Anda di halaman 1dari 171

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN


AGAMA JAKARTA SELATAN PERSPEKTIF
KEADILAN JENDER

Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)

Oleh:

DANIEL ALFARUQI
NIM: 21150435000005

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
ABSTRAK

Daniel Alfaruqi. NIM 21150435000005. PEMBAGIAN HARTA


BERSAMA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN
IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
PERSPEKTIF KEADILAN JENDER. Program Studi Magister Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440 H/2019 M. xvi + 154 halaman + 22 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami aturan pembagian harta bersama
yang ada pada Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dilihat dari perspektif keadilan jender, dengan
menggunakan Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) sebagai tolak ukur analisisnya.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat
kualitatif, dengan menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan kasus (case
approach). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara
pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Sedangkan sumber data
sekunder adalah Kompilasi Hukum Islam, Konvensi CEDAW, putusan harta
bersama Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2013-2017, dan segala referensi
yang berkaitan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam pada
dasarnya telah berupaya menciptakan aturan tentang harta bersama yang sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan jender dalam setiap pasalnya. Namun aturan
tersebut masih memuat beberapa hal yang kurang mendukung wacana keadilan
jender, yaitu ketentuan Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 yang masih mengandung
unsur diskriminatif dan bisa merugikan perempuan maupun laki-laki. Aturan ini
tidak sejalan dengan Konvensi CEDAW Pasal 16 ayat (1) yang mewajibkan
negara membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi dalam semua
urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Oleh
sebab itu, berdasarkan Konvensi CEDAW Pasal 2 huruf (f), maka aturan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 tersebut perlu
direkonstruksi. Mengenai implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
ditemukan hasil bahwa secara umum para hakim dalam memutuskan perkara
pembagian harta bersama tidak keluar dari aturan Kompilasi Hukum Islam.
Namun ditemukan dua putusan yang berani menyimpang dari aturan Kompilasi
Hukum Islam dengan alasan adanya ketidakadilan jika aturan itu tetap diterapkan
pada kasus tersebut. Oleh karena itu, hakim lebih menimbang faktor sosiologis
dan filosofis dari para pihak yang berperkara, sehingga hakim membagi harta
bersama dengan porsi yang lebih besar kepada salah satu pihak. Hal ini
menunjukkan bahwa hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah berusaha
mengaplikasikan semangat penghapusan diskriminasi dan menjunjung tinggi
keadilan jender sebagaimana yang diharapkan oleh Konvensi CEDAW, meskipun
secara nyata belum tersurat dalam setiap putusan harta bersama yang diputus.
Kata Kunci : Keadilan Jender, Harta Bersama, KHI, CEDAW
Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA
Daftar Pustaka : 1965 s.d. 2018

v
ABSTRACT

Daniel Alfaruqi. NIM 21150435000005. DIVISION OF COMMUNITY


PROPERTY ACCORDING TO THE COMPILATION OF ISLAMIC LAW AND
ITS IMPLEMENTATION IN THE SOUTH JAKARTA RELIGIOUS COURT
THE PERSPECTIVE OF GENDER JUSTICE. Magister of Family Law, Faculty
of Sharia and Law, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 1440 H /
2019 M. xvi + 154 pages + 22 attachment pages.
This study aimed to understand the role of division of community property
in the rules of Compilation of Islamic Law and its implementation in the South
Jakarta Religious Court viewed from a gender justice perspective, using the
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) as a benchmark for its analysis.
This research is a qualitative normative juridical research, using a
normative approach and a case approach. The primary data source in this study is
the result of a personal interview with judges of the South Jakarta Religious
Court. While secondary data sources are the Compilation of Islamic Law, the
CEDAW Convention, the decision on community property of the South Jakarta
Religious Court in 2013-2017, and all references related to this research.
The results of the study indicate that the Compilation of Islamic Law has
basically attempted to create rules about community property that are in
accordance with the principles of gender justice in each article. But, the regulation
still contains several things that do not support the gender justice discourse,
namely the provisions of Article 96 section (1) and Article 97 which still contain
discriminatory elements and can harm women and men. This rule is not in line
with the CEDAW Convention Article 16 section (1) which requires the state to
make appropriate regulations to eliminate discrimination in all matters relating to
marriage and family relations. Therefore, based on the Article 2 letter (f) CEDAW
Convention, the Compilation of Islamic Law rules of Article 96 section (1) and
Article 97 need to be reconstructed. Regarding its implementation in the South
Jakarta Religious Court, generally it was found that the judges in deciding the
case for the distribution of community property did not come out of the
Compilation of Islamic Law rules. However, two decisions were found which
dared to deviate from the rules of Compilation of Islamic Law on the grounds that
there were injustices if the rules were still applied to the case. Therefore, the judge
more considered sociological and philosophical factors than the parties involved
in the litigation, so the judge divides the community property with a larger
portion to one of the parties. This shows that the judges in the South Jakarta
Religious Court have tried to apply the spirit of eliminating discrimination and
upholding gender justice as expected by the CEDAW Convention, even though it
has not been explicitly stated in any decisions of community property that have
been decided.

Keywords : Gender Justice, Community Property, Compilation of Islamic


Law, CEDAW

vi
xvi ‫ھ۔‬

)KHI(

)CEDAW(

.CEDAW ،(KHI)

vii
viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat, hidayah,
dan inayahNya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini sebagaimana
mestinya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi
agung Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan inspirator bagi umat Islam
dalam menjalankan kehidupan.
Tesis ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tersayang,
Ayahanda H. Nurkausar, S.Pd. dan Ibunda Hj. Imelda, S.Pd., yang telah banyak
memberikan kasih sayang, waktu, pikiran, tenaga, dan do’anya sejak penulis lahir
sampai saat ini, begitu juga untuk kedua adik tersayang Zikril Mustawa dan
Nuraisyah yang selalu memberikan semangat. Kemudian penulis persembahkan
kepada yang tercinta, istri penulis Resti Adita, A.Md. KG. dan bayi kecilku
Hafizah Shafana Alfaruqi yang selalu menjadi penyemangat dan motifasi untuk
menyelesaikan tesis ini, serta Ayah dan Ibu mertua terhormat Ayah Ahmadi dan
Ibu Ernita yang telah mendukung, memotivasi, dan mendo’akan penulis dalam
berjuang menuntut ilmu.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusi, dukungan, motivasi, bimbingan, dan arahan selama
masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan tesis ini. Secara khusus penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Syahrul Adam, M.Ag. dan Dr. Nahrowi, S.H., M.H., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Isnawati Rais, MA., selaku Dosen pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan, dan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

viii
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini.
6. Jajaran staf dan karyawan akademik perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, Perpustakaan Utama, serta Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi
sebagai bahan rujukan tesis.
7. Keluarga besar Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya kepada Bapak
Drs. H. Jarkasih, M.H., dan Dra. Hj. Fauziah, M.H., selaku hakim yang telah
bersedia meluangakan waktunya untuk memberikan informasi guna
melengkapi data dalam penyelesaian tesis ini.
8. Rekan-rekan seperjuangan Magister Hukum Keluarga UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan,
pengalaman, dan informasi seputar pendidikan.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala yang terbaik dan
kesuksesan bagi mereka yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada penulis dalam penyelesaian Tesis ini. Semoga Tesis ini
bermanfaat bagi penulis dan setiap pihak yang membacanya.

Jakarta, 71 Mei 2019

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN HASIL UJIAN TESIS iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 11
1. Identifikasi Masalah 11
2. Pembatasan Masalah 11
3. Perumusah Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13
D. Review Studi Terdahulu 14
E. Metode Penelitian 19
F. Sistematika Penulisan 22

BAB II KONSEP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN


A. Harta dalam Perkawinan 25
B. Harta Bersama dalam Perkawinan 27
C. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Adat 29
D. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Islam 32
E. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Positif 39

BAB III KONVENSI CEDAW DAN KONSEP KEADILAN JENDER


A. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

x
Perempuan (Konvensi CEDAW) 45
B. Konsep Keadilan Jender 52
C. Jender Menurut Hukum Islam 60
D. Hakim Agama dan Sensitivitas Jender 67

BAB IV DESKRIPSI PERKARA HARTA BERSAMA


DI PENGADILANAGAMA JAKARTA SELATAN
A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan 70
B. Proses Pemeriksaan Gugatan Harta Bersama 78
C. Deskripsi Perkara Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan 81

BAB V ANALISIS KEADILAN JENDER TERHADAP


PEMBAGIAN HARTA BERSAMA PADA KOMPILASI
HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum
Islam Perspektif Keadilan Jender 90
1. Pasal-pasal yang Mendukung Keadilan Jender 92
2. Pasal-pasal yang Kurang Mendukung Keadilan Jender 99

B. Implementasi Aturan Kompilasi Hukum Islam dalam Perkara


Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan Perspektif Keadilan Jender 104
1. Kasus Istri Bekerja Menggugat Suami Bekerja 106
2. Kasus Suami Bekerja Menggugat Istri Bekerja 113
3. Kasus Istri Tidak Bekerja Menggugat Suami Bekerja 126
4. Kasus Suami Bekerja Menggugat Istri Tidak Bekerja 131

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 144
B. Rekomendasi 145

xi
DAFTAR PUSTAKA 147

LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Perkara yang Diterima dan Diputus di Pengadilan


Agama Jakarta Selatan Tahun 2014-2017 82
Tabel 4.2 Daftar Perkara Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 83
Tabel 4.3 Perkara Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 yang Akan di Analisis 85
Tabel 4.4 Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2013-2017 Dilihat dari Pihak yang Mengajukan Gugatan.......87
Tabel 5.1 Hasil Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 105
Tabel 5.2 Putusan Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 dalam Kasus
Istri bekerja Menggugat Suami Bekerja 106
Tabel 5.3 Putusan Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 dalam Kasus
Suami bekerja Menggugat Istri Bekerja 114
Tabel 5.4 Putusan Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 dalam Kasus
Istri Tidak bekerja Menggugat Suami Bekerja 126
Tabel 5.5 Putusan Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 dalam Kasus
Suami bekerja Menggugat Istri Tidak Bekerja 131
Tabel 5.6 Putusan Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Tahun 2013-2017 dalam Kasus
Istri Tidak bekerja 136

xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
j Je
ẖ ha dengan garis bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r Er
z zet
s es
sy es dan ye
es dengan garis bawah
ḏ de dengan garis bawah
ṯ te dengan garis bawah
ẕ zet dengan garis bawah
„ koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha
f ef
q Qo
k ka
l el
m em

xiv
n en
w we
‫ھ۔‬ h ha
ˋ apostrop
y Ya

B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama dengan vokal dalam bahasa Indonesia,
yaitu terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fatẖ ah
i kasrah
u ḏ ammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai


berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai a dan i
au a dan u

C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas


î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas

xv
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
alif dan lam ( ‫) ال‬, dialihak arakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
‫ = انرّجم‬al-rijâl, bukan ar-rijaâl
‫ = انعادة‬al-ʻ âdah

E. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Misalnya:
‫ = محكّمة‬muhakkamah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya: ‫ = انشّركة‬al-syirkah, tidak ditulis asy-syirkah.

F. Ta Marbûṯ ah
Jika ta marbûṯ ah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh
1) atau diikuti oleh kata sifat (naʻ t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûṯ ah ter ebut dialihak arakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûṯ ah diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihak arakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 syirkah
2 al-syarîʻ ah al-islâmiyyah
3 kifâyat al-ˋ akhyâr

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Islam secara konseptual dipersepsikan sebagai suatu hukum
yang universal, dinamis, elastis dan fleksibel. Hukum Islam dapat beradaptasi,
berinteraksi serta mampu menampung berbagai bentuk perkembangan
dimanapun dan kapanpun. Penerapan prinsip tersebut dalam tatanan empirik-
historis telah melahirkan tokoh-tokoh besar dan karya-karya monumental
dalam bidang pemikiran hukum Islam sesuai dengan tingkat perkembangan
masyarakatnya dan tuntutan sosio-kultural yang mengitarinya.1
Hukum Islam yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah
hukum Islam yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang mencerminkan nilai-
nilai masyarakat Indonesia sehingga produk-produk hukum disesuaikan
dengan perkembangan masyarakat, kendatipun pada zaman kolonial (Belanda)
pemikiran hukum banyak mengalami tekanan dari pihak penjajah sehingga
hukum Islam sulit berkembang.2
Meskipun demikian, para pemikir hukum Islam melakukan
pembaruan pemikiran hukum Islam dengan mengkaji produk-produk hukum
yang ada untuk disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Dalam upaya
pembaruan tersebut terdapat dua tema pokok yang menjadi sasaran, yaitu:
pertama, kembali kepada Alquran dan Sunnah dan kedua, keindonesiaan.
Tema kedua ini, yang pada dasarnya masih kelanjutan tema pertama,
dimaksudkan untuk menyesuaikan konteks sosio-kultural masyarakat
Indonesia dengan hukum Islam. Tema kedua ini pada gilirannya melahirkan
gagasan tentang hukum Islam yang berkepribadian Indonesia, dan berikut
disebut dengan fikih Indonesia.

1
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, (Pekanbaru:
Suska Press, 2015), h. 1.
2
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), Cet. X, h. 1.

1
2

Lahirnya fikih yang bercorak Indonesia merupakan puncak


pencerminan bahwa hukum Islam dan hukum adat lokal dapat hidup
berdampingan dan diselaraskan dalam bentuk sistem hukum yang baru, seperti
hukum keluarga Islam Indonesia yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan. Artinya, hukum Islam dan
hukum adat merupakan dua sistem yang saling berhubungan dan tidak bisa
dipisahkan, baik secara teoritis maupun praktisnya.3
Pemikiran untuk melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga
Islam di Indonesia muncul karena dipengaruhi oleh spirit pembaruan yang
telah dilakukan oleh negara-negara muslim sebelumnya, seperti Turki
melaksanakannya pada tahun 1917, Mesir pada tahun 1920, Iran tahun 1931,
Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956 dan Pakistan tahun 1961.4
Adapun bentuk pembaruan yang dilakukan berbeda antara satu negara
dengan negara yang lain. Bentuk pembaruan itu yaitu: Pertama, kebanyakan
negara melakukan pembaruan dalam bentuk undang-undang, termasuk dalam
bagian ini Indonesia dan Malaysia. Kedua, ada beberapa negara yang
melakukannya dengan berdasar dekrit (raja atau presiden), seperti Yaman
Selatan dengan dekrit raja tahun 1942, dan Syria dengan dekrit presiden tahun
1953. Ketiga, ada negara yang usaha pembaruannya dalam bentuk ketetapan-
ketetapan hakim (Mansyûrat al-Qâḏ î al-Quḏ âh), seperti yang dilakukan
Sudan. Sejumlah negara melakukan pembaruan hukum keluarga secara
menyeluruh yang di dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan warisan,
sementara itu sejumlah negara lain membatasi hanya pada perkawinan dan
perceraian. Bahkan ada negara yang melakukan pembaruan dengan cara
setahap demi setahap, yang dimulai dengan satu aturan tertentu, seperti
keharusan pencatatan perkawinan dan perceraian, serta siapa yang berhak

3
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, h. 2-3.
4
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 1.
3

mencatatkan perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan dengan aturan lain


yang masih dalam perkawinan dan perceraian, kemudian baru diteruskan lagi
dengan aturan lain misalnya yang berhubungan dengan masalah warisan dan
lain sebagainya.5
Sedangkan dalam hal tujuan usaha pembaruan hukum keluarga Islam,
tiap-tiap negara juga memiliki perbedaan dengan negara lain, yang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, negara yang
melakukan pembaruan dengan tujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan
pembaruan hukum keluarga dengan tujuan untuk univikasi ini adalah karena
adanya sejumlah mazhab yang dianut di negara bersangkutan, yang bisa jadi
terdiri dari mazhab Sunnî dan Syîʻ î dan atau hukum keluarga ditujukan bukan
hanya untuk kaum muslimin, seperti undang-undang Tunisia. Kedua, tujuan
pembaruan untuk peningkatan status wanita, antara lain seperti Indonesia,
Malaysia, Mesir dan negara lainnya. Ketiga, untuk merespon perkembangan
dan tuntutan zaman karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu
menjawabnya. Dapat dikatakan tujuan ketiga ini merupakan tujuan mayoritas
dari pembaruan Undang-undang Perkawinan Muslim, meskipun tidak
menutup kemungkinan di beberapa negara mencakup beberapa tujuan
sekaligus.6
Salah satu langkah pembaruan hukum keluarga di negara-negara
muslim modern termasuk Indonesia adalah meninjau kembali sejumlah
ketentuan hukum Islam klasik yang dianggap sudah tidak relevan dengan
kondisi sosial dan tuntutan atau perubahan modern. Di antara hasil dari
peninjauan kembali itu adalah masalah harta bersama dalam perkawinan.

5
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
h. 2.
6
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2001), h. 5-6.
4

Hukum Islam dan kitab-kitab fikih klasik tidak mengatur tentang


pelembagaan harta bersama suami istri dalam perkawinan.7 Menurut fukaha,
suami memiliki hartanya sendiri dan istri juga memiliki hartanya sendiri.
Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya itu kepada
istrinya atas nama nafkah, yang untuk selanjutnya digunakan istri untuk
keperluan rumah tangganya.8 Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-
undangan perkawinan di Indonesia. Dalam perundang-undangan perkawinan
di Indonesia ditemukan aturan tentang pelembagaan harta bersama.
Pelembagaan harta bersama maksudnya adalah penyatuan harta yang
diperoleh selama masa perkawinan untuk menjadi harta berdua suami istri
tanpa menghiraukan siapa yang bekerja dan harta itu terdaftar atas nama siapa.
Meskipun yang bekerja hanyalah salah satu pihak suami atau istri saja, harta
yang diperoleh tetap dipandang sebagai harta bersama. Masing-masing suami
dan istri sama-sama berhak mempergunakan harta bersama tersebut.
Kemudian, apabila hubungan perkawinan suami dan istri berakhir, baik karena
kematian maupun karena perceraian, maka harta tersebut harus dibagi dua.9
Diaturnya penyatuan harta kekayaan suami dan istri menjadi harta
bersama dalam perundang-undangan di Indonesia diduga kuat karena
pelembagaan harta bersama tersebut telah dikenal lama dan dipraktekkan
dalam kesadaran kehidupan sehari-hari masyarakat Islam di Indonesia.
Pelembagaan harta bersama telah dikenal sejak dulu dalam hukum adat di
Indonesia. Hukum adat tentang harta bersama telah diterapkan dan terus-
menerus sebagai hukum yang hidup di negara ini.10

7
Mohd Norhusairi Mat Hussin and Raihanah Abdullah, “Distribution Practice of Harta
Sepencarian in Malaysia: A Literature Review”, Journal of Shariah Law Research: Vol. 1, No. 1,
2016, h. 77.
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 175.
9
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 63.
10
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, h. 63.
Lihat juga Mark E. Cammack and R. Michael Feener, Joint Marital Property in Indonesia
5

Jika terjadi sengketa yang menyangkut tentang perkawinan,


perceraian, warisan, atau hal-hal yang berkaitan dengan hukum keluarga,
termasuk perkara harta bersama yang terjadi antara warga negara Indonesia
yang beragama Islam, maka perkara-perkara tersebut dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama untuk diselesaikan. Sumber aturan yang dipakai oleh
hakim Pengadilan Agama untuk memutus perkara sebelum tahun 1974 adalah
berdasarkan hukum Islam yang bersumber dari tiga belas kitab fikih yang
ditentukan oleh Departemen Agama.11 Setelah berlakunya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-
undang Perkawinan), hakim Pengadilan Agama memutus perkara perkawinan
berdasarkan hukum Islam yang terdapat dalam kitab fikih dan Undang-undang
Perkawinan.12 Pada tahun 1991, setelah terbitnya KHI berdasarkan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991, sumber hukum bagi hakim
Pengadilan Agama dalam memutus perkara mengenai perkawinan, kewarisan,
hibah, wasiat, dan wakaf mengacu pada ketentuan-ketentuan yang termaktub
dalam KHI.13

Customary, Islamic, and National Law, dalam Peri Bearman, dkk, The Law Applied:
Contextualizing The Islamic Shari’a, (London, I.B Tauris, 2008), h. 92.
11
Kitab-kitab tersebut adalah: (1) al-Bâjûrî, (2) Fatẖ al-Muʻ în, (3) Syarqâwî ‘alâ al-
Taẖ rîr, (4) Qalyûbî/Maẖ allî, (5) Fatẖ al-Wahhâb dengan syarahnya, (6) Tuẖ fah, (7) Targhîb al-
Musytâq, (8) Qawânîn al-Syarʻ iyyah li al-Sayyîd bin Yaẖ yâ, (9) Qawânîn al-Syarʻ iyyah li al-
Sayyîd S adaqah Daẖ lân, (10) Syamsûrî fî al-Farâˋ iḏ , (11) Bughyat al-Mustarsyidîn, (12) al-
Fiqhu ʻ alâ al-Madzâhib al-Arbaʻ ah, (13) Mugnî al-Muẖ tâj. Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia:
Kompilasi Hukum Islam dan Counter Lefal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik
Hukum Indnesia, (Bandung: Penerbit Marja, 2014), h. 120.
12
Departemen Agama, Himpunan Putusan Pengadilan Tinggi Agama, (Jakarta: Badan
Peradilan Agama, 1982/1983), berisi putusan-putusan Pengadilan Tinggi Agama tahun 1979 s/d
1980 yang sumber hukum dalam putusan tersebut merujuk pada kitab-kitab fikih dan Undang-
undang Perkawinan. Lihat juga Departemen Agama, Yurisprudensi Peradilan Agama dan Analisa,
(Jakarta: Badan Peradilan Agama, 1995), berisi putusan-putusan Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung tahun 1983 s/d 1990 yang sumber hukumnya merujuk pada
kitab fikih dan Undang-undang Perkawinan.

13
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Lihat Harun Alrasid, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), buku ke I,
h. 861, dan Zainal Abidin Abubakar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama, (Surabaya: Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, t.th), h. 363.
6

Terkait persoalan harta benda perkawinan, yang termasuk di dalamnya


harta bersama ini setidaknya telah diatur dalam dua ketentuan hukum yang
ada di Indonesia, yaitu No. 1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam UU No. 1 Tahun
1974, pengaturan tentang hal yang berkaitan dengan harta bersama terdapat
dalam bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan yang terdiri dari tiga
pasal, yaitu Pasal 35, 36, dan 37, serta juga terdapat dalam bab XIII mengenai
ketentuan peralihan yaitu pada Pasal 65. Sedangkan dalam KHI, pengertian
harta bersama terdapat pada bab I tentang Ketentuan Umum yaitu dalam Pasal
1 huruf (f). Adapun mengenai pengaturan tentang harta bersama di KHI ini
terdapat dalam bab XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan yang terdiri
dari tiga belas pasal, mulai dari Pasal 85 sampai dengan Pasal 97.
Undang-undang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta harta
bersama”. Selanjutnya, Pasal 37 menentukan, “Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Dalam
penjelasan Pasal 37 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
“hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum Adat, dan hukum-
hukum lainnya. Dengan demikian, bagi orang Islam di Indonesia berlaku
ketentuan hukum yang terdapat dalam KHI.
Adapun KHI Pasal 1 huruf (f) menjelaskan bahwa “Harta kekayaan
dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama
siapapun”. Sedangkan mengenai pembagian harta bersama diatur dalam Pasal
96 ayat (1) dan 97. Dalam Pasal 96 ayat (1) disebutkan “Apabila terjadi cerai
mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih
lama”. Kemudian Pasal 97 menyebutkan “Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan”.
7

Ketentuan KHI tersebut dilihat secara sepintas seakan-akan telah


menggambarkan ketentuan yang adil tanpa ada unsur diskriminasi, karena
aturan tersebut membagi harta bersama antara suami dan istri dengan porsi
yang sama besar ketika hubungan perkawinan dinyatakan berakhir. Namun
apakah ketentuan tersebut benar-benar bisa memberikan rasa keadilan yang
sesungguhnya?, karena jika kita perhatikan lebih teliti, ketentuan-ketentuan
tersebut ternyata baru sebatas memberikan gambaran keadilan secara formal
saja, dengan membagi dua sama besar terlepas dari siapa yang mengusahakan
harta bersama tersebut tentunya tidak bisa diterapkan secara merata untuk
semua kasus harta bersama yang terjadi.
Apabila dalam keadaan istri tidak bekerja, dengan kata lain istri
seorang ibu rumah tangga, dan suami bekerja mencari nafkah di luar, maka
ketika terjadi perceraian ketentuan bagi dua berdasarkan aturan KHI sangat
tepat diterapkan. Karena keadaan istri yang bekerja mengurus rumah tangga
berarti telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, maka separuh
bagian harta bersama merupakan haknya. Namun apabila suami ternyata tidak
melaksanakan kewajibannya dengan baik, misalnya tidak menafkahi istri,
anak-anak, dan kebutuhan rumah tangga, sehingga istri terpaksa memikul
beban kerja ganda (multi burdened) yaitu mengurus rumah tangga serta
bekerja mencari uang demi memperbaiki keadaan ekonomi keluarga,
sedangkan suami tidak berusaha membantu, maka ketika hubungan
perkawinan berakhir, ketentuan pembagian harta bersama yang ada dalam
KHI dirasa tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Aturan KHI tentang pembagian harta bersama yang ada dalam Pasal
96 ayat (1) dan Pasal 97 tersebut sepertinya tidak mempertimbangkan
berbagai faktor penting yang harus ada demi menjaga kesetaraan dan keadilan
jender antara laki-laki dan perempuan, seperti faktor hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan, serta termasuk faktor kontribusi
baik dalam hal materi maupun non materi dalam upaya perolehan harta
bersama dalam perkawinan.
8

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya diskriminasi,


artinya walaupun tujuan ketentuan hukum bukan mengadakan diskriminasi,
tetapi dampaknya diskriminatif. Diskriminasi tidak langsung dapat terjadi
apabila hukum, kebijakan, dan program didasarkan pada kriteria yang
sepertinya netral jender, tetapi dalam kenyataannya mengakibatkan dampak
yang merugikan bagi salah satu pihak, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.14
Mengenai hal ini, Konvensi CEDAW sangat melarang adanya unsur-
unsur yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan maupun laki-laki di
setiap aturan hukum, karena tidak sesuai dengan prinsip dasar konvensi ini,
yaitu prinsip non diskriminasi. Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) adalah perjanjian
atau kesepakatan internasional yang komprehensif, yang dirancang untuk
melarang semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua bidang
kehidupan publik dan pribadi. Pada prinsipnya konvensi ini lebih menekankan
kepada kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, dalam artian
persamaan hak dan kesempatan serta perlakuan dalam segala bidang
kehidupan. Kovensi ini juga mendorong diberlakukannya Undang-undang
nasional yang melarang diskriminasi serta mengupayakan terwujudnya
keadilan antara laki-laki dan perempuan. Indonesia termasuk salah satu negara
anggota PBB yang telah meratifikasi konvensi ini.15
Ratifikasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh negara dengan
memberikan persetujuan tertulis untuk menyatakan terikat pada suatu
perjanjian internasional. Konsekuensi dari ratifikasi ini secara otomatis akan

14
Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
15
Konvensi CEDAW diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan
mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Lebih dari 90% negara-negara anggota PBB
merupakan negara peserta konvensi ini. Hingga saat ini sebanyak 189 dari 193 negara anggota
PBB telah meratifikasi konvensi CEDAW, termasuk di dalamnya negara Indonesia. Michele
Brandt and Jeffrey A. Kaplan, “The Tension between Women's Rights and Religious Rights:
Reservations to Cedaw by Egypt, Bangladesh and Tunisia”, Journal of Law and Religion, Vol. 12,
No. 1 (1996), h. 106.
9

menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang menyetujui dan


menegakkan ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam konvensi ini.16
Di antara ketentuan yang harus dilaksanakan oleh setiap negara yang
telah meratifikasi konvensi ini yaitu sebagaimana yang terdapat pada Pasal 2
huruf (b) Konvensi CEDAW yang menyatakan bahwa “Negara mengutuk
diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan bersepakat
untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda
melaksanakan kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan”.
Untuk mencapai tujuan itu, maka pada huruf (b) dikatakan bahwa negara
harus “Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-
peraturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya jika diperlukan, yang melarang
semua diskriminasi terhadap perempuan”.
Kemudian ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga
juga telah diatur dalam Konvensi CEDAW yang terdapat pada Pasal 16 ayat
(1) yang menegaskan bahwa “Negara wajib membuat peraturan-peraturan
yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua
urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan”.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Konvensi CEDAW di atas,
jika dihubungkan dengan aturan KHI tentang pembagian harta bersama yang
ada dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 yang memberikan pembagian sama
rata terhadap harta bersama ketika hubungan perkawinan telah usai tanpa
mempersoalkan dari mana harta tersebut dihasilkan, sepertinya kurang
mendukung wacana keadilan jender, karena ketentuan tersebut tidak bisa
diterapkan secara merata terhadap setiap kasus harta bersama yang masuk di
Pengadilan Agama. Pada satu sisi ketentuan tersebut bisa dipandang adil,
namun disisi lain ketentuan itu bisa menyebabkan diskriminasi terhadap salah
satu pihak yang berperkara. Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan tersebut
masih mengandung hal-hal yang bias jender.

16
Ahmad Masfuful Fuad, “CEDAW and The Rights of Kinship in Islamic Family Law”,
Al-Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV, No. 1, 2015, h. 182.
10

Keadaan demikian merupakan sebuah masalah yang patut


mendapatkan perhatian, baik oleh para pembentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia maupun oleh para hakim dalam proses penyelesaian
perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh
bagaimana ketentuan pembagian harta bersama menurut Kompilasi Hukum
Islam dilihat dari perspektif keadilan jender, apakah ketentuan tersebut telah
mendukung semangat keadilan jender, atau justru sebaliknya. Serta bagaimana
implementasi aturan-aturan KHI tersebut di Pengadilan Agama, apakah
ketentuan dalam KHI digunakan secara mutlak oleh hakim dalam putusannya,
ataukah hakim di Pengadilan Agama mempunyai pemahaman dan alternatif
lain demi memenuhi rasa keadilan. Hal-hal tersubut di atas akan dilihat dari
perspektif hukum yang berkeadilan jender dengan menggunakan Konvensi
CEDAW sebagai tolak ukur untuk melakukan analisis.
Menggunakan Konvensi CEDAW sebagai alat ukur keadilan jender
dalam masalah pembagian harta bersama dikarenakan selain Indonesia
termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW, hal ini
juga dikarenakan oleh tujuan konvensi ini yaitu untuk memberikan kepada
laki-laki dan perempuan hak yang sama tanpa unsur diskriminasi di dalamnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konvensi ini sangat menghargai
keadilan jender. Oleh karena itu, Konvensi CEDAW bisa dijadikan sebagai
alat ukur sejauh mana aturan KHI tentang pembagian harta bersama dan
implementasinya di Pengadilan Agama telah mendukung semangat keadilan
jender.
Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk mendalami persoalan
ini dan merasa perlu mengangkat tema ini menjadi sebuah karya ilmiah dalam
bentuk tesis dengan judul “PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN PERSPEKTIF KEADILAN
JENDER”.
11

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berbagai permasalahan yang secara potensial terkait dengan tema
ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Konvensi CEDAW sebagai alat ukur keadilan jender.
b. Aturan KHI tentang pembagian harta bersama perspektif hukum yang
berkeadilan jender.
c. Implementasi aturan KHI tentang pembagian harta bersama di
Pengadilan Agama.
d. Harmonisasi aturan KHI dan instrument hukum internasional terhadap
upaya perlindungan hak perempuan dan laki-laki dalam pembagian
harta bersama.
e. Hakim Pengadilan Agama sebagai aktor penting demi mewujudkan
keadilan jender dalam hukum keluarga.
f. Kendala penerapan prinsip keadilan jender dalam pembagian harta
bersama di Pengadilan Agama.
g. Upaya hakim dalam mewujudkan putusan yang berkeadilan jender
terhadap kasus pembagian harta bersama.
h. Dampak penerapan prinsip keadilan jender dalam pembagian harta
bersama terhadap rasa keadilan para pihak yang berperkara.

2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka
permasalahan yang akan dibahas dibatasi pada persoalan pembagian harta
bersama menurut aturan Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di
Pengadilan Agama dilihat dari perspektif keadilan jender, dengan
menggunakan Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) sebagai tolak ukur untuk
menganalisisnya.
Tempat penelitian dibatasi pada Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Hal ini dilatarbelakangi karena berdasarkan data yang ditemukan
12

di website Mahkamah Agung Republik Indonesia, hingga saat ini


Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan Pengadilan Agama yang
terbanyak dalam menerima dan memutus perkara harta bersama
dibandingkan Pengadilan Agama lainnya di Indonesia.17
Selain itu, Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
pengadilan kelas IA, para hakim yang bekerja di pengadilan kelas IA
adalah hakim yang tergolong senior, baik dikarenakan masa kerja yang
lebih lama dibandingkan dengan para hakim yang berada pada kelas II dan
IB, maupun karena prestasinya. Walaupun dari segi layanan substantif,
pengadilan yang berkelas lebih tinggi bukan berarti selalu memberikan
putusan yang lebih adil dibandingkan pengadilan yang berkelas lebih
rendah, karena hukum materil maupun hukum formil yang dipakai tetap
sama.18 Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa jam terbang sangat
perpengaruh terhadap kualitas seorang hakim dalam menyelesaikan
perkara yang dihadapkan kepadanya. Sehingga hakim senior seharusnya
lebih bisa menimbang dan mewujudkan rasa keadilan disetiap putusannya.
Adapun pemilihan data yang akan dianalisis dalam penelitian ini
adalah data putusan harta bersama tahun 2013-2017, karena data pada
tahun tersebut merupakan data yang relatif lengkap, berfariasi dari segi
hasil putusan, dan lebih mudah diakses dibandingkan data pada tahun
sebelum dan sesudahnya.

