Anda di halaman 1dari 57

ANALISIS PENETAPAN PERMOHONAN WALI HAKIM TERHADAP

WALI ADHOL
(Studi Kasus Pengadilan Agama Semarang)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Persyaratan Kelulusan


Progam Strata-1 (S1) Pada Jurusan Syariah
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung

Oleh:

Puguh Arum Widodo


30501502744

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGAM STUDI AHWAL ASY –SYAKHSHIYAH
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawian dikalangan masyarakat dikenal dengan sebuatan

pernikahan. Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikah-un yang merupakan

masdar dari kata nakaha. Dari segi etimologi kata nikah berarti add ammu wat

tadakhul diartikan bertindah dan memasukan atau add ammu wal jam’u

bermakna bertindih dan berkumpul. Dalam arti terminologi (istilah fiqh),

nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung halalnya hubungan

seksual denga memakai kata kata nikah atau tazwij.2 Sementara itu dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan:” perkawinan menurut hukum

Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miistaqoon

gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah”.3

Dalam unndang undang perkawinan dijelaskan bahwa pwerkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama dan

kepercayaanya serta dalam tiap tiap perkawianan hasus dicatat oleh lembaga

yang berwenang menurut peraturan perundang undangan yang berlaku. 4

2
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi umat Islam Indonesia,

Unissula Press, Semarang, hlm. 35


3
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum perkawinan,

kewalian, dan perwakafan, Bandung.2011. Halaman. 5


4
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum perkawinan,

kewalian, dan perwakafan, Bandung.2011. Halaman. 76


Dengan berlandaskan asas negara yang berhukum tentu saja Oleh karena itu

ada beberpa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang terkait dalam

melangsungkan pernikahan agar dapat dianggap sah menurut hukum yang

berlaku, sebagaiman dalam pasal 6 undang undang perkawinan no.1 tahun

1974 bab III Syarat syarat pernikahan menyatakan bahwa;

1. Perkawinan didasrkan atas persetujuan atas persetujuan kedua

calon mempelai.

2. Untuk melangsuungkan perkawiian seorang yang belum mencapai

umur 21(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang

tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal dunia

atau dakan keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknaya, maka

izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari oaring

tua yang masih hidup dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duania atau dala

keadaaan tidak mamapu menyatakan kehendaknaya, maka izin

diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan

kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan antara otang orang yang dimaksud dalam

ayat (2),(3)dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya , maka pengadilan daerah

tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang dapat memberikan izin setelah lebih dulu

mendenngar orang orang yang tersebut dalam ayat (2,3,dan 4)

dalam pasal ini.5

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing masing agamanya dan kepercayaaanya

itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.6

Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam Bab IV disebutkan

secara jelas rukun dan syarat perkawinan pada pasal 14 kompilas hukm

Islam Bab IV rukun san syarat perkawinan untuk melangsukan sebuah

perkawian harus ada yaitu;

a) Calon meempelai laki laki,

b) Calon mempelai perempuan.

c) Wali (dari pihak perempuan).

d) Dua orang saksi (laki laki).

e) Akad (ijab dan qobul).7

Sementara dari syarat dan rukun perkawinan yang ada diatas wali nikah

merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang

bertindak untuk menikahkannya harus memenuhi beberapa syarat yakni;


5
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang, hlm. 49
6
Ibid.
7
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian,Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 5
a) Laki –laki

b) Muslim.

c) Aqil dan.

d) Baliqh.8

Adapun wali nikah yang baik atau ideal ialah wali nikah yang memberiakn

persetujaun bagi calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan

nyatadalam tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti

selama tidak ada penolakan yang tegas akan sebuah pernikahan. Akan tetapi

dalam beberapa kasus yang terjadi di mmsayakat ada banyak seorang wali nikah

enggan untuk menjadi wali nikah bagi calon mempelai wanita yang ada dalam

perwaliaanya, dalam wali tersebut disebut dengan Wali Adhol yang mana orang

tersebut enggan memberikan perwaliaan ya mungkun dikarenakan faktor budaya,

adat atau karna masalah pribadi yang menjadi dasar ke adholnya menjadi wali

dalam pernikahan. Dari masalah berkenaan dengan Wali Adhol yang tidak mau

memberikan perwaliannya maka calon mempelai dapat mengajukan permohonan

penetapan Wali Hakim karna adanya Wali Adhol. 9 Dari banyaknya kasus

penetapan Wali Adhol oleh pengadilan agama Semarang, maka dari itu penilis

mengambil judul analisis penetapan permohonan Wali Hakim terhadap Wali

Adhol.

8
Ibid., H. 7
9
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum perkawinan,
kewalian, dan perwakafan, Bandung.2011. Hlm. 8
B. Identifikasi masalah

Dari latar belakang diatas bahwa dapat disimpulkan oleh penulis

sebagai identifikasi masah sebagai berikut;

1. Banyaknya kasus wali adhal dimsayarakat kabupaten Semarang.

2. Penetapan wali wakim karna Wali Adhol.

C. Batasan masalah

Dari penjelasan latar blakang serta point-poit yang terdapat pada

identifikasi masalah yang ada, maka penulis menyimpulkan batasan masalah

sebagai berikut;

1. Pengertian pernikahan dan perwalian.

2. Penetapan pengadilan tentang Wali Hakim terhadap Wali Adhol.

3. Pertimbangan hakim dalam menetapkan wali adhol.

D. Rumusan Masalah 

Berangkat dari uraian latar belakang di atas bahwa teridentifikasi ada

beberapa masalah yang ingin penulis Kemukakan sebagai pokok masalah

yakni;

1. Apakah pertimbangan Hakim dalam permohonan Wali Hakim

terhadap Wali Adhol Pengadilan Agama Semarang?

2. Bagaimana prosedur dalam permohonan penetapan Wali Hakim

terhadap Wali Adhol pengadilan agama Semarang?

E. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitin
Sesuai pokok masalah di atas maka penelitian ini mempunyai

tujuan Sebagai berikut:

a. Memberikan pengetahuan tentang proses kewalian di

masyarakat Kabupaten Semarang.

b. untuk mengetahui apa pertimbangan Hakim pengadilan agama

dalam penetapan permohonan Wali Hakim terhadap Wali

Adhol

2. Kegunaan Penelitian

Dari segi teoritis hasil penelitian ini daiharapakan bermanfaaat

untuk penembangan ilmu khususnya dalam hukum perwalian Islam di

Indonesia dan pihak-pihak yang yang berminat dalam kajian masalah

perwalian untuk dijadikan bahan studi atau penelitian serupa atau

penelitian lanjutan yang sesuai dan sejalan dengan penelitian ini. 10

Sementara dari aspek praktis hadil penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai

bahan pertimbangan oleh instansi dalam merumuskan kebijakan yang ada

kaitannya dengan kebijakan masalah perwalian khususnya dipengadilan

agama.11

F. Metode penelitian

Cara pendekatan yang penulis gunakan sebagai pendukung dalam mencari

penjelasan masalah yang dipecahkan.12 Untuk memperoleh hasil yang baik dan
10
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Skripsi- Buku Pintar Menulis

Skripsi, Unissula Press, Semarang, 2015, Hlm.89


11
Ibid.

12
Ibid.
optimal sesuai dengan harapan penulis dalam penyusunan skripsi yang ditulis

ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian 

jenis penelitian ini sesui dengan sifat masalah yang akan digarap serta

mendasarkan pada tujuan penelitian yang dirumuskan maka pemilihan

pendekatan yang digunakan adalah penelitian deskriftif kauantitatif,

dimana kegiatan penelitian yang dilakukan adalah membuat pencandraan

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta dan sifat- sifat

serta hubungan anatar fenomena yang diteliti , tanpa melihat hubungan –

hubungan (korelasi ) yang ada.13

2. Sumber Data

Sebagaimana judulnya serta rumusan dan tujuanya penelitian ini

adalah penetapan Wali Hakim karna adanya Wali Adhol dari perspektif

Kompilasi Hukum Islam serta undang undang perkawinan no 1 tahun

1974, melalui penetapan Wali Hakim yang ada dipengadialan agama,

maka jenis sumber data yang diperlukan adalah sebagai berikut;

a. Data Primer 

Data primer yang diperoleh langsung dari pengadilan agama

Semarangyang menetapkan Wali Hakim. Dari penetapan Wali Adhol

tersebut diperoleh data mengenai alasan pengajuan Wali Hakim karna

13
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Skripsi- Buku Pintar Menulis
Skripsi, Unissula Press, Semarang, 2015, Hlm.89
adholnya wali dan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam membuat

