barang milik daerah ditetapkan dalam Surat
Perjanjian yang memuat antara lain :
1) Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
2) Obyek bangun guna serah;
3) Jangka waktu bangun guna serah;
4) Pokok- pokok mengenai bangun guna serah;
5) Data barang milik daerah yang menjadi objek bangun guna serah;
6) Hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;
7) Jumlah/besarnya kontribusi yang harus dibayar oleh pihak ketiga;
8) Sanksi;
9) Surat perjanjian ditandatangani oleh pengelola atas nama kepala daerah dan
10) mira kerjasama;
11) Persyaratan lain yang dianggap perlu.

f. Penyerahan kembali bangunan/gedung beserta fasilitas kepada Pemerintah Daerah yang


bersangkutan dilaksanakan setelah masa pengoperasian yang dijanjikan berakhir yang
dituangkan dalam bentuk Berita Acara. Selain Permendagri Nomor 17 Tahun 2007
tersebut, peraturan pelaksana lainnya dari PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah Permenkeu
Nomor 96/PMK.06/2007. Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 ini diterbitkan untuk
melaksanakan perintah Pasal 31 PP Nomor 6 Tahun 2008 yang menyatakan sebagai
berikut:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 khusus mengatur mengenai Barang Milik Negara
yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan
lainnya yang sah. Dengan kata lain, Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 ini tidak berlaku
terhadap pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan barang
milik daerah. Angka 6 Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007 menyatakan bahwa pemanfaatan
adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi kementerian negara/lembaga, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan.

Permenkeu ini hanya berlaku untuk barang milik pemerintah pusat terlihat juga dari
defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) pada Lampiran V yang menyatakan
sebagai berikut:

Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah pusat oleh pihak
lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana, berikut
fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah berakhirnya jangka
waktu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelas bahwa pengaturan mengenai

pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) di Indonesia telah

mengalami perubahan sesuai perkembangan jaman. Kemungkinan untuk mengadakan

perubahan berikutnya masih tetap terbuka jika Pemerintah merasa peraturan yang ada

saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat pada umumnya.

B. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam Hukum
Perdata Indonesia

1. Pengelolaan Tanah sebagai Barang Milik Negara/ Daerah

Tanah merupakan aset penting yang hak pengelolaannya dapat diserahkan

kepada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Jika tanah tersebut dikelola

oleh Pemerintah Pusat maka akan dicatat dan dikelompokkan sebagai Barang Milik

Negara dan sebaliknya jika tanah tersebut dikelola oleh Pemerintah Daerah maka

akan dicatat dan dikelompokkan sebagai Barang Milik Daerah.

Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007

tanggal 4 September 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,

Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara (untuk selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

45

disebut dengan Permenkeu Nomor 96/PMK.06/2007) menyatakan Barang Milik

Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007

tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

(untuk selanjutnya disebut dengan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007) menyatakan

Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah.

Pasal 2 Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 telah secara tegas menyatakan

bahwa pengelolaan Barang Milik Negara dipisahkan dengan pengelolaan Barang

Milik Daerah. Selengkapnya ketentuan Pasal 2 tersebut menyatakan sebagai berikut:

Pengelolaan barang milik daerah sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah

yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan barang milik Negara

Lampiran Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 pada bagian Umum

memberikan pengertian yang lebih luas mengenai defenisi Barang Milik Daerah yaitu

sebagai berikut:

Barang milik daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang
merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan
dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.

Landasan pengelolaan Barang Milik Daerah adalah sebagai berikut:51

51Lampiran Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 bagian I. Umum angka 3.

Universitas Sumatera Utara


46

1. Barang Milik Daerah terdiri dari:

a. Barang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang penggunaannya/

pemakaiannya berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD)/

Instansi/ lembaga Pemerintah Daerah lainnya sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan;

b. Barang yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik

Daerah lainnya yang status barangnya dipisahkan.

Barang milik daerah yang dipisahkan adalah barang daerah yang

pengelolaannya berada pada Perusahaan Daerah atau Badan Usaha Milik

Daerah lainnya yang anggarannya dibebankan pada anggaran Perusahaan

Daerah atau Badan Usaha Milik Daerah lainnya.

2. Dasar hukum pengelolaan barang milik daerah, antara lain adalah:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

pokok Agraria;

b. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

c. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

d. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

f. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan


Perorangan Dinas;

Universitas Sumatera Utara

47

g. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 jo. Peraturan Pemerintah

Nomor 31 Tahun 2005 tentang Penjualan Rumah Negara;

h. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah;

i. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan;

j. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah;

k. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang

Milik Negara/Daerah;

l. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi

Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah;

m.Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah

dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005;

n. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem

Informasi Manajemen Barang Daerah;

o. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor


Kode Lokasi dan Nomor Kode Barang Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota;

p. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pedoman

Penilaian Barang Daerah;

Universitas Sumatera Utara

48

q. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang

Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang Dipisahkan; dan

r. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pegelolaan Keuangan Daerah.

Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah ketentuan

yang bersifat sangat dinamis, yaitu peraturan perundang-undangan yang sangat

sering mengalami perubahan mengikuti keadaan dan dinamika masyarakat. Hal

ini harus menjadi catatan dan perhatian bagi seluruh pengguna ketentuan

tersebut, terutama dalam hal ini Pemerintah Daerah karena setiap pelaksanaan

pengelolaan Barang Milik Daerah harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di masanya.

3. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah

4. Siklus pengelolaan barang milik daerah merupakan rangkaian kegiatan

dan/atau tindakan yang meliputi:

1) Perencanaan kebutuhan dan penganggaran;

2) Pengadaan;
3) Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;

4) Penggunaan;

5) Penatausahaan;

6) Pemanfaatan;

7) Pengamanan dan pemeliharaan;

Universitas Sumatera Utara

49

8) Penilaian;

9) Penghapusan;

10) Pemindahtanganan;

11) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian;

12) Pembiayaan;

13) Tuntutan ganti rugi.

5. Pemanfaatan Barang Milik Daerah

Pemanfaatan Barang Milik Daerah merupakan pendayagunaan barang milik

daerah yang tidak dipergunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja

Perangkat Daerah dalam bentuk pinjam pakai, sewa, kerjasama pemanfaatan,

bangun guna serah, bangun serah guna dengan tidak merubah status

kepemilikan.

a. Pinjam pakai merupakan penyerahan penggunaan barang milik daerah

kepada instansi pemerintah, antar pemerintah daerah, yang ditetapkan


dengan Surat Perjanjian untuk jangka waktu tertentu, tanpa menerima

imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, barang milik daerah

tersebut diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah.

b. Penyewaan merupakan penyerahan hak penggunaan/ pemanfaatan kepada

Pihak Ketiga, dalam hubungan sewa menyewa tersebut harus

memberikan imbalan berupa uang sewa bulanan atau tahunan untuk

jangka waktu tertentu, baik sekaligus maupun secara berkala.

Universitas Sumatera Utara

50

c. Kerjasama pemanfaatan terhadap barang milik daerah dengan pihak lain

dilakukan dalam rangka optimalisasi dayaguna dan hasil guna barang

milik daerah dan dalam rangka menambah/meningkatkan penerimaan

daerah. Kerjasama pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah

dan/atau bangunan yang telah diserahkan oleh pengguna kepada Kepala

Daerah dan sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan

oleh pengguna dan barang daerah selain tanah dan/atau bangunan.

d. Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik

Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai

dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas diatas

tanah tanah dan/ atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama

kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir


menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan/atau sarana lain berikut

fasilitasnya tersebut kepada Pemerintah Daerah.

e. Bangun Serah Guna adalah pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik

Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga dengan cara Pihak Ketiga

membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan/ menambah

sarana lain berikut fasilitas diatas tanah dan/atau bangunan tersebut dan

setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada Daerah untuk

kemudian oleh Pemerintah Daerah tanah dan bangunan siap pakai

dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut diserahkan kembali

kepada pihak lain untuk didayagunakan selama kurun waktu tertentu.

Universitas Sumatera Utara

51

Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa jenis bentuk pemanfaatan Barang

Milik Daerah telah diatur secara terbatas (limitatif) ke dalam 5 (lima) jenis

pemanfaatan dan dengan syarat mutlak tidak merubah status kepemilikan.

Peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan bentuk lain selain dari 5

(lima) bentuk pemanfaatan tersebut di atas.

Jika pengelolaan Barang Milik Daerah merubah status kepemilikan maka hal

tersebut tidak termasuk dalam lingkup pemanfaatan tetapi sudah termasuk

bentuk pemindahtanganan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 25

Permendagri Nomor 17 Tahun 2007.


2. Kedudukan Perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia

Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan secara tegas bahwa Suatu Perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih.52 Sudikno menyatakan bahwa perjanjian adalah

hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

hukum.53 M. Yahya Harahap mendefenisikan perjanjian sebagai hubungan hukum

kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada

satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain

untuk menunaikan prestasi.54

52R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Terjemahan KUH Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994),
hal. 306. 53Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, (Yogyakarta, Liberty, 1998), hal. 97.
54M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

52

R.Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji

itu.55

Purwahid Patrik menyatakan bahwa perjanjian dapat dirumuskan sebagai

hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan

hukum sepihak, penawaran dan penawaran.56


Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu

setuju untuk melakukan sesuatu.57 Istilah kontrak sama pengertiannya dengan

persetujuan. 58 Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (tentunya

perjanjian yang mengikat).59

Steven H. Gifis menyatakan kontrak adalah suatu perjanjian atau

serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi terhadap

55R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,


(Bandung: Sumur, 1992), hal. 11. 56Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan
Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/ Dagang, (Yogyakarta:
Fakultas Hukum UGM, 1990), hal. 15. 57Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2008),
hal. 1. 58M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 23. 59Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri
Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

53

wanprestasi terhadap kontrak tersebut atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut

oleh hukum dianggap sebagai tugas.60

Berdasarkan pendapat para ahli hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa

perjanjian memiliki pengertian yang sama dengan persetujuan dan kontrak.

Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut hendak memperlihatkan

kepada kita semua bahwa suatu perjanjian adalah:

1. Suatu perbuatan;
2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji

tersebut.61

Menurut Abdul Kadir rumusan perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam

ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut masih terasa kurang memuaskan

karena mengandung beberapa kelemahan, yaitu: 62

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata kerja mengikatkan sifatnya

hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya

perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada konsensus antara pihak

pihak.

60Steven H. Gifis dalam Kusumati Dwiatmaja, Makalah - Perjanjian dalam Bidang Keuangan,
disajikan pada Seminar Penyusunan Kontrak Keuangan, LP3i, 2011. 61Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 7.
62Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 78-79.

Universitas Sumatera Utara

54

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas

tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrematigedaad)

yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.


c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena

mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam

lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara

debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang

dikehendaki oleh buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian

yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian

sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, terdapat 3 (tiga) unsur

perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo63, R. M. Suryodiningrat64 dan J.

Satrio65 yaitu sebagai berikut:

a. Unsur essensialia;

63Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 98-99. 64R. M. Suryodiningrat, Azas-azas Hukum
Perikatan, (Bandung: Tarsiro, 1985), hal. 75. 65J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1992), hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

55

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam

suatu perjanjian, unsur mutlak dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian

tidak akan sah secara hukum.


Unsur essensialia ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

b. Unsur naturalia;

Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang.

Dengan demikian, apabila tidak diatur oleh para pihak dalam suatu perjanjian

maka undang-undanglah yang mengaturnya. Unsur ini melekat dan

merupakan bawaan pada perjanjian. Sifat unsur ini adalah aanvullend recht

(hukum mengatur).

c. Unsur accidentalia.

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas

dalam perjanjian. Unsur ini diatambahkan oleh para pihak dalam perjanjian

dan tidak diatur dalam undang-undang. Jika tidak diperjanjikan maka unsur

ini tidak pernah ada dalam perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

56

Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang


membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah

bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,

disamping sumber-sumber lain.66

Menurut KUH Perdata, ada enam jenis perjanjian, yaitu:

1) Perjanjian timbal balik;

2) Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban;

3) Perjanjian khusus (benoemd) dan perjanjian umum (onbenoemd);

4) Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir;

5) Perjanjian konsensual dan perjanjian riil;

6) Perjanjian-perjanjian yang bersifat istimewa seperti perjanjian liberatoir,

perjanjian pembuktian, perjanjian untung-untungan dan perjanjian publik.67

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja membagi perjanjian menjadi tiga

jenis yaitu perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil.68

1) Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak

secara lisan melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa

segera setelah para pihak menyatakan persetujuan atau kesepakatannya

tentang hal-hal yang mereka bicarakan dan akan dilaksanakan maka

kewajiban telah lahir pada pihak terhadap siapa yang telah berjanji untuk

66Subekti, Op. Cit., hal. 1. 67Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum
Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 80. 68Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 8-13.

Universitas Sumatera Utara


57

memberikan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu, atau untuk tidak

melakukan atau berbuat sesuatu.

2) Dalam perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara

pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji

untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak

melakukan atau tidak berbuat sesuatu. Perjanjian semacam ini dapat kita

temui misalnya dalam perjanjian mengenai hibah yang diatur dalam Pasal

1682 KUH Perdata yang memperlihatkan pada kita bahwa pada prinsipnya

hibah harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman hibah tersebut akan

batal jika tidak dibuat dengan akta notaris. Pernyataan bahwa hibah harus

dibuat dengan akta notaris merupakan formalitas yang harus dipenuhi agar

hibah menjadi sah dan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian

hibah tersebut.

3) Perjanjian riil menunjukkan adanya suatu perbuatan nyata yang harus

dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang

mengadakan perjanjian. Contoh perjanjian riil adalah penitipan barang yang

sejati. Pasal 1697 KUH Perdata menetapkan bahwa perjanjian penitipan

tersebut tidak terlaksana sebelum dilakukan penyerahan barangnya secara

nyata atau secara dipersangkakan.

Taryana Soenandar membagi kontrak (perjanjian) berdasarkan sifatnya


kedalam klasifikasi sebagai berikut:

a. Kontrak formal (formal contract),

Universitas Sumatera Utara

58

b. Kontrak informal (informal contract),

c. Kontrak sepihak (unilateral contract), dan

d. Kontrak timbal balik (bilateral contract).69

Prof. Subekti tidak menggunakan istilah jenis-jenis perjanjian tetapi

menggunakan istilah macam-macam perikatan,70 yaitu sebagai berikut:

a. Perikatan bersyarat, yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu

kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

Suatu perjanjian yang demikian itu menggantungkan adanya suatu perikatan

pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende

voorwarde).

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling).

Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang

pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak

akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan

datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,

misalnya meninggalnya seseorang.

c. Perikatan yang membolehkan memilih (alternatief) yaitu suatu perikatan


dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi sedangkan kepada si berhutang

diserahkan yang mana ia akan lakukan.

69Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip Unidroit sebagai Sumber Hukum Kontrak dan


Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 106. 70Subekti,
Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2008), hal. 128 s.d. 131.

