Anda di halaman 1dari 14

KARYA ILMIAH

NAMA :

LARA DWI CANTIKA

042860068

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA BENGKULU

2023
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BELUM CUKUP UMUR DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
ANAK

Lara Dwi Cantika1)


Widya N. Rosari2)
1)
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Terbuka
2)
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Terbuka
E-mail : laradwicantika784@gmail.com

ABSTRAK
Akibat Hukum Perkawinan Belum Cukup Umur Ditinjau Dari Undang-Undang
Perkawinan Dan Undang-Undang Perlindungan Anak
Tujuan dari penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami dan menganalisis isu
perkawinan anak belum cukup umur berdasarkan UU perkawinan dan perlindungan anak.
Melalui penerapan metode penelitian normatif, ditemukan bahwa perkawinan anak dan
perlindungan anak belum dilaksanakan secara baik dalam harmonisasi penerapan kedua
undang-undang yang ada dan “tergantung pada kebijaksanaan” sesuai standar yang
berlaku sesuai dengan prinsip hukum lex”. Penghinaan dari belakang. Legi priori dan lex
professionalis menyimpang dari legi generici. UU No. 16 Tahun 2019 yang mengubah UU
No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan Anak di Bawah Umur (Bagian 7), juga Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Kemudian, Perma Nomor 5
Tahun 2019 menangani pengecualian dalam perkawinan anak belum cukup umur.
Kekurangan pemahaman terkait perkawinan anak menunjukkan bahwa informasi dan
edukasi yang mencakup sosialisasi masih perlu ditingkatkan oleh pemerintah dan
masyarakat tidak efektif.
Kata kunci : Perkawinan, Anak, Dibawah umur, perlindungan

ABSTRACT
Legal Consequences of Marriage Before Being Old Enough Judging From the Marriage
Law and Child Protection Law
The aim of this research was to understand and analyze the issue of marriage for children
under the age of consent based on the Marriage and Child Protection Law. Through the
application of normative research methods, it was found that child marriage and child
protection have not been implemented properly in harmonizing the application of the two
existing laws and "depending on discretion" according to applicable standards in
accordance with the principles of lex law. Insult from behind. The legi priori and lex
professionalis deviate from the legi generici. UU no. 16 of 2019 which amends Law No. 1 of
1974 concerning Marriage of Minors (Section 7), as well as Law Number 35 of 2014
concerning Child Protection. Then, Perma Number 5 of 2019 which regulates the marriage
of children who are not old enough. The lack of understanding regarding child marriage
shows that information and education which includes socialization still needs to be improved
by the government and the community is not effective.
Keywords: Marriage, Child, Underage, Protection