penetapan Wali Hakim dalam perkawinan.14

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh melalaui bahan – bahan laporan

dokumentasi oleh instansi yang berwenang atau terkait dengan

permasalah yang ada (misalnya kua, pa).15

3. Teknik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka

penulis menggunakan teknik pengumpulan data penelitian dengan cara

sebagai berikut;

a. Observasi

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan obdervasai

langsung terhadap dokumen penetapan pengadilan agama kelas 1a

Semarangmengenai penetapan Wali Hakim dalam sebuah

perkawinan dengan cara menelaah mengenai karasteristik

Pemohon, alasan Pemohon, duduk perkaranya, hukumya, dan

penetapanya sebagai mana termuat dalam lembar kerja terlampir.16

b. Wawancara

Pengumpulan data melalui cara wawancara dimaksudkan

untuk penambahan dan pendalaman data khususnya terkait

14
Ibid., h.90
15
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Skripsi- Buku Pintar Menulis
Skripsi, Unissula Press, Semarang, 2015, Hlm.90
16
Ibid.,h.91
konsideran atau pertimbangan–pertimbanagn hakim yang

digunakan landaan dalam penetapan.17 Wawancara dilakukan

mengunaAkan teknik wawancara terstruktur dengan hakim

pengadilan agama kelas 1a Semarang.

4. Analisis data

Data yang terkumpul dalam lembar kerja analisis dengan statistic

deskriptif khususnya frekuensi dan tensensi sentral. Perhitungan data

dengan distribusi frekuensi dilakukan untuk melihat penyebaran

presentasenya yang lazimnya mengunakan rumus sebagai berikut;

Dimana N adalah jumlah kejadian, fx adalah frekuensi individu.

Tendensi sentral yang biasanya digunakan dalam penelitian social adalah

rata rata median dan modus.18 Kemudian menafsirkan atau

menginterprestasidata yaitu pencarian pengertian yang lebih dalam dan

luas tentang temuan- temuan dalam penelitian selanjutnya digeneralisasi

sebagai kesimpulan.19

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan perihal deskripsi penyusunan sistematika

ini secara umum penulis membagi seluruh materi pada ada bagian Bab dan

masing-masing-menjadi Sub Bab sebagai berikut:

17
Ibid.
18
Burhan Mungin, 2011, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana:
H.182
19
Didiek Ahmad Supadie, Bimbingan Penulisan Skripsi- Buku Pintar Menulis
Skripsi, Unissula Press, Semarang, 2015, Hlm.92
Bab I: Meliputi pendahuluan merupakan pendahuluan yang meliputi latar

belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian Metode Peneliyian, Sistematika

Penulisan

Bab II: Merupakan kajian teoritis dan Kajian Penelitian Yang Relevan.

BAB III Hasil penyajian penelitian tentang penetapan permohonan Wali

Hakim terhadap Wali Adhol di pengadilan Agama

BAB IV Merupakankan analisis data serta pembahasan yang ditemukan

dari pertimbangan pengadilan dalam penetapan permohonan Wali

Hakim terhadap Wali Adhol.

BAB V: Merupakan bagian pentutup yang berisi tentang kesimpulan hasil

penelitian dari penyusunan skripsi Serta saran-saran sebagai tindak

lanjut dari penelitan ini juga penulis mencantumkan daftar pustaka

sebagai rujukan dalam penyusunan skripsi lampiran-lampiran yang

digunakan untuk menguji validitas validitas data. 


BAB II

PEMBAHASAN

A. PERKAWINAN

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinana atau pernikahan menurut Hukum Islam, berasal dari

istilah bahasa Arab yakni, An Nikh, adapun perkawinan dalam istilah

fiqh berasal dari kara nikah atau kata zawaj.1 Menurut para ulama fiqh

pengikut empat madzhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali)

mendefinisikan perkawinan adalah akad yang membawa kebolehan

bagi sesorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang

perempuan dengan diawali dalam akad lafad nikah atau kawin, atau

makna yang serupa dengankedua kata tersebuat.2

Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

tentang dasar-dasar perkawinan pengertian perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya

merupakan ibadah.3 Adapun pengertian tersebut dibandingkan dengan

yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 (Bab I Perkawinan), perkawinan ialah ikatan lahir batin

1 1
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawianan, Jakarta; Bulan
Bintang, 1974. Halaman 79
2 2
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Mazhabib Al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-
Fikr, 1986, Jilid IV, Halaman 212.
3 3
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 2
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa.4

2. Rukun Dan Syarat Pernikahan

Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan

hal penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang

pria dengan seorang perempuan. Rukun perkawinan merupakan faktor

penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu perkawinan. Sedangkan

syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para

subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad

perkawinan.5 Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun nikah

terdiri atas lima yaitu adanya:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi, dan

e. Ijab dan Kabul.6

4 4
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 76
5 5
Neng Djubaidah 2010 Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat
(Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam), Sinar Grafika, Jakarta
6 6
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 5
Sementara syarat dari masing masaingg rukun perkawinan

tesebeut diatas dalam pasal 15 sampai 29 yang intinya sebagai

berikut;7

1. Calon mempelai (calon suami istri)

a. Calon suami sekurang kurangnya berumur 19 tahun dan

calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.

b. Calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat izin orang tua (sebagiman yang diatur

dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun

1974).

c. Adanya persejuaan calon mempelai.

1) Bentuk pesetujuan calon mempelai perempuan

dapat berupa pernyataaan yang tegas dan nyata

dakam tulisan, lisan atau syarat tapi juga berupa

diam dalam arti selama tidak ada penolakan

tegas.

2) Sebelum berlangsungnya perkawinan, pegawai

pencatat nikah menanyakan lebih dahulu

persetujuaan calon mempelai dihadapan dua

orang saksi nikah, bila ternyata perkawinan

tidak disetujui oleh salah seorang calon empelai

7 7
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 6
maka perkawainan itu tidak dapat

dilangsungkan.8

3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna

wicara atau tuna runggu persetujuaan dapat

dinyatakan dengan tulidan atau denagn isyarat

yang dapat dimengerti.9

2. Wali nikah

Wali nikah dalam peakawianan merupakan rukun yang

harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan yang bertindak

untuk menikahannya. Wali harus memenuhi beberapa syarat-

syarat yaitu;

a. Laki- laki.

b. Muslim.

c. Aqil dan

d. Baliqh.

3. Saksi nikah

Saksi nikah merupakah salah satu rukun perkawinan.

Dalam perkawinan harus di saksikan oleh 2 (dua) orang saksi

nikah.1111 Saksi nikah harus memenuhi syarat –syarat sebagai

8 8
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang, hlm. 35
9 9
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang, Hlm. 51
11 11
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 8
berikut sesuai pada pasal 25 bagian ke empat tentang sakasi

nikah;

a. Laki Laki

b. Muslim

c. Adil

d. Berakal sehat (aqil)

e. Dewasa(baliq)

f. Tidak terganggu ingatan dan tidak tuna runggu atau tuli,

saksi nikah harus hadir dan menyaksikan secara

langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah

pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.1212

4. Ijab dan qobul

Ijab adalah pernyataan dari pihak calon mempealai wanita

yang dilaksanakan oleh wali nikah, yang hakikatnya

merupakan suatu pernyataan untuk mengikatkan diri dengan

seorang laki laki untuk dijadikan suami sah. Sementara Kabul

adalah pernyataan pihak calon mempelai laki laki menerima

sepenuh hati ijab yang dismpaikan oleh wali nikah tersebut.