Universitas Sumatera Utara

59

d. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair) yaitu suatu

perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang

berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.

e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Apakah suatu

perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya

membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau

maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang

dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan barulah tampil ke muka jika salah

satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

f. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding). Untuk mencegah jangan

sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam

praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu

hukuman apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya

ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan

suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh
para pihak yang membuat perjanjian itu.

Perjanjian-perjanjian yang diterangkan di atas dinamakan benoemde

overeenkomsten yaitu semuanya mempunyai nama-nama tertentu (jual beli, sewa

menyewa dan sebagainya). Berhubungan dengan asas kebebasan untuk membuat

perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan

atau ketertiban umum, kita merdeka untuk menciptakan perjanjian apa saja yang

tidak disebutkan dalam Buku III KUH Perdata. Dan memang dalam praktek

Universitas Sumatera Utara

60

banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu

ruangan dalam Buku III itu. Misalnya saja hal seorang yang menginap di suatu

hotel dengan mendapat makanan dan pelayanan. Perjanjian apakah yang ia tutup

dengan pemilik hotel? Bukan sewa menyewa kamar, sebab ia mendapat makanan

dan pelayanan; juga bukan jual beli makanan dan minuman, sebab ia menginap

juga disitu. Inilah suatu contoh dari suatu onbenoemde overeenkomst, suatu

perjanjian yang tidak bernama.71

Pada dasarnya, pengklasifikasian perjanjian ke dalam jenis-jenis

sebagaimana dinyatakan oleh para ahli hukum di atas adalah hal yang lumrah dan

sangat berguna dalam rangka memperkaya khazanah ilmu hukum di Indonesia

pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya. Lebih lanjut, Taryana

Soenandar menyebutkan, terdapat 12 (dua belas) prinsip hukum perjanjian yaitu


sebagai berikut:72

1. Prinsip kebebasan berkontrak

Prinsip kebebasan berkontrak diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip

hukum, yaitu:

(a) Kebebasan menentukan isi kontrak;

(b) Kebebasan menentukan bentuk kontrak;

(c) Kontrak mengikat sebagai undang-undang;

(d) Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian;

71Ibid.,hal. 174-175. 72Taryana Soenandar, Op. Cit., hal. 36 s.d. 82.

Universitas Sumatera Utara

61

(e) Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan

dalam penafsiran kontrak.

2. Prinsip iktikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)

Ada tiga unsur prinsip iktikad baik dan transaksi jujur, yaitu:

(a) Iktikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi

kontrak;

(b) Prinsip iktikad baik dan transaksi jujur ditekankan pada praktik

perdagangan internasional;

(c) Prinsip iktikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.

3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat


Seseorang yang melakukan hubungan hukum kontraktual dengan mitra

bisnis di negara lain, di dalam praktik harus tunduk pada hukum kebiasaan

setempat.

Ada 6 (enam) hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu bahwa:

(a) Praktik kebiasaan harus memenuhi kriteria tertentu,

(b) Praktik kebiasaan yang berlaku di lingkungan para pihak,

(c) Praktik kebiasaan yang disepakati,

(d) Praktik kebiasaan lain yang diketahui luas atau rutin dilakukan,

(e) Praktik kebiasaan yang tidak benar, dan

(f) Praktik kebiasaan setempat yang berlaku mengesampingkan aturan

umum.

Universitas Sumatera Utara

62

Praktik yang sudah biasa berlaku di antara para pihak secara otomatis akan

mengikat para pihak, kecuali apabila mereka sepakat secara tegas untuk

mengubaikannya. Kapan suatu praktik kebiasaan dianggap telah "berlaku" di

antara para pihak, hal itu tergantung pada situasi dan kondisi dari setiap

kasus. Akan tetapi, suatu praktik yang baru satu kali dilakukan dalam

transaksi tidaklah cukup dianggap sebagai praktik yang sudah berlaku.

4. Prinsip kesepakatan melalui penawaran (offer) dan penerimaan

(acceptances) atau melalui tindakan.


Pada prinsipnya, kata sepakat dicapai melalui penawaran dan penerimaan.

Inti dari ketentuan ini adalah bahwa persetujuan terjadi karena:

(a) Penawaran dan penerimaan;

(b) Perilaku yang menunjukkan adanya persetujuan untuk terikat kontrak.

5. Prinsip larangan bernegosiasi dengan iktikad buruk

Prinsip hukum yang berlaku bagi proses negosiasi adalah sebagai berikut:

(a) Kebebasan negosiasi;

(b) Tanggung jawab atas negosiasi dengan iktikad buruk;

(c) Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan iktikad buruk.

6. Prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan

Ketika para pihak melakukan negosiasi, tentu ada rahasia perusahaan yang

terbuka dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ada informasi yang memiliki

sifat rahasia sehingga perlu dirahasiakan dan dimungkinkan adanya kerugian

yang harus dipulihkan. Apabila tidak ada kewajiban yang disepakati, para

Universitas Sumatera Utara

63

pihak dalam negosiasi pada dasarnya tidak wajib untuk memberlakukan

bahwa informasi yang mereka pertukarkan sebagai hal yang rahasia. Dengan

kata lain, apabila para pihak bebas menentukan fakta mana yang relevan

dengan transaksi yang sedang dinegosiasi, informasi tersebut dianggap

bukan rahasia. Yakni informasi yang pihak lain dapat membukanya kepada
orang ketiga atau menggunakannya untuk kepentingan sendiri walaupun

kontrak tidak berhasil dibuat.

7. Prinsip perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku

Apa yang menentukan bahwa suatu kontrak merupakan suatu kontrak baku?

Penekanannya adalah pada fakta bahwa syarat baku itu secara nyata telah

digunakan dan ditentukan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan

pihak lainnya. Pihak yang kedudukannya lebih lemah harus dilindungi dalam

perjanjian kontrak baku,

8. Prinsip syarat sahnya kontrak

Suatu kontrak adalah sah, bahkan apabila harta yang menjadi objek kontrak

belum ada pada saat pembuatan kontrak. Dengan konsekuensi bahwa

ketidakmungkinan prestasi pada awal itu harus berakhir saat pelaksanaan

kontrak jatuh waktu.

9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar

(gross disparity)

Prinsip ini pada dasarnya merupakan pelaksaan dari prinsip iktikad baik

(good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) serta prinsip keseimbangan dan

keadilan. Unsur adanya kepincangan dari perbedaan yang besar dan

Universitas Sumatera Utara

64

mencolok diakibatkan adanya keuntungan yang berlebihan dan keuntungan


yang tidak dibenarkan. Hal ini disebabkan oleh:

(a) Posisi tawar yang tidak seimbang;

(b) Sifat dan tujuan dari kontrak; dan

(c) Faktor-faktor lain, sehingga menimbulkan hak untuk membatalkan atau

mengubah kontrak tersebut.

Salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi

perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan

berlebihan secara yang tidak sah kepada salah satu pihak.

10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku

Contra Proferentem Rule menyatakan bahwa jika syarat kontrak yang

diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran yang berlawanan

dengan pihak tersebut harus didahulukan. Para pihak harus

bertanggungjawab atas rumusan syarat kontrak, baik ia merancang sendiri

maupun karena ia telah mengajukan syarat-syarat terhadap kontrak tersebut.

Cara pemberlakuan aturan ini akan tergantung pada hal-hal sebagai berikut:

(a) Keadaan dari kasus yang dihadapi;

(b) Sifat kekurangan syarat kontrak yang merupakan pokok objek negosiasi

lebih lanjut antara para pihak;

(c) Pembenaran untuk menafsirkan syarat itu yang melawan pihak pembuat

klausul baku tersebut.

11. Prinsip menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship)


Universitas Sumatera Utara

65

Apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak

tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan

tunduk pada ketentuan mengenai keadaan sulit (hardship). Ketentuan ini

menentukan dua hal pokok, yaitu;

(a) Sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum; dan

(b) Perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.

Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menegaskan bahwa sebagai akibat

berlakunya prinsip umum tentang sifat mengikat kontrak maka pelaksanaan

kontrak harus dijalankan sepanjang hal itu mungkin tanpa memperhatikan

beban yang dapat dipikul oleh pihak yang melaksanakan. Dengan kata lain,

walaupun salah satu pihak mengalami kerugian besar atau pelaksanaan

kontrak menjadi tidak berarti bagi pihak lain, kontrak bagaimanapun juga

harus tetap dihormati.

12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force

majeur)

Wanprestasi adalah gagalnya salah satu pihak untuk melaksanakan setiap

kewajiban berdasarkan kontrak, termasuk pelaksanaan yang cacat atau yang

terlambat. Defenisi wanprestasi mencakup segala bentuk pelaksanaan yang

mengandung cacat sampai pada kegagalan pelaksanaan secara total.


Untuk tujuan meletakkan prinsip, konsep wanprestasi mencakup wanprestasi

yang tidak dimaafkan (nonexcused) dan yang dimaafkan (escused).

Wanprestasi dapat dimaafkan dengan alasan sikap perilaku pihak lain dari

Universitas Sumatera Utara

66

kontrak tersebut atau karena adanya peristiwa eksternal yang tidak

diharapkan.

Ketentuan mengenai keadaan memaksa antara lain sebagai berikut:

(a) Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat dimaafkan

apabila pihak tersebut dapat membuktikan bahwa wanprestasinya

disebabkan oleh suatu rintangan di luar pengawasannya, dan hal itu

secara wajar tidak diharapkan akan terjadi.

(b) Apabila rintangan hanya bersifat sementara maka pemberian maaf akan

berakibat hukum atas jangka waktu dengan memperhatikan akibat dari

rintangan pelaksanaan kontrak tersebut.

(c) Pihak yang gagal melaksanakan kontrak harus menyampaikan

pemberitahuan kepada pihak lain tentang rintangan dan akibat terhadap

kemampuannya untuk melaksanakan kontrak. Jika pemberitahuan itu

tidak diterima oleh pihak lain dalam jangka waktu yang wajar setelah

pihak yang gagal melaksanakan mengetahui atau seharusnya telah

mengetahui adanya rintangan itu, ia bertanggungjawab atas kerugian


akibat dari tidak diterimanya pemberitahuan tersebut.