PENDAHULUAN
Secara umum di kehidupan manusia, perkawinan merupakan suatu hal yang
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh dipisahkan sebelah pihak. Perkawinan
diselenggarakan pada manusia yang sudah cukup umur tanpa memandang pekerjaan, etnis,
punya banyak uang atau tidak, dan menerima apa adanya. Ada banyak orang yang sudah
memiliki kemampuan berpikir yang matang akan mencari pasangan yang sesuai diinginkan.
Perkawinan merupakan sebuah hubungan akan membentuk silaturahmi hidup dalam
masyarakat dan negara berdasarkan peraturan. Sebelum UU Perkawinan diberlakukan, tata
cara perkawinan di Indonesia seringkali diterapkan menurut hukum agama dan adat istiadat.
(Sonny dkk, 2018)
Sudah diundangkannya undang-undang no 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diciptakan oleh negara untuk
mengatur masalah perkawinan. Ada syarat yang harus dipeuhi agar dapat melangsungkan
perkawinan, yaitu syaratnya adalah batas usia perkawinan (syarat materiil), yang salah
satunya adalah batasan usia minimal pada aturan UU No 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan
tersebut. Aturan kawin menetapkan bahwa dapat diizinkan laki-laki itu berusia 19 tahun
dan perempuan berusia 16 tahun, dengan bertujuan menjaga kesehatan kedua pasangan dan
keturunan mereka. Namun, menyadari risiko dari usia yang masih sangat muda dan belum
tau apa-apa.
Perkawinan belum cukup umur bukan lagi hal baru di negara kita. Kebiasaan telah
adanya sejak zaman dahulu dan mempunyai banyak penulis. Bukan di kota besar aja, tidak
juga di perdesaan. Banyak penyebab, seperti masalah ekonomi, tingkat pendidikan yang
sangat rendah, belum paham terhadap budaya, dan ilmu agama kurang paham, kurang kasih
sayang dari kedua orang tua, keluarga ibu bapaknya sudah bercerai, dan masih banyak lagi
penyebabnya. Pada melangsungkan perkawinan diperbolehkan itu pada pria telah berumur
19 tahun dan wanita juga berumur 19 tahun. Keabsahan suatu perkawinan ditentukan sesuai
dengan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2. Namun, dissonansi muncul antara
ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang mengizinkan usia 16 tahun untuk perempuan
dan ketentuan undang-undang tahun 2003 mengenai perlindungan anak. (Candra, 2017)
Hal itu tertuang sudah jelas dalam pasal 26 ayat 1 huruf c UU No. UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak mengatur orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab
agar menghentikan perkawinan anak belum cukup umur. Hal ini adalah sebuah keniscayaan
dan harus menjadi pedoman bersama, karena anak yang dipaksa kawin pada usia masih
dianggap kekanak-kanakan sudut pandang dari hak mereka. (Rahman, 2016).
Pada dasarnya, Pasal 7(2) UU Perkawinan mendorong maraknya perkawinan anak,
termasuk penggunaan terminologi yang menyesatkan tanpa penjelasan yang kaku mengenai
penyimpangan tersebut. Dalil-dalil yang menentang aturan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan
telah diperjelas secara gamblang, oleh karena itu perlu dilakukan penguatan terhadap
ketentuan Pasal 7 ayat (2), khususnya dengan memperketat bias frasa dan menghilangkan
frasa-frasa resmi lainnya. Lebih lanjut, pengaturan yang lebih ketat yang menjelaskan untuk
melindungi kesehatan kedua pasangan dan keturunan, seharusya perlu diperjelas umur yang
telah cukup untuk menikah dalam UU Perkawinan. “Asas atau doktrin perkawinan yang
dapat dicegah anak nikah yang masih dibawah umur.”
Dari segi hukuman ada ancaman hukuman 4 tahun penjara, di adukan ke pihak
berwenang dan bukti-bukti yang membuktikan bahwa perkara tersebut sesuai dengan
tuntutan pidana yang ada. Selain dapat memberikan dampak psikologis terhadap perempuan,
proses persidangan juga tidak mudah untuk menjadikan kasus ini menjadi kasus pidana.
“Nampaknya dari segi hukum, perkawinan yang belum cukup umur merupakan pelanggaran
hukum, khususnya mengenai aturan batasan usia untuk menikah. Dengan demikian, aturan
usia untuk menikah ditetapkan, harus 19 tahun untuk pria dan 16 tahun bagi wanita. Namun,
dalam kasus-kasus yang sangat mendesak, perkawinan belum cukup umur yang ditetapkan
oleh UU Perkawinan dapat dilakukan setelah adanya pengecualian pengadilan atas
permintaan orang tua. Suatu permasalahan muncul di masyarakat yaitu kehamilan
sebelumnya. nikah. Dari banyak sebabnya saat ini, anak makin banyak melarikan diri dari
sosialisasi sehingga menimbulkan situasi yang tidak sah, hal ini disebabkan oleh faktor
dalam keluarga yaitu tidak ketat awasan orang tua dan ada juga faktor luar yang merupakan
faktor sosial sangat buruk, dan terjdilah anak terjerumus ke dalam pergaulan sangat bebas.
UU Perkawinan dan UU Kesejahteraan Anak, meskipun kedua undang-undang
tersebut menetapkan usia dewasa yang berbeda, namun tidak mensyaratkan perkawinan anak
belum cukup umur. Banyak penyebab yang memengaruhi perkawinan anak, diantaranya
adalah faktor krisisnya ekonomi. Hampir dari semua orang tua dari keluarga miskin yang
anggapanya bahwa mengkawinkan anak mereka, meski di usia muda akan berkurang beban
orangtua dan ekonominya keluarga tanpa banyak memikirkan dampak positif atau negatif
dan dampak negatifnya sangat besar.
Seperti contoh kasus perkawinan anak yang belum cukup umur berusia 14 tahun,
Muhammad Ferdi, dengan Nikmah Sari Saskia yang berusia 15 tahun. Kasus yang cukup
piral di media sosial dan kalangan masyarakat, Dapat dilihat sudut pandang hukum
Indonesia yang positif, pada hakikatnya hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak anak.
Hal ini mengingkari hak anak untuk pertumbuhan dan perkembangan berintegrasi ke dalam
masyarakat, belajar dan menikmati masa kecilnya. Itu tidak bagus karena secara psikologis
waktu yang seharunya untuk bermain. (Mohammad, 2019)
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis ingin mengetahui dan mengulas topik
“Dampak hukum perkawinan belum cukup umur menurut UU Perkawinan dan UU
Perlindungan Anak”.

RUMUSAN MASALAH
Dengan merujuk kepada informasi yang telah diuraikan pada konteks masalah
sebelumnya, penulis akan menyusun perumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan
Anak terhadap perkawinan yang melibatkan usia di bawah batas yang ditetapkan?
2. Bagaimana dampak yang muncul akibat perkawinan dengan usia di bawah batas yang
ditetapkan?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini melakukan untuk mengkaji akibat hukum perkawinan anak dapat
menggunakan metode penelitian hukum normatif, artinya penelitian pada pokoknya mengkaji
hukum sebagai seperangkat aturan, penelitian semacam ini disebut juga dengan penelitian
kepustakaan. Metode ini menggunakan dokumen kepustakaan sebagai sumber datanya, seperti
UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang UU Perkawinan dan Perlindungan Anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak terhadap


perkawinan yang melibatkan usia di bawah batas yang ditetapkan?

Manusia itu makhluk sosial (zoonpoliticoon), tidak dapat menjalani hidup secara
mandiri. Sejak manusia dilahirkan, dikaruniai keinginan yang kuat untuk hidup damai muncul
dari naluri manusia untuk hidup bersama dengan sesama. Dengan demikian, perkawinan
belum cuckup umur yang melakukan oleh seorang pria dan wanita ketika umur mereka masih
belum cukup umur ditentukan UU dan kedua calon pasangan belum matang baik secara
mental dan mungkin belum siap secara finansial, yang dapat menjadi penyebab peningkatan
perpisahan, perilaku kekerasan di dalam lingkungan rumah tangga, serta ketidakmaturean
dalam menghadapi ujian pernikahan. (Soekanto & Soerjono, 2014)

Harus mengetahui keterkaitan perlindungan anak antara UU Perlindungan Anak dan


UU Perkawinan seperti kasus-kasus yang menentukan pengecualian perkawinan, sebaiknya
kita memperluas pemahaman tentang kedua undang-undang tersebut secara keseluruhan juga
mempertimbangkan upaya terhadap perlindungan anak, terutama kasus-kasus di mana
pengecualian perkawinan. ditentukan. Dalam konteks ini, terdapat dua faktor krusial, baik
dalam hal norma hukum maupun subjek hukum.

Jika membaca UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan, tidak ada aturan yang
mengatur tentang upaya perlindungan anak dan cara penyelesaian kasus pengecualian
perkawinan. Begitu pula dengan UU Perlindungan Anak yang tidak mengaitkan soal
perlindungan anak dalam perkawinan. Faktanya, kedua undang-undang ini tidak memberikan
kekuasaan apa pun.

Wewenang diberikan kepada penegak hukum untuk melaksanakan kebijakan yang


bertujuan mencapai tujuan hukum dalam melindungi anak dalam perkawinan. Disebabkan itu,
untuk memahami keterkaitan nilai-nilai dan keterpaduan standar pengecualian dan
perlindungan perkawinan dalam kedua undang-undang ini, harus dilakukan penelitian yang
mendalam. Di pelaksanaan dan implementasi di dalam aturan tersebut memakai prinsip-
prinsip hukum lex posterior deroge legi priori dan lex professionalis deroge legi generici.
Penting untuk dicatat bahwa prinsip ini mengatur peraturan hukum yang dianggap berlaku.
Persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan pengembangan kebijakan hukum, tidak dengan itu
saja, juga berhubungan juga penegakan hukumnya. Konteks ini, prinsip tersebut jadi krusial
untuk penegak hukum dalam menentukan apakah suatu kasus tersebut masuk ke dalam
ketentuan UU Perlindungan Anak atau UU Perkawinan.

Perlu adanya harmonisasi penegak hukum terkait perkawinan harus sah di Negara kita
menjadi suatu tantangan hukum ini muncul dari perbedaan ketentuan hukum terkait konflik
perkawinan anak belum cukup umur harus diatasi melalui fenomen yang dapat dijadikan
acuan usia minimal untuk menikah. Hal ini kita dapat mengambil ketidaksamaan lamanya saat
penyiapan diundangkannya UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak untuk ditelusuri
sesuai dengan perkembangan terkini, khususnya pada ketentuan terkait, dapat menimbulkan
celah hukum atas peristiwa tersebut. Perkawinan pada usia anak belum cukup usia, banyak
orang dewasa atau orang tua menikahkan anak mereka dikarena kesulitan finansial, juga
dalam perjodohan. Selain itu, anak yang belum matang akibat pergaulan sosial tanpa
pengawasan mulai terbiasa berpacaran bahkan berujung pada hubungan bebas (hubungan
seksual tanpa ikatan pernikahan). Peran krusial orang tua dan keluarga adalah
mempergunakan peluang masa depan anaknya agar tidak saling mengenal dan menikah di
usia muda. Ketika diskusi menyoroti tindakan ini, bisa dimengerti pada perkawinan anak
tampaknya solusinya bagi semua masalah orang dewasa, dan justru merugikan anak
perempuan. Masalah etika didasarkan setiap stereotip sikap tidak baik orang sudah besar
terhadap anak, sangat sulit finansial orang tua, kemauan anak sendiri untuk menaikan
statusnya, dan peraturan adat istiadat semuanya telah diatasi. Putuskan dengan menikahkan
anak Anda. Anak perempuan semakin terbebani dan tidak berdaya karena mereka tidak lagi
memiliki akses terhadap pendidikan dan menghadapi kepanikan begitu serius terhadap
kondisi kesehatan dan keuangan keluarga mereka. Pada akhirnya, keadaan ini memperketat
cengkeraman kemiskinan. Serahkan pada peraturan hukum untuk menerapkan kebijakan guna
mencapai tujuan hukum melindungi anak dalam perkawinan. Disebabkan itu, agar memahami
keterkaitan nilai-nilai dan keterpaduan standar pengecualian dan perlindungan perkawinan
penting untuk melakukan penelitian mendalam dalam kedua undang-undang ini. Dalam
pelaksanaan dan implementasi norma kedua peraturan tersebut, dapat diuji pakai prinsip
hukum lex posterior deroge legi priori dan lex professionalis deroge legi generici. Perlu
diingat bahwa prinsip ini aturan hukum yang diakui sebagai berlaku. Persoalan tersebut tidak
hanya terkait dengan pengembangan kebijakan hukum, namun juga terkait dengan penegakan
aturan. Konteks prinsip ini jadi krusial untuk penegakan hukum dalam menentukan suatu
kasus ini masuk dalam ketentuan UU Perlindungan Anak atau UU Perkawinan. (Heru, 2013)

Satu langkah strategis untuk mengakhiri perkawinan anak yaitu dengan mengadopsi
ketentuan peningkatan batasan usia untuk perempuan dari 16 tahun menjadi setidaknya 18
umurnya. Meskipun demikian, usaha untuk merubah kebijakan nasional yang mengizinkan
perkawinan anak masih menunjukkan tanda-tanda lemah. Meskipun Indonesia melalui
program Nawacita mencanangkan kewajiban belajar selama 12 tahun, namun hal ini berarti
pernikahan pada usia anak seharusnya tidak terjadi.

Sejak tahun 2014, telah dilakukan upaya untuk menambah usia minimal aturan
menikah dengan mengajukan pengujian UU Perkawinan, namun upaya tersebut tidak diterima
oleh MK. Sebagian berpendapat bahwa penentuan usia adalah kebijakan yang menjadi pilihan
pemerintah. Oleh karena itu, usaha pencegahan perkawinan anak bergantung pada kebijakan
pemerintah. Sejak tahun 2016, pemerintah telah mempertimbangkan untuk menerbitkan untuk
mencegah perkawinan anak. Namun, hingga saat ini upaya tersebut belum terlaksana.

Antusiasme pemerintah untuk mengakhiri perkawinan anak nampaknya sempat naik


turun hanya karena kegembiraan atas maraknya perkawinan anak di berbagai wilayah
Indonesia belakangan ini, yang tercermin secara sporadis, namun tidak membuahkan hasil apa
pun dari komitmen pemerintah. melalui kebijakan di tingkat nasional. Aliansi 18+ juga saat
ini sedang mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meninjau Ketentuan aturan
Perkawinan yang mengubah batas usia standar wanita untuk melasungkan pernikahan menjadi
setara dengan batas usia standar pria, itu 19 tahun, kini sedang dibahas. Namun, selama
setahun terakhir, perkembangan persidangan kasus ini terhambat di MK.

Upaya pencegahan dan penghentian perkawinan anak juga diperkuat dengan muncul
pembahasan kriminalisasi terhadap isu-isu tertentu terkait moralitas anak dalam RKUHP,
misalnya semua hubungan seksual di luar nikah, hal ini akan mendorong terjadinya
perkawinan usia dini. RKUHP harus menghukum perempuan yang melakukan aborsi, tidak
terkecuali dalam keadaan darurat RS, mengkriminalisasi wanita yang memiliki kehamilannya
berisiko sangat tinggi serta anak yang menjadi korban pemerkosaan. Melalui pemberantasan,
jelas bahwa pemerintah akan mendukung dan memantau perkawinan anak perempuan
bergerak cepat, setelah mereka hamil atau jika mereka diduga melakukan perilaku yang dapat
menyebabkan kehamilan.

Saat menjelaskan perubahan UU Perkawinan, perbedaan pengaturan Menetapkan


standar usia untuk perkawinan antara pria dan wanita bukan hanya berimplikasi pada upaya
untuk menanggulangi diskriminasi dalam melaksanakan hak-hak jaminan berkeluarga.
Konstitusi RI menyatakan pada setiap individu haknya agar membentuk keluarga juga
memberi kehidupan kepada anak-anaknya melalui perkawinan yang sesuai prosedur.
Konstitusi juga memberi hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, juga dilindungi dari
kekerasan serta diskriminasi. Oleh karena itu, DPR melalui berdasarkan instruksi Mahkamah
Konstitusi, bertujuan untuk mengurangi perkawinan dini di Indonesia. UU tersebut
menetapkan bahwa perkawinan hanya dapat sah jika kedua pihak, pria dan wanita, sudah
mencapai usia 19 tahun. Penetapan batasan usia ini dianggap penting karena melibatkan aspek
biologis dan berdampak pada kesehatan dalam melangsungkan perkawinan. Sudah jelasakan
UU perkawinan, disebutkan kedua calon tersebut sudah matang secara fisik dan mental
sebelum memasuki ikatan perkawinan untuk menciptakan hubungan yang sehat, berlangsung
baik, dan tidak berpisah, dengan tujuan hidup harus baik dan memberikan warisan yang sehat
kepada keturunan. Oleh karena itu, perlu adanya pencegahan terhadap perkawinan pada kedua
calon pasangan umur belum cukup menjadi suatu kebutuhan. (MA, 2019)

