Anda di halaman 1dari 18

ASPEK KEPASTIAN HUKUM PERMA NO.

5 TAHUN 2019 DALAM UPAYA


MENCEGAH TERJADINYA PERKAWINAN DINI
(Studi di Pengadilan Agama Garut)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperolah Gelar
Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
Fitriati Salamah
11180440000073

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
SURAT PERMOHONAN PERSETUJUAN PROPOSAL SKRIPSI

Yang Terhormat,
Ketua Program Studi Hukum Keluarga
di Tempat

Assalamualaikum Wr. Wb.


Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Fitriati Salamah
NIM : 11180440000073
Program Studi : Hukum Keluarga
bermaksud mengajukan proposal skripsi yang berjudul “Efektivitas PERMA No. 5
Tahun 2019 Dalam Upaya Mencegah Terjadinya Perkawinan Dini (Studi di
Pengadilan Agama Garut)” untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi
Hukum Keluarga.

Demikian surat permohonan ini saya buat, atas perhatiannya saya ucapkan
terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Disetujui Oleh: Hormat Saya,


Dosen Pembimbing Akademik Pemohon

Dr. Masyrofah, S.Ag., M.Si. Fitriati Salamah


A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan harus dilaksanakan dengan kesiapan usia, finansial, mental,
maupun fisik yang cukup matang.1 Namun perkawinan dini masih menjadi hal
yang banyak dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia yang masih
dipengaruhi oleh adat kebiasaan masyarakat setempat. Hal yang biasanya menjadi
sebab terjadinya perkawinan dini ialah karena masalah ekonomi, rendahnya
pendidikan, pemahaman budaya seperti adanya sistem perjodohan.2 Terjadinya
perkawinan dini ini menggambarkan lemahnya sebuah undang-undang dan badan
hukum terkait mengenai kasus pernikahan yang melanggar hukum.3
Adanya praktik perkawinan dini merupakan fakta yang melanggar hak asasi
anak serta membatasi pilihan dan peluang mereka. Hak pendidikan yang
dibutuhkan di masa pertumbuhan mereka tidak didapat. Kualitas hidup menjadi
tidak maksimal, sebab di usia yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk
menuntut ilmu harus diganti dengan mengurus rumah tangga dan merawat anak.4
Dari segi kesehatan, perkawinan dini dapat berakibat negatif bagi ibu dan juga anak
yang akan dilahirkannya. Begitu juga dari segi sosial, perkawinan dibawah umur
dapat mengurangi keharmonisan rumah tangga dikarenakan emosi yang belum stabil
sehingga berakibat pada hilangnya kendali menyelesaikan konflik keluarga.5
Dalam keadaan seorang anak perempuan yang belum dewasa itu hamil, tentu
memiliki dampak negatif terhadap kondisi kesehatan sang anak juga bayi yang
dikandungnya sebab wanita berusia di bawah 20 tahun beresiko tinggi terhadap
kehamilan, proses persalinan juga kondisi si bayi.6 Perkawinan dini menjadi hal
yang perlu diperhatikan sebab hal ini bersangkutan dengan kehidupan sang anak
dan rentang menimbulkan akibat yang lebih beresiko seperti timbulnya kerusakan
dalam rumah tangga yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan.

1
Alvan Fathoni, Perkawinan Dibawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi
Hukum, (Jurnal Studi Keislaman AT-TURAS: Vol. 4 No. 1, 2017), hal. 71.
2
Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, (Jurnal Hukum Samudra Keadilan: Vol. 12 No. 2, 2017), hal. 212.
3
Zainuddin Ali, Kajian Sosiologi Hukum Terkait Perkawinan Dibawah Umur, (Jakarta:
Pardiyanto UID, 2010)
4
Dian Latifiani, Upaya Preventif Perkawinan Anak di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja
Kabupaten Tegal, (Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia, 2019), hal. 21.
5
Maimunah, Dispensasi Nikah Anak Perempuan: Suatu Fenomena Masyarakat Modern
dalam Konteks Agama dan Negara, (Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam: Vol. 21 No. 2, 2020), hal.
210.
6
Indiarti, Kehamilan, Persalinan & Perawatan Bayi, (Yogyakarta: Diglossia Media, 2007), hal.
67.
Aturan batas usia perkawinan merupakan bagian dari tujuan pemerintah
mengurangi problematika perkawinan seperti perkawinan dibawah umur.7 Di
Indonesia, batas usia perkawinan telah diperkuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa batas usia perkawinan baik
bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Adanya penguatan batas usia
perkawinan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah untuk meminimalisir
perkawinan dini. Namun kemudian setelah diperkuatnya batas usia perkawinan,
ketentuan dispensasi kawin nyatanya masih dapat dimintakan bagi mereka yang
ingin melaksanakan perkawinan namun tidak memenuhi syarat usia perkawinan.
Hal ini menunjukkan bahwa masih dibukanya ruang untuk dapat melaksanakan
perkawinan dini melalui dispensasi kawin.
Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019 dijelaskan bahwa bagi
mereka yang ingin melaksanakan perkawinan namun tidak memenuhi syarat usia,
maka dapat dimintakan dispensasi kawin oleh orang tua pihak laki-laki dan/atau
pihak perempuan dengan alasan mendesak dan bukti-bukti pendukung yang
cukup. Ketentuan dispensasi kawin ini sebenarnya telah mengalami kemajuan
dalam pembatasannya, namun belum memberikan penjelasan lebih terkait alasan
mendesak dan bukti cukup seperti apa yang menjadikan hakim harus memberi
dispensasi kawin tersebut sehingga akan menimbulkan multitafsir di kalangan
para hakim sebab tidak adanya kepastian hukum.
Untuk mengisi kekosongan hukum acara dispensasi kawin yang belum secara
tegas dan rinci diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah
Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Tentang
Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang diundangkan pada 21
November 2019. Salah satu tujuan adanya pedoman ini ialah untuk menjamin
standarisasi proses mengadili dispensasi kawin di pengadilan. Namun meskipun
PERMA No.5 Tahun 2019 telah dibuat untuk menyeragamkan proses mengadili
dispensasi kawin, nyatanya masih menyisakan problematika yang kaitannya
dengan frasa “alasan mendesak dan bukti-bukti pendukung yang cukup’ dalam
Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019. Pada Perma ini tidak terdapat kejelasan
lebih mengenai kriteria alasan yang dianggap mendesak dan bukti pendukung

Ahmad Masfuful Fuad, Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah, Implikasi Penetapan
7

Undang-Undang Perkawinan, (Jurnal Petita Vol. 1 No. 1, 2016), hal. 42.


seperti apa yang harus ditunjukkan, sehingga masih dapat menimbulkan
multitafsir di kalangan para hakim sebab tidak adanya kepastian hukum. Hal ini
menunjukkan bahwa meski telah adanya pedoman, namun belum dapat
memberikan keseragaman terkait alasan penetapan permohonan dispensasi kawin
di pengadilan sehingga perkawinan dini melalui dispensasi kawin ini masih dapat
terus terjadi dengan berbagai alasan.
Substansi dari pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin ini ada
pada pembahasan mengenai prosedur perkara dispensasi kawin yang berlaku di
lingkungan peradilan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, penyelesaian perkara,
hingga upaya hukum.8 Perma ini menuntut peran aktif hakim dalam mengadili
permohonan dispensasi kawin, dimana hakim harus secara ketat dan selektif
memutus perkara dispensasi kawin dengan menggali dan meneliti latar belakang
dan alasan perkawinan anak9 dengan mempertimbangkan perlindungan dan
kepentingan terbaik bagi anak,10 sebab dampak yang ditimbulkan dari
dilaksanakannya perkawinan dini akan berpengaruh besar pada kehidupan sang
anak seperti yang penulis telah jelaskan sebelumnya.
Studi penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa anak dibawah umur
yang mendapat dispensasi kawin setelah melaksanakan perkawinan, dianggap
dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum atau ia
tidak berada dibawah pengampuan orangtuanya lagi.11 Kemudian dalam literatur
lain ditemukan bahwa antara Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-
Undang Perlindungan Anak keduanya belum melindungi kepentingan anak dalam
perkara dispensasi kawin sehingga diperlukan harmonisasi agar hak anak
terlindungi.12 Dan dalam literatur lain ditemukan bahwa terdapat Pengadilan
Agama yang terlambat menerapkan PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam proses

8
Sugiri Permana dan Ahmad Zaenal Fanani, Dispensasi Kawin Dalam Hukum Keluarga Di
Indonesia Kajian Atas Norma Dan Praktek Hukum Acara Pasca Disahkannya UU No. 16 Tahun 2019,
(Surabaya, 2019), hal. 3
9
Pasal 16 huruf (c) PERMA No.5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan
Dispensasi Kawin
10
Mughniatul Ilma, Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia Kawin Bagi
Anak Pasca Lahirnya UU No. 16 Tahun 2019, (Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam Vol. 2
No.2, 2020), hal. 152.
11
Supri Yadin Hasibuan, Ahmad Jalili, Firdaus, dan Zulfahmi, Pembaharuan Hukum
Perkawinan tentang Batas Minimal Usia Pernikahan dan Konsekuensinya, (Teraju Jurnal Syariah dan
Hukum: Vol. 1 No. 2, 2019)
12
Sri Rahmawaty Yunus dan Ahmad Faisal, Analisis Penetapan Dispensasi Kawin Dalam
Perspektif UU Perlindungan Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Limboto), (Jurnal Ilmiah Al-Jauhari
(JIAJ) Studi Islam dan Interdisipliner: Vol. 3 No. 2, 2018)
mengadilinya dikarenakan belum adanya kesiapan dalam mengaplikasikan aturan
tersebut.13 Dari semua penelitian yang membahas dispensasi kawin, belum
ditemukan penelitian yang membahas tentang aspek kepastian hukum PERMA
No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini.
Indonesia saat ini masih berstatus darurat perkawinan anak. Hasil penelitian
UNICEF menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari negara yang memiliki
tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia dan ke-2 tertinggi di ASEAN setelah
Kamboja.14 Menurut laporan BPS dan Bappenas diketahui bahwa salah satu
wilayah dengan jumlah kasus perkawinan anak tertinggi di Indonesia adalah Jawa
Barat. Menurut angka absolut kejadian perkawinan usia anak, Jawa Barat
termasuk provinsi yang menempati posisi tiga besar dengan jumlah perkawinan
usia anak yang paling tinggi.15 Kemudian menurut data dari BPS Jawa Barat
diketahui bahwa Garut merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat
yang menduduki posisi tiga besar dengan kategori pernikahan dini terbanyak.16
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga
Berencana (DP3AKB) Jawa Barat, Poppy Shopia Bakur mengungkapkan bahwa
Jawa Barat masih menjadi salah satu provinsi penyuplai angka perkawinan dini
terbesar dengan tinggi persentase perkawinan dini mencapai 35%, dan salah satu
daerah yang perkawinan dini nya masih relatif tinggi adalah Kabupaten Garut.17
Dilansir dari Data Badan Peradilan Mahkamah Agung (BADILAG)
ditemukan bahwa dalam kurun waktu januari s/d juni 2020, tercatat permohonan
dispensasi kawin yang masuk sebanyak 34.413 perkara dan sebanyak 33.664
diantaranya dikabulkan oleh pengadilan.18 Pengadilan Agama Garut merupakan
salah satu pengadilan yang permohonan dispensasi kawinnya banyak diajukan
13
Muhammad Ihsan Muttaqin, Hakim Majelis Dalam Perkara Dispensasi Nikah Pasca
Lahirnya PERMA No. 5 Tahun 2019, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020)
14
Laman Berita Tempo, Pengadilan Agama Didesak Perketat Izin Dispensasi Perkawinan
Anak, 2019, diakses melalui https://www.tempo.co pada tanggal 21 April 2021.
15
Laporan BPS dan Bappenas, Child Marriage Report: Pencegahan Perkawinan Anak
Percepatan Yang Tidak Bisa Ditunda, 2020, diakses melalui https://www.unicef.org/indonesia pada
tanggal 21 Juli 2021.
16
Data BPS Tahun 2017 dikutip dari Sobur Setiawan, Tetti Solehati, Udin Rosidin, Gambaran
Pola Asuh Orang Tua Yang Menikah Dini Dalam Menanamkan Kedisiplinan Pada Anak, (Jurnal Ilmiah
Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Vol. 10 N0. 3,2020), hal. 290.
17
Wawancara pada tahun 2020 dengan Muhammad Wildan Pratomo dalam acara Jabar
Serius Lawan Pernikahan Usia Dini, diakses melalui website RRI Jabar http://m.rri.co.id pada tanggal
21 Juli 2021.
18
Yayasan PLAN INDONESIA dan KPI, Perkawinan Bukan Untuk Anak: Potre Perkawinan Anak
di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan, diakses melalui https://plan-international.or.id pada
tanggal 18 Juli 2021.
dan dikabulkan di Jawa Barat. Dilansir dari Data BADILAG ditemukan bahwa
pada tahun 2019, jumlah permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama
Garut mencapai 166 perkara. Pada tahun 2020, adanya kenaikan menjadi 564
perkara.19 Dan pada pertengahan tahun 2021 sudah tercatat adanya 313 perkara.
Dari semua permohonan tersebut, hampir 97% nya diputus kabul oleh
pengadilan.20
Data tersebut menunjukkan bahwa meski telah ditetapkannya PERMA No. 5
Tahun 2019 agar hakim dapat secara ketat dan selektif mengadili permohonan
dispensasi sehingga berkurangnya perkawinan dini ternyata belum dapat
terealisasi sebab tidak adanya penjelasan lebih dalam Perma tersebut mengenai
alasan mendesak dan bukti cukup seperti apa yang menjadikan hakim harus
memberi dispensasi kawin dalam konteks perlindungan dan kepentingan terbaik
bagi anak. Mengingat Pengadilan Agama sendiri merupakan garda terakhir yang
ditempuh dalam mencegah terjadinya perkawinan dini, maka regulasi dispensasi
kawin yang secara ketat telah diatur dalam PERMA No. 5 Tahun 2019
dimaksudkan untuk memperketat prosedur permohonan dispensasi kawin
sehingga terjadinya perkawinan dini dapat terminimalisir, namun hal ini belum
dapat terealisasi.
Dipilihnya Pengadilan Agama Garut sebagai objek penelitian disamping
karena jumlah dispensasi kawin yang diputus termasuk banyak di Jawa Barat juga
karena belum adanya penelitian yang mengungkap faktor dibalik banyaknya
dispensasi kawin yang diberikan ketika Daerah Garut sendiri masih menjadi
daerah yang perkawinan dini nya relatif tinggi di Jawa Barat. Pengadilan Agama
Garut juga merupakan Pengadilan yang mendapatkan penghargaan satuan kerja
terbaik kesatu untuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan Urusan
Administrasi dan terbaik ketiga untuk DIPA Ditjen BADILAG dari Kantor
Pelayanan Pembendaharaan Negara (KPPN) Kabupaten Garut dalam Kinerja
Pelaksanaan Anggaran Semester II Tahun 2020.21

19
BADILAG, Penyebaran Perkara Berdasarkan Jenis Perkara Dispensasi Kawin, diakses
melalui http://simtalak.badilag.net pada tanggal 21 Juli 2021.
20
Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat, Data Statistik Perkara, diakses melalui
http://sikabayan.pta.bandung/ pada tanggal 23 Juli 2021.
21
Pengadilan Agama Garut, Pengadilan Agama Garut Mendapatkan Penghargaan Dari KPPN
Garut, diakses melalui https://pa-garut.go.id/ pada tanggal 19 Juli 2021.
Dalam penelitian ini, maka yang menjadi fokus bahasan adalah aspek
kepastian hukum PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya
perkawinan dini. Hal ini menarik dan menjadi penting untuk dibahas sebab
PERMA No. 5 Tahun 2019 hanya menjelaskan asas yang masih bersifat umum
dalam mengadili permohonan dispensasi kawin tanpa ada penjelasan lebih terkait
kriteria alasan mendesak dan bukti pendukung seperti apa yang menjadikan
hakim harus memberi dispensasi kawin sesuai dalam peraturan perundangan.
Sehingga meski telah adanya pedoman, perkawinan dini melalui dispensasi kawin
ini masih dapat terus terjadi dengan berbagai alasan. Dengan adanya penelitian
ini, maka akan terungkap aspek kepastian hukum PERMA No. 5 Tahun 2019
dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini.

B. Identifikasi Masalah
1. Adanya peningkatan batas usia perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
No. 16 Tahun 2019
2. Masih dibukanya ruang untuk dapat melakukan perkawinan dini melalui
dispensasi kawin
3. Ditetapkannya regulasi dispensasi kawin dalam PERMA No. 5 Tahun 2019
tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin
4. Kenaikan batas usia perkawinan mempengaruhi terhadap tingginya
permohonan dispensasi kawin di pengadilan
5. Banyaknya dispensasi kawin yang diberikan ketika regulasi dispensasi telah
secara ketat diatur dalam PERMA No. 5 Tahun 2019
6. Belum adanya penjelasan lebih dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 terkait alasan
mendesak dan bukti cukup seperti apa yang menjadikan hakim harus memutus
kabul dispensasi kawin dalam konteks kepentingan terbaik bagi anak

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini terarah dan tidak melebar, maka penulis akan
membatasi permasalahan yang ada hanya pada pembahasan mengenai aspek
kepastian hukum PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya
perkawinan dini. Dan lokasi penelitiannya dibatasi hanya di Pengadilan Agama
Garut.

D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepastian hukum alasan mendesak dan bukti pendukung yang
cukup dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019?
2. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Garut menafsirkan ketetntuan alasan
mendesak dan bukti pendukung yang cukup sehingga dispensasi kawin harus
diberikan dalam konteks perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1) Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kepastian hukum alasan mendesak dan bukti pendukung
yang cukup dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2019
2. Untuk mengetahui tafsiran alasan mendesak dan bukti pendukung yang
cukup sehingga hakim harus memberi dispensasi kawin dalam konteks
perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak

2) Manfaat Penelitian
1. Dapat dijadikan bahan referensi dalam rangka memperkaya khazanah
kepustakaan juga memberikan informasi dalam hukum perkawinan
khususnya dalam dispensasi kawin
2. Dapat dijadikan acuan untuk penulisan dan pembahasan lebih lanjut yang
lebih luas dan lebih kritis sebagai pengembangan ilmu pegetahuan, baik itu
bagi penulis juga bagi peneliti berikutnya yang membahas tentang dispensasi
kawin.
3. Memberikan manfaat kepada para pihak yang terlibat dalam praktik
peradilan khususnya mengenai perkara permohonan dispensasi kawin.

F. Review Studi Terdahulu


Studi tentang dispensasi kawin telah menjadi perhatian para peneliti
sebelumnya, diantaranya:
1. Allika Fadia Tasya, Atik Winanti (2021)22, menyatakan bahwa meski telah ada
undang-undang yang mengatur mengenai hak anak tetapi implementasinya belum
maksimal terutama untuk anak-anak yang menikah di usia dini. Kemudian
sekarang regulasi dispensasi kawin telah diatur secara khusus dalam PERMA
Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi
Kawin yang dapat dijadikan pedoman oleh setiap hakim di pengadilan yang mana

Allika Fadia Tasya, Atik Winanti, Dispensasi Perkawinan Anak Setelah Adanya PERMA No. 5
22

Tahun 2019, (Wajah Hukum: Vol. 5 No. 1, 2021)


prinsipnya adalah mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak (the best
interests of the child).
2. Muhammad Ihsan Muttaqin (2020)23, menyatakan bahwa penggunaan hakim
majelis pada perkara tersebut tidaklah merubah pada substansi putusannya, karena
acuan dari putusan tersebut mengacu kepada peraturan yang terdahulu mulai dari
persyaratan, pendaftaran, serta pemeriksaan perkaranya. Keterlambatan
Pengadilan Agama Garut dalam merespon surat edaran dari Mahakamah Agung
adalah karena kesiapan sumber daya manusianya yang dirasa belum siap
ditambah dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap aturan baru
tersebut menjadi penyebab keterlambatan penggunaan PERMA No.5 Tahun 2019
tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
3. Teti Dwi Lestari (2019)24, menyatakan bahwa pelaksanaan perkawinan dini
tanpa dispensasi nikah tersebut dilaksanakan oleh lebe, secara nikah siri yaitu
perkawinan secara agama Islam yang tidak dicatat di KUA Kecamatan
Cimanggung, dan dengan adanya pemalsuan identitas berupa pendewasaan umur
terhadap pihak yang bersangkutan dengan alasan tidak mempunyai biaya untuk
meminta izin dispensasi nikah dari Pengadilan Agama, namun ingin
perkawinannya tercatat karena sedang dalam keadaan hamil sehingga
dikhawatirkan anak yang dilahirkannya akan sulit mendapatkan akta kelahiran.
4. Supri Yadin Hasibuan, Ahmad Jalili, Firdaus, dan Zulfahmi (2019)25,
menyatakan bahwa meski telah ditegaskan mengenai batas usia minimum
diperbolehkan menikah oleh Undang-Undang, namun disisi lain diberikan
pengecualian, yakni dengan pemberian dispensasi kawin untuk anak dibawah
umur. Anak dibawah umur yang mendapat dispensasi kawin boleh melaksanakan
perkawinan walau masih dibawah umur. Anak dibawah umur yang mendapat
dispensasi kawin setelah melaksanakan perkawinan, dianggap dewasa dan
dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum, atau ia tidak berada
dibawah pengampuan orangtuanya lagi.

23
Muhammad Ihsan Muttaqin, Hakim Majelis Dalam Perkara Dispensasi Nikah Pasca
Lahirnya PERMA No. 5 Tahun 2019, (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020)
24
Teti Dwi Lestari, Perkawinan Dibawah Umur Tanpa Dispensasi Nikah Di Desa Sawah
Dadap Kabupaten Sumedang, (Skripsi: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2019)
25
Supri Yadin Hasibuan, Ahmad Jalili, Firdaus, dan Zulfahmi, Pembaharuan Hukum
Perkawinan tentang Batas Minimal Usia Pernikahan dan Konsekuensinya, (Teraju Jurnal Syariah dan
Hukum: Vol. 1 No. 2, 2019)
5. Sri Rahmawaty Yunus dan Ahmad Faisal (2018)26, menyatakan bahwa
pernikahan anak secara normatif dalam perkara dispensasi nikah tidak relevan
dengan tujuan perlindungan hukum terhadap anak. Undang-Undang Perlindungan
Anak tidak menyinggung tentang dispensasi nikah, sebaliknya Undang-Undang
Perlidungan Anak tidak mengintegrasikan perlindungan anak dan dispensasi
nikah terhadap anak di bawah umur. Sehingga kedua peraturan ini belum
melindungi kepentingan anak dalam perkara dispensasi nikah. Hal ini perlu
drespon oleh Negara dengan menghadirkan instrument khusus untuk anak dalam
hal perlindungan yang lebih komprehensif dan tidak membenturkan peraturan
perundangan yang satu dengan yang lainnya.
Setelah mengamati beberapa karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan
dispensasi kawin, terdapat persamaan dan perbedaan, dimana persamaan
penelitiannya ialah membahas tentang dispensasi kawin. Perbedaan penelitiannya
ada pada fokus bahasan yakni aspek kepastian hukum PERMA No. 5 Tahun 2019
dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini.

G. Kerangka Teori Penelitian


1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum yang dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana
dikutib oleh Sidharta27 bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan antara lain tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, jernih,
konsisten dan mudah diperoleh (accessible) yang diterbitkan oleh kekuasaan
Negara. Sedangkan Gustav Radbruch memberi pendapat bahwa kepastian dalam
hukum tercapai apabila hukum itu sebanyak-banyaknya berupa undang-undang,
dalam undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-
undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis. Undang-undang itu
dibuat berdasarkan “rechtsleer kelijheid” (keadilan hukum yang sungguh-
sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang
dapat ditafsirkan secara berlainan-lainan.28

26
Sri Rahmawaty Yunus dan Ahmad Faisal, Analisis Penetapan Dispensasi Kawin Dalam
Perspektif UU Perlindungan Anak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Limboto), (Jurnal Ilmiah Al-Jauhari
(JIAJ) Studi Islam dan Interdisipliner: Vol. 3 No. 2, 2018)
27
Bernart L. Tanya, Dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas. Ruang dan Generasi
(Surabaya, CV Kita, 2010), hal 127
28
Arief Sidharta, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 85
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosilogis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan dituangkan dalam bentuk Undang-Undang secara pasti
karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
multitafsir dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma
lain sehingga tidak berbenturan.29 Kepastian hukum itu artinya ada kejelasan
hukum, hukum tidak menimbulkan multitafsir, hukum tidak mengakibatkan
kontradiktif, dan hukum dapat dilaksanakan.

2. Perkawinan Dini
Perkawinan harus dilaksanakan dengan kesiapan usia, finansial, mental,
maupun fisik yang cukup matang.30 Namun perkawinan dini masih menjadi hal
yang banyak dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia yang masih
dipengaruhi oleh adat kebiasaan masyarakat setempat. Hal yang biasanya menjadi
sebab terjadinya perkawinan dini ialah karena masalah ekonomi, rendahnya
pendidikan, pemahaman budaya seperti adanya sistem perjodohan.31 Terjadinya
perkawinan dini ini menggambarkan lemahnya sebuah undang-undang dan badan
hukum terkait mengenai kasus pernikahan yang melanggar hukum.32
Adanya praktik perkawinan dini merupakan fakta yang melanggar hak asasi
anak serta membatasi pilihan dan peluang mereka. Hak pendidikan yang
dibutuhkan di masa pertumbuhan mereka tidak didapat. Kualitas hidup menjadi
tidak maksimal, sebab di usia yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk
menuntut ilmu harus diganti dengan mengurus rumah tangga dan merawat anak.33
Dari segi kesehatan, perkawinan dini dapat berakibat negatif bagi ibu dan juga anak
yang akan dilahirkannya. Begitu juga dari segi sosial, perkawinan dibawah umur
dapat mengurangi keharmonisan rumah tangga dikarenakan emosi yang belum stabil
sehingga berakibat pada hilangnya kendali menyelesaikan konflik keluarga.34

29
Irma Suryani, Kepastian dan Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Rumah Susun di
Makassar, (Tesis: Universitas Islam Indonesia, 2018), hal. 30.
30
Alvan Fathoni, Perkawinan Dibawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi
Hukum), hal. 71.
31
Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, hal. 212.
32
Zainuddin Ali, Kajian Sosiologi Hukum Terkait Perkawinan Dibawah Umur
33
Dian Latifiani, Upaya Preventif Perkawinan Anak di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja
Kabupaten Tegal, hal. 21.
34
Maimunah, Dispensasi Nikah Anak Perempuan: Suatu Fenomena Masyarakat Modern
dalam Konteks Agama dan Negara, hal. 210.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan hanya
diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Sehingga bagi pria dan wanita yang belum memenuhi batasan umur tersebut
seharusnya tidak bisa melakukan perkawinan. Namun UU Perkawinan kemudian
memberikan ruang bagi yang belum mencukupi usianya maka bisa diajukan
permohonan dispensasi kawin ke pengadilan dengan alasan yang cukup mendesak
disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.35
Adanya aturan mengenai batasan usia ini sebenaranya telah sesuai dengan
prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami istri itu harus telah siap
juga matang jiwa dan raganya. Hal ini menjadi perlu agar tercapainya tujuan
perkawinan yakni menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah,
serta memberikan keturunan yang sehat, sehingga tidak berujung pada perceraian
yang prematur.36

3. Dispensasi Perkawinan
Dispensasi kawin merupakan dispensasi atau izin yang diberikan oleh
pengadilan kepada calon mempelai yang umurnya belum mencukupi batas usia
untuk melangsungkan perkawinan, yakni bagi calon pria dan wanita yang belum
berusia 19 (sembilan belas) tahun. 37
Di Indonesia, aturan mengenai dispensasi
kawin ini telah secara tegas dan rinci diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi
Kawin. Aturan dispensasi kawin ini telah memuat dengan rinci hal-hal yang
berkaitan dengan dispensasi kawin mulai dari pendaftaran, persyaratan pengajuan,
pemeriksaan, penyelesaian perkara, hingga upaya hukumnya.
Adapun tujuan daripada aturan dispensasi kawin ini telah dijelaskan juga
dalam PERMA No. 5 Tahun 2019 yaitu: 1) menerapkan asas sebagaimana
dimaksud Pasal 2, 2) menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi
hak anak, 3) meningkatkan tanggungjawab orang tua dalam rangka pencegahan
perkawinan anak, 4) mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang

35
Pasal 7 (2) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
36
Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak Dibawah Umur (Child Marriage) Perspektif
Fikih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional, hal. 17.
37
Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
melatarbelakangi pengajuan permohonan dispensasi kawin, dan 5) mewujudkan
standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di pengadilan.38

H. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu suatu tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yang menjelaskan
secara rinci juga menguraikan hal-hal yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan studi lapangan untuk melakukan wawancara para pihak yang
berkaitan dengan fokus bahasan penelitian yakni aspek kepastian hukum
PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini.

2) Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan secara rinci serta menguraikan hal-hal berdasarkan data yang
diperoleh dari penelitian lapangan melalui wawancara dengan para pihak yang
berkaitan dan studi kepustakaan mengenai aspek kepastian hukum PERMA No.
5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini.

3) Sumber Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamduji, bahan hukum primer
ialah bahan-bahan hukum yang mengikat.39 Adapun bahan hukum primer
dalam penelitian ini yakni Undang-Undang Perkawinan, Peraturan
Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019, dan wawancara dengan para pihak
yang berkaitan dengan fokus pembahasan dalam penelitian seperti Hakim
Pengadilan Agama Garut yang mengadili perkara dispensasi kawin.

b. Bahan Hukum Sekunder


Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamduji, bahan hukum
sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan dan

38
Pasal 3 PERMA No. 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi
Kawin
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 13.
tafsiran sumber bahan hukum primer,40 seperti buku-buku hukum, jurnal
hukum, laporan hukum, media cetak atau elektronik, pendapat ilmiah
para sarjana, dan kasus-kasus hukum terkait dengan pembahasan
dispensasi perkawinan.

c. Bahan Hukum Tersier


Menurut soerjono Soekanto dan Sri Mamduji, bahan hukum tersier
yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan bahan
hukum primer dan sekunder,41 seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
dokumen lainnya yang berkaitan dengan dispensasi perkawinan.

4) Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini didasarkan pada library
research atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang mengambil dan
mengolah data bersumber dari literatur kepustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer yakni peraturan perundang-undangan, PERMA No. 5 Tahun
2019 dan wawancara dengan para pihak yang berkaitan, seperti Hakim
Pengadilan Agama Garut. Kemudian bahan hukum sekunder yakni bahan-
bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana juga literatur lainnya
yang berkaitan dan ada relevansinya dengan masalah penelitian, juga bahan
hukum tersier yakni kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet
dan jurnal. Adapun fokus penelitiannya adalah aspek kepastian hukum PERMA
No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah terjadinya perkawinan dini. Setelah
itu, peneliti akan mencatat hasil penelitian pada setiap tahapan, kemudian
menganalisa dan mengkorelasikan hasil penelitian dengan aspek kepastian
hukum guna menjawab rumusan masalah.

5) Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis kualitatif, yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisis, yang menggambarkan dan menjelaskan secara rinci juga
menguraikan hal-hal yang diperoleh dari penelitian lapangan melalui
wawancara dengan para pihak yang berkaitan dan studi kepustakaan mengenai

40
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
hlm. 13.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
hlm. 13.
aspek kepastian hukum PERMA No. 5 Tahun 2019 dalam upaya mencegah
terjadinya perkawinan dini untuk kemudian dianalisis guna menjawab rumusan
masalah.

I. Sistematika Penulisan
BAB I berisi tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II berisi tentang pembahasan mengenai Perkawinan Dini, Regulasi
Dispensasi Kawin Dalam PERMA No. 5 Tahun 2019, dan Teori Kepastian Hukum.
BAB III berisi tentang Profil Pengadilan Agama Garut yang akan diuraikan
dari Sejarah, Tugas, dan Wewenang Pengadilan Agama Garut.
BAB IV berisi tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan Tentang Dasar
Pertimbangan Hakim Memberikan Dispensasi Kawin dan Analisa Aspek Kepastian
Hukum PERMA No. 5 Tahun 2019 Dalam Upaya Mencegah Terjadinya
Perkawinan Dini.
BAB V berisi tentang Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Ali, Zainuddin. 2010. Kajian Sosiologi Hukum Terkait Perkawinan Dibawah Umur.
(Jakarta: Pardiyanto UID)
BADILAG. Penyebaran Perkara Berdasarkan Jenis Perkara Dispensasi Kawin,
diakses melalui http://simtalak.badilag.net pada tanggal 21 Juli 2021.
Bernart L. Tanya, Dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas. Ruang
dan Generasi. (Surabaya: CV Kita)
Fathoni, Alvan. 2017. Perkawinan Dibawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam
dan Sosiologi Hukum. (Jurnal Studi Keislaman AT-TURAS: Vol. 4 No. 1)
Fuad, Ahmad Masfuful. 2016. Ketentuan Batas Minimal Usia Kawin: Sejarah,
Implikasi Penetapan Undang-Undang Perkawinan, (Jurnal Petita Vol. 1 No. 1)
Hanafi, Yusuf. Kontroversi Perkawinan Anak Dibawah Umur (Child Marriage)
Perspektif Fikih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional. (Bandung:
Mandar Maju)
Hasibuan, Supri Yadin. Ahmad Jalili, Firdaus, dan Zulfahmi. 2019. Pembaharuan
Hukum Perkawinan tentang Batas Minimal Usia Pernikahan dan
Konsekuensinya. (Teraju Jurnal Syariah dan Hukum: Vol. 1 No. 2)
Ilma, Mughniatul. 2020. Regulasi Dispensasi Dalam Penguatan Aturan Batas Usia
Kawin Bagi Anak Pasca Lahirnya UU No. 16 Tahun 2019. (Al-Manhaj: Jurnal
Hukum dan Pranata Sosial Islam Vol. 2 No.2)
Indiarti. 2007. Kehamilan, Persalinan & Perawatan Bayi. (Yogyakarta: Diglossia
Media)
Laman Berita Tempo, Pengadilan Agama Didesak Perketat Izin Dispensasi
Perkawinan Anak, 2019, diakses melalui https://www.tempo.co pada tanggal
21 April 2021
Laporan BPS dan Bappenas, Child Marriage Report: Pencegahan Perkawinan Anak
Percepatan Yang Tidak Bisa Ditunda, 2020, diakses melalui
https://www.unicef.org/indonesia pada tanggal 21 Juli 2021
Latifiani, Dian. 2019. Upaya Preventif Perkawinan Anak di Desa Kedungkelor
Kecamatan Warureja Kabupaten Tegal. (Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia)
Lestari, Teti Dwi. 2019. Perkawinan Dibawah Umur Tanpa Dispensasi Nikah Di
Desa Sawah Dadap Kabupaten Sumedang. (Skripsi: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Muttaqin, Muhammad Ihsan. 2020. Hakim Majelis Dalam Perkara Dispensasi Nikah
Pasca Lahirnya PERMA No. 5 Tahun 2019. (Skripsi: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta)
Pengadilan Agama Garut. Pengadilan Agama Garut Mendapatkan Penghargaan Dari
KPPN Garut. Diakses melalui https://pa-garut.go.id/ pada tanggal 19 Juli 2021.
Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin
Permana, Sugiri dan Ahmad Zaenal Fanani. 2019. Dispensasi Kawin Dalam Hukum
Keluarga Di Indonesia Kajian Atas Norma Dan Praktek Hukum Acara Pasca
Disahkannya UU No. 16 Tahun 2019. (Surabaya)
Pratomo, Muhammad Wildan. Jabar Serius Lawan Pernikahan Usia Dini, diakses
melalui website RRI Jabar http://m.rri.co.id pada tanggal 21 Juli 2021.
Setiawan, Sobur, Tetti Solehati, Udin Rosidin. 2020. Gambaran Pola Asuh Orang
Tua Yang Menikah Dini Dalam Menanamkan Kedisiplinan Pada Anak, (Jurnal
Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Vol. 10 N0. 3)
Sidharta, Arief. 2006. Hukum dan Logika. (Bandung: Alumni)
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Suryani, Irma. 2018. Kepastian dan Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Rumah
Susun di Makassar. (Tesis: Universitas Islam Indonesia)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Yayasan PLAN INDONESIA dan KPI. Perkawinan Bukan Untuk Anak: Potre
Perkawinan Anak di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan, diakses
melalui https://plan-international.or.id pada tanggal 18 Juli 2021.
Yunus, Sri Rahmawaty dan Ahmad Faisal. 2018. Analisis Penetapan Dispensasi
Kawin Dalam Perspektif UU Perlindungan Anak (Studi Kasus di Pengadilan
Agama Limboto). (Jurnal Ilmiah Al-Jauhari (JIAJ) Studi Islam dan
Interdisipliner: Vol. 3 No. 2)
Zulfiani. 2017. Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. (Jurnal Hukum Samudra Keadilan: Vol.
12 No. 2)

Anda mungkin juga menyukai