Makalah Kaidah Peradilan Ratna-2
Makalah Kaidah Peradilan Ratna-2
Oleh Kelompok 1
Ratna (2221.044.1)
Anisa Nurul Anastasya (2221.041.1)
Dede Ridwan Nur Alam (2221.079.1)
M Reza Resly Viraris (2221.063.1)
2023
KATA PENGANTAR
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................3
BAB II......................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................4
A. Waris.............................................................................................................4
B. Pernikahan.....................................................................................................9
C. Wakaf..........................................................................................................14
BAB III..................................................................................................................20
PENUTUP..............................................................................................................20
A. Kesimpulan.................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu aspek yang memiliki kedalaman hukum yang
besar dalam Islam. Aturan-aturan waris dalam hukum Islam sangat terperinci dan
mengatur bagaimana harta dan kekayaan seorang Muslim harus dibagi setelah
kematian seseorang. Pernikahan adalah institusi sosial dan agama yang sangat
penting dalam Islam. Hukum pernikahan mencakup berbagai aspek, mulai dari
persyaratan hukum, prosedur, hak dan kewajiban suami istri, hingga perceraian.
Meskipun ketiga aspek ini memiliki aturan hukum yang sangat rinci dalam
Islam, kompleksitasnya terletak pada berbagai situasi yang mungkin terjadi dalam
kehidupan nyata. Perubahan dalam tata nilai sosial, perkembangan ekonomi, dan
kemajuan teknologi dapat memunculkan berbagai komplikasi hukum yang
berkaitan dengan waris, pernikahan, dan wakaf. Selain itu, perbedaan interpretasi
dan pemahaman terhadap ajaran Islam juga dapat menjadi sumber perbedaan
pendapat dalam kasus-kasus hukum yang kompleks.
Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis
komplikasi-komplikasi hukum yang mungkin timbul dalam konteks waris,
pernikahan, dan wakaf dalam Islam. Dengan mengeksplorasi kasus-kasus nyata,
studi literatur, dan pandangan berbagai ulama, makalah ini akan membahas
beberapa isu hukum yang seringkali membingungkan dan memicu perdebatan
dalam masyarakat Muslim. Selain itu, makalah ini juga akan mencoba
memberikan pandangan yang lebih luas tentang bagaimana hukum Islam dapat
menanggapi tantangan-tantangan modern dalam aspek-aspek tersebut.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Waris
1. Pengertian Waris
Secara bahasa, dalam bahasa Arab, "waris" dinyatakan dengan kata ""َو اِر ث
(waarits) yang berasal dari akar kata " ( "َو َر َثwaratha). Istilah "( "َو اِر ثwaarits)
mengacu pada seseorang yang menerima warisan atau pewaris yang mewarisi
harta atau hak-hak dari seseorang yang telah meninggal dunia sesuai dengan
ketentuan hukum Islam atau hukum perdata yang berlaku. Istilah ini juga merujuk
pada seseorang yang memiliki hak sah atas harta peninggalan atau kekayaan
pewaris.
Pengertian waris ini memiliki implikasi penting dalam hukum perdata dan
agama Islam, serta menjadi dasar bagi proses pembagian harta benda dan
kekayaan antara pewaris dan ahli warisnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang
berlaku. Pengaturan mengenai waris ini juga dapat bervariasi sesuai dengan
hukum yang berlaku di berbagai negara dan budaya. Oleh karena itu, pemahaman
yang baik tentang konsep waris menjadi penting dalam konteks hukum dan agama
serta dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
ُۖيوِص يُك ُم ُهَّللا ِفي َأْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُأْلنَثَيْيِن ۚ َفِإن ُك َّن ِنَس اًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَث ا َم ا َت َر َك
َو ِإن َكاَنْت َو اِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف ۚ َو َأِلَبَو ْيِه ِلُك ِّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِإن َك اَن َلُه َو َل ٌد ۚ َف ِإن
َّلْم َيُك ن َّلُه َو َلٌد َو َو ِر َثُه َأَبَو اُه َفُأِلِّمِه الُّثُلُث ۚ َفِإن َك اَن َلُه ِإْخ َو ٌة َفُأِلِّمِه الُّسُد ُس ِم ن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيوِص ي
ِبَها َأْو َد ْيٍن ۗ آَباُؤ ُك ْم َو َأْبَناُؤ ُك ْم اَل َتْد ُروَن َأُّيُهْم َأْقَر ُب َلُك م َنْفًعاۚ َفِر يَض ًة ِّم َن ِهَّللاۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن َع ِليًم ا
َحِكيًم ا
Selain itu, waris juga diatur dalam KUH Perdata, tepatnya pasal 832 Bab
XII KUH Perdata tentang Pewarisan Karena Kematian. "Menurut undang-undang
yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut
undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang
hidup terlama,…" (Pasal 832 KUHPerdata). Masih dalam KUHPerdata Pasal 833
yang berbunyi, “Para ahli waris dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak
milik atas semua barang, semua hak, dan semua piutang orang yang meninggal”.
Anak perempuan
bersamaan dengan anak 2 untuk laki-laki, dan 1 untuk
laki-laki 2:1 perempuan
B. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah institusi sosial dan agama yang merujuk kepada ikatan
sah antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga,
menjalani kehidupan bersama, dan memenuhi aspek-aspek agama dan sosial
tertentu. Pernikahan dalam bahasa Arab disebut sebagai "( "زواجzawaj). Istilah ini
merujuk kepada ikatan atau kontrak sah yang mengikat seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan.
Selain itu Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 3:
َو ِإْن ِخ ْفُتْم َأاَّل ُتْقِس ُطوا ِفي اْلَيَتاَم ٰى َف انِكُحوا َم ا َط اَب َلُك م ِّم َن الِّنَس اِء َم ْثَنٰى َو ُثاَل َث َو ُر َب اَعۖ َف ِإْن
ِخ ْفُتْم َأاَّل َتْع ِد ُلوا َفَو اِح َد ًة َأْو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۚ َٰذ ِلَك َأْدَنٰى َأاَّل َتُعوُلوا
Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya." (Q.S. An-Nisa/4:3)
Prosesi pernikahan dapat dikatagorikan sah dan tidak sah bila syarat dan
rukun terpenuhi atau tidak, syarat dan rukun yang sesuai dengan ketentuan agama,
Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada kesepakatan fuqaha. Karena sebagian
mereka memasukkan suatu unsur menjadi hukum nikah, sedangkan yang lain
menggolongkan unsur tersebut menjadi syarat sahnya nikah. Adapun rukun nikah,
sebagai berikut :
a. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara
syar'i untuk menikah. Di antara perkara syar'i yang menghalangi
keabsahan suatu pemikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi
termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam
masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya: misalnya si lelaki
adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang
muslimah.
b. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan,
"Zawwajtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah") atau
"Ankahtuka Fulanah" ("Aku nikahkan engkau dengan Fulanah"). Adanya
qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, "Qabiltu Hadzan Nikah" atau "Qabiltu Hadzat
Tazwij" ("Aku terima pernikahan ini") atau "Qabiltuha." Dalam ijab dan
qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang
dalam Al-Qur'an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
َف َلَّما َق َض ى َز ْي ٌد ِم ْن َه ا َو َط ًر ا َز َّو ُج َن اَك َه ا
Dalam sebuah pernikahan, hadirnya dua orang saksi adalah rukun yang
harus dipenuhi.Karena aqad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali
dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria yang disaksikan oleh dua orang
saksi. Rasulullah sendiri menyebutkan dalam hadis sebagaimana, artinya “Tidak
sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Kedudukan Saksi
Seperti halnya wali, saksi juga salah satu rukun dalam pernikahan. Tidak
sah suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi.
Artinya: “Angkatlah dua orang saksi laki-laki diantara kamu jika tidak ada
angkatlah satu orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui.”
(QS. Al Baqarah : 282)
- Laki-laki
- Beragam Islam
- Baligh
- Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
- Bisa berbicara, melihat, berakal
- Adil
Artinya: “Sahnya suatu pernikahan hanya dengan wali dan dua orang saksi yang
adil”. (H.R. Ahmad)
1. Syarat materil
2. Syarat formal
C. Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Di dalam al-Qur’an tidak disebut kata wakaf seperti halnya dengan zakat,
tetapi dari beberapa ayat al-Qur’an para ahli menyimpulkan bahwa Allah
menghendaki adanya lembaga wakaf. Dalam beberapa ayat Allah memerintahkan
manusia berbuat baik, para ahli memandang ini sebagai landasan perwakafan.
ُهَّللا َيْس َتْقِبُل ِبَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا َو َيْه ِد يِهْم ُس ُبَلى الَّس اَل ِم َو ُيْخ ِر ُجُهم ِّم ن ُظُلَم اِت ِإَلى الُّن وِر ِبِإْذ ِن ِه
َو َيْهِد يِهْم ِإَلٰى ِص َر اٍط ُّم ْسَتِقيٍم
َلن َتَناُلوا اْلِبَّر َح َّتٰى ُتنِفُقوا ِمَّم ا ُتِح ُّبوَن َو َم ا ُتنِفُقوا ِم ن َش ْي ٍء َفِإَّن َهَّللا ِبِه َع ِليٌم
a. Wakif (Pewakaf)
Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya adalah
tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), karena itu
syarat seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’.
a) Dewasa
b) Berakal sehat
c) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan
d) Pemilik sah harta benda wakaf.
Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap
imbalan), dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qabul (ucapan
menerima) dari orang yang menerima wakaf. Namun demikian ketentuan ini perlu
dipahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti
tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum
sekaligus menciptakan tertib administrasi.
Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah, apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang akan diwakafkan
adalah sebagai berikut:
a) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai.
Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda
tersebut.
b) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum (al
masya’).
c) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda
wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
d) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasan-
batasannya (misalnya tanah).
e) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah yang
lebih besar.
f) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang
tidak bergerak.
g) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
h) Bukan barang haram atau najis.
Dalam sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas baik
secara lisan maupun tulisan, dan disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan,
kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Sighat tersebut biasanya
menggunakan kata “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna
lainnya.
Dalam ketentuan UU No. 41/ 2004 pada pasal 18 dinyatakan, dalam hal
wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir
dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif
dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang
saksi. Dari ketentuan UU di atas, maka ikrar wakaf dapat diwakilkan pada
kuasanya, dengan diperkuat oleh dua orang saksi. Dalam hal Pengucapan dan /
atau tulisannya harus memenuhi syarat sebagai dalam UU No. 41/ 2004 pasal 17.
Namun, bila wakif mewakafkan dengan wakaf mutlak dan tidak
menyebutkan bagi siapa wakaf tersebut, seperti mengatakan: ”rumah untuk
wakaf,” yang demikian ini sah menurut Malik. Hal ini berbeda dengan pendapat
yang kuat bagi mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa wakaf itu tidak sah,
karena tidak adanya penjelasan siapa yang diwakafi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Waris adalah proses pembagian harta, hak, atau kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Dalam Islam, waris diatur oleh hukum waris Islam (faraid) dan Al-Quran
memberikan pedoman tentang pembagian warisan secara adil antara laki-laki dan
perempuan. Selain itu, hukum perdata Indonesia juga mengatur pembagian
warisan. Untuk menjadi ahli waris, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
seperti hubungan kekerabatan yang sah dan bukti kematian pewaris. Terdapat
rukun-rukun dalam hukum waris yang harus dipenuhi, dan setiap ahli waris
memiliki besaran bagian sesuai dengan hukum yang berlaku. Pembagian warisan
dapat bervariasi tergantung pada jumlah dan jenis ahli waris yang ada, serta
ketentuan hukum yang berlaku dalam agama dan negara.
Pernikahan adalah ikatan sah antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga, memenuhi aspek sosial dan agama, serta
membawa manfaat spiritual. Ini merupakan institusi penting dalam Islam dan
diatur dalam Al-Quran serta hadis. Di Indonesia, pernikahan diatur oleh undang-
undang, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU tersebut. Syarat-syarat pernikahan meliputi syarat
materil dan formil. Syarat materil mencakup persetujuan kedua calon mempelai,
syarat umur minimal, monogami, dan lainnya. Syarat formil mencakup tata cara
pelaksanaan pernikahan, seperti pemberitahuan kepada pegawai catatan sipil dan
larangan perkawinan tertentu. Keseluruhan ini harus mematuhi prinsip-prinsip
hukum perdata dan agama yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul. (2016). "Wakaf Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat: Teori
dan Implementasi". Penerbit Kencana.
Akram, Pandu. “Memahami Hukum Waris Islam: Syarat, Rukun, dan Cara
Pembagiannya yang Adil”. https://www.gramedia.com/literasi/hukum-waris-
islam/ diakses pada 03 Oktober 2023 pukul 14.45 WIB.