Sebelum mengubah Pasal 7 ini pada awalnya telah menjadi sumber perdebatan yang
berlangsung lama, karena banyak remaja yang menikah pada usia ini. Perdebatan tersebut
mencuat karena sekelompok warga negara merasa dirugikan oleh praktik perkawinan dini,
sehingga mereka mengajukan pengaduan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Warga tersebut
berpendapat bahwa kebijakan ini bertentangan dengan aturan tersebut. Selanjutnya, UU
Perlindungan Anak menegaskan bahwa seseorang yang berusia di bawah 21 tahun. (MK,
2017)

Oleh karena tersebut, pengesahaan UU petunjuk Mahkamah Konstitusi diharapkan


dapat mengurangi insiden perkawinan dini di Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam
amendemen UU Perkawinan diatur perkawinan boleh sah kedua pihak, pria dan wanita,
berusia setidaknya 19 tahun. Penetapan batas usia untuk melangsungkan perkawinan dianggap
sangat penting, mengingat pentingnya hubungan biologis dan dampaknya pada kesehatannya.
Penjelasan UU perkawinan, kedewasaan fisik dan mental calon pasangan suami istri
merupakan prasyarat untuk menjalani perkawinan dengan baik dan mencegah potensi
perceraian, sehingga dapat menciptakan keluarga yang baik, anak yang sehat, dan mencapai
kesuksesan dalam hidup. Oleh karena itu, langkah pencegahan perkawinan pada calon
pasangan yang masih di bawah umur menjadi suatu kebutuhan. Kebijakan pemerintah pusat
dalam menetapkan batasan usia perkawinan dini harus mempertimbangkan sejumlah faktor,
termasuk kesehatan reproduksi tubuh wanita yang di atas usia 18 tahun. Keberatan yang
muncul di masa dewasa melibatkan ketidakmampuan organ reproduksi rahim agar
menerimanya aktivitas bersetubuh. Situasi perkawinan belum cukup umur memunculkan pro
dan kontra dari berbagai sudut pandang, melibatkan aspek agama Islam, perlindungan anak
berdasarkan hukum, regulasi perkawinan, hingga prinsip-prinsip HAM anak diatur oleh
Konvensi PBB.

Penyelesaian perkawinan adalah penerbitan akta nikah oleh pengadilan setiap calon
pasangan harus usia standar untuk menikah. Pengecualian adalah pemberian hak menikah
kepada seorang meskipun usianya di bawah 19 tahun. minimal berusia 19 tahun. Prinsipnya,
peraturan menyatakan bahwa pria dan wanita boleh menikah jika mereka sudah mencapai usia
19 tahun atau lebih. Oleh karena itu, berdasarkan peraturan UU yang lama diganti merupakan
bagian dari UU perkawinan yang baru, penekanan diberikan pada persyaratan formal dan
substansial untuk mengatasi potensi masalah perkawinan anak.

Pengecualian yaitu pengecualian terhadap aturan umum dalam keadaan luar biasa;
membiarkan tidak terpenuhinya Kewajiban atau larangan, dalam konteks hukum, dapat
dikecualikan berdasarkan suatu aturan UU, hukum tidak berlaku untuk situasi tertentu.
Pengecualian terhadap persyaratan usia pernikahan merupakan suatu bentuk pengurangan dari
standar hukum sudah ditetapkan oleh UU terkait standar uisa untuk menikah, sudah dijelaskan
di aturan tersebut. Menurut ketentuan tersebut, usia minimum untuk menikah adalah 16 tahun
pada tahun 2019, atau 19 tahun baik untuk pria juga wanita. Apa bila ada kedua pasangan
ingin kejenjang menikah, dan salah satu dari mereka ada yang belum memenuhi syarat,
mereka perlu mengajukan permohonan ke pengadilan untuk memperoleh pengecualian
terhadap batasan usia pernikahan. Umat Islam akan menjalani persidangan di Pengadilan
Agama, sementara non-Muslim akan menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri. Sesuai
dengan undang-undang:

1) Perkawinan dibolehkan jika pria usia 19 tahun dan wanita berumur 19 tahun

2) Hal ini bertentangan dengan ayat (1) Pasal ini, Anda bisa meminta pengecualian
dari pengadilan atau dari pejabat ditunjuk oleh orangtuanya, pria dan wanita. (Dwi
Idayati, 2014)

Tergantung pada jenis perkara di pengadilan, permohonan pembebasan perkawinan


bersifat sukarela, bersifat permohonan dan tidak dapat disengketakan, sehingga tidak ada
keberatan. Pada prinsipnya permohonan pengecualian perkawinan tidak dapat diterima,
kecuali kepentingan hukum menghendakinya. Dalam pengajuan unsolicited brief diawali
dengan pengajuan surat permohonan yang memuat klaim perdata dari pihak yang ada masalah
dalam kasus yang ada litigasinya, sehingga peradilan dapat dianggap sebagai suatu proses
hukum yang nyata.

Pengecualian dari perkawinan itu adalah Pengecualian, ketika salah satu atau kedua
calon tersebut, masih berusia di bawah batas usia yang ditentukan, dapat diberikan dengan
mematuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam hukum dan peraturan yang mengatur
pengecualian tersebut. Tata cara untuk melangsungkan perkawinan belum cukup umur ini
akan mengikuti tata cara sebagai berikut:
1) Pemohon 1 dan Pemohon 2, yang merupakan orangtua (ayah dan ibu) dari kedua
calon pengantin belum cukup umur, mengajukan permohonan secara tertulis kepada
pengadilan.

2) Diajukan pemohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggal pemohonnya

3) Pemohonan harus mencakup: 1) data pihak terkait (ayah pemohon I dan ibu
pemohon II); 2) dalil-dalil (sebab-sebab atau dasar-dasar melatarbelakangi pengajuan
pemohonan) serta data calon pengantin pria/wnita, serta identitas calon pengantin
pria/istri) dan 3) permohonan (yaitu pertanyaan yang meminta pengadilan mengambil
keputusan).

Selain peraturan yang telah disebutkan, untuk menyederhanakan prosedur, pihak-


pihak yang terlibat juga diharuskan menyiapkan dokumen-dokumen sebagai berikut:

1) Akta asli Nikah/Fotokopi Akta pemohon.

2) Copy ekstrak akta nikah/copy ekstrak 2 (dua) lembar.

3) KTP yang masih aktif, atau jika alamat yang tertera pada KTP tidak sesuai, surat
keterangan kependudukan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat.

4) KK (Kartu keluarga).

5) Akte anak.

6) Surat keterangan penolakan pencatatan perkawinan

Penelitian mengenai hoax perkawinan anak masih merupakan bidang yang baru
dikembangkan di Negara kita, juga masih sangat banyak aspek yang harus dijelajahi.
Diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi tantangan permasalahan tersebut. Berinvestasi
mencakup peningkatan pemahaman terhadap keputusan yang diambil oleh keluarga terkait
perkawinan juga pendidikan semua anak, hal tersebut menyebabkan sebagian orangtua sangat
berfokus pada investasi bagi anak mereka dari pada generasi sebelumnya, serta inspirasi
terkait pernikahan kedepannya.

Bagian masyarakatnya Indonesia sangat prihatin terhadap kedepanya anak menikah


sedang melangsungkan uji materi di Mahkamah Konstitusi untuk mengubah usia minimal
menikah menjadi umur 18 thn. Berkat gugatan, konstitusi masih mempertahankan batas umur
minimum pernikahan untuk pria umurnya 19 tahun dan wanita 16 tahun. Upaya untuk
meningkatkan berumur standar menikah menjadi 18 thn kembali diusulkan oleh pihak-pihak
itu benar-benar peduli hak-hak anak perempuan, termasuk melangsungkan hak uji materiil ke
Mahkamah Konstitusi melalui perkara Nomor 22/PUU-XV/201727, namun hingga kini masih
menunggu penantian. untuk keputusan Mahkamah Konstitusi.

2. Akibat Perkawinan Anak

Banyak faktor yang mempengaruhi perkawinan anak, diantaranya ada faktor


pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang reproduksi pada remaja yang menyebabkan
perilaku seksual berbahaya pada anak, lemahnya aspek ekonomi (kemiskinan) dan aspek
budaya (adat istiadat) juga Perkawinan terencana. Memberi tahu konsekuensi perkawinan
anak yang diidentifikasi melalui hasil penelitian, termasuk di antaranya putus sekolah,
ketidakstabilan dalam pembinaan keluarga,berkelahi main tangan dalam rumah tangga, dan
subordinasi perempuan. Hal ini setelah itu disusun secara ringkas dalam kerangka ekonomi,
dampak sosial, kesehatan, dan psikologis.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, tindak pidana perkawinan belum cukup umur diatur UU
No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 1 Tahun 1974 Perkawinan, khususnya Pasal 7
yang membahas perkawinan anak di bawah umur. Diatur oleh UU No 35 Tahun 2014 tentang
perlindungan anak. Perkawinan dianggap belum cukup usia itu perkawinan yang melibatkan
pria dan wanita dengan usia di bawah standar ditetapkan oleh UU. Kedua calon tersebut, baik
dari segi fisik maupun mental, belum mencapai kematangan, dan mereka mungkin belum siap
secara materinya.

Akibat perkawinan anak adalah putus sekolah, ketidakstabilan pembentukan keluarga,


Kemudian, hal tersebut disusun secara ringkas dalam konteks berdampak ekonominya, sosial,
kesehatan, juga psikologis, mencakup berkelahi main tangan didalam rumahtangga dan
ketergantungan perempuan.

SARAN

1. Lebih meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perkawinan anak, termasuk


melalui sosialisasi masyarakat yang penting dan berkelanjutan.
2. Menghadapi terus berkembangan zaman yang lebih moderen, termasuk kemajuan
teknologi maupun kehidupan sosial yang semakin canggih, maka setiap orang perlu
membekali anaknya dengan pendidikan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi agar
anak berkembang berpikir kritis dan rasional pemikiran. Adanya pendidikan sosial dapat
memberikan pengaruh baik dan mengubah pola pikir masyarakat tentang akibat
perkawinan anak, baik di sekolah maupun kehidupan bermasyarakat, sehingga membantu
mereka menjadi warga negara. Kepatuhan yang baik dengan peraturan.
3. Untuk Pemerintah
a. Harus ada sarana atau sarana komunikasi untuk komunikasi yang baik dan sosialisasi
tentang perkawinan anak dalam kaitannya dengan hak
b. Aparat pemerintahan desa, kepada masyarakat setempat, serta pimpinan sekolah dan
pemuka agama harus terus memberikan penyuluhan dan edukasi untuk masyarakat,
khususnya remaja, mengenai pentingnya persiapan perkawinan yang matang. Selain
itu, persiapan pasangan dan usia minimal untuk menikah juga harus selalu
diperhatikan.
c. Orang tua hendaknya mempertimbangkan persiapan anaknya untuk menikah, baik
secara fisik maupun mental. Dan jangan memaksakan kehendakmu untuk mengawini
anakmu.
d. Pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat harus mampu menyoroti dan
memperkuat kondisi perayaan perkawinan, terutama terkait batas umur calon
pengantin.
4. Diperlukan penelitian ini harus bertindak cepat untuk membuktikan bahwanya perkawinan
merupakan hal yang lumrah dan masih terjadi di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Candra, Mardi., Aspek Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta, 2017.


Dwi, Idayati., Pemberian Dispensasi Menikah Oleh Pengadilan Agama (studi Kasus di
Pengadilan Agama Kotamobagu), LEX PRIVATUM, 2014.
Gugatan Uji Materil MK ke Dua Nomor 22/ PUU-XV/2017.
Gugatan Uji Materil MK Nomor 30-74/PUUXII/2014.
Heru Susetyo. Upaya Permasalahan Sosial Keluarga, Bandung, 2013, hal. 3
Mohammad (Fakultas Hukum Universitas Madura) Suara Merdeka, 2019, 30 Oktober 2019.
Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2016.
Soekanto, Soerjono,. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014
Sonny Dewi Judiasih, Susilowati Suparto, Anita Afriana, Betty Rubiati, Hazar
Kusmayanti.,Perkawinan Bawah Umur Di Indonesia, Bandung, 2018.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.,Tentang Perlindungan Anak. Kementrian
Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Republik Indonesia.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan.
Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai