Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Komplikasi Hukum Islam Tentang Waris, Pernikahan Dan Wakaf

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pembahasan Kaidah-Kaidah Peradilan

Dosen pengampu : Dadan, S.H.I, M.Ag

Oleh Kelompok 1

Ratna (2221.044.1)
Anisa Nurul Anastasya (2221.041.1)
Dede Ridwan Nur Alam (2221.079.1)
M Reza Resly Viraris (2221.063.1)

PROGRAM STUDI S1 HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM KH RUHIAT CIPASUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Cipasung, 29 September 2023

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................3

BAB II......................................................................................................................4

PEMBAHASAN......................................................................................................4

A. Waris.............................................................................................................4

B. Pernikahan.....................................................................................................9

C. Wakaf..........................................................................................................14

BAB III..................................................................................................................20

PENUTUP..............................................................................................................20

A. Kesimpulan.................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam adalah sistem hukum yang memiliki kedalaman dan


kompleksitas yang sangat besar. Dalam ranah hukum Islam, terdapat beberapa
aspek kunci yang menjadi fokus perhatian utama, antara lain waris, pernikahan,
dan wakaf. Ketiga aspek ini memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Muslim, serta memiliki implikasi hukum yang sangat kompleks.

Waris merupakan salah satu aspek yang memiliki kedalaman hukum yang
besar dalam Islam. Aturan-aturan waris dalam hukum Islam sangat terperinci dan
mengatur bagaimana harta dan kekayaan seorang Muslim harus dibagi setelah
kematian seseorang. Pernikahan adalah institusi sosial dan agama yang sangat
penting dalam Islam. Hukum pernikahan mencakup berbagai aspek, mulai dari
persyaratan hukum, prosedur, hak dan kewajiban suami istri, hingga perceraian.

Sementara itu, wakaf adalah tindakan mengalihkan kepemilikan atau hak


atas harta benda kepada Allah untuk tujuan amal yang baik. Wakaf memainkan
peran kunci dalam pengembangan dan pemeliharaan institusi-institusi sosial
seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan lembaga amal lainnya. Hukum wakaf
mencakup peraturan mengenai pembentukan, pengelolaan, dan penggunaan harta
wakaf.

Meskipun ketiga aspek ini memiliki aturan hukum yang sangat rinci dalam
Islam, kompleksitasnya terletak pada berbagai situasi yang mungkin terjadi dalam
kehidupan nyata. Perubahan dalam tata nilai sosial, perkembangan ekonomi, dan
kemajuan teknologi dapat memunculkan berbagai komplikasi hukum yang
berkaitan dengan waris, pernikahan, dan wakaf. Selain itu, perbedaan interpretasi
dan pemahaman terhadap ajaran Islam juga dapat menjadi sumber perbedaan
pendapat dalam kasus-kasus hukum yang kompleks.
Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis
komplikasi-komplikasi hukum yang mungkin timbul dalam konteks waris,
pernikahan, dan wakaf dalam Islam. Dengan mengeksplorasi kasus-kasus nyata,
studi literatur, dan pandangan berbagai ulama, makalah ini akan membahas
beberapa isu hukum yang seringkali membingungkan dan memicu perdebatan
dalam masyarakat Muslim. Selain itu, makalah ini juga akan mencoba
memberikan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana hukum Islam dapat
menanggapi tantangan-tantangan modern dalam aspek-aspek tersebut.

Dengan mengidentifikasi dan menganalisis komplikasi-komplikasi hukum


ini, diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang
bagaimana hukum Islam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer dalam
konteks waris, pernikahan, dan wakaf, serta kontribusi pentingnya dalam
memahami dan mengatasi kompleksitas hukum Islam dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Muslim.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian waris dalam hukum Islam, apa dalil-dalilnya, dan


apa syarat-syaratnya?
2. Apa saja komplikasi hukum yang mungkin muncul dalam pembagian harta
warisan dalam Islam?
3. Bagaimana pernikahan diatur dalam hukum Islam, apa sumber hukumnya,
dan apa syarat-syaratnya?
4. Apa saja komplikasi hukum yang mungkin timbul dalam konteks
pernikahan dalam Islam?
5. Apa pengertian wakaf dalam hukum Islam, apa regulasinya, dan
bagaimana pengelolaannya?
6. Apa komplikasi hukum yang mungkin muncul dalam pendirian dan
pengelolaan harta wakaf dalam Islam?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian waris dalam hukum Islam, apa