Perihal utama selanjutnya mengenai perjanjian adalah bahwa perjanjian

berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pacta Sunt

Servande).73

73Taryana Soenandar, Op. Cit..,hal. 59.

Universitas Sumatera Utara

67

Pasal 1338 KUH Perdata mengatur Semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan

kalimat ini, dimaksudkan tidak lain bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara

sahartinya tidak bertentangan dengan undang-undangan- mengikat kedua belah

pihak. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan

persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan

oleh undang-undang.74

Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ini merupakan konsekuensi

logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap

perikatan lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Suatu prestasi

untuk melaksanakan suatu kewajiban selalu memiliki dua unsur penting.

Pertama, berhubungan dengan tanggung jawab hukum atas pelaksanaan prestasi

tersebut oleh debitor (schuld). Dalam hal ini ditentukan siapa debitor yang

berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, tanpa mempersoalkan apakah


pemenuhan kewajiban tersebut dapat dituntut oleh kreditor yang berhak atas

pelaksanaan kewajiban tersebut. Kedua, berkaitan dengan pertanggungjawaban

pemenuhan kewajiban tanpa memperhatikan siapa debitornya (haftung). Pada

umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang berhubungan dengan

kedua hal tersebut (schuld dan haftung) terletak di pundak debitor. Ini berarti

debitor yang berkewajiban untuk memenuhi perikatan, adalah juga seharusnya

dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk memenuhi kewajiban yang

74 Subekti, Op. Cit., hal. 139.

Universitas Sumatera Utara

68

dibebankan kepadanya berdasarkan pada perikatan yang lahir dari hubungan

hukum di antara para pihak dalam perikatan tersebut.75

Selain merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH

Perdata, pernyataan yang dimuat dalam Pasal 1338 KUH Perdata menguatkan

kembali atau menegaskan kembali asas personalia dari suatu perjanjian. Agak

berbeda dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi

seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, perjanjian hanya berlaku diantara

para pihak yang membuatnya. Jadi pemaksaan berlakunya pelaksanaan dari

perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih dalam

perjanjian terhadap pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.

Dalam kaitannya dengan asas keberlakuan perjanjian sebagai undang


undang, dapat kita coba bahas kembali hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian

formil. Alasan mengapa perjanjian formil yang harus dibuat secara tertulis dan

kadangkala harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang adalah

karena tiga hal pokok, yaitu:

1) Penyerahan hak milik dari kebendaan yang dialihkan, yang menurut Pasal

613 dan 616 KUH Perdata harus dilakukan dalam bentuk akta otentik atau

akta di bawah tangan. Khusus mengenai hak atas tanah, ketentuannya dapat

kita temukan dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

2) Sifat dari isi perjanjian itu sendiri, yang materi muatannya perlu dan harus

diketahui oleh umum. Pada umumnya jenis perjanjian ini dapat ditemukan

75Ibid. hal. 139.

Universitas Sumatera Utara

69

dalam perjanjian yang bertujuan untuk mendirikan suatu badan hukum, yang

selanjutnya akan menjadi suatu persona standi in judicio sendiri, terlepas

dari keberadaan para pihak yang berjanji untuk mendirikannya sebagai

subyek hukum yang mandiri; ataupun yang menciptakan suatu hubungan

hukum yang berbeda di antara para pendiri.

3) Penjaminan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang menerbitkan

hubungan hukum kebendaan baru, yang memiliki sifat kebendaan.76

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian


dalam bentuk dan sifat apapun, memegang peranan kedudukan yang sangat

penting dalam hukum perdata Indonesia. Perjanjian telah ikut membentuk hukum

perdata Indonesia sebagai hukum positif. Perjanjian adalah satu bagian utama

dan pokok dari hukum perdata Indonesia. Tanpa perjanjian, mustahil KUH

Perdata dapat disusun seperti yang ada saat ini.77 Perjanjian tidak hanya memiliki

peranan penting bagi para pihak yang membuatnya,78 tetapi juga memberikan

manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pihak lain.

3. Kedudukan Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) dalam

Hukum Perdata Indonesia

Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh

pihak lain dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya,

kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu

76Ibid. hal. 60-61. 77Hasanuddin Rahman, Op. Cit., hal. 3. 78Ibid. hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

70

yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana,

berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah

berakhirnya jangka waktu.79

Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah

berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana

berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam


jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan

kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah

berakhirnya jangka waktu.80

Bangun Guna Serah berbeda dengan Bangun Serah Guna yaitu

pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan

cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah

selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain

tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.81

BOT = Build-Operate-Transfer (dibangun, dioperasikan, diserahkan

kembali) adalah tanah pemerintah dibangun oleh pihak ketiga dan setelah

pembangunan selesai, bangunan tersebut dioperasikan oleh pihak ketiga yang

bersangkutan untuk jangka waktu tertentu. Tanah dan bangunan tersebut harus

79Angka 1 Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik
Negara. 80Angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.
81Angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.

