Anda di halaman 1dari 156

PERKAWINAN ANTARAGAMA DI INDONESIA

Praktik dan Analisis atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya


Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby

SKRIPSI

Karya tulis ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum (S.H.) dari Program Studi Ahwal Syakhsiyah
Fakultas Syari’ah

Disusun oleh:

Gun Gun Gunawan


NIM : 19110034

INSTITUT STUDI ISLAM FAHMINA (ISIF)

CIREBON
ABSTRAK

Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara langsung dan jelas
mengatur masalah perkawinan antaragama sehingga menimbulkan kekosongan
hukum. Tidak ada pasal atau ayat yang melarang atau membolehkan perkawinan
calon suami dan calon istri yang memeluk agama berbeda dalam Undang-
Undang Perkawinan membuat hakim PN Surabaya mengesahkan permohonan
perkawinan antaragama. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menguraikan
pertimbanagan hakim dalam mengesahkan permohonan perkawinan serta akibat
hukum yang mengikutinya. Selain itu, untuk menggali akar permasalahan
hukumnya dilakukan tinjauan hukum Islam serta hukum positif serta analisis
kepastian hukum perkawinan antaragama dan cara pembaruan hukumnya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Peneliti
berusaha mendeskripsikan fenomena menggunakan metode kualitatif secara
deskriptif analitik. Pendekatan dalam penelitian ini juga menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dalam Islam mayoritas ulama
berpendapat bahwa perkawinan antaragama haram secara mutlak dengan
pendapat lain membolehkan asal dengan perempuan Ahl al-Kitāb dan ada juga
yang membolehkan sepanjang masih dalam batas-batas untuk mewujudkan
tujuan perkawinan. Pengesahan perkawinan antaragama oleh hakim PN
Surabaya terfokus pada pertimbangan; kekosongan hukum, keterangan para
saksi; perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan; pertimbangan hak kebebasan beragama; pertimbangan hak
membentuk keluarga; serta pertimbangan persetujuan dan restu orang tua kedua
mempelai. Putusan Hakim tersebut berimplikasi pada sahnya perkawinan Para
Pihak di hadapan negara, sahnya status anak yang dihasilkan dari perkawinan
dan nasabnya bersambung ke ayahnya yang membuat anak berhak mendapatkan
hak-hak keperdataan darinya. Sedangkan, ketidakpastian hukum perkawinan
antaragama bisa diselesaikan dengan jalan harmonisasi norma antara Undang-
Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan
melalui jalan legislatif review maupun judicial review.

Kata kunci: perkawinan, perkawinan antaragama, kekosongan hukum,


kepastian hukum, PN Surabaya

i
ABSTRACT

Indonesia does not have the legal protection that directly and clearly
regulates interfaith marriage issues, thus creating a legal vacuum. There are no
articles or verses that prohibit or allow the marriage of prospective husbands
and prospective wives who adhere to different religions in the Marriage Law,
causing Surabaya District Court judges to approve interfaith marriage
applications. Therefore, this research aims to describe the judge's
considerations in ratifying a marriage petition and the legal consequences that
follow. Apart from that, to explore the roots of the legal problems, a review of
Islamic law and positive law was carried out as well as an analysis of the legal
certainty of inter-religious marriage and ways to reform the law.
This research is normative legal research. Data collection was carried out
by literature study (library research), namely legal research carried out by
examining library materials or secondary data. Researchers try to describe
phenomena using descriptive analytical-qualitative methods. This research also
uses a statutory approach and conceptual approaches.
The results of the research reveal that in Islam the majority of ulama are
of the opinion that inter-religious marriage is absolutely haram, with other
opinions allowing it as long as it is with a woman from Ahl al-Kitāb and there
are also those who let it as long as it is within the limits to realize the purpose
of the marriage. The ratification of inter-religious marriages by Surabaya
District Court judges focuses on considerations; legal vacuum, witness
statements; religious differences do not constitute a prohibition on entering into
marriage; consideration of the right to religious freedom; consideration of the
right to form a family; as well as consideration of the approval and blessing of
the parents of the bride and groom. The judge's decision has implications for the
legality of the marriage of the Parties before the state, the legal status of the
child resulting from the marriage, and his lineage to his father, which makes the
child entitled to civil rights from him. Meanwhile, legal uncertainty about inter-
religious marriages can be resolved by harmonizing norms between the
Marriage Law and the Population Administration Law through legislative
review or judicial review.

Keywords: marriage, interfaith marriage, legal vacuum, legal certainty,


Surabaya District Court

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa tercurah ke hadirat Allah SWT yang senantiasa

mengasihi setiap makhluk ciptaannya dengan nikmat yang tak terhingga. Atas

limpahan nikmat dan karunia itulah penulis bisa hadir di hadapan pembaca dengan

membawakan karya tulis hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

Shalawat serta salam selalu terlantun dan termunajat kepada utusan tercinta yang

membawa cahaya perubahan dari gelapnya kebodohan bagi seluruh umat manusia,

yakni Nabi Muhammad SAW. Semoga limpahan syafaatnya bisa sampai pada kita

selaku umatnya di akhir zaman ini.

Penelitian ini disusun dengan segala keterbatasan yang ada, sehingga hasil

penelitian adakalanya tidak bisa memuaskan ekspektasi pembaca sekalian karena

keterbatasan informasi dan ilmu yang dimiliki penulis. Penelitian ini secara khusus

mengantarkan topik tentang fenomena perkawinan antaragama yang disetiap

kemunculannya selalu menjadi buah bibir dan menjadi topik hangat untuk dibahas

baik secara hukum maupun sosial.

Dalam konstruksi masyarakat yang semakin global dan multikultural seperti

yang kita miliki saat ini, perkawinan antaragama telah menjadi fenomena yang

semakin umum terjadi. Perkawinan yang melibatkan dua orang dengan keyakinan

agama yang berbeda membawa tantangan yang kompleks, baik dalam aspek sosial,

budaya, maupun agama itu sendiri. Tanpa kita sadari, kita hidup dalam dunia yang

semakin terhubung, di mana interaksi antarbudaya dan antaragama adalah hal yang

tak terhindarkan. Dalam konteks ini, pernikahan antaragama menjadi cerminan dari

pluralitas masyarakat kita yang kaya akan perbedaan.

iii
Perkawinan antaragama adalah perkawinan yang melibatkan pasangan yang

menganut keyakinan agama yang berbeda. Dalam konteks Indonesia yang beragam,

dengan berbagai latar belakang agama, etnis, dan budaya, perkawinan antaragama

telah menjadi bagian integral dari keragaman sosial kita. Fenomena ini menciptakan

jaringan hubungan yang kompleks dan memiliki dampak yang signifikan pada

individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam koridor hukum, fenomena perkawinan antaragama cukup pelik dan

menuai pro-kontra dari segi pelaksanaannya. Oleh sebab itu, penelitian ini

bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkawinan

antaragama dari segi hukum, mengidentifikasi peraturan hukum yang berlaku, serta

menganalisis dampak dan tantangan hukum yang dihadapi oleh pasangan yang

memilih untuk perkawinan berbeda agama. Dengan demikian, diharapkan

penelitian ini akan memberikan wawasan yang bermanfaat bagi praktisi hukum,

penegak hukum, dan masyarakat secara umum dalam memahami aspek hukum dari

perkawinan antaragama.

Berbarengan dengan rampungnya proses penulisan dan penelitian ini,

dengan segenap kasih dan cinta yang bersemayam dalam dada, penulis

menghaturkan terima kasih yang begitu mendalam. Penulis menyadari betul telah

banyak menerima dukungan, bimbingan, pengarahan dalam pelaksanaan penelitian

serta saran dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung selama

berjalannya penelitian.

Dengan hasil penelitian pada skripsi ini, menjadi suatu harapan yang besar

apabila nantinya bisa memberikan manfaat bagi pihak yang membaca tulisan ini.

Implikasi yang ingin diraih tentunya skripsi ini bisa bermanfaat bagi peningkatan

iv
pengetahuan baik akademik dan non-akademik, meskipun dalam penyusunan dan

penyampaiannya masih banyak kekurangan, baik dalam hal penyusunan dan

penyampaian materinya. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat

diharapkan dari pembaca sekalian.

Atas perhatian dan kesediaan waktunya dihaturkan terima kasih sebesar-

besarnya.

Cirebon, 1 November 2023

Penulis

v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PERKAWINAN ANTARAGAMA DI INDONESIA


Praktik dan Analisis atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
916/Pdt.P/2022/PN Sby
beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya intelektual saya sendiri dan saya
tidak melakukan penjiplakan, plagiasi, ataupun pengutipan dengan cara-cara yang
tidak sesuai etika akademis dan etika riset yang berlaku dalam proses penelitian
keilmuan.
Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi apapun yang
dijatuhkan kepada saya sesuai dengan peraturan yang berlaku, apalagi di kemudian
hari ditemukan adanya pelanggaran atau klaim terhadap keaslian karya intelektual
ini.
Cirebon, 30 Oktober 2023
Yang Membuat Pernyataan,

GUN GUN GUNAWAN


NIM: 19110034

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur terpanjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah

memberikan hikmah, kekuatan, dan kesabaran dalam menyelesaikan skripsi

berjudul: “Perkawinan Antaragama Di Indonesia: Praktik Dan Analisis Atas

Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/Pn Sby”. Dengan

penuh segala kehormatan, penulis haturkan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, memberikan

bimbingan, serta kontribusi positif dalam segala proses penelitian ini. Dengan

penuh kesadaran, penulis menyadari betul kontribusi positif pihak-pihak yang

senantiasa mendorong dan memberikan bantuan pada terselesaikannya penelitian

ini.

Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. KH Marzuki Wahid, M.A. selaku Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)

Cirebon.

2. Dr. Hj. Afwah Mumtazah selaku Deputi Rektor I Bidang Akademik dan

Kelembagaan.

3. Bapak Noval Maliki, M.Pd. selaku Kepala Lembaga Penelitian dan

Pemberdayaan Masyarakat (LP2M).

4. Bapak Samud. M.H.I selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Studi Islam

Fahmina.

5. Bapak Muhammad Ghozali, M.H. selaku Ketua Program Studi Ahwal

Syakhshiyyah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan kepada Seluruh dosen

vii
serta seluruh staf tenaga kependidikan ISIF atas segala bantuan selama

proses penyusunan laporan.

6. Terkhusus bagi Abi Marzuki Wahid, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan bimbingan, saran, motivasi dan pengarahan kepada

penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Teruntuk keluarga yang utama dan sangat berarti bagi penulis karena telah

membantu dan mendorong secara penuh perjalanan penulis hingga sampai

pada titik ini.

8. Kepada keluarga Rumah Joglo, Abi Marzuki, Teh Nurul, Teh Sofi, Teh

Fitri, Teh Tuti, dan Fajar yang memiliki andil besar dalam memberikan

dorongan materil maupun immateril bagi penulis.

9. Serta bagi rekan-rekan dan orang-orang yang selalu memberikan dukungan

moril yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih sudah saling

mensupport dan senantiasa bersama menempuh perjalanan ini.

viii
NOTA PERSETUJUAN

Skripsi berjudul:
PERKAWINAN ANTARAGAMA DI INDONESIA
Praktik dan Analisis atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
916/Pdt.P/2022/PN Sby

Disusun oleh:
Gun Gun Gunawan
NIM: 19110034

Program Studi Ahwal Syakhsyiyah


Fakultas Syariah
Telah dilakukan:
1. Seminar proposal skripsi pada tanggal 09 Juli 2023
2. Pembimbingan skripsi mulai tanggal 31 Juni 2023 sampai tanggal 18
November 2023
3. Uji perspektif pada tanggal 25 Juli 2023
Disetujui untuk diseminarkan dan dipertanggungjawabkan pada Seminar
Munaqasyah skripsi.
Cirebon, 18 November 2023
Dosen Pembimbing Skripsi,

Marzuki Wahid, M.A.

ix
NOTA PENDAFTARAN

Kepada Yth:
Dekan Fakultas Syariah
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon

Assalamualaikum wr.wb

Setelah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi terhadap naskah skripsi

berjudul:

PERKAWINAN ANTARAGAMA DI INDONESIA


Praktik dan Analisis atas Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
916/Pdt.P/2022/PN Sby

yang disusun oleh:

Disusun oleh : Gun Gun Gunawan


NIM : 19110034
Program Studi : Ahwal Syakhsiyah
Fakultas : Syariah

Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut dapat dan sudah layak diajukan

kepada Fakultas Syariah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon untuk

diseminarkan dan dipertanggungjawabkan dalam Seminar Munaqasyah Skripsi.

Wassalamualaikum wr.wb.

Cirebon 18 November 2023


Dosen Pembimbing Skripsi,

Marzuki Wahid, M.A.

x
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi sarjana ISIF yang dipublikasikan, terdaftar dan tersedia di

perpustakaan ISIF, terbuka untuk umum dengan ketentuan, bahwa hak cipta ada

pada penulis dengan mengikuti tata aturan HaKi yang berlaku di Indonesia.

Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringatan

hanya dapat dilakukan seizin penulis dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah

untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak dan menerbitkan sebagian atau

seluruh skripsi harus seizin pengarang dan pimpinan ISIF (Institut Studi Islam

Fahmina) Cirebon.

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Kata Arab yang belum baku ditulis harus mengikuti pedoman


transliterasi. Cara penulisannya dimiringkan (italic), kecuali nama orang,
tempat, institusi, dan sejenisnya. Hal serupa juga berlaku bagi penulisan
kata asing lainnya, termasuk bahasa daerah.

Pedoman Transliterasi Arab-Indonesia adalah sebagai berikut:

Arab Latin Arab Latin Arab Latin


‫ا‬ A ‫ز‬ Z ‫ق‬ Q
‫ب‬ B ‫س‬ S ‫ك‬ K
‫ت‬ T ‫ش‬ Sy ‫ل‬ L
‫ث‬ Ts ‫ص‬ Sh ‫م‬ M
‫ج‬ J ‫ض‬ Dh ‫ن‬ N

‫ح‬ H ‫ط‬ Th ‫و‬ W


Zh H
‫خ‬ Kh ‫ظ‬ ‫ه‬
` ‘
‫د‬ D ‫ع‬ ‫ء‬
‫ذ‬ Dz ‫غ‬ Gh ‫ي‬ Y
‫ر‬ R ‫ف‬ F -

a. Tanda madd (vokal panjang)


1) a dengan nada panjang => â
2) i dengan nada panjang => î
3) u dengan nada panjang => û

b. Kata sandang alif + lam (‫)ال‬


Apabila diikuti oleh huruf qamariyah ditulis al, misalnya: ‫الكافرون‬
ditulis al-kâfirûn. Apabila diikuti oleh huruf syamsiyah, huruf lam. diganti
dengan huruf yang mengikutinya, misalnya: ‫ الرجال‬ditulis ar-rijâl.

xii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI....................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii
NOTA PERSETUJUAN ...................................................................................... ix
NOTA PENDAFTARAN ...................................................................................... x
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI ............................................................ xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .............................................. xii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................. 10
E. Penelitian Terdahulu .............................................................................................. 11
F. Kerangka Teori ...................................................................................................... 15
G. Metodologi Penelitian ........................................................................................... 22
H. Sistematika Penulisan ............................................................................................ 28
BAB II
LANDASAN HUKUM PERKAWINAN .......................................................... 30
A. Tinjauan Umum Perkawinan ................................................................................. 30
1. Pengertian Perkawinan...................................................................................... 30
2. Dasar Hukum Perkawinan ................................................................................ 33
3. Hukum Perkawinan ........................................................................................... 37
4. Tujuan Perkawinan ........................................................................................... 43
5. Syarat dan Rukun Perkawinan .......................................................................... 44
6. Prinsip-prinsip Perkawinan ............................................................................... 48
B. Perkawinan Antaragama ........................................................................................ 51
C. Pandangan Islam tentang Perkawinan Antaragama ............................................... 54

xiii
D. Perkawinan Antaragama dalam Konstruksi Hukum Indonesia ............................. 61
BAB III
TINJAUAN PUTUSAN PENETAPAN PERKAWINAN ANTARAGAMA . 67
A. Profil Singkat Pengadilan Negeri Surabaya .......................................................... 67
B. Kasus Posisi Perkara Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby .......................................... 76
C. Dasar Pertimbangan Hakim PN Surabaya dalam Memutus Perkara Perkawinan
Antaragama ................................................................................................................... 80
D. Konsekuensi dan Implikasi Hukum Putusan ......................................................... 90
BAB IV
KEPASTIAN HUKUM PERKAWINAN ANTARAGAMA ......................... 102
A. Kekosongan Hukum Perkawinan Antaragama di Indonesia ............................... 103
B. Kepastian Hukum dan Peran Hakim dalam Mengisi Kekosongan Hukum ......... 108
C. Pembaruan Hukum Perkawinan Antaragama ...................................................... 112
BAB V
PENUTUP .......................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 121
LAMPIRAN PUTUSAN ................................................................................... 129
BIOGRAFI PENULIS ...................................................................................... 140

xiv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.1 Dalam

Islam, perkawinan dianggap sebagai ikatan perjanjian yang kuat (mitsaqan

ghalizhan) antara laki-laki dan perempuan melalui akad perkawinan.2 Di

Indonesia, salah satu undang-undang yang mengatur soal perkawinan adalah UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana kemudian diubah

dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan adanya undang-undang ini,

negara secara hukum menjamin hak setiap warga negara untuk membentuk

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Disahkannya undang-undang ini diklaim secara relatif telah menjawab

kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur keseragaman

aturan perkawinan untuk semua golongan masyarakat di Indonesia. Tapi, bukan

berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang terkait

dengan perkawinan. Contoh persoalan yang belum diatur ialah tentang

perkawinan antaragama, yakni perkawinan yang terjadi antara seorang laki laki

dan seorang perempuan yang berlainan agama.

1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 25.
2

Jika melihat lebih detail, sejatinya Indonesia belum memiliki payung

hukum yang secara langsung dan jelas mengatur masalah perkawinan

antaragama yang memuat implikasi masalah yang begitu kompleks. Dalam

konteks undang-undang perkawinan, belum ada pasal atau ayat yang mengatur

secara jelas tentang larangan atau kebolehan perkawinan apabila calon suami

atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Perkawinan antaragama

ini kemudian menimbulkan pertentangan dan dua kutub penafsiran yang

berbeda-beda di berbagai kalangan. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan

tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan

agama, maupun berdasarkan undang-undang negara. MUI misalnya,

mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa “perkawinan antaragama adalah

haram dan tidak sah” meskipun perkawinan dilakukan antara seorang pria

muslim dengan seorang wanita dari Ahl al-Kitāb menurut qaul mu'tamad.3

Sementara, di sisi lain, sebagian pihak berpendapat bahwa perkawinan

antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan

agama/keyakinan salah satu pihak.4 Sementara seluruh agama yang diakui di

Indonesia, tidak membolehkan adanya perkawinan calon mempelai berbeda

agama. Sebagai salah satu alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat

dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah

3
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas Vii/Mui/8/2005 tentang Perkawinan Beda
Agama.
4
Rahma Amir, Perkawinan Beda Agama di Indonesia Perspektif Hukum Islam, (Jurnal Al-Qadau:
Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, 2019), 6(1), 99-110, hlm. 108.
3

satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama.5 Ketentuan-ketentuan ini

disebut sebagai salah satu cara penyelundupan hukum bagi perkawinan

antaragama.

Apabila diperhatikan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Artinya, pihak yang akan kawin

harus menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya berlainan agama, menurut

ketentuan dalam undang-undang perkawinan dan peraturan-peraturan

pelaksananya, maka perkawinan ini tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila

salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya.6

Berbagai upaya kemudian ditempuh pasangan perkawinan antaragama,

contohnya dengan melakukan perkawinan dua kali dengan ketentuan agama

masing-masing pihak. Misal di pagi hari melangsungkan akad menurut hukum

Islam yang dianut salah satu mempelai, kemudian di hari yang sama juga

melangsungkan pemberkatan nikah di gereja menurut hukum agama Kristen

yang dianut mempelai yang lain.7 Tapi, upaya ini juga menimbulkan pertanyaan

lanjutan perihal perkawinan manakah yang diakui dan dikatakan sah. Cara

5
Mys & M-1, Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar Negeri, Hukumonline.com,
https://www.hukumonline.com/berita/a/masalah-hukum-keabsahan-kawin-beda-agama-di-luar-
negeri-hol14922/ diakses pada tanggal 16 Agustus 2023 pukul 20:34.

6
Sri Wiyanti Eddyono, “Perkawinan Campuran Antar Agama: Hukum Kolonial dan
Kekinian”, dalam Maria Ulfah Ansor dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan
Lintas Agama, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hlm. 108.
7
Konflik Norma Perkawinan Beda Agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama dan Kependudukan
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nadzirotus-sintya-falady-s-h-cpns-
analis-perkara-peradilan-calon-hakim-2021-pengadilan-agama-probolinggo- diakses pada 10 Juni
pukul 01.04.
4

lainnya, dalam sementara waktu salah satu pihak berpura-pura pindah agama

supaya keduanya dipandang secara hukum menganut agama yang sama.

Namun, hal ini sebenarnya juga dilarang oleh agama manapun karena dianggap

sebagai perbuatan mempermainkan agama.

Perkawinan antaragama, dahulu diatur dalam sebuah peraturan yang

dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda; yaitu Penetapan Raja tanggal 29

Desember 1896 No. (Stb. 1898 No. 158), yang dikenal dengan peraturan

tentang perkawinan campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken), yang

kemudian disebut GHR.8 Dalam GHR, jika dua orang yang berbeda agama

hendak melangsungkan perkawinan, maka Kantor Catatan Sipil (KCP) yang

akan mencatat perkawinannya.

Namun, setelah berlakunya undang-undang perkawinan, terutama setelah

tahun 1983, perkawinan antaragama pelaksanaannya menjadi sulit karena dalam

undang-undang perkawinan tidak diatur secara jelas pengaturannya. Pengaturan

soal tempat pencatatan perkawinan pula tidak menjelaskan secara jelas

perkawinan antara orang yang berbeda agama harus dicatatkan di Kantor Urusan

Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).

Selain itu, soal keabsahan perkawinan yang disebabkan pertentangan

norma tentang sahnya perkawinan antara orang yang berbeda agama. Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44, misalnya mengisyaratkan pelarangan

perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam

8
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.
243.
5

sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 20 ayat

2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya.

Sedangkan, alasan pembolehan perkawinan antaragama adalah karena

pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan bagian

dari hak asasi manusia. Pembolehan perkawinan antaragama ini hanyalah dalam

rangka menegakkan prinsip-prinsip pluralisme, nasionalisme, HAM, demokrasi

dan kemaslahatan yang antroposentris.9 Sebab, setiap orang berhak untuk

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah,

di mana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang

dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk

agamanya masing-masing.

Maka, ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang sahnya suatu perkawinan, apabila dilakukan menurut tata cara

agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri hal ini tidak

mungkin dilakukan oleh pasangan yang memiliki perbedaan agama. Sedangkan

yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu termasuk ketentuan

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain

dalam undang-undang. Alasan di atas banyak digunakan sebagai alasan legal

bahwa perkawinan antaragama tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia.

9
Danu Aris Setiyanto, "Larangan Perkawinan Beda Agama Dalam Kompilasi Hukum Islam
Perspektif Hak Asasi Manusia." Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam 7.1 (2017): 87-
106, hlm. 101.
6

Selain itu, dalam Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang

menyebutkan jika perkawinan dilakukan atas perintah pengadilan, maka harus

dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil (KCS). Namun, peraturan ini tidak

memberikan penjelasan yang jelas kemana harus mendaftarkan perkawinan jika

tidak ada penetapan pengadilan.10

Jika merujuk pada realitas, fenomena perkawinan antaragama bukan hal

yang baru di Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang

melangsungkan perkawinan dengan laki-laki non-muslim. Ada Nurul Arifin

yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara yang menikah dengan

Henry Siahaan (Kristen), dan masih banyak yang lain. Tetapi, mereka-mereka

ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen. Kasus yang

cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal

tahun 2005 lalu. Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun oleh Indonesian

Conference On Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga awal Maret 2022

sudah ada 1.425 pasangan antaragama melangsungkan perkawinan di

Indonesia.11

Dalam putusan terbaru soal perkawinan antaragama, pada April 2022,

hakim Pengadilan Negeri Surabaya menerbitkan putusan Nomor

916/Pdt.P/2022/PN Sby yang mengabulkan permohonan pencatatan nikah pada

pasangan antaragama yang beragama Islam dan Kristen. Dalam putusannya,

10
https://hukumonline.com/klinik/a/masalah-pencatatan-perkawinan-beda-agama-
lt528d75a6252d7/ diakses pada 14 Juni 2023 pukul 01.00.
11
Dean Pahrevi, Sebegini Jumlah Pasangan Melakukan Pernikahan Beda Agama di
Indonesia, Jangan Kaget ya, https://m.jpnn.com/news/sebegini-jumlah-pasangan-melakukan-
pernikahan-beda-agama-di-indonesia-jangan-kaget-ya diakses pada 13 Juni 2023 pukul 13.03.
7

hakim PN Surabaya memberikan izin kepada pasangan tersebut untuk

melangsungkan perkawinan antaragama di hadapan Pejabat Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Surabaya. Hakim

pengadilan yang memutus perkara beranggapan bahwa telah terjadi kekosongan

hukum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena

tidak menyebutkan secara eksplisit dalam salah satu pasal tentang perkawinan

antaragama. Akibatnya berdasarkan asas ius curia novit, menuntut hakim untuk

menerima setiap perkara yang masuk meskipun belum jelas dasar hukumnya.

Keputusan tersebut dipandang sebagai preseden perkawinan antaragama

di Indonesia yang tidak diperbolehkan menurut UU Perkawinan.12 Meskipun

demikian, putusan ini tidak berarti bahwa perkawinan antaragama diakui secara

resmi oleh negara yang jika merujuk pada uji materil UU Perkawinan

sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan perkawinan

antaragama dalam uji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.13

Yang terbaru, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam

Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama

yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA tersebut berisi MA larangan bagi

para hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan antaragama.

Hal ini tentu semakin menumpuk ketidakjelasan aturan perkawinan antaragama.

12
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61897071 diakses pada 13 Juni 2023 pukul
23.24.
13 https://www.mpr.go.id/berita/Kritisi-Berulangnya-
%E2%80%9CPengesahan%E2%80%9D-Perkawinan-Beda-Agama,-HNW-Minta-Hakim-dan-
MA-Dengarkan-Pendapat-MUI-dan-Ikuti-Putusan-MK diakses pada 13 Juni 2023 pukul 23.34.
8

Ketidakjelasan pengaturan perkawinan antaragama disebabkan karena

undang-undang perkawinan belum membuat aturan yang mengakomodasi

pelaksanaan perkawinan antaragama, dan belum ada aturan yang melarang

pelaksanaan perkawinan antaragama. Konsekuensi lain bagi praktik perkawinan

antaragama yang telah terjadi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia adalah

membuktikan bahwa perkawinan antaragama sangat sulit untuk dikualifikasikan

sebagai pelanggaran atau bukan.

Akibat ketidakjelasan aturan hukum mengenai perkawinan antaragama,

pemahaman masyarakat terbagi menjadi dua. Orang yang berpendapat bahwa

perkawinan antaragama “dilarang” secara hukum, dan orang yang menganggap

perkawinan antaragama “tidak dilarang” secara hukum. Kenyataan ini

mengakibatkan orang yang akan melangsungkan perkawinan antaragama

mendapatkan perlakuan yang berbeda, ada yang dilayani tetapi ada pula yang

ditolak. Perkawinan antaragama dapat dilakukan di daerah tertentu, tetapi

perkawinan antaragama tidak dapat dilakukan di daerah tertentu. Hal ini

menunjukkan adanya kekosongan hukum dalam fenomena perkawinan

antaragama.

Perbedaan penafsiran antara kebolehan dan larangan inilah yang menjadi

persoalan krusial dan menimbulkan pertentangan di antara para pemuka agama

dan hakim, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu perlu

dibentuk regulasi yang komprehensif yang dapat mengisi kekosongan hukum

yang ada yang mengakomodasi kebebasan beragama sekaligus menangani

masalah perkawinan antaragama di Indonesia.


9

B. Rumusan Masalah

Persoalan perkawinan antaragama memang memiliki posisi krusial dalam

dinamika kehidupan masyarakat. Untuk merumuskan aturan yang komprehensif

soal perkawinan antaragama perlu dilakukan kajian yang mendalam soal itu.

Untuk itu, penelitian ini mencoba melakukan kajian dan analisis yang bisa

memberikan tawaran pengetahuan pada persoalan ini. Untuk itu mengerucutkan

bahasan tentang perkawinan antaragama, kajian ini merumuskan masalah pada

lingkup:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia

terhadap perkawinan antaragama?

2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan implikasi

pengesahan permohonan perkawinan antaragama?

3. Bagaimana kepastian hukum perkawinan antaragama dalam tata hukum

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Dari berbagai dimensi, agama dan negara memang memiliki posisi yang

tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat.14 Realitas sosial perlu

dijawab secara konkrit baik oleh agama maupun negara untuk menciptakan

keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali tentang

perkawinan antaragama. Sejalan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk

merumuskan hal-hal sebagai berikut.

14
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), 43.
10

1. Dengan religiusitas masyarakat Indonesia, pada persoalan perkawinan

antaragama, kita perlu memahami hukum perkawinan antar agama di

Indonesia baik dari sisi agama (Islam) maupun negara (hukum positif).

2. Pada produk hukum yurisprudensi, perlu dipahami pertimbangan hakim

dalam mengabulkan permohonan perkawinan antar agama. Dalam perkara

a quo, pertimbangan hakim PN Surabaya dalam putusan perlu untuk

dijabarkan secara lugas agar duduk perkara dapat dilihat secara terang

benderang serta implikasi dari putusan tersebut.

3. Melihat problematika perkawinan agama di masyarakat, maka perlu ditinjau

kepastian hukum dari pengaturan perkawinan antaragama di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki relevansi terkait dengan perkawinan antaragama dan

hubungannya dengan realitas hukum masyarakat Indonesia. Melalui analisis

mendalam terhadap fenomena ini, penelitian ini berusaha mengidentifikasi

implikasinya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara lebih

komprehensif. Oleh karena itu, harapannya penelitian ini baik secara teoritis

maupun secara praktis sebagai berikut.

1. Secara teoritis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan kajian

akademis bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti yang tertarik untuk mengkaji

lebih lanjut mengenai perkawinan antaragama.

2. Selain itu, hasil penelitian juga dapat menjadi pijakan dan sumber referensi

bagi penelitian serupa yang dilakukan di masa depan.


11

3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman mengenai

pengaturan dan pelaksanaan perkawinan antaragama, serta penerapan

hukum yang jelas soal perkawinan antaragama.

4. Bagi kampus, penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk

pengembangan pengetahuan dan keilmuan di bidang hukum keluarga Islam.

E. Penelitian Terdahulu

Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap literatur-literatur yang

berkaitan dengan objek kajian penelitian ini, maka diperoleh beberapa hasil

penelitian maupun buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, di

antaranya:

Pertama, skripsi Lysa Setiabudi yang berjudul “Analisis Perkawinan Beda

Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Terkait dengan Izin

Perkawinan Beda Agama.” Skripsi ini menjelaskan tentang perkawinan

antaragama dalam pandangan berbagai agama dan analisis pertimbangan hakim

PN Ungaran dalam memutus perkara perkawinan antaragama. Hasilnya,

ditemukan bahwa setiap agama di Indonesia tidak menghendaki perkawinan

antaragama dan dasar dari pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkawinan

antaragama karena telah terjadi kekosongan hukum. Karena dalam Undang-

Undang tidak secara tegas melarang adanya perkawinan antaragama, sehingga

menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di masyarakat.

Kedua, skripsi Muhammad Faisal Aulia Rakhman (2023) berjudul

Tinjauan Hukum Islam terhadap Perkawinan Beda Agama (Analisis Putusan

Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/Pn.Sby). Skripsi ini


12

menggambarkan pertimbangan hakim dalam memutus perkara perkawinan

antaragama serta tinjauan hukum Islam dalam menyikapi hak tersebut. Hasil dari

penelitian skripsi ini adalah pernikahan antaragama berdasarkan Pasal 2 ayat 1

UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 40 dan 44 KHI. bahwa setiap perkawinan

yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam

satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama,

Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara orang

yang beragama Islam dengan orang yang tidak beragama Islam, dalam kategori

musyrik/musyrikah. Sedangkan dalam Surat Al-Maidah ayat 5 membolehkan

seorang pria muslim menikah dengan seorang wanita Ahl al-Kitāb, namun

pernikahan pria muslim dengan wanita Ahl al-Kitāb hanyalah suatu perbuatan

yang dihukumi mubah, tetapi bukan anjuran apalagi perintah, dan jika terjadi

maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Seperti yang

terjadi pada putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor

916/Pdt.P/2022/PN.Sby.

Ketiga, artikel jurnal Anwar Hakim dan Ridhokimura Soderi dalam

Berasan: Journal of Islamic Civil Law, Vol. 1, No.1, 2022 yang berjudul

“Analisis Putusan MA Perkara No 916/Pdt.P/2022/PN.Sby Dalam Mengabulkan

Permohonan Pencatatan Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974.” Artikel ini membahas putusan Putusan MA

Perkara No 916/Pdt.P/2022/PN.Sby yang mengabulkan perkawinan antaragama

serta pandangan agama di Indonesia dalam menyikapi perkawinan antaragama.

Hasilnya, perkawinan antaragama dalam keyakinan agama Islam, Kristen


13

Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu pelaksanaannya

dilarang dengan tegas. Sedangkan, Penetapan Mahkamah Agung RI dalam

putusan perkara perkawinan antar agama telah menjadi yurisprudensi dan

menjadi sumber hukum dalam sistem peradilan di Indonesia karena telah

memiliki kekuatan hukum tetap, namun tidak memenuhi syarat yurisprudensi.

Keempat, skripsi Muhammad Rafi Rahmanullah Harirama yang berjudul

“Analisis Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Yang Disahkan Oleh

Pengadilan Negeri (Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby).” Penelitian ini

membahas Penetapan PN Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby yang

mengabulkan perkawinan antaragama serta akibat hukum dari pemohon

perkawinan antaragama. Hasilnya, Hakim Pengadilan Negeri Surabaya

mengabulkan permohonan perkawinan antaragama dalam Penetapan Nomor

916/Pdt.P/2022/PN Sby dengan pertimbangan bahwa para pemohon telah

memenuhi syarat materiil untuk melangsungkan suatu perkawinan bila

dihubungkan dengan ketentuan syarat-syarat perkawinan dalam dalam Undang-

undang Perkawinan pada Pasal 6 ayat (1) mengenai persetujuan kedua calon

mempelai dan ketentuan Pasal 7 mengenai usia perkawinan. Menurut hakim

perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan

sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 8 huruf (f) Undang- undang Perkawinan

dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf (a) Undang- Undang 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan

antaragama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

memutusnya.
14

Sedangkan, akibat hukum yang ditimbulkan oleh para pemohon adalah

perkawinan antaragama tersebut dapat dikatakan sah menurut hukum dan

perkawinan tersebut dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

selanjutnya menghasilkan suatu akta perkawinan yang sah. Perkawinan

antaragama dapat menimbulkan banyak masalah dikemudian hari seperti pola

asuh anak, pendidikan agama untuk anak dan pembagian waris untuk anak.

Kelima, artikel jurnal Dedeh Kurnia dan Rahmi Zubaedah di Jurnal Ilmiah

Ilmu Hukum QISTIE Vol. 15 No. 2 November 2022 yang berjudul “Analisis

Yuridis Terhdap Pelegalan Pernikahan Beda Agama (Studi Kasus Nomor

Perkara 916/Pdt.P/2022/PN Sby).” Artikel ini membahas pertimbangan hakim

dalam melegalkan perkawinan antaragama serta akibat hukum terhadap

pencatatan perkawinan di kantor Disdukcapil dari adanya penetapan PN yang

melegalkan perkawinan antaragama. Hasilnya, dalam Putusan Pengadilan

Surabaya menyebabkan suatu akibat hukum atas permohonan

pencatatan/penulisan suatu perkawinan, eksklusif (khususnya) pada perkawinan

antaragama. Walaupun awalnya mendapat penolakan dari kantor Disdukcapil

tetapi setelah memperoleh putusan dari pengadilan maka putusan tersebut harus

dituruti oleh kantor Disdukcapil untuk mencatatkan/menuliskan perkawinan

antaragama sesuai dengan hasil persidangan tersebut.

Penelitian-penelitian di atas dengan penelitian yang sedang penulis

lakukan, memiliki kesamaan yaitu tentang analisis putusan hakim Pengadilan

Negeri Surabaya dan soal hukum perkawinan antaragama. Akan tetapi, yang

membedakan penelitian di atas dengan penelitian penulis adalah, penulis lebih


15

berfokus pada kajian kekosongan hukum perkawinan antaragama serta sebab-

sebab yang melatarinya. Penulis juga berfokus pada perumusan peraturan baru

yang lebih tegas dan mengikat supaya perkawinan antaragama di Indonesia bisa

diatur dengan jelas dan rinci agar punya kepastian hukum yang tetap dan

mengikat seluruh warga negara Indonesia.

F. Kerangka Teori

1. Kekosongan Hukum

Hukum merupakan sekumpulan peraturan baik tertulis maupun tidak

tertulis yang berupa perintah dan larangan yang bersifat mengikat. Dalam

pandangan positivisme, hukum merupakan sistem aturan-aturan yang jelas

dan tegas yang berisi norma-norma tertentu.15 Menurut Lon Fuller seperti

dikutip oleh Friedman, hukum dikatakan sebagai daya upaya untuk

menundukan perilaku manusia kepada pemberlakuan peraturan-peraturan.16

Hukum dibentuk semata-mata untuk melindungi manusia dari

tindakan kesewenang-wenangan agar mencapai suatu keadilan.

Kekosongan hukum dipahami sebagai suatu kondisi ketika suatu fenomena

hukum tidak tercakup atau belum tercakup oleh suatu aturan hukum.

Kekosongan hukum dapat diartikan sebagai keadaan kosong atau tidak

adanya peraturan perundang-undangan (undang-undang yang mengatur

ketertiban tertentu dalam masyarakat). Kekosongan hukum mengacu pada

15
A’an Efendi, dkk, Teori Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 145.
16
Lawrence M, Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M. Khozin,
(Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009), hlm. 10.
16

situasi di mana tidak ada hukum atau peraturan yang mengatur masalah atau

kegiatan tertentu.

Hans Kelsen menyatakan bahwa kekosongan teknis (hukum) terjadi

ketika pembuat undang-undang gagal mengatur sesuatu yang harus ia atur

yang memungkinkan aplikasi undang-undang secara teknik. Sedangkan,

kekosongan hukum dalam pandangan Hans Kelsen adalah keadaan ketika

terjadi kekosongan dalam artian terjadi perbedaan antara hukum positif

dengan hukum yang diinginkan.17 Khusus di Indonesia, kekosongan hukum

terjadi karena belum/tidak ada peraturan perundang-undangan yang

mengakomodasi fenomena hukum tersebut.

2. Teori Kepastian Hukum

Kekosongan hukum dalam tatanan hukum secara implikatif dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum karena menimbulkan kesenjangan

dalam sistem hukum yang dapat menimbulkan kerancuan, perselisihan, dan

pelanggaran hak. Ketidakpastian hukum dapat memperburuk kekosongan

hukum dengan membuat individu atau subjek hukum enggan tunduk pada

aturan perbuatan yang tidak diatur atau dilindungi secara jelas oleh hukum.

Tujuan pembentukan hukum pada dasarnya untuk mencapai suatu

kepastian hukum, yaitu jaminan pengayoman masyarakat secara adil dan

damai sehingga mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat.18 Kepastian

hukum merupakan keadaan di mana perilaku manusia, baik individu,

17
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Cetakan ke VIII, (Bandung: Penerbit Nusa Media,
2015), hlm. 133.
18
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2006),
hlm. 34.
17

kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah

digariskan oleh aturan hukum. Asas kepastian hukum diperlukan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan. Alasannya karena tidak ada

perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau

peraturan perundang-undangan yang berlaku.19 Kepastian hukum adalah

prinsip utama dari berbagai macam prinsip-prinsip supremasi hukum yang

bagi M. Cordela, dinyatakan sebagai term “The legal certainty as the

superior principle of the system of formal principles of the rule of law

justifies the legal validity of a defined group of values” .20

Kepastian hukum merupakan syarat agar keputusan dibuat menurut

aturan hukum, yaitu sah menurut hukum. Konsep kepastian hukum mungkin

terkait erat dengan konsep otonomi individu dalam yurisprudensi nasional.

Sejauh mana konsep kepastian hukum dimasukkan ke dalam hukum

bervariasi tergantung pada yurisprudensi nasional. Namun, kepastian

hukum seringkali menjadi prinsip utama untuk pengembangan metode

hukum di mana hukum dibuat, ditafsirkan dan diterapkan.

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

khususnya norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan maknanya karena tidak dapat lagi dijadikan pedoman perilaku

setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan hukum.

19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 130.
20
Samudra Putra Indratanto, Nurainun, and Kristoforus Laga Kleden, “Asas Kepastian
Hukum Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Berbentuk Peraturan Lembaga Negara
Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,” Jurnal Ilmu Hukum 16, no. 1 (2020), hlm.
92.
18

Secara normatif, kepastian hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan

perundang-undangan yang dibuat serta diundangkan dengan pasti. Hal ini

dikarenakan kepastian hukum dapat mengatur dengan jelas serta logis

sehingga tidak akan menimbulkan keraguan apabila terjadi pemahamanan

yang multitafsir, sehingga nantinya tidak akan terjadi benturan serta konflik

dalam norma yang ada di masyarakat.21

Teori kepastian hukum menekankan adanya kejelasan, kepastian,

dan konsistensi dalam sistem hukum untuk menciptakan keamanan dan

keadilan. Kepastian hukum sendiri memiliki bentuk nyata yaitu

pelaksanaan maupun penegakan hukum terhadap suatu tindakan yang tidak

memandang siapa individu yang melakukan. Melalui kepastian hukum,

setiap orang mampu memperkirakan apa yang akan ia alami apabila ia

melakukan suatu tindakan hukum tertentu.

Kepastian hukum pun diperlukan guna mewujudkan prinsip-prinsip

dari persamaan dihadapan hukum tanpa adanya diskriminasi. Dengan

kepastian hukum, maka akan menjamin seseorang dapat melakukan suatu

perilaku yang sesuai dengan ketentuan dalam hukum yang berlaku dan

begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya kepastian hukum, maka seorang

individu tidak dapat memiliki suatu ketentuan baku untuk menjalankan

suatu perilaku.

21
https://www.gramedia.com/literasi/teori-kepastian-hukum/ diakses pada tanggal 17 Juni
2023 pukul 00.02
19

Ada beberapa teori soal kepastian hukum yang diungkapkan oleh

para ahli, diantaranya:

a. Jan M. Otto

Jan M. Otto, seorang Profesor Hukum Universiteit Leiden, Belanda,

mengemukakan kepastian hukum dalam beberapa syarat sebagai berikut.

1) Kepastian hukum menyediakan aturan hukum yang jelas serta jernih,

konsisten serta mudah diperoleh atau diakses. Aturan hukum

tersebut haruslah diterbitkan oleh kekuasaan negara dan memiliki

tiga sifat yaitu jelas, konsisten dan mudah diperoleh.

2) Beberapa instansi penguasa atau pemerintahan dapat menerapkan

aturan hukum dengan cara yang konsisten serta dapat tunduk

maupun taat kepadanya.

3) Mayoritas warga pada suatu negara memiliki prinsip untuk dapat

menyetujui muatan yang ada pada muatan isi. Oleh karena itu,

perilaku warga pun akan menyesuaikan terhadap peraturan yang

telah diterbitkan oleh pemerintah.

4) Hakim peradilan memiliki sifat yang mandiri, artinya hakim tidak

berpihak dalam menerapkan aturan hukum secara konsisten ketika

hakim tersebut dapat menyelesaikan hukum.

5) Keputusan dari peradilan dapat secara konkrit dilaksanakan.22

22
Sulistyowati Irianto, et al, Kajian Sosio-legal, (Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama
dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 122-123.
20

Menurut Jan M. Otto kelima syarat dalam kepastian hukum tersebut

menunjukan, bahwa kepastian hukum dapat dicapai, apabila substansi

hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat. Jan M. Otto

pun menjelaskan aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum

adalah hukum yang lahir melalui dan dapat mencerminkan budaya yang ada

di masyarakat. Teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Jan M. Otto

dapat disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya atau realistic legal

certainly, artinya kepastian hukum tersebut dapat mensyaratkan bahwa ada

keharmonisan yang hadir di antara negara dengan rakyat yang memiliki

orientasi serta memahami sistem hukum negara tersebut.

Lebih lanjut, Jan Michiel Otto menuturkan, bahwa kepastian hukum

yang sesungguhnya dapat lebih berdimensi yuridis. Akan tetapi, terbatas

pada lima situasi yang telah dijelaskan di atas, hukum haruslah ditegakkan

oleh instansi penegak hukum yang memiliki tugas untuk dapat menjamin

kepastian hukum itu sendiri, demi tegaknya ketertiban maupun keadilan

yang hadir dalam kehidupan masyarakat.

b. Gustav Radbruch

Gustav Radbruch menjelaskan, bahwa kepastian hukum

merupakan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri. Dalam teori

kepastian hukum yang ia kemukakan, ada empat hal mendasar yang

memiliki hubungan erat dengan makna dari kepastian hukum itu

sendiri, yaitu sebagai berikut.


21

1) Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa

hukum positif ialah perundang-undangan.

2) Hukum didasarkan pada sebuah fakta, artinya hukum itu

dibuat berdasarkan pada kenyataan.

3) Fakta yang termaktub atau tercantum dalam hukum harus

dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga akan

menghindari kekeliruan dalam hal pemaknaan atau

penafsiran serta dapat mudah dilaksanakan.

4) Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch mengenai kepastian hukum

tersebut, didasarkan pada pandangannya mengenai kepastian hukum

yang berarti adalah kepastian hukum itu sendiri. Gustav Radbruch

mengemukakan, bahwa kepastian hukum adalah salah satu produk

dari hukum atau lebih khususnya lagi merupakan produk dari

perundang-undangan.

Berdasarkan pendapat dari Gustav Radbruch mengenai

kepastian hukum, hukum merupakan hal positif yang mampu

mengatur kepentingan setiap manusia yang ada dalam masyarakat

dan harus selalu ditaati meskipun, hukum positif tersebut dinilai

kurang adil. Lebih lanjut, kepastian hukum merupakan keadaan

yang pasti, ketentuan maupun ketetapan. Secara hakiki hukum

haruslah bersifat pasti dan adil. Maksudnya, hukum yang pasti

adalah hukum sebagai pedoman kelakukan, serta adil adalah


22

pedoman kelakukan yang harus menunjang antara suatu tatanan

dalam nilai wajar. Hanya dengan bersifat pasti dan adil lah, maka

hukum pada dijalankan sesuai dengan fungsi yang dimilikinya.23

G. Metodologi Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang digunakan dalam

mencari, menggali, mengolah, dan membahas dalam suatu penelitian untuk

memperoleh dan membahas penelitian tersebut. Maka peneliti menggunakan

metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Metode penelitian hukum normatif adalah metode yang bertumpu

pada kaidah-kaidah yang mengharuskan kepatuhannya dapat

dipaksakan dengan menggunakan alat kekuasaan negara (normatif),

berkiprah dalam dunia keharusan (das sollen) dan produknya

bersifat mengkaidahi.24 Penelitian ini adalah juga berjenis library

research yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder.25 Kepustakaan

dilakukan dengan menggunakan bahan dokumen resmi, arsip, jurnal

23
https://www.gramedia.com/literasi/teori-kepastian-hukum/ diakses pada 18 Juni 2023
pukul 02.07.
24
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Cetakan Keempat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2017), hlm. 143.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada 2004), hlm. 13
23

penelitian, buku panduan, buku profil, website resmi, buletin,

majalah, dan lain-lain yang diperlukan dalam riset.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitik,

yaitu suatu metode penelitian dengan mengumpulkan data-data

kemudian disimpulkan.26 Penelitian deskriptif (descriptive

research) adalah metode penelitian yang diajukan untuk

menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung

pada saat ini atau saat yang lampau. Disini, peneliti berusaha

mendeskripsikan fenomena dengan apa adanya berdasarkan hasil

pengolahan data secara kualitatif melalui pengumpulan data secara

kepustakaan.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif, yang

didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.27 Penelitian kualitatif

biasanya menggunakan dua media studi yaitu ilmu sosial dan kemanusiaan

yang di mana penelitian hukum normatif masuk di dalamnya. 28 Dengan

menggunakan pendekatan kualitatif, didapat pertimbangan yang

26
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 106.
27
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-33, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 4.
28
Klaus Bruhn dan Nicholas W. Jankowski (ed.), A Handbook of Qualitative Methodologies
for Mass Communication Research, (New York: Routledge, 1991), hlm. 3.
24

mengutamakan kualitas data sehingga mampu menghasilkan informasi

yang menekankan pada makna, dan memberikan sumbangan ilmu baru

yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah dan

meningkatkan taraf hidup manusia.29

Pendekatan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dalam hal ini adalah ketentuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam serta UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Selain itu, digunakan juga pendekatan konseptual

(conceptual approach) yang merupakan suatu pendekatan yang

menekankan pada analisis konsep-konsep hukum dan pemahaman teoritis

tentang hukum sebagai landasan penelitian. Pendekatan ini melibatkan

pemahaman terhadap konsep-konsep hukum yang mendasari isu-isu yang

sedang diteliti serta analisis terhadap teori-teori hukum yang relevan.

Dalam penelitian hukum dengan pendekatan konseptual, peneliti

akan mengidentifikasi konsep-konsep kunci yang terkait dengan masalah

yang diteliti dan menganalisis konsep-konsep tersebut secara mendalam.

Pendekatan ini berfokus pada analisis konseptual, penafsiran, dan

pembahasan teoritis yang terkait dengan isu-isu hukum yang sedang

diteliti.30

29
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011),
hlm. 20.
30
https://harvardilj.org/2021/01/how-to-do-research-in-international-law-a-basic-guide-for-
beginners/ diakses pada 16 Juni 2023 pukul 14.00.
25

Dengan menggunakan pendekatan konseptual, peneliti

menggunakan berbagai sumber referensi seperti literatur hukum, putusan-

putusan pengadilan, dokumen perundang-undangan, dan karya-karya ahli

hukum. Tujuannya, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang

konsep-konsep hukum yang mendasari isu-isu yang diteliti serta

menghasilkan pemikiran dan analisis yang konseptual dan teoritis dalam

penelitian hukum.31

3. Metode Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan dikumpulkan dengan metode wawancara

dengan praktisi yang telah melangsungkan perkawinan antaragama di

Indonesia. Data juga diperoleh melalui dokumentasi kepustakaan, yakni

dengan menganalisis dokumen-dokumen data-data kepustakaan atau

literatur-literatur hukum yang relevan, seperti putusan pengadilan, undang-

undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan lainnya. Peneliti

mengumpulkan dan melakukan analisis dokumen-dokumen meliputi:

konten, argumen, dan pertimbangan hukum yang terkandung di dalamnya.

4. Sumber Data

Analisa data dalam penelitian dengan menggunakan metode

kualitatif ini adalah dengan cara deskriptif, yaitu dengan mengkaji studi

dokumen, yakni menggunakan bahan hukum primer dan sekunder.

a. Data primer

31
https://legal.thomsonreuters.com/en/insights/articles/basics-of-legal-research-steps-to-
follow diakses pada 16 Juni 2023 pukul 13.48.
26

Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang

diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh

subjek yang dapat dipercaya yang berkenaan dengan variabel yang

diteliti.32 Data primer penelitian ini berupa Putusan pengadilan Negeri

PN Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby yang mengabulkan

permohonan perkawinan antaragama.

b. Data Sekunder

Peneliti menggunakan berbagai bahan hukum sekunder seperti

buku, jurnal dan berbagai hasil penelitian yang berkaitan erat dengan

penelitian ini. Di sini peneliti menggunakan beberapa bahan-bahan atau

data yang relevan dan buku penunjang. Data-data ini diperoleh dari

studi kepustakaan dengan mengkaji dan menelusuri literatur yang

relevan baik berasal dari buku-buku, kitab fiqh, majalah, jurnal-jurnal,

dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan yang dikaji. Kedua

bahan hukum primer dan sekunder ini dibutuhkan untuk

mendeskripsikan permasalahan yang sedang diteliti yaitu terkait

dengan kekosongan hukum perkawinan antaragama.

5. Metode Analisis Data

a. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang

kompleks, diperlukan prinsip analisis yang mencari masalah serta sebab-

32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hlm. 22.
27

musabab dengan pemecahannya. Hal ini perlu satu langkah penalaran analisis

yang bersifat logis.33 Dengan menggunakan metode analisis yang tajam,

peristiwa yang terjadi dengan fakta dan data yang didapat harus dicari sebab

akibatnya dan dijelaskan secara deskriptif agar dapat dipahami dengan jelas.

Dengan menggunakan analisis data secara komprehensif, data yang didapat

mampu menghasilkan gambaran mengenai pola dan kecenderungan suatu

peristiwa dan keputusan. Data yang penulis peroleh direduksikan dengan

proses pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan,

transformasi data kasar yang ditemui dengan penajaman teknis analisis,

dideskripsikan, kemudian ditafsirkan.

b. Penarikan Kesimpulan

Untuk menganalisis data dilakukan secara kualitatif yaitu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang berupa kata-kata tertulis

atau lisan yang dapat dipahami. Dalam analisis kualitatif penulis menggunakan

metode berpikir induktif, yaitu berfikir dengan berangkat dari fakta-fakta atau

peristiwa-peristiwa yang khusus ditarik generalisasinya sehingga mempunyai

sifat umum. Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan

masalah. tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik

mempresentasikan pokok bahasan penelitian, serta didukung dengan saran

praksis sebagai rekomendasi selanjutnya.

33
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, Rajawali Pers, 2016), hlm.
15.
28

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini, penulis bagi ke dalam lima bab, masing-masing bab terdiri atas

beberapa sub bab, diantaranya sebagai berikut.

Bab pertama menjelaskan tentang pendahuluan. Bab ini berisi latar

belakang masalah, rumusan masalah tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka teori atau kerangka pemikiran, metodologi penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab kedua menguraikan tentang landasan teori yang diaplikasikan pada

penelitian ini. Di antara fokus bahasan yang akan diterangkan adalah perihal

tinjauan umum perkawinan yang mencakup pengertian dan dasar hukum

perkawinan, syarat, rukun, dan tujuan perkawinan, batalnya perkawinan, serta

putusnya perkawinan. Selain itu dibahas pula tinjauan soal perkawinan

antaragama yang mencakup; tinjauan hukum perkawinan antaragama dalam

Islam dan hukum positif.

Bab ketiga menjabarkan objek penelitian yang akan dianalisis, yakni

putusan PN Surabaya soal penetapan perkawinan antaragama. Dalam hal ini,

dijelaskan tinjauan umum PN Surabaya, kronologi kasus, identitas para pihak,

isi putusan serta pertimbangan hakim dalam memutus perkawinan antaragama,

dan konsekuensi hukum dari pengesahan permohonan perkawinan antaragama

bagi kehidupan keluarga dan kewarganegaraan.

Bab keempat berisi analisis hasil temuan penelitian yang mengemukakan

kekosongan hukum perkawinan anataragama, analisis kepastian hukum pada


29

aturan perkawinan antaragama, dan pembaruan hukum perkawinan antaragama

di Indonesia.

Bab lima berisi risalah akhir penelitian yang mengungkapkan kesimpulan

dan rekomendasi. Pada bagian ini berisi kesimpulan atas pertanyaan-pertanyaan

dalam rumusan masalah soal putusan pengadilan ditambah dengan kritik dan

rekomendasi yang berkaitan dengan praktik perkawinan antaragama di

Indonesia.

Bab lima berisi risalah akhir penelitian yang mengungkapkan kesimpulan

dan rekomendasi. Pada bagian ini berisi kesimpulan atas pertanyaan-pertanyaan

dalam rumusan masalah soal putusan pengadilan ditambah dengan kritik dan

rekomendasi yang berkaitan dengan praktik perkawinan antaragama di

Indonesia.
30

BAB II

LANDASAN HUKUM PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum Perkawinan

Perkawinan memiliki posisi penting dan sakral dalam dinamika kehidupan

sosial manusia. Selain sebagai cara legal untuk melanjutkan keturunan, baik

menurut agama maupun negara, perkawinan juga berkedudukan sebagai media

untuk saling membina satu sama lain dalam bingkai rumah tangga dalam suasana

damai, tentram, dan penuh kasih sayang di antara suami dan istri. Secara naluriah,

manusia pun diciptakan oleh Allah Swt. dengan ketentuan hidup berdampingan dan

berpasang-pasangan satu sama lain. Melalui perkawinan, ketentuan dan sifat naluri

alamiah tersebut, dalam Islam diwujudkan dalam satu ikatan dalam rangka

mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia. Istilah perkawinan secara literal dalam

bahasa Arab yang dikenal dengan nikah atau az-zauj34 yang berarti

mengumpulkan,saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh

(wathi).35 Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab mengartikan

perkawinan sebagai:

34
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
1461.
35
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 7.
31

َ َ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ ٌ ْ َ ً ْ ََ َ ُ ْ َ ْ َ ُّ َّ ً َ ُ َ ُ
‫اح أ ْو ن ْح ِوه‬
ٍ ‫ك‬‫إن‬ ‫ظ‬ِ ‫ف‬ ‫ِهو لغة الضم والوطء وشعا عقد يتضمن إباحة وطء ِبل‬

"Nikah secara bahasa memiliki makna; berkumpul atau bersetubuh. Dan


secara syara' berarti akad. Akad yang menyimpan makna
diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau
sejenisnya." 36
Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Syata ad-Dimyati di

dalam kitab I’anah at-thalibin, yang menjelaskan bahwa: “nikah secara bahasa

penggabungan dan pengumpulan.” Lebih dari itu, Wahbah Zuhaili mengartikan

perkawinan sebagai al-wathi dan al dammu wa al-takadul atau terkadang juga

disebut sebagai al-dammu wa al-jam’u dan ibarat ‘an al-wath wa al-’aqd yang

dimaknai bersetubuh, berkumpul, dan akad. Secara lebih jelas, Az-Zuhaili

kemudian menguraikan definisi perkawinan dalam istilah berikut.

“Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan

seorang wanita atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama wanita tersebut

bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau

sepersusuan.”37

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata dasar “kawin”

yang secara bahasa berarti: membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan

hubungan kelamin; atau bersetubuh. 38

Al-Qur’an menyebutkan bahwa perkawinan diistilahkan dengan “ikatan

yang kuat” (mitsaqan ghalizan) yang bertujuan untuk membentuk dan

36
Mahbib Khoiron. “Definisi Dan Macam-Macam Hukum Nikah.” Https://www.nu.or.id, 22
Des. 2017, https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-pJcHS.
diakses pada 22 Agustus 2023 pukul 10.48
37
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974, Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 38.
38
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kawin
diakses pada 17 Agustus 2023 pukul 17.03.
32

mewujudkan keluarga yang sakīnah, mawaddah, dan rahmah. Term inilah yang

kemudian yang diadopsi dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam dengan

mendefinisikan perkawinan sebagai berikut.

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk menaati perintah Allah dan

pelaksanaannya merupakan ibadah.” 39 Akad perkawinan tersebut bukan hanya

sebagai manifestasi lisan untuk mengesahkan ikatan lahir batin antara pria dan

wanita, tetapi di dalamnya terdapat tanggung jawab secara lahir batin di antara

keduanya. Ikatan yang terjalin tersebut oleh Al-Qur’an dinyatakan sebagai nilai

yang bersifat luhur di antara dua orang yang berbeda jenis kelamin. Hal ini

dikemukakan contohnya melalui Q.S An-Nisa ayat 21.


ً َ ً َ ُْْ َ ْ َََ ْ َ َ ْ ُ ُ َْ َ َْ َْ َ ُ َ ُ ُ َْ َ َْ َ
‫ض وأخذن ِمنكم ِميثاقا غ ِليظا‬
ٍ ‫وكيف تأخذونه وقد أفض بعضكم ِإَل بع‬
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri.
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.”
Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, perkawinan diartikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.”

39
Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 2020, hlm. 5.
33

Ibn Abidin al-Dimsaqii al-Hanafii dalam kitabnya Darru al-Mukhtar fi

Darri al-Mukhtar sebagaimana dikutip oleh Kosim, mengartikan perkawinan

secara istilah fuqaha adalah:

“Akad yang berfaedah untuk memiliki kenikmatan yakni halal bersenang


senang laki-laki dengan perempuan ia tidak dilarang dengan sebab
nikahinya yang sebelumnya syara’ melarangnya.”40

Dalam pandangan lain, Ahmad Azhar Basyir menjelaskan bahwa

perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan

hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara

yang diridhai Allah Swt.41 Secara sosiologis, perkawinan merupakan proses

pertukaran antara hak dan kewajiban serta penghargaan dan kehilangan yang

terjadi antara sepasang suami istri. 42

Pendek kata, baik secara bahasa maupun istilah, maka inti dari

perkawinan adalah merupakan sebuah akad yang sangat kuat guna menghalalkan

hubungan seksual dengan tujuan membentuk keluarga yang harmonis.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan dinilai sebagai ibadah yang mempunyai pahala yang besar

dengan banyaknya ayat-ayat yang mengisyaratkan tentang perkawinan.

Misalnya, Q.S. Adz-Dzariyat ayat 49 menyatakan bahwa Allah menciptakan

40
Kosim, Fikih Munakahat I: Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam dan Keberadaannya
dalam Politik Hukum Indonesia, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2019), hlm. 3
41
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Pres, 1999), hlm. 14.
42
Kumedi Ja’far, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Arjasa Pratama, 2021),
hlm. 14.
34

segala sesuatu secara berpasang-pasangan, termasuk manusia (laki-laki dengan

perempuan).
َّ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ِّ ُ ْ َ
‫ي ل َعلك ْم تذك ُرون‬ِ ‫شء خلقنا زوج‬ ‫َو ِمن كل ي‬
“Dan segala sesuatu yang Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.”
Dalam hal yang sama soal penciptaan makhluk secara berpasang-

pasangan, Q.S. Yasin ayat 36 menunjukan sebagai berikut.


َ ُ َ َ ْ ُ ۢ ُ َّ َ َّ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ
‫ض َو ِم ْن أنف ِس ِه ْم َو ِم َّما َل‬
ُ ‫ٱْل ْر‬ ‫ُس ْب َح َٰ َن ٱل ِذى خلق ٱْلز َٰو جكلها ِمما تن ِبت‬
َ
‫ََي ْعل ُمون‬
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

Selain kedua ayat tersebut, ada pula ayat lain yang menyinggung soal

dasar hakikat penciptaan yang niscaya berjodoh-jodoh dan berpasang-pasangan

sebagai berikut.

a. Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang menyebutkan keniscayaan penciptaan

manusia oleh Allah dari seorang laki-laki dan perempuan, yang kemudian

dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya bisa saling mengenal

satu sama lain.43

ٓ َ ً ُ ُ ْ ُ َٰ َ ْ َ َ َ َٰ ََ ُ َ َ َ ِّ ُ َٰ َ ْ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ ََٰٰٓ َ
‫وبا َوق َبا ِئ َل‬ ‫ي أيها ٱلناس ِإنا خلقن كم من ذك ٍر وأنث وجعلن كم شع‬
َ ٌ َ َ َّ َّ ْ ُ َٰ َ ْ َ َّ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ ۟ َٰٓ ُ َ َ َ
‫يم خ ِبي‬ ‫ٱَّلل أتقىكم ۚ ِإن ٱَّلل ع ِل‬
ِ ‫ند‬ ‫ع‬
ِ ‫ٌ ِلتعارفوا ۚ ِإن أكرم‬
‫م‬ ‫ك‬
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”

43
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam…, hlm. 2.
35

b. Q.S. An-Nisa ayat 1 menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari seorang

diri (Adam) yang kemudian dari dirinya itu diciptakan pasangannya

(istrinya; Hawa) yang kemudian dari diri mereka Allah mengembangbiakan

manusia menjadi seperti sekarang.

َ ْ َ َ َ َ ْ َّ ِّ ُ َ َ َ َّ ُ ُ َّ َ ۟ ُ َّ ُ َّ َ ُّ َ ََٰٰٓ َ
‫س َ َٰو ِحدة َوخلق ِمن َها ز ْو َج َها‬ ٍ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫ن‬‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ق‬ ‫ل‬‫خ‬ ‫ى‬ ‫ذ‬
ِ ‫ٱل‬ ‫ي أيها ٱلناس ٱتقوا ربكم‬
َّ َْ َ ُ ٓ َ َّ َ َّ ۟ ُ َّ َ ً ٓ َ َ ً َ ً َ َ ُ ْ َّ َ َ
‫ٱَّلل ٱل ِذى ت َسا َءلون ِب ِهۦ َوٱْل ْر َح َام ۚ ِإن‬ ‫وبث ِمنهما ِرجاَل ك ِثيا و ِنساء ۚ وٱتقوا‬
ُ َ َ َ َ َّ
‫ٱَّلل كان َعل ْيك ْم َر ِق ًيبا‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”

c. Penjelasan Q.S. An-Nahl ayat 71 kemudian menyatakan bahwa Allah

menjadikan istri-istri umat manusia dari jenis manusia itu sendiri yang dari

diri mereka oleh Allah dijadikan beranak-pinak menjadi anak-anak dan

cucu-cucu.
ً َ َ َ ‫اجا َو َج َع َل َل ُك ْم م ْن َأ ْز َواج ُك ْم َبن‬
‫ي َو َحفدة‬ ً ‫اَّلل َج َع َل َل ُك ْم م ْن َأ ْن ُفس ُك ْم َأ ْز َو‬
ُ َّ ‫َو‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ْ ُ َّ
‫اَّلل ه ْم َيكف ُرون‬ َ َ ُ ُْ
ِ ‫اط ِل يؤ ِمنون و ِب ِن ْع َم ِت‬ ‫ب‬َ ‫الط ِّي َبات ۚ َأ َفب ْال‬
َّ َ ْ ُ َ َ َ َ
‫َورزقكم ِمن‬
ِ ِ ِ
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"

Selain soal hakikat hidup manusia yang berpasang-pasangan, soal

perintah melaksanakan perkawinan, Q.S. An-Nur 32 memerintahkan kepada

laki-laki atau perempuan yang sudah mapan (sudah layak/pantas) yang belum
36

menikah supaya diusahakan untuk menikah dengan diberikan bantuan

secukupnya.
َُ ُ ُ ْ ُ ُ َّ ‫اَم م ْن ُك ْم َو‬ َ ْ ُ َْ َ
‫ي ِم ْن ِع َب ِادك ْم َو ِإ َم ِائك ْم ۚ ِإن َيكونوا فق َر َاء‬ َ ‫الصالح‬
ِ ِ ِ َٰ َ ‫اْل َي‬ ‫وأن ِكحوا‬
ْ ُ َّ ‫ٌاَّلل م ْن َف ْضله ۗ َو‬
‫اَّلل َو ِاس ٌع َع ِليم ُُيغ ِن ِهم‬ ُ َّ
ِِ ِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Selain itu, ayat yang paling masyhur soal dasar hukum perkawinan

adalah Q.S. Ar-Rum ayat 21 yang menerangkan tanda-tanda keagungan dan

kekuasaan Allah yang diantaranya melalui penciptaan istri-istri (pasangan) bagi

kaum laki-laki dari jenis manusia yang sama. Tujuannya supaya mereka bisa

membentuk kehidupan dengan damai, tentram, serta menyemai rasa kasih

sayang di antara mereka (suami-istri). Adapun ayat tersebut adalah sebagai

berikut.
ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ۟ َٰٓ ُ ُ ْ َ ِّ ً َ ْ َ ْ ُ ُ َ ْ ِّ ُ َ َ َ َ ْ َ َٰٓ َٰ َ َ ْ َ
‫و ِمن ءاي ِت ِهۦ أن خلق لكم من أنف ِسكم أز َٰو جا لتسكنوا ِإليها وجعل بينكم‬
َّ َ َ َ ِّ َ َ َّ ً َّ
‫ََّم َودة َو َر ْح َمة ۚ ِإن ِ َف ذ َٰ ِ لك َل َء َاي َٰ ت لق ْوم َيتفك ُرون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Dalam koridor hukum Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini berlaku bagi

berbagai golongan dalam masyarakat negara Indonesia baik yang beragama

Islam, maupun non-Islam. UU Perkawinan sendiri mengambil dasar hukum


37

yang lebih tinggi yakni berdasar Pasal 29 UUD 1945 kehadiran negara yang

menjamin secara penuh kemerdekaan penduduknya untuk beragama dan

beribadah. Artinya, negara akan melindungi, menjamin, membina, dan

mengarahkan kehidupan beragama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya

di mana perkawinan menjadi satu bagian darinya. Selain itu, pasal 28B UUD

1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk membentuk

keluarga melalui perkawinan yang sah. Sebagai bagian dari hak asasi, maka

pelaksanaanya menjadi bagian dari hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi

baik oleh negara maupun antarindividu.

3. Hukum Perkawinan

Dari beberapa keterangan di atas jelaslah bahwa secara hakiki manusia

telah tercipta secara berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan, bersuku-suku dan

berbangsa-bangsa. Dari perbedaan-perbedaan itu kemudian meniscayakan

manusia untuk mengikatkan diri mereka dalam satu ikatan yang utuh dan sah

dalam bentuk perkawinan. Dengan melaksanakan perkawinan, pasangan suami

istri dianggap memperoleh pahala karena telah melaksanakan perintah syariat,

sebagaimana hadits Nabi berikut.

َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ َ ْ َ : ُ َ َّ َ ُ َ َّ ََْ َ َ َ
‫ف ال ِع َبادة‬‫ط ِنص‬
ِ‫ِوقال علي ِه الصَلة والسَلم من تزوج فقد أع ي‬
“Dari Anas Bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menikah
maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah.” (HR Abu Ya’la). 44

Meski dinilai memiliki nilai ibadah yang begitu besar, akan tetapi

nyatanya perkawinan tidak dinilai mutlak dan absolute sebagai satu kewajiban

44
Imam al-Hafizh Ahmad bin 'Ali bin al-Mutsanna at-Tamimy, Musnad Abi Ya'la al
Maushuli, Jilid 3, (Qahirah: Dar al-Hadits, 2013), hlm. 265.
38

bagi setiap manusia. Hukum melaksanakan perkawinan menurut ulama

Hanafiyyah bersifat fleksibel, adakalanya dihukumi mubah, mandub, wajib,

fardhu, makruh, dan haram. Sebab, penghukuman perintah kawin (nikah)

disebabkan oleh perbedaan kondisi pada setiap mukallaf, baik dari segi sifat dan

karekter kemanusiannya, atau dari segi kemampuan ekonominya (hartanya).45

Oleh sebab itu, kondisi mukallaf sangat mempengaruhi penetapan hukum bagi

dirinya termasuk soal hukum perkawinan. Berikut ini ada beberapa hukum

perkawinan jika ditinjau dari kondisi mukallaf.

1) Wajib

Perkawinan dihukumi wajib ketika seseorang telah memiliki

keinginan untuk melaksanakan perkawinan yang disertai kemampuan

melaksanakannya. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk

melaksanakan dan memikul beban kewajiban yang timbul setelah

melakukan akad perkawinan. Dalam diri mukallaf pula telah tertanam

pemahaman soal hak dan kewajiban, kemampuan menegakan keadilan

dalam berumah tangga, dan kesanggupan memperlakukan pasangan yang

dikawininya dengan baik. Di sisi lain, bahwasannya jika mukallaf tidak

segera untuk menikah dikhawatirkan ada indikasi kuat untuk terjerumus

pada perzinahan. Jika demikian, maka dengan sendirinya perkawinan

menjadi wajib baginya.

45
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat:
Khitbah, Nikah, dan Talak, Terjemahan Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 44.
39

Alasan kewajiban ini berdasar pada kewajiban menjaga diri dari

perbuatan zina. Apabila bagi diri seseorang langkah terkuat untuk

menghindari zina adalah dengan jalan melaksanakan perkawinan, maka

bagi diri mukallaf, melangsungkan perkawinan adalah keharusan (wajib).46

Dalam ilmu ushul fikih, penarikan hukum tersebut sesuai dengan kaidah

“Sesuatu kewajiban tidak akan terpenuhi kecuali dengan mengerjakannya,

maka hal tersebut dihukumi wajib pula.” Dengan demikian, jika diterapkan

untuk menghukumi masalah perkawinan; perkawinan menjadi wajib (bagi

dirinya) apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina

dengan jalan menempuh satu ikatan perkawinan.

2) Sunah

Hukum perkawinan yang kedua adalah sunah. Kesunahannya terjadi

jika seseorang (mukallaf) telah memiliki keinginan kuat untuk menikah.

Selainnya, ia juga punya kemampuan untuk mengemban tanggung jawab

dan kewajiban dalam perkawinan. Di sisi lain apabila ia tidak menikah,

tidak ada kekhawatiran akan dirinya terjebak dalam perbuatan zina.

Mayoritas ulama malah bersepakat bahwa hukum asal dari perkawinan

adalah sunah muakkad.47 Kesunnahan menikah banyak ditemukan dalam

beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits. Diantara yang menyebutkan secara

langsung bahwa menikah adalah sunnah nabi adalah seperti hadits berikut.

َ ‫ب َع ْن ُس َّنث َف َل ْي‬
‫س ِم َِّ يث‬ َ ‫ث َف َم ْن َرغ‬
ِ
ُ ‫الن َك‬
ْ ِ ‫اح ُس َّن‬ ِّ
ِ‫ي‬ ‫ي‬

46
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, ... hlm. 14
47
Abdul, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak,… hlm. 52.
40

“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku!”


(HR. Ibnu Majah).48
ِّ َ ُ َ ِّ َ ُ ُّ َ َّ َ ُ َ َ ْ َ : َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ ٌ َ ْ َ
ُ‫الن َكاح‬‫ و‬،‫ والسواك‬،‫ والتعطر‬،‫ـي المرس ِلي الحيـاء‬ ِ ‫أرب ـع ِمن س‬
"Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu,
memakai wewangian, bersiwak, dan menikah." (HR. At-Tirmidzi)
3) Haram

Perkawinan bisa berlaku haram apabila seseorang tidak memiliki

kemampuan untuk mencari nafkah dan mengemban peran dalam rumah

tangga. Dari ketidakmampuan itu, yang mengakibatkan dirinya diyakini

akan melakukan penelantaran bahkan kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) yang berakibat merugikan dan menyusahkan pasangannya.49 Pada

kondisi ini, ketidakbolehan menikah berfungsi sebagai cara/alat untuk

mencapai kemaslahatan dan keadilan baik di dunia maupun di akhirat

selayaknya keharusan/kesunahan nikah pada pihak yang telah disebutkan

di awal. Karenanya, keadilan dan kemaslahatan tidak bisa dicapai jika

perkawinan menjadi sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan

penganiayaan. Hal ini tentu sudah sesuai dengan kaidah fikih: “Sesuatu

yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram

juga.”

Soal keharaman menikah, Al-Qurtubi berpendapat bahwa apabila

calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah,

dan membayar mahar (maskawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang

menjadi hak istri, maka tidak halal mengawini sama pada seseorang,

48
Abū Abdullāh Muḥammad ibn Yazīd Al-Qazwini Ibn Mājah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2,
(Kairo, Dār al-Hadis, 2010), hlm. 152-153.
49
ibid, hlm. 45.
41

terkecuali apabila ia menjelaskan keadaannya itu kepada calon istri.

Ataupun bisa dengan cara ia bersabar sampai dapat memenuhi hak-hak

istrinya, maka barulah ia boleh melaksanakan perkawinan.

Selain dalam kondisi tersebut, Al-Qurtubi menyatakan bahwa

keharaman menikah bisa saja terjadi apabila seseorang yang ingin menikah

menyadari bahwa pada dirinya terdapat penyakit yang memungkinkan

menghalangi hubungan seksual dengan calon suami/istri. Oleh sebab itu

keadaan ini harus diterangkan kepada calon pasangan supaya ketika telah

melangsungkan perkawinan, pasangan tidak merasa tertipu. 50

4) Mubah

Perkawinan dikategorikan mubah ialah bagi seseorang yang

memiliki kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi apabila

tidak melakukannya ia tidak memiliki kekhawatiran akan terjerumus pada

perbuatan zina dan apabila ia melakukan perkawinan ia juga tidak akan

menelantarkan istrinya. Dalam hal ini perkawinan baginya hanya

didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan untuk menjaga kehormatan

agama dan membina keluarga.51

5) Makruh

Perkawinan berlaku makruh apabila seseorang memiliki

kemampuan untuk melakukan perkawinan dan juga memiliki kemampuan

untuk menahan diri dari perbuatan zina apabila ia tidak menikah. Akan

50
Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, ... hlm. 15.
51
Rusdaya Basri, Fiqh Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, (Parepare, Kaaffah
Learning Center, 2019), hlm. 15.
42

tetapi di sisi lain ia tidak mempunyai keinginan yang kuat mengemban

kewajiban dalam rumah tangga sebagai suami/istri dengan baik, seperti

KDRT dan penelantaran.

Pada kondisi lain, kemakruhan melaksanakan perkawinan terjadi

pada seseorang yang berada pada dua kondisi yang kontradiktif untuk

melaksanakan perkawinan. Apabila seseorang dalam keadaan diduga kuat

akan terjerumus pada perzinahan apabila tidak menikah yang berarti ia

dalam kondisi wajib menikah, tapi di sisi lain ia juga diyakini akan

melakukan penganiayaan dan penelantaran pada istrinya apabila menikah,

yang berarti berlaku haram menikah baginya.

Pada kasus seperti demikian, orang tersebut tidak diperkenankan

melakukan perkawinan agar tidak terjadi penganiayaan dan kenakalan pada

dirinya. Sebab, mempergauli istri dengan buruk tergolong maksiat yang

berkaitan dengan hak antar sesama makhluk (hakkul adami) sedangkan

khawatir atau yakin akan terjadi perbuatan zina tergolong pada perbuatan

maksiat yang berkaitan dengan hak Allah (hakkullah). Pada kondisi ini hak

hamba/ sesama manusia harus didahulukan jika bertentangan dengan hak

Allah murni. Sebab pada kondisi pertama (penganiayaan/penelantaran)

tidak ada jalan untuk mencari keselamatan, sedangkan pada kondisi kedua

ada cara/terapi untuk menghindari dan mengatasinya seperti dengan

berpuasa.52

52
Abdul, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak,… hlm. 52.
43

4. Tujuan Perkawinan

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan pasti memiliki maksud dan

tujuan tertentu, baik materil, spiritual, maupun sosial.53 Secara umum, tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga yang harmonis, kekal, dan sejahtera.

Tujuan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tersirat pada Pasal 1 yakni

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakīnah , mawaddah, dan rahmah.

Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menjaga dan

memelihara keturunan dan kesucian diri manusia.54 Selain itu perkawinan juga

bertujuan untuk pemenuhan biologis (seksual), menjaga kehormatan diri dan

sebagai media untuk mendekatkan diri pada Allah (ibadah). Secara fundamental,

perkawinan bertujuan untuk menjalani kehidupan dalam pergaulan yang

sempurna, sebagai jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan

keturunan. Selain untuk memperoleh generasi penerus, perkawinan juga bisa

dijadikan media untuk memperkuat dakwah, politik, maupun kekuasaan.55

Perkawinan juga bisa dijadikan sebagai satu ikatan yang amat teguh guna

memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan

kaum kerabat perempuan (isteri). Pertalian ini bisa menjadi media saling

53
Faqihuddin Abdul Kodir, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender
dalam Islam, cetakan ke-iv, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), hlm. 332.
54
Khumedi Ja’far, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga Dan Bisnis,
(Surabaya: Gemilang, 2019, hlm. 28.
55
Faqihuddin, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam,
hlm. 342.
44

mengenal satu sama lain dan menjadi satu jalan yang membawa kepada saling

perbuatan saling tolong menolong antara satu kaum (golongan) dengan golongan

yang lain.56

5. Syarat dan Rukun Perkawinan

Syarat dan rukun merupakan dua esensi yang tidak bisa dipisahkan baik

pada perbuatan ibadah maupun muamalah. Dalam istilah fikih, syarat adalah

sesuatu/hal yang harus ada dan menentukan sah serta tidaknya suatu pekerjaan,

tetapi hal tersebut tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sedangkan

rukun, merupakan sesuatu/hal yang harus ada serta menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan, dan hal tersebut termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu

sendiri.57

a. Rukun perkawinan

Secara fikih, jumhur ulama bersepakat bahwa dalam perkawinan itu,

setidaknya harus terdiri atas:

1) Adanya calon suami;

2) Adanya calon istri yang akan melakukan perkawinan;

3) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita;

4) Adanya dua orang saksi;

5) Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau

wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

56
Khumedi, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga Dan Bisnis, hlm.
30
57
Khoirul Abror, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, (Yogyakarta, Ladang Kata, 2017),
hlm. 38.
45

Tentang hal ini, Imam Malik berbeda pendapat dengan mengatakan

bahwa rukun perkawinan ada enam macam dengan menambahkan mahar

(maskawin) sebagai salah satu syarat dan rukun perkawinan.58

b. Syarat Perkawinan

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan yang lima tadi memiliki

syarat-syarat tertentu yang mengikat hal-hal tersebut, yakni:

1) Syarat calon suami

a) Beragama islam;

b) Laki-laki;

c) Jelas orangnya ;

d) Dapat memberikan persetujuan

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

2) Syarat calon istri

a) Beragama islam

b) Perempuan

c) Jelas orangnya

d) Dapat dimintai persetujuannya

e) Tidak terdapat halangan perkawinan

3) Syarat wali nikah

a) Laki-laki;

b) Dewasa;

58
ibid. hlm. 59. Lihat juga pembahasan tentang syarat dan rukun perkawinan menurut Imam
Malik dalam Muhammad bin Ahmad bin Juzaiy al-Maliki, Qawȃnin al-Ahkȃm al Syar’iyah, (Beirut:
Dȃr al-‘ilm li al-Malȃyȋn, 1974), hlm. 219.
46

c) Mempunyai hak perwalian;

d) Tidak terdapat halangan perwalian.

4) Syarat saksi nikah

a) Minimal dua orang laki-laki;

b) Hadir dalam ijab qabul;

c) Dapat mengerti maksud akad;

d) Islam

e) Dewasa

5) Syarat ijab qabul

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata

tersebut;

d) Antara ijab dan qabul bersambungan;

e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji

atau umrah;

g) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua

orang saksi.59

59
Ach Puniman, "Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974," Jurnal Yustitia 19.1 (2018), hlm. 91-92.
47

Menurut Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 dalam pasal 6 dan 7

syarat perkawinan terbagi atas:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21

tahun harus mendapat izin kedua orang;

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya;

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya;

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) dalam pasal

ini.
48

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

7) Selain itu, calon mempelai pria dan wanita, dalam UU no. 1 tahun 2019

(perubahan atas UU No. 1 tahun 1974), mensyaratkan batas minimum

umur calon suami dan istri keduanya harus sekurang-kurangnya berumur

19 tahun.

6. Prinsip-prinsip Perkawinan

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan, baik itu suami ataupun istri

pasti mengharapkan pembentukan mahligai rumah tangga yang dibangunnya

terjaga dari konflik sehingga membentuk keluarga yang rukun, bahagia, dan

penuh ketenangan (sakīnah) hingga maut memisahkan mereka berdua. Konflik

dalam dinamika perjalanan rumah tangga sebenarnya adalah hal lumrah terjadi.

Di dalam kehidupan rumah tangga niscaya akan selalu ada saja masalah dan

ujian yang menghampiri keduanya, baik besar maupun kecil.60

Konflik yang terjadi dalam perkawinan harus dipahami secara jernih

supaya tidak menimbulkan perpecahan (perceraian). Untuk memitigasi

terjadinya perpecahan, perlu dipahami beberapa prinsip perkawinan sebagai

pondasi membangun keluarga yang harmonis. Di antara prinsip-prinsip tersebut,

seperti yang termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974, adalah sebagai berikut.

a. Prinsip kebebasan memilih pasangan

60
Mohamad Rana, dan Usep Saepullah, "Prinsip-Prinsip Perkawinan (Analisis Filosofis
Implementasi dalam Meminimalisir Angka Perceraian)," Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam
6.1 (2021), hlm. 130.
49

Dalam diri setiap orang, kebebasan memilih, pun dengan memilih

pasangan merupakan hak dasar yang melekat tidak hanya bagi laki-laki,

namun perempuan pun memiliki hak sama.61 Oleh sebab itu, Islam

menegaskan bahwa perempuan memiliki hak mutlak untuk menerima atau

menolak pinangan laki-laki yang ingin menikahinya. 62

b. Prinsip kesalingan (mubādalah).

Tujuan pembentukan perkawinan adalah untuk membina keluarga

yang bahagia dan kekal. Oleh sebab itu, untuk mewujudkannya suami dan

istri harus saling membantu dan melengkapi secara timbal balik (resiprokal)

agar masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya untuk

mencapai kesejahteraan spiritual maupun material.63 Dalam relasi rumah

tangga, laki-laki (suami) dan perempuan (istri) harus saling menghormati,

mengapresiasi, dan saling bekerja sama satu sama lain. Lebih jauh,

kesalingan dalam rumah tangga ini sangat mungkin terjadi jika kedua belah

pihak menganggap satu sama lain setara (equality) dan sederajat.64

c. Prinsip Kesetaraan

61
ibid, hlm. 131.
62
Hal ini sesuai dengan teks hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menceritakan
soal kewenangan utama memilih suami yang berada di tangan perempuan itu sendiri. Berikut ini
teks hadis tersebut.
“Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri berkata, telah menceritakan kepada
kami Waqi' dari Kahmas bin Al Hasan dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya ia berkata: "Ada seorang
gadis datang kepada Nabi Saw., dan berkata, "Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan
keponakannya dengan tujuan agar mengangkatnya dari kehinaan." Buraidah berkata, "Maka
Beliau menyerahkan urusan itu kepada gadis tersebut. Lalu ia berkata, "Aku telah menerima
putusan bapakku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui, bahwa keputusan bukan ada
pada bapak-bapak mereka.” (H.R. Ibnu Majah).
63
Siska Lis Sulistiani, Hukum Perdata Islam: Penerapan Hukum Keluarga dan Hukum
Bisnis Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), hlm. 24.
64
Faqihuddin, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam,
… hlm. 90.
50

Sebagai ikatan yang kuat di antara dua orang (suami-istri) secara

horizontal, perkawinan mengusung prinsip kesetaraan di antara keduanya.

Selain itu, bahwa prinsip asal-usul penciptaan manusia adalah sama. Sebab,

semua ayat tentang model-model penciptaan manusia secara umum tidak

mengkhususkan pada penciptaan laki-laki semata dan tidak pula menafikan

perempuan.65 Berangkat dari esensi ini, maka pondasi rumah tangga pula

harus diselenggarakan secara setara tanpa memposisikan salah satu pihak

superior dan pihak lainnya inferior.

d. Prinsip Mu’asyarah bi al-Ma’rūf

Prinsip ini berarti setiap pasangan baik suami maupun istri harus

memperlakukan satu sama lain secara baik. Etika ini bersifat fundamental

dalam relasi suami istri karena bisa menjaga dan menghidupkan segala

kebaikan yang menjadi tujuan bersama dalam perkawinan. 66

e. Prinsip Musyawarah

Dalam kehidupan rumah tangga keputusan harus didasarkan pada

musyawarah. Sikap dan perilaku ini meniscayakan suami-istri untuk selalu

berembuk dan bertukar pendapat dalam memutuskan sesuatu. Suami atau

istri tidak boleh menjadi pribadi yang otoriter dan memaksakan kehendak,

tapi harus melibatkan pasangan dalam pengambilan keputusan.

65
Faqihuddin, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam …,
hlm. 234.
66
Faqihuddin, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam
…, hlm. 349.
51

f. Prinsip Saling Menerima ('an tarāḍin)

Prinsip ini mengharuskan suami istri saling menerima tidak hanya

dari segi kelebihan pasangannya, namun juga segala kekurangan yang

dimiliki pasangannya dan juga menyadari kekurangan dan kelebihan yang

dimilikinya sendiri. Dengan prinsip ini maka masing-masing pihak tidak

ada yang merasa paling sempurna, sehingga tidak memunculkan rasa agul

(sombong) atas pasangannya. Secara langsung sikap ini memunculkan

kesadaran bahwa keduanya saling menyempurnakan kekurangan

pasangannya dengan kelebihan yang dimilikinya. 67

B. Perkawinan Antaragama

Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti

perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.68 Keberlakuan

perkawinan dan aturannya pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak

terlepas dari pengaruh budaya serta lingkungan di mana masyarakat itu berada.

Selain itu, pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,

kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan turut

mempengaruhi corak perkawinan suatu masyarakat. Pada kehidupan sosial

masyarakat di Indonesia yang memiliki komposisi masyarakat yang heterogen

yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, agama, dan adat istiadat misalnya

meniscayakan adanya praktik perkawinan antaragama.

67
Mohamad, "Prinsip-Prinsip Perkawinan (Analisis Filosofis Implementasi dalam
Meminimalisir Angka Perceraian) …, hlm. 133.
68
Dwiyana Achmad Hartanto, Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Positif dan
Hukum Agama di Indonesia, YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Vol.10, No.2,
2019, hlm. 104.
52

Menurut Rusli dan R. Tama, seperti dikutip oleh Zainal Arifin perkawinan

antaragama (interfaith marriage) diartikan sebagai ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan

tersangkutnya dua peraturan yang berlainan tentang syarat-syarat dan tata cara

pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan

tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.69 Berbeda dengan mereka, Anggraeni Carolina Palandi mendefinisikan

perkawinan antaragama sebagai sebuah perkawinan yang terjadi apabila seorang

pria dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan

perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.70 Pada

pendapat lain, Anthin Latifah memberikan pemahaman lebih sederhana dengan

mengartikan perkawinan antaragama sebagai perkawinan yang dilakukan oleh

pasangan suami istri yang berlainan agama.71

Perkawinan antaragama merupakan realitas tak terhindarkan pada

kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Istilah perkawinan antaragama sendiri

mengacu pada praktik perkawinan yang dilakukan oleh individu yang berbeda

keyakinan agama. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki enam agama resmi

yang diakui dengan kuantitas penganutnya yang beragam dan tersebar di berbagai

penjuru Indonesia. Praktik perkawinan antaragama di Indonesia telah ada jauh

sebelum Indonesia merdeka. Istilah perkawinan antaragama diadopsi dari aturan

69
Zainal Arifin, Perkawinan Beda Agama, Jurnal Lentera: Kajian keagamaan, Keilmuan
dan Teknologi Vol.18, No.1, 2019, hlm. 144
70
Anggraeni, Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia …, hlm. 200.
71
Anthin Latifah, Hukum Perkawinan Beda Agama Perspektif Teori sosial Kontrak,
(Semarang, Mutiara Aksara, 2020), hlm. 72.
53

yang dibuat oleh Belanda dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau

Peraturan tentang Perkawinan Campuran yang dimuat pada Staatsblad Tahun 1898

No. 158 yang disebut dengan istilah “perkawinan campuran”. Regeling Op de

Gemengde Huwelijken (GHR) sendiri merupakan peraturan perkawinan yang

dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur perkawinan campuran yang

kemudian dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158.

Menurut Pasal 1 Staatsblad No. 158 Tahun 1898 perkawinan campuran

adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-

hukum yang berlainan. Ini berarti, bahwa perkawinan campuran tidak hanya

menyangkut perbedaan negara, bahkan bisa saja perbedaan suku, bangsa, dan

agama. Lebih jauh, soal perbedaan agama, pasal 7 ayat (2) pada peraturan ini

menyebutkan bahwa “perbedaan agama, bangsa, atau asal usul itu sama sekali

bukan halangan untuk perkawinan itu.” 72

Dalam koridor Islam, perkawinan antaragama merupakan perkawinan yang

dilakukan oleh pria atau wanita muslim dengan pria atau wanita non muslim.73

Dalam penelitian yang dilakukan Aulil Amri, mengemukakan bahwa istilah

perkawinan antaragama dalam literatur klasik tidak begitu dikenal secara literal.

Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa tidak ditemukan pembatasan pengertian

secara jelas soal istilah tersebut. Namun pembahasan yang terkait dengan masalah

tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai wanita yang haram

dinikahi atau pernikahan yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai

72
Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas
Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hlm. 98.
73
Nurcahya, dkk., Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Islam
Vo. 18, No. 2, 2018, hlm. 145.
54

perkawinan dengan wanita-wanita ahli kitab (perkawinan dengan wanita-wanita

Yahudi dan Nasrani), perkawinan dengan wanita-wanita musyrik (orang-orang

musyrik) dan perkawinan dengan non muslim.74

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

perkawinan antaragama merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan

perempuan yang berlainan agama dengan tetap mempertahankan agamanya

masing-masing untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.

C. Pandangan Islam tentang Perkawinan Antaragama

Perkawinan adalah hal yang sakral dan diatur dalam setiap keyakinan dan

agama termasuk Islam. Dalam hal perkawinan antaragama, isu ini telah menjadi

polemik yang cukup kontroversial dalam sejarah Islam. Dalam pembahasan hukum

Islam, khususnya dalam literatur fikih klasik, perkawinan antaragama dapat

dibedakan menjadi tiga kategori yakni:

1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan

sebaliknya. Tentang hal ini, para ulama bersepakat bahwa seorang perkawinan

laki-laki muslim menikah dengan seorang perempuan musyrik adalah haram

dan tidak sah (batal).75 Pendapat ini didasarkan pada teks Al-Qur’an Surat al-

Baqarah Ayat 221 berikut.


ُْ َ َ َ َْ ُّ ِّ ٌ ْ َ ٌ َ ْ ُّ ٌ َ َ َ َ َّ ْ ُ َّ َ َ َْ ُ ْ ۟ ُ َ َ َ
ۗ ‫شكة َول ْو أ ْع َج َبتك ْم‬ ِ ‫م‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫خ‬ ‫ة‬‫ن‬‫م‬ِ ‫ؤ‬‫م‬ ‫ة‬‫م‬ ‫ْل‬ ‫و‬ ۚ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ؤ‬‫ي‬ َٰ
‫ث‬ ‫ح‬ ‫ت‬ِ َٰ ‫شك‬
ِ ‫نكحوا ٱلم‬
ِ ‫وَل ت‬
ُ َ َ َْ ُّ ِّ ٌ ْ َ ٌ ْ ُّ ٌ ْ َ َ َ ۟ ُ ْ ُ َٰ َّ َ َ َْ ُ ْ ۟ ُ ُ َ َ
ۗ ‫شك َول ْو أ ْع َج َبك ْم‬ ِ ‫شكي حث يؤ ِمنوا ۚ ولعبد مؤ ِمن خي من م‬ ِ ِ ‫نكحوا ٱلم‬ِ ‫وَل ت‬

74
Aulil Amri, Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Media
Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol. 22, No. 1, 2020, hlm. 51.
75
Hasanudin, Perkawinan Campur Antar Pemeluk Agama dalam Perspektif Islam dalam
Maria, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan Dan Pluralisme …, hlm. 42.
55

َُ ِّ ‫ٱَّلل َي ْد ُع َٰٓو ۟ا إ ََل ْٱل َج َّنة َو ْٱل َم ْغف َرة بإ ْذنهۦ ۖ َو ُي َب‬ َّ َ َ ُ ْ َ َ ََٰٰٓ َ ۟ ُ
ُ َّ ‫ٱلنار ۖ َو‬
‫ي َء َاي َٰ ِت ِهۦ‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫أول ِئك يدعون ِإَل‬
َّ َ َ َّ َ َّ
‫اس ل َعل ُه ْم َيتذك ُرون‬
ِ ‫َِللن‬
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik
daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran.”

Quraish Shihab menafsirkan “dan janganlah kamu nikahi perempuan

musyrik, sebelum mereka beriman” adalah menunjukan kepada wanita

musyrik bukan Ahl al-Kitāb Sebab walaupun semisal dalam agama Kristen

mereka percaya bahwa Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, yang dinilai

menyekutukan Allah, akan tetapi Islam tidak menyebut golongan mereka

sebagai golongan orang-orang musyrik, tapi menyebut mereka sebagai

golongan Ahl al-Kitāb.76

Alasan larangan perkawinan laki-laki atau perempuan musyrik,

menurut Syaikh Nawawi sebagaimana dikutip oleh Rizki Romdhon, adalah

karena kekhawatiran bahwa pasangan yang musyrik akan mengajak kepada


77
kesesatan. Keharaman perkawinan jenis ini juga masuk dalam kategori

syariah yang bersifat mutlak, berlaku sepanjang zaman dan sepanjang masa dan

76
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Kerahasiaan Al-Qur’an, Volume
1, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 557.
77
Muhammad Rizqi Romdhon, "Kajian Tafsir Nusantara Terhadap Hukum Perkawinan
Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia," Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an
dan al-Hadits Vol. 16, No.2, 2022, hlm. 196.
56

tidak ada perdebatan di antara ahli hukum Islam.78 Lebih lanjut, jika

perkawinan jenis ini tetap kekeh dilaksanakan, maka status pelaksanaannya

dipandang tidak sah sehingga tidak dapat mendapatkan hak dan akibat hukum

apapun seperti kehalalan hubungan seksual, hak waris, dan lain sebagainya.

2. Perkawinan laki-laki muslim dan perempuan Ahl al-Kitāb

Berbeda status dengan perkawinan pertama, jenis perkawinan ini

menuai ragam pendapat dari para ulama dengan membagi ke dalam dua

pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan dengan meletakan dasar

argumentasi atas penafsiran Q.S. al-Maidah ayat 5 berikut.


َُ َ ‫وتوا ْالك َت‬ ُ ُ َ َّ ُ َ َ َ ُ َ ِّ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ْ َ ْ
‫اب ِح ٌّل لك ْم‬ ِ ‫اليوم أ ِحل لكم الطيبات ۖ وطعام ال ِذين أ‬
َ ‫ات م َن َّالذ‬
‫ين‬
ُ َ َ ْ ُْ َ
‫ن‬ ‫ص‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ات‬
َ ْ ُ ْ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ َ ٌّ ُْ ُ َ َ َ
ِ ِ ِ ‫وطعامكم ِحل لهم ۖ والمحصنات ِمن المؤ ِم‬
‫ن‬
َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ُ
‫ي َوَل‬ ‫ي غ ْ َي ُم َس ِاف ِح‬ ‫وره َّن ُم ْح ِص ِن‬ ‫أوتوا ال ِكتاب ِمن قب ِلكم ِإذا آتيتموهن أج‬
ْ ُ ُُ َ ْ ََ َ ْ ُْْ َ ْ َ َ َ َْ َّ
‫يم ِان فقد َح ِبط َع َمله َوه َو ِ َ يف اْل ِخ َر ِة ِم َن‬ ‫اْل‬
ِ ِ‫ب‬ ‫ر‬ ‫ف‬‫ك‬ ‫ي‬ ‫ن‬‫م‬‫و‬ ۗ ‫ان‬ ‫د‬ ‫ُمت ِخ ِذي أخ‬
َ ْ
‫اشين‬ ِ ِ ‫َال‬
‫خ‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Kitab ( Ahl al-Kitāb) sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”

78
Hasanudin, Perkawinan Campur Antar Pemeluk Agama dalam Perspektif Islam …, hlm.
42.
57

Dengan mendasarkan pada ayat di atas, jumhur ulama dari berbagai

mazhab sepakat tentang kebolehan dan kehalalan melaksanakan perkawinan

bagi laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-Kitāb. Ayat ini, menurut

mereka telah terungkap secara tegas mengemukakan kebolehan dan kehalalan

mengawini perempuan kitabiyah ( Ahl al-Kitāb). Menurut pendapat golongan

ini, walaupun akidah ketuhanan perempuan Ahl al-Kitāb tidak sepenuhnya

sama dengan akidah yang diusung oleh Islam, Al-Qur’an tidak memasukan

mereka yang menganut agama Yahudi dan Nasrani pada kategori musyrik.

Artinya, karena tidak masuk dalam kategori orang-orang musyrik maka

larangan sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 tidak

berlaku bagi perempuan Ahl al-Kitāb.79 Sebagai penguat, praktik perkawinan

seperti ini pun pernah dilaksanakan oleh sahabat nabi, seperti Utsman Bin

Affan, Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah yang pernah mengawini

perempuan Ahl al-Kitāb. 80

Akan tetapi, pada persoalan kebolehan ini, para ulama berbeda

pendapat lagi dengan mengetengahkan kriteria perempuan Ahl al-Kitāb yang

patut dan layak dikawini. Ada yang berpendapat bersifat mutlak seperti yang

diutarakan oleh Quraish Shihab bahwa perempuan Ahl al-Kitāb yang

dimaksud adalah penganut Yahudi dan Kristen hingga masa kini.81 Ada pula

79
Hasanudin, Perkawinan Campur Antar Pemeluk Agama dalam Perspektif Islam …, hlm.
44.
80
Ilham Mujahid, "Transformasi Fikih Munakahat Tentang Hukum Menikahi Wanita Ahli
Kitab Ke Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 Huruf (C)," Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum
Islam 3.1 (2019), hlm. 86.
81
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung:
Mizan, 2005), hlm. 61.
58

yang berpendapat bahwa yang bisa dikawini adalah hanya perempuan yang

berstatus dzimmi (perempuan yang mendapatkan perlindungan hukum dengan

kewajiban jizyah/semacam pajak). Masih pada tataran yang diperbolehkan,

para ulama Madzhab Syafi’i Ahl al-Kitāb yang dimaksud adalah mereka yang

menganut agama Nasrani dan Yahudi sebagaimana agama yang dianut oleh

nenek moyang mereka sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw., sementara bagi yang sesudahnya, tidak dipandang

masuk pada kategori Ahl al-Kitāb di atas. 82

Pendapat kedua, mengungkapkan bahwa perkawinan antara laki-laki

muslim dan perempuan Ahl al-Kitāb tidak diperbolehkan (haram). Kelompok

ini mendasarkan argumentasi pada firman Allah Swt Q.S. al-Maidah ayat 5 dan

al-Baqarah ayat 221 sebagaimana diterangkan di atas. Kedua ayat ini

dipandang memiliki korelasi satu sama lain di mana Q.S. al-Baqarah ayat 221

telah me-nasakh (menggugurkan) ketentuan yang ada pada Q.S. al-Maidah

ayat 5. Pandangan ini dipelopori oleh Sahabat nabi bernama Abdullah Ibnu

Umar yang kemudian menjadi dasar pegangan kaum Syiah. Ahl al-Kitāb,

dalam pandangan kelompok ini tidak memiliki perbedaan kedudukan dengan

kaum musyrik sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221.

Argumentasinya didasarkan pada ajaran yang dianut oleh golongan Ahl al-
83
Kitāb terutama soal akidah dipandang telah terjadi penyimpangan.

Argumentasi selanjutnya adalah bahwa perempuan Ahl al-Kitāb yang

82
ibid, hlm. 46.
83
ibid, hlm. 43.
59

dimaksudkan pada Q.S. al-Maidah ayat 5 adalah mereka yang telah masuk

Islam. Selain itu, ketentuan kebolehan menikahi perempuan Ahl al-Kitāb

hanya mungkin terjadi pada masa (keadaan) darurat dimana perempuan-

perempuan muslim sedikit jumlahnya. 84

Pendapat ketiga, menyatakan bahwa hukum mengawini perempuan

Ahl al-Kitāb adalah halal hukumnya, tetapi siyasah tidak menghendakinya.

Dengan mengambil pendapat Umar bin Khattab yang memerintahkan para

sahabat untuk menceraikan isteri-isteri mereka yang Ahl al-Kitāb, golongan

ini mendasarkan argumen mereka. Dalam pendapat yang diutarakan oleh Umar

bin Khattab, hukum mengawini perempuan Ahl al-Kitāb tidak dinyatakan

sebagai haram, akan tetapi ia menganggapnya sebagai fitnah. 85

3. Perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitāb

Pada jenis perkawinan ini, para ulama bersepakat bahwa tidak ada

nash Al-Qur’an yang menyebutkan kedudukan hukum tentang kebolehan

perkawinan ini. Mereka kemudian bersepakat bahwa perkawinan antara

perempuan muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitāb (Yahudi dan Nasrani) adalah

dilarang dan dihukumi haram. Pendapat ini telah menjadi konsensus bersama

(mujma‘alaih) para ulama yang kemudian berkedudukan sebagai produk

hukum ijma. Ijma para ulama ini belakangan ditentang oleh sebagian kalangan

ulama kontemporer yang mendudukan persoalan ini disamakan status

hukumnya (di-qiyas-kan) dengan perkawinan laki-laki muslim dengan

84
ibid, hlm. 44.
85
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), hlm.
243.
60

perempuan Ahl al-Kitāb sehingga diperoleh kesimpulan bahwa

pelaksanaannya adalah boleh.86

Menanggapi pendapat yang kedua, Yusuf Qardhawi mengatakan

dengan tegas bahwa pendapat tersebut keliru dan tidak dapat dibenarkan dan

merupakan ijtihad yang keliru. Sebab persoalan larangan perkawinan antara

laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-Kitāb sudah menjadi ijma para

ulama. Karenanya, sebagaimana diketahui, bahwa semua ulama ahli hukum

Islam telah menegaskan bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan pada persoalan

hukum yang sudah disepakati.87 Sehingga pada pendapat yang kedua dinilai

kurang mendasar.

Selain tiga pendapat di atas, ada juga pendapat yang membolehkan

secara mutlak pelaksanaan perkawinan antaragama tanpa memandang

statusnya sebagai kaum musyrikin atau Ahl al-Kitāb Pendapat ini

diketengahkan oleh tim perumus Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam

(CLD-KHI). Golongan ini menyandarkan argumentasinya pada tafsir ayat-ayat

Al-Qur’an yang menjunjung tinggi prinsip pluralisme. Menurut mereka,

perkawinan antaragama diperbolehkan karena merujuk kenyataan historis

pengalaman para sahabat Nabi. CLD-KHI menganggap bahwasanya

perkawinan antaragama dilindungi oleh Islam. Lebih lanjut, agama yang dianut

tidak menjadi syarat sah perkawinan serta apabila perkawinan antaragama

86
Hasanudin, Perkawinan Campur Antar Pemeluk Agama dalam Perspektif Islam …, hlm.
48.
87
Hasanudin, Perkawinan Campur Antar Pemeluk Agama dalam Perspektif Islam …, hlm.
49.
61

dilangsungkan, tidak membuat perkawinan menjadi batal akibat salah satu

pihak berpindah agama setelah melangsungkan perkawinan. 88

Alasan utama pembolehan ini adalah karena jika perkawinan

antaragama masih dalam batas-batas untuk mencapai tujuan perkawinan, maka

perkawinan tersebut diperbolehkan. Selain itu, pada prinsipnya, perkawinan ini

dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak

kebebasan menjalankan agama masing-masing. Akan tetapi, pelaksanaannya

harus disadari secara penuh tentang segala kemungkinan yang akan terjadi

sebagai akibat dari perkawinan tersebut.89

D. Perkawinan Antaragama dalam Konstruksi Hukum Indonesia

Dalam konstruksi hukum Indonesia perkawinan diatur dalam UU No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam UU ini diatur tentang asas, persyaratan,

larangan, batalnya perkawinan, akibat hukum perkawinan, dan ketentuan lain yang

mengikuti. Akan tetapi tentang persoalan perkawinan antaragama tidak disebutkan

secara jelas tentang kebolehan ataupun larangannya. Pada Pasal 2 ayat (1), UU ini

hanya mengisyaratkan bahwa perkawinan dinilai sah jika mengikuti 2 hal;

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

88
Marzuki Wahid, Fikih Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Penerbit Marja, 2014),
hlm. 218.
89
Lihat Rumusan Pasal 49 ayat 1-3 CLD-KHI yang secara khusus membahas soal
perkawinan orang Islam dengan orang bukan Islam dalam Marzuki, Fikih Indonesia: Kompilasi
Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum
Indonesia …, hlm. 400.
62

Dari ketentuan tersebut, suatu perkawinan dinilai sah apabila

dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini

mengindikasikan bahwa, jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan

rukun perkawinan atau dalam kata lain ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat

Islam) dan atau pendeta atau pastor (bagi umat Kristen dan Katolik) telah

melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, misalnya, maka perkawinan

tersebut dinilai sah. Sebaliknya, apabila tidak dilakukan dengan cara demikian,

maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Ini berarti pada pelaksanaanya pula,

hukum masing–masing agama menjadi dasar sahnya suatu perkawinan. Karenanya,

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing–masing

agama atau kepercayaannya serta telah dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kebalikannya, perkawinan tidak dapat dilaksanakan tanpa

pedoman agama atau dengan menggunakan dua pedoman hukum agama yang

berbeda.90

Senada dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam

(KHI) juga menolak dengan tegas pelaksanaan perkawinan antaragama. Pada Pasal

40 dan 44, misalnya, mengisyaratkan pelarangan perkawinan orang yang beragama

Islam dengan orang yang bukan agama Islam dengan menyebutkan:

Pasal 42 : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria

dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan


dengan pria lain;

90
Anisah Daeng Tarring, "Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Positif di
Indonesia," Jurnal Litigasi Amsir 9.4 (2022), hlm. 281.
63

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44 : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Secara substansial, pasal ini tidak berbeda jauh sebagaimana tercantum

dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 20 ayat 2, yang menyebutkan bahwa

tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Berdasarkan kedua pasal dalam KHI tersebut, dapat dikatakan

seorang perempuan bukan Islam apapun agama yang dianutnya tidak boleh

dikawini oleh seorang laki-laki yang beragama Islam, dan sebaliknya pula, seorang

perempuan muslim tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki non muslim, baik

dari kategori ahli kitab atau pun bukan ahli kitab.91

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang sama, pada UU no. 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberikan alternatif hukum

berbeda tentang perkawinan antaragama. Pada ketentuan Pasal 35 huruf (a) yang

menyebutkan bahwa :

“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku


pula bagi:
a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas
permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.”
Pada ketentuan Pasal 35 huruf (a) terkait dengan masalah perkawinan

antaragama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan

91
Aulil, “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam” …, hlm. 60.
64

memutusnya. Dalam penjelasan pasalnya, disebutkan secara tegas bahwa: “yang

dimaksud dengan ”perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah

perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.” Artinya, pada

ketentuan yang ada pada undang-undang ini, perkawinan antaragama secara

administratif diakui oleh negara dengan jalan penetapan yang dilakukan oleh

Hakim Pengadilan Negeri.

Ketentuan Pasal 35 huruf (a) ini jika merujuk pada Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1400/K/Pdt/1986,92 ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan

hukum perkawinan antaragama yang memiliki dampak yang komplikatif apabila

tidak diatur ketentuan administrasinya.93 Pencatatan perkawinan yang menjadi

kebutuhan administratif perkawinan yang dibuktikan oleh akta dapat digunakan

apabila terjadi perselisihan diantara pasangan suami istri. Apabila pada

perkawinan antaragama tidak memperoleh akta perkawinan, maka jika terjadi

persoalan pada rumah tangga keduanya salah satu pihak tidak dapat melakukan

upaya hukum guna memperoleh atau mempertahankan hak masing-masing.

Karena ketiadaan akta tersebut, pasangan suami istri tidak mempunyai bukti

autentik untuk melakukan aktivitas hukum yang sudah mereka laksanakan.94

92
Putusan ini menyatakan perkawinan antaragama sah di Indonesia dengan jalan penetapan
pengadilan sejak terbitnya putusan ini. Setelah terbitnya putusan ini, Kantor Catatan Sipil sudah bisa
mencatatkan perkawinan antaragama atas dasar penetapan pengadilan.
93
Muhyidin Ayu Zahara,"Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Studi Komparatif Antara
Pandangan Hakim PA Semarang dan Hakim PN Semarang Terhadap Pasal 35 Huruf (a) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan)," Diponegoro Private Law
Review Vol.4, No.3, 2019, hlm. 8.
94
Annisa Hidayati, "Analisis Yuridis Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Tinjauan
Terhadap Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan),"
Jentera Hukum Borneo Vol. 5, No. 2, 2022, hlm. 37.
65

Lain dengan yurisprudensi di atas, terbaru, Mahkamah Agung Menerbitkan

Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim

dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat

Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA ini dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung ditujukan untuk merespon desakan dari banyak kalangan yang

menyoroti sering dikabulkannya permohonan penetapan perkawinan antaragama

oleh Pengadilan Negeri (PN) yang mendasarkan pertimbangan dalam memutuskan

perkara itu menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan.

SEMA ini memiliki dua instruksi utama yang berkaitan dengan perkawinan

antaragama.dalam hal untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam

mengadilinya. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan

pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan, para hakim

harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1) Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-


masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf
f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2) Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar
umat berbeda agama dan kepercayaan.
Dengan dua arahan tersebut, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dapat dijadikan
bahan tabayun bagi para hakim di pengadilan ketika memeriksa perkara
perkawinan. Menurut M. Ishom el-Saha, hakim ketika memeriksa kasus
perkawinan seharusnya mengedepankan asas formal hukum perkawinan bukan
66

hukum administrasi kependudukan sehingga tidak ada lagi pengesahan perkawinan


antaragama lagi ke depannya.95
Dari beberapa dasar hukum perkawinan antaragama di atas masih dapat
dilihat disparitas yang cukup menohok di antara beberapa peraturan perundang-
undangan tentang legalitas perkawinan antaragama di Indonesia. Ketidakpastian
hukum perkawinan antaragama ini perlu penalaran komprehensif dalam menyikapi
dan menyelesaikan perkara perkawinan antaragama di Indonesia.

95
M. Ishom el-Saha, “Larangan Hakim Menetapkan Perkawinan Beda Agama,” Kementerian
Agama, 19 Juli 2023, https://kemenag.go.id/kolom/larangan-hakim-menetapkan-perkawinan-beda-
agama-beSC4. Diakses pada 9 Oktober 2023 pukul 14.49.
67

BAB III

TINJAUAN PUTUSAN PENETAPAN PERKAWINAN


ANTARAGAMA

A. Profil Singkat Pengadilan Negeri Surabaya

Pengadilan Negeri (PN) Surabaya adalah lembaga peradilan tingkat pertama

yang berlokasi di Kota Surabaya, Jawa Timur. PN Surabaya adalah salah satu dari

banyak Pengadilan Negeri di Indonesia yang mana tugas utamanya adalah

mengadili perkara perdata, pidana, agama, dan administrasi negara di wilayah

kewenangannya. Selain mengadili perkara tersebut, dari masa ke masa, Pengadilan

Negeri Surabaya telah menjadi ‘rumah’ bagi Pengadilan bidang lain, seperti :

1. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)


2. Pengadilan Niaga
3. Pengadilan HAM
4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Pengadilan Negeri Surabaya terdiri dari dua lokasi. Pertama, beralamatkan

di Jl. Raya Arjuno no.16-18 Surabaya yang merupakan Kantor Induk Pengadilan

Negeri Surabaya sekaligus PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Lokasi kedua

merupakan Kantor untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang beralamat di Jl.

Raya Juanda 82 – 84, Sedati, Sidoarjo.

Gedung Pengadilan Negeri Surabaya dibangun pada 1924 dengan nama

Landraad yang dipakai untuk gedung pengadilan zaman penjajahan Belanda

dengan luas bangunan tersebut diperkirakan mencapai 100 meter persegi. Gedung

PN Surabaya kemudian ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Salah satu bukti bahwa gedung PN Surabaya
68

ini merupakan cagar budaya, terlihat dari adanya prasasti di sebelah kiri pintu

masuk.

1. Sejarah
a. Masa Sebelum Pemerintahan Hindia-Belanda.

Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, tata

hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu

dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat

pada sistem peradilannya dimana dibedakan antara perkara Pradata dan

perkara Padu. Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan

peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang

membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban negara, hukum Pradata

ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja adalah pusat kekuasaan

sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat

perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa.96

b. Masa Pemerintahan Hindia-Belanda

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan suatu perserikatan dagang

untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische

Compagnie) dengan tujuannya untuk berniaga, maka melalui VOC tersebut

Belanda masuk ke Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei

1619 berhasil membuat Sultan Banten menyerahkan daerahnya kepada

Kompeni. Pada tanggal 26 Maret 1620 dibuat resolusi yang mengangkat

96
http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/09/30/sejarah-terbentuknya-pengadilan-
negeri-di-indonesia-sebelum-terbentuknya-uu-no-14-tahun-1970-tentang-pokok-pokok-kekuasaan-
kehakiman/#_ftn4
69

seorang Baljuw sebagai opsir justisi dan kepala kepolisian lalu pada tanggal

24 Juni 1620 dibentuk suatu majelis pengadilan di bawah pimpinan Baljauw

yang dinamakan College van Schepennen disebut schepenbank untuk

mengadili segala penduduk kota bangsa apapun kecuali pegawai dan

serdadu Kompeni yang akan diadili oleh Ordinaris luyden van den gerechte

in het Casteelyang pada 1626 diubah menjadi Ordinaris Raad van Justisie

binnen het casteel Batavia, disebut sebagai Raad van Justisie.

Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah

dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya

situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC

dan pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk

Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels

sebagai Gubernur Jenderal yang menetapkan charter untuk daerah jajahan

di Asia dimana dalam Pasal 86 charter tersebut berisi bahwa susunan

pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta

adat mereka.

c. Masa Pemerintahan Inggris

Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh

Inggris maka Sir Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan

Jenderal untuk P. Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin,

Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-Kecil). Ia kemudian mengeluarkan

maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan

untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di
70

dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan

Surabaya) dan sekitarnya. Artinya, pada zaman Raffles ini ada perbedaan

antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota

dan di pedalaman atau desa-desa dengan menempatkan masyarakat kota

sama dengan bangsa Eropa pada hukum yang diberlakukan.

d. Masa Kembalinya Pemerintahan Hindia-Belanda

Berakhirnya peperangan di dataran Eropa mengakibatkan daerah

jajahan Belanda yang dikuasai Inggris disepakati untuk dikembalikan

kepada Belanda (Conventie London 1814). Pada masa ini, Pemerintah

Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di

lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan

Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848

(R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa

Indonesia dengan golongan bangsa Eropa di mana dalam Pasal 1 RO

disebutkan ada 6 macam pengadilan:

1) Districtsgerecht, adalah pengadilan dengan tugas mengadili perkara

perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai

harga di bawah f20-.

2) Regenschap gerecht adalah pengadilan dengan tugas mengadili

perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan nilai harga f.20-

f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan

districtsgerecht.
71

3) Landraad. Merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang

Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari

orang-orang Tionghoa, orang-orang yang dipersamakan hukumnya

dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana

mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain

itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk

perkara yang diputuskan oleh regenschap gerecht sepanjang

dimungkinkan banding.

4) Rechtbank van omgang vjh. Diubah pada 1901 menjadi

residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht. Mengadili

dalam tingkat pertama dan terakhir dengan tidak membedakan

bangsa apapun yang menjadi terdakwa.

5) Raad van justitie’. Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya

untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan wilayah.

6) Hooggerechtshof. Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan

berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh

Indonesia.

e. Masa Pemerintahan Jepang

Masa pemerintahan Jepang di Indonesia, Jepang mengeluarkan

Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan

bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah

Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan, Jepang


72

menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah

Balatentara Dai-Nippon, di mana dengan UU ini didirikan pengadilan-

pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan–

pengadilan yang sudah ada sebagai berikut.

1) Gun Hoon (Pengadilan Kawedanan), merupakan lanjutan dari


districtsgerecht.
2) Ken Hooin (Pengadilan kabupaten), merupakan lanjutan dari
regenschapsgerecht.
3) Keizai Hooin (Pengadilan kepolisian), merupakan lanjutan dati
Landgerecht.
4) Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri), merupakan lanjutan dari
Lanraad.
5) Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi), merupakan lanjutan dari Raad
van Justisie.
6) Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), merupakan lanjutan dari
Hooggerechtshof.
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam

peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No. 2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin

merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk, dengan

menggunakan hukum acara HIR.

f. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

1) Periode 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa:

segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku

selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti

bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap

berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.


73

Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di

sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan

tentang kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No. 11 tahun 1945

yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan

umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan

menggunakan HIR sebagai hukum acaranya. Pada masa ini juga

dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional

yang ternyata belum pernah dilaksanakan.

2) Periode 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht

diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi

Pengadilan Tinggi.

3) Periode 1950-1959

Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan

unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri

dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan

beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan

adat.

4) Periode 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970


Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di

lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU

Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun

1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun


74

1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan

peradilan yaitu:

a) Pengadilan Negeri
b) Pengadilan Agama
c) Pengadilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara
2. Wilayah Yurisdiksi PN Surabaya
a. Kewenangan Absolut
Pengadilan Negeri Surabaya merupakan salah satu pelaksana

kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tingkat pertama yang

mempunyai tugas pokok sebagai berikut:

1) Menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara yang diajukan

kepadanya sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang

Peradilan Umum dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

2) Menyelenggarakan Administrasi Perkara dan Administrasi Umum

lainnya.

b. Kewenangan Relatif
Pengadilan Negeri Surabaya masuk dalam wilayah Pengadilan

Tinggi Surabaya dengan luas wilayah kurang lebih 274,06 kilometer yang

terdiri dari 5 (lima) wilayah yaitu:

1) Surabaya Utara

Wilayah Surabaya Utara meliputi 5 (lima) kecamatan,

yaitu:

a) Kecamatan Pabean Cantikan

b) Kecamatan Semampir
75

c) Kecamatan Krembangan

d) Kecamatan Kenjeran

e) Kecamatan Bulak

2) Surabaya Timur

` Wilayah Surabaya Timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu:

a) Kecamatan Tambaksari

b) Kecamatan Gubeng

c) Kecamatan Rungkut

d) Kecamatan Tenggilis Mejoyo

e) Kecamatan Gunung Anyar

f) Kecamatan Sukolilo

g) Kecamatan Mulyorejo

3) Surabaya Selatan

Wilayah Surabaya Selatan meliputi 8 (delapan) kecamatan, yaitu:

a) Kecamatan Sawahan

b) Kecamatan Wonokromo

c) Kecamatan Dukuh Pakis

d) Kecamatan Karangpilang

e) Kecamatan Wiyung

f) Kecamatan Wonocolo Jambangan

g) Kecamatan Gayungan

h) Kecamatan Jambangan

4) Surabaya Pusat
76

Wilayah Surabaya Pusat meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu:

a) Kecamatan Genteng

b) Kecamatan Tegalsari

c) Kecamatan Bubutan

d) Kecamatan Simokerto

5) Surabaya Barat

Wilayah Surabaya Barat meliputi 7 (tujuh) wilayah

kecamatan, yaitu:

a) Kecamatan Tandes

b) Kecamatan Asemrowo

c) Kecamatan Sukomanunggal

d) Kecamatan Benowo

e) Kecamatan Pakel

f) Kecamatan Lakarsantri

g) Kecamatan Sambikerep

B. Kasus Posisi Perkara Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby

1. Identitas para pihak

a. Rizal Adikara
Rizal merupakan laki-laki yang lahir dan menetap di Surabaya dan

beralamat di Jl. Ketintang Baru 8/6 - Surabaya. Berdasarkan data yang

masuk ke PN Surabaya, tercatat, ia lahir pada 28 April 1986 dan

berkebangsaan tetap sebagai Warga Negara Indonesia. Selain itu, ketika


77

mengajukan permohonan penetapan ia menganut Agama Islam dan bekerja

sebagai wiraswasta.

b. Eka Debora Sidauruk.

Sebagai pemohon kedua, ada perempuan bernama Eka Debora

Sidauruk. yang berlainan agama dengan Rizal. Eka menganut agama Kristen

dan dilahirkan di Simalungun Sumatera Utara pada 12 Mei 1991. Status

kewarganegaraannya adalah sama dengan Rizal yang merupakan Warga

Negara Indonesia tulen. Eka bekerja sebagai Wiraswasta dan beralamat di

Jl. Ketintang Baru 8/6 - Surabaya.

2. Kronologi

Sebelum jatuhnya penetapan oleh hakim PN Surabaya, sejatinya Rizal

Adikara dan Eka Debora Sidauruk, telah melangsungkan perkawinan

antaragama. Mereka kemudian memberitahukan peristiwa ini kepada Kantor

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Surabaya tentang

telah dilaksanakannya perkawinan tersebut. Akan tetapi, oleh karena adanya

perbedaan agama di antara keduanya, pengajuan pencatatan perkawinan

mereka oleh Disdukcapil Kota Surabaya ditolak dan dianjurkan untuk

mendapat Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya. Padahal, beberapa hari

sebelumnya, kedua belah pihak telah melangsungkan pernikahan dengan

persetujuan keluarga dan menggunakan cara agama mereka masing-masing

pada Maret 2022 lalu.97

97
Dika Kardi, “Kronologi PN Surabaya Kabulkan Permohonan Pernikahan Beda Agama,”
CNN Indonesia, 21 Juni 2022, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220621142844-12-
811662/kronologi-pn-surabaya-kabulkan-permohonan-pernikahan-beda-agama , Diakses pada 25
September 2023 pukul 22.47.
78

Alasan penolakan yang dilakukan oleh Disdukcapil didasarkan

persoalan teknis karena para pemohon tidak melengkapi persyaratan

Administrasi Kependudukan (Adminduk). Persyaratan itu, menurut Agus

Imam Sonhaji,98 sesuai dengan Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.99

Menurut Pasal 50 ayat [3] UU ini, ada beberapa persyaratan pencatatan

perkawinan yang harus dilengkapi, di antaranya: penetapan pengadilan, KTP

suami dan istri, pas photo, dan paspor jika warga negara asing. Karena

perkawinan antara kedua belah pihak belum mendapatkan penetapan

pengadilan, maka otomatis pencatatan perkawinan mereka ditolak untuk

dicatatkan oleh Disdukcapil Kota Surabaya.

Setelah menemui penolakan tersebut, mereka akhirnya memutuskan

untuk mengajukan permohonan penetapan perkawinan antaragama ke PN

Surabaya agar perkawinan mereka bisa diakui dan dicatatkan di Disdukcapil.

Permohonan pernikahan antaragama ke PN Surabaya itu mereka ajukan 13

April 2022 lalu. Kemudian, atas beberapa pertimbangan, permohonan mereka

dikabulkan oleh hakim tunggal Imam Supriyadi pada 26 April 202 dengan

Nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby. Maka, berbarengan dengan

jatuhnya putusan tersebut, hakim pun memerintahkan agar Disdukcapil

mencatatkan pernikahan Rizal dan Eka sebagaimana amar putusan yang ada

98
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Surabaya.
99
Redaksi, “Alasan Dukcapil Surabaya Sempat Tolak Pencatatan Pasangan Nikah Beda
Agama,” Kumparan.com, 2 Oktober 2022, https://kumparan.com/kumparannews/alasan-dukcapil-
surabaya-sempat-tolak-pencatatan-pasangan-nikah-beda-agama-1yJzl36dC7s/full, Diakses pada
25 September 2023 pukul 23.24.
79

putusan tersebut. Selain itu, perintah ini mutlak harus dilakukan dan tak bisa

ditolak, sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya.

3. Duduk Perkara

Dengan mempertimbangkan status hukum para pemohon, diketahui

bahwa Para Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 08 April 2022,

yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya dibawah register

Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby, telah mengajukan permohonan yang pada

pokok perkara adalah sebagai berikut :

a. Legal Standing

Dengan mempertimbangkan status hukum para pemohon, setelah

ditelaah lebih lanjut melalui pemberkasan yang diserahkan oleh para

pemohon diketahui bahwa para pemohon adalah perseorangan yang

berkedudukan di Kota Surabaya. Selain itu, para pemohon pula

berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan satu sama lain di hadapan

Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Maka,

dengan melihat status kedudukan para pihak, para pemohon berhak untuk

mengajukan permohonan penetapan perkawinan kepada Pengadilan

Negeri Surabaya sebagai Lembaga yang berkewenangan untuk mengadili

dan memutus perkara perkawinan, selain perkawinan orang-orang Islam

yang biasa diadili di Pengadilan Agama.

b. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Memeriksa Permohonan A

Quo
80

Merujuk pada legal standing para pihak di atas, bahwa pada

persoalan tempat kedudukan hukum dicatatkannya Perkawinan adalah

Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya.

Sehingga, jika merujuk pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyebutkan

bahwasanya: “Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak

mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana

pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan

berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat

keterangan penolakan tersebut di atas.”

Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah diuraikan di atas,

bahwa para pihak telah mengajukan permohonan pencatatan perkawinan

kepada Disdukcapil Kota Surabaya yang kemudian mendapatkan

penolakan pencatatan. Maka, berdasarkan pada Pasal 21 ayat (3) UU

Perkawinan tersebut di atas, Pengadilan Negeri Surabaya yang berhak

memberikan suatu Penetapan atas Permohonan a quo.

C. Dasar Pertimbangan Hakim PN Surabaya dalam Memutus Perkara

Perkawinan Antaragama

Perkawinan yang dilaksanakan Eka dan Rizal menjadi contoh kasus

perkawinan antaragama yang kemudian ditetapkan oleh Pengadilan Negeri

Surabaya menjadi satu perkawinan yang sah dan bisa dicatatkan di Kantor

Disdukcapil. Penetapan oleh Hakim tersebut kemudian menuai polemik dan

pertanyaan besar dari berbagai kalangan. Meski demikian, nyatanya kasus


81

perkawinan agama telah banyak terjadi di Indonesia. Dalam catatan Indonesian

Conference On Religion and Peace (ICRP) terdapat 1.425 pasangan beda agama

menikah di Indonesia sejak tahun 2005 sampai 2022.

Putusan penetapan yang dikeluarkan oleh hakim tentu memiliki dasar

pertimbangan baik secara hukum maupun sosiologis. Dalam menjalankan

fungsinya sebagai jurist, sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman sebagaimana

tercantum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, hakim mempunyai kemerdekan dan otoritas dalam menjalankan setiap

tugasnya. Dalam menjalankan tugasnya, hakim bebas berijtihad sesuai dengan

kapasitasnya dan tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun dan kepentingan

apapun. Dalam mengadili perkara, Hakim hanya bisa tunduk kepada hukum supaya

keputusan yang dihasilkan mencerminkan nilai keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan hukum.

Kebebasan dan kemandirian hakim dalam memutus perkara dimaksudkan

untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh badan negara.

Prinsip kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang

mengadili suatu perkara adalah dalam rangka menjalankan amanat UUD NRI 1945

Pasal 24 Ayat (1) sebagai pihak penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang tidak

boleh terikat oleh apapun dan atau tertekan oleh siapapun.100 Implementasinya,

dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya, Hakim bebas dari campur tangan

100
Ach Dlofirul Anam, "Landasan Aksiologi Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara
Tinjauan Keadilan Substantif," An-Nawazil: Jurnal Hukum dan Syariah Kontemporer Vol. 1.no. 02,
2019, hlm. 36.
82

kekuasaan ekstra yudisial, baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif dan

kekuasaan lainnya dalam masyarakat seperti pers dan organisasi kemasyarakatan.

Dalam mengadili suatu perkara, hakim harus benar-benar menggali dasar

hukum yang tepat supaya sesuai dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup didalam masyarakat. Hakim pun mempunyai kewenangan untuk

mengabulkan atau menolak permohonan dan gugatan yang ditujukan kepadanya

yang harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang membuat

permohonan atau gugatan yang dilayangkan pada hakim berakhir ditolak atau

dikabulkan.101

Pada dasarnya, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat

pertama. Pada kasus perkawinan yang merupakan bagian dari hukum perdata, jenis

perkawinan yang bisa ditetapkan oleh Pengadilan Negeri adalah perkawinan yang

dilaksanakan oleh umat berbeda agama dimana hasil putusannya berupa penetapan.

Artinya, bahwa perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri tersebut berupa perkara

dalam bentuk permohonan (voluntair), bukan gugatan (contentious). Permohonan

sendiri merupakan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, di mana hanya

terdapat satu pihak saja yang disebut sebagai pemohon.

Dalam memutus perkara permohonan penetapan perkawinan antaragama

yang dimohonkan oleh Rizal dan Eka kepada PN Surabaya, setidaknya ada

beberapa hal yang dipertimbangakan hakim dalam memutus perkara a quo.

101
Mira PW Teresia and Harjono, “Studi Tentang Pertimbangan Hakim Yang Tidak
Lengkap (Onvoldoende Gemotiveerd) Sebagai Alasan Permohonan Kasasi Sengketa Sarang Burung
Walet (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor:1609 K/Pdt/2012),” Verstek 9, no. 2 (2021), hlm.
402.
83

Berdasarkan beberapa ketentuan hukum yang berlaku, secara garis besar, hakim

mempertimbangakan putusannya sebagai berikut.

Pertama, Majelis Hakim mempertimbangkan fakta bahwa perkawinan

antaragama tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Bahwa jika melihat

dasar hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Di mana dalam pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 10 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 ditegaskan kalau suatu perkawinan sah apabila

dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan melihat

ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

sahnya perkawinan, hal itu merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan

antara dua orang yang memeluk agama yang sama, sehingga terhadap perkawinan

di antara dua orang yang berlainan status agamanya tidaklah dapat diterapkan

berdasarkan ketentuan tersebut seperti yang termuat dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 tanggal 20 Januari 1989.

Selain itu, dengan mempertimbangkan dasar hukum lain yang menyangkut

perkawinan antaragama, bahwa persoalan tersebut hanya diatur dalam penjelasan

pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Pada penjelasan pasal 35 huruf a undang-undang tersebut,

ditegaskan dengan jelas bahwa “yang dimaksud dengan perkawinan yang

ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang dilakukan antar umat yang

berbeda agama”. Jika dilihat secara cermat, ketentuan itu pada dasarnya

memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi di antara dua


84

orang yang berlainan agama dengan catatan telah dilakukan penetapan oleh

pengadilan tentang hal tersebut.

Kedua, dengan mempertimbangkan syarat formil dan materil perkara a quo.

Dalam fakta yuridis di persidangan, tentang syarat-syarat perkawinan sebagaimana

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada

pasal 6 ayat (1) mengenai persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan pasal 7

mengenai usia perkawinan. Dengan Eka yang telah mencapai usia tiga puluh (31)

tahun dan Rizal tiga puluh enam (36) tahun ketika mengajukan permohonan, serta

keduanya setuju untuk melangsungkan perkawinan, maka dengan itu Para Pemohon

dianggap telah memenuhi syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan kompetensi relatif Pengadilan Negeri Surabaya pula, Para Pihak yang

melayangkan pengajuan permohonan dibuktikan dengan surat bertanda P2,

menunjukan bahwa mereka bertempat tinggal dan berdomisili di wilayah hukum

Pengadilan Negeri Surabaya, sehingga permohonan a quo secara formil dapat

diterima.

Ketiga, pertimbangan keterangan para saksi. Keterangan yang didapat dari

para saksi yang hadir di persidangan, mengungkapkan beberapa kesaksian penting

yang menyangkut para pihak dan hubungan yang terjalin di mereka. Dari informasi

yang Majelis Hakim gali menunjukkan kedekatan Saksi dengan Para Pemohon

yang dapat membantu mengkonfirmasi identitas mereka. Dari kesaksian Kristiana

Eka Wulandari dan Jessica Sidauruk, tentang Para Pihak dan hubungan dekatnya

dengan mereka, keduanya membenarkan domisili para pemohon yang bertempat

tinggal di Jl. Ketintang Baru 8/6 - Surabaya setelah sebelumnya berdomisili di


85

Siwalankerto Surabaya. Selain itu, Para Saksi mengetahui betul tentang penolakan

pengajuan permohonan izin perkawinan berbeda agama Para Pemohon oleh Kantor

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya serta anjurannya untuk

mendapat Penetapan Pengadilan Negeri. Dengan kedekatannya dengan Para

Pemohon, Para Saksi juga mengetahui bahwa Pemohon I beragama Islam dan

Pemohon II beragama Kristen. Dalam kaitannya dengan peristiwa hukum yang

menyangkut Para Pemohon, mereka turut membenarkan komitmen Para Pemohon

terhadap perkawinan dan keyakinan agama mereka dengan terlaksananya

perkawinan yang telah dilangsungkan secara agamanya masing-masing oleh Para

Pemohon. Tentang dukungan dari keluarga terhadap perkawinan Para Pihak, Para

Saksi mengkonfirmasi bahwa meskipun terdapat perbedaan agama, keluarga Para

Pemohon mendukung hal tersebut dengan turut hadir dalam perkawinan yang

dilaksanakan pada bulan Maret 2022 di Surabaya.

Berdasarkan kesaksian para saksi ini, fakta-fakta tersebut menjadi dasar

yang kuat Para Pemohon untuk mendukung legal standing mereka. Fakta-fakta ini

juga mendukung klaim bahwa Para Pemohon telah menjalani perkawinan dengan

komitmen penuh, serta usahanya mencoba langkah-langkah hukum untuk

mendapatkan legalitas perkawinan mereka berdasarkan dukungan kuat dari

keluarga mereka. Kesaksian Para Saksi ini membantu Majelis Hakim dalam

memahami konteks dan alasan dibalik permohonan ini serta landasan Para

Pemohon menjalani perkawinan sesuai keyakinan agama masing-masing.

Keempat, pertimbangan bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan

untuk melangsungkan perkawinan. Alasan ini dipegang Majelis Hakim dengan


86

melihat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (f) undang-undang

perkawinan dan merujuk pada ketentuan pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Maka terkait dengan masalah

perkawinan antaragama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutusnya.

Kelima, pertimbangan hak kebebasan beragama. Dengan

mempertimbangkan bahwa dari fakta yuridis tersebut diatas bahwa Pemohon I

memeluk agama Islam, sedangkan Pemohon II memeluk agama Kristen adalah

mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal

untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinannya untuk membentuk rumah

tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama

tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan

memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Keenam, pertimbangan hak membentuk keluarga. Menimbang, bahwa

selain itu, berdasarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang

berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang

dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk

agamanya masing-masing. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia pula telah menjamin hak dan kebebasan seseorang

untuk membentuk keluarga, sekaligus menjelaskan bahwa perkawinan yang sah

adalah perkawinan yang dilangsungkan atas kehendak bebas calon mempelai sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.


87

Ketujuh, pertimbangan restu orang tua. Menimbang, bahwa berdasarkan

keterangan para saksi dan Surat Bukti telah diperoleh fakta-fakta yuridis bahwa

Para Pemohon sendiri sudah saling mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan

hubungan mereka dalam perkawinan, dimana keinginan Para Pemohon tersebut

telah mendapat restu dari kedua orang tua Para Pemohon masing-masing.

Maka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim

menetapkan:

1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon;

2. Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan

antaragama di hadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kotamadya Surabaya;

3. Memerintahkan kepada Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil Kotamadya Surabaya untuk melakukan pencatatan perkawinan

antaragama Para Pemohon tersebut ke dalam Register Pencatatan

Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta

Perkawinan tersebut;

4. Membebankan biaya permohonan kepada Para Pemohon sejumlah

Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah).

Dari beberapa pertimbangan dan amar putusan yang ditetapkan oleh Majelis

Hakim dalam perkara a quo dapat dilihat beberapa poin krusial yang diambil oleh

hakim dalam mengadili perkara. Pertama, karena ketiadaan aturan (kekosongan

hukum) yang secara tegas mengatur perkawinan antaragama, berdasarkan asas ius

curvia novit, Majelis hakim dianggap tahu akan hukum sehingga ia tidak dapat
88

menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak ada atau

kurang jelas. Hal ini berdasarkan Pasal 20 Algemene Bepalingen (AB) yang

menyatakan “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22

AB juncto Pasal 14 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang

diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas Undang-undang

yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”. Artinya jika terdapat

kekosongan hukum atau aturannya tidak jelas, maka untuk mengatasinya hakim

berhak untuk mengadili perkara dan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding)

berdasarkan nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat. Hal ini

sebagaimana diatur dalam pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman “Hakim sebagai

penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum yang hidup didalam masyarakat”.

Kedua, dalam tugasnya untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan

hukum, Majelis Hakim berdasarkan kebebasan dalam memeriksa dan memutuskan

perkara, menetapkan dan mengesahkan perkawinan antaragama dalam perkara a

quo. Dengan menggunakan dalil bahwa perbedaan agama bukanlah larangan untuk

melaksanakan perkawinan sebagaimana ketentuan pasal Pasal 8 sampai 11 UU

Perkawinan. Selain itu dalam menafsirkan pasal 2 ayat 1 yang menyatakan

perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya

masing-masing, Majelis Hakim berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah dapat

diterapkan untuk perkawinan di antara dua orang yang berlainan status agamanya.

Oleh karenanya, Majelis Hakim menyandarkan pendapatnya pada Putusan


89

Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 yang lebih dulu mengesahkan kasus

perkawinan antaragama kemudian memutuskan hal yang sama pada perkara a quo.

Ketiga, dengan mengedepankan asas judicial activism, Majelis Hakim

menggunakan dasar hukum utama UU No. 36 tentang Administrasi Kependudukan

“mengesampingkan” UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang cenderung

problematik dalam mengatur persoalan perkawinan antaragama. Pendekatan

judicial activism memungkinkan Majelis Hakim untuk memposisikan dirinya

sebagai pihak yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan

terhadap kebijakan-kebijakan politik, sosial, dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan

putusan yang dikeluarkan, jika terjadi kekosongan hukum, sebagai pembuat aturan

hukum (judges making law) hakim dimungkinkan memutuskan satu perkara

berdasarkan pandangan-pandangan personalnya melalui serangkaian metode

penemuan hukum. Metode dan teknik penemuan hukum oleh hakim dilakukan

secara holistik dengan mengaitkan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.102

Pada perkara a quo, hakim berijtihad bahwa untuk mengisi kekosongan hukum,

memberikan kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, kasus perkawinan

antaragama di antara Para Pemohon diputuskan untuk disahkan. Hal ini

dimaksudkan untuk menjamin hak Para Pemohon yang sama-sama dilindungi

undang-undang. Hak ini berkisar pada: hak pembentukan rumah tangga dengan

mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing (kebebasan beragama) yang

102
Markus Suryoutomo, dan Mahmuda Pancawisma Febriharini, "Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) Hakim Dalam Perkara Perdata Sebagai Aspek Mengisi Kekosongan Hukum,"
Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat vol. 18, no. 1, 2020, hlm. 115.
90

merupakan hak asasi para pemohon dan hak-hak keperdataan yang timbul dari

ikatan perkawinan.

D. Konsekuensi dan Implikasi Hukum Putusan

Perkawinan, sebagai suatu peristiwa penting dalam kehidupan individu,

membawa dampak hukum bagi masing-masing pihak baik suami atau istri. Akibat

hukum ini mencakup sejumlah perubahan dalam status hukum dan pembebanan

kewajiban hukum baik bagi suami maupun istri, serta berkenaan dengan itu pula

melekat hak-hak dan tanggung jawab dari masing-masing pihak (baik suami ke istri,

maupun istri ke suami).

1. Akibat Hukum Perkawinan

Akibat utama dari peristiwa perkawinan ada pada intinya

menimbulkan satu ikatan suami istri yang masing-masingnya saling

menimbulkan hak dan kewajiban satu sama lain. Lebih lanjut, jika merujuk

pada Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU Perkawinan, seseorang yang

melangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum pada dasarnya akan

menimbulkan 3 (tiga) pokok perikatan, yaitu:

a. Timbulnya hubungan/perikatan suami istri di antara pasangan yang

menikah. Hubungan suami istri yang terjalin pasca perkawinan selain

menyebabkan halalnya berhubungan intim di antara keduanya juga

membawa hak dan kewajiban yang sama-sama harus saling dipenuhi.

Istri memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi suami baik yang

berupa materi seperti mahar dan nafkah, serta hak non materi seperti:

cinta dan kasih sayang, hubungan baik, perlindungan, serta perlakuan


91

yang baik. Sebaliknya suami pula memiliki hak dari istri berupa

perlakuan baik, kasih sayang, dan menggaulinya dengan patut. Selain

itu, yang menjadi kewajiban bersama di antara keduanya adalah

membentuk keluarga sakīnah, mawaddah, dan rahmah yang kekal

dan bahagia; saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, serta

memberi bantuan lahir-batin; dan wajib mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka supaya tumbuh dan berkembang dengan baik pada

jasmani maupun rohaninya. 103

b. Timbulnya harta benda dalam perkawinan. Pasal 35 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi 2 jenis harta dalam

perkawinan yakni harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dan

harta bawaan masing-masing yang diperoleh diri masing-masing

sebagai hadiah atau warisan.

c. Timbulnya hubungan antara orang tua dengan anak. Akibat

perkawinan terhadap pihak di luar diri masing masing (suami-istri)

adalah timbulnya perikatan dengan anak yang lahir dalam perkawinan.

Artinya anak secara langsung memiliki ikatan nasab dengan ayah dan

ibunya sekaligus memiliki hak waris dari keduanya dan begitupun

sebaliknya. Selain itu anak memiliki hak dari orang tua berupa

pemeliharaan dan perlindungan sampai ia dewasa.

103
Misra Netti, "Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Bingkai Hukum Keluarga," Jurnal
An-Nahl, vol. 10, no. 1, 2023, hlm. 20.
92

Namun apabila perkawinan dianggap tidak sah sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

mengharuskan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya serta dicatatkan di hadapan Petugas

Pencatat Nikah (menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku)

akan membawa implikasi hukum lain baik bagi perkawinan maupun hal lain

yang ditimbulkan oleh perkawinan. Hal tersebut diantaranya sebagai

berikut.

a. Perkawinan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 bahwa perkawinan yang sah adalah yang dilaksanakan

menurut agama dan kepercayaan masing-masing pihak serta dicatatkan.

Artinya, apabila dua unsur tersebut tidak terpenuhi, perkawinan

dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun di

hadapan negara. Sejalan dengan itu, Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam menyebutkan bahwa “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat.” Selain itu

pada Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dengan tegas bahwa

perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Bahwa meski perkawinan

dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara

perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan

Agama atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Konsekuensinya,


93

perbuatan hukum yang timbul akibat perkawinan baik itu perceraian,

perwalian, waris, akta kelahiran, dan hak-hak keperdataan lainnya tidak

dapat diajukan gugatan di pengadilan kecuali telah mendapatkan

penetapan sebelumnya.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga

Ibu

Jika anak dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah,

menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan anak tersebut dianggap

sah dan terikat hubungan keperdataan dengan orang tuanya.

Sebaliknya, jika anak lahir di luar ketentuan perkawinan atau

perkawinannya tidak dicatat, maka menurut Pasal 43 Undang-Undang

Perkawinan anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki

hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

c. Anak dan isteri tidak berhak atas nafkah dan warisan

Akibat dari dari perkawinan yang tidak tercatat selanjutnya

adalah anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki legalitas

di hadapan negara. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak

tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan

dari ayahnya (istri: suaminya). Anak-anak tidak dapat mewarisi harta

orang tuanya karena tidak ada bukti otentik yang menyatakan mereka

sebagai ahli waris orang tuanya (selama tidak diajukan penetapan

perkawinan ke pengadilan). Namun demikian, Mahkamah Agung RI


94

dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan

Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan

Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak

hasil hubungan kedua pasangan tersebut.104

2. Konsekuensi Hukum Putusan Perkawinan Antaragama

Pada ketentuan-ketentuan dan akibat hukum perkawinan yang

tersebut di atas adalah jika perkawinan tersebut dilaksanakan dengan

penganut agama yang sama. Akan tetapi jika dilangsungkan dengan pemeluk

agama yang berbeda, seperti yang terjadi pada Eka dan Rizal, maka akan

membawa implikasi sebagai berikut.

a. Status dan Kedudukan Anak

Jika berkaca kembali pada aturan tentang keabsahan anak dalam

UU Perkawinan, maka status anak yang dilahirkan dari perkawinan Para

Pihak adalah sah. Sebab, anak yang dikatakan sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Akibat

adanya penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby yang mengabulkan

permohonan Para Pemohon dan memberikan izin kepada Para Pemohon

untuk melangsungkan perkawinan antaragama di hadapan Pejabat

Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya,

membawa implikasi bahwa segala akibat yang timbul dari perkawinan

mereka adalah sah dan diakui oleh negara. Maka, jika para Pemohon

104
Masykurotus Syarifah, "Implikasi Yuridis Poligami Bawah Tangan Perspektif UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan," Jurnal Yustitia vol.19. no. 1, 2018, hlm. 31.
95

dikaruniai anak, kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan

tersebut adalah anak yang sah di mata hukum sehingga berhak

mendapatkan pencatatan akta kelahiran serta memiliki hak dan

kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 sampai

Pasal 49 UU Perkawinan.

b. Status Perkawinan

Dalam amar putusannya, hakim menyebutkan bahwa Pengadilan

“Memerintahkan kepada Pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk melakukan pencatatan

perkawinan antaragama Para Pemohon tersebut ke dalam Register

Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera

menerbitkan Akta Perkawinan tersebut.” Artinya secara administratif,

status hukum perkawinan yang diselenggarakan Para Pihak adalah sah

dan diakui secara pasti oleh negara. Oleh sebab itu, Petugas Pencatat

Nikah, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil wajib

mencatatkan perkawinan mereka serta hak-hak lain yang mengikuti

akibat hukum perkawinan dengan sendirinya melekat pada mereka.

Akan tetapi jika dilihat melalui konstruksi agama masing-masing

pihak masih problematik, karena melihat rumusan pasal 2 ayat 1 UU

Perkawinan, sah atau tidaknya perkawinan cenderung diserahkan

sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan

boleh tidaknya perkawinan berbeda agama. Dalam pandangan Islam,

perkawinan Rizal (laki-laki/Islam) dengan Eka (Perempuan/Kristen)


96

adalah jenis perkawinan sebagaimana ketentuan Al-Qur’an Surat Al-

Baqarah ayat 221 adalah haram jika mengkategorikan pengantin

perempuan sebagai kaum musrik dan boleh jika mengkategorikan

pengantin perempuan sebagai Ahl al-Kitāb sebagaimana pendapat

Quraish Shihab yang mengatakan bahwa perempuan Ahl al-Kitāb yang

boleh dikawini adalah penganut Yahudi dan Kristen hingga masa kini.105

Sementara jika merujuk pada pendapat para ulama Madzhab Syafi’i yang

memasukan kategori Ahl al-Kitāb kepada perempuan yang menganut

agama Nasrani dan Yahudi sebagaimana agama yang dianut oleh nenek

moyang mereka sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw., maka hukumnya adalah tidak sah. 106

Sementara itu, agama Kristen melarang perkawinan berbeda

agama antara umat Kristen dengan non Kristen, sama halnya dengan

agama-agama lain yang melarang umatnya melakukan perkawinan

dengan pasangan yang berbeda agama. Jadi menurut ketentuan agama

perkawinan Para Pihak dikategorikan tidak sah. Akan tetapi, karena Para

Pihak melangsungkan perkawinan 2 kali dengan mengikuti ketentuan

masing-masing agama yang dianut, jadi sulit untuk menetapkan sah atau

tidaknya perkawinan Para Pihak. Sebab, boleh jadi pada saat

melangsungkan perkawinan keduanya bergantian melepaskan ketentuan

agama yang dipegang dan mengikuti ketentuan agama yang dianut

105
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung:
Mizan, 2005), hlm. 61.
106
ibid, hlm. 46.
97

pasangan agar perkawinan dapat dilangsungkan. Jadi di satu kali Para

Pihak melakukan perkawinan menurut ketentuan Islam dan pada

kesempatan lain giliran pihak lainnya yang melepaskan ketentuan dan

status agamanya dengan mengikuti pemberkatan di gereja. Hal ini yang

umum terjadi pada perkawinan antaragama yang dianggap sebagai


107
penyelundupan hukum. Hal ini sebagaimana yang terjadi pula pada

kasus perkawinan antara Deddy Corbuzier dan Kalina, pada awal tahun

2005 yang lalu di mana keduanya melangsungkan perkawinan dua kali

dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing dan

perkawinannya dengan tata cara 2 agama yang berbeda pula. 108

c. Hak Waris
Dengan dilangsungkannya suatu perkawinan otomatis akan

menimbulkan ikatan lahir batin antara kedua mempelai dan juga

timbul hubungan kekerabatan di antara keluarga kedua belah pihak.

Selain itu, yang paling utama adalah timbulnya ikatan nasab dan hak

saling mewarisi di antara suami-istri dengan anaknya dan hubungan

waris di antara suami-istri dan anak dengan anak. Hal ini berdasarkan

ketentuan Pasal 832 KUHPerdata bahwa: “Menurut undang-undang

yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik

yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dari

107
Prasetyo Ade Witoko, dan Ambar Budhisulistyawati, "Penyelundupan Hukum
Perkawinan Beda Agama di Indonesia," Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, vol. 7, no. 2,
2019, hlm. 255.
108
Taroman Pasyah, "Penyelundupan Hukum Dalam Hukum Perkawinan Beda Agama di
Indonesia; Kajian Dalam Perspektif Fiqh Islam dan Undang-Undang Perkawinan," Simbur Cahaya
vol. 28, no.1, 2021, hlm. 152.
98

suami atau isteri yang hidup terlama menurut peraturan-peraturan berikut

ini.” Selanjutnya, dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam

(KHI) menyatakan bahwa: “Ahli waris adalah orang yang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk

menjadi ahli waris”.

Dengan dilangsungkannya perkawinan antaragama oleh Para Pihak

otomatis menimbulkan perikatan di antara mereka serta anak mereka kelak.

Perikatan ini membawa konsekuensi dan pertanyan tentang apakah anak

hasil perkawinan mereka bisa mendapatkan harta warisan dari orang tuanya

maupun sebaliknya, ataukah tidak? Jika melihat pada ketentuan Pasal 171

huruf c KHI, terdapat klausul yang menyebutkan bahwa: “beragama Islam

dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris,”. Artinya,

menurut pasal tersebut, yang berhak menjadi ahli waris (apabila pewaris

beragama Islam) adalah ahli waris yang beragama Islam pula (seagama

dengan pewaris).109 Akibatnya, apabila hubungan antara pewaris dan ahli

waris adalah tidak seagama, maka terdapat halangan (ḥijāb) untuk saling

mewarisi (tidak bisa mendapatkan harta warisan).

Konsekuensi dari perkawinan antaragama terhadap agama anak dan

kewarisannya adalah anak-anak hanya akan seagama dengan salah satu dari

kedua orang tuanya bahkan bisa saja menganut agama lain selain yang

109
Hasnan Hasbi, "Analisis Hak Mewaris Anak Yang Lahir dari Perkawinan Beda Agama,"
Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, vol. 21, no. 1, 2018, hlm. 42.
99

dianut oleh kedua orang tuanya. Apabila ada anak yang seagama dengan

bapak atau ibunya saja, maka ia hanya akan mendapatkan hak kewarisan

dari bapak atau ibunya saja yang seagama, sehingga ia bila ia memiliki

saudara berbeda agama, anak akan berhadapan dengan saudaranya yang

beda agama. Hal ini menimbulkan masalah keadilan dimana anak yang

seagama akan mendapatkan hak kewarisan sedangkan saudara kandungnya

yang beda agama tidak mendapatkan hak kewarisan.110

Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris

antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-

muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan tentang kebolehan

pemberian harta antar orang berbeda agama yang dapat dilakukan dalam

bentuk hibah, wasiat dan hadiah.111 Hal tersebut mengacu pada ketentuan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005

tentang Kewarisan Beda Agama, yang menetapkan bahwa:

1) Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi

antara orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan

non-muslim).

2) Pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat

dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

110
Mardalena Hanifah, "Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan," Soumatera Law Review vol. 2. no. 2 , 2019, hlm. 306.
111
Alvi Lailla Choyr, “Studi Komparatif Hak Waris Anak Beda Agama Menurut Hukum
Islam dan Hukum Perdata,” Skripsi Tidak Diterbitkan, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2019,
hlm. 44.
100

Lain dengan ketentuan dalam Islam sebagaimana yang tercantum

dalam KHI, dalam KUHPerdata –yang biasa dipergunakan oleh umat

non-muslim sebagai dasar pembagian harta warisan– tidak menyebutkan

dan mengatur pembagian waris bagi pewaris-ahli waris yang menganut

agama berbeda. Dalam Pasal 838 KUHPerdata hanya menyebutkan

tentang hal-hal yang menjadi penghalang dan menggugurkan seorang

ahli waris menerima warisan, yaitu:

1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah

membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal;

2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena

secara fitnah telah mengajukan pengajuan terhadap si yang

meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan suatu

kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun

lamanya atau hukuman yang lebih berat;

3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah i

yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan

surat wasiat si yang meninggal.

Kesimpulannya, jika melihat ketentuan hukum Islam hubungan

waris-mewarisi pada perkawinan antaragama di antara suami-istri-anak

adalah gugur dan terhalang bagiannya jika di antaranya terdapat

perbedaan agama. Sedangkan, menurut KUHPerdata hubungan

kewarisan di antara suami-istri-anak tidak menjadi penghalang sehingga


101

dimungkinkan peruntukannya bagi ahli waris beda agama untuk

mendapatkan harta warisan dari pewaris.


102

BAB IV
KEPASTIAN HUKUM PERKAWINAN ANTARAGAMA

Keluarga merupakan institusi sosial terkecil yang membentuk suatu

masyarakat yang terbentuk melalui proses sakral yang dikenal sebagai perkawinan.

Keniscayaan penciptaan manusia yang memiliki hakikat berpasang-pasangan

mendorong manusia untuk melangsungkan perkawinan. Pelaksanaan perkawinan

sendiri selalu berkaitan erat dengan agama karena merupakan salah satu bentuk

peribadatan yang diatur tersendiri dalam agama. Oleh sebab itu, seseorang yang

melangsungkan perkawinan adalah orang yang telah memenuhi syarat-syarat dan

ketentuan yang ditetapkan oleh agama yang dianutnya. Sejalan dengan itu, dalam

konstruksi hukum Indonesia, pada ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 2

Undang-Undang Perkawinan, perkawinan yang dikatakan sah dan diakui adalah

perkawinan yang dicatat dan sesuai dengan ketentuan agama para mempelai.

Keabsahan perkawinan sesuai yang tercantum dalam pasal tersebut menjadi

pertanyaan besar ketika kedua mempelai menganut agama yang berbeda yang

umum dikenal dengan perkawinan antaragama (interfaith marriage). Perkawinan

antaragama, sebagai bentuk perkawinan di mana dua individu dengan keyakinan

agama yang berbeda bersatu dalam suatu ikatan perkawinan. Pelaksanaan

perkawinan ini kemudian menuai polemik bahkan penolakan keras dari berbagai

tokoh agama dan masyarakat karena pelaksanaannya yang dinilai tidak lazim

dengan kebiasaan yang telah ada dan diatur oleh agama dan negara.
103

A. Kekosongan Hukum Perkawinan Antaragama di Indonesia

Dalam koridor hukum Islam, perkawinan antaragama telah menjadi

diskursus hangat dengan mengklasifikasinya menjadi beberapa pendapat:

mengharamkan secara mutlak, membolehkan asal dengan perempuan Ahl al-Kitāb,

dan ada yang membolehkan sepanjang memenuhi tujuan perkawinan. Dalam

bingkai hukum Indonesia yang secara sosiologis memiliki keragaman masyarakat

dan pluralitas agama, perkawinan antaragama pun sama menuai polemik. Polemik

tersebut berkisar pada keabsahan dan pencatatan perkawinan antar umat berbeda

agama dan keyakinan. Polemik terjadi karena terjadi ambiguitas pada hukum

perkawinan agama dalam konstruksi hukum Indonesia. Ambiguitas hukum dan

norma perkawinan antaragama dalam peraturan perundang-undangan yang ada

selama inilah yang memberikan celah hukum kepada pasangan beda serta

keyakinan untuk dapat memperoleh pengakuan terhadap keabsahan pencatatan

perkawinannya melalui penetapan pengadilan.

Term ambiguitas secara literal bermakna lebih dari satu, sehingga kadang-

kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya bagi si

pendengar maupun pembaca. Ambiguitas memiliki implikasi yang cenderung

negatif yang berakibat pada kesalahan dalam memaknai suatu tuturan sehingga

menimbulkan kesalahpahaman yang berkepanjangan. Ambiguitas ini tidak serta

merta bisa diabaikan, terkhusus menyangkut persoalan penting seperti

permasalahan hukum. Seperti diketahui, bahwa salah satu bentuk hukum tertulis

adalah undang-undang yang cara penyampaiannya melalui kata dan bahasa. Bahasa

yang digunakan di dalam perundang-undangan haruslah bahasa yang baik dan


104

benar, sehingga dapat menyampaikan peraturan-peraturan hukum dengan jelas dan

pasti. Jika terdapat ambiguitas atau penafsiran ganda dalam penulisan undang-

undang, maka dengan sendirinya tujuan dari undang-undang sebagai penyampai

hukum secara tertulis, dipastikan tidak akan tercapai. Penafsiran makna yang

berbeda di dalam sebuah undang-undang, secara pasti dapat menimbulkan adanya

penerapan peraturan hukum yang berbeda pula.112 Pada perkawinan antaragama,

ambiguitas membawa implikasi pada rancunya norma antara hukum perkawinan

dan hukum administrasi, termasuk putusan pengadilan sebelumnya tentang

perkawinan antaragama. Ketidakjelasan ini kemudian menimbulkan kebingungan

dan kesulitan dalam mengatur praktik perkawinan antaragama dan menyebabkan

perbedaan penafsiran dan praktik di berbagai daerah di Indonesia.

Ambiguitas hukum perkawinan antaragama berkutat pada legalitas hukum

pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Dalam Pasal 2 UU Perkawinan, negara hanya

mensyaratkan sahnya perkawinan pada dua aspek, yakni perkawinan wajib

dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan perkawinan harus dilakukan

menurut agama masing-masing pasangan. Maksud pelaksanaan menurut agama

masing-masing pasangan dalam UU Perkawinan, kemudian menimbulkan tafsiran

liar ketika hukum agama atau kepercayaan yang dianut oleh pasangan tersebut

berbeda. Maka, secara tersirat, pemahaman perbedaan kedua hukum agama atau

kepercayaan itu harus dipenuhi semua yang berarti pelaksanaannya satu kali

menurut hukum agama atau kepercayaan calon laki-laki dan satu kali lagi menurut

112
Mustika, Tria Putri, Charlina Charlina, dan Mangatur Sinaga, Ambiguitas Dalam UU RI
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Jurnal Online Mahasiswa, vol. 3, No. 2, 2016,
hlm. 3.
105

hukum agama atau kepercayaan dari calon yang perempuan.113 Selain itu, tentang

term “perkawinan antaragama” atau istilah yang setara dengannya tidak diatur di

dalam UU tersebut, pun perihal kebolehan dan atau larangannya. Negara

menyerahkan secara penuh tentang kebolehan perkawinan tersebut pada agama

masing-masing pasangannya dan tidak mencatatkan langsung aturan dan istilahnya

di dalam undang-undang.

Dalam aturan lain, pada Pasal 35 huruf (a) UU Administrasi Kependudukan,

terkait perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan pada penjelasannya memberi

penafsiran bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang dilakukan

antar-umat yang berbeda agama. Artinya, bertentangan dengan ketentuan pasal

pasal 20 ayat 2 UU ini secara pasti mengakui praktik perkawinan antaragama

dengan menyerahkan wewenang penerapannya pada Pengadilan Negeri untuk

memeriksa dan memutusnya.

Ketiadaan pengaturan perkawinan antaragama yang jelas inilah yang

kemudian menimbulkan celah dan kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam

konstruksi hukum dan perundang-undangan Indonesia. Kekosongan hukum secara

teoritis disebabkan pesatnya perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada

perkembangan peraturan perundang-undangan.114 Selain itu, faktor lainnya

disebabkan pihak yang berwenang melakukan penyusunan peraturan perundang-

undangan baik oleh legislatif maupun eksekutif memerlukan waktu yang lama,

sehingga saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka keadaan

113
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 95.
114
Hario Mahar Mitendra, "Fenomena dalam Kekosongan Hukum," Jurnal Rechtsvinding
vol.1, 2018, hlm. 1.
106

dan hal-hal yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk

diterapkan seiring dinamisnya kehidupan masyarakat. Pada kasus perkawinan

antaragama, tidak adanya pengaturan yang secara tegas dan eksplisit dalam

Undang-Undang Perkawinan termasuk pencatatannya mengakibatkan terjadinya

kekosongan dan ketidakpastian hukum. Kekosongan hukum, menurut Hans Kelsen

diungkapkan sebagai perselisihan hukum yang tidak bisa diselesaikan sesuai

dengan norma yang berlaku karena undang-undang tidak memiliki ketentuan secara

khusus tentang sebuah kasus dan karena hal tersebut hukum tidak bisa diterapkan

padanya.115 Akar kekosongan hukum disebabkan pembuat undang-undang sama

sekali tidak mempertimbangan sebuah tindakan ataupun perbuatan hukum untuk

diatur dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pertentangan norma yang

berlaku di masyarakat. Jika dipaksa untuk diatur secara konstitusional

memungkinkan aturan yang dikeluarkan tidak relevan dan bahkan bisa jadi

menerapkan norma yang berbeda dari norma yang biasa dipertimbangkan dalam

perbuatan hukum/kasus tersebut.

Larangan perkawinan antaragama, dalam Islam misalnya, secara global

telah disepakati oleh para ulama dengan menyandarkan pendapat pada Al Baqarah

(2): 221.116 Selain itu juga dalam ajaran Kristen Katolik perkawinan antaragama

dilarang berdasarkan I Korintus 6: 14-18. Dalam agama Kristen Protestan, Alkitab

Perjanjian Baru Korintus 6: 14, sebenarnya agama Kristen Protestan juga melarang

perkawinan antara orang-orang Kristen Protestan dengan yang bukan Kristen

115
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Terjemahan Siwi Purwandari, (Bandung: Penerbit
Nusa Media, 2015), hlm. 130.
116
Aulil Amri, "Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam", Media
Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol. 22, No. 1, 2020, hlm. 53.
107

Protestan. Akan tetapi, di sisi lain perkawinan yang dilangsungkan di Kantor

Catatan Sipil saja oleh umat Kristen Protestan dianggap sebagai perkawinan yang

sah, walaupun tidak diberkati dan diteguhkan di gereja, sehingga pendapat tersebut

cenderung membolehkan adanya perkawinan antaragama.117 Jika melihat

kecenderungan masyarakat norma agama yang berlaku di masyarakat, perkawinan

antaragama dianggap sebagai satu perbuatan yang abnormal dan lain dari ketentuan

yang selama ini dipegang teguh umat beragama di Indonesia. Karena dalam

undang-undang, yang menjadi norma hukum yang genuine dan mengikat bagi

seluruh rakyat Indonesia tidak ada aturan yang secara implisit mengatur tentang

praktiknya, baik itu kebolehan larangan maupun ketentuan lainnya menyebabkan

keputusan pengesahan dan pencatatan perkawinan antaragama tidak bisa dikatakan

secara bulat menyalahi hukum dan norma yang ada.

Kekosongan hukum yang terjadi pada praktik perkawinan antaragama dapat

dipahami karena terjadi perbedaan antara hukum positif dan hukum yang

diinginkan. Dengan kata lain, hukum positif yang memberi celah pengesahan dan

pengakuan praktik perkawinan antaragama berseberangan dengan kehendak

mayoritas warga negara yang menginginkan supaya praktik ini dilarang secara

mutlak. Keadaan inilah yang menyebabkan hukum yang berlaku di masyarakat

tidak memberikan fungsi kepastian hukum.

Menurut Hans Kelsen, kekosongan hukum itu sebenarnya merupakan ilusi

sehingga keadaan tersebut tidak mungkin terjadi dalam tata hukum.118 Saat terjadi

117
Maris, “Analisis atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama yang Dilangsungkan di Luar
Negeri” … hlm. 66.
118
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa'at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Setjen
dan Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 130.
108

kekosongan hukum, hakim adalah pihak yang dimungkinkan untuk diberikan

otoritas untuk memutus perselisihan dengan memberikan satu putusan yang

mengikat dan mampu mengisi kekosongan hukum. Akan tetapi, putusan yang

dikeluarkan oleh hakim hanya mengikat kepada norma individual para pihak yang

bersangkutan dan tidak mengubah norma umum yang berlaku. Artinya keputusan

yang ditetapkan oleh hakim hanya mengikat para pihak dan tidak mengubah norma

umum yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang berlaku pula pada kasus

perkawinan antaragama. Keputusan mengesahkan atau menolak perkawinan

antaragama kemudian jatuh pada kewenangan Pengadilan Negeri sesuai amanat

yang dikeluarkan oleh pasal 20 ayat 2 UU Administrasi Kependudukan.

B. Kepastian Hukum Perkawinan Antaragama dalam Tata Hukum Indonesia

Kekosongan hukum dalam tatanan hukum secara implikatif dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak berfungsinya hukum sebagaimana

mestinya di dalam praktik merupakan masalah serius, baik bagi rakyat biasa

maupun penguasa.119 Hukum harus difungsikan dan diselenggarakan sebagaimana

mestinya untuk mewujudkan kepastian hukum, keadilan sosial, dan otentitas.

Ketidakpastian hukum dapat membuat individu atau subjek hukum enggan tunduk

pada aturan mengenai perbuatan yang tidak diatur atau dilindungi secara jelas oleh

hukum. Ketidakpastian hukum berakibat pada timbulnya kekhawatiran berkenaan

dengan jaminan, perlindungan, dan keamanan diri tiap individu. Dalam

penerapannya hukum haruslah memberikan kejelasan secara lugas sehingga dapat

119
Jan Michiel Otto, “Kepastian Hukum di Negara Berkembang”, dalam Sulistyowati
Irianto, dkk,. Kajian Sosio-legal, (Denpasar: Pustaka Larasan bekerja sama dengan Universitas
Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 120.
109

dijadikan sebagai pedoman dengan memberikan ketegasan terhadap

keberlakuannya di masyarakat. Kepastian hukum dalam penegakan hukum

bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Selain itu, kepastian hukum

pada dasarnya ditujukan sebagai alat perlindungan secara yuridis bagi individu dari

tindakan kesewenang-wenangan. Artinya, segala tindak tanduk yang berkenaan

dengan dirinya dilindungi secara pasti oleh negara melalui hukum yang diterapkan.

Kegaduhan yang ditimbulkan pasca putusan Pengadilan Negeri Surabaya

tentang penetapan perkawinan antaragama adalah mencerminkan ketidakpastian

hukum undang-undang yang mengatur hal tersebut. Ketidakpastian hukum

perkawinan antaragama mengacu pada ketidakjelasan pengaturannya dalam

Undang-Undang Perkawinan sehingga menimbulkan penafsiran liar tentang

kebolehan ataupun larangannya. Di sisi lain, dengan adanya UU No. 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan membuka celah hukum bagi perkawinan

antaragama yang mengatur sisi pencatatannya saja.

Jika merujuk pada syarat terpenuhinya kepastian hukum yang dikemukakan

oleh Jan Michiel Otto, pengaturan hukum perkawinan antaragama di Indonesia

masih jauh dan belum memenuhi asas kepastian hukum. Pertama, tidak tersedianya

aturan yang jelas mengenai perkawinan antaragama. Prasyarat pertama yang

diajukan oleh Jan M. Otto tentang terpenuhinya kepastian hukum dalam sebuah

negara adalah dengan tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan

mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (kekuasaan)

negara. Ketidakjelasan dan inkonsistensi pada aturan hukum perkawinan muncul

akibat adanya pertentangan norma agama serta undang-undang di mana aturan


110

tentang perkawinan antaragama yang dulu diatur dalam Regeling op de Gemengde

Huwelijken (GHR) yang dikenal dengan istilah perkawinan campuran tidak diatur

sama sekali dalam undang-undang. Salah satu permasalahan utama ketidakpastian

hukum perkawinan antaragama di Indonesia adalah belum adanya pengaturan yang

tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan UU Administrasi Kependudukan

Nomor 23 Tahun 2006 tidak memberikan pedoman yang jelas mengenai

perkawinan antaragama.

Dalam UU Adminduk, perkawinan antaragama hanya disebutkan dalam

penjelasan pasal yang mengisyaratkan bahwa perkawinan antaragama diakui dalam

ranah administrasi. Selain itu, Mahkamah Agung yang menerbitkan putusan Nomor

1400/K/Pdt/1986 yang dijadikan sebagai yurisprudensi tentang penetapan

perkawinan antaragama, kemudian menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili

Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda

Agama dan Kepercayaan yang mana isinya melarang hakim-hakim di bawah

naungan Mahkamah Agung untuk menolak penetapan perkawinan antaragama

mencerminkan inkonsistensi pada diri pengadilan.

Selain itu terdapat penafsiran yang bertentangan antara Pasal 2 ayat 1 UU

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang dianggap melarang perkawinan

antaragama, dipertanyakan sejak berlakunya Undang-undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang memperbolehkan pencatatan

perkawinan antaragama dengan penetapan pengadilan. Hal ini tentu bertentangan


111

dengan prasyarat kepastian hukum yang mengharuskan negara menerapkan aturan

hukum dengan cara yang konsisten yang dapat ditaati sehingga warga negara

tunduk dan taat kepadanya.

Selanjutnya, terdapat inkonsistensi undang-undang dengan norma agama,

dengan adanya penetapan dari pengadilan dalam UU Administrasi Kependudukan

Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 (a) yang membolehkan pengesahan perkawinan

oleh pengadilan ternyata bertentangan dengan norma yang sudah tertulis dalam UU

Perkawinan yang secara tersirat tidak mengakui perkawinan antaragama. Pada

ketentuan yang disebut terakhir, hal tersebut telah diakui dan dijalankan oleh

mayoritas warga negara Indonesia. Dengan melihat kenyataan ini, maka syarat

aturan perkawinan antaragama yang memiliki prinsip sama dan dapat disetujui

muatan yang ada pada muatan isinya tidak dapat terpenuhi. Konsekuensinya,

supaya memberi kepastian hukum, maka pengaturan perkawinan antaragama patut

ditinjau kembali.

Pada syarat tentang hakim peradilan memiliki sifat yang mandiri, artinya

hakim tidak berpihak dalam menerapkan aturan hukum secara konsisten ketika

hakim tersebut dapat menyelesaikan hukum secara nyata tidak terpenuhi dengan

keluarnya Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang secara tegas

melarang hakim-hakim mengesahkan perkawinan antaragama. SEMA yang

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ini bertentangan dengan putusan MA sendiri

yang lebih dulu keluar (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986) yang

menjadi tonggak awal yurisprudensi pengesahan dan pencatatan perkawinan

antaragama.
112

Terakhir, tentang keputusan dari peradilan dapat secara konkrit

dilaksanakan agaknya bisa di tengok dari beberapa putusan Pengadilan yang

mengesahkan perkawinan anataragama dapat ditaati oleh pihak-pihak yang terkait

pada amar putusan. Artinya hal ini mencerminkan putusan yang dikeluarkan hakim

dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang terlibat sehingga putusan hakim

memberikan nilai kepastian.

Dari keseluruhan penilain dapat dilihat kurangnya kepastian hukum pada

perkawinan antaragama di Indonesia. Hal ini bisa saja menimbulkan kekhawatiran

terhadap perlindungan hak-hak individu, termasuk hak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan perlakuan adil di bawah hukum, serta hak atas kepastian hukum.

Artinya, penting untuk meninjau kembali pengaturan hukum mengenai perkawinan

antaragama guna memastikan bahwa prinsip-prinsip kepastian hukum dapat

dijamin dan bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku dapat diputuskan oleh pihak-

pihak yang terlibat. Hal ini akan membantu terciptanya kepastian hukum yang lebih

kuat dan konsisten dalam hal perkawinan antaragama di Indonesia.

C. Pembaruan Hukum Perkawinan Antaragama

Melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang begitu pesat dengan

pluralisme agama dan budayanya, semakin membuka wajah hukum yang

mengalami “ketertinggalan” khususnya tentang persoalan perkawinan antaragama

dalam Undang-Undang Perkawinan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya

penyempurnaan terkait perkawinan antaragama dalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun –bagi orang muslim– Kompilasi Hukum

Islam telah mengatur perkawinan antaragama, tapi secara hierarki perundang-


113

undangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya dimuat dalam bentuk Instruksi

Presiden (tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), bukanlah undang-undang maupun

turunannya sehingga tidak memberikan kepastian hukum. Oleh sebab itu, supaya

lebih memiliki kekuatan hukum yang mengikat, seharusnya Undang-Undang

Perkawinan dilakukan perubahan baik itu pada tatanan penambahan pasal, revisi

pasal, maupun penjelasan lebih lanjut tentang pasal-pasal.

Untuk melakukan perubahan dan harmonisasi pada undang-undang

tersebut, langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan perkawinan

antaragama secara sosiologis adalah dengan mengubah dan menyesuaikan norma-

norma yang ada di masyarakat. Nilai-nilai yang cenderung problematik harus

dikonstruksikan secara seragam dalam kehidupan bernegara supaya timbul

harmonisasi norma dengan peraturan perundang-undangan yang diterapkan. Cara

yang bisa ditempuh pada tatanan masyarakat adalah dengan melakukan sosialisasi

dan edukasi tentang pentingnya menjaga nilai-nilai kebersamaan antar umat

berbeda agama. Secara lebih substantif dapat dengan mengembangkan tafsir agama

yang konstruktif dan tidak kontroversial dalam melihat aplikasi ajaran agama dalam

kehidupan bernegara. 120

Secara politis, langkah pembaruan konstruk pemikiran perkawinan

antaragama dalam tatanan hukum adalah dengan memperkuat posisi daya tawar

120
Sri Wiyanti Eddyono, “Perkawinan Campuran Antar Agama: Hukum Kolonial dan
Kekinian”, dalam Maria Ulfah Ansor dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan
Lintas Agama, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hlm. 112.
114

(bargaining power) dalam proses legislatif maupun dalam kehidupan masyarakat

tentang penguatan kelompok minoritas menjadi kelompok mayoritas. Maksudnya,

dengan semakin banyaknya kelompok atau pihak yang memperjuangkan

pengaturan dan maupun legalitas perkawinan antaragama, maka suara dan daya

tawar dalam perumusan legislasi selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk diatur

di dalamnya.121 Dengan semakin masifnya pihak yang memperjuangkan pula akan

menunjukan bahwa hukum yang ada kurang bisa memenuhi rasa keadilan dan

kemanfaatan bagi masyarakat banyak. Hal ini membawa konsekuensi logis bagi

pemerintah untuk mau tidak mau merumuskan satu tata aturan dan kebijakan baru

yang lebih bisa menjamin pemenuhan hak dan memberikan kepastian hukum bagi

masyarakat.

Dalam tatanan hukum, langkah pembaruan hukum yang dapat ditempuh

adalah melalui harmonisasi norma pada undang-undang, khususnya UU Adminduk

yang berkorelasi langsung dengan UU Perkawinan. Tentang perkawinan

antaragama, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyiratkan bahwa perkawinan yang sah adalah jika dilakukan

menurut agama dan kepercayaannya serta larangan melaksanakan hubungan

perkawinan bila agamanya melarang untuk itu. Pasal 35 huruf (a) di UU Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) secara kontras

memberikan ruang untuk perkawinan antaragama dengan alasan menyediakan hak

administrasi warga negara tanpa diskriminasi. Dalam tata aturan dan hierarki yang

berbeda ada Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang secara tegas

121
Sri, “Perkawinan Campuran Antar Agama: Hukum Kolonial dan Kekinian”,... hlm. 112.
115

melarang hakim-hakim mengesahkan perkawinan antaragama yang sejalan dengan

putusan MK yang menolak uji materi UU Perkawinan soal pengesahan perkawinan

antaragama di Indonesia. Hal ini merespon banyaknya pengesahan perkawinan

antaragama oleh hakim yang utamanya menyandarkan putusannya pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 yang menjadi tonggak awal

yurisprudensi pengesahan dan pencatatan perkawinan antaragama. Oleh karena itu,

disharmoni antar undang-undang dan aturan lain ini perlu dilakukan penyelarasan

norma supaya kebolehan maupun larangannya jelas disebutkan baik dalam UU

Perkawinan dan UU Adminduk sebagai pokok aturan utama.

Pertentangan ini patutnya diselesaikan melalui harmonisasi norma antara

hukum perkawinan dan hukum administrasi, serta putusan hakim terdahulu dengan

dasar pegangan pada konstitusi yang mengatur soal agama dan hak asasi manusia

yang genuine di Indonesia. Harmonisasi peraturan perundang-undangan sebagai

subsistem hukum dalam sistem hukum nasional penting terlaksana supaya norma-

norma hukum dalam peraturan peraturan-undangan tidak saling bertentangan dan

tumpang tindih. Dengan kata lain, norma-norma hukum dalam peraturan

perundang-undangan harus saling mendukung dan tidak boleh saling bertentangan,

sehingga hukum yang tumpang tindih dapat diminimalkan.

Harmonisasi bisa dilakukan melalui dua cara pengujian (review), yakni:

legislative review (revisi undang-undang) oleh DPR dan judicial review (pengujian

undang-undang) ke Mahkamah Konstitusi. Harmonisasi melalui legislative review

–mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan oleh DPR selaku lembaga

legislatif– dilakukan terhadap undang-undang dan peraturan pengganti undang-


116

undang (Perppu) dengan didasarkan atas ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD

1945 yang menjelaskan peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam

pembentukan undang-undang di Indonesia. Dengan jalur legislative review DPR

diwajibkan membuka ruang aspirasi publik atau mendengarkan pendapat dari

berbagai unsur masyarakat. Legislative review dimaksudkan DPR untuk

memperbaiki kinerja dalam pembuatan UU dan memperbaiki kesalahan seperti

halnya dalam pembentukan UU Omnibus Law (UU Ciptakerja). Legislative review

bisa dijadikan sebagai jalan tengah sekaligus koreksi atas pengambilan keputusan

persetujuan produk undang-undang yang dianggap cacat hukum. Langkah ini perlu

dilakukan supaya kepentingan-kepentingan substantif dari masyarakat yang belum

termuat dalam undang-undang, seperti perkawinan antaragama dapat

terakomodasikan dalam undang-undang baru.

Selanjutnya, mekanisme peninjauan lewat Mahkamah Konstitusi (judicial

review) dapat dilakukan sebagai cara logis peninjauan UU Adminduk maupun UU

Perkawinan selain legislative review. Judicial review merupakan mekanisme

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan oleh pengadilan dengan objek

pengujiannya adalah peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih

tinggi. Perbedaannya dengan legislative review hanya terletak pada subjek yang

melakukan review yang erat kaitannya kewenangan yang melekat kepada lembaga

negara tersebut. Dengan mekanisme judicial review, pihak yang berkepentingan

terhadap perkawinan antaragama yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan

oleh MK dapat mengajukan permohonan secara tertulis. Di mana di dalamnya

memuat identitas pemohon, identitas terpidana, alasan permohonan, serta bukti-


117

bukti yang mendukung permohonan. Setelah permohonan diterima, MK akan

memeriksa permohonan dan memutuskan apakah permohonan dapat diterima atau

tidak. Dalam konteks perkawinan antaragama, pengajuan judicial review oleh MK

memiliki peran penting agar memberikan kepastian hukum pada pengaturan

perkawinan anataragama. Hal ini diperlukan melihat perubahan lanskap sosial dan

budaya di Indonesia yang secara logis rawan terjebak pada kasus perkawinan

antaragama. Dengan ada perbaikan pada undang-undang diharapkan memberikan

solusi komprehensif yang mengakomodasi keabsahan hukum perkawinan serta

hubungannya dengan norma agama dan keyakinan pihak-pihak yang terlibat.


118

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari data-data dan argumentasi yang telah diungkapkan pada bab-bab

sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Dalam Islam, diskursus perkawinan antaragama terbagi ke dalam 3 kutub

pendapat. Pertama, pendapat mayoritas yang mengharamkan secara mutlak

dengan menyandarkan pada Q.S. al-Baqarah ayat 221 yang berisi larangan

perkawinan antara muslim dengan orang yang tidak beragama Islam (non-

muslim) dan dengan kategori musyrik/musyrikah dan Ahl al-Kitāb

Larangan ini berlaku bagi perempuan maupun laki-laki muslim. Kedua,

membolehkan dengan syarat perkawinan dilaksanakan laki-laki muslim

dengan perempuan Ahl al-Kitāb (Yahudi dan Nasrani). Ketiga,

membolehkan perkawinan anataragama baik perempuan maupun laki-laki

muslim selama masih dalam batas-batas untuk mewujudkan tujuan

perkawinan.

2. Tentang kasus perkawinan antaragama dengan nomor perkara

916/Pdt.P/2022/PN Sby, PN Surabaya memutuskan untuk mengesahkan

permohonan Para Pihak atas pertimbangan: terjadinya kekosongan hukum

yang mengatur perkawinan anataragama; pertimbangan keterangan para

saksi; pertimbangan bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan

untuk melangsungkan perkawinan; pertimbangan hak kebebasan beragama;

pertimbangan hak membentuk keluarga; serta pertimbangan persetujuan


119

dan restu orang tua kedua mempelai. Putusan Hakim tersebut berimplikasi

pada sahnya perkawinan Para Pihak di hadapan negara, sahnya status anak

yang dihasilkan dari perkawinan dan nasabnya bersambung ke ayahnya.

Dari segi kewarisan, status kewarisan di antara suami-istri dan anak secara

Islam hanya dapat saling mewarisi antara pewaris dan ahli waris yang satu

agama saja. Artinya anak dimungkinkan mendapatkan warisan dari orang

tuanya jika anak beragama sama dengan ibu atau bapaknya, sementara

suami dan istri karena halangan perbedaan agama, tidak bisa saling

mewarisi. Akan tetapi, jika Para Pihak menggunakan pembagian harta

warisan dengan perspektif KUHPerdata (yang tidak mengatur tentang

pembagian waris antara pewaris dan ahli waris yang berbeda agama), maka

baik suami, istri, dan anak bisa saling mewarisi satu sama lain.

3. Jika dinilai dari tata hukum dan tujuan penerapan hukum, maka aturan

perkawinan anataragama tidak memberikan nilai kepastian di masyarakat.

Hal ini disebabkan terjadinya kekosongan hukum yang mengakibatkan

ketidakpastian hukum di masyarakat. Ketidakpastian hukum perkawinan

anataragama dikarenakan: aturan hukum yang disediakan inkonsisten, tidak

adanya kesamaan prinsip yang dapat disetujui semua pihak, hukum yang

ada tidak dapat ditaati secara penuh; serta adanya disharmoni norma antar

undang-undang yang berlaku. Ketidakpastian hukum perkawinan

antaragama ini bisa diselesaikan dengan jalan harmonisasi norma antara

Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan, baik dengan jalan legislatif review maupun judicial review.


120

B. Saran dan Rekomendasi

1. Bagi para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan antaragama,

diharapkan berkonsultasi dengan tokoh atau pemuka agama dan konselor

untuk memahami hukum dan aturan perkawinan antaragama dalam

agamanya masing-masing. Pastikan bahwa perkawinan dilakukan dengan

penuh kesadaran dan keikhlasan, serta dengan memperhatikan hak dan

kewajiban masing-masing pasangan serta konsekuensi perkawinan terhadap

keberlangsungan rumah tangga kelak serta akibat-akibat yang

dimungkinkan dari perkawinan tersebut.

2. Bagi para pihak yang berkepentingan pada perkawinan antaragama untuk

melakukan pengujian (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi pada pasal-

pasal yang dimungkinkan untuk diselaraskan baik itu pada UU Adminduk

maupun UU Perkawinan.

3. Karena adanya ketidakpastian hukum perkawinan antaragama dalam

undang-undang, maka DPR harus meninjau dengan segera relevansi norma

Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan supaya terbentuk harmonisasi norma pada setiap undang-

undang yang dibentuk DPR.

4. Bagi tokoh agama, perlu melakukan penyuluhan tentang perkawinan

antaragama kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat

memperoleh informasi yang lebih jelas tentang baik buruknya perkawinan

antaragama.
121

DAFTAR PUSTAKA

Abror, Khoirul, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, Yogyakarta: Ladang Kata,


2017.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ansor, Maria Ulfah dan Sinaga, Martin Lukito (ed.), Tafsir Ulang Perkawinan
Lintas Agama, Jakarta: Kapal Perempuan, 2004.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 2010.
Asshiddiqie, Jimly dan Safa'at, Ali, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta:
Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, 2006.
Awy, Gus, Dari Jilboobs Hingga Nikah Beda Agama: Islam Q & A, Jakarta: Noura
Books, 2015.
Azam, Abdul Aziz Muhammad, dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah Dan Talak, Terjemahan Abdul Majid Khon,
Jakarta: Amzah, 2015.
Basri, Rusdaya, Fiqh Munakahat 4 Mazhab Dan Kebijakan Pemerintah, Parepare:
Kaaffah Learning Center, 2019.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam: Disertai Perbandingan Dengan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Yogyakarta: UII Press,
1990.
Bruhn, Klaus dan Jankowski, Nicholas W. (ed.), A Handbook of Qualitative
Methodologies for Mass Communication Research, New York: Routledge,
1991.
Dakhi, Agustin Sukses, Perkawinan Beda Agama (Suatu Tinjauan Sosiologi),
Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Departemen Agama Indonesia, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. 1991.
Efendi, A’an, dkk., Teori Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.
Fauzan, M., Peranan Perma & Sema Sebagai Pengisi Kekosongan Hukum
Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan Yang Agung, Jakarta: Prenada,
2013.
Friedman, Lawrence Meir, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Terjemahan M.
Khozin, Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009.
122

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Muamalat, Jakarta: Prenada Media, 2016.


Irianto, Sulistyowati, dkk.., Kajian Sosio-legal, Denpasar: Pustaka Larasan bekerja
sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas
Groningen, 2012.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Cetakan Keempat, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2017.
Ja’far, Khumedi. Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga Dan
Bisnis, Jakarta: Gemilang, 2019.
-----, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Bandar Lampung: Arjasa Pratama,
2021.
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, Terjemahan Siwi Purwandari, (Bandung:
Penerbit Nusa Media, 2015.
Kharlie, Ahmad Tholabi, dkk, Kodifikasi Hukum Keluarga Islam Kontemporer:
Pembaruan, Pendekatan, Dan Elastisitas Penerapan Hukum, Jakarta:
Prenada Media, 2020.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2022.
Kodir, Faqihuddin Abdul, Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan
Gender dalam Islam, cetakan ke-iv, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021.
Kosim, Fikih Munakahat I: Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam Dan
Keberadaannya Dalam Politik Hukum Indonesia, Depok: Rajagrafindo
Persada, 2019.
Latifah, Anthin, Hukum Perkawinan Beda Agama Perspektif Teori Sosial Kontrak,
Mutiara Aksara, 2020.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 2020.
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan ke-33, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2014.
Monib, Mohammad, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,
Bandung: Summits Books 2005.
Munawwir, Ahmad Warson, et al., Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
123

Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan


Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974, Sampai KHI, Jakarta : Kencana,
2004.
Sarong, A. Hamid, dan Hasnul Arifin Melayu, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia, Banda Aceh: Yayasan PeNA Divisi, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Kerahasiaan Al-Qur’an,
Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2009.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta,
2013.
Sulistiani, Siska Lis, Hukum Perdata Islam: Penerapan Hukum Keluarga Dan
Hukum Bisnis Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2022.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
TEMPO, Pusat Data dan Analisa, Perkawinan Beda Agama : Dalam Perspektif
Hukum, Jakarta: Tempo Publishing, 2019.
Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustaka Karya,
2006.
Wahid, Marzuki, Fikih Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia,
Bandung: Penerbit Marja, 2014.
Wahyuni, Sri, Nikah Beda Agama: Kenapa Ke Luar Negeri?, Tanggerang: Pustaka
Alvabet, 2017.

Artikel Jurnal
Amir, Rahma, Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Perspektif Hukum Islam,
Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, vol. 6, no. 1, Juni
2019.
Amri, Aulil, “Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Dan Hukum
Islam.” Media Syari’ah, vol. 22, no. 1, Mei 2020.
Anam, Ach Dlofirul, "Landasan Aksiologi Kebebasan Hakim dalam Memutus
Perkara Tinjauan Keadilan Substantif," An-Nawazil: Jurnal Hukum dan
Syariah Kontemporer Vol. 1.no. 02, 2019.
124

Arifin, Zainal, “Perkawinan Beda Agama,” Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman,


vol. 2, no. 2, Oct. 2018.
Cahaya, Nur, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam,” Hukum
Islam, vol. 18, no. 2, 2019.
Hakim, Anwar, dan Ridhokimura Soderi, “Analisis Putusan MA Perkara No
916/Pdt.P/2022/PN.Sby Dalam Mengabulkan Permohonan Pencatatan Nikah
Beda Agama Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun
1974”, Berasan: Jurnal Hukum Perdata Islam Vol. 1 No.1, 2022.
Hanifah, Mardalena,. "Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," Soumatera Law Review vol. 2.
no. 2, 2019
Hartanto, Dwiyana Achmad, “Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Positif
Dan Hukum Agama Di Indonesia,” Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum Dan
Hukum Islam, vol. 10, no. 2, 2019.
Hasbi, Hasnan, "Analisis hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda
agama." Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum, vol. 21, no. 1, 2018.
Hidayati, Annisa, “Analisis Yuridis Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Tinjauan
Terhadap Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang
Administrasi Kependudukan),” Jentera Hukum Borneo, vol. 5, no. 02, 2022.
Indratanto, Samudra Putra, dkk, Asas Kepastian Hukum Dalam Implementasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Berbentuk Peraturan Lembaga Negara Dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.
16, no. 1, 2020.
Kurnia, Dedeh, dan Zubaedah, Rahmi, “Analisis Yuridis Terhadap Pelegalan
Pernikahan Beda Agama", QISTIE, Vol.15, No. 2, 2022.
Kurniawan, A, “Regulasi Nikah Beda Agama di Indonesia: Tinjauan Terhadap
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jurnal Hukum
dan Pembangunan,” Vol. 48, No.1, 2018.
Mariani, Mariani, “Kedudukan Perkawinan Beda Agama Dan Perkawinan
Campuran Di Indonesia,” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Keislaman Vol. 19, No. 1, 2020.
Mitendra, Hario Mahar, "Fenomena dalam Kekosongan Hukum," Jurnal
Rechtsvinding vol. 1, no. 1, 2018.
Muhaimin, A. G., “Nikah Beda Agama: Perspektif Agama dan Hukum di Indonesia.
Jurnal Ilmu Hukum,” Vol. 6, No.1, 2018.
125

Mujahid, Ilham, “Transformasi Fikih Munakahat Tentang Hukum Menikahi


Wanita Ahli Kitab Ke Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 Huruf (C),”
Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, vol. 3, no. 1, 2019.
Musahib, Abd Razak, “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum
Islam,” Jurnal Inovasi Penelitian Vol. 1.No. 11, 2021.
Mustika, Tria Putri, dkk,. “Ambiguitas Dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia,” Jurnal Online Mahasiswa, vol. 3, No. 2, 2016.
Netti, Misra, "Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Bingkai Hukum Keluarga,"
Jurnal An-Nahl, vol. 10, no. 1, 2023.
Nurcahya, dkk., “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum
Islam,” vol. 18, No. 2, 2018.
Palandi, Anggraeni Carolina, “Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia,” Lex Privatum, vol. 1, no. 2, 2013.
Pasyah, Taroman, "Penyelundupan Hukum Dalam Hukum Perkawinan Beda
Agama di Indonesia; Kajian Dalam Perspektif Fiqh Islam dan Undang-
Undang Perkawinan," Simbur Cahaya vol. 28, no.1, 2021.
Puniman, Ach, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974,” Jurnal Yustitia, vol. 19, no. 1, 2018.
Rana, Mohamad, dan Usep Saepullah, “Prinsip-Prinsip Perkawinan (Analisis
Filosofis Implementasi Dalam Meminimalisir Angka Perceraian),”
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam, vol. 6, no. 1, 2021.
Romdhon, Muhammad Rizqi, "Kajian Tafsir Nusantara Terhadap Hukum
Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia," Al-
Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits Vol. 16, No.2, 2022.
Setiyanto, Danu Aris, "Larangan Perkawinan Beda Agama Dalam Kompilasi
Hukum Islam Perspektif Hak Asasi Manusia," Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan
Perundangan Islam vol. 7.no. 1, 2017.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Suryoutomo, Markus, dan Febriharini, Mahmuda Pancawisma, "Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) Hakim Dalam Perkara Perdata Sebagai Aspek Mengisi
Kekosongan Hukum," Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat vol.
18, no. 1, 2020.
Syamsulbahri, Andi, dan M. H. Adama, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-
Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, vol. 2, no.1,
2020.
126

Syarifah, Masykurotus, "Implikasi Yuridis Poligami Bawah Tangan Perspektif UU


No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," Jurnal Yustitia vol.19. no. 1, 2018
Tarring, Anisah Daeng, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Positif
Di Indonesia,” Jurnal Litigasi Amsir, vol. 9, no. 4, 2022.
Teresia, Mira PW dan Harjono, “Studi Tentang Pertimbangan Hakim Yang Tidak
Lengkap (Onvoldoende Gemotiveerd) Sebagai Alasan Permohonan Kasasi
Sengketa Sarang Burung Walet (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor:1609 K/Pdt/2012),” Verstek 9, no. 2, 2021.
Witoko, Prasetyo Ade, dan Ambar Budhisulistyawati, "Penyelundupan Hukum
Perkawinan Beda Agama di Indonesia." Jurnal Hukum Dan Pembangunan
Ekonomi vol. 7, no. 2, 2019.
Wulandari, Septiayu Restu, dan Fitri Siahaan, “Kedudukan Hukum Perkawinan
Beda Agama Dan Kewarganegaraan Di Indonesia,” Jurnal Hukum Pelita Vol.
2. No. 2, 2021.
Yunus, Fakhrurrazi M, dan Zahratul Aini, “Perkawinan Beda Agama Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam),” Media Syari'ah: Wahana Kajian
Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol. 20. No. 2, 2020.
Zahara, Muhyidin Ayu, “Pencatatan Perkawinan Beda Agama (Studi Komparatif
Antara Pandangan Hakim PA Semarang Dan Hakim PN Semarang Terhadap
Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan),” Diponegoro Private Law Review, vol. 4, no.
3, 2019.

Penelitian Ilmiah
Choyr, Alvi Lailla, “Studi Komparatif Hak Waris Anak Beda Agama Menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata,” Skripsi tidak diterbitkan, Institut Agama
Islam Negeri Ponorogo, 2019.
Harirama, Muhammad Rafi Rahmanullah, “Analisis Yuridis Terhadap Perkawinan
Beda Agama Yang Disahkan Oleh Pengadilan Negeri (Penetapan Nomor
916/Pdt. P/2022/PN Sby)", Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Lampung,
2023
Setiabudi, Lysa, "Analisis Perkawinan Beda Agama (Studi Terhadap Putusan
Pengadilan Negri Terkait dengan Izin Perkawinan Beda Agama)," Skripsi
tidak diterbitkan, Universitas Negeri Semarang, 2016.
Soemarno, Maris Yolanda , “Analisis atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama
yang Dilangsungkan di Luar Negeri”, Tesis Tidak Diterbitkan, Universitas
Sumatera Utara, 2009.
127

Peraturan Perundang-undangan dan Aturan Terkait Perkawinan


Antaragama
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim
dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat
Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas Vii/MUI/8/2005 tentang
Perkawinan Beda Agama
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005 tentang
Kewarisan Beda Agama

Sumber Internet
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nadzirotus-sintya-
falady-s-h-cpns-analis-perkara-peradilan-calon-hakim-2021-pengadilan-
agama-probolinggo
https://www.hukumonline.com/berita/a/masalah-hukum-keabsahan-kawin-beda-
agama-di-luar-negeri-hol14922/
https://kemenag.go.id/kolom/larangan-hakim-menetapkan-perkawinan-beda-
agama-beSC4
https://kumparan.com/kumparannews/alasan-dukcapil-surabaya-sempat-tolak-
pencatatan-pasangan-nikah-beda-agama-1yJzl36dC7s/full
http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/09/30/sejarah-terbentuknya-
pengadilan-negeri-di-indonesia-sebelum-terbentuknya-uu-no-14-tahun-
1970-tentang
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220621142844-12-811662/kronologi-
pn-surabaya-kabulkan-permohonan-pernikahan-beda-agama
128

https://harvardilj.org/2021/01/how-to-do-research-in-international-law-a-basic-
guide-for-beginners/
https://hukumonline.com/klinik/a/masalah-pencatatan-perkawinan-beda-agama-
lt528d75a6252d7/
https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-
pJcHS.
https://legal.thomsonreuters.com/en/insights/articles/basics-of-legal-research-
steps-to-follow
https://m.jpnn.com/news/sebegini-jumlah-pasangan-melakukan-pernikahan-beda-
agama-di-indonesia-jangan-kaget-ya
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61897071
https://www.gramedia.com/literasi/teori-kepastian-hukum/
https://www.um-surabaya.ac.id/homepage/news_article?slug=bagaimana-islam-
memandang-pernikahan-beda-agama-ini-penjelasan-dosen-fai-um-surabaya
https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/definisi-dan-macam-macam-hukum-nikah-
pJcHS.
KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kawin.
https://www.mpr.go.id/berita/Kritisi-Berulangnya-
%E2%80%9CPengesahan%E2%80%9D-Perkawinan-Beda-Agama,-HNW-
Minta-Hakim-dan-MA-Dengarkan-Pendapat-MUI-dan-Ikuti-Putusan-MK
129

LAMPIRAN PUTUSAN
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
130
putusan.mahkamahagung.go.id

PENETAPAN
No mor 916 /Pdt.P/2022/PN.Sby.
DEMI KEADILAN BERD ASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
permohonan pada peradilan tingkat pertama, telah memberikan Penetapan sebagai
berikut dalam perkara Pemohon:
1. Rizal Adikara , Surabaya, 28 April 1986 , Laki -Laki , Warga Negara Indonesi a,
Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta , beralamat di Jl. Ketintang
Baru 8/6 - Surabaya ;
2. Eka Debora Sidauruk , Simalungun, 12 Mei 1991 , Perempuan, Warga Negara
Indonesia , Agama Kristen , Pekerjaan Wiraswasta , beralamat di Jl.
Ketintang Baru 8/6 - Surabaya ;
Selanjutnya disebut sebagai P ara Pemohon ;

Pengadilan Negeri tersebut;


Telah membaca surat - surat dalam berkas perkara permohonan ;
Telah meneliti surat -surat bukti yang diajukan di persidangan ;
Telah mendengar keterangan para saksi yang diajukan dipersidangan ;
Telah pula mendengar keterangan Para Pemohon sendiri ;
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal
08 April 2022 , yang terdaftar dikepaniteraran Pengadilan Negeri Surabaya dibawah
register No mor 916 /Pdt.P/2022/PN.Sby, telah mengajuka n permohonan yang pada
pokoknya adalah sebagai berikut :
I. LEGAL STANDING ;
1. Bahwa PARA PEMOHON adalah perseorangan yang berkedudukan di Kota
Surabaya dan berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan satu sama lain
di hadapan Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Surabaya;
II. KEWENANGAN PENGADILAN NEGER I DALAM MEMERIKSA PERMOHONAN
A Quo ;

2. Bahwa tempat kedudukan hukum dicatatkannya Perkawinan adalah


Pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, sehingga
menurut Pasal 21 ayat (3) Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (“UU Pe rkawinan”) yang menyebutkan bahwasanya :
“Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan

Halaman 1 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
131
putusan.mahkamahagung.go.id

kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan


yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan,
dengan menyera hkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.”
Maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan, Pengadilan Negeri
Surabaya yang berhak memberikan suatu Penetapan atas Permohonan a
quo ;
III. DASAR -DASAR DAN ALASAN PARA PEMOHON MENGAJUKAN
PERMOHONAN a quo ;
3. Bahwa Para Pemohon telah sepakat satu sama lain untuk melaksanakan
perkawinan yang rencananya dilangsungkan di hadapan Pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya ;
4. Bahwa pada tanggal ........., PARA PEMOHON telah memberitahukan
kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya
tentang akan dilaksanakannya perkawinan tersebut tetapi oleh karena
adanya perbedaan agama yaitu :
a. PEMOHON I beragama Islam, dan ;
b. PEMOHON II beragama Kristen.
Maka oleh Kantor Dinas K ependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya
perkawinan PARA PEMOHON tersebut ditolak dan dianjurkan untuk
mendapat Penetapan Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum PARA
PEMOHON ;
5. Bahwa merujuk pada ketentuan -ketentuan di dalam Pasal 21 UU
Perkawinan j uncto Pasal 35 Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminstrasi Kependudukan”)
yang mengatur sebagai berikut :
“Pasal 21 UU Perkawinan
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang -undang ini, maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungka n perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan
akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai
dengan alasan -alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di d alam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan
yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas.

Halaman 2 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
132
putusan.mahkamahagung.go.id

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberik an ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan -rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
Juncto
Pasal 35 ayat (1) UU Adminstrasi Kependudukan
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula
bagi:
a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas
permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.”
Merujuk pada ketentuan -ketentuan peraturan perundang -undangan di atas,
perkawinan yang akan dilangsungkan antara PEMOHON I dengan
PEMOHON II dapat dicata tkan setelah mendapat Penetapan dari
Pengadilan Negeri Surabaya;
6. Bahwa PARA PEMOHON masing -masing tetap pada pendiriannya untuk
melangsungkan perkawinan dengan tetap pada kepercayaannya masing -
masing, dengan cara mengajukan Permohonan a quo kepada Penga dilan
Negeri Surabaya;
7. Bahwa asas hukum yang berlaku di negara Indonesia menyatakan pada
prinsipnya perbedaan agama bukanlah menjadi halangan untuk
melangsungkan perkawinan ;
8. Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Penetapan Nomor :
421 /Pdt.P/2013/PN.Ska tertanggal 21 Agustus 2013 d an Penetapan Nomor
: 3/Pdt.P/2015/PN Llg. tertanggal 27 Februari 2015 yang pada intinya
menyatakan :
" Menimbang, bahwa UUD 1945 Pasal 27 menentukan bahwa
seluruh Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di
dalamnya kesamaan hak asasi untu k melangsungkan perkawinan dengan
sesama Warga Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29
UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara
untuk memeluk agamnya masing -masing;
Menimbang, bahwa dengan berdasarkan kepada Undang -Unda ng
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan

Halaman 3 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
133
putusan.mahkamahagung.go.id

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang
bebas;
Menimbang, bahwa perkawinan beda aga ma tidak diatur secara
tegas di dalam Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
akan tetapi keadaan tersebut adalah merupakan suatu kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus
dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak
negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.”
Oleh karena dasar -dasar tersebut maka PARA PEMOHON memohonkan
permohonan a quo kepada Pengadilan Negeri Surabaya agar dapat
memberikan suatu penetapan demi te rjaminnya asas -asas hukum yaitu
keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Bahwa berdasarkan dasar -dasar serta alasan -alasan sebagaimana terurai di atas,
PARA PEMOHON mohon agar Pengadilan Negeri Surabaya berkenan memeriksa
dan selanjutnya menjatuhkan Penetapan sebagaimana berikut :
1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON untuk seluruhnya ;
2. Memberikan izin kepada PARA PEMOHON yang berbeda agama untuk
melangsungkan pernikahan berbeda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Surabaya;
3. Memerint ahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Surabaya untuk melakukan pencatatan tentang Perkawinan Beda Agama
PARA PEMOHON tersebut di atas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan ;
4. Membebankan biaya permohonan kepada PARA PEMO HON.
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang ditentukan, Para Pemohon hadir
menghadap sendiri di persidangan dan setelah surat permohonannya dibacakan,
Para Pemohon menyatakan tetap pada permohonannya ;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonannya Para Pemohon
telah mengajukan bukti surat , berupa:
1. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 8305/1986 tertanggal 23 Mei 1986 An.
Rizal Adikara , yang diterbitkan o l eh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surabaya , diberi tanda P-1 ;
2. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk NIK. 3578222804860003 An. Rizal Adikara,
diberi tanda P -2 ;
3. Fotocopy Kartu Keluarga No.3578222509120001 tanggal 05 -03-2022 An.Kepala
Keluarga Rizal Adikara, diberi tanda P -3 ;
4. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 1413 /Dis -2/Dispencapil/96 tertanggal 3
Desember 1996 An. Eka Debora Sidauruk, yang diterbitkan o l eh Kantor Dinas

Halaman 4 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
134
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
135
putusan.mahkamahagung.go.id

- Bahwa Para Pemohon sudah menikah secara agamanya masing -masing ;


- Bahwa menikahnya bulan Maret 2022 di Surabaya ;
- Bahwa keluarga Para Pemohon hadir di pernikahannya ;
Menimbang, bahwa terhadap keterangan para saksi diatas Para Pemohon
menyatakan semua yang diterangkan adalah benar dan Para Pemohon tidak
keberatan ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Para Pemohon menyatakan sudah tidak
akan mengajukan hal la in lagi dan mohon Penetapan ;
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian penetapan ini, maka segala
sesuatu yang terjadi dipersidangan sebagaimana termuat didalam Berita Acara
Persidangan dianggap telah termuat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
deng an penetapan ini ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon
sebagaimana terurai diatas;
Menimbang, bahwa isi permohonan Para Pemohon, pada pokoknya Para
Pemohon berkeinginan mendapat Penetapan Pengadilan Negeri untuk
mendapatkan ijin melangsungkan pernikahan berbeda agama di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya ;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya, Para
Pemohon meng ajukan bukti surat bertanda P.1 sampai dengan P. 9 dan 2 (dua)
orang saksi bernama Kristiana Eka Wulandari dan Jessica Sidauruk ;
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan bukti surat -surat dan
keterangan saksi -saksi yang diajukan oleh Para Pemohon, telah nyata bahwa Para
Pemohon sungguh -sungguh berkehendak untuk melangsungkan pernikahan
mereka secara sah namun mereka terbentur oleh keyakinan / agama masing -
masing yang berbeda yakni Pem ohon I ( Rizal Adikara ) beragama Islam sedangkan
Pemohon II (Eka Debora Sidauruk ) beragama Kristen;
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan materi permohonan Para
Pemohon terlebih dahulu Pengadilan Negeri mempertimbangkan formalitas
pengajuan permohonan a quo;
Menimbang, bah wa dari bukti surat bertanda P. 2 (berupa KTP), terbukti
Pemohon I adalah penduduk bertempat tinggal di Jl. Ketintang Baru 8/6 - Surabaya .
Kenyataan ini membuktikan pengajuan permohonan oleh Para Pemohon telah tepat
diajukan ke Pengadila n Negeri Surabaya dalam wilayah Hukum tempat tinggal Para
Pemohon, sehingga permohonan a quo formil dapat diterima;

Halaman 6 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
136
putusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa setelah Hakim mencermati permohonan Para Pemohon


dihubungkan dengan bukti surat -surat dan keterangan saksi -saksi, maka dapat
disimpulkan permasalahan hukum sehubungan permohonan ini adalah “Apakah
Pengadilan Negeri Surabaya dapat memberika n ijin kepada Para Pemohon yang
berbeda agama karena masing -masing tidak berniat melepaskan keyakinan
agamanya, mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan pejabat pencatat
perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya ;
Menimbang, bahwa mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam
Undang -Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 , dimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang -Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal
10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahu n 1975 ditegaskan kalau suatu
perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum Agama dan Kepercayaannya
masing -masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 tahun
1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan antara dua
orang yang memeluk agama yang sama, sehingga terhadap perkawinan di antara
dua orang yang berlainan status agamanya tidaklah dapat diterapkan berdasarkan
ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 tanggal 20
Januari 1989);
Menimbang bahw a perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang
berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi Kependudukan, dimana dalam
penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau “yang dimaksud dengan perkawinan
yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah Perkawinan yang dilakukan antar umat
yang berbeda agama”. Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan
yang memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi diantara dua
orang yang berlainan Agama setelah adanya penetapan pengadilan tentang hal
tersebut;
Menimbang, bahwa dari surat -surat bukti dan keterangan saksi -saksi serta
keterangan dari Para Pemohon, maka diperoleh fakta yuridis secara kronologis
sebagai berikut :
- Bahwa benar Para Pemohon bertempat tinggal di Jl. Ketintang Baru 8/6 –
Surabaya ;
- Bahwa benar Para Pemohon telah bersepakat untuk melangsungkan
perkawinan berdasarkan rasa cinta kasih sayang, namun masing -masing
bersikukuh mempertahankan keyakinan agaman ya ;
- Bahwa baik dari kedua orang tua Para Pemohon telah menyetujui serta
memberikan ijin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan

Halaman 7 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
137
putusan.mahkamahagung.go.id

dengan cara beda agama, yang akan dilakukan dengan proses perkawinannya
dihadapan Pejabat Kantor Dinas Kependuduka n dan Catatan Sipil Kota
Surabaya ;
Menimbang , bahwa berdasarkan fakta yuridis sebagaimana terungkap
dipersidangan tersebut diatas dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat -syarat
perkawinan dalam Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada
pasal 6 ayat (1) mengenai persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan pasal 7
mengenai usia perkawinan, maka Para Pemohon telah memenuhi syarat materiil
untuk melangsungkan perkawinan;
Menimbang, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk
melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf ( f )
undang -undang perkawinan dan merujuk pada ketentuan pasal 35 huruf ( a)
Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi kependudukan, maka
terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutusnya;
Menimbang, bahwa dari fakta yuridis tersebut diatas bahwa Pemohon I
memeluk agama Islam, sedangkan Pemohon II memeluk agama Kristen adalah
mempunyai hak untuk mempertahankan keyakinan agamanya, yang dalam hal
untuk bermaksud akan melangsungkan perkawinanny a untuk membentuk rumah
tangga yang dilakukan oleh calon mempelai (Para Pemohon) yang berbeda agama
tersebut, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan
memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Menimbang, bahwa selain itu berd asarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945
ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan
pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan b agi setiap
Warga Negara untuk memeluk Agamanya masing -masing;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan Surat Bukti
telah diperoleh fakta -fakta yuridis bahwa Para Pemohon sendiri sudah saling
mencintai dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan mereka dalam perkawinan,
dimana keinginan Para Pemohon tersebut telah mendapat restu dari kedua orang
tua Para Pemohon masing -masing;
Menimbang, bahwa oleh karena pada dasarnya keinginan Para Pemohon
untuk melangsungkan perkawinan dengan berbeda agama tid aklah merupakan
larangan berdasarkan Undang -Undang Nomor 1 tahun 1974, dan mengingat
pembentukan suatu rumah tangga melalui perkawinan adalah merupakan Hak Asasi
Para Pemohon sebagai Warganegara serta Hak Asasi Para Pemohon untuk tetap

Halaman 8 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
138
putusan.mahkamahagung.go.id

mempertahankan Agama nya masing -masing, maka ketentuan dalam pasal 2 ayat
(1) Undang -Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila
dilakukan menurut tata cara Agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon
pasangan suami isteri yang in casu hal ini tidak mun gkin dilakukan oleh Para
Pemohon yang memiliki perbedaan Agama;
Menimbang, bahwa tentang tata cara perkawinan menurut Agama dan
Kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon karena adanya
perbedaan Agama, maka ketentuan dalam pasal 10 ayat (3 ) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan
tersebut, dimana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 ditegaskan “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut
masing -masing hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi”;
Menimbang, bahwa dari fakta yuridis yang terungkap dipersidangan bahwa
Para Pemohon telah bersepakat dan telah mendapat persetujuan dan ijin dari kedua
orang tuanya mereka bahwa proses perkawinannya dihadapan Pejabat Kantor
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota S urabaya dan selanjutnya mereka
telah sepakat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ke - Tuhanan Yang Maha Esa, maka Hakim Pengadilan menganggap Para
Pemohon melepaskan keyakinan agamanya yang melarang adanya perkawinan
beda agama ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan
tersebut diatas, maka Hakim dapat memberikan izin kepada Para Pemohon untuk
melangsungkan perkawinan antara Pemohon I yang beragama Islam dengan
Pemohon II yang beragama Kristen dihadapan Pej abat pada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, dan oleh karena itu Permohonan
Para Pemohon secara hukum beralasan dikabulkan. Selanjutnya kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat
perkawin an Para Pemohon dalam Register Perkawinan setelah dipenuhi syarat -
syarat perkawinan menurut peraturan perundang -undangan yang berlaku;
Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan dari Para Pemohon
dikabulkan, maka segala biaya yang timbul dalam permohonan ini wajib dibebankan
kepada Para Pemohon yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar penetapan ini;
Meningat dan memperhatikan ketentuan pasal -pasal undang -undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinann dan Pasal 35 huruf ( a ) UndangUndang Nomor
23 Tahun 2006 Te ntang Administrasi Kependudukan serta ketentuan Peraturan
perundang -undangan lainnya yang bersangkutan;

Halaman 9 Penetapan Nomor 916/Pdt.P/20 22/PN.Sby.

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
139
140

BIOGRAFI PENULIS

Sosok dibalik tersusunnya tulisan skripsi ini

bernama lengkap Gun Gun Gunawan. Pria

berkulit sawo matang ini lahir pada tanggal 04

September 2000 di Garut. Lahir dari perpaduan

sosok pendiam (Ibu) dan sosok humoris

(Bapak) menjadikan penulis terbentuk

menjadi pribadi yang kalem namun sarat dengan senyuman manis.

Kemauan yang besar serta dorongan dari berbagai pihak membawa penulis

untuk berkelana dari selatan (Garut) menunju ke utara (Cirebon) Jawa Barat untuk

melanjutkan jenjang studi S1 di Institut Studi Islam Fahmina Cirebon. Di ISIF

inilah penulis ditempa sedemikian rupa dengan pengetahuan dan pengalaman

supaya menjadi insan yang bermanfaat. Sebelum ke ISIF, penulis menempuh

pendidikan di SDN Cigintung 03, lalu dilanjutkan ke SMPN 02 Singajaya, dan

SMAN 20 Garut.

Penulis lahir tepat setelah adzan Maghrib dan sebelum iqomah

dikumandangkan dari pasangan yang bersahaja dan penuh kesederhanaan: Bapak

Idris; sang Hansip dan petani gula aren dan Ibu Ade; sang Ibu tangguh yang selalu

diliputi oleh kesabaran dan cinta kasih. Keduanya merupakan makhluk Allah yang

paling tulus dan berjasa karena bisa ikhlas dan ridho mendidik dan membesarkan

penulis dengan penuh kesabaran hingga seperti ini.


141

Lahir dari keluarga dengan kultur yang demokratis dengan biasa berdialog

tentang berbagai hal –baik yang receh seperti strategi memberi pakan ayam supaya

ayam tetangga tidak ikut mencuri makan maupun isu-isu strategis seperti

menyelenggarakan kegiatan pengajian bulanan kampung,– membawa penulis untuk

senantiasa berdiskusi dalam merumuskan sesuatu. Hal inilah yang menjadi pijakan

bagi penulis untuk ikut aktif terlibat dalam kegiatan intra maupun ekstra kampus.

Tercatat, penulis ikut aktif di Dewan Eksekutif Mahasiswa baik sebagai pengurus

(2020-2021), maupun sebagai Presiden Mahasiswa Dewan Eksekutif Mahasiswa

Institut Studi Islam Fahmina (2021-2022). Di eksternal kampus penulis tergabung

dalam korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Meski memiliki hobi dominan merumuskan mimpi (tidur) daripada

meraihnya, penulis memiliki ketertarikan yang cukup intens pada tulis menulis

dengan isu lingkungan, politik, dan hukum. Sebagai fans berat tim asal Merseyside,

Liverpool, penulis pun memiliki atensi yang cukup masif pada dunia olahraga

sepakbola dengan menjadikannya sebagai hobi di sela-sela kegiatan.

Penulis tidak sama sekali agresif dan menggigit, sehingga jika bertemu bisa

disapa dan diajak ngobrol. Ada ratusan jokes bapak-bapak yang sudah penulis hafal

untuk diselipkan di sela-sela obrolan. Jika anda tidak menjadi bagian dari orang-

orang yang beruntung untuk bertemu dan mengobrol dengan penulis secara

langsung, anda bisa menyapa saya secara daring lewat media sosial Instagram

@gungungunawan066 dan Facebook @gungungunawan. Tenang!! Setiap obrolan

yang masuk akan saya respon dengan positif, kecuali kalau anda secara terbuka dan

terang-terangan mengatakan: "pinjam dulu seratus, minggu depan saya ganti".

Anda mungkin juga menyukai