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah
di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok kajian dalam
penelitian ini adalah bagaimana pembagian harta bersama menurut
Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di Pengadilan Agama

17
Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”,
diakses pada 12 Februari 2019 dari https://putusan.mahkamahagung.go.id/ditjen/agama.
18
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Setelah Naik Kelas, Apa Lagi?”, diakses
pada 06 Mei 2019 dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/setelah-naik-kelas-apa-lagi.
13

Jakarta Selatan perspektif keadilan jender. Rumusan masalah tersebut


dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan pembagian harta bersama menurut Kompilasi
Hukum Islam dilihat dari perspektif keadilan jender?
b. Bagaimana implementasi aturan Kompilasi Hukum Islam dalam
perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan perspektif keadilan jender?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk memahami bagaimana ketentuan pembagian harta bersama
menurut Kompilasi Hukum Islam dilihat dari perspektif keadilan
jender.
b. Untuk memahami bagaimana implementasi aturan Kompilasi Hukum
Islam dalam perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan perspektif keadilan jender.

2. Manfaat Penelitian
Kajian ini diharapkan memiliki kegunaan ganda yakni teoritis dan
praktis.
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang berharga untuk peneliti maupun praktisi-praktisi
hukum, terutama hakim di Pengadilan Agama, mengenai pembagian
harta bersama.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan
dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang lebih baik di masa
mendatang.
14

D. Review Studi Terdahulu


Sudah banyak penelitian yang dilakukan baik oleh para peneliti dari
dalam negeri maupun dari luar negeri mengenai tema harta bersama, keadilan
jender dalam hukum keluarga, serta hak-hak perempuan dalam pandangan
hukum internasional. Akan tetapi belum ada kajian yang secara spesifik
membahas tentang pembagian harta bersama menurut Kompilasi Hukum
Islam dan implementasinya di Pengadilan Agama dilihat dari perspektif
hukum yang berkeadilan jender, dengan menggunakan Konvensi CEDAW
sebagai tolak ukur untuk menganalisis keadilan jender di dalamnya. Sejauh
data yang diperoleh, terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan
tema ini, di antaranya:
Defi Uswatun Hasanah dalam bukunya yang berjudul “Hak-hak
Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama: Studi Perbandingan Hukum
Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW”.19 Penelitiannya bertujuan untuk
melihat bagaimana penerapan hak-hak perempuan dalam putusan Pengadilan
Agama Tanjung Pati (Sumatera Barat) dengan menggunakan Hukum Keluarga
Islam (UUP dan KHI) dan Konvensi CEDAW sebagai bahan pembanding
untuk menganalisisnya. Putusan yang dijadikan data dalam penelitiannya
yaitu, putusan perkara itsbat nikah, izin poligami, dan cerai gugat. Kesimpulan
dari penelitiannya membuktikan bahwa putusan-putusan Pengadilan Agama
Tanjung Pati belum mampu melindungi hak-hak perempuan dalam bidang
perkawinan dan perceraian secara maksimal karena diskriminasi terhadap hak-
hak perempuan masih di temukan dalam berbagai putusan. Walaupun sama-
sama menggunakan Konvensi CEDAW sebagai tolak ukur dalam
menganalisis aturan KHI dan putusan hakim, namun penelitian yang akan
penulis lakukan mempunyai perbedaan dalam beberapa hal, yaitu penelitian
ini akan menganalisis putusan harta bersama, dan tempat penelitian yaitu
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

19
Defi Uswatun Hasanah, Hak-hak Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW), (Jakarta: Cakrawala Budaya,
2017).
15

Mesraini dalam penelitiannya yang berjudul “Konsep Harta Bersama


dan Implementasinya di Pengadilan Agama”.20 Mesraini menjadikan putusan
harta bersama pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2010 sebagai
bahan yang akan dikaji. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa secara umum
majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara
pembagian harta bersama tidak keluar dari aturan perundang-undangan
tersebut. Selama tidak ada kesepakatan atau perdamaian yang dibuat oleh
suami dan istri yang bersengketa tentang porsi pembagian harta bersama,
majelis hakim memutuskan harta bersama tersebut dibagi sama banyak.
Namun, apabila terdapat kesepakatan antara suami dan istri, pembagian harta
bersama didasarkan atas kesepakatan yang mereka buat. Walaupun sama-sama
menjadikan putusan harta bersama Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai
sumber data, namun memiliki beberapa perbedaan, yaitu selain berbeda dalam
hal tahun putusan yang akan dijadikan data, penelitian ini juga mengkaji
ketentuan pembagian harta bersama yang telah dirumuskan oleh KHI ditinjau
dari perspektif keadilan jender. Disamping itu, penelitian ini juga mengkaji
implementasi dari aturan KHI tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tahun 2013-2017 dilihat dari perspektif keadilan jender dengan menggunakan
Konvensi CEDAW sebagai tolak ukur analisisnya.
Isnawati Rais dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Pembagian
Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Implementasinya
di Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.21
Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati Rais berfokus pada persoalan aturan
KHI yang terkait dengan harta bersama, yang kemudian dilanjutkan dengan
bagaimana aturan tersebut diimplementasikan di Pengadilan Agama dengan
menganalisa sejumlah putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2005-

20
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam, Vol. XII, No.1, 2012.
21
Isnawati Rais, “Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Implementasinya di Pengadilan Agama (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”,
(Laporan Penelitian, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
16

2010. Dalam kesimpulan laporannya dikatakan bahwa penetapan bagi dua


sama rata sebagaimana yang ditetapkan oleh KHI tidak diberlakukan dengan
kaku untuk seluruh kasus gugatan penetapan dan pembagian harta bersama,
karena ada kasus yang bisa diselesaikan dengan damai oleh kedua belah pihak,
tanpa mempertimbangkan presentase. Berbeda dengan Isnawati Rais, pokok
kajian dalam penelitian ini adalah meninjau aturan KHI dan implementasinya
tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun
2013-2017 dari perspektif keadilan jender dengan menggunakan Konvensi
CEDAW sebagai alat ukur analisisnya. Sehingga akan diketahui apakah
ketentuan KHI dan implementasinya tersebut sudah mendukung semangat
keadilan jender atau sebaliknya.
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, dkk, dalam bukunya yang berjudul
“Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender
Hakim Agama di Indonesia”.22 Buku ini merupakan dokumentasi dari
program pelatihan sensitivitas gender hakim agama di Indonesia yang
dilakukan oleh Pusat Studi Konstitusi, Hukum, dan HAM (PUSKUMHAM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation.
Fokus dari pelatihan sensitivitas gender hakim agama dalam program ini yaitu
untuk memotret cara pandang, sikap dan prilaku hakim agama dari perspektif
keadilan jender di beberapa wilayah Indonesia yaitu para hakim di Mahkamah
Syar’iyah Aceh, Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan, dan Pengadilan
Agama di Sumatera Barat.
Sebagai implikasi dari berbagai progam pelatihan tersebut,
PUSKUMHAM melihat adanya pergeseran paradigma dan perilaku para
hakim di ketiga daerah tersebut. Secara umum, para hakim tersebut memiliki
kepekaan terhadap isu-isu kesetaraan hak-hak perempuan dan laki-laki, hanya
saja tingkat kepekaan mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya.

22
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009).
17

Beberapa hakim memang cenderung memiliki kepekaan jender lebih baik dan
mengisyaratkan bahwa kepekaan tersebut sudah terbawa dalam diri mereka
sejak sebelum mengikuti pelatihan. Sementara beberapa hakim lain
cenderungan sangat berhati-hati dalam menyerap dan menerapkan isu jender,
hal ini terlihat jelas ketika pertama kali konsep itu diperkenalkan kepada
mereka. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih terfokus pada
aturan KHI tentang pembagian harta bersama serta penerapannya di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang akan dianalisis menggunakan aturan-
aturan yang ada pada Konvensi CEDAW.
Noor Azizah dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Hukum Islam
terhadap Pembagian Harta Warisan untuk Istri yang Ikut Menanggung Beban
Ekonomi Keluarga”,23 mengatakan bahwa pembagian warisan harta bersama
pada wanita yang ikut menanggung beban ekonomi keluarga sering dirasakan
tidak adil oleh pihak wanita, karena harta milik wanita tersebut diikutsertakan
dalam pembagian harta warisan. Hal ini disebabkan karena pengaturan
mengenai harta bersama dalam hukum positif masih mengabaikan status dan
kedudukan harta seorang istri yang diperoleh selama perkawinan, serta karena
tidak jelasnya status kepemilikan harta yang akan dibagi. Untuk memecahkan
kendala tersebut Noor Azizah menawarkan solusi dengan menyarankan agar
adanya pengaturan tentang kejelasan status kepemilikan, jika dalam status
kepemilikan harta tersebut atas nama suami, maka status kepemilikannya
adalah milik suami, begitupun sebaliknya. Berbeda dengan Noor Azizah,
penelitian ini lebih menekankan pada aturan KHI mengenai pembagian harta
bersama serta implementasinya di Pengadilan Agama yang diakibatkan karena
adanya perceraian, bukan karena ada kematian, serta akan dilihat berdasarkan
perspektif keadilan jender menggunakan tolak ukur Konvensi CEDAW.
Mark E. Cammack dalam penelitiannya yang berjudul “Marital
Property in California and Indonesia: Community Property and Harta
23
Noor Azizah, “Kajian Hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan untuk Istri
yang Ikut Menanggung Beban Ekonomi Keluarga”, (Tesis S-2 Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, 2007).
18

Bersama”.24 Penelitian yang dilakukan Cammack membahas tentang


perbandingan konsep harta bersama yang ada di Indonesia dan konsep harta
bersama yang ada di California (sebuah negara bagian yang terletak di pesisir
barat Amerika Serikat). Berdasarkan penelitiannya, Cammack mengatakan
bahwa pemahaman harta bersama dalam perkawinan di Indonesia memiliki
kesamaan dengan sistem harta bersama di Kalifornia, yaitunya harta yang
diperoleh selama perkawinan oleh pasangan suami istri. Keduanya juga sama-
sama mengenal pemisahan harta yang diperoleh oleh salah satu pasangan
sebelum menikah atau yang diperoleh dengan cara hadiah atau warisan. Hasil
perbandingan ini menentang asumsi bahwa sistem hukum yang suci secara
inheren kurang mampu mengubah dan beradaptasi dari sistem sekuler.
Adapun perbedaannya dengan penelitian Cammack bahwa penelitian yang
akan dilakukan ini tidak membahas tentang perbandingan konsep harta
bersama antara Indonesia dengan negara lain, tetapi lebih menekankan pada
bagaimana aturan KHI dan implementasinya mengenai pembagian harta
bersama di Pengadilan Agama dilihat dari perspektif hukum yang berkeadilan
jender dengan menggunakan salah satu instrument hukum internasional yaitu
Konvensi CEDAW sebagai bahan analisisnya.
Berdasarkan beberapa tema penelitian di atas, tampak bahwa belum
ada penelitian yang secara khusus membahas tentang pembagian harta
bersama menurut Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di Pengadilan
Agama dilihat dari perspektif hukum yang berkeadilan jender, dengan
menggunakan Konvensi CEDAW sebagai tolak ukur untuk menganalisisnya,
oleh karena itu penelitian ini berusaha mengisi kekosongan tersebut.

24
Mark E. Cammack, “Marital Property in California and Indonesia: Community
Property and Harta Bersama”, Washington and Lee Law Review, Vol. 64, No. 4, 2007.
19

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis
normatif25 yang bersifat kualitatif.26 Adapun pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan normatif yaitu berupa penelitian dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach).27 Maksudnya penelitian dengan
menggunakan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang di
angkat, yaitu peraturan tentang harta bersama dan instrumen internasional
yang berhubungan dengan jender dalam hal ini adalah Konvensi CEDAW.
Selain menggunakan pendekatan di atas, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan kasus (case approach), dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan
telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio
decidenci atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai
kepada suatu putusan.28 Dalam hal ini yaitu putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 tentang perkara
harta bersama.

2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Kategori data primer adalah sumber utamanya diambil dari

25
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-
asas dalam ilmu hukum. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
h. 24
26
Adapun ciri dari metode kualitatif adalah data yang disajikan berupa gambaran kata-
kata, pendapat, ungkapan, gagasan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Lexy J.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.3.
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), ed. I, Cet. 4, h.
97.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 94.
20

objek penelitian.29 Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
tergolong sering memutus perkara harta bersama. Sedangkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, tesis, disertasi, dan
peraturan perundang-undangan yang dinilai berkaitan dengan objek
penelitian.30
Adapun data sekunder tersebut terdiri dari, Pertama, bahan hukum
primer, yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Konvensi
CEDAW, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
dan putusan-putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang harta
bersama tahun 2013-2017. Kedua, bahan hukum sekunder seperti buku-
buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek
penelitian ini. Dan Ketiga, bahan hukum tertier, yaitu penjelasan atau
petunjuk mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang
berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, media online, dan sebagainya
yang berkaitan dengan objek penelitian dalam tesis ini.

3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam tesis ini adalah para hakim yang memutus
perkara harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Karen itu
putusan Pengadilan Agama menjadi sangat penting dalam melihat alasan
yang digunakan hakim dalam memutus perkara harta bersama. Data
putusan Pengadilan Agama yang diambil adalah data tahun 2013 sampai

29
Yayan Sopyan, “Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum”,
(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 57.
30
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 106.
21

dengan 2017, hal ini dikarenakan data pada tahun tersebut lebih lengkap
dan bisa diakses dibandingkan data-data pada tahun yang lain.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
penelusuran kepustakaan (library research) dan lapangan (field research).
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menganalisa
buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal-jurnal, dan peraturan perundang-
undangan di Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UU
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan KHI). Sementara
dalam studi lapangan, dilakukan observasi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan untuk melakukan wawancara (interview) dengan beberapa hakim.
Selain wawancara, pengumpulan data dalam penelitian ini juga
menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mempelajari dokumen
atau berkas dalam bentuk putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tahun 2013-2017 terkait perkara harta bersama.

5. Teknik Analisis Data


Setelah semua bahan dirasa sudah cukup memadai, langkah
selanjutnya yaitu melakukan analisis data. Analisis data dalam penelitian
ini dilakukan secara deskriptif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian,31 aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini yaitu
Konvensi CEDAW, sedangkan permasalahan hukum yang menjadi objek
kajian yaitu aturan KHI tentang pembagian harta bersama dan
implementasinya dalam putusan hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Adapun metode yang digunakan adalah metode analisis isi

31
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 107.
22

(content analysis) yakni digunakan untuk menganalisis isi putusan Hakim


Pengadilan Agama. Dengan demikian penulis membuat penafsiran
terhadap data yang telah diolah dan dihubungkan dengan kerangka teoritis,
kemudian disimpulkan sebagai jawaban terhadap masalah penelitian.

F. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari enam bab yang di dalamnya terdapat sub bab
yang akan memperjelas fokus penelitian ini dan akan disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, kemudian juga diuraikan tujuan dan manfaat penelitian, lalu
dipaparkan tentang review studi terdahulu agar dapat membuktikan
originalitas serta mengetahui secara persis signifikansi penelitian ini. Dalam
bab ini juga dipaparkan tentang metode penelitian serta sistematika penulisan
yang berisi tentang uraian masing-masing bab.
Bab kedua, membahas tentang landasan teoritis mengenai konsep
harta bersama dalam perkawinan. Dimulai tentang harta dalam perkawinan,
lalu tentang harta bersama dalam perkawinan, harta bersama dalam perspektif
hukum adat, harta bersama dalam perspektif hukum Islam, dan terakhir
membahas tentang harta bersama dalam perspektif hukum positif.
Bab ketiga, pembahasan tentang Konvensi CEDAW dan konsep
keadilan jender. Dimulai dari pembahasan tentang Konvensi CEDAW,
kemudian konsep keadilan jender, jender menurut hukum Islam, dan terakhir
tentang hakim agama dan sensitivitas jender.
Bab keempat, membahas tentang deskripsi perkara harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang di dalamnya berisi tentang profil
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, proses pemeriksaan gugatan harta
bersama, lalu terakhir membahas tentang deskripsi perkara harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai dari tahun 2013 hingga 2017, yang
di dalamnya dipaparkan tentang jumlah perkara yang diterima dan diputus,
23

salinan putusan harta bersama yang berhasil dikumpulkan, dan putusan-


putusan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini.
Bab kelima, menganalisis tentang pembagian harta bersama menurut
Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dilihat dari perspektif keadilan jender.
Bab keenam, bab penutup yang akan mengakhiri seluruh rangkaian
pembahasan dalam tesis ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II
KONSEP HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

Kehidupan berumah tangga tidak bisa dijamin akan berjalan harmonis dan
bahagia selamanya, karena apabila salah satu pihak kurang memahami hak dan
kewajiban masing-masing sebagai suami istri maka hal ini sangat berpotensi
mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran yang bisa berujung pada sebuah
perceraian. Jika perkawinan putus karena perceraian, sudah dapat dipastikan akan
menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak yang berkaitan dalam suatu
rumah tangga. Salah satu akibat hukum yang timbul karena terjadi perceraian
khususnya di negara Indonesia adalah tentang masalah pembagian harta bersama.
Pada dasarnya, pembahasan tentang harta bersama dalam suatu ikatan
perkawinan tidak ditemukan dalam hukum Islam. Perkawinan dalam Islam tidak
menyebabkan terjadinya percampuran antara harta suami dan istri, dengan kata
lain harta merupakan milik perseorangan, suami memiliki hartanya sendiri dan
istri juga memiliki hartanya sendiri. Namun suami memiliki kewajiban untuk
menafkahi istri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri tidak
dibebani kewajiban bekerja mencari nafkah.1
Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia
ditemukan aturan tentang harta bersama. Aturan ini muncul karena istilah harta
bersama telah dikenal sejak lama dalam hukum adat di Indonesia. Untuk lebih
memahami pembahasan ini, maka dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal
mengenai konsep harta bersama dalam perkawinan. Namun sebelum membahas
lebih dalam tentang harta bersama, kita perlu memahami terlebih dahulu
mengenai harta dalam perkawinan, karena berdasarkan aturan hukum adat dan
hukum positif yang ada di Indonesia harta bersama merupakan bagian dari harta
perkawinan itu sendiri.

1
Isnawati Rais, “Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Implementasinya di Pengadilan Agama (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”,
(Laporan Penelitian Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 2.

24
25

A. Harta dalam Perkawinan


Secara etimologi, harta adalah barang, baik berupa uang dan
sebagainya yang menjadi kekayaan, barang milik seseorang, kekayaan
berwujud dan tidak berwujud yang bernilai, dan yang menurut hukum
dimiliki.2 Sama halnya dengan pengertian harta yang didefinisikan dalam
Kamus Istilah Aneka Hukum yaitu kekayaan dan barang-barang milik
seseorang.3 Jadi dapat dikatakan bahwa harta menurut bahasa adalah setiap
barang yang dimiliki oleh seseorang.
Secara terminologi, jumhur ulama mendefinisikan harta dengan segala
sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenai ganti rugi bagi orang yang merusak
atau menghilangkannya.4 Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
pengertian harta dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu harta adalah
suatu yang berwujud yang ditetapkan semata-mata untuk kemaslahatan
manusia, dapat disimpan pada suatu tempat, dapat dikelola, dapat dimiliki
oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia, dapat diperjual belikan,
serta dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan sewaktu-waktu dapat
dipergunakan pada saat dibutuhkan.5
Oleh karena itu, jika harta dikaitkan dengan konteks perkawinan,
maka dapat diartikan sebagai kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh
suatu keluarga selama perkawinannya.6 Selain itu, harta perkawinan juga
disebut dengan istilah harta suami istri, yaitu harta kepunyaan suami atau istri
yang diperoleh masing-masing sebelum perkawinan atau yang disebut dengan

2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)), h. 485.
3
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000), h. 166.
4
Wahbah, al-Zuhaîlî al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyik: Dâr al-Fikr,
1997), Juz IV, h. 2877.
5
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 154-155.
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
485.
26

harta bawaan, maupun harta yang diperoleh mereka selama dalam


perkawinan.7
Sedangkan pengertian harta perkawinan jika dilihat dari perspektif
hukum adat adalah, semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka
terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun
harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta
penghasilan sendiri, harta pencarian bersama suami istri, dan barang-barang
hadiah. Semuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut dan
bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri yang bersangkutan.8
Adapun berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hukum
mengenal dua jenis harta dalam perkawinan, yaitu harta bersama dan harta
bawaan atau harta pribadi. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat 1 dan 2. Pada
ayat (1) dinyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama”, dan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “Harta bawaan
dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Sementara itu menurut Sayuti Thalib, jika dilihat dari sudut asal-
usulnya, harta suami istri atau harta perkawinan dapat digolongkan pada tiga
golongan, yaitu:
1. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka
kawin, baik bersal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri
yang disebut sebagai harta bawaan.
2. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan dari usaha mereka
baik secara individu maupun bersama-sama, tetapi merupakan hibah,
wasiat, atau warisan untuk masing-masing.

7
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 15.
8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1992), h. 156.
27

3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan


atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka yang
disebut dengan harta bersama.9
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa harta
perkawinan itu adalah semua harta yang dimiliki oleh suami atau istri atau
dimiliki bersama baik yang didapatkan sebelum perkawinan yang kemudian
dibawa ke dalam perkawinan, maupun yang didapatkan selama masa
perkawinan berlangsung.

B. Harta Bersama dalam Perkawinan


Harta bersama atau disebut juga dengan community property (Inggris)
dan gemeensschap van goederen (Belanda) merupakan sebuah istilah hukum
yang sudah populer di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah yang digunakan adalah “gana-gini”, yang secara hukum artinya adalah
harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi
hak berdua suami dan istri.10
Tidak jauh berbeda dengan definisi harta bersama di atas, dalam
Oran’s Dictionary of The Law disebutkan bahwa harta bersama adalah setiap
harta yang diperoleh oleh suami dan istri secara bersama, mencakup semua hal
yang dihasilkan selama dalam masa perkawinan (Marital property is any
property owned by a husband and wife together, including most things
purchased during the marriage).11
Sedangkan menurut Sayuti Thalib harta bersama adalah harta
kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan.

9
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. 5, h. 85.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 410.
11
Daniel Oran, Oran’s Dictionary of The Law, (New York: Delmar Cengage Learning,
2008), h. 325.
28

Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka berdua atau sendiri-
sendiri selama masa perkawinan.12
Istilah yang dipakai untuk penamaan harta bersama ini berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain. Di Jawa, harta bersama diistilahkan dengan
gono-gini,13 di Aceh dinamakan dengan hareuta sihareukat, di Minangkabau
disebut dengan harta suarang, di Sunda digunakan istilah guna-kaya, di Bali
disebut dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunan istilah barang
perpantangan.14 Namun dalam penelitian ini istilah yang dipakai adalah “harta
bersama”, karena istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam Undang-
undang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer),
maupun KHI, adalah harta bersama.
Undang-undang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sedangkan dalam bab I tentang Ketentuan Umum pada KHI Pasal 1 huruf (f)
dapat dipahami bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Sementara itu, dalam
KUHPer Pasal 119 dinyatakan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya
perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara
suami istri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Jadi, berdasarkan pembahasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa
harta bersama adalah harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh

12
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, h. 85.
13
KBBI mendefinisikan kata gono-gini dalam tradisi Jawa sebagai “anak yang hanya dua
bersaudara, laki-laki dan perempuan (dari satu ayah dan satu ibu)”. Kemudian dikembangkan
sebagai konsep tentang persatuan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Oleh
karena itu, harta yang memang berhubungan dengan ikatan perkawinan tersebut kemudian disebut
dengan “harta gono-gini”. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, h. 410.
14
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 3.
29

suami istri baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri selama masa


perkawinan masih berlangsung, diluar hadiah dan warisan. Dalam artian harta
bersama tersebut benar-benar harta yang diperoleh suami atau istri melalui
kerja keras atau usaha mereka.

C. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Adat


Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau
tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh
hukum positif yang berlaku di negara ini, sehingga dapat dikatakan ada
kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan
kekayaan istri (alghele gemeenschap van goederen) dalam perkawinan
mereka. Percampuran harta kekayaan ini berlaku jika pasangan tersebut tidak
menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.15
Hampir seluruh hukum adat menyatakan bahwa tidak semua harta
benda yang dimiliki suami dan istri merupakan kesatuan harta kekayaan (harta
bersama). Harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh secara bersama
sejak terjadinya ikatan perkawinan. Sedangkan harta benda yang diperoleh
sebelum terjadinya perkawinan dan harta warisan yang diperoleh selama masa
perkawinan merupakan harta kekayaan pribadi suami dan istri.16
Oleh karena itu, untuk lebih memahami konsep harta bersama
berdasarkan perspektif hukum adat, maka penting bagi kita untuk mengetahui
terlebih dahulu jenis-jenis harta yang ada dalam hukum adat. Menurut Idris
Ramulyo ada beberapa macam harta yang dikenal dalam lembaga hukum adat
di Indonesia, yaitu:17
1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena
usahanya masing-masing. Harta ini di daerah Bali disebut Guna Kaya (lain

15
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, h. 8.
16
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 16.
17
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 228-229.
30

dari Guna Kaya Sunda), sedangkan di Sumatera Selatan disebut Harta


Pembujangan, sementara itu di daerah Minangkabau dikenal dengan nama
Harta Pembujang. Harta jenis pertama ini adalah hak masing-masing
suami-istri dan dikuasai penuh oleh masing-masing pihak.
2. Harta yang diberikan kepada kedua mempelai pada saat mereka menikah,
seperti modal usaha, perabotan rumah tangga, ataupun rumah tempat
tinggal pasangan suami istri tersebut. Di Minangkabau disebut dengan
harta asal, jika terjadi putusnya perkawinan, harta ini kembali kepada
keluarga (orang tua) yang memberikan semula.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang bukan karena
usahanya, tetapi karena hibah, wasiat atau warisan dari orang tua atau
keluarga dekat. Harta ini di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Yogyakarta disebut harta gawan, di Jakarta disebut barang usaha, di
Banten disebut dengan sulu, di Jawa Barat dikatakan barang benda atau
barang asal (barang pusaka), di Aceh dikenal dengan istilah (hareuta asal
atau pusaka), di Nganju Dayak disebut dengan pinbit, dan di Minangkabau
dikenal dengan harta pusako tinggi. Apabila perkawinan putus maka harta
ini kembali kepada keluarga asal.
4. Harta yang diperoleh suami istri selama masa perkawinan baik melalui
usaha bersama suami istri atau usaha masing-masing, yang disebut dengan
harta bersama. Harta ini di Aceh disebut hareuta sihareukat, di Bali
dikenal dengan druwe cabro, di Jawa harta gono-gini, atau barang guna,
di Kalimantan disebut barang papantangan, di Minangkabau disebut
pusako randah, di Jawa Barat dikenal dengan istilah guna kaya, dan di
daerah Bugis (Makasar) disebut dengan istilah makruf dan barang
cakkara’. Jika perkawinan putus, maka harta dibagi secara berimbang
segendong sepikul (Jawa Barat), dua berbanding satu (Jawa Timur), atau
mungkin dibagi sama banyak dilihat dari sudut banyak sedikitnya atau
besar kecilnya usaha masing-masing suami istri tersebut.
Konsep hukum adat tentang harta bersama hampir sama di seluruh
daerah. Persamaan itu menyangkut terbatasnya harta kekayaan yang dapat
31

digolongkan sebagai harta bersama, sedangkan mengenai aturan dan


pembagian dari harta bersama itu sendiri pada kenyataannya memang berbeda
di masing-masing daerah. Misalnya di Jawa, pembagian harta kekayaan
kepada harta bawaan dan harta bersama setelah terjadinya perceraian antara
suami dan istri akan bermakna penting sekali. Hal ini berbeda dengan kondisi
jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, pembagian tersebut tidak
begitu penting. Sementara itu, di Aceh pembagian harta kekayaan kepada
harta bawaan dan hareuta seuhareukat bermakna sangat penting, baik ketika
terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan jika salah seorang
pasangan meninggal dunia.18
Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum Adat dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang
berlaku dan jenis hartanya.19 Karena itu pengaturan harta dalam perkawinan
pada masyarakat adat patrilinial akan berbeda dengan pengaturan harta
perkawinan pada masyarakat yang adatnya matrilineal maupun parental.
Pada masyarakat patrilinial, pada umumnya semua harta perkawinan
dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga dengan dibantu oleh istri sebagai
ibu rumah tangga. Semua harta perkawinan baik harta bersama maupun harta
bawaan (hadiah dan warisan) penguasaan dan hak mengaturnya untuk
kehidupan keluarga dipegang oleh suami.
Sedangkan pada masyarakat matrilineal, terdapat pemisahaan
kekuasaan terhadap harta perkawinan. Contohnya di Minangkabau,
penguasaan terhadap harta pusaka milik bersama kerabat dipegang oleh
Mamak Kepala Waris, berarti istri dan suami hanya mempunyai hak ganggam
bauntuak (hak mengusahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang
tanah atau hak mendiami terhadap rumah gadang). Sedangkan terhadap harta

18
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, h. 17-18.
19
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, h. 198.
32

bersama, suami dan istri secara bersama menguasainya, dan terhadap harta
bawaan masing-masing dikuasai oleh masing-masing suami istri tersebut.20
Sementara itu pada masyarakat parental dan bilateral, harta bersama
dikuasai bersama oleh suami istri untuk kepentingan bersama dan harta
bawaan dikuasai masing-masing. Hal tersebut jika kedudukan suami istri
sejajar. Sedangkan apabila tidak sejajar, maka harta bersama dikuasai oleh
yang kedudukkannya lebih tinggi.21 Contohnya pada perkawinan di kalangan
orang Sunda antara seorang wanita kaya dengan laki-laki miskin (nyalindung
kagelung) atau sebaliknya antara laki-laki kaya dengan wanita miskin
(manggih kaya).22
Jika dicermati dari pembahasan tentang harta bersama tersebut di atas,
walaupun terdapat keseragaman pemahaman antara setiap daerah mengenai
definisi harta bersama, namun mengenai aturan pembagian harta bersama
terdapat perbedaan antara hukum adat di suatu daerah dengan hukum adat di
daerah lain. Ketidakseragaman ini dikarenakan pembagian harta bersama
dalam hukum adat sangat terpengaruh oleh sistem kekerabatan yang dianut
suatu wilayah adat.

D. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Islam


Kalau kita lihat dalam nas Alquran dan Hadis serta pendapat para
ulama fikih, maka tidak ditemukan adanya istilah dan pembahasan harta
bersama dalam perkawinan seperti yang ada pada hukum adat di Indonesia.
Sejauh ini hanya ditemukan ayat-ayat Alquran yang membahas masalah harta
benda secara umum, diantaranya Q.s an-Nisa‟ [4]: 32.

20
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
240.
21
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 240.
22
Amelia Rahmaniah, “Harta Bersama dalam Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 15, No. 1, 2015, h. 71.
33

               

              

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonkanlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesunggunya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Ayat tersebut bersifat umum dan tidak ditujukan kepada suami atau
istri saja, melainkan semua laki-laki dan perempuan. Jika seseorang berusaha
dalam kehidupannya sehari-hari maka hasil usahanya itu merupakan harta
pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.23 Berdasarkan
hal ini, jika dibawakan pada konteks perkawinan, maka harta kekayaan istri
menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian pula sebaliknya
harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya.
Abdul Manan menyebutkan bahwa Hazairin, Anwar Harjono dan
Abdoerraoef berpendapat bahwasanya agama Islam tidak mengatur tentang
harta bersama dalam Alquran, oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada
mereka (suami istri) untuk mengaturnya.24 Tidak adanya pembahasan harta
bersama dalam hukum Islam ini juga diakui oleh Bustanul Arifin, beliau
menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pemahaman, keadaan dan
susunan masyarakat pada waktu itu belum mengenal konsep harta bersama.25
Namun di Indonesia harta bersama dikenal melalui hukum adatnya
yang diterapkan secara terus menerus sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat, oleh sebab itu harta bersama tidak mungkin untuk disingkirkan.

23
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62.
24
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. 1, Cet. 2, h. 109.
25
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 122.
34

Hal ini didasarkan atas ʻ urf dan kaidah fikih yang berbunyi: "‫"العادة محكمة‬
Artinya: “Adat kebiasan itu bisa menjadi hukum”.
Kaidah al-ʻ Âdatu Muẖ akkamah dapat digunakan sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut, yaitu adat kebiasaan tersebut dapat diterima oleh perasaan sehat dan
diakui oleh pendapat umum, berulang kali terjadi dan sudah umum dalam
masyarakat, kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, dalam artian
tidak boleh adat yang akan berlaku, dan tidak bertentangan dengan nash.27
Alquran tidak memeritahkan dan tidak pula melarang harta bersama
itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, manusia diberi kesempatan untuk
mengaturnya sendiri. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh
manusia atau hanya antara calon suami istri yang mengadakan perjanjian
perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak
boleh bertentangan dengan Alquran dan Hadis.28
Berdasarkan hal ini, Ismuha dalam disertasinya berpendapat bahwa
harta bersama suami istri seharusnya masuk dalam Rubu’ al-Muʻ âmalah,
tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, menurutnya hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah
orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya harta bersama suami
istri. Namun demikian, dalam bab mu‟amalah ditemukan pembahasan
mengenai perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah.29 Menurut
Ismuha, harta bersama tersebut termasuk ke dalam pembahasan perkongsian
atau syirkah. Oleh karena itu, untuk mengetahui hukumnya, perlu dibahas

26
Jalâl al-dîn, al-Suyûṯ î, al-Asybâh wa al-Naẕ âˋ ir fî Qawâʻ id wa furûʻ Fiqh al-
Syâfiʻ î, (al-Qâhirah: Dâr al-Taûfîqiyyah li al-turâts, 2009), h.124.
27
Jalâl al-dîn, al-Suyûṯ î, al-Asybâh wa al-Naẕ âˋ ir fî Qawâʻ id wa furûʻ Fiqh al-
Syâfiʻ î, h. 124. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), Cet. 1, h. 477.
28
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), Cet. 11, h. 113.
29
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), h. 282.
35

terlebih dahulu macam-macam syirkah dan bagaimana hukumnya masing-


masing perkongsian atau syirkah itu.
Secara etimilogi, syirkah berarti percampuran30, yaitu pencampuran
antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara
terminologi, pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh para ulama fiqih
hanya berbeda secara redaksional sedangkan esensi yang terkandung di
dalamnya sama, yaitu ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat
dalam hal modal dan keuntungan.31
Adapun bentuk-bentuk syirkah secara garis besar menurut pendapat
ulama Hanafiyyah terbagi menjadi dua macam, yaitu Syirkah Milk dan
Syirkah ʻ Uqûd. Syirkah Milk adalah perkongsian antara dua orang atau lebih
terhadap sesuatu tanpa adanya akad atau kontrak. Sedangkan Syirkah ʻ Uqûd
adalah perkongsian yang terjadi antara dua orang atau lebih melalui akad atau
kontrak. Syirkah Milk terdiri dari dua macam, yaitu Syirkah Milk Jabar
(perkongsian dengan terpaksa), umpamanya dua orang bersaudara berkongsi
terhadap sebuah rumah yang mereka terima sebagai warisan dari orang tuanya,
dan Syirkah Milk Ikhtiyâr (perkongsian dengan pilihan), umpamanya dua
orang bersahabat berkongsi membeli sepetak kebun kelapa.32
Menurut ulama golongan Hanafiyah, syirkah ‘Uqûd dapat
dikelompokkan dalam beberapa macam, yaitu: Syirkat al-Mufâwaḏ ah fî al-
Mâl, Syirkat al-ʻ Inân fî al-Mâl, Syirkat al-ˋ Abdân Mufâwaḏ ah, Syirkat al-
ˋ Abdân ʻ Inân, Syirkat al-Wujûh Mufâwaḏ ah, dan Syirkat al-Wujûh
ʻ Inân.33
Sedangkan ulama Malikiyyah membagi syirkah ini menjadi enam
macam, yaitu: Syirkah Mufâwaḏ ah (perkongsian tidak terbatas), Syirkah
30
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, (Bayrût: Dâr
al-Kitab al-„Ilmiyah, 1999), h. 60.

31
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.3, h. 115.
32
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 60.
33
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 63-65.
36

ʻ Inân (perkongsian terbatas), Syirkah Jabar (perkongsian terpaksa), Syirkah


ʻ Amal (perkongsian tenaga), Syirkah Dzimam (perkongsian kepercayaan),
dan Syirkah Muḏ ârabah (perkongsian keuntungan berdua).34
Adapun menurut ulama Syafi‟iyyah syirkah terbagi pada empat
macam, yaitu: Syirkah ʻ Inân (perkongsian terbatas), Syirkah ˋ Abdân
(perkongsian tenaga), Syirkah Mufâwaḏ ah (perkongsian tidak terbatas), dan
Syirkah Wujûh (perkongsian kepercayaan).35
Sementara itu menurut ulama Hanabilah Syirkah terbagi pada dua
golongan yaitu Syirkah fî al-Mâl dan Syirkah fî al-ʻ Uqûd. Syirkah ‘Uqud
dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu: Syirkah ʻ Inân (perkongsian
terbatas), Syirkah Wujûh (perkongsian kepercayaan), Syirkah ˋ Abdân
(perkongsian tenaga), Syirkah Mufâwaḏ ah (perkongsian tidak terbatas), dan
Syirkah Muḏ ârabah (perkongsian keuntungan berdua).36
Berdasarkan pendapat para ulama tentang macam-macam bentuk
syirkah, maka untuk mengetahui bentuk syirkah yang lebih mendekati kepada
pengertian harta bersama perlu dipahami definisi dari setiap syirkah tersebut,
yang secara garis besar dapat diartikan sebagai berikut:
1. Syirkah ʻ Inân (Perkongsian Terbatas)
Syirkah ʻ Inân adalah pekongsian yang dilakukan antara dua
orang atau lebih terhadap suatu usaha yang masing-masing mempunyai
modal dan sama-sama bekerja menjalankan usaha, akan tetapi tidak harus
sama dalam hal modal dan tenaganya, kemudian keuntungan dibagi sesuai
dengan perjanjian ketika perkongsian dibentuk. Mayoritas ulama
sependapat tentang bolehnya perkongsian tersebut.37

34
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 68.
35
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 71.

36
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 70.
37
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: PT. AL Maarif, 1987), Cet. I, Jilid 13, h. 197.
37

2. Syirkah Mufâwaḏ ah (Perkongsian Tak Terbatas)


Syirkah Mufâwaḏ ah atau perkongsian tidak terbatas yaitu
perkongsian antara dua orang atau lebih dengan perjanjian bahwa masing-
masing anggota akan mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan modal
yang dikeluarkan. Masing-masing anggota berhak memilih dan bertindak,
misalnya mereka bebas bersepakat untuk berkongsi dalam satu macam
barang saja atau beberapa barang.38 Hukumnya boleh menurut mazhab
Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Hambali, tetapi tidak boleh menurut
mazhab Syafi‟i. Hanya beda antara tiga mazhab yang membolehkan
adalah menurut mazhab Hanafi disyarakatkan bahwa modal para peserta
perkongsian harus sama banyaknya, sedangkan mazhab Maliki dan
mazhab Hambali tidak mensyaratkan itu.39

3. Syirkah ˋ Abdân (Perkongsian Tenaga)


Syirkah ˋ Abdân atau perkongsian tenaga adalah perkongsian
yang dilakukan oleh para pekerja dua orang atau lebih untuk melakukan
suatu pekerjaan atau usaha bersama, yang keuntungannya dibagi antara
keduanya berdasarkan perjanjian. Hukum syirkah ini boleh menurut
mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Meskipun ketiga mazhab tersebut
membolehkan akan tetapi mereka berbeda mengenai jenis pekerjaan yang
dilakukan. Mazhab Maliki mensyaratkan supaya pekerjaan yang mereka
lakukan harus sejenis dan setempat, sedangkan mazhab Hanafi dan
Hambali tidak mensyaratkan itu. Adapun mazhab Syafi‟i berpendapat
bahwa syirkah abdan tidak boleh.40

38
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 68-69.
39
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, h. 294.
40
Wahbah, al-Zuhaîlî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2007), h.
799.
38

4. Syirkah Wujûh (Perkongsian Kepercayaan)


Syirkah Wujûh adalah perkongsian yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih tanpa modal, melainkan mendapat kepercayaan orang untuk
membeli barang-barang apa saja dengan cara kredit, kemudian menjual
lagi dengan mendapat keuntungan, dan keuntungan itu dibagi menurut
perjanjian waktu perkongsian dibentuk.41 Hukumnya dibolehkan menurut
mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, tetapi tidak boleh menurut mazhab
Syafi‟i. Alasan Imam Syafi‟i tidak membolehkan Syirkah Wujûh karena
perkongsian menghendaki adanya percampuran harta atau modal,
sedangkan pada perkongsian kepercayaan tidak ada modal.42

5. Syirkah Muḏ ârabah (Perkongsian Keuntungan Berdua)


Syirkah Muḏ ârabah adalah kerja sama antara pemilik modal dan
pekerja untuk melakukan suatu usaha atau berdagang, dengan cara orang
yang mempunyai modal menyerahkan modalnya kepada orang yang tidak
mempunyai modal (pekerja) untuk melakukan usaha. Disepakati tentang
bolehnya syirkah ini, hanya saja Mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i tidak
menggolongkannya kedalam bentuk syirkah.43

Terdapat perbedaan pendapat mengenai bentuk syirkah yang lebih


mendekati kepada pengertian harta bersama. Menurut Isma‟il Muhammad
Syah, harta bersama suami istri termasuk dalam kategori Syirkah ˋ Abdân dan
Syirkah Mufâwaḏ ah. Dikatakan Syirkah ˋ Abdân karena pada umumnya
suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja mencari nafkah
untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya. Disamping itu mereka
juga bekerja sama untuk persiapan di hari tua dan untuk memberikan
peninggalan yang berharga bagi anak-anaknya setelah mereka meninggal

41
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 64.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, h. 198.
43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, h. 198.
39

dunia. Adapun dikatakan Syirkah Mufâwaḏ ah karena memang perkongsian


antara suami istri itu sifatnya tidak terbatas. Artinya, Apa saja yang mereka
hasilkan selama perkawinan termasuk harta bersama, sedangkan harta-harta
yang mereka peroleh sebagai warisan atau sebagai pemberian khusus untuk
salah seorang diantara mereka berdua merupakan pengecualian.44
Sedangkan menurut Ahmad Rofiq, dalam konteks konvensional,
beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan istri
sebagai manajer yang mengatur ekonomi rumah tangga. Sehingga lebih tepat
disebut sebagai Syirkah ˋ Abdân. Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman,
istri juga dapat melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan, sehingga
masing-masing suami istri mendatangkan modal dan dikelola bersama. Bentuk
ini disebut Syirkah ʻ Inân.45
Berdasarkan pembahasan di atas, karena Alquran dan Hadis tidak
mengatur tentang harta bersama suami istri, berarti harta bersama tergolong
masalah ijtihadiyah, sehingga manusia diberikan wewenang untuk
mengaturnya sendiri sepanjang tidak melanggar aturan Alquran dan Hadis.
Oleh karena itu istilah harta bersama dapat digolongkan sebagai syirkah
karena sama-sama mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perkongsian
atau kerja sama. Hanya saja, dalam konsep syirkah pada umumnya bentuk
perkongsiannya bersifat bisnis atau kerja sama usaha, sedangkan syirkah pada
harta bersama lebih bersifat kerja sama dengan tujuan membangun sebuah
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

E. Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Positif


Permasalahan harta bersama tergolong pada masalah ijtihadiyah dan
demi terciptanya kepastian hukum tentang pengaturan harta bersama dalam
perkawinan di Indonesia, maka hingga saat ini pemerintah telah mengesahkan

44
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini Ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, h. 38.
45
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. 4, h. 201.
40

beberapa peraturan yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang harta


bersama, di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer),
Undang-undang No 1. Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan
demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama perlu didasari
kepada tiga aturan tersebut.
Undang-undang No 1. Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1) memberikan
definisi harta bersama yaitu “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama”. Sedangkan dalam KHI bab I tentang Ketentuan
Umum pada Pasal 1 huruf (f) disebutkan bahwa “Harta kekayaan dalam
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Sementara itu, dalam KUHPer Pasal 119 dinyatakan bahwa “Sejak
saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan”. Pengertian harta
bersama dalam KUHPer memang tidak disebutkan secara jelas, namun dari
Pasal 119 KUHPer tersebut dapat kita ambil definisi bahwa harta bersama
adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan selama masa perkawinan
berlangsung sepanjang tidak ada ketentuan lain yang disepakati dalam
perjanjian perkawinan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada
kontradiksi antara hukum positif dan hukum adat yang umumnya berlaku di
Indonesia. Seperti halnya hukum adat, hukum positif memandang bahwa harta
bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan saja. Oleh karena itu,
harta bawaan pribadi yang berasal dari usaha sendiri sebelum perkawinan
tidak bisa dikategorikan sebagai harta bersama. Begitu juga, tidak termasuk
harta bersama setiap harta yang berasal dari warisan, hibah dan barang-barang
hadiah, meskipun harta-harta tersebut diperoleh pada saat mereka terikat tali
perkawinan.
41

Berdasarkan definisi harta bersama di atas, dapat diketahui bahwa


ruang lingkup harta bersama itu mencakup semua penghasilan suami istri
selama masa perkawinan berlangsung. Akan tetapi menurut Yahya Harahap,
untuk menentukan objek harta bersama dalam perkawinan tidaklah
sesederhana itu. Menurutnya, ruang lingkup harta bersama adalah sebagai
berikut:46
1. Harta yang dibeli selama perkawinan
Setiap harta yang dibeli dalam masa perkawinan secara otomatis
menurut hukum disebut menjadi objek harta bersama tanpa
mempersoalkan siapa yang membeli, terdaftar atas nama siapa, dan harta
tersebut terletak di mana. Hal tersebut berdasarkan putusan Mahkamah
Agung Tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan ini
dijelaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau istri di tempat yang
jauh dari tempat mereka adalah termasuk harta bersama suami istri jika
pembelian dilakukan selama perkawinan. Kecuali apabila uang
pembelinya berasal dari harta pribadi masing-masing suami istri.
Jika uang pembeli barang tersebut berasal dari milik pribadi suami
istri, maka barang itu tidak menjadi objek harta bersama, tetapi menjadi
milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada kaidah yang tertuang dalam
putusan MA No. 151 K/Sip/1974 tanggal 16 Desember 1975.

2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai


dari harta bersama
Asal usul dari uang pembelian suatu harta yang terjadi sesudah
perceraian menjadi pertimbangan untuk menentukan harta tersebut
termasuk harta bersama atau tidak. Jika uang pembelinya berasal dari harta
bersama, walaupun sudah terjadi perceraian, maka itu dianggap sebagai
harta bersama suami istri. Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Agung
No. 803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1970, yaitu apa saja yang dibeli, jika

46
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undanga No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 303.
42

uang pembeliannya berasal dari harta bersama, maka dalam barang


tersebut melekat harta bersama meskipun telah merubah wujudnya.

3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan


Apabila terdapat sengketa mengenai harta bersama antara suami
dan istri, misalnya terjadi perbedaan pendapat tentang suatu harta, apakah
termasuk objek harta bersama atau tidak, maka yang menggugat harus
dapat membuktikan bahwa harta itu benar-benar diperoleh selama masa
perkawinan dan uang pembelinya tidak berasal dari uang pribadi. Putusan
MA No. 8088 K/Sip/1974 tanggal 30 Juli 1974 telah menetapkan bahwa
masalah atas nama siapa harta itu terdaftar, bukanlah faktor yang
menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yurisdiksi harta bersama,
sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta tersebut
diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan
pembiayaannya berasal dari harta bersama.

4. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan


Hasil atau pengembangan dari harta bersama dan harta bawaan
masing-masing suami istri yang di dapat selama perkawinan menjadi harta
bersama. Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama dengan sendirinya
menjadi objek harta bersama. Akan tetapi bukan hanya penghasilan yang
tumbuh dari harta bersama, penghasilan yang tumbuh dari dari harta
pribadi juga menjadi objek harta bersama. Barang pokoknya memang
tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari padanya jatuh
menjadi objek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami dan
istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

5. Segala penghasilan pribadi suami istri


Segala penghasilan suami atau istri secara perorangan yang
diperoleh selama masa perkawinan dihitung sebagai harta bersama suami
istri, sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Seperti yang dinyatakan dalam putusan MA No. 454
43

K/Sip/1970 tanggal 11 Maret 1971, bahwasanya penggabungan


penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang
suami istri tidak menentukan hal lainnya dalam perjanjian perkawinan.

Berdasarkan ruang lingkup harta bersama di atas dapat dikatakan


bahwa harta bersama terbentuk bersamaan dengan terjadinya perkawinan,
kecuali para pihak menentukan lain. Hal ini sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan, Pasal 1 huruf (f) KHI, serta Pasal
119 KUHPer. Dengan demikian, harta apapun yang diperoleh suami atau istri
terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah sampai putusnya pernikahan
tergolong pada harta bersama, kecuali harta yang diperoleh masing-masing
suami istri melalui warisan atau hibah, maka harta tersebut tidak termasuk ke
dalam harta bersama, tetapi termasuk dalam harta pribadi masing-masing
pihak.
Oleh karena adanya penyatuan harta kekayaan yang didapat oleh
suami istri selama perkawinan berlangsung, maka harta bersama menjadi hak
milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada dua macam hak
dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna. Harta bersama suami dan
istri memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan
bahwa di sana juga terdapat hak guna. Artinya, mereka berdua sama-sama
berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat persetujuan
dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta bersama, dia
harus mendapatkan izin dari istrinya. Demikian sebaliknya, istri harus
mendapatkan izin suaminya jika akan menggunakan harta bersama.47 Hal ini
sesuai dengan Undang-undang Perkawinan Pasal 36 ayat (1) yang
menyebutkan “Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak”. Sementara itu KHI juga mengaturnya dalam
Pasal 92 yang dinyatakan bahwa “Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain
tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.

47
Etty Rochaeti, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol.
28 No. 01, 2013, h. 655.
44

Adapun mengenai ketentuan pembagian harta bersama, Undang-


undang No 1. Tahun 1974 tidak mengatur secara jelas tentang porsi
pembagian harta bersama. Dalam Pasal 37 hanya disebutkan bahwa “Bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing”, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing
ditegaskan dalam penjelasan Pasal 37 itu sendiri, yaitu: “Hukum agama,
hukum adat, dan hukum lainnya”. Bagi umat Islam di Indonesia ketentuan
yang dijadikan patokan untuk melakukan pembagian harta bersama di
Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan yang ada dalam KHI.
Pasal 96 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa, “Apabila terjadi cerai mati,
maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Kemudian dalam Pasal 97 ditentukan bahwa, “Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa aturan-aturan yang dimuat dalam KHI tentang pembagian
harta bersama cenderung membagi dua sama besar untuk masing-masing
suami dan istri apabila hubungan perkawinan dinyatakan telah usai.
BAB III
KONVENSI CEDAW DAN KONSEP KEADILAN JENDER

Hukum bertujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian kepada


masyarakat secara merata, dan juga bertujuan membentuk masyarakat yang ideal.
Berbicara tentang hukum, maka kita berbicara pula tentang hak dan kewajiban
yang timbal balik, sehingga semua orang adalah sama di muka hukum. Dengan
kata lain, hukum itu tidak boleh berisi norma-norma yang diskriminatif yang
akhirnya bisa menimbulkan berbagai masalah, diantaranya persoalan
ketidakadilan jender yang sangat bertentangan dengan salah satu prinsip dasar
Konvensi CEDAW yaitu prinsip non diskriminasi.
Konvensi CEDAW sangat berkaitan dengan konsepsi keadilan jender,
karena tujuan dari konvensi ini adalah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan
antara laki-laki dan perempuan. Sampai saat ini konsep jender merupakan isu
yang masih menarik untuk diperbincangkan, mulai dari persoalan hukum, politik,
ekonomi, budaya, pendidikan, bahkan sampai pada kehidupan keluarga isu jender
ini tidak luput dari pembicaraan. Oleh karena itu dalam bab ini akan dibahas hal-
hal mengenai Konvensi CEDAW dan konsep keadilan jender, serta akan menjadi
titik tolak analisis mengenai ketentuan pembagian harta bersama pada Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

A. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan


(Konvensi CEDAW)
Sejarah perjuangan perempuan Indonesia terhadap perlindungan hak
asasi manusia sudah dimulai semenjak awal abad ke-19. Hal ini dimulai
dengan diadakannya Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 28
Desember 1928 yang merupakan tonggak sejarah yang penting bagi
“Persatuan Pergerakan Indonesia”, dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Perjuangan perempuan
Indonesia yang sejak awal telah memperjuangkan hak asasinya serta

45
46

penegakannya, dinyatakan melalui pengakuan persamaan hak dengan laki-laki


dalam UUD 1945 serta amandemennya.1
Perjuangan untuk meningkatkan kedudukan dan menegakkan hak-hak
perempuan terjadi pula pada tingkat internasional. Pada tahun 1979 Majelis
Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang disebut dengan
Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women). Disetujuinya Konvensi ini merupakan
puncak dari upaya Internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan
untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.2
Konvensi CEDAW merupakan hasil dari inisiatif yang diambil oleh
Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women), sebuah
badan yang dibentuk dibawah naungan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada
tahun 1946 yang bertujuan untuk menyelidiki posisi perempuan. Dimulai pada
tahun 1965 Komisi tersebut mengeluarkan sebuah rancangan Deklarasi
tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau disebut juga
DEDAW (Declaration on the Elimination of Discrimination Against Women).
Hasilnya pada tahun 1967 rancangan ini disetujui menjadi sebuah Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Akan tetapi karena suatu
deklarasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka dilakukan
upaya untuk merumuskan suatu Konvensi internasional yang mempunyai
kekuatan hukum.3 Sehingga pada tanggal 18 Desember 1979 PBB
mengesahkan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women) dan mulai berlaku pada tanggal 3 September

1
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju hukum yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Ed. 2, h. 83.
2
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, dalam Seri
Bahan Bacaan Kursus untuk Pengacara XI, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
2007, h. 3.
3
Sindiso Ngaba, “CEDAW: Eliminating Discrimination against Women”, Agenda:
Empowering Women for Gender Equity, No. 27, (1995), h. 82.
47

1981.4 Sampai saat ini 189 dari 193 negara anggota PBB telah meratifikasi
konvensi ini.5
CEDAW adalah perjanjian atau kesepakatan internasional yang
komprehensif, yang dirancang untuk melarang semua bentuk diskriminasi
terhadap perempuan di semua bidang kehidupan publik dan pribadi.6 Pada
prinsipnya Konvensi ini lebih menekankan kepada kesetaraan dan keadilan
antara perempuan dan laki-laki, dalam artian persamaan hak dan kesempatan
serta perlakuan dalam segala bidang kehidupan. Kovensi ini juga mendorong
diberlakukannya undang-undang nasional yang melarang diskriminasi serta
mengupayakan terwujudnya kesetaraan de facto antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan tiga prinsip utama Konvensi CEDAW yaitu:
(1) Prinsip persamaan substantif, (2) Prinsip non diskriminasi, dan (3) Prinsip
kewajiban negara. Kaitan antara ketiga prinsip tersebut saling melengkapi dan
memiliki sifat interaktif.
Prinsip persamaan substantif yang dianut oleh Konvensi CEDAW
dalam artian prinsip dalam persamaan terhadap keadilan dan kesetaraan. Hal
ini dapat tergambar dalam upaya untuk merealisasikan hak perempuan yang
ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas ataupun keadaan yang
merugikan perempuan. Ketika hak perempuan telah direalisasikan maka akan
terlihat adanya perubahan lingkungan yang menunjukkan bahwa perempuan
dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam berabagai hal, temasuk kesetaraan
dan keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga serta persamaan
kedudukan dan perlakuan dalam hukum. Prinsip persamaan substantif ini
senada dengan teori keadilan John Rawl yaitu dengan prinsip perbedaan (the
difference principle) dan prinsip kesetaraan dalam kesempatan (the principle

4
Thomas Buergenthal, dkk, International Human Rights, (Saint Paul: West Group,
2002), h. 82.
5
Sabine Machl, “CEDAW and Family Law”, Public Lecture, 14 Mei 2018, (Ciputat:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 2.
6
Michele Brandt and Jeffrey A. Kaplan, “The Tension between Women's Rights and
Religious Rights: Reservations to Cedaw by Egypt, Bangladesh and Tunisia”, Journal of Law and
Religion, Vol. 12, No. 1 (1996), h. 106.
48

of fair equality of opportunity), hanya saja perbedaannya dalam konteks ini


dengan prinsip kesetaraan John Rawl terletak pada landasan yang menjadi
objek sasaran, yaitu pada prinsip persamaan substantif dengan objek yang
berbasis pada relasi antar jenis kelamin, sementara prinsip John Rawl berbasis
atas relasi kuasa antara kelas sosial-ekonomi.7
Adapun dengan prinsip non diskriminasi, maka konvensi ini berupaya
untuk menghapus segala diskriminasi yang terjadi kepada perempuan baik
dalam artian diskriminasi langsung, diskriminasi tidak langsung, dan
diskriminasi berlipat ganda.8 Untuk mengidentifikasi secara yuridis apakah
ada diskriminasi perlu ketentuan hukum yang memberikan definisi atau
rumusan tentang diskriminasi sebagai tolak ukur atau pegangan. Hal ini telah
dirumuskan oleh Konvensi CEDAW pada Pasal 1 yang menyatakan:
Diskriminasi terhadap perempuan berarti segala pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang
mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau
bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas
dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Sementara itu mengenai prinsip kewajiban negara menurut Konvensi


CEDAW adalah meliputi hal hal seperti: (a) Menjamin hak perempuan
melalui hukum dan kebijakan serta menjamin hasilnya, (b) Menjamin
pelaksanaan praktis dari hak tersebut melalui langkah tindak atau tindakan
khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif untuk meningkatkan

7
Defi Uswatun Hasanah, Hak-hak Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW), (Jakarta: Cakrawala Budaya,
2017), h. 55.
8
Diskriminasi langsung yaitu tindakan atau kelalaian yang secara langsung merugikan
perempuan. Seperti, penghentian kerja perempuan karena perkawinan atau kehamilan. Sedangkan
diskriminasi tidak langsung terhadap perempuan, dapat terjadi bila hukum, kebijakan dan program
yang didasarkan pada kriteria yang sepertinya netral jender, yang dalam kenyataannya
mengakibatkan dampak yang merugikan perempuan. Sementara itu diskriminasi berlipat ganda
(multiple discrimination), hal ini bisa terjadi ketika diskriminasi terhadap seorang perempuan
ditambah diskriminasi didasarkan pada aspek-aspek tambahan, seperti ras, identitas etnis atau
keagamaan, kecacatan, umur, kelas, kasta atau faktor-faktor lain. Achie Sudiarti Luhulima,
CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), h.
37. Lihat juga, Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan
dan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
49

akses perempuan pada peluang dan kesempatan yang ada, (c) Negara tidak
saja menjamin, tetapi juga merealisasikan hak perempuan, dan (d) Tidak saja
menjamin secara de jure tetapi juga secara de facto.9
Secara garis besar Konvensi CEDAW terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian pertama berupa pertimbangan, sementara bagian kedua merupakan isi
yang terdiri atas tiga puluh pasal. Ringkasnya konvensi ini mencakup enam
hal penting. Pertama (Pasal 1-6), memberikan definisi tentang apa itu
diskriminasi khususnya diskriminasi terhadap perempuan dan juga
menjelaskan kriteria-kriterianya. Kedua (Pasal 7-9), memusatkan perhatian
pada penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik beserta persoalan-
persoalan umum mengenai kewarganegaraan. Ketiga (Pasal 10-14),
membahas tentang penghapusan diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan,
perawatan kesehatan, kehidipan ekonomi dan sosial, dan hak-hak khusus
untuk perempuan pedesaaan. Keempat (Pasal 15-16), menegaskan tentang
persamaan laki-laki dan perempuan di depan hukum serta dalam kehidupan
perkawinan dan keluarga. Kelima (Pasal 17-22), secara khusus membahas
tentang Komite CEDAW, mekanisme pelaporan dan pemantauan terhadap
perkembangan CEDAW di negara-negara yang ikut meratifikasi. Keenam
(Pasal 23-30), bagian ini berisi tentang penegasan terhadap pentingnya
menegakkan prinsip persamaan di dalam undang-undang negara khususnya di
dalam undang-undang negara pihak maupun di dalam setiap konvensi, traktat
atau perjanjian internasional yang berlaku terhadap para pihak, pemberlakuan
konvensi, ratifikasi, adopsi dan reservasi Konvensi, perselisihan dan bahasa
yang dipakai konvensi.10
Permasalahan tentang harta bersama memang tidak dibahas secara
teknis dalam Konvensi CEDAW, hanya saja secara khusus terdapat dua pasal
dalam konvensi ini yang berkaitan erat dengan hak-hak perempuan dalam
perkawinan dan hukum keluarga, diantaranya persamaan hak di muka hukum

9
Achie Sudiarti Luhulima, CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, h. 53.
10
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, h. 5.
50

dan hak-hak yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga.


Persamaan hak di muka hukum terdapat pada Pasal 15 yang terdiri dari
beberapa poin yaitu:11
1. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan
persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.
2. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan, dalam
urusan urusan sipil, kecakapan hukum yang sama dengan kaum laki-
laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan
tersebut, khususnya memberikan kepada perempuan hak-hak yang
sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan untuk mengurus
harta benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang sama pada
semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
3. Negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua
dokumen yang mempunyai kekuatan hukum yang ditujukan kepada
pembatasan kecakapan hukum bagi perempuan, wajib dinyatakan batal
demi hukum.
4. Negara-negara peserta wajib memberikan kepada laki-laki dan
perempuan hak-hak yang sama berkenaan dengan hukum yang
berhubungan dengan mobilitas orang-orang dan kebebasan untuk
memilih tempat tinggal dan domisili mereka.

Adapun hak-hak yang berkaitan dengan perkawinan dan hukum


keluarga bisa dilihat pada Pasal 16 yang terdiri dari dua poin utama yaitu:12
1. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua
urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan
kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan,
dan khususnya akan menjamin:
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan.
b) Hak yang sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk
memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang
bebas dan sepenuhnya.
c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada
pemutusan perkawinan.
d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam urusan-urusan yang

11
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007),
h. 23.
12
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, h. 23-25.
51

berhubungan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus


kepentingan anak-anaklah yang wajib diutamakan.
e) Hak yang sama untuk menentukan secara bebas dan bertanggung
jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka,
serta untuk memperoleh akses pendidikan dan sarana-sarana agar
mereka dapat menggunakan hak-hak ini.
f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,
pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak atau lembaga-
lembaga yang sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam
perundang-undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan
anak-anaklah yang wajib diutamakan.
g) Hak pribadi yang sama sebagai suami istri, termasuk hak untuk
memilih nama keluarga, profesi dan jabatan.
h) Hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan
pemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan
memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun
dengan penggantian berupa uang.
2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai
akibat hukum dan semua tindakan yang perlu, termasuk membuat
perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan usia
minimum untuk kawin dan untuk mewajibkan pendaftaran perkawinan
di kantor pencatatan yang resmi.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk


Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1984 melalui Undang-undang
No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women). Dengan demikian, hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia telah mengakui secara hukum adanya prinsip
kesetaraan dan keadilan jender antara laki-laki dan perempuan. Keadilan yang
dimaksud dalam konvensi ini bukan hanya keadilan secara formil, tetapi
keadilan secara substantif dan proporsional tanpa mengandung unsur-unsur
yang diskriminatif, serta secara nyata dapat dirasakan oleh laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu berdasarkan asas pacta sunt servanda yang
menyatakan perjanjian yang telah disahkan wajib dilaksanakan, maka
pemerintah Indonesia seharusnya menerapkan asas-asas yang terdapat dalam
konvensi ini agar dapat menghapus diskriminasi dalam segala hal, dan
menjadikan konvensi CEDAW sebagai salah satu referensi penting untuk
mengontrol semua kebijakan legislasi agar selalu berada dalam koridor yang
52

berkeadilan jender, termasuk dalam hal ini aturan-aturan mengenai pembagian


harta bersama.

B. Konsep Keadilan Jender


1. Pengertian Jender
Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender yang secara
etimologi berarti jenis kelamin.13 Sedangkan menurut terminologinya
jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.14
Hilary M. Lips dalam bukunya Sex & Gender: an Introduction
mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men).15 Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis,16 seperti Lindsey yang
menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang
sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender
(What a given society defines as masculine or feminin is a component of
gender).17
Dalam pembahasan ini, juga penting dibedakan antara konsep seks
(jenis kelamin) dan konsep jender, karena kedua istilah tersebut memiliki
definisi atau cakupan makna yang berbeda. Menurut Kamla Bhasin, salah

13
Atabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab Edisi Lengkap, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, 2003), h. 537.
14
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), Cet. 2, h. 35.
15
Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, (California: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4.

16
Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat
kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi
atas dasar jenis kelamin), dominasi laki-laki, serta sistem patriarki dan melakukan suatu tindakan
untuk menentangnya, adalah seorang feminis. Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat
Jender dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: el-Kahfi, 2012), h. 32.
17
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice
Hall, 1990), h. 2.
53

satu aktivis keadilan jender, seks atau jenis kelamin adalah sesuatu yang
bersifat natural, biologis, alamiah, tetap, tidak dapat berubah terkait
dengan fungsinya. Sedangkan jender merupakan hal yang bersifat sosial
budaya, dibuat oleh manusia dan merujuk pada tanggung jawab, peran,
perilaku, kualitas, dan hal-hal lainnya yang bersifat maskulin dan feminis,
bersifat tidak tetap dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu
kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya bahkan dari satu keluarga ke
keluarga yang lainnya.18
Adapun menurut Lindsey, Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis
lainnya. Sementara itu, jender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.19
Sedangkan Oakley mengemukakan bahwa jender bukan perbedaan
biologis dan bukan kodrat. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis
kelamin (seks) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen
berbeda. Sedangkan jender adalah perbedaan prilaku (behavioral
differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
melalui proses sosial dan kultural yang panjang.20
Konsep seks, bagi para feminis adalah suatu sifat yang kodrati
(given), alami, dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah-ubah. Konsep seks
hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan
jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil,
melahirkan, menyusui, sementara laki-laki tidak. Sedangkan konsep jender
menurut kaum feminis bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi
merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses
sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lemah
18
Kamla Bhasin, Understanding Gender, Terj. Moh Zaki Hussein, (Jakarta: Teplok
Press, 2003), Cet. 3, h. 4.
19
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, h. 2.
20
Ann Oakley, Sex, Gender and Society, (Inggris: Ashgate, 1972), h. 115.
54

lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara


laki-laki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik.21
Untuk memperjelas perbedaan antara seks dan jender dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Seks (Jenis Kelamin) Jender
1. Tidak dapat berubah 1. Dapat berubah
2. Tidak dapat dipertukarkan 2. Dapat dipertukarkan
3. Berlaku sepanjang masa 3. Tergantung waktu
4. Berlaku di mana saja 4. Tergantung budaya setempat
5. Merupakan kodrat Tuhan 5. Bukan merupakan kodrat Tuhan
6. Ciptaan Tuhan 6. Buatan manusia

Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa jender adalah


suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Jender dalam arti
ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions),
bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam konteks tersebut, jender
harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan
konsep jender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya
perempuan dikenal lembut dan cantik. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa jender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya,
psikologis, dan aspek non biologis lainnya.22 Jadi, jender pada dasarnya
merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, bahkan dilegitimasi
secara sosial dan budaya.

21
Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir Al-Manar,
(Jakarta: el-Kahfi, 2012), h. 32.
22
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Volume. 13 No. 2, Desember 2013, h. 377.
55

2. Kesetaraan dan Keadilan Jender


Konsep kesetaraan atau egalitarianisme23 di Indonesia dijadikan
tolak ukur untuk mengukur keberadaan seseorang agar bisa diperlakukan
secara adil. Konsep ini berkembang seiring berkembangnya isu kesetaraan
Jender yang diusut oleh kaum feminis. Konsep ini dalam isu-isu
perempuan dikenal dengan konsep kesetaraan dan keadilan jender yaitu
pengakuan bahwa jender laki-laki dan jender perempuan adalah sama nilai
kemanusiaannya. Sebab jender bukanlah suatu hal yang bersifat kodrati
tetapi merupakan hasil konstruksi masyarakat. Namun persamaan yang
dimaksud tetap tidak menafikan perbedaan biologis di antara keduanya.24
Kesetaraan jender (gender equality) adalah posisi yang sama antara
laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan
manfaat dalam aktifitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat,
maupun berbangsa dan bernegara. Kesetaraan jender ini berbeda dengan
kesamaan jender. Dalam kesetaraan jender, perbedaan fisik laki-laki dan
perempuan masih dihargai. Namun meskipun berbeda, keduanya tidak
boleh diperlakukan secara diskriminatif. Hal yang paling penting dalam
kesetaraan jender adalah ketika mereka mimiliki pilihan untuk
menentukan nasib mereka berdasarkan jenis kelamin. Apabila mereka
mendapatkan perlakuan yang setara, maka mereka sudah diperlakukan
secara adil. Adapun keadilan jender (gender equity) merupakan suatu
kondisi dan perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan. Keadilan
jender ini akan memungkinkan dua orang yang memiliki jenis kelamin
yang berbeda akan tetapi memiliki hak yang setara.25 Adil yang dimaksud
di sini bukanlah adil dalam artian sama persis, melainkan adil berdasarkan

23
Egalitarianisme merupakan konsep keadilan yang berdasarkan atas kesamaan atau
kesetaraan. Ini merupakan salah satu bagian dari konsep-konsep umum tentang keadilan. Lihat
Rida Ahida, Keadilan Multikultural, (Jakarta: Ciputat Press, 2008), h. 17.
24
Musdah Mulia, Islam & Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010), h. 2.
25
Syafiq Hasyim, dkk, Modul Islam dan Multikulturalisme, (Jakarta: ICIP, 2008), h. 44.
56

perlakuan yang proporsional dengan tetap memperhatikan hak dan


kewajiban masing-masing.
Dengan demikian, kesetaraan dan keadilan jender dapat dipahami
sebagai terciptanya kesamaan kondisi dan status laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya sebagai
manusia agar sama-sama dapat berperan aktif dalam pembangunan.
Dengan kata lain, penilaian dan penghargaan yang sama oleh masyarakat
terhadap persamaan dan perbedaan laki-laki dan perempuan serta berbagai
peran mereka.26

3. Ketidakadilan Jender
Ketidakadilan jender terjadi apabila ada diskriminasi terhadap
akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki dalam hal perilaku,
peran, tugas, hak, dan fungsi yang harus dijalankan.27 Hal ini merupakan
kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut
kaum feminis, ketidakadilan jender tersebut muncul karena adanya
kesalahpahaman terhadap konsep jender yang disamakan dengan konsep
seks.28
Pada dasarnya ketidakadilan jender bisa menimpa perempuan
maupun laki-laki. Akan tetapi secara agregat ketidakadilan jender dalam
berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan. Berikut
bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi jender:
a. Subornisasi (Penomorduaan)
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu
jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis

26
Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI , 2001), h. 126.
27
Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam), h. 125.
28
Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir Al-Manar, h. 32.
57

kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang


29
menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Penomorduaan perempuan dalam kultur budaya kita di
Indonesia masih sering terjadi, terutama dalam hal pengambilan
keputusan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses
pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan
umum. Akibatnya, perempuan tidak dapat mengontrol apabila
keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut terlibat maksimal
saat hasil keputusan tersebut diimplementasikan. Tradisi, adat, atau
bahkan aturan agama paling sering digunakan sebagai alasan untuk
menomorduakan perempuan. Padahal secara teologis (dipandang dari
sudut keagamaan), prinsip-prinsip tauhid (ketuhanan, berlaku untuk
agama apapun) pada dasarnya adalah menganggap semua mahluk yang
ada di dunia ini sama kedudukannya di mata Tuhan.30

b. Stereotype (Pelabelan Negatif)


Stereotype adalah citra baku tentang individu atau kelompok
yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada atau disebut
pelabelan negatif. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan.31 Hal ini bisa terjadi baik pada perempuan maupun laki-
laki, etnis, suku, dan agama tertentu.
Label negatif banyak kita temukan di masyarakat. Contohnya,
jika perempuan pulang larut malam dari tempatnya bekerja dipandang
sebagai perempuan tidak benar, sedangkan jika laki-laki dianggap
pekerja keras. Padahal mungkin mereka mempunyai jenis pekerjaan
29
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media,
2007), h. 8.
30
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok
Perempuan di Jambi, (Bogor: Center for Internasional Forestry Research (CIFOR), 2006), h. 13.
31
Label perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam
“kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai
pencari nafkah utama (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan
dianggap sebagai sambilan dan cenderung tidak diperhitungkan. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, h. 6-7.
58

dan kesibukan yang sama. Citra buruk perempuan yang emosional,


tidak rasional, lemah, cerewet, pendendam, penggoda dan lain
sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. Dalam
pepatah Jawa bahkan disebutkan bahwa perempuan itu kanca wingking
(berperan di belakang) yang swarga nunut neraka katut (ke surga ikut
ke neraka juga menurut saja). Dengan label-label negatif seperti itu,
mustahil bagi perempuan untuk dapat memperoleh kedudukan yang
sejajar dengan laki-laki dalam pandangan masyarakat. Perempuan
selalu akan tertinggal di belakang karena dianggap memang posisi
terbaiknya ada di belakang laki-laki.32

c. Marginalisasi (Peminggiran)
Sebagai akibat dari penomorduaan (subornisasi) posisi
perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan
(stereotype), menyebabkan perempuan tidak memiliki peluang, akses
dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber ekonomi.
Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi
mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan
keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirnya atau
termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang
lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan.33

d. Multi-burdened (Beban Kerja Ganda)


Istilah beban ganda, digunakan untuk seseorang yang
mengalami situasi di mana ia harus menanggung kedua wilayah kerja
sekaligus; domestik dan publik. Biasaya, beban ganda diberikan
kepada perempuan yang bekerja di luar rumah, dan masih harus
bertanggung jawab atas kerjakerja domestik. Di dalam rumah mereka

32
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 15-16.
33
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 17.
59

bertanggung jawab mengurus rumah tangga, memasak, mencuci,


mengurus anak-anak dan memenuhi kebutuhan emosional dan biologis
suaminya, sementara di luar rumah mereka juga dituntut sebagai
pekerja yang harus bekerja secara profesional oleh perusahaan atau
kantor tempat dia bekerja.34
Anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat bahwa
semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya, karena
dikonstruksi sebagai pekerjaan perempuan.35 Meskipun tugas itu bisa
dialihtugaskan kepada pihak lain, baik itu pekerja rumah tangga, atau
anggota keluarga perempuan lainnya, namun tanggung jawabnya
masih tetap ada pada pundak perempuan. Akibatnya, perempuan
mengalami beban ganda. Beban di wilayah domestik dan beban kerja
di wilayah publik.
Cara yang terbaik untuk mengatasi persoalan beban kerja itu
adalah dengan memberikan nilai dan penghargaan yang sama untuk
kerja di wilayah publik dan kerja di wilayah domestik. Dengan itu
lelaki juga didorong untuk masuk ke wilayah kerja domestik tanpa
merasa mendapatkan sanksi sosial berupa perendahan atas peran itu.36

e. Violence (Kekerasan)
Kekerasan bisa terjadi baik kepada perempuan maupun laki-laki,
namun perempuan merupakan komunitas yang lebih rentan dan
potensial menjadi korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya atau
kekerasan yang terjadi akibat bias jender yang dalam literatur

34
Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2008),
h. 19.
35
Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 21.
36
Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 19.
60

feminisme lazim dikenal sebagai gender-related violence.37 Bentuk


kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik
(seperti pemukulan dan penganiayaan), kekerasan psikis (misalnya
kata-kata yang merendahkan atau melecehkan), kekerasan seksual
(contohnya perkosaan), dan sebagainya. Bentuk-bentuk kekerasan ini
bisa terjadi pada siapa saja, dimana saja, baik di wilayah pribadi
(rumah tangga) atau wilayah publik (lingkungan).38

Untuk mengurangi dan menghilangkan ketidakadilan jender yang


bisa terjadi seperti yang telah disebutkan pada pembahasan di atas, maka
dibutuhkan sebuah studi jender yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengurangi dan menghilangkan ketidakadilan jender tersebut. Dengan
kata lain studi jender hendaknya mewujudkan keadilan sosial, dan
keadilan sosial tidak dapat diwujudkan tanpa adanya keadilan jender
dalam masyarakat. Keadilan jender biasanya merujuk pada aplikasi
keadilan sosial dalam hal pemberian kesempatan yang sama antara laki-
laki dan perempuan.39

C. Jender Menurut Hukum Islam


Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah
prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik laki-laki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Hal ini diisyaratkan
dalam Q.s. al-Hujurat [49]: 13 yang berbunyi:

             

       

37
Umi Sumbulah, Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 15.
38
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 22.
39
Susilaningsih dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline and
Institusional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijga
kerjasama dengan McGill-IAIN- Indonesia Social Equity Project, 2004), h. 15-16.
61

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan


memberikan ketegasan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki
kedudukan yang sama baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun
dalam aktivitas sosial (urusan karier profesional). Ayat tersebut juga sekaligus
mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat
perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara keduanya.40
Perbedaan dan kelebihan di antara mereka yang dijadikan ukuran
untuk meninggikan dan merendahkan derajat mereka hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaaannya kepada Allah SWT. Dengan demikian berarti
perbedaan kedudukan laki-laki maupun perempuan itu hanyalah dari kualitas
ketakwaan mereka.41 Siapa yang rajin ibadah, maka akan mendapat pahala
lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya.
Ayat ini juga mempertegas tujuan pokok diturunkannya Alquran
adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan
penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-
ikatan primordial lainnya. Namun demikian sekalipun secara teoritis Alquran
mengandung prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun
ternyata dalam tatanan implementasi seringkali prinsip-prinsip tersebut
terabaikan.42
Agama Islam telah menawarkan konsep jender dengan meletakkan
perempuan dan laki-laki dalam partnership dan keberadaanya diakui sederajat

40
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, h. 374.
41
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013), h. 6.
42
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam,” h. 374.
62

dengan hak dan kewajibanya masing-masing. Hal ini tergambar dalam Q.s. al
Nahl [16]: 97 yang berbunyi:

             

    


Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan, sedang dia adalah mukmin, maka sesungguhnya pasti akan kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini dan semacamnya seperti Q.s. al-
Nisa [4]: 12443 dan Ali Imran [3]: 195,44 merupakan ayat yang menekankan
persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal usaha maupun
ganjaran. Kata “man/siapa” yang terdapat pada awal ayat 97 Q.s. an-Nahl ini
sebenarnya sudah dapat menunjukkan kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan, tetapi untuk lebih menekankan, sengaja ayat ini menyebut secara
tegas kalimat “baik laki-laki maupun perempuan”. Ayat ini juga menunjukkan
betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya, masyarakat dan bangsanya,
bahkan untuk seluruh manusia.45
Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Hukum Keluarga dalam
Islam, menambahkan sebuah hadis yang dijadikan sebagai salah satu dalil oleh

43
Q.s. al-Nisa [4] ayat 124, yang terjemahannya berbunyi, “Dan barang siapa
mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka
mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.”
44
Q.s. Ali Imran [3] ayat 195, yang terjemahannya berbunyi, “...Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amalan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain...”. Maksudnya adalah
sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, maka demikian pula halnya
perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama manusia, tidak ada
kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya. Lihat Kementerian Agama
RI, Al-Qur‟an dan Terjemah New Cordova, (Bandung: sygma, 2012), Cet. 1, h. 75-76.
45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 7, h. 344.
63

para ulama yang mengatakan bahwa kedudukan perempuan sejajar dengan


laki-laki,46 yaitu sebagai berikut:

47

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manîʻ , telah


menceritakan kepada kami Hammâd bin Khâlid al-Khayyâṯ , dari ʻ Abdullah
bin ʻ Umar al-ʻ Umari, dari ʻ Ubaîdullah bin ʻ Umar, dari al-Qâsim bin
Muhammad, bahwa ʻ Aˋ isyah berkata “Rasulullah SAW pernah ditanya
mengenai seorang laki-laki yg mendapati suatu yang basah (mani), tetapi ia
tidak merasa bermimpi basah, maka Rasulullah menjawab: "dia wajib
mandi". Dan beliau juga ditanya mengenai seorang laki-laki yang bermimpi
basah, tetapi tidak mendapati sesuatu yg basah (mani), beliau menjawab: "dia
tidak wajib mandi". Ummu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah, apakah
seorang wanita juga wajib mandi jika mendapati ada sesuatu yang basah?”
beliau menjawab: "Ya, sesungguhnya perempuan adalah belahan jiwa laki-
laki".

Kalimat ِ‫ق الّرِجَال‬


ُ ‫ شَقَا ِئ‬memiliki beberapa pengertian, diantaranya
belahan jiwa laki-laki, mitra laki-laki, dan saudara kandung kaum laki-laki.
Menurut Quraish Shihab Syaqâˋ iq al-Rijâl artinya adalah saudara-saudara
sekandung kaum lelaki, sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat
fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Allah kepada masing-masing
jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu
merasa memiliki kelebihan atas yang lain.48

46
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013), h. 12
47
Abî ʻ Îsâ Muẖ ammad Ibn ʻ Îsâ Ibn Saurah al-Tirmidzî, al-Jâmiʻ u al-Saẖ îẖ Sunan
al-Tirmidzî, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-ʻ Ilmiyah, 2000), Juz 1, h. 90.

48
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 279.
64

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa agama Islam


sangat memperhatikan keadilan jender. Hal ini terbukti dari banyaknya dalil
yang menjelaskan tentang kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Keadilan dalam Alquran mencakup semua segi kehidupan manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu Alquran
tidak mentolerir segala bentuk diskriminasi terhadap laki-laki maupun
perempuan. Jika terdapat sebuah pemahaman atau penafsiran yang
mengandung unsur-unsur diskriminatif, maka pemahaman atau penafsiran
tersebut terbuka untuk direinterpretasikan.
Terdapat empat prinsip yang harus diperhatikan dalam reinterpretasi
hukum Islam agar sesuai tujuan, yaitu prinsip keadilan, kesetaraan,
musyawarah, dan muʻ âsyarah bi al-maʻ rûf (pergaulan yang baik), yang
diuraikan sebagai berikut:
a. Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan salah satu konsep sentral yang harus terwujud
dalam hukum Islam, sebab di samping konsep tauhid keadilan menempati
ruang penting dalam keberlangsungan hukum Islam. Semua ajaran Islam
pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi kehidupan yang
adil.49 Alquran memang mengakui adanya perbedaan (distinction) antara
laki-laki dan perempuan, akan tetapi perbedaan tersebut bukanlah
pembedaan (dicrimination) yang menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lainnya.50 Sayyid Muhammad Husein Fadhlullah juga
berpendapat bahwa keadilan tidaklah berarti persamaan dalam suatu
bentuk antara manusia, persamaan antara laki-laki dan perempuan menurut
beliau adalah persamaan keduanya dalam kemanusiaan, bukan dalam
artian persamaan peranan.51

49
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
(Jakarta: P3m, 2004), h. 130.
50
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, h. 18-19.
51
Sayyid Muhammad Fadhlullah, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Abdul Qadir Al Kaf,
(Jakarta: Lentera, 2000), h. 35.
65

b. Prinsip Musawah (kesetaraan)


Kedatangan Islam di muka bumi ini merupakan solusi terhadap
beberapa praktek hukum, budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang
diskrimnitatif. Hukum Islam ditetapkan untuk tidak mendiskriminasikan
antar suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, serta tidak membedakan status
sosial masyarakat. Kesetaraan mengindetifikasi adanya kehidupan umat
manusia yang menghargai kesamaan asal muasalnya sebagai manusia dan
kesamaan pembebanan, dimana setiap manusia dikarunia akal untuk
berfikir. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan tidak
ada yang perlu dipersoalkan, akan tetapi permasalahan baru muncul
apabila perbedaan jenis kelamin melahirkan ketidakadilan perlakuan
antara laki-laki dan perempuan.52
Islam sangat tegas membawa prinsip kesetaraan manusia, termasuk
kesetaraan perempuan dan laki-laki. Karena itu, Islam menolak semua
bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, terutama terkait relasi jender.53
Dalam Islam ditegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki derajat
yang sama, Alquran tidak menekankan superioritas dan inferiorias atas
dasar jenis kelamin, namun yang membedakan di antara mereka hanyalah
kadar ketakwaan, sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan pada
Q.s. al-Hujurat [49]: 13 di atas.

c. Musyawarah
Kata musyawarah terambil dari akar kata َ‫شوَر‬
َ yang pada mulanya
bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

52
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
h. 132.
53
Siti Musdah Mulia, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender,
(Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka, 2014), h. 55.
66

dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat yang dihasilkan dengan


jalan musyawarah.54
Musyawarah merupakan hal penting dalam upaya reinterpretasi
hukum Islam, karena melalui konsensus yang kolektif dengan sekelompok
orang yang berkompeten dalam hal tersebut. Sehingga keputusan hukum
yang dihasilkan bisa diterapkan oleh seluruh masyarakat. Meskipun
demikian Islam juga membenarkan adanya perbedaan hasil ijtihad selama
masalah itu dalam lingkup masalah ijtihadiyah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah
ada petunjuknya dari Allah SWT secara tegas dan jelas, baik langsung
maupun melalui Rasulullah SAW, maka persoalan tersebut tidak lagi
tergolong hal yang dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjukknya serta
mengenai persoalan-persoalan kehidupan duniawi, baik yang petunjuknya
bersifat global maupun yang tanpa petunjuk sama sekali, dan persoalan-
persoalan yang mengalami perubahan.55

d. Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf (Pergaulan yang baik).


Mu‟asyarah berasal dari kata „usyrah yang berarti keluarga dan
teman dekat. Dalam bahasa Arab dibentuk berdasarkan sighah
musyarakah baina al-itsnaini, yang berarti kebersamaan diantara dua
belah pihak, dari sini orang sering mengartikan muʻ âsyarah dengan
bergaul atau pergaulan karena di dalamnya mengandung kebersamaan dan
kebertemanan. Sedangkan maʻ rûf berakar dari kata ʻ urf, yang berarti
adat, kebiasaan atau budaya. Adat atau kebiasaan adalah suatu yang sudah

54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol. 2, h. 244.
55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, h.
247.
67

dikenal dengan baik oleh suatu masyarakat. Oleh karena itu, maʻ rûf
mengandung arti suatu yang dikenali dengan baik.56
Jadi Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf memiliki pengertian kebersamaan
antara dua pihak yang dijalani atas dasar kebaikan. Hal ini mencakup
hubungan antar saudara, sahabat, teman, suami istri, keluarga dan lain
sebagainya. Cakupan Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf juga terdapat pada
situasi dan kondisi budaya dan tradisi suatu masyarakat. Dapat dikatakan
bahwa Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf merupakan tindakan yang
memanusiakan manusia karena menganggap semua manusia harus
diperlakukan dengan baik tanpa memandang jenis kelamin.
Berkaitan dengan pola hubungan antara suami istri, Alquran
menyebutkan bahwa hubungan suami dan istri berlandaskan pada azas
kemitraan, yang keberadaan keduanya saling melengkapi, prinsip keadilan
selalu ditegakkan di manapun dan dalam keadaan apapun. Hubungan
antara suami istri tidak hanya sebatas hubungan seks saja akan tetapi
merupakan interaksi yang idealnya penuh dengan kedewasaan; dewasa
dalam bersikap terhadap pasangan, terhadap keluarga dan terhadap anak.57

D. Hakim Agama dan Sensitivitas Jender


Institusi peradilan agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional
memiliki peran penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan
kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini karena hampir semua persoalan relasi antara laki-laki dan
perempuan sebagai sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kompetensi
peradilan agama. Peradilan agama dengan demikian merupakan sarana yang
efektif untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun
non material yang berkeadilan jender. Dalam konteks ini, hakim agama

56
Husain, Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yogyakarta: Lkis, 2012), h. 144.
57
Athiyatussa’adah Al Badriyah, Pemikiran Kiai Husain Muhammad tentang
Mu‟asyaroh bil Ma‟ruf antara suami istri dalam upaya membentuk keluarga, 2014, h. 23. diakses
dari http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3467, tanggal 29 Mei 2018.
68

sebagai aktor sentral dalam institusi peradilan agama memegang peran


penting. Hakim agama tidak hanya sekedar bertindak sebagai aparatur
penegak hukum dan keadilan tetapi juga dapat menjadi agen perubahan
hukum untuk mengatasi masalah-masalah diskriminasi jender di dalam
lingkup domestik keluarga.58
Menurut Arskal Salim, upaya hakim agama untuk melakukan
improvisasi hukum dalam membela kesetaraan status dan hak-hak perempuan
sangat terasa penting, khususnya ketika berbagai produk hukum dan kultur
hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya mengandung sensitivitas
jender59 yang mampu menempatkan perempuan pada posisi yang sepatutnya.
Arskal Salim menegaskan bahwa:
Sembari menanti upaya amandemen ataupun judicial review terhadap
sejumlah peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah dari
perspektif jender, perubahan pola pikir dan cara pandang hakim melalui
serangkaian pelatihan peningkatan sensitivitas jender dapat menjadi
terobosan dan pilihan yang dianggap strategis. Melalui strategis edukasi,
hakim agama diharapkan akan memiliki wawasan dan pengetahuan
memadai untuk menghadapi situasi ketidakadilan jender di hampir segala
ranah hukum. Dengan perspektif jender semacam itu, hakim agama
terlegitimasi dan termotivasi untuk melakukan ijtihad, menafsirkan teks-
teks perundang-undangan yang mengandung bias ketidakadilan, atau malah
pergi lebih jauh ke balik teks hukum (beyond legal texts) untuk menemukan
keadilan di sana.60

Bagi Indonesia upaya untuk melakukan improvisasi dan legislasi


hukum untuk membela kesetaraan status dan hak-hak perempuan terus
menerus dilakukan. Misalnya, pada tahun 1957, segera setelah Fakultas
Syariah berdiri, para pelajar putri lulusan pesantren diterima untuk belajar di
58
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 5.
59
Sensitivitas jender adalah kemampuan seseorang untuk memahami, merasakan, dan
berfikir tentang adanya kesenjangan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Sensitivitas
jender diharapkan mampu menjadi alat untuk melihat ketidakadilan yang muncul berkaitan dengan
hubungan antara perempuan dan laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Badriyah
Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam), h. 126.
60
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, h. 5-6.
69

Fakultas Syariah sebagai konsekuensi atas dibukanya pintu pendidikan bagi


perempuan. Padahal di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperi Mesir,
penerimaan mahasiswi baru di Universitas Al Azhar Kairo baru dimulai tahun
1960 dengan dibukanya Kuliyyah al-Banat. Akibat lanjutan dari kebijakan itu,
Pengadilan Agama yang kala itu bernama Majelis Hakim Agama harus
membuka diri kepada para mahasiswi lulusan Fakultas Syariah untuk
menduduki jabatan hakim agama.61
Upaya improvisasi dan legislasi hukum untuk membela kesetaraan
status dan hak-hak perempuan berikutnya yaitu lahirnya Undang-undang
Perkawinan pada tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991, di
mana berbagai pasalnya berusaha memberi perlindungan terhadap perempuan
meskipun belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan maksimal.62
Salah satu aturan yang dirasa belum maksimal dalam mewujudkan
keadilan adalah ketentuan pembagian harta bersama yang ada dalam Pasal 96
ayat (1) dan Pasal 97 KHI yang cenderung membagi dua sama besar harta
bersama tanpa mempertimbangkan berbagai faktor penting seperti faktor hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan, serta faktor
kontribusi dari para pihak dalam upaya memperoleh harta bersama baik
berupa materi maupun non materi. Dengan demikian, aturan tersebut harusnya
diperbarui agar mampu merespon berbagai kasus yang muncul tanpa
menimbulkan dampak yang diskriminatif terhadap laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, salah satu rujukan yang sangat penting dalam menentukan
suatu aturan agar tidak mengandung unsur-unsur yang diskriminatif adalah
Konvensi CEDAW yang salah satu prinsip dasarnya adalah prinsip non
diskriminasi. Sehingga diharapkan ketentuan-ketentuan yang dihasilkan
benar-benar mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Bukan hanya secara de
jure, tetapi juga de facto.
61
Abdurrahman Wahid, “Dilema Budaya Wanita Islam Indonesia”, dalam Wanita
Indonesia dalam Teks dan Konteks, INIS, 1993, dikutip oleh Arskal Salim, et.al., Demi Keadilan
dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, h. 6.
62
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, h. xix
BAB IV
DESKRIPSI PERKARA HARTA BERSAMA
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2017

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan


1. Sejarah Pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963
tentang Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Terbentuknya
kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan jawaban dari
perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun 1967
merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu
adalah Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang berkantor di
gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu yang sampai saat ini
dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan.1
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama
Jakarta Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan
menempati serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor
Cabang pun dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
pada masa itu diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya
adalah Bapak H. Ichtijanto, S.A., S.H., serta delapan karyawan untuk
menangani tugas–tugas kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari,
Sukandi, Saimin, Tuwon Haryanto, Fathullah An, Hasan Mughni, dan
Imron, keadaan penempatan kantor di serambi Masjid tersebut bertahan
sampai pada tahun 1979.
Kemudian pada bulan September tahun 1979 kantor Pengadilan
Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya Pondok

1
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.

70
71

Pinang dan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang
pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alimi BA
diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara
yang masuk, mereka diantaranya: KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf,
Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu masa kepemimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
ke Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan dengan menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun
tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat
Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan jalan
masuk dengan kelas jalan III C, namun sudah lebih baik dari pada tempat
sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada
masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Jayusman, S.H. Begitu pula
pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan
Bapak Drs. H. Ahmad Kamil, S.H. pada masa ini pula Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas
pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak
Drs. Rif’at Yusuf.2
Sementara itu, pada tahun 2000 ketika kepemimpinan dijabat oleh
Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H. pembenahan-pembenahan semua
bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistem komputerisasi dengan
online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang oleh Ketua
Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan
dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.
Pada tahun 2007-2008 dalam kepemimpinan Drs. H. A. Choiri,
S.H., M.H. pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun
2
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
72

non fisik sudah terintegrasi dengan online komputer, pada periode ini juga
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil menyediakan tanah untuk
bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di Jl. Harsono RM,
Ragunan, Jakarta Selatan. kemudian sejak tahun 2008 telah dibangun
gedung baru yang sesuai dengan purwarupa Mahkamah Agung RI.
Pembangunan dilaksanakan dua tahap, tahap pertama tahun 2008 dan
tahap kedua tahun 2009 pada saat itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan
diketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan Harahap, S.H., M.A.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan
Agama Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung
baru lainnya di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah
Agung RI. Kemudian pada awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan
sekaligus dimulainya aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut, pada
saat itu Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H.
Ahsin A. Hamid, S.H.3
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan melakukan pembenahan
dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan
maupun dalam hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah
semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang
pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA (Sistem Informasi
Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang sudah berjalan dan
terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta
beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pa-
jakartaselatan.go.id.
Setelah masa jabatan Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H. berakhir, maka
jabatan ketua periode 2011-2013 beralih pada Drs. H. Yasardin, S.H.,
M.H., pada periode 2013-2015 jabatan ketua diduduki oleh Dr. Imron
Rosyadi, S.H., M.H., sementara itu pada periode 2015-2016 diketuai oleh
3
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
73

Dr. Chazim Maksalina, dan pada periode 2016 sampai sekarang


Pengadilan Agama Jakarta Selatan diketuai oleh Drs. H. Uyun
Kamiluddin, S.H., M.H.4

Foto Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan Hingga Tahun 2018

Sumber: http://pa-jakartaselatan.go.id

4
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
74

2. Visi dan Misi


Demi menunjang keberhasilan, Pengadilan Agama Jakarta Selatan
membentuk sebuah misi, yaitu “Mewujudkan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yang Bersih, Ramah, Berwibawa dan Melayani Menuju Peradilan
Indonesia Yang Agung”. Adapun upaya untuk mencapai visi tersebut,
maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menetapkan misi-misi
sebagai berikut:5
a. Meningkatkan integritas dan profesionalisme hakim dan seluruh
aparatur Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
b. Mewujudkan manajemen perkara yang modern dan pelayanan yang
bersifat prima.
c. Meningkatkan kualitas sistem pemberkasan perkara, minutasi,
banding, kasasi dan peninjauan kembali.
d. Meningkatkan kajian syari’ah hukum acara dan materil yang
berkenaan dengan kewenangan Peradilan Agama.
e. Mewujudkan pelayanan prima bagi para pencari keadilan.

3. Tugas Pokok dan Fungsi


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa:
Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan
bagi rakyat pencari keadilan terhadap perkara tertentu antara orang-
orang yang beragama Islam.

Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan


Tingkat Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,

5
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/visi-dan-misi.
75

infaq, shadaqah dan ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Di samping tugas pokok yang disebutkan di atas, Pengadilan
Agama Jakarta Selatan mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:6
a. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide Pasal
49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006).
b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun
administrasi umum atau perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pembangunan. (vide Pasal 53 ayat (3) Undang-undang No. 3 Tahun
2006 jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
c. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris,
Panitera Pengganti, dan Jurusita atau Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya (vide Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 3
Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan administrasi umum
kesekretariatan serta pembangunan. (vide KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
d. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. (vide Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006).
e. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian,

6
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Tugas dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-
pengadian/tugas-dan-fungsi.
76

keuangan, dan umum/perlengkapan) (vide KMA Nomor KMA/080/


VIII/2006).
f. Fungsi Lainnya, yaitu Pertama, melakukan koordinasi dalam
pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait,
seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide Pasal 52 A
Undang-undang No. 3 Tahun 2006). Kedua, Pelayanan penyuluhan
hukum, pelayanan riset atau penelitian dan sebagainya serta memberi
akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era keterbukaan dan
transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

4. Wilayah Yurisdiksi
Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan mencakup
seluruh wilayah Kota Jakarta Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan,
yaitu: Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Pasar Minggu, Jagakarsa,
Mampang Prapatan, Pancoran, Kebayoran Baru, Setiabudi, Tebet, dan
Cilandak.

5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu
pada Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.
Berikut bagan struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2018:7

7
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, diakses pada 01 Agustus 2018 dari https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-
pengadian/struktur-organisasi.
77

Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2018

KETUA
Drs. H. Uyun Kamaluddin, S.H., M.H.

WAKIL KETUA
Hj. Atifaturrahmaniyah, S.H., M.H.

HAKIM HAKIM
1. Drs. Yusran, M.H. 10. Drs. H.Uu Abd Haris, M.H.
2. Dra. Hj. Fauziah, M.H. 11. Ahmad Bisri, S.H., M.H.
3. Drs. H. Jarkasih, M.H. 12. Drs. H. Ilham Suhrowardi, M.H.
4. Drs. H. Ace Ma’mun, M.H. 13. Dr. H. Farid Ismail, S.H., M.H.
5. Drs. H. Nur Yahya, M.H. 14. Drs. H. M Anas Malik, S.H., M.H.
6. Drs. H. Zainal Arifin, S.H., M.H. 15. Drs. Cece Rukmana Ibrahim, S.H., M.H.
7. Drs. H. Syafi’uddin, S.H., M.H. 16. Dra. Neneng Susilawati, M.H.
8. Drs. Nurmujib, M.H. 17. Drs. H. Abdul Jabar, M.H.
9. Drs. Abdul Shomad 18. Dra. Raden Ayu Husna AR

PANITERA SEKRETARIS
Sufyan, S.H. Dodo Surganda, S.H., M.Pd.

PANITERA MUDA PERMOHONAN KASUBAG KEPEGAWAIAN,


Rahyuni, S.H., M.H. ORGANISASI, DAN TATA LAKSANA
Nur Khaefah
PANITERA MUDA GUGATAN KASUBAG UMUM DAN KEUANGAN
Nurlaelah, S.H. Djuhdan Muharom, S.H., M.M.
PANITERA MUDA HUKUM KASUBAG PERENCANAAN, TEKNOLOGI
Nova Asrul Lutfi, S.H. INFORMASI, DAN PELAPORAN
Najamudin, S.Ag., S.H., M.H.

PANITERA PENGGANTI JURUSITA


1. Hj. Rahmi, S.H. 1. Ombang Hasyim, S.Ag.
2. Zaenal Abidin, S.H. 2. Wisno Wijaya, S.E., M.H.
3. Arifin, S.Ag., M.H.I. 3. Sumaryono
4. Siti Makbullah, S.H. 4. A Zamrun Najib, S.E.
5. Titie Indriaty, S.H.
6. Neneng Kurniati, S.Ag.
7. Drs. H. Isep Sadeli JURUSITA PENGGANTI
8. Ustiana Putri, S.H., M.H. 1. Sudiono
9. Sujiati, S.H., M.H. 2. Tati Julianti, S.H.
10. Nur Holia, S.H., M.H. 3. M. Sahid
11. Faizatur Rahmah, S.H., M.H. 4. M. Yunus, S.H.I
12. Hasan Bajuri, S.H.I. 5. Ahmad Furqoni, S.E., S.H., M.H.
13. Adi Praswara Ary, S.H., M.H. 6. Kunthi Septyanti, S.H.
14. Rohimah, S.H., M.H. 7. Nining Widiawati
15. Hj. Andar Aryani, S.H., M.H. 8. Aji Djuanda Rachmad
16. Atiyah Shaofanah, S.H. 9. Nanang Nurwahyudi, S.H.
17. Muhlis, S.H., M.H. 10. Atun, S.H.
18. Hj. Alfiyah Y, S.H., M.H. 11. Dini Triana, S.Sos, M.H.
19. Dra. Siti Nurhayati 12. M. Lutfie Awal, S.H.
20. Sri Mulyati, S.Ag., M.H. 13. M. Syaifur Rohim, S.E.I.
21. Rahmah Sufiyah, S.H., M.H. 14. Pawit
22. Zulhelmi, S.H.
23. Yulisma, S.H.
24. Hikmayati, S.H.
78

B. Proses Pemeriksaan Gugatan Harta Bersama


Pengajuan gugatan harta bersama bisa secara kolektif yaitu
dikumulasikan dengan gugatan perceraian, ataupun secara tersendiri yaitu
setelah perceraian selesai diputus serta telah berkekuatan hukum tetap
kemudian diajukan gugatan kembali tentang harta bersama secara tersendiri.
Hal ini telah diatur oleh Undang-undang Perkawinan yaitu pada Pasal 86 ayat
(1) yang menyatakan “Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah
istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
gugatan perceraian atau pun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap”.8
Perkara penyelesaian harta bersama masuk dalam kategori gugutan,
karena dalam proses persidangan terdapat dua pihak yang bersengketa yaitu
Penggugat (plaintiff) dan Tergugat (defendant), serta masing-masing pihak
membela kepentingannya. Oleh karena itu proses pemeriksaan dan
penyelesaian perkaranya sama dengan proses pemeriksaan perkara gugatan
perdata pada umumnya yang ada di Pengadilan Agama.9
Karena gugatan harta bersama termasuk dalam perkara contentious,
maka prosedur pemeriksaan perkaranya adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan Perkara ke Pengadilan Agama
Penggugat datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat
gugatan, kemudian menghadap ke petugas Meja Satu dan menyerahkan
surat gugatannya. Petugas Meja Satu akan menaksir panjar biaya perkara
(biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara) yang
kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Bagi
yang tidak mampu maka dapat berperkara secara Prodeo (cuma-cuma)
dengan membuktikan surat keterangan tidak mampu dari lurah atau kepala
desa setempat yang dilegalisasi oleh camat.

8
Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 18 Mei
2018.
9
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
79

2. Pembayaran Panjar Biaya Perkara


Calon penggugat kemudian menghadap kasir dengan menyerahkan
surat gugatan disertai SKUM, kemudian membayar panjar biaya perkara
sesuai nominal yang dicantumkan dalam SKUM. Petugas kasir memberi
tanda lunas dalam SKUM dan menyerahkan kembali kepada calon
penggugat.

3. Pendaftaran Perkara
Calon penggugat kemudian menghadap ke Meja Dua dengan
menyerahkan surat gugatan dan SKUM yang telah dibayar. Kemudian
Meja Dua mendaftarkan gugatan dalam register, memberi nomor perkara
sesuai dengan nomor pada SKUM, kemudian memberikan kembali kepada
calon penggugat satu helai salinan, kemudian mengatur berkas perkara dan
menyerahkannya kepada ketua pengadilan melalui panitera.

4. Penetapan Majelis Hakim


Ketua Pengadilan Agama mempelajari berkas-berkas dalam waktu
selambat-lambatnya tujuh hari, kemudian ketua menunjuk hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah Penetapan Majelis
Hakim. Setelah ditentukan hakim yang akan memeriksa perkara, maka
hakim ketua atau anggota majelis hakim akan memeriksa kelengkapan
surat gugatan.

5. Penunjukan Panitera Sidang


Untuk membantu majelis hakim dalam menyelesaikan perkara
maka panitera menunjuk seorang atau lebih sebagai panitera sidang,
kemudian panitera sidang menyerahkan berkas kepada majelis hakim,
serta panitera ini nantiknya yang akan mencatat jalannya persidangan.

6. Penetapan Hari Sidang


Ketua majelis hakim setelah menerima berkas perkara, kemudian
menetapkan hari, tanggal, dan jam sidang serta memerintahkan agar para
80

pihak dipanggil untuk menghadap pada jadwal persidangan yang telah


ditentukan, dalam hal ini diperintahkan kepada jurusita untuk memanggil
para pihak yang akan berperkara. Kemudian majelis hakim akan
menyidangkan perkara.10

7. Pemeriksaan di Persidangan (Proses Persidangan)


Proses pemeriksaan perkara perdata di persidangan mengacu pada
apa yang telah diatur dalam hukum acara perdata. Dimulai dengan
mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Apabila pihak penggugat dan
tergugat sepakat tidak mau berdamai, maka dilanjutkan dengan pembacaan
gugatan, dan pada tahap ini ada kemungkinan penggugat mencabut
gugatan, menambah atau mengurangi isi gugatannya.
Selesai dibacakan gugatan, tergugat dapat mengajukan jawaban
baik secara tertulis maupun lisan. Jabawan juga dapat berupa eksepsi atau
gugatan rekonvensi (gugat balik)11. Setelah pembacaan jawaban tergugat,
maka penggugat akan memberikan jawaban kembali yang dinamakan
replik, begitu pua sebaliknya tergugat mengajukan duplik sebagai jawaban
replik penggugat.
Apabila dianggap selesai proses jawab menjawab, maka sidang
dilanjutkan dengan tahapan pembuktian dari para pihak, baik yang bukti
berupa surat, saksi-saksi, ataupun alat bukti yang lainnya seperti sumpah.
Selesai tahapan pembuktian, sidang dilanjutkan dengan agenda
kesimpulan atau konklusi dari penggugat dan tergugat. Masing-masing
pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir yang
berupa kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, yang
menegaskan apakah penggugat tetap ingin melanjutkan gugatannya sesuai
10
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Prosedur Berperkara”, diakses pada 08 Agustus
2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/layanan-hukum/prosedur-pengajuan-dan-biaya-perkara-
11/prosedur-pengajuan-dan-biaya-perkara-12/cerai-talak-4.
11
Gugatan rekonvensi atau gugat balik adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat
terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Sudiko Mertokusumo,
Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), ed. 8, Cet. 1, h. 126.
Lihat juga M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 38.
81

petitum yang telah diminta atau menentukan hal lain seperti melakukan
perdamaian atau mencabut gugatannya.
Tahapan terakhir adalah putusan, dimana hakim setelah memeriksa
gugatan harta bersama, kemudian telah dilakukan proses jawab menjawab
antara para pihak, serta telah dilakukan pembuktian, maka hakim akan
melakukan pertimbangan perihal gugatan yang diajukan termasuk juga
perihal jawaban tergugat serta pembuktian dari masing-masing pihak.12
Apabila putusan telah dibacakan, maka terhitung empat belas hari
sejak putusan dibacakan, para pihak diberikan kesempatan untuk
melakukan upaya banding ke Pengadilan Tingi Agama. Namun setelah
lewat waktu empat belas hari, maka putusan telah dinyatakan berkekuatan
hukum tetap dan masing-masing pihak harus menjalankan putusan
tersebut.13

C. Deskripsi Perkara Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan


Perkara gugatan harta bersama termasuk perkara yang sedikit diterima
dan diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibandingkan dengan
perkara lainnya. Hal ini tergambar pada Laporan Tahunan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan tentang Perkara yang Diterima dan yang Diputus mulai dari
tahun 2014 sampai dengan tahun 2017. Untuk mengetahui banyaknya perkara
harta bersama yang masuk dan diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mulai dari tahun 2014 sampai tahun 2017 dapat dilihat dalam tabel berikut:

12
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
13
Kamarusdiana, dkk, “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama di Jakarta”, (Laporan
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 42.
82

Tabel 4.1
Jumlah Perkara yang Diterima dan Diputus
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2014-2017
Jumlah Keseluruan Perkara Harta
NO Tahun Perkara Bersama
Diterima Diputus Diterima Diputus
1 2014 4063 4038 29 24
2 2015 4209 4064 26 11
3 2016 4500 4336 25 17
4 2017 5056 5043 36 18
Jumlah 17828 17463 116 70
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Data di atas menggambarkan bahwa, berdasarkan Laporan Tahunan


Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang Diterima dan Diputus
selama empat tahun mulai dari tahun 2014 sampai dengan 2017 tercatat ada
17.828 perkara yang diterima, dari jumlah perkara tersebut, hanya 116 perkara
yang merupakan gugatan harta bersama. Begitu juga dari 17.463 perkara yang
berhasil diputus oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, hanya tujuh
puluh yang merupakan putusan perkara harta bersama.14
Perincian perkara yang diterima pertahunnya yaitu: pada tahun 2014,
dari total semua perkara yang masuk yaitu sebanyak 4063 perkara, hanya dua
puluh sembilan perkara yang merupakan gugatan harta bersama. Sedangkan
pada tahun 2015, dari 4209 perkara yang diterima, hanya dua puluh enam
perkara yang merupakan gugatan harta bersama. Adapun pada tahun 2016 dari
4500 perkara yang diterima, hanya dua puluh lima perkara yang merupakan
gugatan harta bersama. Sementara itu pada tahun 2017, dari total 5056 perkara
yang diterima, hanya sebanyak tiga puluh enam perkara yang tergolong pada
perkara gugatan harta bersama.
Sedangkan perincian perkara yang berhasil diputus oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam kurun waktu 2014-2017, yaitu: pada tahun

14
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang Diterima
dan Diputus tahun 2014-2017.
83

2014, dari 4038 perkara yang diputus, hanya dua puluh empat yang
merupakan putusan perkara harta bersama. Sedangkan pada tahun 2015, dari
4064 perkara yang diputus, hanya sebelas saja yang merupakan putusan
perkara harta bersama. Adapun pada tahun 2016, dari 4336 perkara yang
diputus, hanya tujuh belas yang merupakan putusan harta bersama. Sementara
itu pada tahun 2017, dari 5043 perkara yang berhasil diputus, hanya delapan
belas yang merupakan putusan perkara harta bersama. Kondisi demikian tidak
jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Dalam penelitian ini, salinan putusan harta bersama yang berhasil
dikumpulkan mulai dari putusan tahun 2013 hingga tahun 2017 berjumlah
lima puluh salinan. Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.2
Daftar Perkara Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
Tanggal
NO Nomor Perkara Keterangan
Diputus/Dicabut
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
3 1006/Pdt.G/2013/PA.JS 03 Juni 2014 N.O
4 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014 Damai
5 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
6 2395/Pdt.G/2013/PA.JS 07 April 2014 N.O
7 3079/Pdt.G/2013/PA.JS 08 Mei 2014 Dicabut
8 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014
9 759/Pdt.G/2014/PA.JS 05 Agustus 2014 Dicabut
10 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014 Damai
11 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015
12 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015
13 1692/Pdt.G/2014/PA.JS 22 Juli 2014 Dicabut
14 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28 April 2015
15 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2015
16 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03 Maret 2016
17 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21 Mei 2015
84

18 3151/Pdt.G/2014/PA.JS 15 April 2015 N.O


19 141/Pdt.G/2015/PA.JS 27 Januari 2015 Dicabut
20 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07 April 2015 Damai
21 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11 Januari 2017
22 1182/Pdt.G/2015/PA.JS 27 Oktober 2015 N.O
23 1374/Pdt.G/2015/PA.JS 16 Juni 2015 Dicabut
24 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05 September 2016
25 2325/Pdt.G/2015/PA.JS 23 November 2015 Dicabut
26 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03 Februari 2016
27 3263/Pdt.G/2015/PA.JS 20 Januari 2017 Dicabut
28 3371/Pdt.G/2015/PA.JS 16 Maret 2016 Dicabut
29 3496/Pdt.G/2015/PA.JS 18 Januari 2016 Dicabut
30 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14 Februari 2018
31 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29 November 2017
32 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29 Agustus 2017
33 3662/Pdt.G/2016/PA.JS 09 Januari 2017 Damai
Penetapan Pemisahan
34 0032/Pdt.P/2017/PA.JS 15 Maret 2017
Harta Bersama
35 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06 September 2018
36 882/Pdt.G/2017/PA.JS 15 Maret 2018 Dicoret dari Register
37 1102/Pdt.G/2017/PA.JS 20 April 2017 Damai
38 1375/Pdt.G/2017/PA.JS 31 Januari 2018 Dicoret dari Register
39 1507/Pdt.G/2017/PA.JS 09 November 2018 N.O
40 2165/Pdt.G/2017/PA.JS 28 Agustus 2018 Dicabut
41 2295/Pdt.G/2017/PA.JS 25 Januari 2018
42 2806/Pdt.G/2017/PA.JS 18 Januari 2018 N.O
43 2961/Pdt.G/2017/PA.JS 25 April 2018
44 3759/Pdt.G/2017/PA.JS 22 Maret 2018 Dicabut
45 3778/Pdt.G/2017/PA.JS 23 April 2018 N.O
46 3897/Pdt.G/2017/PA.JS 29 April 2017 Dicabut
47 4151/Pdt.G/2017/PA.JS 03 Januari 2018 Damai
48 4240/Pdt.G/2017/PA.JS 08 Mei 2018 Ditolak
49 4410/Pdt.G/2017/PA.JS 27 September 2018
50 4379/Pdt.G/2017/PA.JS 05 Maret 2018 Digugurkan
Sumber: Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari lima puluh perkara harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang bisa diakses, ada dua
85

belas perkara dicabut, tujuh perkara dinyatakan tidak dapat diterima (N.O =
Niet Ovankelijk verklaard), satu perkara ditolak karena harta yang
diperkarakan bukan termasuk harta bersama, tetapi merupakan hibah dari
orang tua tergugat, dua perkara dicoret dari register karena tidak menambah
panjar biaya perkara, satu perkara digugurkan karena penggugat dan kuasa
hukumnya tidak datang menghadap ke pengadilan meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut, satu perkara merupakan permohonan pemisahan harta
bersama, dan selebihnya yaitu dua puluh enam perkara merupakan gugatan
harta bersama yang telah diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
telah berkekuatan hukum yang tetap.
Dari semua data yang terkumpul, salinan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu setiap
salinan putusan yang perkaranya dinyatakan tidak dicabut, tidak N.O, tidak
dibatalkan atau dicoret, tidak digugurkan, dan perkara yang tidak ditolak.
Alasannya karena semua jenis putusan tersebut sudah jelas statusnya, yaitu
perkara tersebut tidak diproses lebih lanjut dalam persidangan, sehingga tidak
bisa ditemukan prosentase pembagian harta bersama di dalamnya, oleh karena
itu tidak ada yang perlu dikaji dan dianalisis terhadapnya.
Dengan demikian, data yang akan dianalisi berjumlah dua puluh enam
salinan putusan, sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel 4.3
Perkara Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2013-2017 yang Akan di Analisis
NO Nomor Perkara Tanggal Diputus Jalur Gugatan
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014 Murni
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014 Kumulasi Cerai Gugat
3 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014 Murni
4 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014 Murni
5 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014 Murni
6 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014 Murni
7 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015 Murni
8 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015 Murni
86

9 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28 April 2015 Murni


10 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2015 Kumulasi Cerai Gugat
11 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03 Maret 2016 Kumulasi Cerai Gugat
12 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21 Mei 2015 Murni
13 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07 April 2015 Kumulasi Cerai Talak
14 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11 Januari 2017 Murni
15 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05 September 2016 Murni
16 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03 Februari 2016 Kumulasi Cerai Gugat
17 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14 Februari 2018 Murni
18 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29 November 2017 Murni
19 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29 Agustus 2017 Murni
20 3662/Pdt.G/2016/PA.JS 09 Januari 2017 Murni
21 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06 September 2018 Murni
22 1102/Pdt.G/2017/PA.JS 20 April 2017 Murni
23 2295/Pdt.G/2017/PA.JS 25 Januari 2018 Murni
24 2961/Pdt.G/2017/PA.JS 25 April 2018 Kumulasi Cerai Gugat
25 4151/Pdt.G/2017/PA.JS 03 Januari 2018 Murni
26 4410/Pdt.G/2017/PA.JS 27 September 2018 Murni
Sumber: Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari dua puluh enam sampel
putusan yang akan di analisi, dua puluh putusan diantaranya tergolong perkara
gugatan harta bersama murni, lima salinan putusan tergolong perkara harta
bersama yang diakumulasi dengan gugat cerai oleh istri, dan satu salinan
putusan merupakan perkara harta bersama yang diakumulasi dengan
permohonan cerai talak oleh suami.
Berdasarkan sampel data yang diteliti, diketahui bahwa gugatan harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak hanya terjadi pada
pasangan suami istri yang dulu sama-sama bekerja di wilayah publik dan
mereka sama-sama menghasilkan uang untuk keluarga, melainkan juga terjadi
pada pasangan yang sumber keuangan keluarga mereka dulu hanya dihasilkan
oleh salah satu pihak saja. Berikut tabel yang memuat kesimpulan peneliti
tentang hal tersebut:
87

Tabel 4.4
Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2013-2017 Dilihat dari Pihak yang Mengajukan Gugatan
Penggugat dan
NO Nomor Perkara Tanggal Diputus
Tergugat
Suami bekerja
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014
gugat istri bekerja
Istri tidak bekerja
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja
3 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014
gugat istri bekerja
Istri bekerja
4 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja
5 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014
gugat istri bekerja
Istri bekerja
6 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja gugat
7 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015
istri tidak bekerja
Istri bekerja
8 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
9 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28 April 2015
gugat suami bekerja
Istri bekerja
10 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2015
gugat suami bekerja
Istri bekerja
11 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03 Maret 2016
gugat suami bekerja
Suami bekerja
12 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21 Mei 2015
gugat istri bekerja
Suami bekerja gugat
13 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07 April 2015
istri tidak bekerja
Istri bekerja
14 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11 Januari 2017
gugat suami bekerja
Suami bekerja
15 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05 September 2016
gugat istri bekerja
Istri bekerja
16 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03 Februari 2016
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
17 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14 Februari 2018
gugat suami bekerja
88

Istri tidak bekerja


18 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29 November 2017
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
19 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29 Agustus 2017
gugat suami bekerja
Istri bekerja
20 3662/Pdt.G/2016/PA.JS 09 Januari 2017
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
21 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06 September 2018
gugat suami bekerja
Suami bekerja gugat
22 1102/Pdt.G/2017/PA.JS 20 April 2017
istri tidak bekerja
Suami bekerja
23 2295/Pdt.G/2017/PA.JS 25 Januari 2018
gugat istri bekerja
Istri bekerja
24 2961/Pdt.G/2017/PA.JS 25 April 2018
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
25 4151/Pdt.G/2017/PA.JS 03 Januari 2018
gugat suami bekerja
Suami bekerja
26 4410/Pdt.G/2017/PA.JS 27 September 2018
gugat istri bekerja
Sumber: Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Tabel di atas menggambarkan beberapa hal. Pertama, istri bekerja dan


ikut menghasilkan sumber keuangan keluarga, kemudian melakukan gugatan
harta bersama terhadap suami yang juga bekerja sebagai penghasil keuangan
keluarga, ditemukan sembilan salinan putusan yang termasuk ke dalam
gugatan kelompok ini. Kedua, suami bekerja melakukan gugatan harta
bersama terhadap istri yang juga ikut bekerja, terdapat tujuh salinan putusan
yang tergolong pada kategori ini. Ketiga, istri tidak bekerja sehingga tidak ikut
menjadi sumber penghasilan keuangan keluarga secara langsung, tetapi
kemudian istri melakukan gugatan harta bersama terhadap suami yang
bekerja, gugatan model ini dapat ditemukan pada tujuh salinan putusan harta
bersama. Keempat, suami yang bekerja dan menghasilkan harta bersama
menggugat istri yang tidak bekerja, salinan putusan yang dikategorikan ke
dalam kelompok ini berjumlah tiga perkara.
BAB V
ANALISIS KEADILAN JENDER TERHADAP PEMBAGIAN
HARTA BERSAMA PADA KOMPLIASI HUKUM ISLAM DAN
IMPLEMENTASINYA DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Kompilasi Hukum Islam sudah mengatur sedemikian rupa tentang


ketentuan-ketentuan mengenai harta bersama. Ketentuan tersebut terdapat dalam
bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan yang terdiri dari tiga belas
pasal, mulai dari Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Jika kita perhatikan, secara
umum ketentuan-ketentuan tersebut sudah berupaya untuk menciptakan aturan
yang adil antara laki-laki dan perempuan. Namun ada beberapa pasal khususnya
tentang aturan pembagian harta bersama yang dirasa baru sebatas memberikan
keadilan secara formalitas. Dikatakan demikian karena berdasarkan ketentuan
tersebut ketika hubungan perkawinan telah usai, baik karena perceraian maupun
karena kematian salah satu pasangan, maka harta bersama harus dibagi dua sama
besar terlepas dari siapa yang mengusahakan harta bersama tersebut.
Dengan membagi dua sama besar tanpa melihat berbagai fakta yang terjadi
dalam kehidupan perkawinan para pihak yang berperkara, tentunya bisa
mengakibatkan salah satu pihak merasa dirugikan karena tidak mendapatkan hak
yang seharusnya menjadi miliknya. Ketentuan tersebut bisa menimbulkan
diskriminasi secara tidak langsung. Diskriminasi tidak langsung ini dapat terjadi
apabila hukum, kebijakan atau program yang didasarkan pada kriteria yang
sepertinya netral jender, tapi dalam kenyataannya mengakibatkan dampak yang
merugikan salah satu pihak.
Oleh karena itu, dalam bab ini akan dianalisis lebih jauh bagaimana
pembagian harta bersama menurut aturan KHI dilihat dari perspektif keadilan
jender dan CEDAW, apakah aturan tersebut telah mendukung semangat keadilan
jender, atau justru sebaliknya, serta bagaimana implementasinya di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan, apakah hakim menggunakan ketentuan KHI secara mutlak

89
90

atau ada solusi lain yang ditawarkan majelis hakim demi mewujudkan putusan
yang berkeadilan jender.

A. Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam Perspektif


Keadilan Jender
Menurut Amir Syarifuddin, Kompilasi Hukum Islam yang secara
formil penyebarannya disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 dan pelaksanaannya ditindak lanjuti melalui Surat Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991, serta disebarluaskan
melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 adalah merupakan puncak pemikiran fikih
Indonesia. Pernyataan tersebut berdasarkan pada proses panjang dalam upaya
perumusan kompilasi yang puncaknya ditempuh dengan diadakannya Loka
Karya Nasional yang diikuti oleh ulama-ulama fikih dari organisasi-organisasi
Islam, ulama fikih dari perguruan tinggi, masyarakat umum, dan diperkirakan
semua lapisan ulama turut serta dalam pembahasannya, sehingga patut dinilai
sebagai konsensus atau ijmak ulama Indonesia.1
Adapun kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum
nasional dapat diukur dengan unsur-unsur sistem hukum nasional sebagai
berikut, Pertama, landasan ideal dan konstitusional KHI adalah Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Hal itu dimuat dalam konsiderans Instruksi
Presiden dan dalam Penjelasan Umum KHI. Ia disusun sebagai bagian dari
sistem hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan
perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia. Kedua, ia
dilegalisasi oleh instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang
dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari
rangkaian peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, ia dirumuskan

1
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), Cet. 2, h. 138-139.
91

dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Hal itu
yang menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai dimensi: syariah,
fikih, fatwa, qanun, qadha, dan adat. Ia merupakan perwujudan hukum Islam
yang bercorak keindonesiaan. Keempat, saluran dalam aktualisasi KHI antara
lain pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, sebagaimana dapat
ditafsirkan secara teleologis dari Penjelasan Umum KHI.2
Walaupun KHI tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesian seperti yang diatur dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,3 namun
tujuan penyusunan dan penyebarluasan KHI adalah untuk memenuhi
kekosongan hukum substansial bagi orang-orang yang beragama Islam,
terutama berkenaan dengan penyelesaian sengketa keluarga di pengadilan
dalam lingkup Peradilan Agama.4 Maka berdasarkan Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25
Juli 1991 yang dikirim kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan
Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, sejak saat itu, secara formal
KHI diberlakukan sebagai hukum materil bagi lingkungan Peradilan Agama di
Seluruh Indonesia.5
Dengan demikian, maka KHI tentu diharapkan dapat dipedomani oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan setiap persoalan hukum yang
telah diatur dalam kompilasi tersebut, termasuk di dalamnya mengenai

2
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9.
3
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menetapkan bahwa jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c) Undang-undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, d) Peraturan Pemerintah, e) Peraturan Presiden, f) Peraturan Daerah
Provinsi, g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
4
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, h. 14.
5
Mesraini, “Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi Hukum
Islam dalam Perspektif Jender”, (Tesis, Program Studi Syariah Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 108.
92

pembagian harta bersama. Namun, setelah diamati ternyata tidak semua


ketentuan tentang harta bersama yang ada dalam KHI telah maksimal
mendukung semangat keadilan jender. Ada beberapa pasal khususnya
mengenai pembagian harta bersama yang dirasa kurang maksimal mendukung
semangat keadilan jender.
Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dikemukakan sejumlah
pasal yang terdapat dalam KHI mengenai harta bersama dalam perkawinan
yang mendukung keadilan jender dan pasal-pasal yang dirasa belum maksimal
dalam mendukung wacana keadilan jender. Standar yang digunakan untuk
mengklasifikasikan tingkat keadilan jender dalam sebuah ketentuan pasal KHI
didasarkan atas ada atau tidaknya unsur-unsur diskriminasi terhadap
perempuan maupun laki-laki yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut.
Diskriminasi yang dimaksud disini sesuai dengan yang dirumuskan oleh Pasal
1 Konvensi CEDAW, yang secara terperinci telah dibahas dalam bab III.

1. Pasal-pasal yang Mendukung Keadilan Jender


Secara keseluruhan, pasal-pasal yang mendukung terhadap wacana
keadilan jender dalam pengaturan harta bersama pada KHI relatif lebih
banyak dibandingkan dengan pasal-pasal yang belum maksimal dalam
mendukung keadilan jender. Pasal-pasal tersebut membahas tentang hal-
hal sebagai berikut:
Pasal 85 menyebutkan “Adanya harta bersama dalam perkawinan
itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
atau istri”. Kemudian Pasal 86 ayat (1) menegaskan “Pada dasarnya tidak
ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan”,
dan pada ayat (2) dikatakan “Harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya”. Lalu lebih lanjut dalam Pasal 87 ayat
(1) dijelaskan bahwa “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
93

menentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, kemudian dalam ayat (2)


dikatakan “Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah,
atau lainnya”.
Ketiga pasal di atas menjelaskan bahwa dalam suatu perkawinan
terdapat dua macam harta, yaitu harta pribadi dan harta bersama. Yang
termasuk harta pribadi yaitu harta bawaan yang diperoleh sebelum
perkawinan dan setiap harta yang diperoleh dalam masa perkawinan
berupa hadiah atau warisan. Kewenangan terhadap harta pribadi mutlak
dikuasai oleh suami atau istri yang memilikinya. Jika pemilik harta pribadi
ingin melakukan perbuatan hukum atas hartanya tersebut, maka tidak perlu
meminta persetujuan dari pihak lain. Dengan kata lain, suami atau istri
yang memiliki harta bebas melakukan tindakan hukum atas hartanya dan
hal ini sah menurut hukum.
Keadaan di atas merupakan aturan umum, yaitu jika suami istri
tersebut tidak mengadakan perjanjian untuk menentukan lain. Jika suami
istri mengadakan perjanjian tentang hartanya, maka status dan penguasaan
harta pribadi tersebut sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati
oleh keduanya. Apabila disepakati bahwa harta pribadi disatukan dan
dijadikan sebagai harta bersama, maka penguasaannya diperlakukan
sebagaimana harta bersama, yaitu segala tindakan hukum terhadap harta
bawaan yang telah dijadikan harta bersama tersebut harus atas persetujuan
bersama suami istri.
Ketentuan KHI dalam pasal-pasal di atas dikategorikan sebagai
ketentuan yang telah mendukung terhadap wacana keadilan jender, karena
memang tidak terdapat hal-hal yang diskriminatif di dalamnya. Selain itu,
hal ini juga didasarkan karena ketentuan KHI tersebut sejalan dengan
Pasal 16 ayat (1) huruf h Konvensi CEDAW yang menyebutkan:
Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua
urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan
kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, dan
94

khususnya akan menjamin hak yang sama untuk kedua suami istri
bertalian dengan pemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi,
penikmatan dan memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-
cuma maupun dengan penggantian berupa uang.

Selanjutnya ketentuan KHI mengenai harta bersama yang


mendukung semangat keadilan jender yaitu Pasal 89 yang menyatakan
“Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun
harta sendiri”. Demikian sebaliknya, pada Pasal 90 dikatakan “Istri turut
bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada
padanya”. Kemudian Pasal 91 ayat (1) menjelaskan “Harta bersama
sebagai tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud”, ayat (2) mengatakan “Harta bersama yang berwujud
dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga”, ayat (3) berbunyi “Harta bersama tidak berwujud dapat berupa
hak maupun kewajiban”, kemudian dalam ayat (4) ditetapkan “Harta
bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya”. Lalu dalam Pasal 92 ditekankan bahwa
“Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama”.
Ketentuan di atas mengatur tentang bagaimana seharusnya sikap
pasangan suami istri terhadap harta perkawinan mereka. Suami dan istri
sama-sama memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga terhadap harta
bersama yang mereka miliki maupun harta pribadi pasangannya.
Kemudian penegasan mengenai hak pada Pasal 91 ayat (3) di atas
menunjukkan kepada activa, sedangkan kewajiban adalah passiva, yakni
kewajiban dalam hal membayarkan sejumlah hutang. Dalam hal ini, jika
terjadi perceraian antara suami dan istri, kemudian dilakukan pembagian
harta bersama, yang dibagi bukan hanya harta yang bersifat activa, tetapi
semua hutang dan kredit yang dibuat semasa ikatan perkawinan atas
persetujuan bersama harus dimasukkan sebagai harta bersama yang
95

bersifat passiva.6 Jadi, baik harta maupun beban hutang harus dibagi di
antara suami dan istri dalam pembagian harta bersama pasca perceraian.
Pasal 89, 90, 91, dan 92 KHI di atas termasuk pasal yang sangat
mendukung keadilan jender, karena semua ketentuannya memberikan
kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah
hubungan perkawinan. Hal ini sesuai dengan salah satu perintah dari
Konvensi CEDAW untuk tujuan menghapus segala bentuk diskriminasi,
perintah tersebut terdapat pada Pasal 2 huruf (a) yang berbunyi
“Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
Undang-undang”.
Kemudian Pasal 93 ayat (1) menjelaskan “Pertanggungjawaban
terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada harta masing-masing”,
ayat (2) “Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama”, ayat (3) “Bila
harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami”, dan ayat
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada
harta istri”.
Ketentuan di atas membahas tentang hutang suami, hutang istri,
maupun hutang bersama suami istri. Berdasarkan aturan tersebut dapat
dipahami bahwa suami atau istri bertanggungjawab atas hutangnya
masing-masing, maksudnya hutang yang secara khusus dimiliki suami
atau istri menjadi tanggung jawab masing-masing. Misalnya, salah satu
dari mereka mempunyai hutang sebelum mereka menikah, maka hutang
itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ketentuan ini tidak berlaku jika
hutang tersebut terkait dengan kepentingan keluarga, apabila ternyata
hutang tersebut dibuat demi kebutuhan bersama suami istri maka keduanya
sama-sama bertanggung jawab atas hutang tersebut. Namun apabila harta
bersama ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang, maka suami

6
Anshary MK, Hukum Perkawinan Indonesia: Masalah-masalah Krusial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 138.
96

bertanggung jawab untuk membayarnya, dan apabila harta suami tidak


cukup, maka pelunasan hutang dibebankan pada harta istri.
Jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban suami istri yang ada
dalam Pasal 33 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Suami
istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Maka
ketentuan mengenai pembayaran hutang bersama yang ada dalam KHI ini
telah sesuai dengan Pasal 33 UUP tersebut di atas, karena menunjukkan
sikap saling memberi bantuan dalam bentuk harta antara suami dan istri.
Adapun mendahulukan harta suami untuk membayar hutang
bersama ketika harta bersama tidak cukup untuk melunasi semua hutang
dikarenakan suami merupakan kepala rumah tangga yang wajib
memberikan nafkah kepada istrinya, termasuk bertanggung jawab terhadap
kebutuhan keluarga.7 Dengan demikian, berarti tidak ada unsur
diskriminasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Konvensi
CEDAW yang terkandung dalam aturan KHI tersebut. Hal inilah yang
menjadi argumentasi rasional bahwa pasal yang terkait dengan hutang
bersama suami istri cenderung mendukung keadilan jender.
Selanjutnya ketentuan yang juga telah mendukung semangat
keadilan jender yaitu Pasal 94 ayat (1) yang menjelaskan “Harta bersama
dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”. Kemudian pada ayat (2)
dikatakan “Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung
pada saat berlangsung akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau
keempat”.
Ketentuan harta bersama dalam perkawinan poligami mengandung
beberapa asas, yaitu pertama, dalam perkawinan poligami terbentuk
beberapa paket harta bersama. Paket tersebut tergantung dengan

7
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 35.
97

banyaknya istri yang dikawini oleh suami. Kedua, terwujudnya harta


bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan. Maksudnya
tiap paket harta bersama dihitung sejak pernikahan dilangsungkan dan
berakhir dengan putusnya perkawinan. Ketiga, masing-masing paket harta
bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Maksudnya dalam
perkawinan poligami tidak ada penggabungan antara satu paket dengan
paket lainnnya, sehingga harta bersama antara suami dengan istri pertama,
kedua, dan seterusnya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.8
Jika kita perhatikan, ketentuan mengenai harta bersama terhadap
suami yang memiliki istri lebih dari seorang sangatlah jelas tidak
mengandung unsur yang diskriminasi, di dalamnya terdapat upaya untuk
menghindari ketidakjelasan mengenai objek harta bersama yang bertujuan
agar tidak terjadi perebutan harta bersama antara istri yang satu dengan
yang lainnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa aturan yang dibuat
oleh KHI mengenai harta bersama dalam perkawinan poligami sudah
tepat, karena sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) Konvensi CEDAW yang
menegaskan “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan
yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam
semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan
kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”.
Dalam Pasal 88 KHI dijelaskan “Apabila terjadi perselisian antara
suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama”. Kemudia dalam Pasal 95 ayat (1)
dijelaskan “Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c
Peraturan Pemerintahan No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan
gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan
dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan

8
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h.
65.
98

sebagainya”, lalu pada ayat (2) disebutkan “Selama masa sita dapat
dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama”. Selanjutnya dalam Pasal 96 ayat (2) disebutkan
“Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan
Agama”.
Pasal 88, 95, dan 96 ayat (2) di atas menunjukkan bahwa
Pengadilan Agama adalah instansi yang berwenang dalam penyelesaian
perkara harta bersama. Suami dan istri diberikan hak yang berimbang
untuk mengajukan perkara harta bersama ke Pengadilan Agama. Bahkan,
apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan
membahayakan harta bersama, seperti pemboros, penjudi, pemabuk, dan
sebagainya, maka pihak yang lain dapat meminta Pengadilan Agama untuk
meletakkan sita jaminan (sita marital) atas harta bersama tersebut,
meskipun mereka tidak mengajukan perceraian. Pengaturan mengenai sita
marital dalam pasal ini juga bertujuan sebagai antisipasi untuk
mengamankan posisi harta bersama tersebut, yakni mencegah salah satu
pihak yang menguasai akses terhadap harta bersama yang sedang
diperkarakan untuk dialihkan, misalnya dijual atau disembunyikan
sehingga menyulitkan prosesnya di pengadilan.9
Dengan memberikan hak yang sama bagi suami atau istri untuk
mengajukan perkara ke jalur hukum, berarti telah menggambarkan
ketentuan yang mendukung semangat keadilan jender. Hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 15 ayat (1) Konvensi CEDAW “Negara-negara peserta
wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di
muka hukum”. Ketentuan ini juga sejalan dengan Pasal 2 huruf (c)
Konvensi CEDAW yang mengatakan:

9
Asni, “Idealisasi Perlindungan Istri dalam Penerapan Hukum Harta Bersama di
Pengadilan Agama”, Al-Manahij, Vol. IX No. 2, 2015, h. 291.
99

Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan


dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan
segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini
berusaha untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak
perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk
menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan
pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif
terhadap setiap tindakan diskriminasi.

Selanjutnya, ketentuan KHI tersebut juga sesuai dengan Pasal 15


ayat (2) Konvensi CEDAW yang menyatakan:
Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan
dalam urusan urusan sipil kecakapan hukum yang sama dengan kaum
laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapan
tersebut, khususnya agar memberikan kepada perempuan hak-hak yang
sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan untuk mengurus harta
benda, serta wajib memberi mereka perlakuan yang sama pada semua
tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.

Selain telah menunjukkan kecenderungan akomodatif terhadap


wacana keadilan jender, tampaknya KHI dengan sejumlah pasal mengenai
pengaturan harta bersama yang disebutkan di atas juga terbukti telah
menunjukkan gagasan progresif yang tetap tidak bertentangan dengan
hukum syariah. Dengan dimikian, aturan ini secara umum telah memenuhi
dimensi pembaharuan dalam pembangunan hukum nasional yang
cenderung memberikan rasa keadilan terhadap laki-laki dan perempuan,
oleh karena itu ketentuan ini bisa dilaksanakan dan dipedomani.

2. Pasal-pasal yang Kurang Mendukung Keadilan Jender


Kompilasi Hukum Islam sesungguhnya merupakan respon
pemerintah terhadap timbulnya berbagai keresahan di masyarakat akibat
beragamnya keputusan Pengadilan Agama untuk suatu kasus yang sama.
Keberagaman itu merupakan konsekuensi logis dari berbagai macam
pandangan fikih yang dahulunya menjadi referensi para hakim agama
dalam memutuskan suatu perkara. Karena itu, muncul gagasan perlunya
100

suatu unifikasi hukum yang dikodifikasikan dan dirumuskan secara


sistematis sebagai landasan rujukan bagi para hakim agama.10
Berkaitan dengan pengaturan harta bersama, KHI sebenarnya telah
berusaha menciptakan aturan yang sesuai dengan semangat keadilan
jender dalam setiap pasalnya. Namun, dari total tiga belas pasal yang
mengatur tentang harta bersama sebagaimana yang terdapat dalam KHI
bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan, ternyata terdapat dua
pasal yang dirasa kurang maksimal dalam mendukung semangat keadilan
jender.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 96 ayat (1) yang
menetapkan “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Demikian pula Pasal 97
yang menetapkan “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Dua pasal tersebut mengandung pengertian bahwa ketika hubungan
perkawinan telah berakhir baik karena kematian salah satu pasangan suami
atau istri maupun karena perceraian, dan tidak terdapat perjanjian
perkawinan mengenai harta, maka harta bersama yang telah mereka
hasilkan selama masa perkawinan harus dibagi rata (fifty-fifty) antara
suami dan istri.
Ketentuan tersebut tergolong pasal yang belum sempurna
mendukung wacana keadilan jender, karena pembagian harta bersama
dengan komposisi yang sama rata tanpa melihat faktor penting lainnya
yang terjadi selama masa perkawinan suami istri belum tentu bisa
memberikan rasa keadilan kepada para pihak yang berperkara, dan
tentunya ketentuan ini tidak bisa dipraktekkan secara merata kepada semua
kasus harta bersama yang masuk ke Pengadilan Agama.

10
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Kibar Press,
2007), h. 159.
101

Seorang istri layak mendapatkan haknya setengah dari harta


bersama walaupun dengan keadaan istri tidak bekerja di luar, dengan
syarat dia masih memiliki peran besar dalam menjaga keutuhan dan
kelangsungan keluarga, seperti mengurusi urusan rumah tangga,
mengantar dan menjemput anak, berbelanja dan menyediakan kebutuhan
suami, dan lain sebagainya. Karena status istri yang bekerja di rumah
sebagai ibu rumah tangga sama pentingnya dengan status suami bekerja di
luar rumah tangga. Perannya sebagai ibu rumah tangga memberi
kontribusi penting dalam proses penciptaan harta bersama suami istri
selama pernikahan mereka.11
Begitu juga sebaliknya, apabila suami tidak bekerja di luar,
sedangkan istri bekerja, dan suami ternyata tetap mengurus rumah tangga
dengan baik, maka berdasarkan ketentuan yang berlaku, harta bersama,
termasuk penghasilan istri tetap dibagi dua. Hal ini Seperti kondisi ketika
istri tidak bekerja di luar, maka suami yang tidak bekerja namun
melakukan tugas rumah tangga juga mendapatkan haknya dalam
pembagian harta bersama.
Jika keadaanya seperti dua kasus di atas, yaitu salah satu pihak
bekerja dan salah satunya mengurus rumah tangga dengan baik, maka
ketentuan bagi dua sama rata yang ditetapkan dalam Pasal 96 ayat (1) dan
Pasal 97 KHI bisa diterapkan. Namun ketentuan pasal tersebut tidak adil
untuk diterapkan apabila salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya
sebagai pasangan. Misalnya istri tidak bekerja, suami bekerja, sedangkan
istri tidak melakukan kewajiban sebagai mana mestinya terhadap suami
dan keluarga, seperti istri tidak mengurus suami, tidak memperhatikan
anak dan juga tidak mempedulikan rumah tangga.
Sama halnya ketika hanya istri yang bekerja, sedangkan suami
tidak bekerja dan tidak juga mengurus rumah tangga, maka tidak adil jika

11
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 72.
102

harta bersama dibagi dua sama rata antara mereka berdasarkan ketentuan
yang ada dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 KHI tersebut. Hal ini
karena istri pada dasarnya tidak dikenakan kewajiban mencari nafkah,
akan tetapi terpaksa harus melakukannya demi kelangsungan hidupnya
dan keluarga, dan ketika hubungan perkawinan berakhir, jerih payahnya
harus dibagi dua dengan suami yang tidak melakukan kewajibannya, maka
sudah pasti ketentuan tersebut mengandung unsur diskriminasi apabila
tetap diterapkan.
Pembagian harta bersama dalam perkawinan perlu didasarkan pada
aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang dimaksud
mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak
mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak
perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Pengaturan tentang pembagian harta bersama sebagaimana yang
ditetapkan oleh KHI tersebut sebenarnya telah berupaya memberikan hak
yang sama untuk suami dan istri dengan memberikan porsi yang setara
untuk masing-masing pihak ketika hubungan perkawinan telah berakhir.
Namun secara tidak langsung ketentuan tersebut dapat menimbulkan
diskriminasi baik terhadap wanita maupun laki-laki. Diskriminasi tidak
langsung bisa terjadi apabila ketentuan hukum didasarkan pada kriteria
yang sepertinya netral jender, tetapi dalam kenyataannya mengakibatkan
dampak yang merugikan bagi salah satu pihak, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.12
Ketentuan pembagian harta bersama yang ada dalam Pasal 96 ayat
(1) dan Pasal 97 KHI tersebut mengandung makna yang double standar
dalam artian disatu sisi penerapannya bisa dipandang mendukung keadilan
jender, namun disisi lain penerapannya bisa menyebabkan ketidakadilan
jender karena mengandung unsur yang diskriminatif. Hal ini menunjukkan

12
Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
103

bahwa ketentuan pasal tersebut tidak bisa diberlakukan secara merata


untuk semua kasus harta bersama yang masuk di Pengadilan Agama.
Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 2 huruf (b) Konvensi
CEDAW yang telah menegaskan bahwa setiap negara yang telah
meratifikasi Konvensi CEDAW harus melarang keras segala bentuk
diskriminasi dan wajib membuat peraturan-peraturan yang melarang
semua bentuk diskriminasi.
Secara lengkap Pasal 2 Konvensi CEDAW tersebut berbunyi
“Negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang
tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan”. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada
huruf (b) dikatakan bahwa negara harus “ Membuat peraturan perundang-
undangan yang tepat dan peraturan-peraturan lainnya termasuk sanksi-
sanksinya jika diperlukan, yang melarang semua diskriminasi terhadap
perempuan”.
Ketentuan KHI tersebut juga bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1)
Konvensi CEDAW yang menegaskan bahwa “Negara wajib membuat
peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan
dan hubungan kekeluargaan”.
Karena ketentuan yang ada dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97
KHI tersebut belum maksimal mendukung semangat keadilan jender,
maka harus dilakukan upaya sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2
huruf (f) Konvensi CEDAW, yaitu demi menghapuskan diskriminasi
“Negara harus membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang untuk mengubah dan menghapuskan undang-
undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek
yang diskriminatif terhadap perempuan”. Meskipun dalam Konvensi
CEDAW ini hanya menggunak redaksi perempuan, namun hal ini secara
otomatis juga ditujukan terhadap laki-laki. Karena asas non diskriminasi
104

yang ada pada Konvensi CEDAW bertujuan untuk menghapus segala


bentuk diskriminasi baik terhadap perempuan maupun laki-laki.
Berdasarkan hal tersebut, adanya reinterpretasi masalah-masalah
hukum keluarga di dalam KHI terutama mengenai pembagian harta
bersama perlu mendapatkan apresiasi, sehingga baik istri maupun suami
mendapatkan hak-haknya secara adil, karena pilar utama hukum adalah
keadilan, bukan hanya keadilan secara de jure, namun juga keadilan secara
de facto.

B. Implementasi Aturan Kompilasi Hukum Islam dalam Perkara


Pembagian Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Perspektif Keadilan Jender

Lembaga peradilan merupakan lembaga yang dapat menjadi sarana


untuk menegosiasi ulang hak-hak perempuan maupun laki-laki yang
terabaikan dalam hukum, selain itu lembaga peradilan khususnya Pengadilan
Agama juga merupakan tempat yang dinilai tepat untuk melakukan reformasi
hukum keluarga Islam dan hak-hak perempuan maupun laki-laki, salah
satunya dalam hal aturan pembagian harta bersama.
Dalam putusan Pengadilan Agama, kita dapat mengukur sejauh mana
implementasi hukum yang berkeadilan jender terhadap hak-hak perempuan
maupun laki-laki dalam hukum. Terpenuhinya keadilan secara prosedural
administratif tidak serta merta menjamin terwujudnya keadilan secara teknis
substantif. Hal ini hanya dapat terlihat jelas apabila telah dilakukan penelitian
mendalam terhadap putusan hakim.
Setelah mengumpulkan dan membaca sampel putusan hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang perkara harta bersama mulai dari
tahun 2013 sampai tahun 2017, maka ditemukan hasil pembagian harta
bersama sebagaimana pada tabel berikut:
105

Tabel 5.1
Hasil Pembagian Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
Tanggal Pembagian
NO Nomor Perkara
Diputus Harta Bersama
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23-10- 2014 Suami 1/3, Istri 2/3
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)

3 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23-01-2014 Damai, dibagi berdasarkan


kesepakatan
4 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)
5 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23-12-2014 Fifty-fifty (50:50)

6 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13-05-2014 Damai, sepakat bagian


Fifty-fifty (50:50)
7 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23-03-2015 Fifty-fifty (50:50)
8 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30-03-2015 Istri 40%, Suami 60%
9 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28-04-2015 Fifty-fifty (50:50)
10 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13-05-2015 Fifty-fifty (50:50)
11 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03-03-2016 Fifty-fifty (50:50)
12 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21-05-2015 Fifty-fifty (50:50)

13 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07-04-2015 Dibagi berdasarkan


surat perjanjian
14 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11-01-2017 Fifty-fifty (50:50)
15 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05-09-2016 Fifty-fifty (50:50)
16 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03-02-2016 Fifty-fifty (50:50)
17 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14-02-2018 Fifty-fifty (50:50)
18 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29-11-2017 Fifty-fifty (50:50)
19 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29-08-2017 Fifty-fifty (50:50)

20 3662/Pdt.G/2016/PA.JS 09-01-2017 Damai, dibagi berdasarkan


kesepakatan
21 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06-09-2018 Fifty-fifty (50:50)

22 1102/Pdt.G/2017/PA.JS 20-04-2017 Damai, dibagi berdasarkan


kesepakatan
23 2295/Pdt.G/2017/PA.JS 25-01-2018 Fifty-fifty (50:50)
24 2961/Pdt.G/2017/PA.JS 25-04-2018 Fifty-fifty (50:50)
106

25 4151/Pdt.G/2017/PA.JS 03-01-2018 Damai, dibagi berdasarkan


kesepakatan
26 4410/Pdt.G/2017/PA.JS 27-09-2018 Fifty-fifty (50:50)

Sumber: Arsip Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari dua puluh enam
sampel putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang perkara
harta bersama tahun 2013-2017, ditemukan hasil pembagian yaitu sebanyak
delapan belas putusan dibagi dengan porsi fifty-fifty atau dibagi dua sama rata,
lima putusan diselesaikan dengan kesepakatan perdamaian, satu putusan
dibagi berdasarkan surat perjanjian harta bersama, dan dua putusan lainnya
yaitu Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS dengan porsi suami memperoleh
1/3 dan istri 2/3, sedangkan Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS dibagi
dengan porsi istri memperoleh 40% dan suami sebanyak 60% dari harta
bersama.
Sampel dari putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
harta bersama tahun 2013-2017 di atas akan dianalisis dan diklasifikasikan ke
dalam beberapa fokus pembahasan berikut ini.

1. Kasus Istri Bekerja Menggugat Suami Bekerja


Kasus untuk gugatan yang diajukan oleh istri yang ikut andil
bekerja terhadap suami yang juga bekerja berjumlah sebanyak sembilan
putusan, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 5.2
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Istri bekerja Menggugat Suami Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan Harta Bersama
Diputus
1 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)

2 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13-05-2014 Damai, sepakat bagian


Fifty-fifty (50:50)
107

3 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30-03-2015 Istri 40%, Suami 60%


4 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13-05-2015 Fifty-fifty (50:50)
5 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03-03-2016 Fifty-fifty (50:50)
6 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11-01-2017 Fifty-fifty (50:50)
7 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03-02-2016 Fifty-fifty (50:50)

8 3662/Pdt.G/2016/PA.JS 09-01-2017 Damai, dibagi


berdasarkan kesepakatan
9 2961/Pdt.G/2017/PA.JS 25-04-2018 Fifty-fifty (50:50)

Sumber: Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Dari kesembilan putusan di atas diketahui bahwa ketentuan KHI


yang mengatur kasus harta bersama diselesaikan dengan pembagian fifty-
fifty ternyata tidak digunakan oleh hakim secara mutlak. Hal ini tampak
jelas pada Putusan Nomor 916/Pdt.G/2014/PA.JS, Putusan Nomor
1266/Pdt.G/2014/PA.JS, dan Putusan Nomor 3662/Pdt.G/2016/PA.JS.
Dalam Putusan Nomor 916/Pdt.G/2014/PA.JS dan Putusan Nomor
3662/Pdt.G/2016/PA.JS perkara harta bersama diselesaikan secara damai.
Dalam hal ini, hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak mewajibkan
pembagian dengan porsi fifty-fifty, melainkan hanya memutuskan dan
menghukum kedua belah pihak yang berperkara untuk mentaati
persetujuan yang telah disepakati dalam akta perdamaian. Pada Putusan
Nomor 916/Pdt.G/2014/PA.JS disepakati damai dengan pembagian fifty-
fifty. Sedangkan pada Putusan Nomor 3662/Pdt.G/2016/PA.JS kedua belah
pihak telah sepakat untuk mengakhiri sengketa harta bersama dengan
langsung menentukan harta benda mana saja yang akan diserahkan kepada
pihak istri dan suami tanpa menguangkan terlebih dahulu harta bersama
yang mereka miliki. Meskipun perkara harta bersama pada dua salinan
putusan ini sama-sama diselesaikan berdasarkan perdamaian, namun hasil
pembagian dalam masing-masing putusan berbeda, hal ini tergantung pada
isi kesepakatan yang telah mereka setujui pada saat proses mediasi.
Berdasarkan data pada tabel di atas, hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan pada umumnya menyelesaikan perkara harta bersama yang
108

digugat oleh istri bekerja terhadap suami bekerja berdasarkan pada aturan
Pasal 97 KHI dengan porsi dibagi dua sama rata. Namun terdapat satu
putusan yang mana hakim memberikan porsi harta bersama untuk suami
lebih besar dibandingkan porsi harta bersama untuk istri, dengan
perbandingan 60% untuk suami dan 40% untuk istri, yaitu Putusan Nomor
1266/Pdt.G/2014/PA.JS. Untuk mengetahui alasan hakim sehingga
memberikan porsi lebih banyak terhadap suami bekerja yang digugat oleh
istri yang juga bekerja, serta apakah pembagian ini tergolong mendukung
semangat keadilan jender atau tidak, maka perlu dianalisa lebih dalam,
oleh karena itu, berikut akan dideskripsikan tentang kasus posisi dalam
putusan tersebut:
Pengugat adalah Mulyati Thaher binti Mohamad Thaher, umur 58
tahun, menggugat Mohamad Hidayat Rahman bin Abdul Rahman, umur
60 tahun. Penggugat dan tergugat dahulunya adalah pasangan suami istri
yang telah menikah secara sah sesuai aturan hukum dan ajaran agama
Islam pada tanggal 13 Oktober 1979 serta telah dikarunia 2 (dua) orang
anak. Hubungan pernikahan penggugat dan tergugat berkahir Pada tahun
1986 dengan perceraian di hadapan majelis hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, kemudian pada tanggal 17 Januari 1987 rujuk lagi
sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akte Nikah tertanggal 17 Januari
1987. Setelah pernikahan kedua tersebut, penggugat dan tergugat bercerai
kembali pada tanggal 17 Desember 2013 sesuai isi putusan perceraian
Nomor 1123/Pdt.G/2013/PA.JS.
Selama masa perkawinan, penggugat dan tergugat telah
memperoleh harta bersama yang hingga saat ini belum pernah dilakukan
pembagian, yaitu berupa sebidang tanah dan bangunan ruko permanen
yang terletak di Jalan RC. Veteran No. 29 Rt. 011/001 Kelurahan Bintaro,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, sesuai dengan Sertifikat Hak
Milik atas nama tergugat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasiona
(BPN) Jakarta Selatan tertanggal 01 November 1982, dengan batas-batas
tanah, sebelah Utara berbatasan dengan rumah ibu Meutia, sebelah Timur
109

berbatasan dengan rumah bapak Deden, sebelah Selatan berbatasan dengan


rumah bapak Bambang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Raya
RC. Veteran.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penggugat memohon kepada
Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk memberikan putusan yang
amarnya berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,
menetapkan harta yang telah disebutkan tersebut sebagai harta bersama
penggugat dan tergugat dan masing-masing berhak atas ½ bagian harta
bersama, serta memerintahkan tergugat untuk mentaati isi putusan dan
menyerahkan hak penggugat atas ½ bagian harta bersama.
Sebelum memerikasa pokok perkara, hakim mendamaikan
penggugat dan tergugat tetapi tidak berhasil, selanjutnya majelis hakim
memerintahkan untuk mengikuti proses mediasi, namun kedua belah pihak
sama-sama kokoh sehingga tidak mencapai kesepakatan dan proses
mediasi dinyatakan gagal. Kemudian majelis hakim membacakan gugatan
penggugat dan isinya tetap dipertahankan oleh penggugat dengan
penambahan agar dilakukan sidang pemeriksaan setempat (descente) atas
objek sengketa harta bersama.
Tergugat memberikan jawaban secara tertulis yang pada pokoknya
menyatakan bahwa tergugat menolak objek sengketa yang telah
disebutkan sebagai harta bersama, melainkan itu adalah harta pribadi
tergugat. Karena dalil penggugat dibantah oleh tergugat maka kepada
penggugat dan tergugat dibebani pembuktian secara berimbang. Penggugat
mengajukan beberapa bukti tertulis dan dua orang saksi, kemudian
tergugat untuk menguatkan bantahannya telah mengajukan bukti tertulis
sebagaimana yang tertera pada putusan dalam perkara ini.
Setelah proses pembacaan gugatan, saling jawab antara penggugat
dan tergugat serta setelah masing-masing pihak melakukan pembuktian,
maka majelis hakim melakukan konsiderans atau pertimbangan sebagai
berikut: majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan bukti penggugat
dan tergugat serta keterangan dua orang saksi penggugat, terbukti antara
110

pengugat dan tergugat pernah terikat dalam perkawinan pada tanggal 13


Oktober 1979, bercerai pada tanggal 02 Desember 1985, menikah kembali
pada tanggal 17 Januari 1987, bercerai lagi pada tanggal 17 Desember
2013, dan selama perkawinan telah memperoleh harta sebagaimana yang
disebutkan dalam surat gugatan.
Menimbang, bahwa sebelum majelis hakim menetapkan apakah
harta tersebut sebagai harta bersama ataukah harta pribadi tergugat,
terlebih dahulu majelis hakim akan memberikan batasan pengertian harta
bersama, bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa “Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama”, dan dalam
Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa “Harta
kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapapun”.
Menimbang bahwa berdasarkan bukti dari penggugat dan tergugat
dan dikuatkan dengan keterangan saksi penggugat, serta berdasarkan
pemeriksaan setempat Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 10
Oktober 2014, telah terbukti bahwa objek sengketa dalam perkara a quo
adalah sebidang tanah dan bangunan ruko permanen yang terletak dan
dikenal dengan Jalan RC. Veteran No. 29 Rt. 011/001 Kelurahan Bintaro,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan dua orang saksi
penggugat dan dihubungkan dengan bukti tergugat berupa Akta Jual Beli
Nomor 9/KB Lama tanggal 04 Juni 1982, asal usul kepemilikan sebidang
tanah dan bangunan ruko permanen sebagaimana terurai di atas yaitu
berdasarkan pembelian yang dilakukan pada tanggal 04 Juni 1982 (dalam
ikatan perkawinan penggugat dan tergugat) yang di atas namakan tergugat,
dengan prosedur pinjaman dari Mobil Oil, karena penggugat dan tergugat
dahulu adalah karyawan Mobil Oil yang mempunyai fasilitas diberikan
111

pinjaman untuk membangun rumah, pembelian dan prosedur pembelian


juga telah diakui oleh tergugat. Oleh karena itu sejalan dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1448 K/Sip/1974 tanggal 9
November 1976, yang abstrak hukumnya menyatakan bahwa “Harta
bersama yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta
bersama”, maka objek tersebut adalah harta bersama penggugat dan
tergugat.
Sebagai acuan sumber hukum pertama, majelis hakim tetap
mencantumkan Pasal 97 KHI sebagai sumber hukum formil dalam
pertimbangan hukumnya, yang dinyatakan bahwa “Janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Menimbang, bahwa meskipun dalam berlangsungnya perkawinan
penggugat dan tergugat tidak terbukti adanya perjanjian perkawinan dan
penggugat dan tergugat dahulu sama-sama sebagai karyawan Mobil Oil
yang sama-sama mempunyai penghasilan, namun antara penggugat dan
tergugat pada kurun waktu tanggal 02 Desember 1985 sampai tanggal 17
Januari 1987 pernah bercerai, artinya selama kurun waktu tersebut objek
sengketa tersebut diurus dan dikelola oleh tergugat, di samping itu juga
semua prosedur pembelian tanah, pembangunan sehingga menjadi ruko
permanen dilakukan oleh tergugat, maka dengan menyimpangi ketentuan
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dan dengan berdasar pada prinsip
keadilian, majelis hakim berpendapat sendiri dan menetapkan bagian
penggugat adalah 40% dan bagian tergugat 60% dari harta bersama
tersebut.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan bahwa sebidang tanah dan banguan ruko permanen yang
terletak di Jalan RC. Veteran No. 29 Rt. 011/001 Kelurahan Bintaro,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan adalah harta bersama penggugat
dan tergugat. Menetapkan bagian masing-masing penggugat dan tergugat
adalah, untuk penggugat 40% bagian dan untuk tergugat 60% bagian dari
112

harta bersama. Serta menghukum tergugat untuk menyerahkan harta


bersama tersebut di atas 40% bagian kepada penggugat.
Setelah membaca dan memahami putusan tersebut, ternyata alasan
hakim memberikan porsi harta bersama lebih banyak bagi suami bekerja
yang digugat oleh istri bekerja adalah dikarenakan majelis hakim
menemukan fakta berdasarkan bukti-bukti dan keterangan para saksi,
bahwa antara pengugat dan tergugat pernah terikat dalam perkawinan pada
tanggal 13 Oktober 1979, kemudian bercerai pada tanggal 02 Desember
1985, lalu menikah kembali pada tanggal 17 Januari 1987, dan akhirnya
bercerai lagi pada tanggal 17 Desember 2013. Pada kurun waktu
perceraian tanggal 02 Desember 1985 sampai tanggal 17 Januari 1987,
ternyata objek sengketa tersebut diurus dan dikelola oleh tergugat sendiri,
di samping itu, semua prosedur pembelian tanah, pembangunan, sehingga
menjadi ruko permanen dilakukan oleh tergugat sendiri.
Kemudian berdasarkan hasil wawancara pribadi dengan Drs. H.
Jarkasih, M.H, sebagai ketua majelis hakim yang memutus kasus ini,
beliau memberikan keterangan bahwa dalam kasus ini majelis hakim
memperhatikan faktor kontribusi, para pihak yang berperkara status
mereka sama-sama bekerja, akan tetapi kontribusi suami (tergugat) dalam
membangun objek sengketa tersebut lebih dominan, oleh karena itu suami
mendapat lebih banyak dibandingkan istri. Hal ini berarti majelis hakim
sangat memperhatikan faktor sosiologis dari para pihak dalam perolehan
dan pengelolaan harta bersama. Selain itu beliau juga menegaskan bahwa:
Pembagian harta bersama dengan porsi fifty-fifty berdasarkan
ketentuan Pasal 97 KHI itu adalah aturan normatif, sedangkan majelis
hakim dalam memutus suatu perkara tidak hanya melihat pada faktor
yuridis formal saja, tetapi juga melihat kepada faktor kontribusi. Dalam
kasus suami yang bekerja secara maksimal kemudian istri
meninggalkan suaminya bertahun-tahun, akhirnya istri tidak melakukan
kewajibannya, tidak membantu, kemudian juga tidak melayani suami,
maka pembagian fifty-fifty akan dirasa sangat tidak adil.13
13
Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 18 Mei
2018.
113

Dalam menyelesaikan perkara harta bersama ini, beliau sebagai


ketua majelis hakim mempunyai prinsip bahwa selain memperhatikan
aturan normatif yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama, dalam hal
ini yaitu KHI, seorang hakim juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
kontribusi pasangan suami istri dalam usaha perolehan harta bersama
mereka. Kontribusi suami istri tersebut bukan hanya dilihat dari faktor
materil saja, tetapi juga termasuk di dalamnya faktor moril seperti hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri sebagai pasangan.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan bahwa Putusan
Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS tentang pembagian harta bersama dalam
kasus istri bekerja menggugat suami bekerja dengan porsi suami sebagai
tergugat memperoleh 60% sedangkan istri sebagai penggugat memperoleh
40% sudah mendukung semangat keadilan jender. Secara filosofis, demi
menghasilkan putusan yang adil, majelis hakim berani menyimpangi
ketentuan Pasal 97 KHI yang mengharuskan pembagian sama rata antara
suami istri, dalam konsideransnya hakim lebih mengutamakan faktor
kontribusi para pihak dalam perolehan harta bersama. Hal ini
menunjukkan usaha hakim agar tidak terjadi diskriminasi dalam
pembagian harta bersama. Dengan demikian putusan ini sejalan dengan
prinsip dasar dari Konvensi CEDAW yaitu prinsip non diskriminasi.

2. Kasus Suami Bekerja Menggugat Istri Bekerja


Kasus suami bekerja menggugat istri yang juga ikut bekerja
menghasilkan harta bersama terdapat sebanyak tujuh putusan,
sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini:
114

Tabel 5.3
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Suami bekerja Menggugat Istri Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan
Diputus Harta Bersama
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23-10-2014 Suami 1/3, Istri 2/3

2 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23-01-2014 Damai, dibagi


berdasarkan kesepakatan
3 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23-12-2014 Fifty-fifty (50:50)
4 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21-05-2015 Fifty-fifty (50:50)
5 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05-09-2016 Fifty-fifty (50:50)
6 2295/Pdt.G/2017/PA.JS 25-01-2018 Fifty-fifty (50:50)
7 4410/Pdt.G/2017/PA.JS 27-09-2018 Fifty-fifty (50:50)

Sumber: Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Dari ketujuh putusan di atas dapat diketahui bahwa ketentuan


pembagian fifty-fifty sebagaimana yang diamanatkan Pasal 97 KHI
ternyata juga tidak digunakan oleh hakim secara mutlak. Hal ini dapat
diketahui melalui Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS dan Putusan
Nomor 1774/Pdt.G/2013/PA.JS.
Pada Putusan Nomor 1774/Pdt.G/2013/PA.JS perkara harta
bersama diselesaikan melalui perdamaian ketika mediasi, dan para pihak
telah mengadakan persetujuan pembagian harta untuk masing-masing
pihak. Dalam hal ini hakim menghukum para pihak berperkara untuk
mentaati dan melaksanakan seluruh isi kesepakatan perdamaian tertanggal
02 Januari 2014 tersebut.
Sedangkan pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS ternyata
hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan bagian lebih kecil
kepada suami bekerja yang mengajukan gugatan harta bersama kepada
istri yang juga ikut bekerja, yaitu untuk suami diberikan porsi 1/3 dari
harta bersama, sedangkan untuk istri diberikan porsi 2/3 dari harta
115

bersama. Untuk mengetahui alasan hakim sehingga memberikan porsi


lebih banyak terhadap istri bekerja yang digugat oleh suami bekerja, serta
apakah pembagian ini dinilai mendukung semangat keadilan jender atau
tidak, maka berikut akan dilakukan analisis terhadap putusan tersebut.
Kasus posisi, Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS dengan
tanggal register 12 September 2013 dan diputus pada tanggal 23 Oktober
2014. Penggugat adalah Gendro Supali Prayitno bin Nitihardjo, umur 73
tahun, dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Drs. Afdal Zikri, S.H.,
M.H. melawan tergugat Roesnastiti Wirjo Saputro, umur 68 tahun, dalam
hal ini diwakili kuasa hukumnya Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, S.H. dan
Ahmad Firdaus Tahir, S.H.
Penggugat dan tergugat semula adalah pasangan suami istri yang
sah menikah pada tahun 1968 dan telah bercerai talak sebagaimana
dinyatakan dalam Kutipan Akte Cerai Nomor 0262/AC/2013/PAJS
tanggal 14 Februari 2013. Selama perkawinan penggugat dan tergugat
telah diperoleh harta sebagai berikut:
a) Sebidang tanah luas 60 m2 berikut bangunan di atasnya di Jl. Lembah
Nirmala L/5, RT. 012, RW. 14, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok.
b) Sebidang tanah luas 60 m2 berikut bangunan di atasnya di Jl. Lembah
Nirmala L/6, RT. 012, RW. 14, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok.
c) Sebidang tanah luas 90 m2 berikut bangunan di atasnya sebagaimana
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
diterbitkan oleh Kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Pemerintah Kota Depok atas nama H. G. S. Prayitno (Penggugat),
berlokasi di Jl. Lembah Nirmala H/3, RT. 011, RW. 14, Kelurahan
Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
d) Sebidang tanah luas 2.164 m2 Sebagaimana Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan diterbitkan oleh Kantor Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Pemerintah Kota Bogor,
116

Atas nama Prayitno (Penggugat), yang berlokasi di Jalan Jabaru IV


RT. 004, RW. 05, Kelurahan Pasir Kuda, Kecamatan Bogor Barat,
Kota Bogor, Jawa Barat.
e) Sebidang tanah berikut bangunan di atasnya yang terletak di Jalan
Pembangunan II No 4, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan Gambir,
Jakarta Pusat atas nama Roesnastiti dengan Sertifikat Hak Milik No.
217/Petojo Utara berdasarkan surat keterangan dari Badan Pertanahan
Nasional Nomor. 831/7-31.71 300/V/2012 cq. Kantor Pertanahan Kota
Administratif Jakarta Pusat.
f) Sebidang tanah luas 1.800 m² sebagaimana Akta Jual Beli Nomor.
594.4/57/1984 atas nama Roesnastiti (Tergugat) yang dibuat di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kecamatan Cileungsi,
berlokasi di Desa Gandoang Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor
Jawa Barat.
g) Sebidang tanah luas 1000 m2 sebagaimana Akta Jual Beli No.
594.4/13/1984 yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Kecamatan Cileungsi atas nama Roesnastiti (Tergugat)
berlokasi di Desa Gandoang Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor
Jawa Barat.
h) Sebidang tanah luas 548 m² sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor
6185 dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional cq. Kantor
Pertanahan Kotamadya Jakarta Barat atas nama Roesnastiti (Tergugat),
berlokasi di Jl. Joglo Perkavlingan DEP. HANKAM Blok W, No. 11
RT. 005, RW. 02, Kelurahan Joglo, Kecamatan Kembangan, Jakarta
Barat.
i) Sebidang tanah luas 315 m2 berikut bangunan di atasnya sebagaimana
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
diterbitkan oleh Kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Pemerintah Kota Pekalongan dan berdasarkan Surat Pengantar
No. 045.2/100 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Pekalongan cq.
Kelurahan Benda, Atas nama H. Abdul Chamid (pemilik sebelum
117

Penggugat), yang berlokasi di Gg. 7, 7A Bendan Timur RT. 001, RW.


05, Kelurahan Benda, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.
j) Sebidang tanah luas 246 m2 berikut bangunan di atasnya sebagaimana
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
diterbitkan oleh Kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Pemerintah Kota Pekalongan dan berdasarkan Surat Pengantar
No. 045.2/100 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Pekalongan cq.
Kelurahan Benda, atas nama Wiryo Saputra (pemilik sebelum
Penggugat), yang berlokasi di Jl. Jawa 9A RT. 001, RW. 06,
Kelurahan Benda, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.
k) Sebidang tanah luas 1200 m2 berikut bangunan di atasnya yang
berlokasi di Jl. Karbela Raya No. 11 RT. 006, RW. 01, Kelurahan
Karet Kuningan, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan Sebagaimana
Surat Keterangan Nomor. 177/1755/2013 yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta cq. Kelurahan
Karet Kuningan, bahwa Penggugat (Gendro Supali Prayitno) pernah
tinggal di rumah tersebut sesuai dengan surat pengantar Rukun
Tetangga dengan No. 120/SP/JS/IV/01/006/2013, bahwa tanah tersebut
merupakan milik dari Dody Priantomo sebagai anak pertama dari
tergugat dan penggugat dan tanah tersebut merupakan harta bersama
antara penggugat dan tergugat.
Harta bersama tersebut hingga perceraian terjadi belum pernah
diadakan pembagian dan seluruh harta bersama dikuasai secara sepihak
oleh tergugat. Oleh karena itu penggugat memohon kepada hakim agar
harta tersebut dinyatakan sebagai harta bersama penggugat dan tergugat
serta menetapkan masing-masing berhak atas seperdua bagian.
Sebelum memeriksa pokok perkara, majelis hakim berusaha
mendamaikan penggugat dan tergugat serta memerintahkan untuk
melakukan mediasi tetapi tidak berhasil. Kemudian majelis hakim
membacakan gugatan penggugat dan isinya tetap dipertahankan oleh
penggugat. Atas dalil pemohonan penggugat, tergugat menyampaikan
118

jawaban tertulis tanggal 4 Juli 2013 yang pada pokoknya dalam konvensi
tidak membenarkan bahwa harta tersebut disebut sebagai harta bersama
penggugat dan tergugat karena beberapa alasan, diantaranya:
Bahwa selama perkawinan antara tergugat dengan penggugat
berlangsung yaitu selama empat puluh lima tahun penggugat tidak
memenuhi kewajibannya sebagai suami dan ayah, baik memberikan
nafkah belanja rumah tangga maupun keperluan-keperluan lainnya untuk
kebutuhan terutama biaya pendidikan anak-anak tergugat dan penggugat
ketika mereka masih berada di bawah umur. Oleh karena itu tergugat
sebagai istri selama perkawinan a quo yang menanggung seluruh
kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan untuk ketiga anak-anak
tersebut serta kebutuhan-kebutuhan lain seperti menyediakan pakaian,
perlengkapan sekolah dan uang saku untuk mereka.
Penggugat juga telah berkhianat kepada tergugat yaitu selain telah
berselingkuh dengan seorang perempuan bahkan telah juga melakukan
nikah siri dengan seorang perempuan tanpa seizin dan sepengetahuan
tergugat sebagaimana terbukti dalam Kartu Keluarga dan Kartu Tanda
Penduduk Penggugat yang beralamat ditempat lain. Penggugat juga sering
berdusta kepada tergugat yaitu berkata akan kuliah padahal kenyataannya
bermain-main dengan perempuan. Padahal kuliah penggugat dibiayai dari
uang tergugat. Oleh karena itu sudah sangat jelas penggugat sama sekali
tidak memiliki prestasi, tidak memiliki usaha, tidak memiliki jasa, tidak
memiliki andil dan bahkan tidak memiliki perhatian dalam perjalanan
kehidupan rumah tangga antara tergugat dan penggugat. Sebaliknya yang
sangat memperhatikan hal-hal tersebut adalah hanya tergugat sendirian
sebagai istri.
Dalam rekonvensi, bahwa penggugat rekonvensi atau tergugat
secara sah memiliki satu bidang tanah atau rumah yang terletak di jalan
Cemara No. 50 RT. 09 RW. 07 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan
Pulogadung, Jakarta Timur. Namun tanah atau rumah tersebut sampai saat
ini dihuni oleh tergugat rekonvensi tanpa seizin penggugat rekonvensi.
119

Oleh karena itu penggugat konvensi harus menyerahkan kembali tanah


atau rumah tersebut.
Atas dalil jawaban tergugat, penggugat telah menyampaikan replik
tertulis tanggal 01 Agustus 2013, pada pokoknya menyatakan penggugat
tetap pada dalil-dalilnya sebagaimana dalam surat gugatan penggugat.
Atas replik tersebut tergugat menyampaikan duplik tertulis tanggal 29
Agustus 2013 yang juga menyatakan menolak dali-dalil penggugat. Oleh
karena itu pada tanggal 14 November 2014 penggugat dan tergugat
mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya masing-masing bertahan
dengan dalil-dalinya semula.
Karena penggugat dan tergugat saling membantah atas dalilnya
masing-masing, maka kedua belah pihak dibebani wajib bukti oleh majelis
hakim. Oleh karena itu penggugat dan tergugat masing-masing telah
mengajukan bukti-bukti baik bukti surat maupun bukti saksi untuk
menguatkan dali-dalil masing-masing.
Setelah proses pembacaan gugatan, saling jawab antara penggugat
dan tergugat serta setelah masing-masing pihak melakukan pembuktian,
maka majelis hakim melakukan pertimbangan dan menemukan fakta
sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terhadap dalil gugatan penggugat yang
menyatakan objek sengketa berupa tanah pada huruf (a) dan (b) di atas,
ditemukan fakta bahwa kedua objek tersebut secara hukum terbukti telah
dijual bersama-sama oleh penggugat dan tergugat untuk biaya perkawinan
anaknya, penggugat membenarkan. Oleh karena itu gugatan tersebut harus
dinyatakan ditolak.
Menimbang, bahwa terhadap objek sengketa huruf (c), (d), dan (e),
memang terbukti sebagai harta bersama penggugat dan tergugat.
Sedangkan objek sengketa huruf (f) dan (g) ditemukan fakta bahwa objek
tersebut telah dijual dan telah dibagi-bagikan termasuk penggugat sudah
menikmati hasilnya, penggugat membenarkan, maka dengan dimikian
gugatan tersebut harus dinyatakan ditolak.
120

Menimbang, bahwa terhadap objek sengketa huruf (h), (i), dan (j),
objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat di terima dikarenakan objek
sengketa tidak jelas atau kabur. Sedangkan terhadap objek sengketa huruf
(k), harus dinyatakan ditolak karena harta tersebut bukan milik penggugat
maupun tergugat melainkan milik anak penggugat dan tergugat.
Majelis hakim juga memasukkan beberapa pasal dari Undang-
undang Perkawinan dan KHI ke dalam pertimbangannya, yaitu bahwa
“Harta bersama adalah harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak
yang diperoleh selama masa perkawinan, dengan tidak mempersoalkan
siapa yang memperoleh harta tersebut dan atas nama siapa harta itu
tercatat” (vide Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1
Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 Tahun 1991).
Pasal 85 KHI yang berbunyi “Adanya harta bersama dalam
perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau istri.” Dan berdasarkan ketentuan Pasal 86 yang
berbunyi “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
istri karena perkawinan”. Oleh karenanya “harta istri tetap menjadi hak
istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.
Pasal 87 yang berbunyi “Harta bawaan dari masing-masing suami
istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dan “Suami dan istri
memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya”.
Majelis hakim juga memasukkan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) di dalam pertimbangannya, yaitu
yurisprudensi MARI No. 151/K/Sip/1974 tanggal 16 Desember 1975
yang menyatakan “Setiap harta yang dibeli dari hasil penjualan harta
bawaan, bukanlah harta bersama”. Dan Yurisprudensi MARI No. 803
K/Sip/1970 tanggal 05 Mei 1970 yang menyatakan “Setiap apa saja yang
121

dibeli, jika uang pembelianya berasal dari harta bawaan, maka “melekat”
harta dimaksud, sekalipun pembeliannya dilakukan dalam masa
perkawinannya”.
Dalam pertimbangannya majelis hakim juga mengatakan bahwa
pada dasarnya dalam menentukan bagian masing-masing pihak dari harta
bersama mengacu pada ketentuan Pasal 97 KHI yang menyatakan “Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, akan tetapi
dalam kasus ini majelis hakim akan melihat secara seksama, apakah
pembagian “seperdua” bagi janda atau duda hidup tersebut dipandang adil.
Menimbang, bahwa secara normatif pembagian apabila dilihat dari
sudut filosofi lahirnya ketentuan tersebut di atas, maka masalah yang
paling substansial dari ketentuan tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak istri yang akan diceraikan, karena pada
umumnya istri berdiam diri di rumah tidak punya penghasilan (sesuai
ketentuan agama) dan waktu kesehariannya dihabiskan untuk mengerjakan
tugas-tugas rumah tangga yang tidak ringan dibandingkan tugas suami,
dalam kondisi yang demikian alangkah tidak adilnya apabila tidak
diberikan perlindungan, sudah dipastikan kalau terjadi perceraian maka
sang istri akan pergi dengan tangan hampa, membawa duka yang amat
dalam, sedangkan dalam masa perkawinan dengan suami tercinta
dikaruniai harta dan kekayaan. Oleh sebab itu dalam kondisi seperti yang
dimaksudkan, amat sangat wajar dan adil sekali ketentuan Pasal 97 KHI
untuk disimpangi.
Dalam persidangan majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum
bahwa tergugat bekerja sebagai notaris dan dosen pada Universitas
Indonesia, sedangkan tergugat adalah PNS golongan II C pada Dirjen
Kehutanan (dahulu) Departemen Pertanian, antara penggugat dengan
tergugat telah bercerai sejak 14 Februari 2013. Bahwa terbukti penggugat
telah menikah secara diam-diam dengan perempuan yang bernama Euis
Kuraesin tahun 1988 dan dikaruniai 3 orang anak. Tergugat (mantan istri)
122

juga terbukti telah bertindak sebagai single parent dalam merawat dan
membesarkan anak-anak, sementara penggugat lalai dalam memberikan
nafkah istri dan anak-anak, dan pada kasus ini telah terbukti tergugat yang
lebih aktif berusaha untuk mendapatkan harta bersama, sehingga tidak adil
jika separuh bagian diterapkan dalam kasus tersebut.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menyatakan bahwa
sekalipun secara yuridis, harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah
harta bersama tanpa mempersoalkan siapa yang memperolehnya dan harus
dibagi dua sama besar antara penggugat dengan tergugat, akan tetapi
secara sosiologis, peran istri baik di dalam mencari nafkah atau memikul
tanggung jawab yang besar di dalam merawat dan membesarkan anak-
anak sejak tergugat menikah lagi, secara filosofis, majelis hakim
memandang adanya ketidak adilan jika ketentuan pasal 97 KHI secara
serta merta diterapkan dalam kasus ini. Oleh karena itu atas dasar
pertimbangan peran dan tanggung jawab yang dipikul selama ini oleh
tergugat, maka bagian tergugat harus lebih besar dari penggugat.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan dalam konvensi, bahwa objek sengketa huruf (c), (d), dan (e)
adalah merupakan harta bersama antara pengguat dan tergugat yang belum
dibagi. Menetapkan penggugat berhak atas 1/3 (satu pertiga) dan tergugat
berhak atas 2/3 (dua pertiga) bagian dari harta bersama, serta menghukum
tergugat untuk menyerahkan 1/3 bagian kepada penggugat yang
merupakan hak milik penggugat. Dalam rekonvensi majelis hakim
menyatakan harta berupa sebidang rumah atau tanah yang terletak di jalan
Cemara No. 50 RT. 09 RW. 07 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan
Pulogadung, Jakarta Timur sebagai milik sah penggugat rekonvensi (istri)
atau tergugat konvensi dan tergugat rekonvensi atau penggugat dalam
konvensi (suami) diperintahkan untuk mengembalikannya.
Setelah membaca putusan di atas, ternyata alasan hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan porsi harta bersama lebih
besar kepada istri dibandingkan bagian suami didasarkan pada fakta-fakta
123

hukum yang ditemukan majelis hakim dalam persidangan, bahwa ternyata


penggugat tidak melakukan fungsinya sebagai seorang suami dan kepala
rumah tangga yang baik. Suami terbukti telah menikah secara diam-diam
dengan seorang perempuan tahun 1988 dan dikaruniai tiga orang anak,
suami terbukti lalai dalam memberikan nafkah istri dan anak-anak,
sehingga istri bertindak sebagai single parent yang menanggung beban
kerja ganda (multi burdened) dalam merawat dan membersarkan anak-
anak hingga tamat kuliah. Pada kasus ini terbukti seorang istri lebih aktif
berusaha mendapatkan harta bersama, sehingga majelis hakim berpendapat
bahwa tidak adil jika ketetuan dengan porsi separuh bagian diterapkan
dalam kasus tersebut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Hj. Fauziah, M.H. sebagai
salah satu majelis hakim yang memutuskan perkara ini, beliau mengatakan
bahwa:
Berdasarkan penggalian data oleh hakim pada saat proses
pembuktian, diperoleh bukti bahwa usaha istri dalam memperoleh harta
bersama lebih besar dari pada suami, sedangkan suami tidak
melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Jadi,
pengadilan bisa memutus menyalahi aturan yang ada asalkan ada
pertimbangan dan reasoning yang jelas.

Majelis hakim dalam kasus ini terbukti sangat memperhatikan


semangat keadilan jender demi melindungi hak-hak perempuan. Demi
mewujudkan keadilan, majelis hakim dalam kasus ini tidak hanya
berpatokan pada faktor yuridis saja, tetapi majelis hakim sangat
memperhatikan faktor sosiologis dan filosofis. Hal ini bisa dilihat dari
pertimbangan hukumnya yang menyatakan bahwa:
Sekalipun secara yuridis, harta yang diperoleh dalam perkawinan
adalah harta bersama tanpa mempersoalkan siapa yang memperolehnya
dan harus dibagi dua sama besar antara penggugat dengan tergugat,
akan tetapi secara sosiologis, peran istri baik dalam mencari nafkah atau
memikul tanggung jawab yang besar dalam merawat dan membesarkan
anak-anak sejak tergugat menikah lagi, secara filosofis majelis hakim
memandang adanya ketidak adilan jika ketentuan Pasal 97 KHI secara
serta merta diterapkan dalam kasus ini. Oleh karena itu atas dasar
pertimbangan peran dan tanggung jawab yang dipikul selama ini oleh
124

tergugat sebagai istri, maka majelis hakim berpendapat bahwa bagian


istri harus lebih besar dari bagian suami.

Hal ini sesuai dengan Pasal 2 huruf (d) Konvensi CEDAW yang
menyatakan:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan
dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala
cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk mencapai
tujuan itu, maka “Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin pejabat-pejabat
pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan
kewajiban tersebut”.14

Dengan demikian, maka Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS ini


adalah contoh putusan dalam perkara pembagian harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang sangat mendukung semangat
keadilan jender dan majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut
tergolong pada hakim yang progresif, yang mana demi terwujudnya
sebuah keadilan, seorang hakim tidak terbelenggu pada rumusan Undang-
undang atau aturan hukum formal, bahkan berani menyimpanginya.

14
Pasal 2 Konvensi CEDAW: “Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap
perempuan dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat
dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan , dan untuk mencapai tujuan itu, melakukan:
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam konstitusi nasional atau
perundang-undangan lainnya yang tepat bila belum dicantumkan, dan untuk menjamin
realisasi praktis dari azas ini melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat.
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan lainnya termasuk
sanksi-sanksinya jika diperlukan, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan.
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan
kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-
badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap
tindakan diskriminasi.
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan
menjamin pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai
dengan kewajiban tersebut.
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakukan diskriminasi terhadap
perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk
mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan
praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan.
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan”.
125

Putusan hakim dikatakan sebagai putusan yang sesuai dengan


metode penemuan hukum yang progresif apabila:15
a. Putusan hakim tersebut tidak hanya bersifat legalistik, yakni hanya
sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun
memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena putusannya
tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau
sekedar memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus
berfungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun
harmonisasi dalam pergaulan.
c. Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran ke depan (visioner),
yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum
(rule breaking), berarti jika suatu ketentuan undang-undang yang ada
bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan
kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka
hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yaitu
mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang
yang bersangkutan. Dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan
keadilan.
d. Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan
bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan Negara
keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.
Putusan hakim yang demikian diharapkan dapat memberikan
keadilan kepada para pihak yang berperkara. Bukan hanya menjamin
keadilan secara formal atau de jure saja, tapi juga menjamin keadilan yang
substantif atau de facto, yaitu keadilan yang sesungguhnya dan hasilnya
benar-benar secara nyata dapat dinikmati.

15
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 137-138.
126

3. Kasus Istri Tidak Bekerja Menggugat Suami Bekerja


Dari sampel salinan putusan harta bersama tahun 2013-2017,
ditemukan sebanyak tujuh putusan yang terkait dengan istri tidak bekerja
sehingga dia tidak ikut menjadi sumber penghasil keuangan keluarga
secara langsung tetapi kemudian melakukan gugatan harta bersama
terhadap suami yang bekerja, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 5.4
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Istri Tidak bekerja Menggugat Suami Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan
Diputus Harta Bersama
1 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)
2 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28-04-2015 Fifty-fifty (50:50)
3 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14-02-2018 Fifty-fifty (50:50)
4 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29-11-2017 Fifty-fifty (50:50)
5 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29-08-2017 Fifty-fifty (50:50)
6 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06-09-2018 Fifty-fifty (50:50)

7 4151/Pdt.G/2017/PA.JS 03-01-2018 Damai, dibagi


berdasarkan kesepakatan
Sumber: Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dalam kasus istri tidak


bekerja menggugat suami bekerja pada umumnya hakim berpatokan pada
aturan Pasal 97 KHI, yaitu membagi harta bersama antara suami dan istri
dengan porsi yang sama rata. Namun tidak berarti hakim secara mutlak
melakukan pembagian fifty-fifty dalam semua kasus yang diajukan oleh
istri yang tidak bekerja kepada suami yang bekerja, dari tujuh putusan
tersebut terdapat satu yang dibagi berdasarkan kesepakatan perdamaian,
yaitu pada Putusan Nomor 4151/Pdt.G/2017/PA.JS, dalam putusan ini
mereka sepakat untuk tidak menguangkan harta bersama yang mereka
miliki, tetapi langsung saja membaginya berdasarkan kesepakatan berdua.
127

Dalam kasus ini, majelis hakim memutuskan dan menghukum penggugat


dan tergugat untuk mentaati isi kesepakatan yang sudah mereka buat.
Dari tujuh putusan harta bersama yang diajukan oleh istri yang
tidak bekerja kepada suami bekerja sebagaimana disebutkan dalam tabel di
atas, akan diambil satu sampel putusan yang dirasa cukup mewakili
putusan-putusan yang lain, dan kemudian akan dianalisis dari perspektif
keadilan jender, apakah telah mendukung wacana keadilan jender atau
malah sebaliknya. Putusan tersebut yaitu Putusan Nomor
593/Pdt.G/2017/PA.JS dengan tanggal register 13 Februari 2017 dan
diputus pada tanggal 06 September 2018.
Kasus posisinya, penggugat dan tergugat dahulu adalah pasangan
suami istri yang telah menikah secara sah baik menurut agama maupun
hukum. Kemudian pernikahan penggugat dan tergugat berakhir
berdasarkan Akta Cerai tertanggal 16 November 2009 melalui
permohonan cerai talak yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Menurut penggugat selama masa perkawinan penggugat dengan
tergugat berlangsung mereka telah memperoleh harta bersama yang belum
dibagi, yaitu tanah seluas 788 m2 berikut bangunan atau rumah dengan
Sertifikat Hak Guna Bangunan yang terletak di Kelurahan Pondok Pinang
Jakarta Selatan atas nama tergugat, tanah seluas 300 m2 berikut bangunan
atau rumah yang dibeli berdasarkan Akta Jual Beli tertanggal 09 Januari
1997 yang terletak di Jakarta Timur atas nama tergugat, tanah seluas 200
m2 berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdasarkan Akta Jual Beli
tahun 1997 yang terletak di Jakarta Timur atas nama tergugat, tanah seluas
528 m2 berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdsarkan Akta Jual Beli
tertanggal 31 Desember yang terletak di Jakarta Timur atas nama tergugat,
tanah seluas 302 m2 berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdasarkan
Akta Jual Beli, terletak di Bandung, tanah seluas 216 m2 berikut bangunan
atau rumah, Sertifikat Hak Guna Bangunan yang terletak di Jakarta
Selatan, tanah seluas lebih 250 m2 berikut bangunan atau rumah atas nama
128

tergugat, terletak di Jakarta Timur, tanah seluas 642 m2 berikut bangunan


berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan terletak di Sulawesi Utara,
sebidang tanah seluas 20.000 m2 di kelurahan Boro Boro, Kecamatan
Ranometo, Kabupaten Kendari dengan Sertifikat Hak Milik atas nama
tergugat, sebidang tanah seluas 20.000 m2 di Desa atau Kelurahan Boro
Boro, Kecamatan Ranometo, Kotamadya Kendiri, dengan Sertifikat Hak
Milik atas nama tergugat.
Beberapa kendaraan berupa, sebuah mobil jenis sedan merk
Chrysler, type 300, 61 tahun 2007 No. Pol. B. -MT, warna hitam,
tertanggal 11 Maret 2007, atas nama tergugat, sebuah mobil Voyager
Chrysler, tahun 1997 No. Pol. B. -SH, BPKB tanggal 07 Juli 1997, atas
nama Tergugat, sebuah mobil jenis ST Wagon merk Honda, type Elysion
35 tahun 2007 No. Pol. B. - SM, BPKB tanggal 11 Maret 2008 atas nama
tergugat, sebuah mobil jenis sedan merk Mercedes Benz, tipe B.- AT,
tahun 2007 No. Pol. B. - SM atas nama tergugat, sebuah mobil sedan merk
BMW type 745i tahun 2007 No. Pol. B. - KK, BPKB tanggal 11 Maret
2008 atas nama tergugat, sebuah mobil 2002 atas nama tergugat cq.
Tergugat, sebuah mobil Station Wagon merk Alpard Tahun 2009 No. Pol.
- WK, atas nama tergugat, sebuah mobil jenis Jeep Ininibus merk GMX
tahun 2004, warna hitam Nomor Pol. B. - HB, atas nama tergugat.
Sebuah tabungan di Bank BCA KCP MAL Jakarta Selatan dengan
rekening atas nama tergugat, saldo per 24 Februari 2008 sebesar
Rp.2.490.061.274 (dua milyar empat ratus sembilan puluh juta enam puluh
satu ribu dua ratus tujuh empat rupiah). Beberapa usaha, yaitu BPR PT.
Mustika Utama terletak di Raha Provinsi Sulawesi Tenggara, BPR PT.
Mustika Utama terletak di Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara, BPR PT.
Mustika Utama terletak di Kendari Sulawesi Utara, BPR PT. Keraton
terletak di Kendari, Toko Sembako Serba Ada di Jalan Gatot Subroto
Kelurahan Raha 3 Kabupaten Muna, PT. Sungai Lasolo Sa Wit terletak di
Kendari, PT. Wivvlrano Sawit Prima terletak di Kendari, PT. Koronium
129

Sulawesi di Kendari, PT. Pupu Kalimantan di Samarinda, dan PT. Industri


Kako terletak di Kendari.
Dalam petitumnya penggugat memohon kepada majelis hakim
untuk memberikan putusan yang amarnya mengabulkan gugatan
penggugat untuk seluruhnya, menetapkan harta yang telah disebutkan
tersebut sebagai harta bersama penggugat dan tergugat dan masing-masing
berhak atas ½ bagian harta bersama, serta memerintahkan tergugat untuk
mentaati isi putusan dan menyerahkan hak penggugat atas ½ bagian harta
bersama.
Sebelum memerikasa pokok perkara, hakim mendamaikan
penggugat dan tergugat tetapi tidak berhasil, selanjutnya majelis hakim
memerintahkan untuk mengikuti proses mediasi, namun kedua belah pihak
sama-sama kokoh sehingga tidak mencapai kesepakatan dan proses
mediasi dinyatakan gagal. Kemudian majelis hakim membacakan gugatan
penggugat dan isinya tetap dipertahankan oleh penggugat.
Terhadap gugatan penggugat tersebut, tergugat memberikan
jawaban secara tertulis yang pada pokoknya membantah isi gugatan,
dengan alasan gugatan penggugat hanya mengada-ada, tidak berdasar
hukum dan/atau obscurelible, serta tergugat dalam jawabannya
mengajukan gugatan balik (rekonvensi) terhadap penggugat atas beberapa
harta yang dikuasai sepihak oleh penggugat.
Terhadap jawaban tergugat, penggugat menyampaikan tanggapan
dalam repliknya yang menyatakan menolak semua jawaban tergugat.
Kemudian tergugat menyampaikan duplik yang pada pokoknya
menyatakan menolak seluruh dalil penggugat. Terhadap duplik tergugat,
penggugat menyampaikan rereplik, kemudian tergugat juga
menyampaikan reduplik yang pada pokoknya mereka saling membantah
dan kokoh pada dalilnya masing-masing. Untuk menguatkan dalil-
dalilnya, masing-masing pihak telah menunjukkan bukti baik berupa surat
maupun saksi-saksi.
130

Setelah proses pembacaan gugatan, saling jawab antara penggugat


dan tergugat serta setelah masing-masing pihak melakukan pembuktian,
maka majelis hakim melakukan pertimbangan bahwa untuk menentukan
apakah objek sengketa yang didalilkan oleh penggugat termasuk kedalam
harta bersama atau tidak, maka acuannya adalah Pasal 35 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa (1)”
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”
(2) “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain”.
Menimbang, bahwa apabila perkawinan putus karena
perceraiannya maka mengenai pembagiannya diatur dalam Pasal 37
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda
diatur menurut hukumnya masing-masing”. Sedangkan apabila suami istri
tersebut beragama Islam, maka pembagiannya diatur dalam Pasal 97 KHI
yang menyatakan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Majelis hakim menemukan fakta bahwa dari seluruh objek
sengketa yang diajukan penggugat, yang termasuk ke dalam harta bersama
penggugat dan tergugat hanya tanah seluas 788 m2 berikut bangunan atau
rumah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang terletak di Kelurahan
Pondok Pinang Jakarta Selatan atas nama tergugat dan tanah seluas 302 m2
berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdasarkan Akta Jual Beli,
terletak di Bandung.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memberikan putusan dengan menyatakan sebagai harta bersama antara
penggugat dan tergugat harta-harta berupa tanah seluas 788 m2 berikut
bangunan atau rumah dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang terletak
131

di Kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan atas nama tergugat dan tanah
seluas 302 m2 berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdasarkan Akta
Jual Beli, terletak di Bandung. Menetapkan bagian masing-masing
penggugat dan tergugat separuh bagian (fifty-fifty) dari harta bersama
tersebut serta menghukum tergugat untuk menyerahkan separuh bagian
dari harta bersama tersebut di atas kepada penggugat.

4. Kasus Suami Bekerja Menggugat Istri Tidak Bekerja


Dari dua puluh enam sampel putusan yang berhasil diperoleh,
ditemukan hanya tiga salinan putusan yang terkait dengan suami bekerja
dan menjadi sumber penghasilan tunggal keuangan keluarga menggugat
harta bersama terhadap istri yang tidak ikut bekerja, yaitu Putusan Nomor
1198/Pdt.G/2014/PA.JS, Putusan Nomor 575/Pdt.G/2015/PA.J S, dan
Putusan Nomor 1102/Pdt.G/2017/PA.JS, sebagaimana ditunjukkan dalam
tabel berikut:
Tabel 5.5
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Suami bekerja Menggugat Istri Tidak Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan
Diputus Harta Bersama
1 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23-03-2015 Fifty-fifty (50:50)
Dibagi berdasarkan
2 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07-04-2015
surat perjanjian
Damai, dibagi
3 1102/Pdt.G/2017/PA.JS 20-04-2017
berdasarkan kesepakatan

Pada kasus suami bekerja menggugat harta bersama terhadap istri


yang tidak ikut bekerja, majelis hakim juga tidak memberlakukan
pembagian dengan porsi fifty-fifty secara mutlak. Hal ini dapat dilihat
dalam Putusan Nomor 575/Pdt.G/2015/PA.JS dan Putusan Nomor
1102/Pdt.G/2017/PA.JS.
Putusan Nomor 575/Pdt.G/2015/PA.JS, pada kasus ini seorang
suami (36 tahun, Karyawan Swasta) mengajukan permohonan cerai talak
132

terhadap istrinya (27 tahun, ibu rumah tangga). Dalam permohonan cerai
talak tersebut, suami juga mengkumulasikan dengan persoalan pembagian
harta bersama dengan memperlihatkan Surat Perjanjian Harta Bersama
yang ditandatangani oleh Pemohon dan Termohon tertanggal 06 April
2015 kepada hakim di persidangan. Surat ini sebagai wujud kesepakatan
antara kedua belah pihak tentang pembagian harta bersama yang mereka
miliki. Kedua belah pihak sepakat menyatakan bahwa harta bersama yang
menjadi milik pemohon (suami) adalah yang selebihnya yang tidak
tertuang dalam surat kesepakatan tersebut.
Karena telah terjadi kesepakatan antara pemohon dan termohon
tentang akibat perceraian, majelis hakim tidak lagi melakukan pembagian
harta bersama dengan porsi fifty-fifty, melainkan majelis hakim
memerintahkan kedua belah pihak untuk mentaati isi Surat Perjanjian
Harta Bersama tersebut.
Sedangkan pada Putusan Nomor 1102/Pdt.G/2017/PA.JS,
penggugat dan tergugat telah sepakat untuk mengakhiri persengketaan
dengan sebuah Perjanjian Perdamaian, sebagaimana tertuang dalam Surat
Kesepakatan Damai tertanggal 03 April 2017 (Akta Van Dading). Oleh
karena itu majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak lagi
menerapkan porsi fifty-fifty, tetapi memutus perkara pembagian harta
bersama tersebut berdasarkan pada Surat Perjanjian yang telah disepakati
kedua belah pihak.
Untuk mengetahui apakah pembagian fifty-fifty yang diputuskan
hakim dalam kasus ini telah mengakomodasi wacana keadilan jender atau
tidak, maka lebih lanjut akan di analisis sampel Putusan Nomor
1198/Pdt.G/2014/PA.JS dengan tanggal register 29 April 2014 dan di
putus pada tanggal 16 Maret 2015. Penggugat adalah Ridwan AC Irawan
bin Ahmad Helmy Attamimi, umur 47 tahun, menggugat Sri Lestari binti
Muljadi Prawirodipuro, umur 46 tahun.
Penggugat dan tergugat semula adalah pasangan suami istri yang
sah menikah pada tahun 1993. Kemudian pernikahan penggugat dan
133

tergugat berakhir pada tahun 2013 dengan cerai gugat yang diajukan oleh
tergugat. Selama masa pernikahan penggugat dan tergugat telah
memperoleh harta benda, yaitu sebidang tanah seluas 238 m² (dua ratus
tiga puluh delapan meter persegi) di Kaveling IV UF No. 26 & 27, Jl.
Alam Elok VI, Pondok Indah, Jakarta Selatan sebagai hadiah yang
diberikan oleh kedua orang tua penggugat. Sebagaimana ditunjukan
berdasarkan dua Surat Pernyataan dan Persetujuan, tertanggal 28 Juni
2000. Dalam perkembangannya, sebidang tanah tersebut pada tanggal 18
Januari 2006 telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 5241, dengan
atas nama penggugat.
Satu unit apartemen Apartemen Hampton’s Park seluas ± 83,00 m²
(kurang lebih delapan puluh tiga meter persegi), yang terletak di Tower B,
Lantai 6, Unit A, Jl. Terogong Raya No. 18, RT/RW 011/010, Kelurahan
Cilandak, Jakarta Selatan atas nama tergugat.
Satu unit kendaraan bermotor roda empat dengan merek Nissan,
Type Serena Highway Star A/T, tahun 2008, warna abu-abu metalik,
nomor rangka: C24A13487, nomor mesin: QR20699398A, nomor polisi B
2305 SL, dengan atas nama tergugat. Satu unit kendaraan bermotor roda
empat dengan merek Mitsubishi, Type Pajero Sport 2,5 Dexi AT, tahun
2010, warna abu-abu silver metalik, nomor rangka:
MMB6HKG40BF008176, dan nomor mesin: 405611CCE4582, nomor
polisi: B 1819 SJC atas nama penggugat.
Sejumlah harta berupa uang yang disimpan atau diletakkan dalam
rekening bank dan/atau obligasi antara lain, uang pada Bank Central Asia
di rekening nomor: 237-127-0428 dengan atas nama penggugat dan
tergugat, uang pada Bank Mandiri di rekening nomor 122-00-0112769-8
dengan atas nama penggugat, dan tergugat, uang pada Bank HSBC di
rekening nomor: 101-067171-086 dengan atas nama penggugat, dan
tergugat, uang atau saham dan/atau obligasi pada rekening Danareksa
Sekuritas, Clien Code 02-03-00120-6, Client Sec Code 0220869, dan uang
atau saham dan/atau obligasi pada Bank Negara Indonesia Securities CIF
134

nomor: 77S012, sub Acc KSEI NI001-V128001-53, SID


IDD230517275510, dengan atas nama tergugat.
Selama pernikah juga telah memiliki beberapa barang perabotan
rumah tangga, yaitu empat unit televisi, tiga unit lemari es, tiga unit
tempat tidur, dua unit mesin cuci, satu set kursi beserta sofa dan meja
tamu, tujuh unit AC, dua unit kompor gas, satu unit sofa, tiga buah tabung
gas elpiji, satu unit pemanas air, stu unit pompa air, satu unit pompa
dorong, dan satu unit dispenser air minum.
Harta tersebut belum pernah dilakukan pembagian untuk masing-
masing tergugat dan penggugat, oleh karena itu dalam petitumnya
penggugat memohon agar harta benda tersebut ditetapkan sebagai harta
bersama antara penggugat dan tergugat serta dibagi dua sama rata.
Sebelum pokok perkara diperiksa, majelis hakim berupaya
mendamaikan serta telah dilakukan mediasi, namun tidak berhasil.
Kemudian majelis hakim membacakan gugatan penggugat dan isinya tetap
dipertahankan oleh penggugat. Atas dalil gugatan tersebut, tergugat
memberikan jawaban secara tertulis yang pokoknya menyatakan bahwa
sebidang tanah seluas 238 m² (dua ratus tiga puluh delapan meter persegi)
di Kaveling IV UF No. 26 & 27, Jl. Alam Elok VI, Pondok Indah, Jakarta
Selatan tersebut juga merupakan harta bersama yang harus dibagi dua
antara tergugat dan penggugat.
Karena para pihak saling membantah mulai dari jawaban dari
tergugat, replik penggugat, hingga duplik tergugat serta berpegang pada
dalilnya masing-masing maka para pihak untuk menguatkan dalil-dalilnya
telah mengajukan bukti-bukti baik tertulis maupun saksi.
Berdasarkan hal tesebut di atas majelis hakim melakukan
pertimbangan dan menemukan fakta bahwa, tanah seluas 238 m² yang
terletak di Jalan Alam Elok VI Kaveling IV UF No. 26 dan No. 27 Pondok
Indah Jakarta Selatan merupakan harta milik penggugat yang diperoleh
dari pemberian orang tuanya, bukan merupakan harta gono gini yang
diperoleh selama perkawinan antara penggugat dan tergugat. Hakim
135

menggunakan pertimbangan ini berdasarkan Pasal 87 ayat (1) KHI


“Bahwa harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan”.
Namun mengenai bangunan rumah yang ada di atas tanah hadiah
seluas 238 m² tersebut, majelis hakim mengkategorikan sebagai harta
bersama karena rumah tersebut dibangun ketika para pihak masih dalam
ikatan perkawinan, hal ini berdasarkan Pasal 1 huruf (f) KHI. Oleh karena
itu berdasarkan bunyi Pasal 97 KHI, maka penggugat berhak seperdua dan
tergugat berhak seperdua dari bangunan rumah tersebut.
Sedangkan mengenai sejumlah harta berupa uang yang disimpan
atau diletakkan dalam rekening bank dan/atau obligasi tidak dapat
dikatakan sebagai harta bersama karena tidak jelas jumlah atau
nominalnya, sehingga menjadi kabur, oleh karena itu harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
Menetapkan sebidang tanah seluas 238 m² (dua ratus tiga puluh delapan
meter persegi) yang terletak di Kaveling IV UF No. 26 & 27, Jl. Alam
Elok VI, Pondok Indah, Jakarta Selatan adalah sebagai harta milik
penggugat yang diperoleh sebagai hadiah dari orang tua penggugat.
Hakim menetapkan harta bersama antara penggugat dengan
tergugat yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yaitu satu unit
bangunan rumah permanen bertingkat yang terletak di atas sebidang tanah
seluas 238 m² Pondok Indah Jakarta Selatan, satu unit apartemen
Hampton’s Park seluas ± 83,00 m², yang terletak di Kelurahan Cilandak,
Jakarta Selatan, satu unit kendaraan bermotor roda empat dengan merek
Nissan, Type Serena Highway Star A/T, tahun 2008, satu unit kendaraan
bermotor roda empat dengan merek Mitsubishi, Type Pajero Sport 2,5
Dexi AT, tahun 2010, serta alat-alat perabotan rumah tangga.
136

Dengan demikian, hakim menghukum penggugat dan tergugat


untuk membagi dua harta bersama (fifty-fifty), seperdua bagian untuk
penggugat dan seperdua bagian untuk tergugat.
Putusan Nomor 593/Pdt.G/2017/PA.JS sebagaimana telah dimuat
dalam pembahasan poin ketiga di atas merupakan gugatan harta bersama
yang diajukan oleh istri yang tidak bekerja kepada suami yang bekerja,
sebaliknya dalam pembahasan poin keempat yaitu Putusan Nomor
1198/Pdt.G/2014/PA.JS merupakan kasus harta bersama yang diajukan
oleh suami yang bekerja kepada istri yang tidak bekerja.
Kedua putusan di atas menggambarkan bahwa pada kasus istri
tidak bekerja, baik istri sendiri yang mengajukan gugatan maupun suami
yang mengajukan, pembagian harta bersamanya tetap diselesaikan dengan
porsi fifty-fifty. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak
menawarkan solusi yang lain, seperti memberikan bagian yang lebih besar
kepada suami karena kontribusi pekerjaan yang lebih banyak. Tidak hanya
pada dua putusan di atas, tapi juga terbukti berdasarkan data yang
diperoleh melalui putusan hakim dalam perkara harta bersama tahun 2013-
2017 bahwa dalam hal istri tidak bekerja dan hanya suami saja yang
berkerja maka selama tidak ada dilakukan perjanjian atau kesepakatan
perdamaian di antara para pihak yang berperkara, maka hakim tetap
memberikan putusan dengan porsi fifty-fifty. Sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5.6
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Istri Tidak bekerja
Pembagian
No Nomor Putusan Keterangan
Harta Bersama
Istri tidak bekerja
1 993/Pdt.G/2013/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
2 1853/Pdt.G/2014/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
137

Suami bekerja gugat


3 1198/Pdt.G/2014/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
istri tidak bekerja
Suami bekerja gugat Dibagi
4 575/Pdt.G/2015/PA.JS berdasarkan surat
istri tidak bekerja
perjanjian
Istri tidak bekerja
5 2443/Pdt.G/2016/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
6 3040/Pdt.G/2016/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
7 3196/Pdt.G/2016/PA.JS Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
8 593/Pdt.G/2017/PA.JS Istri tidak bekerja Fifty-fifty (50:50)
gugat suami bekerja
Damai, dibagi
9 Suami bekerja gugat
1102/Pdt.G/2017/PA.JS berdasarkan
istri tidak bekerja
kesepakatan
Damai, dibagi
10 4151/Pdt.G/2017/PA.JS Istri tidak bekerja berdasarkan
gugat suami bekerja
kesepakatan
Sumber: Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Direktori Putusan MA

Berdasarkan wawancara dengan Dra. Hj. Fauziah, M.H., sebagai


salah satu majelis hakim yang memutus perkara Nomor
1198/Pdt.G/2014/PA.JS, ia menegaskan bahwa:
Untuk menetapkan bagian harta bersama dalam kasus istri tidak
bekerja, selain mengacu pada ketentuan Pasal 97 KHI yang mengatur
bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”, hakim juga harus memperhatikan terlebih dahulu keadaan
masing-masing pihak, jika istri tidak bekerja dan suami bekerja lalu
harta bersama dibagi fifty-fifty maka ini adil, dengan syarat istri selama
pernikahan melakukan semua kewajibannya terhadap suami.16

Pembagian fifty-fifty sebagaimana yang telah diterapkan dalam


kasus istri tidak bekerja ini jika dilihat dari sudut pandang hukum yang
berkeadilan jender, maka dapat dikatakan bahwa hakim Pengadilan Agama

16
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
138

Jakarta Selatan telah memperhatikan dan mengaplikasikan semangat


keadilan jender terhadap perkara harta bersama yang diputusnya, hakim
telah berupaya agar tidak terjadi diskriminasi hak istri terhadap harta
bersama. Karena dalam keadaan istri yang tidak bekerja secara langsung
dalam menghasilkan harta bersama, akan tetapi tetap melakukan kontribusi
dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, seperti mengurus
rumah tangga, mengurus anak-anak, mengurus suami, menjaga aib
keluarga, dan lain sebagainya, maka istri tersebut berhak untuk
mendapatkan bagiannya setengah dari harta bersama. Hal ini karena posisi
istri yang bekerja di rumah sebagai seorang ibu rumah tangga sama
pentingnya dengan status suami yang bekerja mencari harta bersama di
luar. Istri yang berperan sebagai ibu rumah tangga secara tidak langsung
memberikan kontribusi yang sangat penting bagi suami, sehingga suami
bisa lebih leluasa dalam bekerja menghasilkan harta bersama selama
pernikahan mereka.
Hal ini sesuai dengan prinsip utama dari Konvensi CEDAW yaitu
prinsip non diskriminasi yang secara spesifik diatur dalam Pasal 1
konvensi ini, yang mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan
adalah:
Segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin, yang mempunyai dampak atau tujuan untuk
mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya bagi kaum
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Prinsip non diskriminasi ini dimaksudkan untuk memberikan


landasan agar terjamin hak asasi perempuan, menghapuskan dikotomi
domestik-publik dan menghilangkan stereotype atau pelabelan negatif
yang selama ini dialami oleh perempuan seperti perempuan hanya bertugas
di ranah domestik, bersifat reproduktif, tidak bernilai ekonomi, dan
dianggap sebagai wilayah privat sehingga kedudukannya selalu berada di
belakang laki-laki. Jadi jika dihubungkan dengan perkara pembagian harta
139

bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, maka putusan hakim yang


memberikan porsi fifty-fifty kepada istri yang tidak bekerja seperti dalam
kasus ini, berarti hakim telah menerapkan prinsip non diskriminasi sesuai
dengan Pasal 1 Konvensi CEDAW.
Di samping sejalan dengan prinsip non diskriminasi, putusan
hakim tentang perkara pembagian harta bersama terhadap istri yang tidak
bekerja akan tetapi telah melaksanakan kewajibannya sebagai istri juga
sejalan dengan prinsip persamaan substantif yang terkandung dalam
Konvesi CEDAW. Prinsip persamaan substantif yang dianut oleh
Konvensi CEDAW dengan artian prinsip dalam persamaan terhadap
keadilan dan kesetaraan. Hal ini tergambar dalam upaya untuk
merealisasikan hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya
perbedaan, disparitas ataupun keadaan yang merugikan perempuan.
Putusan hakim tersebut juga sesuai dengan Pasal 2 huruf (c)
Konvensi CEDAW yang menyatakan bahwa untuk upaya penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan maka negara-negara peserta harus:
Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan
atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin
melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan
pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif
terhadap setiap tindakan diskriminasi.

Dengan demikian, maka putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta


Selatan yang membagi porsi harta bersama fifty-fifty terhadap istri yang
tidak bekerja, baik dalam keadaan istri sendiri yang mengajukan gugatan
maupun suami yang mengajukan gugatan dinilai telah mendukung
semangat keadilan jender.
Berdasarkan data-data di atas, dapat diketahui bahwa kasus harta
bersama yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan sangat
bervariatif, hal ini terlihat dari pihak yang mengajukan gugatan bukan
hanya dari pihak istri tetapi juga dari pihak suami, terlihat pula pada siapa
yang bekerja menghasilkan harta bersama dan yang tidak bekerja selama
perkawinan berlangsung. Walaupun demikian, berdasarkan prakteknya di
140

Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sebagaimana tergambar pada hasil


putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2013-2017, dalam
perkara pembagian harta bersama pada umumnya para hakim tidak keluar
dari ketentuan yang telah diatur dalam KHI. Hal ini terbukti dari dua puluh
enam putusan yang dijadikan sampel, delapan belas diantaranya diputus
dengan pembagian fifty-fifty, lima putusan diselesaikan dengan
kesepakatan perdamaian, yang mana dalam kesepakatan perdamaian ini
pembagian harta bersama ada yang dibagi fifty-fifty yaitu putusan Nomor
916/Pdt.G/2014/PA.JS, dan ada yang dibagi berdasarkan kesepakatan
penggugat dan tergugat, yang mana kesepakatan tersebut setelah diteliti
ternyata tidak jauh dari pembagian dengan porsi fifty-fifty17.
Namun tidak setiap kasus harta bersama yang diajukan ke
Pengadilan Agama Jakarta Selatan diselesaikan dengan ketentuan
pembagian harta bersama sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 97 KHI.
Dari dua puluh enam putusan harta bersama yang dijadikan sampel,
terdapat dua putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang tidak
sejalan dengan ketentuan tersebut, yaitu Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA.JS dan Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS.
Pada Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS majelis hakim
memutus dengan memberikan porsi yang lebih banyak untuk mantan istri,
yaitu 2/3 untuk mantan istri dan 1/3 untuk mantan suami. Sebaliknya pada
Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS majelis hakim memutus dengan
memberikan porsi yang lebih besar kepada mantan suami, yaitu 60%
untuk mantan suami dan 40% untuk mantan istri. Pembagian harta
bersama dengan porsi tersebut dikarenakan majelis hakim selain
mempertimbangkan faktor yuridis, yaitu aturan pembagian yang ada dalam
Pasal 97 KHI, juga lebih mempertimbangkan faktor sosiologis dan
filosofis.

17
Yaitu putusan No 1774/Pdt.G/2013/PA.JS, putusan No 3662/Pdt.G/2016/PA.JS,
putusan No 1102/Pdt.G/2017/PA.JS, dan putusan No 4151/Pdt.G/2017/PA.JS.
141

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan pembagian


harta bersama yang ada dalam KHI tersebut belum secara total bisa
diterapkan dalam semua kasus harta bersama yang masuk ke Pengadilan
Agama. Aturan tersebut masih mengandung unsur-unsur diskriminasi yang
apabila tetap diterapkan untuk semua kasus akan menimbulkan suatu
ketidakadilan jender baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Konvensi CEDAW memang tidak membahas secara teknis tentang
masalah pembagian harta bersama, namun terdapat bagian khusus dalam
Pasal 16 yang menegaskan bahwa negara wajib membuat peraturan-
peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan
kekeluargaan. Dalam Pasal 2 Konvensi CEDAW juga ditekankan bahwa
“Negara mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang
tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus
diskriminasi terhadap perempuan”. Untuk mencapai tujuan itu, maka pada
huruf (f) pasal tersebut dikatakan “Negara harus membuat peraturan-
peraturan yang tepat, termasuk pembuatan Undang-undang untuk
mengubah dan menghapuskan Undang-undang, peraturan-peraturan,
kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap
perempuan”.
Meskipun dalam redaksi konvensi hanya menyebutkan perempuan,
namun secara otomatis juga tertuju kepada laki-laki, karena prinsip non
diskriminasi yang dimaksud oleh Konvensi CEDAW bertujuan
menghapus segala tindakan diskriminasi baik terhadap perempuan maupun
laki-laki. Oleh karena itu, supaya aturan pembagian harta bersama bisa
mewujudkan rasa keadilan yang substantif, maka sudah semestinya
dilakukan rekonstruksi aturan harta bersama yang ada pada KHI terutama
tentang aturan pembagiannya pada Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 26 sampel putusan
harta bersama, terlihat bahwa para hakim dalam beracara di Pengadilan
142

Agama Jakarta Selatan pada umumnya memang berpedoman pada aturan


yang sudah ada, yaitu KHI sebagai hukum materil. Namun demi sebuah
keadilan ada beberapa hakim yang berani menyimpangi aturan pembagian
harta bersama yang ada pada Pasal 97 KHI, hal ini membuktikan bahwa
hakim-hakim tersebut memiliki kesadaran jender18 dan sensitivitas jender19
sehingga berani menerapkannya ketika mengambil keputusan.
Kendati demikian, dari dua orang hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yang diwawancarai hanya satu orang hakim yang mengetahui
tentang Konvensi CEDAW, sedangkan satu hakim lagi tidak tahu sama
sekali. Walaupun demikian, kedua hakim tersebut sepakat bahwa
Konvensi CEDAW bisa dimasukkan ke dalam pertimbangan hakim dalam
sebuah putusan sepanjang hal itu berkaitan dengan perkara yang akan
diselesaikan dan selama didalamnya terdapat suatu keadilan.
Namun, hingga saat ini belum ditemukan satu putusan pun tentang
harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memasukkan
Konvensi CEDAW dalam konsiderannya, mungkin disebabkan karena
belum semua hakim mengetahui Konvensi CEDAW, atau dikarenakan
Konvensi ini belum menjadi hukum materil atau formil di Pengadilan
Agama, sehingga belum digunakan dalam pertimbangan hukum ketika
menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan pembagian harta
bersama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Jarkasih, salah
seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, beliau mengatakan

18
Kesadaran jender adalah kemampuan seseorang untuk dapat berfikir dan melakukan
tindakan proaktif untuk menolak segala bentuk ketimpangan atau kesenjangan jender. Kesadaran
jender menunjukkan kemampuan analisis untuk mengidentifikasi masalah-masalah ketimpangan
jender yang tidak begitu jelas di permukaan, sehingga dikriminasi jender tersebut dapat
diungkapkan. Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI , 2001), h. 124.
19
Sensitivitas jender adalah kemampuan seseorang untuk memahami, merasakan, dan
berfikir tentang adanya kesenjangan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Sensitivitas
jender diharapkan mampu menjadi alat untuk melihat ketidakadilan yang muncul berkaitan dengan
hubungan antara perempuan dan laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Badriyah
Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam), h. 126.
143

bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim mengacu pada dua aturan
hukum, yaitu hukum formil dan hukum materil. Tetapi dalam
konsiderannya hakim seharusnya tidak hanya memperhatikan faktor
yuridis, hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum
(rechvinding) demi mencapai sebuah keadilan. Hal ini dikarenakan hukum
Islam diturunkan untuk kemaslahatan umum, maka selama ada
kemaslahatan, teori apapun boleh dimasukkan, termasuk Konvensi
CEDAW.20
Oleh karena itu, jika seorang hakim memiliki pemikiran yang
progresif, serta mengetahui adanya konvensi CEDAW, maka ia akan
mengimplementasikan Konvensi CEDAW dengan memasukkannya ke
dalam pertimbangan-pertimbangan hakim dalam sebuah putusan.
Meskipun demikian, apabila diteliti secara mendalam, ternyata hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah mencoba mengaplikasikan
semangat untuk menghapuskan diskriminasi dan menjunjung tinggi
keadilan jender sebagaimana yang diamanatkan oleh Konvensi CEDAW
meskipun secara nyata belum tersurat dalam setiap putusannya.
Hal tersebut di antaranya dapat dilihat pada Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA.JS dan Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS yang
berani menyimpangi ketentuan yang ada pada Pasal 97 KHI, dalam artian
tidak membagi dengan porsi fifty-fifty, namun demi sebuah keadilan,
majelis hakim tersebut lebih menimbang faktor sosiologis, yaitu
memperhatikan kontribusi yang dilakukan para pihak dalam upaya
memperoleh harta bersama selama dalam masa perkawinan mereka, baik
kontribusi berupa materi maupun kontribusi non materi seperti hak dan
kewajiban sebagai pasangan. Hal ini dilakukan hakim karena secara
filosofis, majelis hakim memandang adanya ketidakadilan jika ketentuan
KHI Pasal 97 secara serta merta diterapkan dalam kasus tersebut.

20
Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 18 Mei
2018.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kompilasi Hukum Islam sebenarnya telah berupaya mengaplikasikan
semangat keadilan jender dalam pengaturan harta bersama pada setiap
pasalnya. Hanya saja, dari total tiga belas pasal yang mengatur tentang
harta bersama dalam bab XIII, ternyata terdapat dua pasal yang
ketentuannya belum maksimal mendukung semangat keadilan jender.
Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 yang pada
intinya menegaskan bahwa ketika hubungan perkawinan telah usai, baik
karena perceraian maupun kematian, maka harta bersama harus dibagi dua
sama besar terlepas dari siapa yang mengusahakan harta tersebut.
Ketentuan ini dikatakan kurang maksimal mendukung keadilan jender
karena dalam penerapannya mengandung double standar, dalam artian, di
satu sisi penerapannya bisa dipandang mendukung keadian jender, namun
di sisi lain penerapannya bisa menimbulkan ketidakadilan jender karena
mengandung unsur diskriminatif yang bisa merugikan perempuan maupun
laki-laki. Ketentuan KHI tersebut tidak sejalan dengan Pasal 16 ayat (1)
Konvensi CEDAW yang mewajibkan negara membuat peraturan-
peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi dalam semua urusan
yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Oleh
sebab itu, harus dilakukan upaya sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 2 huruf (f) Konvensi CEDAW, yaitu negara harus membuat
peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan Undang-undang
untuk mengubah dan menghapuskan Undang-undang, peraturan-peraturan,
kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif.
2. Berdasarkan implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, studi
ini menghasilkan temuan bahwa secara umum para hakim dalam
mengadili perkara harta bersama tidak keluar dari ketentuan Kompilasi
Hukum Islam. Dari dua puluh enam putusan yang dijadikan sampel dalam

144
145

penelitian ini ditemukan sebanyak delapan belas putusan dibagi dengan


porsi fifty-fifty (dibagi dua sama banyak) baik dalam kasus suami istri yang
sama-sama bekerja maupun hanya salah satu pihak yang bekerja.
Sedangkan terhadap delapan putusan lainnya, ketentuan KHI secara
tekstual tidak diterapkan, bahkan ditemukan dua putusan yang secara tegas
menyimpangi ketentuan KHI demi mencapai sebuah keadilan, yaitu
Putusan No. 981/Pdt.G/2013/PA.JS dengan porsi suami memperoleh 1/3
dan istri 2/3, serta Putusan No. 1266/Pdt.G/2014/PA.JS yang dibagi
dengan porsi istri memperoleh 40% dan suami sebanyak 60% dari harta
bersama. Hal ini disebabkan karena hakim lebih memperhatikan faktor
sosiologis yaitu kontribusi yang dilakukan para pihak dalam upaya
memperoleh harta bersama selama dalam masa perkawinan mereka, baik
kontribusi berupa materi maupun kontribusi non materi seperti hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Oleh
karena itu, secara filosofis majelis hakim memandang adanya
ketidakadilan jika ketentuan KHI Pasal 97 tetap di diterapkan dalam kasus
tersebut. Berdasarkan hal ini, berarti hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tersebut telah berusaha untuk mengaplikasikan semangat
penghapusan diskriminasi dan menjunjung tinggi keadilan jender
sebagaimana yang diharapkan oleh Konvensi CEDAW, meskipun secara
nyata belum tersurat dalam setiap putusan harta bersama yang diputusnya.

B. Rekomendasi
Berdasarkan posisi Kompilasi Hukum Islam di pengadilan dalam
lingkup Peradilan Agama adalah sebagai sumber hukum materil, yang dari
hasil penelitian diperoleh temuan bahwa mayoritas hakim dalam
menyelesaikan perkara harta bersama memang mengacu pada ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal KHI. Namun berdasarkan
penelitian ini juga diketahui bahwa masih ditemukan sejumlah pasal mengenai
harta bersama yang kurang mendukung wacana keadilan jender, sehingga
penerapannya kadang bisa dipandang adil dan terkadang juga bisa
146

mengakibatkan diskriminasi. Oleh karena itu penemuan ini tampaknya perlu


mendapat respon positif terutama oleh pemegang kebijakan (Pemerintah dan
Lembaga Legislasi), agar melakukan perubahan pada aspek regulasi yang
belum sempurna mendukung keadilan jender tersebut. Hal ini akan sangat
membantu para hakim untuk mencari terobosan hukum, terutama bagi mereka
yang sangat terikat oleh pandangan legal positivistik. Karena ketentuan yang
ada sekarang terbukti belum bisa mengkaver berbagai kasus yang terjadi
dewasa ini.
Bagi para hakim atau praktisi hukum, juga diharapkan agar terus
meningkatkan kualitas diri termasuk mengenai hal-hal yang berorientasi pada
keadilan jender, sehingga putusan yang dihasilkan oleh para hakim Pengadilan
Agama dapat melindungi hak-hak perempuan dan laki-laki, serta dapat
mengikuti perkembangan masyarakat Indonesia. Adapun bagi penggiat atau
aktivis jender, perlu kiranya lebih banyak lagi melakukan advokasi tentang
hak-hak perempuan dan laki-laki baik menurut hukum Islam, hukum nasional,
maupun hukum internasional.
Secara akademis, tampaknya penelitian ini perlu dilanjutkan, karena ini
bukan penelitian yang final, masih membutuhkan banyak analisis yang
mendalam menggunakan data-data lain yang mendukung. Oleh karena itu,
dengan penelitian ini diharapkan melahirkan implikasi bagi peneliti
selanjutnya, terkhusus bagi peneliti di bidang hukum keluarga yang
mendukung wacana keadilan jender.
DAFTAR PUSTAKA

Alquran

Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah New Cordova,


Bandung: Sygma, 2012.

Buku

Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan, Jakarta:


Bulan Bintang, 1986, Cet. 11.

Abubakar, Zainal Abidin, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam


Lingkungan Peradilan Agama, Surabaya: Pengadilan Tinggi Agama
Surabaya, t.th.

Ahida, Rida, Keadilan Multikultural, Jakarta: Ciputat Press, 2008.

Ali, Atabik, Kamus Inggris-Indonesia-Arab Edisi Lengkap, Yogyakarta: Multi


Karya Grafika, 2003.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Alrasid, Harun, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,


Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah


Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Cet. 1.

--------------, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,


1997.

Azizah, Noor, “Kajian Hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan untuk
Istri yang Ikut Menanggung Beban Ekonomi Keluarga”, Tesis S-2
Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang,
2007.

Azni, Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia,


Pekanbaru: Suska Press, 2015.

Bearman, Peri, dkk, The Law Applied: Contextualizing The Islamic Shari’a,
London, I.B Tauris, 2008.

147
148

Bhasin, Kamla, Understanding Gender, Terj. Moh Zaki Hussein, Jakarta: Teplok
Press, 2003, Cet. 3.

Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Buergenthal, Thomas, dkk, International Human Rights, Saint Paul: West Group,
2002.

Departemen Agama, Yurisprudensi Peradilan Agama dan Analisa, Jakarta: Badan


Peradilan Agama, 1995.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2007, Cet. 3.

Eddyono, Sri Wiyanti, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, dalam
Seri Bahan Bacaan Kursus untuk Pengacara XI, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2007.

Fadhlullah, Sayyid Muhammad, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Abdul Qadir Al
Kaf, Jakarta: Lentera, 2000.

Fauzan, M, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan


Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.

Faqih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2001.

Fayumi, Badriyah, et.al, eds, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen
Agama RI, 2001.

Gandhi, Louisa Magdalena Lapian, Disiplin Hukum yang Mewujudkan


Kesetaraan dan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar


Maju, 1992.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama


(Undang-Undanga No. 7 Tahun 1989), Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
149

Hasanah, Defi Uswatun, Hak-hak Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama


(Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW),
Jakarta: Cakrawala Budaya, 2017.

Hasyim, Syafiq, dkk, Modul Islam dan Multikulturalisme, Jakarta: ICIP, 2008.

Hidayatullah, Kholid, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir Al-Manar,


Jakarta: el-Kahfi, 2012.

Husain, Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogyakarta: Lkis, 2012.

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan hukum: Menuju hukum yang berspektif


kesetaraan dan keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, Ed. 2.

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986.

Jazîrî, al-, „Abd al-Rahman, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Bayrût:
Dâr al-Kitab al-„Ilmiyah, 1999.

Kamarusdiana, dkk, “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama di Jakarta”, Laporan


Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000.

--------------, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989, Cet. 8.

Kodir, Faqihuddin Abdul dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2008.

Lindsey, Linda L, Gender Roles a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice


Hall, 1990.

Lips, Hilary M, Sex & Gender an Introduction, California: Mayfield Publishing


Company, 1993.

Machl, Sabine, “CEDAW and Family Law”, Public Lecture, 14 Mei 2018,
Ciputat: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.

Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, Bandung:
Mandar Maju, 2006. Cet. 1.
150

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:


Kencana, 2008, Ed. 1, Cet. 2.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, Ed. I, Cet. 4.

Mertokusumo, Sudiko, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty


Yogyakarta, 2009, Ed. 8, Cet. 1.

Mesraini, “Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi
Hukum Islam dalam Perspektif Jender”, Tesis, Program Studi Syariah
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

MK, Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia: Masalah-masalah Krusial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2004.

Mudzhar, M. Atho, dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam


Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Mulia, Situ Musdah Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi,
Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010.

--------------, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Jender, Yogyakarta: Kibar Press,


2007.

--------------, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender,


Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka, 2014.

Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap


Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001.

Oran, Daniel, Oran’s Dictionary of The Law, New York: Delmar Cengage
Learning, 2008.

Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007.

Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,


Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, Jakarta: PT
Hidakarya Agung, 1981.
151

Rais, Isnawati, “Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam


(KHI) dan Implementasinya di Pengadilan Agama (Studi kasus di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, Laporan Penelitian, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2000, Cet. 4.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunah, Bandung: PT. AL Maarif, 1987, Cet. I, Jilid 13.

Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program


Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, Jakarta: PUSKUMHAM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

--------------, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 7,


Jakarta: Lentera Hati, 2002.

--------------, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2,


Ciputat: Lentera Hati, 2000.

Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Sopyan, Yayan, “Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan


Hukum”, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009.

Sumbulah, Umi, Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,


Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta:


Visimedia, 2008.

Susilaningsih dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline and


Institusional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga,
UIN Sunan Kalijga kerjasama dengan McGill-IAIN- Indonesia Social
Equity Project, 2004.
152

Suyûṯ î, al-, Jalâl al-dîn, al-Asybâh wa al-Naẕ âˋ ir fî Qawâʻ id wa furûʻ Fiqh


al- Syâfiʻ î, al-Qâhirah: Dâr al-Taûfîqiyyah li al-turâts, 2009.

Syah, Isma‟il Muhammad, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini
ditinjau dari Sudut Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat


dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.

--------------, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media,


2007.

--------------, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang:


Angkasa Raya, 1993, Cet. X.

Thalib, Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, Cet. 5.

Tierney, Helen (Ed.), Women's Studies Encyclopedia, NewYork: Green Wood


Press, t.th, Vol. 1.

Tirmidzî, al-, Abî ʻ Îsâ Muẖ ammad Ibn ʻ Îsâ Ibn Saurah, al-Jâmiʻ u al-Saẖ îẖ
Sunan al-Tirmidzî, juz 1, Hadis No. 113, Bayrût: Dâr al-Kutub al-ʻ Ilmiyah,
2000.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:


Paramadina, 2001, Cet. 2.

Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis


Pembebasan, Jakarta: P3m, 2004.

Vries, Dede Wiliam-de, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi


Kelompok Perempuan di Jambi, Bogor: Center for Internasional Forestry
Research (CIFOR), 2006.

Wahid, Marzuki, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Lefal
Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indnesia,
Bandung: Penerbit Marja, 2014.

Yanggo, Huzaemah Tahido, Hukum Keluarga dalam Islam, Jakarta: Yayasan


Masyarakat Indonesia Baru, 2013.

Zuhaîlî, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Bayrût: Dâr al-Fikr, 2007.

--------------, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1997.
153

Zuhdi, Mazfuk, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta: Hajimasagung, 1990.


Jurnal

Asni, “Idealisasi Perlindungan Istri dalam Penerapan Hukum Harta Bersama di


Pengadilan Agama”, Al-Manahij, Vol. IX, No. 2, 2015.
Brandt, Michele and Jeffrey A. Kaplan, “The Tension between Women's Rights
and Religious Rights: Reservations to Cedaw by Egypt, Bangladesh and
Tunisia”, Journal of Law and Religion, Vol. 12, No. 1, 1996.

Cammack, Mark E, “Marital Property in California and Indonesia: Community


Property and Harta Bersama”, Washington and Lee Law Review, Vol. 64,
No. 4, 2007.

Fuad, Ahmad Masfuful, “CEDAW and The Rights of Kinship in Islamic Family
Law”, Al-Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV, No. 1, 2015.

Hussin, Mohd Norhusairi Mat and Raihanah Abdullah, “Distribution Practice of


Harta Sepencarian in Malaysia: A Literature Review”, Journal of Shariah
Law Research, Vol. 1, No. 1, 2016.

Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”,


Jurnal Ahkam, Vol. XII, No.1, 2012.

Ngaba, Sindiso, “CEDAW: Eliminating Discrimination against Women”, Agenda:


Empowering Women for Gender Equity, No. 27, 1995.

Rahmaniah, Amelia, “Harta Bersama dalam Perkawinan di Indonesia”, Jurnal


Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, 2015.

Rochaeti, Etty, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”,
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01, 2013.

Suhra, Sarifa, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Implikasinya


Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Vol. 13, No. 2, 2013.

Waha, Felicitas Marcelina, “Penyelesaian Sengketa Atas Harta Perkawinan


Setelah Bercerai”, Lex et Societatis, Vol.1, No.1, 2013.

Sumber Online

Badriyah, Al, Athiyatussa‟adah, “Pemikiran Kiai Husain Muhammad tentang


Mu‟asyaroh bil Ma‟ruf antara Suami Istri dalam Upaya Membentuk
Keluarga, 2014. Diakses pada 29 Mei 2018 dari
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3467.
154

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Setelah Naik Kelas, Apa Lagi?”,
diakses pada 06 Mei 2019 dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-
ditjen-badilag/setelah-naik-kelas-apa-lagi.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Direktori Putusan Mahkamah Agung


Republik Indonesia”. Diakses pada 12 Februari 2019 dari
https://putusan.mahkamahagung.go.id/ditjen/agama.

Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.


Diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-
pengadian/sejarah-pengadilan.

Interview

Interview Pribadi dengan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,


Jakarta, 06 Agustus 2018.

Interview Pribadi dengan Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,


Jakarta, 18 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai