Anda di halaman 1dari 12

PENYELESAIAN HARTA WARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA

&
KEWARISAN ANAK ANGKAT
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu : Heri Mahfudhi, LC., M.H.

Disusun oleh :

Hellena Andriyani 33030210057


Rizka Dwi Setyani 33030210137

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”penyelesaian
harta kewarisan kakek bersama saudara & anak angkat ” tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak
selaku dosen pengampu pada m Heri Mahfudhi, LC., M.H.mata kuliah Manajemen
Organisasi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
”penyelesaian harta kewarisan kakek bersama saudara & anak angkat” bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Heri Mahfudhi, LC., M.H. yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Salatiga, 10 mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum
merupakan unifikasi hukum, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah pewarisan di
Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Hal ini tampaknya sampai kapan pun usaha
untuk unifikasi hukum waris di Indonesia merupakan hal yang sulit diwujudkan, dikarenakan
banyaknya faktor yang menjadi penyebabnya. Di Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem hukum
yang di gunakan untuk menyelesaikan sengketa hukum waris, yaitu hukum waris
KUHPerdata, hukum waris Islam, dan hukum waris Adat. Terkait dengan sengketa hukum
waris timbul hal-hal yang menjadi faktor seperti siapa yang berhak mewarisi harta waris dari
pewaris, berapa bagiannya dan juga siap-siapa saja yang dapat menjadi ahli waris. Terkait
masalah yang timbul di masyarakat bahwa apabila pasangan suami istri yang tidak memiliki
seorang anak yang akan menjadi penerus keluarga dan sebagai penerus harta kekayaan orang
tuanya, oleh karena itu maka sering terjadi orang tua yang tidak mempunyai anak akan
mengangkat anak yang akan di jadikan penerus keluarga. Disinilah timbul suatu masalah
apakah anak angkat dapat dikatakan sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya dan apabila
mendapatkan harta waris maka berapa besar bagiannya, dan juga apabila terdapat anak
kandung berapa bagiankah yang akan diterima anak angkat tersebut.
B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Hukum Kewarisan Kakek Bersama Saudara Menurut Mazhab Safii
dan Kompilasi Hukum Islam
Salah satu ciri sistem hukum yang baik ialah peraturan yang dibuat disusun dalam
rumusan yang dapat dimengerti.(Prakoso, 2017). Dalam perspektif keluarga hukum-hukum di
dunia Indonesia menganut sistem hukum sipil yang bersandar pada filsafat positivisme yang
menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah kepastian hukum bukan keadilan dan atau
kemanfaatan, karena positivisme mengutamakan hal-hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif)
di atas segalanya. Prinsipnya hanya sesuatu yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan
ukuran kebenaran. Karena itu hukum diidentikkan dengan undang-undang, sumber hukum
adalah undang-undang, nilai-nilai bersumber dari undang-undang.(Santoso, 2016).
Berdasarkan premis di atas maka peraturan-peraturan tertulis yang menjadi sumber hukum di
Indonesia harus dibuat sejelas dan semudah mungkin untuk dimengerti.
Pada kenyataannya pasal-pasal dalam KHI yang mengatur hal-ihwal kewarisan kakek
bersama saudara kandung dan saudara seayah terlihat tidak mencerminkan hal tersebut.
Terdapat sejumlah masalah yang menjadikan aturan yang ada tidak mudah dimengerti hingga
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Masalah kedudukan saudara/i seayah bersama saudara/i kandung, apakah mereka
memiliki kedudukan dan hak yang setara ataukah saudara/i saudari kandung lebih
diutamakan dari saudara/i seayah, sehingga saudara/i kandung dalam kondisi tertentu
menghalangi saudara/i seayah. Masalah kakek yang mewarisi. Tidak diterangkan maksud dari
kakek termasuk ahli waris: kakek dari jalur bapak ataukah kakek dari jalur ibu; kakek sebatas
yang disebut kakek atau seterusnya ke atas pada garis yang menurunkan. Masalah kewarisan
kakek yang mewarisi tidak bersama saudara/i kandung dan saudara/i seayah, tidak ada
ketentuan yang mengatur sifat kewarisannya, –berdasarkan bagian tertentu atau ta‘ṣīb –dan
yang mengatur syarat-syarat kewarisannya. Masalah kewarisan kakek bersama saudara/i
kandung dan yang seayah, tidak ada sama sekali aturan yang mengatur perihal kewarisan
mereka.
Dengan demikian sifat kepastian hukum yang menjadi ciri dan tujuan utama sistem
hukum sipil belum, dalam konteks ini, tercerminkan. Pada Fikih kewarisan mazhab Syafii
bukan hukum positif yang bersifat mengikat, namun demikian masalah kewarisan kakek
bersama saudara/i kandung dan yang seayah telah dibahas dan diuraikan secara terperinci.
Pengertian masing-masing ahli waris diterangkan secara jelas, hak waris masing-masing
dijelaskan secara terperinci, demikian juga dengan syarat-syarat serta kondisi-kondisi tertentu
lainnya terkait kewarisan mereka. Selain itu, masalah-masalah yang menjadi polemik dan
khilaf dipaparkan berserta perdebatan-perdebatan yang mengemuka dengan argumentasinya
masing-masing serta perbantahan yang berlangsung untuk menghasilkan suatu doktrin hukum
yang dipandang merepresentasikan kehendak asy-Syāri‘, yaitu Allah.
B. Kewarisan Kakek Bersama Saudara menurut Mazhab Safii dan Kompilasi
Hukum Islam dalam Perspektif Teori Hukum Syariat
Hukum syariat pada hakikatnya adalah irādah atau kehendak Allah yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Hubungan dimaksud dapat diilustrasikan dengan pertanyaan apa
dan bagaimana yang harus, yang boleh, dan yang tidak boleh diperbuat dan konsekuensi dari
semua itu. (Nurhayati, 2018) Alqur`ān, Sunnah, Ijmak, Kias, dan sebagainya adalah dalil-
dalil atau petunjuk untuk mengetahui kehendak Yang Mahakuasa tersebut. Para mujtahid
meneliti petunjuk-petunjuk tersebut untuk menemukan norma-norma yang terkandung dalam
kehendak-Nya tersebut. (Sulistiani, 2018)
Hukum Islam adalah hukum positif Indonesia yang bersumber dari syariat Islam.
Hukum Islam memiliki pengertian yang berbeda dari hukum syariat, tidak semua hukum
syariat dengan sendirinya menjadi hukum Islam dalam pengertian di atas. Hukum syariat
menjadi hukum Islam jika telah diserap ke dalam sistem hukum nasional Indonesia menjadi
hukum formal yang mengikat sesuai ketentuan yang mengaturnya, sedangkan hukum syariat
dalam sistem hukum nasional tidak mengikat. Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan
sebagai salah satu bentuk upaya mempositifkan hukum syariat yang terintegrasi ke dalam
sistem hukum nasional. Oleh karena itu norma-norma hukum dalam KHI sejatinya harus
tetap merujuk kepada dan tidak boleh bertentangan dengan hukum syariat.
Fikih mazhab Syafii merupakan hasil ijtihad ahli-ahli fikih yang secara kritis dan
sistematis mengikuti metode Imam Syafii dalam kegiatan meneliti dan menyimpulkan
kehendak asy-Syāri‘ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, di antaranya berkaitan
dengan perbuatan waris-mewarisi. Dalam dialektika kewarisan kakek bersama saudara/i
kandung dan saudara/i seayah, pendapat dan argumentasi mazhab Syafii yang bermuara pada
pandangan fikih mereka yang sealiran dengan pandangan fikih Zaid bin Ṡābit bersumber dari
dalil-dali hukum syariat yang muktabar.
Hal yang sebenarnya juga terlihat pada mazhab yang berpendapat lain. Segala
perdebatan dan adu argumentasi yang dalam proses itu mengemuka tidak lahir dari perbedaan
sumber dan dalil masing-masing pihak melainkan perbedaan sudut pandang terhadap dalil-
dali tersebut dalam konteks isitinbat hukum dan perbedaan metode istinbat hukum mereka.
Terlepas dari perbedaan sudut pandang tersebut, masing-masing mazhab didorong oleh
semangat dan kegigihan menemukan norma hukum yang berpresisi dengan kehendak asy-
Syāri‘ Yang Mahakuasa, bukan agenda pembelaan terhadap ide dan pemikiran masing-
masing dengan memanfaatkan dalil-dalil hukum syariat yang ada.
Semangat dan kegigihan itu tercermin dari argumentasi atas dalil-dalil yang berporos
pada pembuktian atas keselaran sudut pandang istidlāl dengan hikmah dan tujuan syariat pada
satu sisi, dan pada sisi lain pembuktian atas ketidaksesuaian sudut pandang istidlāl pendapat
lain dengan hikmah dan tujuan syariat dimaksud. Fikih kewarisan mazhab Syafii yang
dihasilkan dari proses yang demikian, dapat dikatakan, adalah hasil penelitian yang sungguh-
sungguh fuqāhā` mazhab ini untuk menemukan kehendak Yang Mahakuasa terkait perbuatan
manusia dalam waris-mewarisi.
C. Kewarisan Kakek Bersama Saudara menurut Mazhab Safii dan Kompilasi
Hukum Islam dalam Perspektif Teori Kebenaran Tunggal
Dalam setiap persoalan hukum furū‘ ijtihādiyyah, hukum Allah (syariat) yang
sesungguhnya ialah hukum tertentu yang dikehendaki-Nya, bukan apa yang disimpulkan dan
diperoleh masing-masing mujtahid melalui ijtihad mereka. Jika terjadi perbedaan pendapat
tentang suatu hukum syariat maka pendapat yang benar hanya satu. Tidak semua mujtahid
dengan beragam pendapat mereka itu benar melainkan hanya satu di antara mereka. Setiap
mujtahid bisa benar dan bisa salah dalam ijtihadnya itu, benar bilamana ijtihadnya itu sesuai
dengan hukum yang dikehendaki Allah; salah jika menyelisihinya. (Madkur, 1996) Oleha
karena itu rumusan doktrin hukum syariat tidak dapat dilakukan secara serampangan atau
dibiarkan mengambang tidak pasti, terutama jika doktrin hukum dimaksud hendak dijadikan
norma hukum yang mengikat.
Mazhab Syafii dalam polemik kewarisan kakek bersama saudara/i kandung dan
saudara/i seayah sudah terlihat responsif dan bersungguh-sungguh menyelesaian silang
pendapat yang telah terjadi. Persoalan tersebut beserta turunannya dibahas secara tuntas dan
terperinci disertai argumentasi-argumentasi yang mendukung pandangan mereka sekaligus
melemahkan pendapat lain yang berseberangan. Argumentasi-argumentasi dimaksud oleh
mereka disandarkan kepada dalil-dalil hukum syariat yang disangga oleh penalaran yang
kritis dan logis untuk dipahami menjadi indikator kesesuaian dengan kehendak Allah Yang
Mahabenar pada saat dalam KHI tentang kewarisan terdapat kekosongan yang dapat
menghambat kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum positif. Pendapat fikih mazhab
Syafii dalam hal ini dapat dijadikan bahan pelengkapan kekosongan itu.

D. HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM


WARIS ISLAM DI INDONESIA
kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan anak angkat dalam pasal 171
huruf (h) sebagai :”anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada
orangtua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”. Sedangkan hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing;
Pengangkatan anak, adopsi, selayaknya dilakukan dengan sebuah putusan
Pengadilan. Dengan menggunakan putusan Pengadilan maka dapat dijadikan
sebagai bukti autentik tentang adanya pengangkatan anak. Bila dikemudian hari ada
sengketa tentang pengangkatan anak tersebut maka putusan Pengadilan dapat
dijadikan sebagai alat bukti.
Dalam hukum kewarisan anak angkat tidak termasuk ahli waris, karena
secara biologis tidak ada hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan
orangtua angkatnya kecuali anak angkat itu diambil dari keluarga orangtua
angkatnya. Karena bukan ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian
sebagai ahli waris dari warisan orangtua angkatnya. Walaupun tidak mendapat
warisan dari orangtua angkatnya akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibat
untuk mendapatkan harta warisan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh KHI dalam pasal 209 ayat (a) :”Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
orangtua angkatnya”.
Kalaulah pengangkatan anak itu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Sebab sudah jelas
kedudukan anak angkat tidak sebagai ahli waris dari orangtua angkatnya, anak
angkat dapat menerima warisan orangtua angkatnya dengan jalan wasiat wajibat.
Tetapi faktanya ada sengketa kewarisan antara anak angkat dengan ahli waris
orangtua angkat sebagaimana kasus dibawah ini.
Seorang pewaris tidak mempunyai anak dan kedua orangtuanya sudah
meninggal dunia tetapi mempunyai seorang anak angkat dan meninggalkan
beberapa orang ahli waris yang terdiri dari saudara-saudara kandung pewaris. Para
saudara kandung pewaris ini menggugat anak angkat pewaris di Pengadilan Agama
terhadap warisan pewaris, karena warisan pewaris dikuasai oleh anak angkat tanpa
mau berbagi dengan para saudara pewaris. Menurut para saudara pewaris karena
pewaris sudah tidak punya orang tua dan tidak mempunyai anak kandung, maka
mereka sebagai saudara-saudara pewarislah yang menjadi ahli waris pewaris
sedang anak angkat tidak mendapat warisan tetapi hanya mendapat wasiat wajibat.
Dalam pemeriksaan di persidangan anak angkat pewaris membantah gugatan
saudara-saudara pewaris bahwa ia bukan anak angkat pewaris tetapi ia adalah anak
kandung pewaris dan oleh karena pewaris mempunyai anak kandung maka
saudara-saudara pewaris terhalang (terhijab) untuk mendapat warisan pewaris.
Maka sudah sesuai dengan ketentuan hukum kalau ia menguasai harta warisan
pewaris.
Para saudara-saudara pewaris dan anak angkat pewaris bersikukuh pada
pendiriannya masing-masing.
Dalam acara pembuktian saudara-saudara pewaris mengajukan bukti 2 orang
saksi yang mengetahui pengangkatan anak tersebut yang salah satu dari saksi itu
adalah ibu kandung anak angkat pewaris. Dalam kesaksiannya ibu kandung anak
angkat pewaris menyatakan bahwa benar anak angkat pewaris itu adalah anak
kandung saksi dengan suaminya yang diambil anak angkat oleh pewaris. Sewaktu
diambil sebagai anak angkat saksi masih di rumah sakit bersalin dan semua
administrasi diatas namakan pewaris. Surat keterangan lahir dibuat ayah
kandungnya atas nama pewaris. Semua surat menyurat yang berkenaan dengan
kelahiran anak angkat diatas namakan pewaris. Anak angkat mengajukan bukti
dengan akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil. Dalam akta kelahiran tersebut tertulis bahwa anak angkat tersebut sebagai
anak kandung pewaris.
Tentang alat bukti dapat disampaikan bahwa alat bukti surat berupa akta
kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil adalah akta
otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Kesaksian adalah
kepastian yang diberikan di depan persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak yang berperkara di pengadilan. Batas minimal saksi
adalah 2 orang. Kekuatan kesaksian 2 orang saksi bersifat bebas (vrij bewijs kracht),
maksudnya hakim bebas untuk memberikan penilaian. Dalam kasus diatas jalan
keluar yang dianjurkan adalah pemeriksaan DNA. Pengadilan memerintahkan untuk
pemeriksaan DNA terhadap anak angkat, untuk ditetapkan adakah hubungannya
biologis dengan orangtua angkatnya atau yang mengaku sebagai orangtua
kandungnya (salah satu dari saksi). Dengan pemeriksaan DNA dapat dipastikan
apakah anak angkat adalah anak kandung pewaris atau bukan.
Tes DNA adalah prosedur yang digunakan untuk mengetahui
informasi genetika seseorang. Dengan tes DNA, dapat diketahui garis
keturunan seseorang dan juga risiko penyakit tertentu. DNA adalah deoxyribonucleic
acid atau asam deoksiribonukleat. DNA akan membentuk materi genetika yang
terdapat di dalam tubuh tiap orang yang diwarisi dari kedua orang tua. Setiap orang
memiliki DNA yang berbentuk double helix atau rantai ganda, satu rantai diturunkan
dari ibu dan satu rantai lagi diturunkan dari ayah. Hal inilah yang bisa
mengungkapkan asal usul keturunan. Hal ini bisa dilihat dari susunan DNA anak,
lalu dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Kalau susunan DNA ibu dan ayah itu
ada pada anak, berarti anak itu adalah anak kandung. Keberhasilan tes DNA adalah
100 persen akurat bila dikerjakan dengan benar. Tes DNA memberikan hasil lebih
dari 99.99 persen kemungkinan paternitas bila DNA terduga orang tua dan
DNA anak akan cocok.
Dalam kasus diatas terdapat beberapa kesalahan dalam mengangkat anak.
Pertama bahwa pengangkatan anak tersebut tidak dilakukan didepan persidangan
Pengadilan sehingga dalam kasus ini tidak ada bukti tertulis tentang pengangkatan
anak. Yang kedua pewaris dalam membuat akta kelahiran bagi anak angkatnya
memang sengaja menghilangkan nasab anak angkat dari orangtua kandungnya
dengan mengganti orangtua kandungnya itu dengan diri pewaris. Seharusnya dalam
akta kelahiran anak angkat itu tetap dicantumkan nama orang tua kandungnya yang
asli bukan pewaris sebagai orangtua kandungnya. Perbuatan pengangkatan anak
seperti yang dilakukan pewaris ini banyak dilakukan oleh masyarakat. Mengangkat
anak dengan menghilangkan hubungan hukum anak angkat dengan orangtua
kandungnya dengan cara, anak angkat tersebut dibuatkan akta kelahiran di
Disdukcapil dengan mencantumkan orangtua angkat sebagai orangtua kandungnya.
Islam tidak membenarkan pengangkatan anak sebagaimana dilakukan
pewaris tersebut. Islam melarang mengambil anak orang lain untuk diberi status
anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan
mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak
dengan orang tua. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Ahzab ayat 40 :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.”
Sebagaimana kita ketahui sebelum nabi Muhammad diutus sebagai
Rasulullah, dahulu ia mempunyai seorang anak angkat yaitu Zaid Bin Haritsah.
Waktu itu karena anak angkat dihukumi sebagai anak kandung, maka Zaid itupun
dipanggil oleh orang banyak dengan panggilan Zaid Bin Muhammad, sampai
kemudian turun ayat diatas yang membatalkan anak angkat sebagai anak kandung,
dan tetaplah Zaid dipanggil dengan Zaid Bin Haritsah. Sejak itu anak angkat tetap
menjadi anak kandung orang tua biologisnya, hanya pemeliharaan dan biaya hidup
sehari-harinya beralih kepada orang tua angkatnya.
Perbuatan semacam ini mungkin dipandang sepele oleh orang tua angkatnya,
hanya masalah administrasi saja. Masalahnya bukan sebatas hanya administrasi
saja, tetapi berkaitan dengan nasab, kemahraman, kewarisan dan perwalian
seseorang yang harus dikaitkan dengan orang tua kandung. Perbuatan semacam ini
merupakan kebohongan yang sangat dilarang dalam Islam. Islam mengatur bahwa
penyebutan anak itu tidak bisa dibangsakan kepada orang lain yang bukan ayahnya.
Penyebutan seorang anak hanya dibenarkan digandengkan dengan ayah
kandungnya. Harus menyebut Bin atau Binti ayah kandungnya. Tidak bisa disebut
dengan Bin atau Binti ayah angkatnya. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 5:
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah”. Memanggil anak angkat dengan
membangsakan kepada bapak angkatnya adalah kebohongan, dosa besar.
Diriwayatkan dari Saad Bin Abi Waqas bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang mengakui (bapak) yang bukan bapaknya sendiri, atau
membangsakan maula yang bukan maulanya sendiri, maka ia akan mendapatkan
kutukan Allah swt, Malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak berkenan menerima
taubat dan tebusannya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Rasululah bersabda: “Tiada seorang laki-laki yang mengakui bapak yang
bukan bapaknya sendiri sedangkan ia mengetahui (hal itu), melainkan dia telah
kufur”. (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa mengakui bapak yang bukan bapaknya
sendiri, sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram
baginya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Sungguh sangat fatal akibat orang yang membangsakan seorang anak bukan
dengan ayah kandungnya tetapi dengan orang tua angkatnya. Dalam hadits-hadits
diatas, orang yang membangsakan anak dengan orang yang bukan ayah
kandungnya akan mendapat kutukan Allah, Malaikat dan seluruh manusia dan Allah
tidak menerima taubat dan tebusannya, juga ia dikatakan telah kufur dan surga
haram baginya. Masyaallah, na’udzubillah min dzalik.
Bagaimanapun dekatnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya, tetap saja orang tua angkat adalah orang lain, tidak bisa menggantikan
kedudukan orang tua kandung. Ketika ia menikah haruslah berwali dengan orang
tua kandungnya tidak bisa berwali dengan orang tua angkatnya. Ketika membagi
waris juga hanya berhubungan dengan orang tua kandungnya. Anak angkat tidak
bisa menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Demikian juga sebaliknya, orang tua
angkat tidak bisa menjadi ahli waris anak angkatnya.
Dalam hukum kewarisan, sesuai dengan ketentuan pasal 209 KHI kalau
orang tua angkat meninggal dunia, maka anak angkat akan mendapat wasiat
wajibat. Demikian juga kalau anak angkat meninggal dunia maka orang tua
angkatnya akan mendapat wasiyat wajibat.
Makna “wasiat wajibah” adalah seseorang dianggap menurut hukum telah
menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu lahir
dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan harus berwasiat, maka
ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya.
Kalaulah pengangkatan anak itu dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, maka
tidak akan menimbulkan sengketa kewarisan. Karena kedudukan anak angkat sudah
jelas, anak angkat tetap sebagai anak angkat, tidak bisa menjadi ahli waris dari
orangtua angkatnya. Kalau orangtua angkatnya meninggal dunia anak angkat tidak
mendapat warisan dari orangtua angkatnya tetapi anak angkat mendapatkan wasiat
wajibah dari orangtua angkatnya.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
B. saran
DAFTAR PUSTAKA
Arfa, F. A., Marpaung, W. (2016). Metodologi Penelitian Hukum Islam, Jakarta: Kencana
Prenadamedia
Asril. (2015). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Hukum Islam, XV(1).
Az-Zuhayliy, W. (2004). al-Fiqh al-Islāmiy wa-Adillatuh. Damaskus: Dār al-Fikr.
Barhamudin. (2017). Kedudukan Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum
Islam, 15(3), 300-315.
Faqih, A. R. (2017). Mawaris: Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press.
Madkūr. M. S.. (1996) al-Madkhal lil-Fiqh al-Islāmiy: Tārīkhuh wa Maṣādiruh wa
Naẓariyātuh al-‘Āmmah, cet. 2, Kairo: Dār al-Kutub al-Ḥadīṡ.
Mardani. (2017). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Marzuki, P. M. (2008). Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nurhayati. (2018). Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum Dan Ushul Fikih. J-Hes Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah, 2(2).
Prakoso, A. (2017). Pengantar Ilmu Hukum, Surabaya: Laksbang Pressindo.

Anda mungkin juga menyukai