Proses ini juga disebut sebagai akad nikah. Ijab dan Kabul

adalah pernayataan menyatukan keinginan kedua belah pihak

12 12
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 8
untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawian.Ijab dan Kabul

harus memenuhi ketentuan syarat syarat sebagai berikut;

a. Ijab harus jelas dan beruntun dan tidak berselang waktu.

b. Ijab dilaksanaakan sendiri secara pribadi oleh wal nikah

yang bersangkutan, sekalipun demikian wali nikah juga

dapat mewakilkannya kepada orang lain untuk

bertindak sebagai wali nikah. Sebagian kalangan

masarakat masih melakukan hal ini misalnya

mewakilkan kepada naib/ petugas kua, atau

mewakilkannya kepada orang yang berpengaruh,

misalnya ulama.

c. Kabul diucpkan calon mempelai pria secara pribaadi,

akan tetapi dal hal hal tertentu Kabul nikah dapat

diwakilkan kepada pria lain denagn ketentuan calon

mempelai pria memberia kuasa yang tgas secara tertulis

bahwa penerimaan wakil ats akad nikah itu dalah untuk

mempelai pria.

d. Dalam hal calon mempelai wanita atau wali nikah

keberatan calon mmempelai pria diwakili, maka akad

nikah tidak boleh dilangsungkan (KHI pasal 27-29).1313

13 13
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 9
3. Tujuan Perkawinan

Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan

sangatlah sederhana namun memeiliki makna yang sangat luas dan

dalam, karena mengunakan term dari al quran yaitu mewujudkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI pasal 3).1414

Kata sakinah mawawaddah dan rahmah tersebut terambil dari Surat

Ar-Rum Ayat 21

‫ا‬JJَ‫ ُكنُوا ِإلَ ْيه‬J ‫ا لِت َْس‬JJ‫ ُك ْم َأ ْز َوا ًج‬J ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس‬
َ J َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن خَ ل‬

َ‫ت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ِ‫َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِي ٰ َذل‬
ٍ ‫ك آَل يَا‬
Artinya: “Dan diantaranya tanda tanda kekkuasaan nya adalah

menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri, supaya kamu

cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara

kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar

benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang berfikir.”1515

Dari ayat tersebut diatas ada 3 landasan pokok dalam membangun

keluarga yang Islami yang adapt diuraikan sebagi berikut;

a. Sakianah, adalah terwujudnya rumah tangga yang tentram,

bahagia, saling kasih sayang, saling pengertian, saling

membantu, saling memaafkan, di jauhkan dari prasangka

buruk, kebencian yang berkepanjangan, pertengkaran yang

tidak berkesudaha an, saling merasa benar saling bisa


14 14
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang,2015, Hlm. 37
15 15
Q.S. Ar-Rum Ayat21
merupakan tanda tanda rumah tangga yang memperoleh

keb0erkahan dari Allah Swt. Rumah tangga yang memperoleh

keberkahan adalah seindah sesuasana surgawi, sebagaimana

sabda nabi rumahku adalah surgaku. Rumah tangga yang terus

menerus meningkatkan taakwa pada Allah swt, selalu mencari

kerildaaan Allah swt, rumah tangga yang selalau terdengar ayat

ayat suci alquran di baca oleh penghuninya.

b. Mawaddah, adalah maknya berkisar pada kelapangan dan

kekosongan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari

kehendak buruk. Mawaddah sulit sekali padan annya dalam

bahasa kita. Barangkali bisa cinta plus, yaitu bagi orang

didalam hatinya bersemi mawaaddah atau cinta plus itu, daia

akan memutuskan hubungan kasih sayang(silaturahim), iini

disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari sifat sifat

buruk, sehingga tak mungkin lahi bisa di hinggapi leburukan

lahir adan batin,yang mungkin dating dai pasangannya.

Mawaddah adalah cinta plus yang dampaknya terlihat pada

perilaku kepatuhan akibat rasa kagum dan hormat kepada

sesorang.

c. Rahmah, adalah cinta kasih, tepatnya adalah melimpahkan

cinta kasih kepada seseorang sekalipun sesseorang tersebut

tiadak pantas dikasihi. Inilah cinta kasih sejati yang tumbuh

setelah adanya akad nikah. Ini sekaligus penegasan al quran


bahwa cinta yan benarkan setelah akad nikah. Dengan

demikian klaim cinta sebelum nikah adalah cinta maya,

kepalsuaan, kamuflase dan fatamorgana. Jadi rahmah adalah

kondisi psikologis yang luar biasa, muncul di dalam hati

setelah akad nikah, akibat menyaksikan ketidakberdaayaan,

sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan

pemberdayaan. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing

masing suami dan isteri akan bersungguh sungguh, bahkan

bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi

pasangannya.dengan demikian rahmah menghasilkan

kesabaran, murah hati, tidak angkuh, tidak mencari keuntungan

bagi diri sendiri. Tidak pemarah, tidak pendendam serta penuh

keiklasan.1515

Sedangankan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Bab I

Perkawinan pasal 1 dalam uraiannya tujuan perkawinan ialah

membentuk krluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam penjelasan

umum asa-asas atau prinsip-prinsip perkawinan dalam Undang-Undang

Republic Indonesia No 1 Tahun 1974 dijelaskan bahawa tujuan

perkawian adalah memebentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk

itu suami isteri perlu saling membamtu dan melengkapi, agar masing

15 15
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang,2015, Hlm. 28
masing dapat mengembangkan kepribadianya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan material.1616

Dalam beberapa tinjauan dari pespektif syariat Islam tujuan sebuah

pernikahan atau perkawinan secara umum diantaranya yakni:

1) Untuk mendapatkan keturunan yang sah menurut agama untuk

melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini didasar kan pada

al quran surat An-Nisa ayat 1 yang berbunyi

Jٍ‫ س‬J‫ ْف‬Jَ‫ ن‬J‫ن‬Jْ J‫ ِم‬J‫ ْم‬J‫ ُك‬Jَ‫ ق‬Jَ‫ ل‬J‫خ‬Jَ J‫ ي‬J‫ ِذ‬Jَّ‫ل‬J‫ ا‬J‫ ُم‬J‫ ُك‬Jَّ‫ ب‬J‫ر‬Jَ J‫ا‬J‫و‬JJJJُ‫ق‬Jَّ‫ت‬J‫ ا‬J‫س‬ Jُ J‫ا‬Jَّ‫ن‬J‫ل‬J‫ ا‬J‫ ا‬JJJJَ‫ ه‬J‫ َأ ُّي‬J‫ ا‬JJJJَ‫ي‬
‫اًل‬J‫ ا‬JJJ‫ َج‬Jِ‫ ر‬J‫ ا‬JJJ‫ َم‬Jُ‫ ه‬J‫ ْن‬J‫ ِم‬J‫ث‬ َّ Jَ‫ ب‬J‫ َو‬J‫ ا‬JJJَ‫ ه‬J‫ج‬Jَ J‫و‬Jْ J‫ز‬Jَ J‫ ا‬JJJَ‫ ه‬J‫ ْن‬J‫ ِم‬J‫ق‬ َ JJJَ‫ ل‬J‫خ‬Jَ J‫و‬Jَ J‫ ٍة‬J‫ِ َد‬J‫ح‬J‫ ا‬J‫و‬Jَ
ِJ‫ِ ه‬J‫ ب‬J‫ن‬Jَ J‫و‬Jُ‫ ل‬J‫ َء‬J‫ ا‬JJJ‫س‬J Jَ Jَ‫ ت‬J‫ ي‬J‫ ِذ‬Jَّ‫ل‬J‫ ا‬Jَ ‫ هَّللا‬J‫ا‬J‫و‬JJJJُ‫ق‬Jَّ‫ت‬J‫ ا‬J‫و‬Jَ Jۚ J‫ ًء‬J‫ ا‬JJJ‫ِس‬ Jَ J‫ ن‬J‫و‬Jَ J‫ ا‬J‫ ًر‬J‫ِ ي‬J‫ ث‬J‫َك‬
J.J‫ ا‬Jً‫ب‬J‫ِ ي‬J‫ ق‬J‫ َر‬J‫ ْم‬J‫ ُك‬J‫ ْي‬Jَ‫ ل‬J‫ َع‬J‫ن‬Jَ J‫ ا‬J‫ َك‬Jَ ‫ هَّللا‬J‫ ِإ َّن‬Jۚ J‫ َم‬J‫ ا‬J‫ َح‬J‫ر‬Jْ ‫َأْل‬J‫ ا‬J‫و‬Jَ
.

Artinya: Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu

yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah

menjadikan istri-istri; dan dari keduanya Allah menjadikan anak

keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan. (QS. An-Nisa'

ayat 1).1717

16 16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 98
17 17
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, Hlm. 114.
2) Untuk mendapatkan keluarga yang bahagia dipenuhi dengan rasa

yang tenang dan kasih sayang, Hal ini didasar kan pada Al Quran

surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

J‫ ا‬JJJJًJ‫ج‬J‫ ا‬J‫و‬Jَ J‫ز‬Jْ ‫ َأ‬J‫ ْم‬J‫ ُك‬JJJJ‫س‬J


ِ Jُ‫ ف‬J‫ َأ ْن‬J‫ن‬Jْ J‫ ِم‬J‫ ْم‬J‫ ُك‬Jَ‫ ل‬J‫ق‬ َ JJJJJَ‫ ل‬J‫ َخ‬J‫ن‬Jْ ‫ َأ‬Jِ‫ِ ه‬J‫ت‬J‫ا‬Jَ‫ي‬J‫ آ‬J‫ن‬Jْ J‫ ِم‬J‫و‬Jَ
J‫ِ ي‬J‫ ف‬J‫ ِإ َّن‬Jۚ Jً‫ ة‬JJJ‫ َم‬J‫ح‬Jْ J‫ر‬Jَ J‫و‬Jَ Jً‫ ة‬J‫ َّد‬J‫ َو‬JJJ‫ َم‬J‫ ْم‬J‫ ُك‬Jَ‫ ن‬J‫ ْي‬Jَ‫ ب‬J‫ َل‬J‫ َع‬J‫ َج‬J‫ َو‬J‫ ا‬Jَ‫ ه‬J‫ ْي‬Jَ‫ ِإ ل‬J‫ا‬J‫و‬Jُ‫ ن‬J‫ ُك‬J‫ ْس‬Jَ‫ِ ت‬J‫ل‬
J. J‫ن‬Jَ J‫ و‬J‫ ُر‬J‫ َّك‬Jَ‫ف‬Jَ‫ ت‬Jَ‫ ي‬J‫م‬Jٍ J‫و‬Jْ Jَ‫ِ ق‬J‫ ل‬J‫ت‬
ٍ J‫ا‬Jَ‫ آَل ي‬J‫ك‬ َ ِJ‫ ل‬J‫ َذ‬Jٰ

Artinya: Dan diantaranya tanda tanda kekkuasaan nya adalah

menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri, supaya

kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan

dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda bagi

kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21).1818

Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut Ikatan

perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah Allah

SAW bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dalam

kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat

hukum Islam.2121

18 18
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya, Depag RI, Jakarta, 1986, Hlm. 648.

21 21
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kawasan, Hukum Acara
Peradilan Agama Dan Zakat Menyrut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafitika 1995.
a) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat

tabiat kemanusiaan.

b) Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

c) Memperoleh keturunanyang sah

d) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki

penghidupan yang halal, memperbesar rasa tanggungjawab

e) Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah

(Keluarga yag tentram, penuh cinta, kasih, dan kasih sayang)

(QS. arRum ayat 21).2222

B. Wali nikah

1. Pengertian Wali

Pengertian wali dalam pernikahan merujuk pada bahasa Arab yakni

al-Wilayah fi al-Nikah aw al-Ziwaj namun juga sering diuraikan dalam

rangkain kata wali al-mar’ah yang secara umumnya merujuk orang

yang berkuasa (berhak) mengakad nikahkan seseorang perempuan.

Dari perspektif fiqh wali disebut al wilayah yang berasal dari bahasa

Arab yakni waliya-yaliyawilayah. Al wilayah merupakan masdar dari

pada kata wa-li-ya yang berarti menyayangi, menolong, menguasai dan

Hlm.26-27

22 22
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group,
2014, Hlm.11
memimpin. Dalam pengertianya juga al wali berarti orang yang

mengurus, memelihara atau orang yang bertanggung jawab terhadap

sesuatu.20

Secara umum wali dalam konteks pernikahan adalah orang yang

mempunyai kuasa melakukan akad perkawianan terhadap mereka yang

ada dibawahkuasanya yang telah di tetapkan oleh syara’.21 Perwalian

dalam perkawianan adalah suatu kekuasaan atau kewenangan syar’i

atas golongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang

sempurna karna kekuranggan tertentu pada orang yang dikuasai

tersebut, demi kemaslahatanya sendiri.

Dari sudut pandang istialah syara’ pengertian wali atau perwalian

dari berbagai pihak berbeda-beda akan tetapi mempunyai isi yang

sama. Sebagai mana definisi dari Wahbah al-Zuhayli mengartikan

perwalian adalah kuasa yang membolehkan seseorang untuk

melakukan akad atau membelanjakan harta tanpa keizinan orang lain. 22

Menurut al- sayyid sabiq perwalian yakni suatu hak menurut syara’

yang berkuasa melaksanakan perintah atas orang lain dengan paksa.23

Sedangkan menurut Badran Abu al-Aynayn Badran perwalian adalah

20
Fuad Ifram al-Bustani, 1977. Munjid al-Tullab. Cet. 11. Beirut, Lubnan: Dar al-
Masyriq, hlm.941
21
Muhammad Fauzi, UUD Keluarga Islam Dalam Empat Mazhab: Pembentukan
Keluarga,(Selangor:Synermat,2003),Jil I, H. 7
22
Wahbah al-Zuhayli, 1985. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Juz.7, Cet. 2.
Damsyiq: Dar al-Fikr, hlm. 186. 16 Al-Sayyid Sab
23
Al-Sayyid Sabiq, 1985. Fiqh al-Sunnah. Jil.2, Cet. 7. Beirut: Dar al-Kitab al-
‘Arabi, hlm. 125.
kuasa syara’ yang diberikan kepada wali untuk mengurus akad dan

untuk membelanjakan harta serta melaksanakan perintah

tersebut.24Dari pernyataaan para ahli bahwa dapat disimpulkan arti

perwalian dalam Hukum syara’ adalah hak atau kuasa yang dimiliki

seseorang untuk melakukan sesuatau yang ada dibawah penjagaanya.

Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada

orang lain yang sesuai drngan bidang hukumya. Wali ada yang umum

dan yang khusus.yang khusus adalah yang berkenaaan dengan harta

dan benda, disini yang dibahas adalah wali terhadap manusia yaitu

masalah perwalinan dalam perkawinan.25

2. Syarat-syarat Wali nikah

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus

dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya.Wali bertanggung jawab atas sah suatu akad

pernikahan. Perwalian itu ditetapkan untuk membantu

ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam

mengekspresikan dirinya. Orang dapat bertindak sebagai wali dalam

akad nikah apabila memenuhi syarat-syaratnya, yaitu;2525

a. Islam,

b. Baligh,

24
Badran Abu al-Aynayn Badran, 1985. Al-Ziwaj wa al-Talaq fi al-Islam.
Iskandariah: Muassah Syabab al-Jami‘ah, hlm. 134.
25
Sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah, (Bandung:Pt Alma’arif1981), Jilid 2, Hlm. 7
25 25
Didiek Ahmad Supadie,Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang, 2015, Hlm.51
c. Berakal Sehat,

d. Laki-Laki,

e. Adil (beragama dengan baik).26

Mengenai syarat laki-laki dan adil ini ada perbedaan pendapat

antara para ahli fiqh. Maliki, Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa

wanita tidak boleh menjadi wali dan tidak boleh wanita mengawinkan

dirinya sendiri. Alasan pendapat ini antara lain hadis Nabi riwayat

Turmudzi dari Aisyah yang mengatakan, "Perempuan yang menikah tanpa

izin walinya, nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan "nikahnya

batal") ". Sedangkan menurut Abu Hanifah, perempuan yang telah dewasa

dan berakal sehat diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri dengan laki-

laki yang disukainya tanpa wali, dengan syarat kufu. Jika laki-laki tidak

kufu, wali berhak meminta hakim membatalkan perkawinan.27

Adapun syarat-syarat menjadi wali Pada pasal 20 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan: Yang bertindak sebagai wali nikah ialah

seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni:

1) Laki laki, yakni wali haruslah seorang laki-laki tidak boleh

perempuan.

2) Muslim, yakni orang Islam orang yang tidak beragama Islam

tidak sah menjadi wali atau saksi.

26
Basyir, Ahmad Azhar, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press.
Hlm. 41
27
Soemiyati, 1997, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty. Hlm. 43
3) Aqil dan baligh, yaitu orang tersebut sudah pernah bermimpi

junub/ihtilam (keluar airmani) atau dia sudah berumur

sekurang-kurangnya 15 tahun. 219 (KHI). 28

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 6 ayat 3

dan 4, dijelaskan bahwa seorang wali harus masih hidup dan sekaligus

mampu menyatakan kehendaknya. Apabila orang tuanya sudah

meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendak maka izin

diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka

masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 29

3. Macam-Macam Wali

a. Wali nasab

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon

mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dari jalur

ayah (patrilinear). Wali nasab tersebut adalah ayah, kakek, saudara

laki-laki, paman dan seterusnya.30Urutan wali nasab berdasarkan

28
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 57
29
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 77-78
30
Soemiyati, 1997, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty. Hlm. 46
Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam pasal 21 dan 22

mengenai urutan wali nikah yakni sebagai berikut:

1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan ke

kedudukan kelompok yang satu didahulukan yang lain

sesuai Berat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon

mempelai wanita.

a) pertama kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke

atas yaitu ayah Wah kakek dari pihak ayah dan

seterusnya

b) kedua kelompok kerabat saudara laki-laki kandung

dan saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki

mereka

c) ketiga kelompok kerabat taman yakni saudara laki-

laki sekandung ayah saudara seayah dan keturunan

laki-laki mereka

d) keempat kelompok saudara laki-laki kandung kakek

saudara laki-laki ayah dan keturunan laki-laki

mereka

2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa

orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah maka

yang yang berhak menjadi wali nikah adalah ah orang yang

lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai

wanita
3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya

maka orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah

kerabat kandung dari kerabat yang seayah

4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama

yakni sama sama derajatkandung atau sama sama dengan

kerabatseayah , maka mereka sama sama berhak menjadi

wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan

memenuhi syarat syarat wali.

5) Apabila wali nikah yang paling berhak di urutan tidak dapat

memenuhi syarat sebagai wali nikah atau sudah uzur maka

hak hanya menjadi wali tergeser kepada wali nikah yang

lain menurut derajat berikutnya.31

b. Wali Hakim

Wali Hakim adalah wali yang berhak untuk menjadi wali

apabila wali yang terdekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat-

syarat wali. Apabila wali yang terdekat tiadak ada atau

berhalangan. Apabila pemberi kuasa tidak ada, maka perwalian

pindah pada sultan (kepala negara) atau diberikan kuasa oleh

kepala negara. Dalam kasus Wali Hakim di Indonesia kepala

negara adalah presiden yang mana telah memberikan kuasa kepada

pembantunya yakni Menteri Agama lalu diteruskan kuasanya

31
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. Halaman 7-8
kepada Pegawai Pencatatan Nikah untuk bertindak sebagi Wali

Hakim. Maka daripadanya Wali Hakim itu bukanlah Hakim dalam

pengadilan.32

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 23 tentang wali nikah yakni

sebagai berikut;

1) Wali Hakim baru bertindak sebagi wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidank mungkin menghadirinya atau

tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau

engan.

2) Dalam hal wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru

dapat bertindak sebgai wali nikah setelah ada keputusan

dari pengadilanagama tentang wali tersebut.33

Dalam kompilasi hokum islam tidak di jelasan kan siapa

yang bis menjadi wali hakim dalam sebuah pernikahan. Maka

dijelaskan pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005

tentang Wali Hakim pasal ayat 2 bahwa waali hakim, adalah kepala

kantor urusan agama kecamatan yang ditunjuk oleh menteri agama

untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita

yang tidak mempunyai wali nikah.34


32
Basyir, Ahmad Azhar, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII
Press. H. 43
33
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung.2011. H. 8
34
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi Umat Islam Indonesia,
Unissula Press, Semarang,2015, Hlm. 53
c. Wali muhakam

Wali muhakam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua

calon suami istri untuk bertindak sebagai wali nikah dalam akad

mereka. Apabila suatu pernikahan yang mestinya dilaksanankan

dengan Wali Hakim, tetapi ditempat tersebut tidak ada Wali

Hakimnya, maka pernikahan tersebut dilangsungan dengan wali

muhakam. Caranya adalah kedua calon mempelai mengangkat

sesesorang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum Islam

untuk menjadi seorang wali dalam pernikahan mereka.35

d. Wali Adhol

Secara bahasa wali adhol berasal dari kata adhol yang

berarti mencegah atau menghalang-halangi.36 Atau pengertian

secara umum wali adhol adalah wali yang tidak bisa menikahkan

seorang wanita yang telah baliqh dan berakal dengan seorang laki-

laki pilihanya, sedangkan masing-masing pihak menginginkan

pernikahan tersebut tetap berlangsung daripadanya.37

35
A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan, Nikah, Talaq, Cerai Dan
Rujuk, (Bandung, Al Bayan1994). Halaman 83
36
Abdurrazzaq (VII/215), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa‟
(no. 1858)
37
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Cet. 14 (Jakarta: Balai
Pustaka, 2004), H. 441.
Dalam sebuah pernikahan yang berhak mnejadi wali untuk

mempelai wanita adalah sang wali aqrab, atau orang yang diberkan

kuasa oleh wali aqrab atau orang yang diberikan wasiat untuk

menjadi wali dalam pernikahan tersebut.hanya wali aqrab yang

berhak mengawinkan seorang wanita dalam perwalianya dengan

orang lain. Demikian juga sebaliknya Wali berhak untuk tidak

memberikan perwalianya atau melarang seorang wanita dalam

melangsungkan sebuah pernikahan oleh sebab yang dapat diterima,

misalnya calon suami tidak sekufu’ atau sang wanita sudah di

Khitbah (dipinang) orang lebih dahulu, buruk ahklaknya, calon

suami mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai

suami, dan sebagainya.dan sebagainya. Dali uraian tersebut maka

wali aqrab berhak menjadi wali nikah terhadap wanita tersebut dan

haknya tidak dapat berpindah pada orang lain, hingga pada hakim

sekalipun.38

Akan tetapi jika wali tidak bersedia mengawinkan tanpa

alasan yang dapat diterima, padahal si perempuan sudah mencintai

bakal suaminya karena telah mengenal kafa’ahnya baik agama,

budi pekertinya, wali yang enggan menikahkan ini diNamakan

wali adhol, zalim.39

C. HAKIM
38
Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) Edisi Kedua (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), H. 120.
39
Ibid.
1. Pengertian Dan Syarat-Syarat Hakim

Hakim adalah orang yang mengadili perkara di Pengadilan atau

Mahkamah.40Menurut pasal 11 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 ditegaskan

bahwa “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan

kehakiman.” Oleh karena itu wajar Undang-Undang menentukan syarat

pengangkatan hakim. Syarat yang paling utama berbeda bagi hakim

dilingkungan Pengadilan Agama dibanding dengan lingkungan Peradilan lain

adalah mutlak harus beragama Islam. Sedang pada lingkungan Peradilan lain,

agama tidak dijadikan sebagai syarat41

Menurut ketentuan pasal 13 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama, untuk dapat diangkat menjadi calon di Pengadilan Agama,

maka seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia.

b. Beragama Islam.

c. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

d. Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

e. Sarjana Syari’ah dan/ sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

f. Sehat jasmani dan rohani.

g. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela, dan

40
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: PT Balai Pustaka, 1995), 335.
41
7M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama
(Jakarta: Pustaka Kartini, 2001), H. 117
h. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,

termasuk organisasi masanya, atau bukan orang yang terlibat langsung

dalam Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia.42

2. Konsep-Konsep Pertimbangan Hakim dan Tata Cara dalam Menetapkan

Perkara Wali Adlal

Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar

putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi dua, yaitu pertimbangan

tentang duduk perkara atau peristiwanya dan pertimbangan tentang

hukumnya. Dalam perkara perdata terdapat pembagian tugas yang tetap antara

pihak dan hakim, para pihak harus mengemukakan peristiwanya, sedangkan

soal hukum adalah urusan hakim.

Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain

adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat

mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya

mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus dimuat dalam

pertimbangan putusan (pasal 184 HIR, 195 Rbg, dan 23 UU 14/1970). Dalam

peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas

dari tuntutan dan jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta

42
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut, (Malang: UIN Press, 2008), 167-168.
hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak

pada waktu putusan diucapkan oleh hakim.

Sebagai dasar putusan, maka gugatan dan jawaban harus dimuat dalam

putusan. Pasal 184 HIR (ps. 195 Rbg) menentukan bahwa tuntutan atau

gugatan dan jawaban cukup dimuat secara ringkas saja dalam putusan. Di

dalam praktek tidak jarang terjadi seluruh gugatan dimuat dalam putusan.

Adanya alasan sebagi dasar putusan menyebabkan putusan mempunyi

nilai obyektif. Maka oleh karena itu pasal 178 ayat 1 HIR (ps. 189 ayat 1 Rbg)

dan 50 Rv mewajibkan hakim karena jabatannya melengkapi segala alasan

hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. Mahkamah Agung

berpendapat, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup

dipertimbangkan (Onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan kasasi dan

harus dibatalkan. Pasal-pasal tertentu dari peraturam-peraturan yang

bersangkutan dan sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili harus dimuat dalam putusan (ps.23 ayat 1 UU 14/1970). Tidak

menyebutkan dengan tegas peraturan mana yang dijadikan dasar menurut

Mahkamah Agung tidak membatalkan putusan. Dasar hukum yang terdapat

pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari Peraturan

Perundang-undangan Negara dan hukum syara’. Peraturan perundang-

undangan Negara disusun urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang

didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun terbitnya, misalnya

UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor 1 Tahun 1974.


Dasar hukum syara’ usahakan mencarinya dari al-Qur’an, baru hadits,

baru Qaul Fuqaha’, yang diterjemahkan juga menurut bahasa hukum mengutip

al-Qur’an harus menyebut nomor surat, Nama surat, dan nomor ayat.

Mengutip hadits harus menyebut siapa sanadnya, bunyi matannya, siapa

pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus

disebutkan juga siapa pengarang, Nama kitab, penerbit, Kota tempat

diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip qaul 51 fuqaha’ juga

harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan tidak ada

kitab yang sama judulnya tapi beda pengarangnya.43

Alasan memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada

peraturan perundang-undangan negara atau sumber hukum lainnya

dimaksudkan (c/q. Dalil syar’i bagi Peradilan Agama) memang diperintahkan

oleh pasal 23 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970. Tata cara penyelesaian wali

adlal:

a. Untuk menetapkan adlalnya wali harus ditetapkan dengan

keputusan Pengadilan Agama

b. Calon mempelai wanita yang bersangkutan mengajukan

permohonan penetapan adlalnya wali dengan “Surat Permohonan”.

c. Surat permohonan tersebut memuat:

1) Identitas calon mempelai wanita sebagai “Pemohon”.

2) Uraian tentang pokok perkara.

43
Roihan A. Rasyid, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Raja
Grafindo Persada. H.207.
3) Petitum, yaitu mohon ditetapkan adlalnya wali dan ditunjuk

Wali Hakim untuk menikahkannya.

d. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal

calon mempelai wanita (Pemohon).

e. Perkara penetapan adlalnya wali berbentuk voluntair.

f. Pengadilan Agama menetapkan hari sidangnya dengan memanggil

Pemohon dan memanggil pula wali Pemohon tersebut untuk

didengar keterangannya.

g. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adalanya wali

dengan cara singkat.

h. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara

resmi dan patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat

didengar keterangannya, maka hal ini dapat memperkuat adlalnya

wali.

i. Apabila pihak wali telah hadir dan memberikan keterangannya

maka harus dipertimbangkan oleh hakim dengan mengutamakan

kepentingan Pemohon.

j. Untuk memperkuat adlalnya wali, maka perlu didengar keterangan

saksi-saksi.

k. Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai

alasan-alasan yang kuat menurut hukum perkawinan dan sekiranya

perkawainan tetap dilangsungkan justru akan merugikan Pemohon


atau terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan, maka

permohonan Pemohon akan ditolak.

l. Apabila hakim berpendapat bahwa wali telah benar-benar adlal

dan Pemohon tetap pada permohonannya maka hakim akan

mengabulkan permohonan Pemohon dengan menetepkan adlalnya

wali dan menunjuk kepada KUA Kecamatan, selaku Pegawai

Pencatat Nikah (PPN), di tempat tinggal Pemohon untuk bertindak

sebagai Wali Hakim.

m. Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan banding.

n. Sebelum akad nikah dilangsungkan, Wali Hakim meminta kembali

kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita,

sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adalnya

wali.

o. Apabila wali nasabnya tetap adlal, maka akad nikah dilangsungkan

dengan Wali Hakim.

p. Pemeriksaan dan penetapan adlalnya wali bagi calon mempelai

wanita warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar

negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon

mempelai wanita.

q. Wali Hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri

dapat ditunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali


Hakim, oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Urusan Haji atas Nama Menteri Agama.44

44
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
244-245.
BAB III

PENYAJAIAN DATA PENELITIAN

A. Profil Pengadilan Agama Semarang

1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Semarang

Sejarah Pengadilan Agama Semarang tidak dapat dilepaskan dari

sejarah berdirinya Kota Semarang dan perkembangan Pengadilan

Agama atau Mahkamah Syari’ah di Indonesia pada umumnya atau di

jawa dan Madura pada khususnya. Sejarah kota Semarang sendiri

berawal dari kedatangan pangeran madi pandan beserta putranya yang

berNama Raden Pandan Arang dari Kesultanan Demak disuatu tempat

yang disebut pulau Tiring untuk melakukan dakwah agama Islam

dengan mendirikan pesantren didaerah Semarang yang ditempannya

ditumbuhi banyaak pohon asam yang jarang( asam arang) dalam

bahasa jawa, setelahnya dalam perkembangnya di sebut Semarang.

Setelah Sultan Pandan Arang II (wafat 1553) putra dari pendiri

desa yang bergelar Kyai Ageng Pandan Arang I menjadi Bupati

SemarangI yang meletakan dasar-dasar pemerintahan kota yang

kemudian di nobatkan menjadi Bupati Semarangpada tanggal 12

Robiul Awal 954 hijrah, dalam kalender masehi adalah tanggal 2 Mei

1547 M sebagai hari penobatan Semarangmenjadi pemerintahan kota.45

45
https://dosenwisata.com/asal-usul-kota-semarang/
Dengan adanya masyarakat muslim yang cukup banyak dikota

Semarangmaka lahirah Pengadilan Agama Semarangpada tahu 1828 m

atau lbih dikenal sebagai pengadilan serambi, maksud dari pengadilan

serambi in dikarenakan proses pelaksanaaan peradilannya dilakukan

serambi masjid. Sejak saat itulah tata cara keIslaman, baik baik dalam

masyarakat maupun peribadata, secara mudah dapat diterima sebagai

pedoman, sehinggga pengadilan agama lahih sebagai sebagai

kebutuhan masyarakat muslim pada saaat itu dikota semarang.46

Dalam masa peralihan pemerintah colonial belanda peradilan

agama di bumi nusantara secara resmi diatur eksistensinya dalam

keputusan raja belanda no.24 tertanggal 19 januari 1882 dimuat dalam

stb 1882 no. 152 tentang pembentukan pengadilan agam di Jawa Dan

Madura. Hal ini merupakan hasil dari teori reception in complex oleh

van den berg serta Sbouck Hurgronje dan mengantikannya dengan

teori receptive. Pikiran sbouck hurgronje tersebut selanjutnya

dikembangkan Oleh Cornelius Van Vollenhoven (1874-1933), dia

memperkenalkan her indish adatrech Hukum adat

Indonesia.47Meskipun dalam bentuknya yang sederhana Pengadilan

Agama Semarangtelah ada sebelum penjajah Belanda menginjakkan

kakinya di bumi Indonesia, namun dengan dikeluarkannya Surat

46
https://www.pa-semarang.go.id/tentang-pengadilan/profil-pengadilan/sejarah-
pengadilan
47
Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar
Sejarah, Hamb atan dan Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers. Hal.82
Keputusan Nomor 24 Tahun 1882, yang kemudian lebih dikenal

dengan sebutan Staatblad Nomor 152 Tahun 1882, inilah yang menjadi

tonggak sejarah mulai diakuinya secara Juridis Formal keberadan

Peradilan Agama di Jawa dan Madura pada umumnya dan Pengadilan

Agama Semarangpada khususnya.

Setelah pada masa kemerdekaaan pemerintah Indonesia

mengeluarkan penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang

memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tertinggi dari

Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama.48 Dalam rentang

waktu 1957-1974 lahir PP dan UU yakni PP No.29/1957, PP

No.45/1957, UU No.19/1970 dan Penambahan kantor dan cabang

kantor peradilan agama, lalu dalam masa kurang lebih 15 tahun

disahkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan lahir pula UU

No.7/1989 tentang Peradilan Agama, dan diikuti penyusunan

Kompilasi Hukum Islam. 49

Pada era reformasi, Peradilan Agama harus menundukkan diri

kepada UU satu atap yaitu UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung

dan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga terdapat

penambahan pasal 52 a yaitu pengadillan agama memberikan itsbat

kesaksian ru’yat hilal. Dalam pembahasan RUU tentang perbank-an


48
Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek,
Bandung: Rosdakarya. Hal. 46
49
Moh. Idris, Ramulyo, 2004, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Hal. 43
syari’ah yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.21/2008 telah

terjadi hubungan kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q.

Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen Agama dan

Majelis Ulama Indonesia.50

Kembali ke sejarah Pengadilan Agama Semarang, agak sulit untuk

mendapatkan bukti-bukti peninggalan sejarah atau arsip-arsip kuno

Pengadilan Agama Semarang, karena arsip –arsip tersebut telah rusak

akibat beberapa kali Kantor Pengadilan Agama Semarangterkena

banjir. Yang paling besar adalah banjir pada tahun 1985. Akan tetapi

masih ada beberapa orang pelaku sejarah yang masih hidup yang dapat

dimintai informasi tentang perkembangan Pengadilan Agama yang

dapat dijadikan sebagai rujukan atau setidak-tidaknya sebagai sumber

penafsiran dalam upaya menelusuri perjalanan sejarah Pengadilan

Agama Semarang. Berdasarkan kesaksian Bp. Basiron, seorang

Pegawai Pengadilan Agama Semarangyang paling senior, beliau

pernah melihat sebuah Penetapan Pengadilan Agama SemarangTahun

1828 Tentang Pembagian Warisan yang masih menggunakan tulisan

tangan dengan huruf dan bahasa Jawa.

Keterangan tersebut dikuatkan pula dengan keterangan Bapak

Sutrisno, pensiunan pegawai Pengadilan Agama Semarangyang

sebelumnya pernah menjadi pegawai pada Jawatan Peradilan Agama.

50
(http://aryokarlan.blogspot.com.di akses tanggal 27 Oktober 2011).
Ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Semarangmemang telah

ada jauh sebelum dikeluarkan staatblaad Tahun 1882.51

B. Data permohonan Wali Hakim terhadap Wali Adhol di Pengadilan

Agama Semarang tahun 2021

Dalam kasus permohonan wali wali hakim terhadap wali adahol di

pengadilan agama semarang yang masuk di tahun 2021 dari bulan januari

sampai februari yakni sebagai berikut:

Bulan No Perkara Tanggal Status Perkara

Register

Januari 4/Pdt.P/2021/Pa.Smg 05 Januari Minutasi

2021

Februari 88/Pdt.P/2021/Pa.Smg 24 Februari Minutasi

2021

Maret 93/Pdt.P/2021/Pa.Smg 01 Maret Minutasi

2021

April 177/Pdt.P/2021/Pa.Smg 20 April Minutasi

2021
191/Pdt.P/2021/Pa.Smg Minutasi

29 April

2021

Mei _ _ _

51
https://www.pa-semarang.go.id/tentang-pengadilan/profil-pengadilan/sejarah-
pengadilan.
Juni 221/Pdt.P/2021/Pa.Smg 2 Juni 2021 Minutasi

265/Pdt.P/2021/Pa.Smg 24 Juni 2021 Persidangan

Juli 276/Pdt.P/2021/Pa.Smg 02 Juli 2021 Persidangan

Dari data diatas bahwasanya ada 8 kasus permohonan wali wakim


terhadap wali adhol yang ada di pengadilan agama semarang dan dari 8
kasus permohonan tersebut telah dikabulkan oleh pengadilan agama
semarang sebanyak 6 perkara dan 2 perkara masih dalam tahap
persidangan. Bahwasanya daripada 8 perkara perohonan wali hakim
terhadap wali adhol diatas penulis hanya bisa mendapatkan 1 perkara saja
yang bisa diteliti yakni pada perkara 191/Pdt.P/2021/Pa.Smg tertanggal 29
april 2021 sebagai bentuk rekomendasi dari ketua majelis hakim karna
perkara tersebut sudah di putuskan serta permohonannya dikabulkan oleh
Pengadilan Agama Semarang dan memudahkan penulis dalam
menganalisinya.

Dari data Pengadilan Agama Semarang pada kasus permohonan


wali hakim terhadap wali adhol pada perkara 191/Pdt.P/2021/Pa.Smg yang
sudah di minutasi. Bahwa alasan dikabulkanya perkara tersebut oleh
majelis hakim adalah sebagai berikut:

1. Pemohon hendak menikah dengan calon suaminya akan tetapi


ayah pemohon tidak mengizinkan dan enggan menjadi wali
nikah.
2. Pemohon, orang tua pemohon dan calon suami serta orang
tuanya telah menyerahkan bukti-bukti dan saksi kepada majelis
hakim sebagai pertimbangan.
3. Wali nikah pemohon adhal atau enggan menikahkan calon
suaminya dikarenakan perbedaan status pemohon Syarifah
(Dzuriyah Rosullulah Saw) dan calon suaminya bukan dari
kalangan Dzuriyah Rosululloh Saw dan majelis hakim menilai
ke enggan wali pemohon tidak berdasarkan hukum islam.
4. Dari aspek hukum yang mana dalam UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam yang di
jadikan pedoman dalam peradilan agama tidak ada larangan
bagi keduanya untuk melangsungkan pernikahan.
5. Dari pada pasal 23 aya1 1 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 2
ayat 1 Peraturan Menteri Agama RI No 30 Tahun 2005
Tentang Wali Adhol, yakni apabila wali nasab adhal maka
dilakukan dengan wali hakim.

Demikianlah alasan hakim mengabulkan permohonan hakim


terhadap wali adhal pada perkara 191/Pdt.P/2021/Pa.Smg dan putusan
hakim ini dijatuhkan di Semarang dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim pada hari Senin, tanggal 28 Juni 2021 M, bertepatan pada tanggal
17 Dzulqa’dah 1442 H.

BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG

NO.191/PDT.P/2021/PA SMG TENTANG DIKABULKANNYA

PERMOHONAN WALI ADHAL

A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Wali Hakim Terhadap


Wali Adhal Di Pengadilan Agama Semarang

1. Analisis Pertimbangan Hakim Dari Aspek Hukum (Kompilasi


Hukum Islam Dan Undang Undang No 1 Tahun 1974

Dari pada pertimbangan wali nikah pemohon tidak


memberikan kewalian atau adhal dalam pernikahan diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 23 tentang wali nikah bahwa dalam
hal wali adhal atau engan maka wali hakim akan bertindak sebagai
wali nikah setelah ada putusan dari pengadilan agama setempat.
Dari kesimpulanya diatas bahwa ketika wali nikah adhal maka
perwalianya bisa dipindahkan kepada wali hakim setelah ada
putusan dari pengadilan agama.

Lalu dalam pertimbangan wali pemohon bersikap adhal


dikarenakan calon suami pemohon tidak mempunyai status yang
sama yakni dari dzuriyah rasullulah saw dijelaskan pada UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawianan pasal 8 bahwa larangan nikah
antara dua orang dikarenakan hubugan darah, hubungan susuan
dan hubungan yang oleh agamanaya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin. Dari kesimpulanya bahwa tidak ada
larangan menikah dikarenakan calon suaminya tidak berstatus
sama dan dalam prinsip-prinsip hukum islam perbedaan marga,
kasta, suku dan kebangsaan bukan sebuah halangan kawin.
2. Analisis Pertimbangan Hakim Dari Aspek muamalah

Muamalah adalah perbuatan manusia dalam menjalin


hubungan dengan manusia. Dari keterangan yang ada dari
pemohon dan calon suaminya mereka suadah berhubungan lama,
saling mencintai dan siap secara jasmani dan rohani oleh karenanya
keduanaya ingin melangsungkan pernikahan yang mana
pernikahan adalah akad atau perjanjan yang sangat kuat yang
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri.

3. Analisis Pertimbangan Hakim Dari Aspek ibadah

Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau misaaqan


ghalidan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya
sebagai ibadah. Dari pengertian diatas bahwa perrnikahan adalah
bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah yang mana dalam
kasus pemohon dan calon suaminya akan melangsungkan
pernikahan adalah bentuk ibadah untuk menaaati perintah Allah
sebagai umat beragama Islam yang baik.

B. Analisis Prosedur Penetapan Wali Hakim Terhadap Wali Adhal Di


Pengadilan Agama Semarang

Berdasarkan pasl 23 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam bahwa dalam


hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak setelah
ada putusan dari pengadilan agama tentang wali tersebut dan pada pasal 1
ayat 2 Peraturan Menteri Agama RI No. 30 Tahun 2005 tentang wali
hakim adalah kepala kantor urusan agama kecamatan yang ditunjuk oleh
menteri agam untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai
wanita yang tidak mempunyai wali nikah.

Dari penyajian data yang penulis dapat dari Pengadilan Agama


Semarang bahwa pemohon sudah mendaftarkan pernikahan di Kantor
Urusan Agama tanggal 29 april 2021 akan tetapi di tunda karna wali nikah
tidak memberi izin, enggan atau adhal. Maka pemohon meminta
permohonan wali hakim terhadap wali adhal ke Pengadilan Agama
Semarang dengan menyertakan bukti-bukti dan saks-saksi sebagai syarat
permohonan bahwa wali nikah pemohon adalah wali adhal setelah
permohonan pemohon dikabulkan dan diputuskan pada hari senin 28 juni
2021 maka kepala kantor urusan agama kecamatan yang ditujuk oleh
menteri agama untuk bertindak sebagi wali nikah pemohon.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai

dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam

skripsi ini yang berjudul “Analisis penetapan permohonan Wali Hakim

terhadap wali adhol” studi kasus Pengadilan Agama Semarang maka

penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim dalam penetapan permohonan wali hakim


terhadap wali adhal ada 3 yaitu:

a. Aspek hukum, yang mana ketika wali nikah adhal maka


perwalianya bisa dipindahkan kepada wali hakim
setelah ada putusan dari pengadilan agama (Kompilasi
Hukum Islam pasal 23 tentang wali nikah). Tidak ada
larangan menikah dikarenakan calon suaminya tidak
berstatus sama dan dalam prinsip-prinsip hukum islam
perbedaan marga, kasta, suku dan kebangsaan bukan
sebuah halangan kawin (pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawianan).
b. Aspek muamalat, muamalah adalah perbuatan manusia
dalam menjalin hubungan sesama manusia. Dari hal ini
bahwa pernikahan adalah akad atau perjanjian yang
sangat kuat yang menimbulkan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan
c. Aspek ibadah, perrnikahan adalah bentuk ibadah yang
diperintahkan oleh Allah yang mana dalam kasus
pemohon dan calon suaminya akan melangsungkan
pernikahan adalah bentuk ibadah untuk menaaati
perintah Allah sebagai umat beragama Islam yang baik.
2. Prosedur penetapan permohonan wali hakim terhadap wali
adhal di Pengadilan Agama Semarang.

Melalui penelitian yang penulis dapatkan di Pengadilan


Agama Semarang dalam proses prosedur permohonan wali
hakim terhadap wali adhal sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku. Bahwasanya dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 23 tentang wali nikah bahwa dalam hal wali adhal
atau engan maka wali hakim akan bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan dari pengadilan agama setempat. Hal ini
terjadi ketika pemohon mengajukan pernikahan di Kantor
Urusan Agama sebagai Pegawai Pencatatan Nikah ditunda
karena adanya penolakan dari sang wali nikah lalu pemohon
(calon mempelai wanita) mengajukan penetapan permohonan
wali hakim karena adhalnya wali nikah.

Sehingga setelah adanya putusan dari pengadilan agam


bahwa wali nikah dinyatakan adhal dan dikabulkannya
permohonan pemohon maka ditunjuklah wali hakim sebagai
wali nikah. Dalam penunjukan Wali Hakim di atur dalam pasal
1 ayat 2 Peraturan Menteri Agama RI No. 30 Tahun 2005
tentang wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak
sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak
mempunyai wali nikah.
B. SARAN

Kepada para hakim dalam menetapkan suatu perkara tidak cukup

hanya tertuju pada studi teks untuk menghasilkan sebuah keputusan yang

adil. Wali nikah diharapkan lebih memikirkan serta mempertimbangkan

kembali untuk menolak menjadi walli nikah bagi perkawinan anaknya

sendiri karena anaknya sudah dewasa dan mempunyai niat baik untuk

menikah. Pemohan dan calon suami diharapkan dapat menerima dengan

baik alasan ataupun nasehat orang tua karena setiap orang tua pasti

menginginkan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya selagi pilihan

anaknya itu baik dan tidak menyimpang maka wajib untuk ditaati.

Dalam perkawinan perlu dilakukan musyawarah dalam keluarga

untuk mencari kesepakatan sehingga tidak timbul perselisihan diantara

keluarga hanya karena adanya permasalahan perwalian. Dengan adanya

ketentuan hukum mengenai wali adhal diharapkan calon suami istri dapat

menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Negara dengan baik dalam

menyelesaikan sebuah sengketa perwalian pada pernikahan.


C. PENUTUP

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah

SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Terhadap

Penetapan Pengadilan Agama SemarangNo.191/pdt.p/2021/P.A.Smg

tentang dikabulkannya permohonan wali adhal Karen aadat istiadat weton.

Mengingat kemampuan yang ada tentunya skripsi ini jauh dari kata

kesempurnaan, karena kesempurnaan dan kebenaran itu hanya milik Allah

semata. Dengan segala kerendahan hati, permohonan maaf penulis

sampaikan kepada semua pihak, kiranya masih banyak kekurangan-

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan

kemampuan penulis yang masih dangkal dan dan terbatas, maka penulis

masih membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak yang senantiasa

penulis nantikan. Akhirnya penulis berharap dengan bagaimanapun bentuk

tulisan skripsi ini semoga bermanfaat bagi penulis dan khususnya bagi

pembaca pada umumnya. Dan semoga kehilafan yang penulis perbuat,

Allah SWT senantiasa membukakan pintu ampunnya. Amin ya rabbal

alamin.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid Sarong, 2010, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, PeNA, Banda


Aceh.

Abdul djamali, 1992, Hukum Islam Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam Ii,
Bandung, Bandar maju.

Abdul Hasan Raouf, Dkk. 2006, Kamus Bahasa Melayu Bahasa Arab; Bahasa
Arab Ahasa Melayu, Cetakan IV. Selangor: Penerbit Fajar Bakti.

Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, Jakarta: Kencana.

Abdul Aziz Dahlan, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve.

Achmad Cholil, “Mewacanakan Wali adlal Sebagai Perkara Contentious”


http://www.badilag.net/2008/11/2009/02/mewacanakan-wali-adhol-sebagai-
perkaracontentious.html

Ahrum hoerudin, 1999, Pengadilan Agama Bandung: citra Aditya bakti.

Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah,


Hamb atan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Pers.

Burhan Mungin, 2011, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, kencana.

Departemen Pendidikan dan Kesbudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta, PT Balai Pustaka.

Departemen agama RI, Intruksi presiden RI nomor satu tahun 1991: Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Bab IV, pasl 23-22
Didiek Ahmad Supadie, 2015, Bimbingan Penulisan Skripsi- Buku Pintar Menulis
Skripsi, Semarang, Unissula Press,

H.M.A Tihami Dan Sohari Sahrani, 2008, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers,

https://www.pa-semarang.go.id/

Jaenal Aripin, 2008, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di


Indonesia, Jakarta: Kencana, Cet-1.

K.Wantjik Saleh SH, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Cetakan


keempat, Ghalia Indonesia.

M. Yahya Harahap, 2001, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan


Agama, Jakarta, Pustaka Kartini.

Mudhor A. zuhdi, 1994, Memahami Hukum Perkawinan, Nikah, Talak, Dan


Rujuk, Bandung, al bayan.

Muhammad Fauzi, 2003, UUD Keluarga Islam Dalam Empat Mazhab:


Pembentukan Keluarga, Selangor, Synermat.

Mukti Arto, 2005, Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek,


Bandung: Rosdakarya.

Musthofa Al-KHIm, Dkk.2002, Kitab Fiqh Madzhab Syafii, Penerjemah Azizi


Ismail Dan M. Asrihasim, Kuala Lumpur, Pustaka Salam.

Musthofa Al-KHIm, 2002, Dkk. Kitab Fiqh Madzhab Syafii, Penerjemah Azizi
Ismail Dan M. Asrihasim, Kuala Lumpur, Pustaka Salam.
Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, 1992 Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,
Bandung, Mandar Maju,

Ramulyo, Moh. Idris, (1995), Hukum Perkawinan, Hukum Kawasan, Hukum


Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menyrut Hukum Islam, Jakarta, sinar
grafitika.

Ramulyo, Moh. Idris, 2004, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Bumi Aksara.

Roihan A. Rasyid, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, raja grafindo
persada.
Soedharyo Soimin, 2004,  Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika,
Soedharyo Saimin, 2002:6

Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2011, Kompilsi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,
Kewalian, Dan Perwakafan, Bandung. Cv.nuansa aulia

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, 2012, hlm. 81-82

Tim Redaksi Pustaka Buana, RIB/ HIR dengan Penjelasan, Bandung: Pustaka
Buana, 2014, hlm. 123.

Sayyid Sabiq, 1981, Fiqh As-Sunnah, Bandung, PT Alma’arif

Subekti, 1983, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa.

Wahbah Al Zuhail, 2007, Al Fiqh Al Islami WaAdillatuhu, Jilid. 9, Terj. Abdul Hayyi Al-
Kattani, Dkk, Jakarta: Gema Insani.

Zuhriah Erfaniah, 2008, Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah


dan Pasang Surut, Malang, UIN Press.

Tim Redaksi Sinar Grafika, 2012, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai