Anda di halaman 1dari 20

1

A. Penegasan Judul

Sebelum penulis melanjutkan penulisan proposal skripsi ini kiranya

penting penulis menjelaskan judul penelitian ini, dengan harapan agar mudah

dipahami dan jelas dengan judul Pengajuan Perkara Dispensasi Nikah

Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Undang Undang No.16 Tahun 2019

(Studi Komparasi di Pengadilan Agama Gunung Sugih dan Pendapat

Para Ulama). Adapun istilah yang terdapat dalam judul yang perlu

ditegaskan adalah :

1. Pengajuan, Pengertian dari pengajuan diambil dari kata aju dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu proses, cara, perbuatan

mengajukan atau pengusulan.1

2. Dispensasi Nikah, Yaitu izin dari pengadilan atau pemerintah, untuk

orang yang akan melakukan perkawinan tetapi orang tersebut belum

cukup umur untuk melaksanakannya.2

3. Undang Undang, Yaitu ketentuan ketentuan dan peraturan peraturan

yang dibuat oleh pemerintah suatu negara, disusun oleh kabinet

(Menteri, badan eksekutif, dsb) dan disahkan oleh parlemen (dewan

perwakilan rakyat dan badan legislatif, dsb) dan ditandatangani oleh

(presiden dan kepala pemerintahan).3

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Edisi 3, 2008, hal.24
2
Misbah Khusurur Muslihun, ‘Pandangan Hakim Terhadap Dispensasi Nikah Dan Relevansinya
Dengan Undang-Undangnomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak’, Al Wasith: Jurnal
Studi Hukum Islam, 2.1 (2017), 85–107.
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, Edisi 3, 2008, hal.1781.
2

Berdasarkan penjelasan judul diatas dapat disimpulkan, untuk

melakukan penelitian secara mendalam tentang “Pengajuan Perkara

Dispensasi Nikah Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Undang Undang

No.16 Tahun 2019 (Studi Komparasi di Pengadilan Agama Gunung Sugih

dan Pendapat Para Ulama)”

B. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut islam adalah suatu perjanjian (akad) untuk hidup

bersama antara pria dan wanita sebagai suami istri agar mendapatkan

ketentraman hidup dan kasih sayang. Adapun fikih Indonesia memasukkan

kata mitssaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah SWT dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut Undang-undang pasal 1 tahun

1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan ketuhanan

Yang Maha Esa.4

Menurut Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa perkawinan merupakan

kebutuhan hidup yang ada di masyarakat, maka untuk perkawinan dibutuhkan

peraturan yang jelas mengenai syarat, pelaksanaan, kelanjutan dan

terhentinya perkawinan.5 Pada umumnya pernikahan dilakukan oleh orang

dewasa atau umurnya sudah matang dan cukup untuk melakukan perkawinan

atau pernikahan. Akan tetapi, bagi masyarakat Indonesia sendiri pernikahan

dibawah umur merupakan suatu hal yang lumrah terlebih lagi dalam kondisi
4
Wafa Moh. Ali, Hukum Perkawinan Di Indonesia Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam Dan
Hukum Materil, Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia, 2018..32-33.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Asy-Syir’ah, 2014, VOL. 46..10.
3

yang mendesak baik dalam faktor ekonomi, sosial dan hamil diluar nikah.

Orang tua atau wali calon mempelai laki-laki atau wanita yang belum

mencapai usia perkawinan mengajukan permohonan dispensasi kawin ke

pengadilan agama, Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan

pengadilan Negeri bagi yang beragama lain. Permohonan dispensasi kawin ke

pengadilan didasarkan alasan mendesak disertai dengan bukti-bukti

pendukung yang cukup.

Setelah mendengarkan pendapat kedua orang calon mempelai yang

akan menikah, pengadilan memberikan dispensasi kawin harus berdasarkan

semangat mencegah pernikahan anak dengan pertimbangan moral, agama,

adat dan budaya, psikologis, kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.

Dalam mengadili perkara permohonan dispensasi kawin, Pengadilan Agama

sering kali mempertimbangkan antara dua kemudaratan, kemudaratan yang

terjadi akibat perkawinan di usia. Di Undang-Undang Perkawinan No.1

Tahun 1974 usia perkawinan bagi Pria 19 tahun dan usia wanita 16 tahun,

namun Undang-Undang tersebut telah direvisi menjadi Undang-Undang

No.16 Tahun 2019 dikarenakan Undang Undang tersebut tidak memiliki

ketegasan hukum.

Yang menyebabkan meningkatnya pernikahan dibawah umur. Namun

setelah Undang Undang No.16 Tahun 2019 diberlakukan yang terjadi bukan

mengurangi permohonan pengajuan dispensasi nikah melainkan

meningkatnya jumlah permohonan pengajuan dispensasi nikah. Usia

perkawinan dalam islam memang tidak diatur dengan tegas, baik laki-laki
4

maupun perempuan, akan tetapi islam mengenal konsep ba’ah (mampu)

sebagai patokan bagi seseorang yang akan menikah.6 Konsep ba’ah dalam

perkawinan yaitu mampu dalam segala hal baik mampu memberi nafkah

maupun mampu mengendalikan gejolak emosi yang yang menguasai dirinya.

Jika kemampuan itu ada pada dirinya maka di mempersilahkan seseorang

menikah.7

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) perkawinan yang

dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan, MUI memberikan

rumusan al-ba’ah dengan batasan baligh. Mazhab Ulama Syafi’i

memperbolehkan perkawinan anak laki-laki dibawah umur apabila memenuhi

unsur kemaslahatan yaitu didasari kepentingan yang terbaik bagi anak

tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, fokus penelitian ini

berkaitan pada perkembangannya pengajuan perkara dispensasi nikah

sebelum dan sesudah pemberlakuan Undang undang no.16 Tahun 2019 dan

membandingkan usia pernikahan menurut PERMA no.5 tahun 2019 dengan

pendapat ulama terhadap konsep ba’ah.

Untuk itu, peneliti mengangkat judul penelitian ”Pengajuan Perkara

Dispensasi Nikah Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Undang Undang

No.16 Tahun 2019 (Studi Komparasi di Pengadilan Agama Gunung Sugih

dan Pendapat Para Ulama)”

6
Asni, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), 78-79.
7
A. Zuhdi Mihdlor, Memahami Hukum Perkawinan, cet. Ke-2 (Bandung: al-Bayan, 1995), 23.
5

C. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perlu adanya

identifikasi masalah dan batasan masalah dalam melakukan penelitian. Untuk

identifikasi dalam penelitian ini adalah membahas tentang Pengajuan Perkara

Dispensasi Nikah Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Undang Undang

No.16 Tahun 2019 di Pengadilan Agama Gunung Sugih dan Pendapat Para

Ulama dengan dibatasi batasan masalah di Pengadilan Agama Gunung Sugih,

Lampung Tengah.

D. Fokus dan sub-Fokus

Dalam penelitian ini berfokus memahami masalah yang akan menjadi

tujuan dari peneliti yang berdasarkan dari identifikasi dan batasan masalah.

Maka dapat disimpulkan fokus penelitian pada penelitian ini yaitu pada

Pengajuan Perkara Dispensasi Nikah Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan

Undang Undang No.16 Tahun 2019 di Pengadilan Agama Gunung Sugih.

Sedangkan sub fokus pada penelitian ini peneliti yaitu tingkat pengajuan

perkara dispensasi nikah sebelum dan sesudah pemberlakuan Undang-

Undang No.16 Tahun 2019

E. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengajuan perkara dispensasi nikah sebelum dan sesudah

pemberlakuan Undang Undang No.16 tahun 2019 di Pengadilan

Agama Gunung Sugih?


6

2. Bagaimana pendapat para ulama tentang konsep ba’ah?

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan masalah yang ingin

dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengajuan perkara dispensasi nikah sebelum dan

sesudah pemberlakuan Undang Undang No.16 tahun 2019 di

Pengadilan Agama Gunung Sugih

2. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang konsep ba’ah.

G. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis,

Diharapkan penelitian ini dapat menambah refrensi dan memberikan

wawasan bagi penulis, pembaca serta masyarakat mengenai dispensasi

nikah sebelum dan sesudah pemberlakuan Undang undang no.16

Tahun 2019 dan konsep ba’ah dalam pernikahan.

2. Secara Praktis,

Diharapkan penelitian ini sebagai sumber informasi yang bermanfaat

bagi semua pihak untuk memahami mengenai dispensasi nikah

sebelum dan sesudah pemberlakuan Undang Undang No.16 Tahun

2019 dan Pendapat Ulama Tentang Konsep Ba’ah.

H. Kajian Relevan Terdahulu

Kajian penelitian terdahulu yang relevan merupakan hasil ulasan

peneliti terhadap bahan pustaka dan hasil-hasil penelitian yang sudah

dilakukan orang lain dan relevan dengan tema dan topik penelitian yang akan
7

dilakukan.8 Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap penelitian-penelitian

terdahulu, peneliti mengemukakan beberapa penelitian terlebih dahulu.

Adapun beberapa penelitian terdahulu sebagai yaitu:

1. Skripsi yang berjudul “Pandangan Hakim Pengadilan Agama

Rantaupapat Mengenai Dampak Pemberlakuan Undang-Undang No.16

Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan Dalam Mengadili Perkara Dispensasi Nikah” ditulis

oleh Chairunisak, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurusan Ahwal

Syakhshiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara Medan.

Penelitian yang dilakukan oleh Chairunisak adalah untuk mengetahui

dampak dari pemberlakuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 tentang

perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama

Rantaupapat terkait tingkat pengajuan dispensasi nikah. Kesimpulan dari

penelitian tersebut menyatakan bahwa setelah Undang-Undang tersebut

angka permohonan pengajuan perkara dispensasi nikah di Pengadilan

Agama Rantauprapat meningkat sampai mencapai 3 kali lipat dari

biasanya.9 Adapun persamaan dari penelitian ini yaitu mengenai

pembahasan pemberlakuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019.

Sedangkan perbedaanya terletak pada objek penelitian, pandangan hakim

dan pendapat ulama tentang konsep ba’ah.

8
Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa Program Sarjana, (Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung, 2020), 5.
9
Chairunisak, “Pandangan Hakim Pengadilan Agama Rantaupapat Mengenai Dampak
Pemberlakuan Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam Mengadili Perkara Dispensasi Nikah” (Skripsi, UIN
Sumatra Utara Medan, 2020).
8

2. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Dampak Pemberlakuan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 Terhadap Pengajuan Dispensasi Pernikahan Dini

di Pengadilan Agama Negara Bali” ditulis oleh Ihza Kriptie Adhela,

Fakultas Ilmu Agama Islam dan Jurusan Ahwal Syakhsiyah, Universitas

Islam Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Ihza Kriptie Adhela

adalah dampak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019

terhadap pengajuan perkara dispensasi nikah dan pertimbangan majelis

hakim dalam mengadili perkara dispensasi nikah. Kesimpulan dari

penelitian tersebut menyatakan bahwa adanya dampak pemberlakuan

Undang-Undang Nomor.16 Tahun 2019.10 Adapun persamaan dari

penelitian ini yaitu mengenai pembahasan pemberlakuan Undang-

Undang No.16 Tahun 2019. Sedangkan perbedaannya terletak pada

pertimbangan majelis hakim objek penelitiannya dan pendapat ulama

tentang konsep ba’ah.

3. Tesis yang berjudul “Dispensasi Nikah Setelah Berlakunya UU No.16

Tahun 2019 Perubahan Atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Perspektif Maqasid Syari’ah Imam Syatibi” ditulis oleh Dieta Mellaty

Hanafi, Program Studi Magister Ahwal Syakhsiyah, Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian yang dilakukan oleh

Dieta Mellaty Hanafi adalah untuk menganalisis bagaimana realisasi

penerapan UU No.16 Tahun 2019 Tentang Dispensasi Nikah untuk

pasangan yang belum mencapai batas usia 19 tahun di KUA dan


10
Ihza Kriptie Adhela, ‘Tinjauan Dampak Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Terhadap Pengajuan Dispensasi Pernikahan Dini Di Pengadilan Agama Negara Bali’ (Skripsi,
Universitas Islam Indonesia, 2020) 96.
9

Pengadilan Agama Malang dan untuk menganalisis bagaimana dispensasi

nikah jika ditinjau dari Maqasid Syariah Imam Syatibi. Kesimpulan dari

penelitian tersebut menyatakan bahwasanya realisasi KUA dan

Pengadilan Agama tidak langsung menerima pengajuan dispensasi nikah,

tetapi diberi penolakan terlebih dahulu.11 Adapun persamaan dari

penelitian ini yaitu mengenai pembahasan pemberlakuan Undang-

Undang No.16 Tahun 2019. Sedangkan perbedaannya terletak pada

pendapat ulama tentang konsep ba’ah.

I. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field

research) dan penelitian ini juga di dukung dengan penelitian

kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk memperoleh

informasi dari buku, jurnal, karya ilmiah dan artikel lainnya yang

sesuai dengan tema penelitian ini.

b. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yaitu,

bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan terhadap

suatu objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah

terkumpul dengan adanya perbandingan perkara dispensasi nikah

11
Dieta Mellaty Hanafi, “Dispensasi Nikah Setelah Berlakunya UU No.16 Tahun 2019 Perubahan
Atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perspektif Maqasid Syari’ah Imam Syatibi”
(Tesis, UIN Maulana Malik Ibrahim, 2020)
10

sebelum dan sesudah pemberlakuan undang-undang dengan

pendapat ulama terhadap konsep ba’ah.

2. Sumber Data

Sumber data yang penilitian lakukan ada dua yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang didapat datanya

secara langsung berupa pengajuan perkara dispensasi nikah sebelum

dan sesudah pemberlakuan Undang-undang Nomor.16 Tahun 2019.

Kemudian melakukan wawancara dengan pejabat Pengadilan Agama

Gunung Sugih.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang mendukung

sumber data primer. Sumber data primer dari penelitian ini meliputi

buku, jurnal, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan

Pengajuan Perkara Dispensasi Nikah Sebelum dan Sesudah

Pemberlakuan Undang-undang No.19 Tahun 2019 dan Tentang

Konsep Ba’ah.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari suatu objek atau subjek yang

akan diteliti. Adapun dalam penelitian ini populasinya yaitu


11

seluruh masyarakat yang mengajukan dispensasi nikah di

Pengadilan Agama Gunung Sugih.

b. Sampel

Sampel adalah suatu objek dan subjek yang diambil dari

populasi.

4. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu teknik yang digunakan oleh

peneliti guna memuat informasi yang valid dan sistematis. Dalam

pengumpulan data ini, peneliti menggunkan cara sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode pengumpulan suatu

informasi dan data dengan proses percakapan yang dilakukan oleh

interviewer dan interviewe.

b. Kepustakaan

Kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan

cara membaca, menelaah dan mencatat berbagai literatur atau

bahan bacaan yang sesuai dengan pokok bahasan, kemudian

disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran secara

teoritis.12

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan

mencari mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,

12
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research, (Bandung: ALUMNI, 1998), 78.
12

majalah, surat kabar. Dokumen ini merupakan data pengajuan

perkara dispensasi nikah di Pengadilan Agama Gunung Sugih.

5. Metode Pengolahan Data

a. Editing (Pengeditan Data)

Pengeditan data merupakan sebuah proses pemeriksaan data

yang sudah dikumpulkan. Proses mengedit dilakukan untuk

memastikan data yang masuk telah memenuhi dan juga sesuai

kebutuhan dalam penelitian ini.

b. Analysing (Analisis)

Analisa dilakukan saat awal mengumpulkan data dan akhir

pengumpulan data, pada saat melakukan wawancara, kepustakaan

ataupun pengumpulan data-data primer peneliti sudah dapat

melangsungkan penganalisaan dengan pendapat ulama tentang

konsep ba’ah.

c. Concluding (menyimpulkan)

Merupakan bagian terakhir dalam penelitian, yang dilakukan

dalam koklusi adalah menarik poin pokok yang menghasilkan

kesimpulan secara jelas dan mudah dipahami tentang bagaimana

dispensasi nikah jika masuk kedalam pendapat ulama terhadap

konsep ba’ah.

6. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa data secara

deskriptif kualitatif yaitu setelah semua data telah berhasil penulis


13

kumpulkan, maka penulis melakukan perbandingan menjelaskan

secara rinci dan sistematis sehingga dapat tergambar secara utuh dan

dapat dipahami secara jelas kesimpulan akhirnya.

J. Kerangka Teoritik

1. Pengertian Perkawinan

Secara etimologi, perkawinan dalam literaratur fiqh berasal dari dua

kata, yaitu nikah ( ‫ ) نكاح‬dan zawaj ( ‫ ) زواج‬yang menurut bahasa diartikan

pasangan atau jodoh, Nikah artinya perkawinan sedangkan akad artinya

perjanjian, jadi akad nikah berarti perjanjian suci untuk untuk

mengingkatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan

seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi). Suci disini

berarti mempunyai unsur agama atau ketuhanan yang maha esa.13 Menurut

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwaperkawinan adalah

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.14

Sementara menurut hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan )

antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu

harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan

diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua

orang saksi yang memenuhi syarat. Berikut dasar hukum perkawinan

dalam Al-Qur’an surah an-nur ayat 32:


13
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam suatu analisis dari Undang Undang No 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukumu Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), hlm.183.
14
Ibid., hlm. 2.
14

ٰ ِ ْ َ‫الصلِ ِح ِمن ِعب ِاد ُكم واِماۤ ِٕى ُك ۗ ْم اِ ْن يَّ ُكونُوا ُف َقراۤء ي ْغنِ ِهم ال ٰلّه ِمن ف‬ ِ ِ
ُ‫ضلهٖۗ َواللّه‬ ْ ُ ُ ََُ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ‫َواَنْك ُحوا ااْل َيَا ٰمى مْن ُك ْم َو ّٰ نْي‬

‫َو ِاس ٌع َعلِْي ٌم‬

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,

dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu

yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi

kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas

(pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (Q.S. An-nur 32).

Tujuan utama pernikahan adalah membangun rumah tangga yang

bahagia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Undang-Undang

No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa tujuan

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang

berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanaan Yang Maha Esa.15

2. Dispensasi Nikah

Dalam bahasa inggris dispensasi adalah dispensation yang berarti

pembebasan atau pengecualian, sedangkan menurut kamus ilmiah

dispensasi merupakan pembebasan dari suatu kewajiban, kelonggaran

waktu, keringanan. Yang berarti dispensasi nikah adalah ketentuan pada

Undang-Undang dalam perkawinan yang mengulas tentang batasan usia

perkawinan sehingga persoalan yang akan diangkat dari pembahasan usia

yang diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan.

Bahwa arti dispensasi nikah adalah suatu pemberian kelonggaran

atau keringanan untuk seseorang yang akan menikah tetapi belum


15
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), hlm. 288
15

mencapai umur yang disyaratkan oleh undang-undang, dalam hal ini

minimal usia adalah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Dasar

hukum dispensasi nikah yaitu Undang-Undang no.1 Tahun 1974 tentang

dispensasi nikah, salag satu diantaranya adalah ketentuan dalam pasal 7

ayat (1) yang menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

mencapai umur 16 (enam belas) tahun”16

Dispensasi nikah juga diartikan keringanan hukum yang diberikan

kepada calon mempelai yang tidak memenuhi syarat hukum positif,

sehingga undang-undang memberikan untuk memberikan dispensasi nikah

dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada Undang-

Undang dan hukum Islam.17

Dispensasi ini ada dikarenakan adanya batas usia yang ditetapkan

oleh aturan perundang-undangan dan juga sebagai sebuah pengecualian

terhadap batasan usia minimal menikah, sehingga diberikan pada saat

batasan usia itu dilanggar, Perkara dispensasi nikah ini tentu akan sangat

berkaitan erat dengan masalah batasan usia menikah, baik itu dari pihak

perempuan maupun laki-laki. Karena patokan usia untuk diberikan

dispensasi nikah itu sangat beragam, hukum Islam memberikan batas

minimal usia menikah sampai baligh. Jadi bisa disimpulkan bahwa

patokannya adalah antara setelah baligh sampai belum genap umur 16

16
Miftakhul Janah and Haris Hidayatulloh, ‘Dispensasi Nikah Di Bawah Umur Dalam Hukum
Islam’, Jurnal Hukum Keluarga Islam, 5.1 (2020), 34–61.
17
Muhammad Kunardi, HM Mawardi Muzamil, Implikasi Dispensasi Perkawinan Terhadap
Eksistensi Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Semarang, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol 1.
No. 2, Mei –Agustus 2014.
16

tahun bagi wanita dan mimpi basah dengan 19 tahun bagi pria, jadi bisa 14

tahun, 15 tahun asalkan sudah baligh disertai alasan-alasan tertentu yang

sifatnya mendesak

3. Sejarah Undang Undang No.19 Tahun 2019

Penggunaan angka dalam hal batas usia maksimal seseorang

dikategorikan secara berbeda oleh berbagai Undang-Undang yang

mengaturnya. Ada peraturan Undang-Undang menggunakan angka yang

berbeda antara wanita dengan pria, misalnya Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 juga membedakan yaitu 16 bagi wanita wanita dan 19 tahun bagi pria

dan yang sekarang sudah diubah dalam undang-undang No. 16 Tahun

2019 yakni usia 19 tahun bagi wanita maupun pria, dan yang lebih ekstrim

lagi adalah ketentuan ajaran Islam yang tidak menggunakan angka,

melainkan ukurannya adalah baligh.

Terjadinya angka batas usia maksimal seseorang dinyatakan masih

dibawah umur oleh perundang-undangan di latarbelakangi oleh konsep

“kecakapan seseorang dalam bertindak menurut hukum” menyangkup

kepentingan dirinya sendirinya. Yang dimaksud kecakapan bertindak

menurut hukum yaitu “kemampuan seseorang merumuskan dengan benar

tentang apa yang dikehendaki atas tindakannya” sekaligus “mampu

menyadari akibat hukum yang akan terjadi dari tindakannya itu”.18

Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria

dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks


18
Ade maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan
Kewenangan Bertindak Berdasar Batas Umur), Nasional Legal Reform Program (NLRP), (Jakarta:
t.p, 2010), 8.
17

pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam

Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga menimbulkan diskriminasi

terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin

dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Oleh karena hal tersebut, dalam

putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk undang-

undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan

perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan.

Dengan adanya perubahan undang-undang tersebut maka usia

pernikahan laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun, yang dimana batas

usia ini telah matang jiwa raganya dalam melangsungkan pernikahan

sehingga dapat mencapai tujuan pernikahan. Dengan kenaikan batas usia

pernikahan pada perempuan diharapkan mengurangi lajunya kelahiran dan

menurunkan resiko kematian pada ibu dan anak, dan juga dapat memenuhi

hak-hak anak sehingga dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak

beserta pendampingan orang tua dalam memberikan akses pendidikan

setinggi mungkin.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka ditetapkan pada tanggal 14

Oktober 2019 disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

yang hanya memuat satu pasal khusus, yakni ketentuan pasal 7 yang berisi

tentang penyamarataan batas usia nikah laki-laki dan perempuan yang


18

awalnya 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bari pria, berubah menjadi 19

tahun bagi pria maupun wanita.

4. Konsep Ba’ah

Para ahli hukum islam berbeda pendapat dalam menyikapi dalam

batasan usia pernikahan, Rasulullah SAW. memerintahkan agar seseorang

menikah Ketika ia telah mencapai keadaan al-ba’ah (mampu), dalam hadis

Riwayat Abdullah Ibnu Mas’ud:

ِ ‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم ( يا م ْع َشر اَلشَّب‬


‫اب‬ ُ ‫ود رضي اهلل عنه قَ َال لَنَا َر ُس‬ ٍ ‫عن عب ِد اَللَّ ِه ب ِن مسع‬
َ َ َ َ ُْ َ ْ َْ ْ َ
‫ َو َم ْن مَلْ يَ ْستَ ِط ْع َف َعلَْي ِه‬, ‫ص ُن لِْل َف ْر ِج‬ ْ ‫ َو‬, ‫ص ِر‬
َ ‫َأح‬
ِ ُّ ‫ فَِإنَّه َأ َغ‬, ‫م ِن استطَاع ِمْن ُكم اَلْباءةَ َفْليتز َّوج‬
َ َ‫ض ل ْلب‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ ْ َ
‫الص ْوِم ; فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجاءٌ ) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬
َّ ِ‫ب‬
“Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Hai para

pemuda, siapa di antara kamu telah mampu maka hendaklah menikah,

karena menikah itu lebih dapat memejamkan mata dan lebih dapat

menjaga kemaluan. Dan siapa yang belum mampu hendaklah puasa

karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya”

(Muttafaq‘alaih).

Hadits yang diriwayatkan Abdullah Ibnu Mas‟ud diatas, Rasulullah

memerintahkan para pemuda yang mampu (ba‟ah) agar menikah. Artinya,

bagi para pemuda sudah mampu untuk ba‟ah, maka saat itulah saat yang

tepat baginya untuk meminang (khitbah). Adapun maksud kata ba‟ah

dalam hadits di atas, para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat.

Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian yang sama

dan terkait satu sama lainnya, dua pendapat ulama tersebut adalaha;
19

a. Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh).

Dan maksud dari hadis tersebut adalah siapa saja yang mampu

bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban

pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun sebaliknya, siapa

saja yang tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam

menanggung bebannya, maka hendaklah berpuasa.

b. Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan

jamaknya mu’an) pernikahan. Menurut Bahasa fasih, makna ba’ah

adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat,

kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang

menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di

rumah.19

Menurut pendapat Qadhi Iyadh, kata mampu dalam hadits di atas

terdapat perbedaan pendapat. Maksud kata mampu yang pertama adalah

siapa di antara kalian yang mampu jimak (bersetubuh) telah baligh dan

mampu bersetubuh-hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yang

kedua “siapa saja yang tidak mampu” yakni tidak mampu menikah (tapi

mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”.20 Selain itu terdapat juga

makna “mampu menafkahi” yang memperkuat makna al-ba’ah sebagai

beban pernikahan. Sehingga dapat kita pahami bahwa Rasul Saw

memerintahkan kepada siapa saja yang memiliki kesanggupan untuk

menikah dan memikul beban pernikahan, maka hendaknya ia menikah.


19
Imam Nawawi, Sahih Muslim Bi Syarh An Nawawi (Dar Fikr, 1981) juz ix/173
20
Abdurrahman Bin Abi Bakar Abu Al Fadhl As-Suyuthi, Syarah As-Suyuthi Imam Nawawi,
Sahih Muslim Bi Syarh An Nawawi (Dar Fikr, 1981).
20

Anda mungkin juga menyukai