Universitas Sumatera Utara

71

diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah pemilik tanah setelah berakhirnya

jangka waktu yang ditentukan.82

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)


merupakan salah bentuk pemanfaatan tanah milik pemerintah. Hal ini

sebagaimana dinyatakan dalam angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2008 yaitu:

Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga/ satuan kerja perangkat daerah, dalam
bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah
dengan tidak mengubah status kepemilikan.83

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) wajib

dilakukan melalui sebuah perjanjian, dan perjanjian tersebut disebut dengan

Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement)

dengan alasan sebagai berikut:

a. Sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan Pasal 41 ayat (7) Permendagri Nomor

17 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut:

Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya


memuat: a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b. objek bangun guna serah; c. jangka
waktu bangun guna serah; d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; dan e.
persyaratan lain yang dianggap perlu.

82Yoga Puspita, Op. Cit. hal. 1. 83Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah.

Universitas Sumatera Utara

72

b. Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) memenuhi

unsur-unsur perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUH


Perdata.

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, unsur perjanjian

berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

1) Adanya suatu perbuatan;

2) Antara sekurangnya dua pihak (jadi dapat lebih dari dua pihak);

3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang

berjanji tersebut.84

Pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT)

memenuhi ketiga unsur tersebut dengan landasan sebagai berikut:

1) Terdapat perbuatan yaitu penyerahan tanah milik pemerintah dan

pendayagunaan oleh pihak lain yaitu dalam hal ini pihak swasta;

2) Terdapat dua pihak atau lebih yaitu Pemerintah selaku pemilik tanah

dan pihak swasta selaku pengelola;

3) Terdapat perbuatan yang melahirkan perikatan diantara pihak-pihak

yang berjanji tersebut yaitu perikatan yang mewajibkan Pemerintah

untuk menyerahkan tanah miliknya untuk selanjutnya dikelola oleh pihak

swasta untuk tujuan dan jangka waktu yang telah ditentukan dalam

perjanjian.

84Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

73
Dengan telah dipenuhinya unsur-unsur perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata

tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa pelaksanaan Bangun Guna Serah

(Build Operate Transfer/ BOT) wajib dilakukan melalui sebuah perjanjian.

c. Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam

pelaksanaan Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) tersebut.

Arti penting suatu kontrak paling tidak adalah dalam hal-hal: 85

1) Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana

kontrak tersebut dilakukan;

2) Untuk mengetahui secara jelas siapa yang saling mengikatkan dirinya

tersebut dalam kontrak dimaksud;

3) Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa

yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak;

4) Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut;

5) Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan

perselisihan dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi

perselisihan antara para pihak;

6) Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja yang

mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut;

7) Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan

masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan

malah telah melakukan suatu wanprestasi;


85Hasanuddin Rahman, Op. Cit., hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

74

8) Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan dikemudian

hari, seperti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam

kontrak dimaksud. Termasuk apabila ada pihak ketiga yang mungkin

keberatan dengan suatu kontrak dan mengharuskan kedua belah pihak

untuk membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan kontrak dimaksud.

Mengingat arti penting kontrak sebagaimana disebut di atas maka menjadi

sangat wajar dan sangat beralasan demi hukum, pelaksanaan Bangun Guna Serah

(Build Operate Transfer/ BOT) dituangkan dalam bentuk perjanjian.

Walau demikian, hingga saat ini tidak ditemukan literatur yang mengatur

atau menjelaskan mengenai defenisi Perjanjian Bangun Guna Serah (Build

Operate Transfer/ BOT Agreement).

Untuk menemukan defenisi tersebut, akan digabungkan defenisi perjanjian

yaitu:

Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih

dengan defenisi Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT) yaitu:

Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain dengan
mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak
lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta
bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang
setelah berakhirnya jangka waktu.

Sehingga dihasilkan defenisi Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate

Transfer/ BOT Agreement) sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

75

Perbuatan dengan mana pemerintah mengikatkan diri dengan pihak lain

dalam hal pemanfaatan tanah milik pemerintah oleh pihak lain tersebut

dengan mendirikan bangunan dan/atau sarana, berikut fasilitasnya, kemudian

didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang

telah disepakati, untuk selanjutnya tanah beserta bangunan dan/atau sarana,

berikut fasilitasnya, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang setelah

berakhirnya jangka waktu.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian sesuai pendapat Mariam Darus

Badrulzaman86 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/

BOT Agreement) termasuk dalam jenis:

1) Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban atau

prestasi kepada kedua belah pihak; dan

2) Perjanjian atas beban yaitu perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak

yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua

prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.


Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Kartini

Muljadi dan Gunawan Widjaja87 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build

Operate Transfer/ BOT Agreement) termasuk dalam jenis:

1) Perjanjian formil yaitu perjanjian yang harus dituangkan dalam bentuk

tertulis; dan

86Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit. hal. 80. 87Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.
Cit., hal. 8-13.

Universitas Sumatera Utara

76

2) Perjanjian riil yaitu perjanjian yang mengharuskan adanya perbuatan nyata

yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak

yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, perbuatan tersebut adalah

penyerahan tanah milik pemerintah kepada pihak lain, pengelolaan oleh pihak

lain tersebut dan pengembalian tanah beserta fasilitasnya kepada pemerintah

sesuai syarat dan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Taryana

Soenandar88 maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT

Agreement) termasuk dalam jenis kontrak formal dan kontrak timbal balik.

Jika diklasifikasikan ke dalam jenis perjanjian menurut pendapat Subekti89

maka Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement)

termasuk dalam jenis perikatan yang tidak dapat dibagi dan perjanjian tidak
bernama (onbenoemde overeenkomst).

BOT (Build Operate Transfer) merupakan suatu teknik pemerintah untuk

mengembangkan proyek-proyek infrastruktur meliputi beragam fasilitas yang

berfungsi utama untuk melayani kebutuhan masyarakat, untuk memberikan

pelayanan sosial dan mempromosikan kegiatan ekonomi dengan menggunakan

inisiatif dan pendanaan dari pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam

program BOT (Build Operate Transfer) dalam hal mendesain, menyediakan

88Taryana Soenandar, Op. Cit. hal. 106. 89Subekti, Op. Cit. hal. 128 s.d. 131.

Universitas Sumatera Utara

77

keuangan, membangun dan mengoperasikan fasilitas untuk kemudian akhirnya,

setelah masa jangka waktu tertentu kepemilikan ditransfer kepada pemerintah.

Pemerintah memilih pelaksanaan program BOT (Build Operate Transfer)

adalah untuk mendapatkan pendanaan dari pihak swasta serta sumber daya yang

kompeten dalam bidang pengembangkan infrastruktur. Investasi uang selalu

sebanding dengan risiko dan tingkat return on investment; risiko lebih tinggi jika

secara ekonomi proyek tersebut tidaklah ekonomis. Dalam keadaan seperti itu,

negosiasi untuk pengaturan ekuitas-utang dengan penghindaran risiko bisa saja

memakan waktu yang lama, membuat proyek BOT lebih mahal daripada jika

pemerintah mengerjakan proyek itu sendiri. Jadi, ketika proyek dianggap tidak

ekonomis, pemerintah harus mempertimbangkan mengerjakan proyek sendiri atau


setidaknya melakukan investasi publik tertentu dalam proyek BOT. Bila

pembiayaan internasional dianggap perlu, maka pemerintah harus

mempertimbangkan dengan hati-hati dalam menetapkan fee bagi penggunaan

fasilitas, terutama jika ekonomi nasional buruk dan kemungkinan terjadi

devaluasi mata uang lokal.90 Dengan kata lain, Perjanjian Bangun Guna Serah

(Build Operate Transfer/ BOT Agreement) muncul untuk mengisi kekosongan

hukum yang ada yaitu pemerintah merasa lebih diuntungkan dengan memberikan

hak pengelolaan tanah pemerintah kepada pihak lain untuk selanjutnya

dikembalikan kepada pemerintah dalam kondisi dan sesuai jangka waktu yang

diperjanjikan.

90http://advokatku.blogspot.com/2009/05/bot-build-operate-and-transfer.html, diakses pada


Minggu tanggal 26 Mei 2013 pukul 22.28 WIB

Universitas Sumatera Utara

78

Di sisi lain, Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT

Agreement) sebagai salah satu dari sekian banyak perjanjian tidak bernama

(onbenoemde overeenkomst) muncul dengan dilandasi asas kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggeris

dituangkan dengan istilah Freedom of Contract atau Liberty of Contract

atau Party Autonomy. Istilah yang pertama lebih umum dipakai daripada yang

kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal
sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.91

Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu

perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian

tersebut, tanpa campur tangan pihak lain.92

Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak menemukan

dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:

Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu pokok persoalan tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan

angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata.93

91Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal.
22. 92Ibid.,hal. 12. 93Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 45-46.

Universitas Sumatera Utara

79

Dengan demikian, terbukti bahwa Perjanjian Bangun Guna Serah (Build

Operate Transfer/ BOT Agreement) adalah perjanjian yang telah mendapatkan

dasar eksistensi dan landasan prinsip yang sah sehingga menjadi suatu jenis

perjanjian baru di lapangan hukum perdata Indonesia.


Hal ini membuktikan bahwa perjanjian secara umum dan Perjanjian Bangun

Guna Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) secara khusus memiliki

peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Perjanjian dapat mengisi kekosongan hukum dan dapat menjadi solusi alternatif

terhadap suatu masalah yang ada.

Berdasarkan hal tersebut, menjadi jelas bahwa Perjanjian Bangun Guna Serah

(Build Operate Transfer/ BOT Agreement) merupakan salah satu bagian kecil dari

begitu banyaknya jenis perjanjian yang ada saat ini tetapi Perjanjian Bangun Guna

Serah (Build Operate Transfer/ BOT Agreement) tersebut memiliki peranan yang

sangat penting terutama dalam mengisi kekosongan hukum perdata.

Anda mungkin juga menyukai