dalil-dalilnya, dan apa syarat-syaratnya.
2. Untuk mengetahui apa saja komplikasi hukum yang mungkin muncul
dalam pembagian harta warisan dalam Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana pernikahan diatur dalam hukum Islam, apa
sumber hukumnya, dan apa syarat-syaratnya.
4. Untuk mengetahui apa saja komplikasi hukum yang mungkin timbul
dalam konteks pernikahan dalam Islam.
5. Untuk megetahui apa pengertian wakaf dalam hukum Islam, apa
regulasinya, dan bagaimana pengelolaannya.
6. Untuk mengetahui apa komplikasi hukum yang mungkin muncul dalam
pendirian dan pengelolaan harta wakaf dalam Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Waris

1. Pengertian Waris

Secara bahasa, dalam bahasa Arab, "waris" dinyatakan dengan kata "‫"َو اِر ث‬
(waarits) yang berasal dari akar kata " ‫( "َو َر َث‬waratha). Istilah "‫( "َو اِر ث‬waarits)
mengacu pada seseorang yang menerima warisan atau pewaris yang mewarisi
harta atau hak-hak dari seseorang yang telah meninggal dunia sesuai dengan
ketentuan hukum Islam atau hukum perdata yang berlaku. Istilah ini juga merujuk
pada seseorang yang memiliki hak sah atas harta peninggalan atau kekayaan
pewaris.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, waris adalah proses pembagian harta


benda, hak, atau kekayaan seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. Ini melibatkan pengalihan hak kepemilikan
atas harta tersebut kepada pihak-pihak yang berhak mewaris sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Dalam Islam, waris adalah proses pembagian harta peninggalan seorang


Muslim yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam hukum waris Islam (faraid). Ini termasuk bagaimana harta
tersebut dibagi antara anak-anak, suami, istri, orang tua, dan kerabat lainnya
sesuai dengan ketentuan syariah.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa waris merujuk


pada proses pembagian harta, hak, atau kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam
konteks Islam, waris melibatkan pengalihan hak kepemilikan atas harta
peninggalan kepada pihak-pihak yang berhak mewaris sesuai dengan ketentuan
syariah yang diatur dalam hukum waris Islam (faraid). Selain itu, waris juga dapat
merujuk pada penerimaan harta atau hak dari seseorang yang telah meninggal.

Pengertian waris ini memiliki implikasi penting dalam hukum perdata dan
agama Islam, serta menjadi dasar bagi proses pembagian harta benda dan
kekayaan antara pewaris dan ahli warisnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berlaku. Pengaturan mengenai waris ini juga dapat bervariasi sesuai dengan
hukum yang berlaku di berbagai negara dan budaya. Oleh karena itu, pemahaman
yang baik tentang konsep waris menjadi penting dalam konteks hukum dan agama
serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

2. Sumber Hukum Waris

Dalam al-Qur’an, Allah SWT. Berfirman :

ۖ‫ُيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُأْلنَثَيْيِن ۚ َفِإن ُك َّن ِنَس اًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َك‬
‫َو ِإن َكاَنْت َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۚ َو َأِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِإن َك اَن َلُه َو َل ٌد ۚ َف ِإن‬
‫َّلْم َيُك ن َّلُه َو َلٌد َو َو ِر َثُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه الُّثُلُث ۚ َفِإن َك اَن َلُه ِإْخ َو ٌة َفُأِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيوِص ي‬
‫ِبَها َأْو َد ْيٍن ۗ آَباُؤ ُك ْم َو َأْبَناُؤ ُك ْم اَل َتْد ُروَن َأُّيُهْم َأْقَر ُب َلُك م َنْفًعاۚ َفِر يَض ًة ِّم َن ِهَّللاۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن َع ِليًم ا‬
‫َحِكيًم ا‬

Artinya : "Allah memerintahkanmu tentang (pembagian) anak-anakmu;


bagi laki-laki mendapat bagian sebanding dengan bagian dua perempuan. Jika
anak-anak perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga harta yang
ditinggalkan, dan jika hanya satu perempuan, maka baginya separuh. Dan
kepada orang tua, masing-masing dari mereka seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika ada anak; dan jika dia tidak mempunyai anak dan orang
tuanya mewariskannya, maka bagi ibunya sepertiga. Jika dia mempunyai saudara
laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi ibunya seperenam, setelah
dikurangi wasiat yang dia buat atau (pembayaran) utang. Orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak tahu siapa di antara mereka yang lebih bermanfaat
bagimu. (Ini adalah) ketetapan dari Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana." (Q.S. An-Nisa: 11)

Selain itu, waris juga diatur dalam KUH Perdata, tepatnya pasal 832 Bab
XII KUH Perdata tentang Pewarisan Karena Kematian. "Menurut undang-undang
yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut
undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang
hidup terlama,…" (Pasal 832 KUHPerdata). Masih dalam KUHPerdata Pasal 833
yang berbunyi, “Para ahli waris dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak
milik atas semua barang, semua hak, dan semua piutang orang yang meninggal”.

Ayat Al-Quran yang telah dibahas (Surat An-Nisa, 4:11) menegaskan


prinsip adil dan seimbang dalam pembagian warisan antara laki-laki dan
perempuan dalam Islam. Ayat tersebut juga mengakui peran penting orang tua
dalam pembagian warisan dan memberi hak waris kepada ibu jika tidak ada anak
yang masih hidup. Selain itu, wasiat dan utang harus diperhitungkan dalam
pembagian warisan. Ayat ini mengingatkan umat Islam bahwa aturan pembagian
warisan adalah ketetapan Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dan
mengajak untuk mematuhi prinsip-prinsip keadilan dalam hukum waris Islam.

Di samping itu, dalam konteks hukum perdata Indonesia (KUHPerdata),


pembagian warisan juga diatur dengan rinci. KUHPerdata mengakui hak ahli
waris dan menjelaskan prosedur pembagian warisan. Hukum perdata ini
menegaskan bahwa para ahli waris secara otomatis memiliki hak atas harta
peninggalan seseorang yang meninggal dan memberi panduan mengenai harta,
hak, dan utang yang masuk dalam pembagian warisan.

Dengan demikian, sumber hukum waris dalam Islam mencakup Al-Quran


dan dalam hukum perdata Indonesia melalui KUHPerdata, dengan keduanya
menekankan prinsip keadilan dalam pembagian harta warisan.

3. Syarat dan Ketentuan Waris

Menurut Hukum Waris Islam, berdasar Pasal 174 Kompilasi Hukum


Islam, kelompok ahli waris laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek. Kemudian ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan
nenek membentuk kelompok ahli waris perempuan. Sedangkan ahli waris karena
perkawinan terdiri dari janda dan duda. Jika semua kelompok ahli waris ada dan
masih hidup, warisan menjadi hak anak laki-laki, ayah, ibu, janda atau duda.

Syarat pertama untuk pewarisan adalah pewaris telah meninggal dan


kematiannya dapat ditetapkan tanpa bukti (mati secara substansial) atau dengan
keputusan (mati secara hukum). Kedua, pewaris masih hidup atau putusan hakim
menyatakan masih hidup pada saat kematian pewaris sah.

Sekalipun ahli waris sah masih dalam kandungan, ia berhak atas


bagiannya, jika dapat dibuktikan bahwa ia adalah ahli waris. Namun, ada juga
kendala yang membuat pewarisan menjadi tidak mungkin. Misalnya, perbedaan
agama antara pewaris dan ahli waris, perbudakan dan pembunuhan.

Sama dengan persoalan-persoalan lainnya, hukum waris juga memiliki


beberapa rukun yang harus dipenuhi. Sebab jika tidak dipenuhi salah satu rukun
tersebut, harta waris tidak bisa dibagikan kepada para ahli waris. Untuk
menghindari hal tersebut, berikut beberapa rukun :

 Orang yang mewariskan atau secara Islam disebut Al-Muwarrits, dalam


hal ini orang yang telah meninggal dunia yang berhak mewariskan harta
bendanya.
 Orang yang mewarisi atau Al-Warits, yaitu orang yang memiliki ikatan
kekeluargaan dengan orang yang meninggal berdasarkan sebab-sebab
yang menjadikannya sebagai orang yang bisa mewarisi.
 Harta warisan atau Al-Mauruts, merupakan harta benda yang ingin
diwariskan karena ditinggalkan oleh mayit setelah peristiwa
kematiannya.

Setiap ahli waris memiliki besaran bagian masing-masing dalam hukum


waris Islam. Untuk mengetahui hal tersebut, kamu bisa melihat tabel pembagian
harta warisan menurut Islam di bawah ini:
Besaran
Ahli Waris Bagian Keterangan

1 anak perempuan 1/2 Seorang diri

2 atau lebih anak


perempuan 2/3 Bersama-sama

Anak perempuan
bersamaan dengan anak 2 untuk laki-laki, dan 1 untuk
laki-laki 2:1 perempuan

Bila tidak ada keturunan / bila


Ayah 1/3 atau 1/6 ada keturunan

Bila ada keturunan atau


saudara dengan jumlah 2 atau
Ibu 1/6 atau 1/3 lebih / bila tidak ada keduanya

Bila tidak ada keturunan/ bila


Duda 1/2 atau 1/4 ada keturunan

Bila tidak ada keturunan/ bila


Janda 1/4 atau 1/8 ada keturunan

*tidak ada keturunan dan ayah


Saudara laki-laki dan Masing-masing / bila jumlah 2
Perempuan Seibu 1/6 atau 1/3 atau lebih bersamaan

Bila sendiri / bila jumlah 2


Saudara Kandung Seayah 1/2 atau 2/3 atau lebih bersama-sama

Saudara laki-laki Seayah 2:1 dengan Saudara Perempuan

Dari ahli waris yang


Pengganti Tidak melebihi digantikan

B. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah institusi sosial dan agama yang merujuk kepada ikatan
sah antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga,
menjalani kehidupan bersama, dan memenuhi aspek-aspek agama dan sosial
tertentu. Pernikahan dalam bahasa Arab disebut sebagai "‫( "زواج‬zawaj). Istilah ini
merujuk kepada ikatan atau kontrak sah yang mengikat seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya "Tafsir Al-Mishbah:


Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran" (2007), pernikahan adalah sebuah ikatan
yang membawa ketenangan, kebahagiaan, dan persatuan dalam hidup. Dalam
"Ilmu Pendidikan Islam: Konsep Dasar dan Implikasinya dalam Proses
Pembelajaran" (2010) karya Dr. Abdul Majid, pernikahan dijelaskan sebagai
institusi yang bertujuan untuk membina keluarga yang harmonis dan membawa
manfaat spiritual dan sosial.

Dalam Islam, pernikahan disunahkan sebagai salah satu sunnah yang


sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Pernikahan dilihat sebagai cara untuk
melanjutkan keturunan, menjaga keseimbangan sosial, dan memenuhi tuntutan
agama. Terdapat banyak ayat dalam Al-Quran dan hadis dari Rasulullah yang
mengatur tentang pernikahan, tugas suami istri, serta hak dan kewajiban mereka.

Maka dapat disimpulkan bahwa, Pernikahan adalah ikatan sah antara


seorang pria dan seorang wanita yang memiliki makna penting dalam berbagai
aspek, baik dari segi bahasa dan istilah, pandangan para ahli, maupun perspektif
agama Islam. Dalam Islam, pernikahan dianjurkan sebagai cara untuk membina
keluarga yang harmonis, menjaga keseimbangan sosial, dan memenuhi tuntutan
agama. Hal ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Quran dan hadis yang mengatur
tugas, hak, dan kewajiban suami istri dalam pernikahan.

2. Sumber Hukum Nikah

Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan negara yang


mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah:
a. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 No.
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh
daerah Luar Jawa dan Madura. Sebagaimana bunyinya UU ini hanya
mengatur tata cara pencatatan nikah, talak dan rujuk, tidak materi
perkawinan secara keseluruhan. Oleh karena itu, tidak dibicarakan
dalam bahasan ini.
b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang meru-
pakan hukum materiil dari perkawinan, dengan sedikit menying- gung
acaranya.
c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. PP ini hanya memuat
pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1
Tahun 1974.
d. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sebagian dari materi undang-undang ini memuat aturan yang
berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa
perkawinan di Pengadilan Agama.

Selain itu Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 3:

‫َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ٰى َف انِكُحوا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن الِّنَس اِء َم ْثَنٰى َو ُثاَل َث َو ُر َب اَعۖ َف ِإْن‬
‫ِخ ْفُتْم َأاَّل َتْع ِد ُلوا َفَو اِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْدَنٰى َأاَّل َتُعوُلوا‬

Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya." (Q.S. An-Nisa/4:3)

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan


suatu hal yang sakral karena nikah diatur jelas baik itu oleh negara maupun oleh
agama. Selain itu, pelaksanaan pernikahan juga harus menggunakan prinsip
keadilan sesuai dengan keterangan dari Q.S. An-Nisa ayat 3. Perlu diingat,
pernikahan bukan sebuah ajang perlombaan melainkan sebuah persiapan baik
fisik, mental, dan finansial untuk sebuah perjalanan panjang mengarungi kerasnya
kehidupan bersama dengan pasangan.

3. Syarat dan Ketentuan Pernikahan di Indonesia

Prosesi pernikahan dapat dikatagorikan sah dan tidak sah bila syarat dan
rukun terpenuhi atau tidak, syarat dan rukun yang sesuai dengan ketentuan agama,
Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada kesepakatan fuqaha. Karena sebagian
mereka memasukkan suatu unsur menjadi hukum nikah, sedangkan yang lain
menggolongkan unsur tersebut menjadi syarat sahnya nikah. Adapun rukun nikah,
sebagai berikut :

a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara
syar'i untuk menikah. Di antara perkara syar'i yang menghalangi
keabsahan suatu pemikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi
termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya: misalnya si lelaki
adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang
muslimah.
b. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan,
"Zawwajtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah") atau
"Ankahtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan Fulanah"). Adanya
qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, "Qabiltu Hadzan Nikah" atau "Qabiltu Hadzat
Tazwij" ("Aku terima pernikahan ini") atau "Qabiltuha." Dalam ijab dan
qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur'an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
‫َف َلَّما َق َض ى َز ْي ٌد ِم ْن َه ا َو َط ًر ا َز َّو ُج َن اَك َه ا‬

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya


(menceraikannya), zawwajnakahal (Kami nikahkan engkau dengan Zainab
yang telah diceraikan Zaid)." (Al-Ahzab: 37)

c. Wali, wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah


atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan
menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya.

Karena keberadaan wali nikah merupakan rukun, maka harus dipenuhi


beberapa syarat. Dalam pasal 20 KHI ayat (1) dirumuskan sebagai berikut: "yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
islam yakni muslim, aqil dan baligh". Wali nikah ada dua macam yaitu:

- Wali Nasab Adalah wali yang hak perwalianya didasarkan karena


adanya hubungan darah. Baik orang tua kandung, dan bisa juga wali
aqrob dan ab'ad.
- Wali Hakim Adalah wali yang hak perwalianya timbul, karena orang
tua mempelai perempuan menolak ("adhal) atau tidak ada, atau karena
sebab lain..
d. Adanya saksi. Dalam pernikahan, kehadiran saksi pada saat akad nikah
amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah
tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak
ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan
tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah
(persangkaan jelek).

Dalam sebuah pernikahan, hadirnya dua orang saksi adalah rukun yang
harus dipenuhi.Karena aqad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali
dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang
saksi. Rasulullah sendiri menyebutkan dalam hadis sebagaimana, artinya “Tidak
sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.

Sesuai ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam BAB IV


tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, bagian ke empat pasal 24 ayat (1) dan (2),
pasal 25 mengatur tentang ketentuan saksi, dan pasal 26 tentang tugas seorang
saksi, maka saksi dalam pernikahan wajib dihadirkan, karena termasuk rukun dari
shahnya pernikahan. Menurut pendapat Imam Syafi’I, Hanafi, dan Hambali
sepakat bahwa saksi dalam pernikahan wajib, hal ini didasarkan pada hadis Nabi;
“tidak shah pernikahan tanpa dihadiri wali dan dua orang saksi. Berbeda dengan
para tiga di atas, Imam Maliki berpendapat tidak wajib menghadirkan saksi dalam
pernikahan, yang penting ada serah terima (sighot nikah) yang shoreh (jelas) maka
nikahnya sah, namun saksi wajib dihadirkan jika ingin melangsungkan hubungan
suami istri, agar tidak terjadi fitnah bagi yang mengetahui.

Kedudukan Saksi

Kedudukan saksi dalam pernikahan yaitu :

- Untuk menghilangkan fitnah atau kecuriagaan orang lain terkait hubungan


pasangan suami
- Untuk lebih menguatkan janji suci pasangan suami Karena seorang saksi
benar-benar menyaksikan akad nikah pasangan suami istri dan janji
mereka untuk saling menopang kehidupan rumah tangga atas dasar
maslahat bersama.

Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak
sah suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi.

Jumlah dan Syarat Saksi


Saksi dalam pernikahan disyaratkan dua orang laki-laki. Selanjutnya ada
dua pendapat tentang saksi laki-laki dan perempuan. Pendapat pertama
mengatakan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang
perempuan syah. Sedangkan pendapat kedua mengatakan tidak syah. Pendapat
pertama yang menegaskan bahwa pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki
dan dua orang perempuan syah bersandar pada firman Allah ta’ala:

Artinya: “Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada
angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui.”
(QS. Al Baqarah : 282)

Pendapat pertama ini diusung oleh kalangan ulama pengikut madzhab


Hanafiyyah.

Syarat-syarat saksi dalam pernikahan

- Laki-laki
- Beragam Islam
- Baligh
- Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
- Bisa berbicara, melihat, berakal
- Adil

Sabda Rasulullah Saw.:

Artinya: “Sahnya suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”. (H.R. Ahmad)

Adapun syarat perkawinan berdasarkan kitab undang-undang hukum


perdata terdiri dari:

1. Syarat materil
2. Syarat formal

Adapun yang dimaksud dengan syarat materil absolut adalah syarat-syarat


yang menyangkut pribadi seseorang yang terdiri dari:
- Monogami
- Persetujuan antara kedua calon suami istri
- Memenuhi syarat umur minimal
- Perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
di bubarkan
- Izin dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan

Syarat formil berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

1. Syarat ini mengandung Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun


setelah perkawinan. Misalnya sebelum perkawinan dilangsungkan,
maka kedua mempelai harus memberikan Pemberitahuan / aangifte
tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai
yang nantinya akan melangsungkan pernikahan. Sedang syarat lainnya,
yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam
kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin
dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui
perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
2. Syarat-syarat perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 di atur adalam
pasal 6 yaitu:
a. Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau
dalam keadaaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
di maksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan khusus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini atau salah seorag atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka peradilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapatbmembari izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini.
f. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.

C. Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Wakaf dalam Bahasa Arab (‫ )وقف‬berarti "menghentikan" atau "menahan"


sesuatu, dan dalam konteks hukum Islam, istilah ini merujuk pada tindakan
mengalihkan kepemilikan atau hak atas harta benda kepada Allah SWT untuk
tujuan amal yang baik dan kebaikan umat. Wakaf adalah salah satu instrumen
sosial, agama, dan ekonomi yang penting dalam Islam yang dapat digunakan
untuk berbagai tujuan, seperti pendirian dan pemeliharaan masjid, sekolah, rumah
sakit, pusat amal, dan berbagai proyek sosial lainnya. Wakaf juga dapat berwujud
properti tanah, bangunan, atau aset lainnya. Hukum wakaf dalam Islam memiliki
dasar-dasar yang berasal dari Al-Quran, Hadis (tradisi Nabi Muhammad SAW),
dan ijtihad (penafsiran hukum) ulama.
2. Sumber Hukum Wakaf

Di dalam al-Qur’an tidak disebut kata wakaf seperti halnya dengan zakat,
tetapi dari beberapa ayat al-Qur’an para ahli menyimpulkan bahwa Allah
menghendaki adanya lembaga wakaf. Dalam beberapa ayat Allah memerintahkan
manusia berbuat baik, para ahli memandang ini sebagai landasan perwakafan.

 QS. Al-Hajj (22:77):

‫ُهَّللا َيْس َتْقِبُل ِبَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا َو َيْه ِد يِهْم ُس ُبَلى الَّس اَل ِم َو ُيْخ ِر ُجُهم ِّم ن ُظُلَم اِت ِإَلى الُّن وِر ِبِإْذ ِن ِه‬
‫َو َيْهِد يِهْم ِإَلٰى ِص َر اٍط ُّم ْسَتِقيٍم‬

Artinya: “Allah akan membimbing dengan (membawa) Al-Qur'an ini


orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus dan menunjukkan mereka ke
jalan yang benar, dan memimpin mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya
dengan izin-Nya, dan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.”

 QS. Ali Imran (3:92):

‫َلن َتَناُلوا اْلِبَّر َح َّتٰى ُتنِفُقوا ِمَّم ا ُتِح ُّبوَن َو َم ا ُتنِفُقوا ِم ن َش ْي ٍء َفِإَّن َهَّللا ِبِه َع ِليٌم‬

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang


sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan
(juga) apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”

Kedua ayat ini mengandung pesan-pesan moral dan etika, termasuk


pentingnya petunjuk, cahaya, dan kebajikan dalam hidup seorang Muslim. Ayat-
ayat ini juga menekankan bahwa tindakan baik, termasuk bersedekah, adalah
bagian integral dari iman dan pengabdian kepada Allah.

Selain dalam Al-Quran, wakaf juga tertera dalam Peraturan Pemerintah


No.42 Tahun 2006 terkait Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 yang berbunyi
“Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah”. Hal ini mengindikasikan
bahwa wakaf jelas hukumnya dan dalam pelaksanaannya harus mengikuti aturan-
aturan yang berlaku.

3. Rukun Dan Syarat Wakaf

Praktik wakaf memerlukan unsur-unsur (rukun) yang harus memnuhi


persyaratan-persyaratan tertentu. Unsur-unsur yang dimaksud adalah Pewakaf
(waqif), harta yang diwakafkan (mauquf), tujuan wakaf (mauquf alaih),
pernyataan/ikrar wakif (sighat), Nadzir wakaf (pengelola wakaf)

a. Wakif (Pewakaf)

Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang


mewakafkan benda miliknya. Jadi wakif tidak hanya perorangan tetapi juga bisa
dalam bentuk organisasi dan badan hukum.

Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya adalah
tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), karena itu
syarat seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’.

Adapun syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 8 UU No. 41 Tahun


2004 dikemukakan dalam pasal wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:

a) Dewasa
b) Berakal sehat
c) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan
d) Pemilik sah harta benda wakaf.

Sedangkan bagi wakif yang berasal dari organisasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
Kemudian bagi wakif yang berasal dari badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap
imbalan), dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qabul (ucapan
menerima) dari orang yang menerima wakaf. Namun demikian ketentuan ini perlu
dipahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti
tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum
sekaligus menciptakan tertib administrasi.

b. Mauquf (harta yang diwakafkan)

Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah, apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang akan diwakafkan
adalah sebagai berikut:

a) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai.
Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda
tersebut.
b) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum (al
masya’).
c) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda
wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
d) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasan-
batasannya (misalnya tanah).
e) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah yang
lebih besar.
f) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang
tidak bergerak.
g) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
h) Bukan barang haram atau najis.

c. Mauquf Alaih (Peruntukan Wakaf)

Dalam pelaksanaan wakaf seharusnya Wakif menentukan tujuan dalam


mewakafkan harta benda miliknya, seperti harta wakaf tersebut digunakan untuk
Masjid, pondok pesantren atau yang lainnya. Dalam wakaf yang utama adalah
wakaf itu diperuntukkan untuk kebaikan mencari keridhaan Allah dan
mendekatkan diri kepada Nya. Serta tidak diperbolehkan memberikan wakaf
untuk kepentingan maksiat.

d. Sighat (Ikrar Wakaf)

Sighat wakaf ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau


dinyatakan oleh orang yang berwakaf.

Dalam sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas baik
secara lisan maupun tulisan, dan disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan,
kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Sighat tersebut biasanya
menggunakan kata “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna
lainnya.

Dengan pernyataan wakif tersebut, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya


benda itu menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum yang menjadi tujuan wakaf.

Dalam ketentuan UU No. 41/ 2004 pada pasal 18 dinyatakan, dalam hal
wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir
dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif
dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang
saksi. Dari ketentuan UU di atas, maka ikrar wakaf dapat diwakilkan pada
kuasanya, dengan diperkuat oleh dua orang saksi. Dalam hal Pengucapan dan /
atau tulisannya harus memenuhi syarat sebagai dalam UU No. 41/ 2004 pasal 17.
Namun, bila wakif mewakafkan dengan wakaf mutlak dan tidak
menyebutkan bagi siapa wakaf tersebut, seperti mengatakan: ”rumah untuk
wakaf,” yang demikian ini sah menurut Malik. Hal ini berbeda dengan pendapat
yang kuat bagi mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa wakaf itu tidak sah,
karena tidak adanya penjelasan siapa yang diwakafi.

e. Nadzir Wakaf (pengelola wakaf)

Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqih tidak mencantumkan Nadzir


wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah
ibadah tabarru’. Namun demikian, memperhatikan tujuan wakaf yang ingin
melestarika manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran Nadzir sangat diperlukan.
Adapun syarat nadzir menurut pasal 10 UU No.41 tahun 2004 adalah:

1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat


menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan:warga negara Indonesia;
beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; dan
tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan : pengurus organisasi yang
bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat
menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: penguru badan hukum
yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan badan hukum Indonesia yang
dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku; dan
badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Waris adalah proses pembagian harta, hak, atau kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam Islam, waris diatur oleh hukum waris Islam (faraid) dan Al-Quran
memberikan pedoman tentang pembagian warisan secara adil antara laki-laki dan
perempuan. Selain itu, hukum perdata Indonesia juga mengatur pembagian
warisan. Untuk menjadi ahli waris, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
seperti hubungan kekerabatan yang sah dan bukti kematian pewaris. Terdapat
rukun-rukun dalam hukum waris yang harus dipenuhi, dan setiap ahli waris
memiliki besaran bagian sesuai dengan hukum yang berlaku. Pembagian warisan
dapat bervariasi tergantung pada jumlah dan jenis ahli waris yang ada, serta
ketentuan hukum yang berlaku dalam agama dan negara.

Pernikahan adalah ikatan sah antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga, memenuhi aspek sosial dan agama, serta
membawa manfaat spiritual. Ini merupakan institusi penting dalam Islam dan
diatur dalam Al-Quran serta hadis. Di Indonesia, pernikahan diatur oleh undang-
undang, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU tersebut. Syarat-syarat pernikahan meliputi syarat
materil dan formil. Syarat materil mencakup persetujuan kedua calon mempelai,
syarat umur minimal, monogami, dan lainnya. Syarat formil mencakup tata cara
pelaksanaan pernikahan, seperti pemberitahuan kepada pegawai catatan sipil dan
larangan perkawinan tertentu. Keseluruhan ini harus mematuhi prinsip-prinsip
hukum perdata dan agama yang berlaku.

Wakaf adalah tindakan mengalihkan hak atau kepemilikan atas harta


benda kepada Allah SWT untuk tujuan amal yang baik dan kebaikan umat. Ini
merupakan instrumen penting dalam Islam untuk mendukung proyek-proyek
sosial, agama, dan ekonomi yang bermanfaat. Wakaf memiliki dasar-dasar dalam
Al-Quran, Hadis, dan ijtihad ulama. Syarat-syarat wakaf meliputi wakif (yang
mewakafkan), harta yang diwakafkan, tujuan wakaf, pernyataan wakif, dan nadzir
wakaf (pengelola wakaf). Wakif harus cakap secara hukum dan dapat melakukan
tindakan tabarru' (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan). Harta yang
diwakafkan harus jelas kepemilikannya, tidak terbebani dengan hutang atau ikatan
lain, dan tidak boleh benda haram atau najis. Wakaf harus dinyatakan dengan
tegas baik secara lisan maupun tulisan. Wakaf memiliki peran penting dalam
memajukan masyarakat, menjaga aset-aset umat, dan mendukung tujuan-tujuan
kebaikan dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul. (2016). "Wakaf Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Teori
dan Implementasi". Penerbit Kencana.

Akram, Pandu. “Memahami Hukum Waris Islam: Syarat, Rukun, dan Cara
Pembagiannya yang Adil”. https://www.gramedia.com/literasi/hukum-waris-
islam/ diakses pada 03 Oktober 2023 pukul 14.45 WIB.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Republik Indonesia.

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Majid, Abdul. (2010). "Ilmu Pendidikan Islam: Konsep Dasar dan


Implikasinya dalam Proses Pembelajaran". Penerbit Erlangga.

Riyanto, M. Khoirul Huda. (2018). "Wakaf Produktif sebagai Solusi


Pemberdayaan Ekonomi Umat". Jurnal Yurisprudensi, 3(1), 65-84.

Sidiq, Ahmad Zaini. (2018). "Wakaf Produktif dan Pengentasan


Kemiskinan: Studi tentang Wakaf Uang di Indonesia". Penerbit Erlangga.

Tim Redaksi Pustaka Yustisis. “Panduan Hukum Keluarga dan


Perkawinan”. Pustaka Yustisis.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU


Perkawinan).

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang No.41 tahun 2004 Tentang Wakaf pasal pasal 16

Widiyanto, Hari. (2020). “Konsep Pernikahan Dalam Islam (Studi


Fenomenologis Penundaan Pernikahan Di Masa Pandemi)”. Jurnal Islam
Nusantara 4(1), 106-107.

Wahab, M. Abdul. (2020). "Analisis Implementasi Perwakafan Tanah


Wakaf di Kabupaten Karawang (Studi Kasus KUA Kecamatan
Rengasdengklok)". Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah, 12(2), 261-280.

Anda mungkin juga menyukai