Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)
Oleh:
DANIEL ALFARUQI
NIM: 21150435000005
v
ABSTRACT
vi
xvi ھ۔
)KHI(
)CEDAW(
.CEDAW ،(KHI)
vii
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat, hidayah,
dan inayahNya sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini sebagaimana
mestinya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi
agung Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan inspirator bagi umat Islam
dalam menjalankan kehidupan.
Tesis ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tersayang,
Ayahanda H. Nurkausar, S.Pd. dan Ibunda Hj. Imelda, S.Pd., yang telah banyak
memberikan kasih sayang, waktu, pikiran, tenaga, dan do’anya sejak penulis lahir
sampai saat ini, begitu juga untuk kedua adik tersayang Zikril Mustawa dan
Nuraisyah yang selalu memberikan semangat. Kemudian penulis persembahkan
kepada yang tercinta, istri penulis Resti Adita, A.Md. KG. dan bayi kecilku
Hafizah Shafana Alfaruqi yang selalu menjadi penyemangat dan motifasi untuk
menyelesaikan tesis ini, serta Ayah dan Ibu mertua terhormat Ayah Ahmadi dan
Ibu Ernita yang telah mendukung, memotivasi, dan mendo’akan penulis dalam
berjuang menuntut ilmu.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusi, dukungan, motivasi, bimbingan, dan arahan selama
masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan tesis ini. Secara khusus penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Syahrul Adam, M.Ag. dan Dr. Nahrowi, S.H., M.H., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Isnawati Rais, MA., selaku Dosen pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan, dan petunjuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
viii
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini.
6. Jajaran staf dan karyawan akademik perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, Perpustakaan Utama, serta Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi
sebagai bahan rujukan tesis.
7. Keluarga besar Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya kepada Bapak
Drs. H. Jarkasih, M.H., dan Dra. Hj. Fauziah, M.H., selaku hakim yang telah
bersedia meluangakan waktunya untuk memberikan informasi guna
melengkapi data dalam penyelesaian tesis ini.
8. Rekan-rekan seperjuangan Magister Hukum Keluarga UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan,
pengalaman, dan informasi seputar pendidikan.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala yang terbaik dan
kesuksesan bagi mereka yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada penulis dalam penyelesaian Tesis ini. Semoga Tesis ini
bermanfaat bagi penulis dan setiap pihak yang membacanya.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN HASIL UJIAN TESIS iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 11
1. Identifikasi Masalah 11
2. Pembatasan Masalah 11
3. Perumusah Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13
D. Review Studi Terdahulu 14
E. Metode Penelitian 19
F. Sistematika Penulisan 22
x
Perempuan (Konvensi CEDAW) 45
B. Konsep Keadilan Jender 52
C. Jender Menurut Hukum Islam 60
D. Hakim Agama dan Sensitivitas Jender 67
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 144
B. Rekomendasi 145
xi
DAFTAR PUSTAKA 147
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
j Je
ẖ ha dengan garis bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r Er
z zet
s es
sy es dan ye
es dengan garis bawah
ḏ de dengan garis bawah
ṯ te dengan garis bawah
ẕ zet dengan garis bawah
„ koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha
f ef
q Qo
k ka
l el
m em
xiv
n en
w we
ھ۔ h ha
ˋ apostrop
y Ya
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama dengan vokal dalam bahasa Indonesia,
yaitu terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
a fatẖ ah
i kasrah
u ḏ ammah
ai a dan i
au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xv
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
alif dan lam ( ) ال, dialihak arakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
= انرّجمal-rijâl, bukan ar-rijaâl
= انعادةal-ʻ âdah
E. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Misalnya:
= محكّمةmuhakkamah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya: = انشّركةal-syirkah, tidak ditulis asy-syirkah.
F. Ta Marbûṯ ah
Jika ta marbûṯ ah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh
1) atau diikuti oleh kata sifat (naʻ t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûṯ ah ter ebut dialihak arakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûṯ ah diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihak arakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
1 syirkah
2 al-syarîʻ ah al-islâmiyyah
3 kifâyat al-ˋ akhyâr
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, (Pekanbaru:
Suska Press, 2015), h. 1.
2
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), Cet. X, h. 1.
1
2
3
Azni, Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia, h. 2-3.
4
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 1.
3
5
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
h. 2.
6
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 2001), h. 5-6.
4
7
Mohd Norhusairi Mat Hussin and Raihanah Abdullah, “Distribution Practice of Harta
Sepencarian in Malaysia: A Literature Review”, Journal of Shariah Law Research: Vol. 1, No. 1,
2016, h. 77.
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 175.
9
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 63.
10
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, h. 63.
Lihat juga Mark E. Cammack and R. Michael Feener, Joint Marital Property in Indonesia
5
Customary, Islamic, and National Law, dalam Peri Bearman, dkk, The Law Applied:
Contextualizing The Islamic Shari’a, (London, I.B Tauris, 2008), h. 92.
11
Kitab-kitab tersebut adalah: (1) al-Bâjûrî, (2) Fatẖ al-Muʻ în, (3) Syarqâwî ‘alâ al-
Taẖ rîr, (4) Qalyûbî/Maẖ allî, (5) Fatẖ al-Wahhâb dengan syarahnya, (6) Tuẖ fah, (7) Targhîb al-
Musytâq, (8) Qawânîn al-Syarʻ iyyah li al-Sayyîd bin Yaẖ yâ, (9) Qawânîn al-Syarʻ iyyah li al-
Sayyîd S adaqah Daẖ lân, (10) Syamsûrî fî al-Farâˋ iḏ , (11) Bughyat al-Mustarsyidîn, (12) al-
Fiqhu ʻ alâ al-Madzâhib al-Arbaʻ ah, (13) Mugnî al-Muẖ tâj. Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia:
Kompilasi Hukum Islam dan Counter Lefal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik
Hukum Indnesia, (Bandung: Penerbit Marja, 2014), h. 120.
12
Departemen Agama, Himpunan Putusan Pengadilan Tinggi Agama, (Jakarta: Badan
Peradilan Agama, 1982/1983), berisi putusan-putusan Pengadilan Tinggi Agama tahun 1979 s/d
1980 yang sumber hukum dalam putusan tersebut merujuk pada kitab-kitab fikih dan Undang-
undang Perkawinan. Lihat juga Departemen Agama, Yurisprudensi Peradilan Agama dan Analisa,
(Jakarta: Badan Peradilan Agama, 1995), berisi putusan-putusan Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama, dan Mahkamah Agung tahun 1983 s/d 1990 yang sumber hukumnya merujuk pada
kitab fikih dan Undang-undang Perkawinan.
13
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri
Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Lihat Harun Alrasid, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), buku ke I,
h. 861, dan Zainal Abidin Abubakar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama, (Surabaya: Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, t.th), h. 363.
6
14
Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
15
Konvensi CEDAW diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan
mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Lebih dari 90% negara-negara anggota PBB
merupakan negara peserta konvensi ini. Hingga saat ini sebanyak 189 dari 193 negara anggota
PBB telah meratifikasi konvensi CEDAW, termasuk di dalamnya negara Indonesia. Michele
Brandt and Jeffrey A. Kaplan, “The Tension between Women's Rights and Religious Rights:
Reservations to Cedaw by Egypt, Bangladesh and Tunisia”, Journal of Law and Religion, Vol. 12,
No. 1 (1996), h. 106.
9
16
Ahmad Masfuful Fuad, “CEDAW and The Rights of Kinship in Islamic Family Law”,
Al-Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV, No. 1, 2015, h. 182.
10
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berbagai permasalahan yang secara potensial terkait dengan tema
ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Konvensi CEDAW sebagai alat ukur keadilan jender.
b. Aturan KHI tentang pembagian harta bersama perspektif hukum yang
berkeadilan jender.
c. Implementasi aturan KHI tentang pembagian harta bersama di
Pengadilan Agama.
d. Harmonisasi aturan KHI dan instrument hukum internasional terhadap
upaya perlindungan hak perempuan dan laki-laki dalam pembagian
harta bersama.
e. Hakim Pengadilan Agama sebagai aktor penting demi mewujudkan
keadilan jender dalam hukum keluarga.
f. Kendala penerapan prinsip keadilan jender dalam pembagian harta
bersama di Pengadilan Agama.
g. Upaya hakim dalam mewujudkan putusan yang berkeadilan jender
terhadap kasus pembagian harta bersama.
h. Dampak penerapan prinsip keadilan jender dalam pembagian harta
bersama terhadap rasa keadilan para pihak yang berperkara.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka
permasalahan yang akan dibahas dibatasi pada persoalan pembagian harta
bersama menurut aturan Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di
Pengadilan Agama dilihat dari perspektif keadilan jender, dengan
menggunakan Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) sebagai tolak ukur untuk
menganalisisnya.
Tempat penelitian dibatasi pada Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Hal ini dilatarbelakangi karena berdasarkan data yang ditemukan
12
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah
di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok kajian dalam
penelitian ini adalah bagaimana pembagian harta bersama menurut
Kompilasi Hukum Islam dan implementasinya di Pengadilan Agama
17
Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”,
diakses pada 12 Februari 2019 dari https://putusan.mahkamahagung.go.id/ditjen/agama.
18
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Setelah Naik Kelas, Apa Lagi?”, diakses
pada 06 Mei 2019 dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-
badilag/setelah-naik-kelas-apa-lagi.
13
2. Manfaat Penelitian
Kajian ini diharapkan memiliki kegunaan ganda yakni teoritis dan
praktis.
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang berharga untuk peneliti maupun praktisi-praktisi
hukum, terutama hakim di Pengadilan Agama, mengenai pembagian
harta bersama.
b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan
dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang lebih baik di masa
mendatang.
14
19
Defi Uswatun Hasanah, Hak-hak Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW), (Jakarta: Cakrawala Budaya,
2017).
15
20
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam, Vol. XII, No.1, 2012.
21
Isnawati Rais, “Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Implementasinya di Pengadilan Agama (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”,
(Laporan Penelitian, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
16
22
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009).
17
Beberapa hakim memang cenderung memiliki kepekaan jender lebih baik dan
mengisyaratkan bahwa kepekaan tersebut sudah terbawa dalam diri mereka
sejak sebelum mengikuti pelatihan. Sementara beberapa hakim lain
cenderungan sangat berhati-hati dalam menyerap dan menerapkan isu jender,
hal ini terlihat jelas ketika pertama kali konsep itu diperkenalkan kepada
mereka. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih terfokus pada
aturan KHI tentang pembagian harta bersama serta penerapannya di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang akan dianalisis menggunakan aturan-
aturan yang ada pada Konvensi CEDAW.
Noor Azizah dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Hukum Islam
terhadap Pembagian Harta Warisan untuk Istri yang Ikut Menanggung Beban
Ekonomi Keluarga”,23 mengatakan bahwa pembagian warisan harta bersama
pada wanita yang ikut menanggung beban ekonomi keluarga sering dirasakan
tidak adil oleh pihak wanita, karena harta milik wanita tersebut diikutsertakan
dalam pembagian harta warisan. Hal ini disebabkan karena pengaturan
mengenai harta bersama dalam hukum positif masih mengabaikan status dan
kedudukan harta seorang istri yang diperoleh selama perkawinan, serta karena
tidak jelasnya status kepemilikan harta yang akan dibagi. Untuk memecahkan
kendala tersebut Noor Azizah menawarkan solusi dengan menyarankan agar
adanya pengaturan tentang kejelasan status kepemilikan, jika dalam status
kepemilikan harta tersebut atas nama suami, maka status kepemilikannya
adalah milik suami, begitupun sebaliknya. Berbeda dengan Noor Azizah,
penelitian ini lebih menekankan pada aturan KHI mengenai pembagian harta
bersama serta implementasinya di Pengadilan Agama yang diakibatkan karena
adanya perceraian, bukan karena ada kematian, serta akan dilihat berdasarkan
perspektif keadilan jender menggunakan tolak ukur Konvensi CEDAW.
Mark E. Cammack dalam penelitiannya yang berjudul “Marital
Property in California and Indonesia: Community Property and Harta
23
Noor Azizah, “Kajian Hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan untuk Istri
yang Ikut Menanggung Beban Ekonomi Keluarga”, (Tesis S-2 Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, 2007).
18
24
Mark E. Cammack, “Marital Property in California and Indonesia: Community
Property and Harta Bersama”, Washington and Lee Law Review, Vol. 64, No. 4, 2007.
19
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis
normatif25 yang bersifat kualitatif.26 Adapun pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan normatif yaitu berupa penelitian dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach).27 Maksudnya penelitian dengan
menggunakan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang di
angkat, yaitu peraturan tentang harta bersama dan instrumen internasional
yang berhubungan dengan jender dalam hal ini adalah Konvensi CEDAW.
Selain menggunakan pendekatan di atas, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan kasus (case approach), dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan
telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio
decidenci atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai
kepada suatu putusan.28 Dalam hal ini yaitu putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 tentang perkara
harta bersama.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Kategori data primer adalah sumber utamanya diambil dari
25
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-
asas dalam ilmu hukum. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
h. 24
26
Adapun ciri dari metode kualitatif adalah data yang disajikan berupa gambaran kata-
kata, pendapat, ungkapan, gagasan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Lexy J.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.3.
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), ed. I, Cet. 4, h.
97.
28
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 94.
20
objek penelitian.29 Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang
tergolong sering memutus perkara harta bersama. Sedangkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan, tesis, disertasi, dan
peraturan perundang-undangan yang dinilai berkaitan dengan objek
penelitian.30
Adapun data sekunder tersebut terdiri dari, Pertama, bahan hukum
primer, yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Konvensi
CEDAW, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
dan putusan-putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang harta
bersama tahun 2013-2017. Kedua, bahan hukum sekunder seperti buku-
buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek
penelitian ini. Dan Ketiga, bahan hukum tertier, yaitu penjelasan atau
petunjuk mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang
berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, media online, dan sebagainya
yang berkaitan dengan objek penelitian dalam tesis ini.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam tesis ini adalah para hakim yang memutus
perkara harta bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Karen itu
putusan Pengadilan Agama menjadi sangat penting dalam melihat alasan
yang digunakan hakim dalam memutus perkara harta bersama. Data
putusan Pengadilan Agama yang diambil adalah data tahun 2013 sampai
29
Yayan Sopyan, “Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum”,
(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 57.
30
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 106.
21
dengan 2017, hal ini dikarenakan data pada tahun tersebut lebih lengkap
dan bisa diakses dibandingkan data-data pada tahun yang lain.
31
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h. 107.
22
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari enam bab yang di dalamnya terdapat sub bab
yang akan memperjelas fokus penelitian ini dan akan disusun berdasarkan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah, kemudian juga diuraikan tujuan dan manfaat penelitian, lalu
dipaparkan tentang review studi terdahulu agar dapat membuktikan
originalitas serta mengetahui secara persis signifikansi penelitian ini. Dalam
bab ini juga dipaparkan tentang metode penelitian serta sistematika penulisan
yang berisi tentang uraian masing-masing bab.
Bab kedua, membahas tentang landasan teoritis mengenai konsep
harta bersama dalam perkawinan. Dimulai tentang harta dalam perkawinan,
lalu tentang harta bersama dalam perkawinan, harta bersama dalam perspektif
hukum adat, harta bersama dalam perspektif hukum Islam, dan terakhir
membahas tentang harta bersama dalam perspektif hukum positif.
Bab ketiga, pembahasan tentang Konvensi CEDAW dan konsep
keadilan jender. Dimulai dari pembahasan tentang Konvensi CEDAW,
kemudian konsep keadilan jender, jender menurut hukum Islam, dan terakhir
tentang hakim agama dan sensitivitas jender.
Bab keempat, membahas tentang deskripsi perkara harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, yang di dalamnya berisi tentang profil
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, proses pemeriksaan gugatan harta
bersama, lalu terakhir membahas tentang deskripsi perkara harta bersama di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai dari tahun 2013 hingga 2017, yang
di dalamnya dipaparkan tentang jumlah perkara yang diterima dan diputus,
23
Kehidupan berumah tangga tidak bisa dijamin akan berjalan harmonis dan
bahagia selamanya, karena apabila salah satu pihak kurang memahami hak dan
kewajiban masing-masing sebagai suami istri maka hal ini sangat berpotensi
mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran yang bisa berujung pada sebuah
perceraian. Jika perkawinan putus karena perceraian, sudah dapat dipastikan akan
menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak yang berkaitan dalam suatu
rumah tangga. Salah satu akibat hukum yang timbul karena terjadi perceraian
khususnya di negara Indonesia adalah tentang masalah pembagian harta bersama.
Pada dasarnya, pembahasan tentang harta bersama dalam suatu ikatan
perkawinan tidak ditemukan dalam hukum Islam. Perkawinan dalam Islam tidak
menyebabkan terjadinya percampuran antara harta suami dan istri, dengan kata
lain harta merupakan milik perseorangan, suami memiliki hartanya sendiri dan
istri juga memiliki hartanya sendiri. Namun suami memiliki kewajiban untuk
menafkahi istri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan istri tidak
dibebani kewajiban bekerja mencari nafkah.1
Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia, dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia
ditemukan aturan tentang harta bersama. Aturan ini muncul karena istilah harta
bersama telah dikenal sejak lama dalam hukum adat di Indonesia. Untuk lebih
memahami pembahasan ini, maka dalam bab ini akan dijelaskan beberapa hal
mengenai konsep harta bersama dalam perkawinan. Namun sebelum membahas
lebih dalam tentang harta bersama, kita perlu memahami terlebih dahulu
mengenai harta dalam perkawinan, karena berdasarkan aturan hukum adat dan
hukum positif yang ada di Indonesia harta bersama merupakan bagian dari harta
perkawinan itu sendiri.
1
Isnawati Rais, “Pembagian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
Implementasinya di Pengadilan Agama (Studi kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”,
(Laporan Penelitian Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 2.
24
25
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)), h. 485.
3
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000), h. 166.
4
Wahbah, al-Zuhaîlî al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz IV, (Damsyik: Dâr al-Fikr,
1997), Juz IV, h. 2877.
5
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 154-155.
6
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h.
485.
26
7
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 15.
8
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
1992), h. 156.
27
9
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. 5, h. 85.
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 410.
11
Daniel Oran, Oran’s Dictionary of The Law, (New York: Delmar Cengage Learning,
2008), h. 325.
28
Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka berdua atau sendiri-
sendiri selama masa perkawinan.12
Istilah yang dipakai untuk penamaan harta bersama ini berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain. Di Jawa, harta bersama diistilahkan dengan
gono-gini,13 di Aceh dinamakan dengan hareuta sihareukat, di Minangkabau
disebut dengan harta suarang, di Sunda digunakan istilah guna-kaya, di Bali
disebut dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunan istilah barang
perpantangan.14 Namun dalam penelitian ini istilah yang dipakai adalah “harta
bersama”, karena istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam Undang-
undang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer),
maupun KHI, adalah harta bersama.
Undang-undang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sedangkan dalam bab I tentang Ketentuan Umum pada KHI Pasal 1 huruf (f)
dapat dipahami bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Sementara itu, dalam
KUHPer Pasal 119 dinyatakan bahwa “Sejak saat dilangsungkannya
perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara
suami istri, sejauh hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Jadi, berdasarkan pembahasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa
harta bersama adalah harta benda dalam perkawinan yang dihasilkan oleh
12
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, h. 85.
13
KBBI mendefinisikan kata gono-gini dalam tradisi Jawa sebagai “anak yang hanya dua
bersaudara, laki-laki dan perempuan (dari satu ayah dan satu ibu)”. Kemudian dikembangkan
sebagai konsep tentang persatuan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Oleh
karena itu, harta yang memang berhubungan dengan ikatan perkawinan tersebut kemudian disebut
dengan “harta gono-gini”. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, h. 410.
14
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 3.
29
15
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, h. 8.
16
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 16.
17
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 228-229.
30
18
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, h. 17-18.
19
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, h. 198.
32
bersama, suami dan istri secara bersama menguasainya, dan terhadap harta
bawaan masing-masing dikuasai oleh masing-masing suami istri tersebut.20
Sementara itu pada masyarakat parental dan bilateral, harta bersama
dikuasai bersama oleh suami istri untuk kepentingan bersama dan harta
bawaan dikuasai masing-masing. Hal tersebut jika kedudukan suami istri
sejajar. Sedangkan apabila tidak sejajar, maka harta bersama dikuasai oleh
yang kedudukkannya lebih tinggi.21 Contohnya pada perkawinan di kalangan
orang Sunda antara seorang wanita kaya dengan laki-laki miskin (nyalindung
kagelung) atau sebaliknya antara laki-laki kaya dengan wanita miskin
(manggih kaya).22
Jika dicermati dari pembahasan tentang harta bersama tersebut di atas,
walaupun terdapat keseragaman pemahaman antara setiap daerah mengenai
definisi harta bersama, namun mengenai aturan pembagian harta bersama
terdapat perbedaan antara hukum adat di suatu daerah dengan hukum adat di
daerah lain. Ketidakseragaman ini dikarenakan pembagian harta bersama
dalam hukum adat sangat terpengaruh oleh sistem kekerabatan yang dianut
suatu wilayah adat.
20
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
240.
21
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 240.
22
Amelia Rahmaniah, “Harta Bersama dalam Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 15, No. 1, 2015, h. 71.
33
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi
para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonkanlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesunggunya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat tersebut bersifat umum dan tidak ditujukan kepada suami atau
istri saja, melainkan semua laki-laki dan perempuan. Jika seseorang berusaha
dalam kehidupannya sehari-hari maka hasil usahanya itu merupakan harta
pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.23 Berdasarkan
hal ini, jika dibawakan pada konteks perkawinan, maka harta kekayaan istri
menjadi milik istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian pula sebaliknya
harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya.
Abdul Manan menyebutkan bahwa Hazairin, Anwar Harjono dan
Abdoerraoef berpendapat bahwasanya agama Islam tidak mengatur tentang
harta bersama dalam Alquran, oleh karena itu diserahkan sepenuhnya kepada
mereka (suami istri) untuk mengaturnya.24 Tidak adanya pembahasan harta
bersama dalam hukum Islam ini juga diakui oleh Bustanul Arifin, beliau
menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pemahaman, keadaan dan
susunan masyarakat pada waktu itu belum mengenal konsep harta bersama.25
Namun di Indonesia harta bersama dikenal melalui hukum adatnya
yang diterapkan secara terus menerus sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat, oleh sebab itu harta bersama tidak mungkin untuk disingkirkan.
23
Mesraini, “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama”, Jurnal
Ahkam: Vol. XII No.1 Januari 2012, h. 62.
24
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2008), Ed. 1, Cet. 2, h. 109.
25
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 122.
34
Hal ini didasarkan atas ʻ urf dan kaidah fikih yang berbunyi: ""العادة محكمة
Artinya: “Adat kebiasan itu bisa menjadi hukum”.
Kaidah al-ʻ Âdatu Muẖ akkamah dapat digunakan sebagai salah satu
dalil untuk menetapkan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut, yaitu adat kebiasaan tersebut dapat diterima oleh perasaan sehat dan
diakui oleh pendapat umum, berulang kali terjadi dan sudah umum dalam
masyarakat, kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, dalam artian
tidak boleh adat yang akan berlaku, dan tidak bertentangan dengan nash.27
Alquran tidak memeritahkan dan tidak pula melarang harta bersama
itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, manusia diberi kesempatan untuk
mengaturnya sendiri. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh
manusia atau hanya antara calon suami istri yang mengadakan perjanjian
perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak
boleh bertentangan dengan Alquran dan Hadis.28
Berdasarkan hal ini, Ismuha dalam disertasinya berpendapat bahwa
harta bersama suami istri seharusnya masuk dalam Rubu’ al-Muʻ âmalah,
tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, menurutnya hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah
orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya harta bersama suami
istri. Namun demikian, dalam bab mu‟amalah ditemukan pembahasan
mengenai perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syirkah.29 Menurut
Ismuha, harta bersama tersebut termasuk ke dalam pembahasan perkongsian
atau syirkah. Oleh karena itu, untuk mengetahui hukumnya, perlu dibahas
26
Jalâl al-dîn, al-Suyûṯ î, al-Asybâh wa al-Naẕ âˋ ir fî Qawâʻ id wa furûʻ Fiqh al-
Syâfiʻ î, (al-Qâhirah: Dâr al-Taûfîqiyyah li al-turâts, 2009), h.124.
27
Jalâl al-dîn, al-Suyûṯ î, al-Asybâh wa al-Naẕ âˋ ir fî Qawâʻ id wa furûʻ Fiqh al-
Syâfiʻ î, h. 124. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), Cet. 1, h. 477.
28
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), Cet. 11, h. 113.
29
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), h. 282.
35
31
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.3, h. 115.
32
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 60.
33
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 63-65.
36
34
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 68.
35
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 71.
36
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 70.
37
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Bandung: PT. AL Maarif, 1987), Cet. I, Jilid 13, h. 197.
37
38
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 68-69.
39
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, h. 294.
40
Wahbah, al-Zuhaîlî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2007), h.
799.
38
41
„Abd al-Rahman, al-Jazîrî, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, h. 64.
42
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, h. 198.
43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, h. 198.
39
44
Isma‟il Muhammad Syah, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini Ditinjau
dari Sudut Hukum Islam, h. 38.
45
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. 4, h. 201.
40
46
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-
Undanga No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 303.
42
47
Etty Rochaeti, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol.
28 No. 01, 2013, h. 655.
44
45
46
1
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju hukum yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Ed. 2, h. 83.
2
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, dalam Seri
Bahan Bacaan Kursus untuk Pengacara XI, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
2007, h. 3.
3
Sindiso Ngaba, “CEDAW: Eliminating Discrimination against Women”, Agenda:
Empowering Women for Gender Equity, No. 27, (1995), h. 82.
47
1981.4 Sampai saat ini 189 dari 193 negara anggota PBB telah meratifikasi
konvensi ini.5
CEDAW adalah perjanjian atau kesepakatan internasional yang
komprehensif, yang dirancang untuk melarang semua bentuk diskriminasi
terhadap perempuan di semua bidang kehidupan publik dan pribadi.6 Pada
prinsipnya Konvensi ini lebih menekankan kepada kesetaraan dan keadilan
antara perempuan dan laki-laki, dalam artian persamaan hak dan kesempatan
serta perlakuan dalam segala bidang kehidupan. Kovensi ini juga mendorong
diberlakukannya undang-undang nasional yang melarang diskriminasi serta
mengupayakan terwujudnya kesetaraan de facto antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan tiga prinsip utama Konvensi CEDAW yaitu:
(1) Prinsip persamaan substantif, (2) Prinsip non diskriminasi, dan (3) Prinsip
kewajiban negara. Kaitan antara ketiga prinsip tersebut saling melengkapi dan
memiliki sifat interaktif.
Prinsip persamaan substantif yang dianut oleh Konvensi CEDAW
dalam artian prinsip dalam persamaan terhadap keadilan dan kesetaraan. Hal
ini dapat tergambar dalam upaya untuk merealisasikan hak perempuan yang
ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas ataupun keadaan yang
merugikan perempuan. Ketika hak perempuan telah direalisasikan maka akan
terlihat adanya perubahan lingkungan yang menunjukkan bahwa perempuan
dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam berabagai hal, temasuk kesetaraan
dan keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga serta persamaan
kedudukan dan perlakuan dalam hukum. Prinsip persamaan substantif ini
senada dengan teori keadilan John Rawl yaitu dengan prinsip perbedaan (the
difference principle) dan prinsip kesetaraan dalam kesempatan (the principle
4
Thomas Buergenthal, dkk, International Human Rights, (Saint Paul: West Group,
2002), h. 82.
5
Sabine Machl, “CEDAW and Family Law”, Public Lecture, 14 Mei 2018, (Ciputat:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 2.
6
Michele Brandt and Jeffrey A. Kaplan, “The Tension between Women's Rights and
Religious Rights: Reservations to Cedaw by Egypt, Bangladesh and Tunisia”, Journal of Law and
Religion, Vol. 12, No. 1 (1996), h. 106.
48
7
Defi Uswatun Hasanah, Hak-hak Perempuan dalam Putusan Pengadilan Agama (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam dan Konvensi CEDAW), (Jakarta: Cakrawala Budaya,
2017), h. 55.
8
Diskriminasi langsung yaitu tindakan atau kelalaian yang secara langsung merugikan
perempuan. Seperti, penghentian kerja perempuan karena perkawinan atau kehamilan. Sedangkan
diskriminasi tidak langsung terhadap perempuan, dapat terjadi bila hukum, kebijakan dan program
yang didasarkan pada kriteria yang sepertinya netral jender, yang dalam kenyataannya
mengakibatkan dampak yang merugikan perempuan. Sementara itu diskriminasi berlipat ganda
(multiple discrimination), hal ini bisa terjadi ketika diskriminasi terhadap seorang perempuan
ditambah diskriminasi didasarkan pada aspek-aspek tambahan, seperti ras, identitas etnis atau
keagamaan, kecacatan, umur, kelas, kasta atau faktor-faktor lain. Achie Sudiarti Luhulima,
CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), h.
37. Lihat juga, Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan
dan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
49
akses perempuan pada peluang dan kesempatan yang ada, (c) Negara tidak
saja menjamin, tetapi juga merealisasikan hak perempuan, dan (d) Tidak saja
menjamin secara de jure tetapi juga secara de facto.9
Secara garis besar Konvensi CEDAW terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian pertama berupa pertimbangan, sementara bagian kedua merupakan isi
yang terdiri atas tiga puluh pasal. Ringkasnya konvensi ini mencakup enam
hal penting. Pertama (Pasal 1-6), memberikan definisi tentang apa itu
diskriminasi khususnya diskriminasi terhadap perempuan dan juga
menjelaskan kriteria-kriterianya. Kedua (Pasal 7-9), memusatkan perhatian
pada penghapusan diskriminasi dalam kehidupan politik beserta persoalan-
persoalan umum mengenai kewarganegaraan. Ketiga (Pasal 10-14),
membahas tentang penghapusan diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan,
perawatan kesehatan, kehidipan ekonomi dan sosial, dan hak-hak khusus
untuk perempuan pedesaaan. Keempat (Pasal 15-16), menegaskan tentang
persamaan laki-laki dan perempuan di depan hukum serta dalam kehidupan
perkawinan dan keluarga. Kelima (Pasal 17-22), secara khusus membahas
tentang Komite CEDAW, mekanisme pelaporan dan pemantauan terhadap
perkembangan CEDAW di negara-negara yang ikut meratifikasi. Keenam
(Pasal 23-30), bagian ini berisi tentang penegasan terhadap pentingnya
menegakkan prinsip persamaan di dalam undang-undang negara khususnya di
dalam undang-undang negara pihak maupun di dalam setiap konvensi, traktat
atau perjanjian internasional yang berlaku terhadap para pihak, pemberlakuan
konvensi, ratifikasi, adopsi dan reservasi Konvensi, perselisihan dan bahasa
yang dipakai konvensi.10
Permasalahan tentang harta bersama memang tidak dibahas secara
teknis dalam Konvensi CEDAW, hanya saja secara khusus terdapat dua pasal
dalam konvensi ini yang berkaitan erat dengan hak-hak perempuan dalam
perkawinan dan hukum keluarga, diantaranya persamaan hak di muka hukum
9
Achie Sudiarti Luhulima, CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, h. 53.
10
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, h. 5.
50
11
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007),
h. 23.
12
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, h. 23-25.
51
13
Atabik Ali, Kamus Inggris-Indonesia-Arab Edisi Lengkap, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, 2003), h. 537.
14
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:
Paramadina, 2001), Cet. 2, h. 35.
15
Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction, (California: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4.
16
Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat
kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut”. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi
atas dasar jenis kelamin), dominasi laki-laki, serta sistem patriarki dan melakukan suatu tindakan
untuk menentangnya, adalah seorang feminis. Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat
Jender dalam Tafsir Al-Manar, (Jakarta: el-Kahfi, 2012), h. 32.
17
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice
Hall, 1990), h. 2.
53
satu aktivis keadilan jender, seks atau jenis kelamin adalah sesuatu yang
bersifat natural, biologis, alamiah, tetap, tidak dapat berubah terkait
dengan fungsinya. Sedangkan jender merupakan hal yang bersifat sosial
budaya, dibuat oleh manusia dan merujuk pada tanggung jawab, peran,
perilaku, kualitas, dan hal-hal lainnya yang bersifat maskulin dan feminis,
bersifat tidak tetap dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu
kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya bahkan dari satu keluarga ke
keluarga yang lainnya.18
Adapun menurut Lindsey, Istilah seks lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis
lainnya. Sementara itu, jender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.19
Sedangkan Oakley mengemukakan bahwa jender bukan perbedaan
biologis dan bukan kodrat. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis
kelamin (seks) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen
berbeda. Sedangkan jender adalah perbedaan prilaku (behavioral
differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
melalui proses sosial dan kultural yang panjang.20
Konsep seks, bagi para feminis adalah suatu sifat yang kodrati
(given), alami, dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah-ubah. Konsep seks
hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan
jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil,
melahirkan, menyusui, sementara laki-laki tidak. Sedangkan konsep jender
menurut kaum feminis bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi
merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses
sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lemah
18
Kamla Bhasin, Understanding Gender, Terj. Moh Zaki Hussein, (Jakarta: Teplok
Press, 2003), Cet. 3, h. 4.
19
Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective, h. 2.
20
Ann Oakley, Sex, Gender and Society, (Inggris: Ashgate, 1972), h. 115.
54
21
Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir Al-Manar,
(Jakarta: el-Kahfi, 2012), h. 32.
22
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, Volume. 13 No. 2, Desember 2013, h. 377.
55
23
Egalitarianisme merupakan konsep keadilan yang berdasarkan atas kesamaan atau
kesetaraan. Ini merupakan salah satu bagian dari konsep-konsep umum tentang keadilan. Lihat
Rida Ahida, Keadilan Multikultural, (Jakarta: Ciputat Press, 2008), h. 17.
24
Musdah Mulia, Islam & Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, (Yogyakarta:
Naufan Pustaka, 2010), h. 2.
25
Syafiq Hasyim, dkk, Modul Islam dan Multikulturalisme, (Jakarta: ICIP, 2008), h. 44.
56
3. Ketidakadilan Jender
Ketidakadilan jender terjadi apabila ada diskriminasi terhadap
akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki dalam hal perilaku,
peran, tugas, hak, dan fungsi yang harus dijalankan.27 Hal ini merupakan
kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut
kaum feminis, ketidakadilan jender tersebut muncul karena adanya
kesalahpahaman terhadap konsep jender yang disamakan dengan konsep
seks.28
Pada dasarnya ketidakadilan jender bisa menimpa perempuan
maupun laki-laki. Akan tetapi secara agregat ketidakadilan jender dalam
berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan. Berikut
bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi jender:
a. Subornisasi (Penomorduaan)
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu
jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis
26
Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI , 2001), h. 126.
27
Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam), h. 125.
28
Kholid Hidayatullah, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir Al-Manar, h. 32.
57
c. Marginalisasi (Peminggiran)
Sebagai akibat dari penomorduaan (subornisasi) posisi
perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan
(stereotype), menyebabkan perempuan tidak memiliki peluang, akses
dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber ekonomi.
Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi
mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan
keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirnya atau
termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang
lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan.33
32
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 15-16.
33
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 17.
59
e. Violence (Kekerasan)
Kekerasan bisa terjadi baik kepada perempuan maupun laki-laki,
namun perempuan merupakan komunitas yang lebih rentan dan
potensial menjadi korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya atau
kekerasan yang terjadi akibat bias jender yang dalam literatur
34
Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2008),
h. 19.
35
Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 21.
36
Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, h. 19.
60
37
Umi Sumbulah, Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 15.
38
Dede Wiliam-de Vries, Gender Bukan Tabu, h. 22.
39
Susilaningsih dkk, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Baseline and
Institusional Analysis for Gender Mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijga
kerjasama dengan McGill-IAIN- Indonesia Social Equity Project, 2004), h. 15-16.
61
40
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam”, h. 374.
41
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013), h. 6.
42
Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya
Terhadap Hukum Islam,” h. 374.
62
dengan hak dan kewajibanya masing-masing. Hal ini tergambar dalam Q.s. al
Nahl [16]: 97 yang berbunyi:
Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini dan semacamnya seperti Q.s. al-
Nisa [4]: 12443 dan Ali Imran [3]: 195,44 merupakan ayat yang menekankan
persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal usaha maupun
ganjaran. Kata “man/siapa” yang terdapat pada awal ayat 97 Q.s. an-Nahl ini
sebenarnya sudah dapat menunjukkan kedua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan, tetapi untuk lebih menekankan, sengaja ayat ini menyebut secara
tegas kalimat “baik laki-laki maupun perempuan”. Ayat ini juga menunjukkan
betapa kaum perempuan pun dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat, baik untuk diri dan keluarganya, masyarakat dan bangsanya,
bahkan untuk seluruh manusia.45
Huzaimah Tahido Yanggo dalam bukunya Hukum Keluarga dalam
Islam, menambahkan sebuah hadis yang dijadikan sebagai salah satu dalil oleh
43
Q.s. al-Nisa [4] ayat 124, yang terjemahannya berbunyi, “Dan barang siapa
mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka
mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.”
44
Q.s. Ali Imran [3] ayat 195, yang terjemahannya berbunyi, “...Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amalan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain...”. Maksudnya adalah
sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, maka demikian pula halnya
perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama manusia, tidak ada
kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya. Lihat Kementerian Agama
RI, Al-Qur‟an dan Terjemah New Cordova, (Bandung: sygma, 2012), Cet. 1, h. 75-76.
45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 7, h. 344.
63
47
46
Huzaemah Tahido Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta: Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013), h. 12
47
Abî ʻ Îsâ Muẖ ammad Ibn ʻ Îsâ Ibn Saurah al-Tirmidzî, al-Jâmiʻ u al-Saẖ îẖ Sunan
al-Tirmidzî, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-ʻ Ilmiyah, 2000), Juz 1, h. 90.
48
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 279.
64
49
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
(Jakarta: P3m, 2004), h. 130.
50
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟an, h. 18-19.
51
Sayyid Muhammad Fadhlullah, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Abdul Qadir Al Kaf,
(Jakarta: Lentera, 2000), h. 35.
65
c. Musyawarah
Kata musyawarah terambil dari akar kata َشوَر
َ yang pada mulanya
bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
52
Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praktis Pembebasan,
h. 132.
53
Siti Musdah Mulia, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender,
(Yogyakarta: SM & Naufan Pustaka, 2014), h. 55.
66
54
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol. 2, h. 244.
55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, h.
247.
67
dikenal dengan baik oleh suatu masyarakat. Oleh karena itu, maʻ rûf
mengandung arti suatu yang dikenali dengan baik.56
Jadi Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf memiliki pengertian kebersamaan
antara dua pihak yang dijalani atas dasar kebaikan. Hal ini mencakup
hubungan antar saudara, sahabat, teman, suami istri, keluarga dan lain
sebagainya. Cakupan Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf juga terdapat pada
situasi dan kondisi budaya dan tradisi suatu masyarakat. Dapat dikatakan
bahwa Muʻ âsyarah bi al-Maʻ rûf merupakan tindakan yang
memanusiakan manusia karena menganggap semua manusia harus
diperlakukan dengan baik tanpa memandang jenis kelamin.
Berkaitan dengan pola hubungan antara suami istri, Alquran
menyebutkan bahwa hubungan suami dan istri berlandaskan pada azas
kemitraan, yang keberadaan keduanya saling melengkapi, prinsip keadilan
selalu ditegakkan di manapun dan dalam keadaan apapun. Hubungan
antara suami istri tidak hanya sebatas hubungan seks saja akan tetapi
merupakan interaksi yang idealnya penuh dengan kedewasaan; dewasa
dalam bersikap terhadap pasangan, terhadap keluarga dan terhadap anak.57
56
Husain, Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yogyakarta: Lkis, 2012), h. 144.
57
Athiyatussa’adah Al Badriyah, Pemikiran Kiai Husain Muhammad tentang
Mu‟asyaroh bil Ma‟ruf antara suami istri dalam upaya membentuk keluarga, 2014, h. 23. diakses
dari http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3467, tanggal 29 Mei 2018.
68
1
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
70
71
Pinang dan menempati gedung baru dengan tanah yang masih menumpang
pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada saat
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. Alimi BA
diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara
yang masuk, mereka diantaranya: KH. Ya’kub, KH. Muhdats Yusuf,
Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, Drs. H. Noer Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu masa kepemimpinan Drs. H.
Djabir Manshur, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
ke Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan dengan menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun
tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat
Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah penduduk dan jalan
masuk dengan kelas jalan III C, namun sudah lebih baik dari pada tempat
sebelumnya, pembenahan-pembenahan fisik terus dilakukan terutama pada
masa kepemimpinan Bapak Drs. H. Jayusman, S.H. Begitu pula
pembenahan-pembenahan administrasi terutama pada masa kepemimpinan
Bapak Drs. H. Ahmad Kamil, S.H. pada masa ini pula Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun hanya sebatas
pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak
Drs. Rif’at Yusuf.2
Sementara itu, pada tahun 2000 ketika kepemimpinan dijabat oleh
Bapak Drs. H. Zainuddin Fajari, S.H. pembenahan-pembenahan semua
bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan sistem komputerisasi dengan
online komputer, dan ini terus dibenahi sampai sekarang oleh Ketua
Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan
dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa.
Pada tahun 2007-2008 dalam kepemimpinan Drs. H. A. Choiri,
S.H., M.H. pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun
2
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
72
non fisik sudah terintegrasi dengan online komputer, pada periode ini juga
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil menyediakan tanah untuk
bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di Jl. Harsono RM,
Ragunan, Jakarta Selatan. kemudian sejak tahun 2008 telah dibangun
gedung baru yang sesuai dengan purwarupa Mahkamah Agung RI.
Pembangunan dilaksanakan dua tahap, tahap pertama tahun 2008 dan
tahap kedua tahun 2009 pada saat itu Pengadilan Agama Jakarta Selatan
diketuai oleh Bapak Drs. H. Pahlawan Harahap, S.H., M.A.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan
Agama Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung
baru lainnya di Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah
Agung RI. Kemudian pada awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan
sekaligus dimulainya aktifitas perkantoran di gedung baru tersebut, pada
saat itu Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H.
Ahsin A. Hamid, S.H.3
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan melakukan pembenahan
dalam segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan
maupun dalam hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah
semakin canggih disertai dengan program-program yang menunjang
pelaksanaan tugas pokok, seperti program SIADPA (Sistem Informasi
Administrasi Perkara Pengadilan Agama) yang sudah berjalan dan
terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen (KIOS-K) serta
beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pa-
jakartaselatan.go.id.
Setelah masa jabatan Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H. berakhir, maka
jabatan ketua periode 2011-2013 beralih pada Drs. H. Yasardin, S.H.,
M.H., pada periode 2013-2015 jabatan ketua diduduki oleh Dr. Imron
Rosyadi, S.H., M.H., sementara itu pada periode 2015-2016 diketuai oleh
3
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
73
Sumber: http://pa-jakartaselatan.go.id
4
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/sejarah-
pengadilan.
74
5
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Selatan”,
diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-pengadian/visi-dan-misi.
75
6
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Tugas dan Fungsi Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, diakses pada 01 Agustus 2018 dari http://pa-jakartaselatan.go.id/tentang-
pengadian/tugas-dan-fungsi.
76
4. Wilayah Yurisdiksi
Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan mencakup
seluruh wilayah Kota Jakarta Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan,
yaitu: Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Pasar Minggu, Jagakarsa,
Mampang Prapatan, Pancoran, Kebayoran Baru, Setiabudi, Tebet, dan
Cilandak.
5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengacu
pada Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/004/II/92 tentang
organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, KMA Nomor 5 Tahun 1996 tentang Struktur Organisasi
Peradilan, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.
Berikut bagan struktur Pengadilan Agama Jakarta Selatan tahun 2018:7
7
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, “Bagan Struktur Pengadilan Agama Jakarta
Selatan”, diakses pada 01 Agustus 2018 dari https://www.pa-jakartaselatan.go.id/tentang-
pengadian/struktur-organisasi.
77
KETUA
Drs. H. Uyun Kamaluddin, S.H., M.H.
WAKIL KETUA
Hj. Atifaturrahmaniyah, S.H., M.H.
HAKIM HAKIM
1. Drs. Yusran, M.H. 10. Drs. H.Uu Abd Haris, M.H.
2. Dra. Hj. Fauziah, M.H. 11. Ahmad Bisri, S.H., M.H.
3. Drs. H. Jarkasih, M.H. 12. Drs. H. Ilham Suhrowardi, M.H.
4. Drs. H. Ace Ma’mun, M.H. 13. Dr. H. Farid Ismail, S.H., M.H.
5. Drs. H. Nur Yahya, M.H. 14. Drs. H. M Anas Malik, S.H., M.H.
6. Drs. H. Zainal Arifin, S.H., M.H. 15. Drs. Cece Rukmana Ibrahim, S.H., M.H.
7. Drs. H. Syafi’uddin, S.H., M.H. 16. Dra. Neneng Susilawati, M.H.
8. Drs. Nurmujib, M.H. 17. Drs. H. Abdul Jabar, M.H.
9. Drs. Abdul Shomad 18. Dra. Raden Ayu Husna AR
PANITERA SEKRETARIS
Sufyan, S.H. Dodo Surganda, S.H., M.Pd.
8
Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 18 Mei
2018.
9
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
79
3. Pendaftaran Perkara
Calon penggugat kemudian menghadap ke Meja Dua dengan
menyerahkan surat gugatan dan SKUM yang telah dibayar. Kemudian
Meja Dua mendaftarkan gugatan dalam register, memberi nomor perkara
sesuai dengan nomor pada SKUM, kemudian memberikan kembali kepada
calon penggugat satu helai salinan, kemudian mengatur berkas perkara dan
menyerahkannya kepada ketua pengadilan melalui panitera.
petitum yang telah diminta atau menentukan hal lain seperti melakukan
perdamaian atau mencabut gugatannya.
Tahapan terakhir adalah putusan, dimana hakim setelah memeriksa
gugatan harta bersama, kemudian telah dilakukan proses jawab menjawab
antara para pihak, serta telah dilakukan pembuktian, maka hakim akan
melakukan pertimbangan perihal gugatan yang diajukan termasuk juga
perihal jawaban tergugat serta pembuktian dari masing-masing pihak.12
Apabila putusan telah dibacakan, maka terhitung empat belas hari
sejak putusan dibacakan, para pihak diberikan kesempatan untuk
melakukan upaya banding ke Pengadilan Tingi Agama. Namun setelah
lewat waktu empat belas hari, maka putusan telah dinyatakan berkekuatan
hukum tetap dan masing-masing pihak harus menjalankan putusan
tersebut.13
12
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
13
Kamarusdiana, dkk, “Penyelesaian Sengketa Harta Bersama di Jakarta”, (Laporan
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 42.
82
Tabel 4.1
Jumlah Perkara yang Diterima dan Diputus
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2014-2017
Jumlah Keseluruan Perkara Harta
NO Tahun Perkara Bersama
Diterima Diputus Diterima Diputus
1 2014 4063 4038 29 24
2 2015 4209 4064 26 11
3 2016 4500 4336 25 17
4 2017 5056 5043 36 18
Jumlah 17828 17463 116 70
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
14
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang Diterima
dan Diputus tahun 2014-2017.
83
2014, dari 4038 perkara yang diputus, hanya dua puluh empat yang
merupakan putusan perkara harta bersama. Sedangkan pada tahun 2015, dari
4064 perkara yang diputus, hanya sebelas saja yang merupakan putusan
perkara harta bersama. Adapun pada tahun 2016, dari 4336 perkara yang
diputus, hanya tujuh belas yang merupakan putusan harta bersama. Sementara
itu pada tahun 2017, dari 5043 perkara yang berhasil diputus, hanya delapan
belas yang merupakan putusan perkara harta bersama. Kondisi demikian tidak
jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Dalam penelitian ini, salinan putusan harta bersama yang berhasil
dikumpulkan mulai dari putusan tahun 2013 hingga tahun 2017 berjumlah
lima puluh salinan. Untuk lebih jelas bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2
Daftar Perkara Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
Tanggal
NO Nomor Perkara Keterangan
Diputus/Dicabut
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
3 1006/Pdt.G/2013/PA.JS 03 Juni 2014 N.O
4 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014 Damai
5 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
6 2395/Pdt.G/2013/PA.JS 07 April 2014 N.O
7 3079/Pdt.G/2013/PA.JS 08 Mei 2014 Dicabut
8 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014
9 759/Pdt.G/2014/PA.JS 05 Agustus 2014 Dicabut
10 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014 Damai
11 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015
12 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015
13 1692/Pdt.G/2014/PA.JS 22 Juli 2014 Dicabut
14 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28 April 2015
15 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2015
16 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03 Maret 2016
17 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21 Mei 2015
84
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari lima puluh perkara harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang bisa diakses, ada dua
85
belas perkara dicabut, tujuh perkara dinyatakan tidak dapat diterima (N.O =
Niet Ovankelijk verklaard), satu perkara ditolak karena harta yang
diperkarakan bukan termasuk harta bersama, tetapi merupakan hibah dari
orang tua tergugat, dua perkara dicoret dari register karena tidak menambah
panjar biaya perkara, satu perkara digugurkan karena penggugat dan kuasa
hukumnya tidak datang menghadap ke pengadilan meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut, satu perkara merupakan permohonan pemisahan harta
bersama, dan selebihnya yaitu dua puluh enam perkara merupakan gugatan
harta bersama yang telah diputus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
telah berkekuatan hukum yang tetap.
Dari semua data yang terkumpul, salinan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu setiap
salinan putusan yang perkaranya dinyatakan tidak dicabut, tidak N.O, tidak
dibatalkan atau dicoret, tidak digugurkan, dan perkara yang tidak ditolak.
Alasannya karena semua jenis putusan tersebut sudah jelas statusnya, yaitu
perkara tersebut tidak diproses lebih lanjut dalam persidangan, sehingga tidak
bisa ditemukan prosentase pembagian harta bersama di dalamnya, oleh karena
itu tidak ada yang perlu dikaji dan dianalisis terhadapnya.
Dengan demikian, data yang akan dianalisi berjumlah dua puluh enam
salinan putusan, sebagaimana pada tabel berikut:
Tabel 4.3
Perkara Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2013-2017 yang Akan di Analisis
NO Nomor Perkara Tanggal Diputus Jalur Gugatan
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014 Murni
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014 Kumulasi Cerai Gugat
3 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014 Murni
4 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014 Murni
5 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014 Murni
6 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014 Murni
7 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015 Murni
8 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015 Murni
86
Dari data di atas dapat kita ketahui bahwa dari dua puluh enam sampel
putusan yang akan di analisi, dua puluh putusan diantaranya tergolong perkara
gugatan harta bersama murni, lima salinan putusan tergolong perkara harta
bersama yang diakumulasi dengan gugat cerai oleh istri, dan satu salinan
putusan merupakan perkara harta bersama yang diakumulasi dengan
permohonan cerai talak oleh suami.
Berdasarkan sampel data yang diteliti, diketahui bahwa gugatan harta
bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak hanya terjadi pada
pasangan suami istri yang dulu sama-sama bekerja di wilayah publik dan
mereka sama-sama menghasilkan uang untuk keluarga, melainkan juga terjadi
pada pasangan yang sumber keuangan keluarga mereka dulu hanya dihasilkan
oleh salah satu pihak saja. Berikut tabel yang memuat kesimpulan peneliti
tentang hal tersebut:
87
Tabel 4.4
Gugatan Harta Bersama di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Tahun 2013-2017 Dilihat dari Pihak yang Mengajukan Gugatan
Penggugat dan
NO Nomor Perkara Tanggal Diputus
Tergugat
Suami bekerja
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Oktober 2014
gugat istri bekerja
Istri tidak bekerja
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja
3 1774/Pdt.G/2013/PA.JS 23 Januari 2014
gugat istri bekerja
Istri bekerja
4 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22 Juli 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja
5 253/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Desember 2014
gugat istri bekerja
Istri bekerja
6 916/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2014
gugat suami bekerja
Suami bekerja gugat
7 1198/Pdt.G/2014/PA.JS 23 Maret 2015
istri tidak bekerja
Istri bekerja
8 1266/Pdt.G/2014/PA.JS 30 Maret 2015
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
9 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28 April 2015
gugat suami bekerja
Istri bekerja
10 1871/Pdt.G/2014/PA.JS 13 Mei 2015
gugat suami bekerja
Istri bekerja
11 2528/Pdt.G/2014/PA.JS 03 Maret 2016
gugat suami bekerja
Suami bekerja
12 2623/Pdt.G/2014/PA.JS 21 Mei 2015
gugat istri bekerja
Suami bekerja gugat
13 575/Pdt.G/2015/PA.JS 07 April 2015
istri tidak bekerja
Istri bekerja
14 1084/Pdt.G/2015/PA.JS 11 Januari 2017
gugat suami bekerja
Suami bekerja
15 1744/Pdt.G/2015/PA.JS 05 September 2016
gugat istri bekerja
Istri bekerja
16 3148/Pdt.G/2015/PA.JS 03 Februari 2016
gugat suami bekerja
Istri tidak bekerja
17 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14 Februari 2018
gugat suami bekerja
88
89
90
atau ada solusi lain yang ditawarkan majelis hakim demi mewujudkan putusan
yang berkeadilan jender.
1
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), Cet. 2, h. 138-139.
91
dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Hal itu
yang menjadi inti hukum Islam yang mencakup berbagai dimensi: syariah,
fikih, fatwa, qanun, qadha, dan adat. Ia merupakan perwujudan hukum Islam
yang bercorak keindonesiaan. Keempat, saluran dalam aktualisasi KHI antara
lain pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, sebagaimana dapat
ditafsirkan secara teleologis dari Penjelasan Umum KHI.2
Walaupun KHI tidak termasuk ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesian seperti yang diatur dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,3 namun
tujuan penyusunan dan penyebarluasan KHI adalah untuk memenuhi
kekosongan hukum substansial bagi orang-orang yang beragama Islam,
terutama berkenaan dengan penyelesaian sengketa keluarga di pengadilan
dalam lingkup Peradilan Agama.4 Maka berdasarkan Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25
Juli 1991 yang dikirim kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan
Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia, sejak saat itu, secara formal
KHI diberlakukan sebagai hukum materil bagi lingkungan Peradilan Agama di
Seluruh Indonesia.5
Dengan demikian, maka KHI tentu diharapkan dapat dipedomani oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan setiap persoalan hukum yang
telah diatur dalam kompilasi tersebut, termasuk di dalamnya mengenai
2
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 9.
3
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menetapkan bahwa jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c) Undang-undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, d) Peraturan Pemerintah, e) Peraturan Presiden, f) Peraturan Daerah
Provinsi, g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
4
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, h. 14.
5
Mesraini, “Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi Hukum
Islam dalam Perspektif Jender”, (Tesis, Program Studi Syariah Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 108.
92
khususnya akan menjamin hak yang sama untuk kedua suami istri
bertalian dengan pemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi,
penikmatan dan memindahtangankan harta benda, baik secara cuma-
cuma maupun dengan penggantian berupa uang.
bersifat passiva.6 Jadi, baik harta maupun beban hutang harus dibagi di
antara suami dan istri dalam pembagian harta bersama pasca perceraian.
Pasal 89, 90, 91, dan 92 KHI di atas termasuk pasal yang sangat
mendukung keadilan jender, karena semua ketentuannya memberikan
kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah
hubungan perkawinan. Hal ini sesuai dengan salah satu perintah dari
Konvensi CEDAW untuk tujuan menghapus segala bentuk diskriminasi,
perintah tersebut terdapat pada Pasal 2 huruf (a) yang berbunyi
“Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
Undang-undang”.
Kemudian Pasal 93 ayat (1) menjelaskan “Pertanggungjawaban
terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada harta masing-masing”,
ayat (2) “Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama”, ayat (3) “Bila
harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami”, dan ayat
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada
harta istri”.
Ketentuan di atas membahas tentang hutang suami, hutang istri,
maupun hutang bersama suami istri. Berdasarkan aturan tersebut dapat
dipahami bahwa suami atau istri bertanggungjawab atas hutangnya
masing-masing, maksudnya hutang yang secara khusus dimiliki suami
atau istri menjadi tanggung jawab masing-masing. Misalnya, salah satu
dari mereka mempunyai hutang sebelum mereka menikah, maka hutang
itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ketentuan ini tidak berlaku jika
hutang tersebut terkait dengan kepentingan keluarga, apabila ternyata
hutang tersebut dibuat demi kebutuhan bersama suami istri maka keduanya
sama-sama bertanggung jawab atas hutang tersebut. Namun apabila harta
bersama ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang, maka suami
6
Anshary MK, Hukum Perkawinan Indonesia: Masalah-masalah Krusial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 138.
96
7
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2008), h. 35.
97
8
Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h.
65.
98
sebagainya”, lalu pada ayat (2) disebutkan “Selama masa sita dapat
dilakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan
izin Pengadilan Agama”. Selanjutnya dalam Pasal 96 ayat (2) disebutkan
“Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar keputusan Pengadilan
Agama”.
Pasal 88, 95, dan 96 ayat (2) di atas menunjukkan bahwa
Pengadilan Agama adalah instansi yang berwenang dalam penyelesaian
perkara harta bersama. Suami dan istri diberikan hak yang berimbang
untuk mengajukan perkara harta bersama ke Pengadilan Agama. Bahkan,
apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang dapat merugikan dan
membahayakan harta bersama, seperti pemboros, penjudi, pemabuk, dan
sebagainya, maka pihak yang lain dapat meminta Pengadilan Agama untuk
meletakkan sita jaminan (sita marital) atas harta bersama tersebut,
meskipun mereka tidak mengajukan perceraian. Pengaturan mengenai sita
marital dalam pasal ini juga bertujuan sebagai antisipasi untuk
mengamankan posisi harta bersama tersebut, yakni mencegah salah satu
pihak yang menguasai akses terhadap harta bersama yang sedang
diperkarakan untuk dialihkan, misalnya dijual atau disembunyikan
sehingga menyulitkan prosesnya di pengadilan.9
Dengan memberikan hak yang sama bagi suami atau istri untuk
mengajukan perkara ke jalur hukum, berarti telah menggambarkan
ketentuan yang mendukung semangat keadilan jender. Hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 15 ayat (1) Konvensi CEDAW “Negara-negara peserta
wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di
muka hukum”. Ketentuan ini juga sejalan dengan Pasal 2 huruf (c)
Konvensi CEDAW yang mengatakan:
9
Asni, “Idealisasi Perlindungan Istri dalam Penerapan Hukum Harta Bersama di
Pengadilan Agama”, Al-Manahij, Vol. IX No. 2, 2015, h. 291.
99
10
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Kibar Press,
2007), h. 159.
101
11
Arskal Salim, Euis Nur Laelawati, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi
Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Jakarta: PUSKUMHAM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 72.
102
harta bersama dibagi dua sama rata antara mereka berdasarkan ketentuan
yang ada dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 KHI tersebut. Hal ini
karena istri pada dasarnya tidak dikenakan kewajiban mencari nafkah,
akan tetapi terpaksa harus melakukannya demi kelangsungan hidupnya
dan keluarga, dan ketika hubungan perkawinan berakhir, jerih payahnya
harus dibagi dua dengan suami yang tidak melakukan kewajibannya, maka
sudah pasti ketentuan tersebut mengandung unsur diskriminasi apabila
tetap diterapkan.
Pembagian harta bersama dalam perkawinan perlu didasarkan pada
aspek keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang dimaksud
mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak
mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak
perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Pengaturan tentang pembagian harta bersama sebagaimana yang
ditetapkan oleh KHI tersebut sebenarnya telah berupaya memberikan hak
yang sama untuk suami dan istri dengan memberikan porsi yang setara
untuk masing-masing pihak ketika hubungan perkawinan telah berakhir.
Namun secara tidak langsung ketentuan tersebut dapat menimbulkan
diskriminasi baik terhadap wanita maupun laki-laki. Diskriminasi tidak
langsung bisa terjadi apabila ketentuan hukum didasarkan pada kriteria
yang sepertinya netral jender, tetapi dalam kenyataannya mengakibatkan
dampak yang merugikan bagi salah satu pihak, baik bagi laki-laki maupun
perempuan.12
Ketentuan pembagian harta bersama yang ada dalam Pasal 96 ayat
(1) dan Pasal 97 KHI tersebut mengandung makna yang double standar
dalam artian disatu sisi penerapannya bisa dipandang mendukung keadilan
jender, namun disisi lain penerapannya bisa menyebabkan ketidakadilan
jender karena mengandung unsur yang diskriminatif. Hal ini menunjukkan
12
Louisa Magdalena Lapian Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 57.
103
Tabel 5.1
Hasil Pembagian Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
Tanggal Pembagian
NO Nomor Perkara
Diputus Harta Bersama
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23-10- 2014 Suami 1/3, Istri 2/3
2 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari dua puluh enam
sampel putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang perkara
harta bersama tahun 2013-2017, ditemukan hasil pembagian yaitu sebanyak
delapan belas putusan dibagi dengan porsi fifty-fifty atau dibagi dua sama rata,
lima putusan diselesaikan dengan kesepakatan perdamaian, satu putusan
dibagi berdasarkan surat perjanjian harta bersama, dan dua putusan lainnya
yaitu Putusan Nomor 981/Pdt.G/2013/PA.JS dengan porsi suami memperoleh
1/3 dan istri 2/3, sedangkan Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS dibagi
dengan porsi istri memperoleh 40% dan suami sebanyak 60% dari harta
bersama.
Sampel dari putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
harta bersama tahun 2013-2017 di atas akan dianalisis dan diklasifikasikan ke
dalam beberapa fokus pembahasan berikut ini.
Tabel 5.2
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Istri bekerja Menggugat Suami Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan Harta Bersama
Diputus
1 2128/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)
digugat oleh istri bekerja terhadap suami bekerja berdasarkan pada aturan
Pasal 97 KHI dengan porsi dibagi dua sama rata. Namun terdapat satu
putusan yang mana hakim memberikan porsi harta bersama untuk suami
lebih besar dibandingkan porsi harta bersama untuk istri, dengan
perbandingan 60% untuk suami dan 40% untuk istri, yaitu Putusan Nomor
1266/Pdt.G/2014/PA.JS. Untuk mengetahui alasan hakim sehingga
memberikan porsi lebih banyak terhadap suami bekerja yang digugat oleh
istri yang juga bekerja, serta apakah pembagian ini tergolong mendukung
semangat keadilan jender atau tidak, maka perlu dianalisa lebih dalam,
oleh karena itu, berikut akan dideskripsikan tentang kasus posisi dalam
putusan tersebut:
Pengugat adalah Mulyati Thaher binti Mohamad Thaher, umur 58
tahun, menggugat Mohamad Hidayat Rahman bin Abdul Rahman, umur
60 tahun. Penggugat dan tergugat dahulunya adalah pasangan suami istri
yang telah menikah secara sah sesuai aturan hukum dan ajaran agama
Islam pada tanggal 13 Oktober 1979 serta telah dikarunia 2 (dua) orang
anak. Hubungan pernikahan penggugat dan tergugat berkahir Pada tahun
1986 dengan perceraian di hadapan majelis hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, kemudian pada tanggal 17 Januari 1987 rujuk lagi
sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akte Nikah tertanggal 17 Januari
1987. Setelah pernikahan kedua tersebut, penggugat dan tergugat bercerai
kembali pada tanggal 17 Desember 2013 sesuai isi putusan perceraian
Nomor 1123/Pdt.G/2013/PA.JS.
Selama masa perkawinan, penggugat dan tergugat telah
memperoleh harta bersama yang hingga saat ini belum pernah dilakukan
pembagian, yaitu berupa sebidang tanah dan bangunan ruko permanen
yang terletak di Jalan RC. Veteran No. 29 Rt. 011/001 Kelurahan Bintaro,
Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, sesuai dengan Sertifikat Hak
Milik atas nama tergugat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasiona
(BPN) Jakarta Selatan tertanggal 01 November 1982, dengan batas-batas
tanah, sebelah Utara berbatasan dengan rumah ibu Meutia, sebelah Timur
109
Tabel 5.3
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Suami bekerja Menggugat Istri Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan
Diputus Harta Bersama
1 981/Pdt.G/2013/PA.JS 23-10-2014 Suami 1/3, Istri 2/3
jawaban tertulis tanggal 4 Juli 2013 yang pada pokoknya dalam konvensi
tidak membenarkan bahwa harta tersebut disebut sebagai harta bersama
penggugat dan tergugat karena beberapa alasan, diantaranya:
Bahwa selama perkawinan antara tergugat dengan penggugat
berlangsung yaitu selama empat puluh lima tahun penggugat tidak
memenuhi kewajibannya sebagai suami dan ayah, baik memberikan
nafkah belanja rumah tangga maupun keperluan-keperluan lainnya untuk
kebutuhan terutama biaya pendidikan anak-anak tergugat dan penggugat
ketika mereka masih berada di bawah umur. Oleh karena itu tergugat
sebagai istri selama perkawinan a quo yang menanggung seluruh
kebutuhan rumah tangga dan biaya pendidikan untuk ketiga anak-anak
tersebut serta kebutuhan-kebutuhan lain seperti menyediakan pakaian,
perlengkapan sekolah dan uang saku untuk mereka.
Penggugat juga telah berkhianat kepada tergugat yaitu selain telah
berselingkuh dengan seorang perempuan bahkan telah juga melakukan
nikah siri dengan seorang perempuan tanpa seizin dan sepengetahuan
tergugat sebagaimana terbukti dalam Kartu Keluarga dan Kartu Tanda
Penduduk Penggugat yang beralamat ditempat lain. Penggugat juga sering
berdusta kepada tergugat yaitu berkata akan kuliah padahal kenyataannya
bermain-main dengan perempuan. Padahal kuliah penggugat dibiayai dari
uang tergugat. Oleh karena itu sudah sangat jelas penggugat sama sekali
tidak memiliki prestasi, tidak memiliki usaha, tidak memiliki jasa, tidak
memiliki andil dan bahkan tidak memiliki perhatian dalam perjalanan
kehidupan rumah tangga antara tergugat dan penggugat. Sebaliknya yang
sangat memperhatikan hal-hal tersebut adalah hanya tergugat sendirian
sebagai istri.
Dalam rekonvensi, bahwa penggugat rekonvensi atau tergugat
secara sah memiliki satu bidang tanah atau rumah yang terletak di jalan
Cemara No. 50 RT. 09 RW. 07 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan
Pulogadung, Jakarta Timur. Namun tanah atau rumah tersebut sampai saat
ini dihuni oleh tergugat rekonvensi tanpa seizin penggugat rekonvensi.
119
Menimbang, bahwa terhadap objek sengketa huruf (h), (i), dan (j),
objek tersebut harus dinyatakan tidak dapat di terima dikarenakan objek
sengketa tidak jelas atau kabur. Sedangkan terhadap objek sengketa huruf
(k), harus dinyatakan ditolak karena harta tersebut bukan milik penggugat
maupun tergugat melainkan milik anak penggugat dan tergugat.
Majelis hakim juga memasukkan beberapa pasal dari Undang-
undang Perkawinan dan KHI ke dalam pertimbangannya, yaitu bahwa
“Harta bersama adalah harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak
yang diperoleh selama masa perkawinan, dengan tidak mempersoalkan
siapa yang memperoleh harta tersebut dan atas nama siapa harta itu
tercatat” (vide Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1
Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 Tahun 1991).
Pasal 85 KHI yang berbunyi “Adanya harta bersama dalam
perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-
masing suami atau istri.” Dan berdasarkan ketentuan Pasal 86 yang
berbunyi “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
istri karena perkawinan”. Oleh karenanya “harta istri tetap menjadi hak
istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.
Pasal 87 yang berbunyi “Harta bawaan dari masing-masing suami
istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dan “Suami dan istri
memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya”.
Majelis hakim juga memasukkan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) di dalam pertimbangannya, yaitu
yurisprudensi MARI No. 151/K/Sip/1974 tanggal 16 Desember 1975
yang menyatakan “Setiap harta yang dibeli dari hasil penjualan harta
bawaan, bukanlah harta bersama”. Dan Yurisprudensi MARI No. 803
K/Sip/1970 tanggal 05 Mei 1970 yang menyatakan “Setiap apa saja yang
121
dibeli, jika uang pembelianya berasal dari harta bawaan, maka “melekat”
harta dimaksud, sekalipun pembeliannya dilakukan dalam masa
perkawinannya”.
Dalam pertimbangannya majelis hakim juga mengatakan bahwa
pada dasarnya dalam menentukan bagian masing-masing pihak dari harta
bersama mengacu pada ketentuan Pasal 97 KHI yang menyatakan “Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, akan tetapi
dalam kasus ini majelis hakim akan melihat secara seksama, apakah
pembagian “seperdua” bagi janda atau duda hidup tersebut dipandang adil.
Menimbang, bahwa secara normatif pembagian apabila dilihat dari
sudut filosofi lahirnya ketentuan tersebut di atas, maka masalah yang
paling substansial dari ketentuan tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak istri yang akan diceraikan, karena pada
umumnya istri berdiam diri di rumah tidak punya penghasilan (sesuai
ketentuan agama) dan waktu kesehariannya dihabiskan untuk mengerjakan
tugas-tugas rumah tangga yang tidak ringan dibandingkan tugas suami,
dalam kondisi yang demikian alangkah tidak adilnya apabila tidak
diberikan perlindungan, sudah dipastikan kalau terjadi perceraian maka
sang istri akan pergi dengan tangan hampa, membawa duka yang amat
dalam, sedangkan dalam masa perkawinan dengan suami tercinta
dikaruniai harta dan kekayaan. Oleh sebab itu dalam kondisi seperti yang
dimaksudkan, amat sangat wajar dan adil sekali ketentuan Pasal 97 KHI
untuk disimpangi.
Dalam persidangan majelis hakim menemukan fakta-fakta hukum
bahwa tergugat bekerja sebagai notaris dan dosen pada Universitas
Indonesia, sedangkan tergugat adalah PNS golongan II C pada Dirjen
Kehutanan (dahulu) Departemen Pertanian, antara penggugat dengan
tergugat telah bercerai sejak 14 Februari 2013. Bahwa terbukti penggugat
telah menikah secara diam-diam dengan perempuan yang bernama Euis
Kuraesin tahun 1988 dan dikaruniai 3 orang anak. Tergugat (mantan istri)
122
juga terbukti telah bertindak sebagai single parent dalam merawat dan
membesarkan anak-anak, sementara penggugat lalai dalam memberikan
nafkah istri dan anak-anak, dan pada kasus ini telah terbukti tergugat yang
lebih aktif berusaha untuk mendapatkan harta bersama, sehingga tidak adil
jika separuh bagian diterapkan dalam kasus tersebut.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menyatakan bahwa
sekalipun secara yuridis, harta yang diperoleh dalam perkawinan adalah
harta bersama tanpa mempersoalkan siapa yang memperolehnya dan harus
dibagi dua sama besar antara penggugat dengan tergugat, akan tetapi
secara sosiologis, peran istri baik di dalam mencari nafkah atau memikul
tanggung jawab yang besar di dalam merawat dan membesarkan anak-
anak sejak tergugat menikah lagi, secara filosofis, majelis hakim
memandang adanya ketidak adilan jika ketentuan pasal 97 KHI secara
serta merta diterapkan dalam kasus ini. Oleh karena itu atas dasar
pertimbangan peran dan tanggung jawab yang dipikul selama ini oleh
tergugat, maka bagian tergugat harus lebih besar dari penggugat.
Berdasarkan fakta dan pertimbangan di atas, maka majelis hakim
memutuskan dalam konvensi, bahwa objek sengketa huruf (c), (d), dan (e)
adalah merupakan harta bersama antara pengguat dan tergugat yang belum
dibagi. Menetapkan penggugat berhak atas 1/3 (satu pertiga) dan tergugat
berhak atas 2/3 (dua pertiga) bagian dari harta bersama, serta menghukum
tergugat untuk menyerahkan 1/3 bagian kepada penggugat yang
merupakan hak milik penggugat. Dalam rekonvensi majelis hakim
menyatakan harta berupa sebidang rumah atau tanah yang terletak di jalan
Cemara No. 50 RT. 09 RW. 07 Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan
Pulogadung, Jakarta Timur sebagai milik sah penggugat rekonvensi (istri)
atau tergugat konvensi dan tergugat rekonvensi atau penggugat dalam
konvensi (suami) diperintahkan untuk mengembalikannya.
Setelah membaca putusan di atas, ternyata alasan hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan memberikan porsi harta bersama lebih
besar kepada istri dibandingkan bagian suami didasarkan pada fakta-fakta
123
Hal ini sesuai dengan Pasal 2 huruf (d) Konvensi CEDAW yang
menyatakan:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan
dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala
cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk mencapai
tujuan itu, maka “Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin pejabat-pejabat
pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan
kewajiban tersebut”.14
14
Pasal 2 Konvensi CEDAW: “Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap
perempuan dalam segala bentuknya, bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat
dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan , dan untuk mencapai tujuan itu, melakukan:
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam konstitusi nasional atau
perundang-undangan lainnya yang tepat bila belum dicantumkan, dan untuk menjamin
realisasi praktis dari azas ini melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat.
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan lainnya termasuk
sanksi-sanksinya jika diperlukan, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan.
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan
kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-
badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap setiap
tindakan diskriminasi.
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan
menjamin pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai
dengan kewajiban tersebut.
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakukan diskriminasi terhadap
perempuan oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan.
f) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk
mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan
praktek-praktek yang diskriminatif terhadap perempuan.
g) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap perempuan”.
125
15
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 137-138.
126
Tabel 5.4
Putusan Gugatan Harta Bersama
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2013-2017
dalam Kasus Istri Tidak bekerja Menggugat Suami Bekerja
Tanggal Pembagian
NO Nomor Putusan
Diputus Harta Bersama
1 993/Pdt.G/2013/PA.JS 22-07-2014 Fifty-fifty (50:50)
2 1853/Pdt.G/2014/PA.JS 28-04-2015 Fifty-fifty (50:50)
3 2443/Pdt.G/2016/PA.JS 14-02-2018 Fifty-fifty (50:50)
4 3040/Pdt.G/2016/PA.JS 29-11-2017 Fifty-fifty (50:50)
5 3196/Pdt.G/2016/PA.JS 29-08-2017 Fifty-fifty (50:50)
6 593/Pdt.G/2017/PA.JS 06-09-2018 Fifty-fifty (50:50)
di Kelurahan Pondok Pinang Jakarta Selatan atas nama tergugat dan tanah
seluas 302 m2 berikut bangunan atau rumah yang dibeli berdasarkan Akta
Jual Beli, terletak di Bandung. Menetapkan bagian masing-masing
penggugat dan tergugat separuh bagian (fifty-fifty) dari harta bersama
tersebut serta menghukum tergugat untuk menyerahkan separuh bagian
dari harta bersama tersebut di atas kepada penggugat.
terhadap istrinya (27 tahun, ibu rumah tangga). Dalam permohonan cerai
talak tersebut, suami juga mengkumulasikan dengan persoalan pembagian
harta bersama dengan memperlihatkan Surat Perjanjian Harta Bersama
yang ditandatangani oleh Pemohon dan Termohon tertanggal 06 April
2015 kepada hakim di persidangan. Surat ini sebagai wujud kesepakatan
antara kedua belah pihak tentang pembagian harta bersama yang mereka
miliki. Kedua belah pihak sepakat menyatakan bahwa harta bersama yang
menjadi milik pemohon (suami) adalah yang selebihnya yang tidak
tertuang dalam surat kesepakatan tersebut.
Karena telah terjadi kesepakatan antara pemohon dan termohon
tentang akibat perceraian, majelis hakim tidak lagi melakukan pembagian
harta bersama dengan porsi fifty-fifty, melainkan majelis hakim
memerintahkan kedua belah pihak untuk mentaati isi Surat Perjanjian
Harta Bersama tersebut.
Sedangkan pada Putusan Nomor 1102/Pdt.G/2017/PA.JS,
penggugat dan tergugat telah sepakat untuk mengakhiri persengketaan
dengan sebuah Perjanjian Perdamaian, sebagaimana tertuang dalam Surat
Kesepakatan Damai tertanggal 03 April 2017 (Akta Van Dading). Oleh
karena itu majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak lagi
menerapkan porsi fifty-fifty, tetapi memutus perkara pembagian harta
bersama tersebut berdasarkan pada Surat Perjanjian yang telah disepakati
kedua belah pihak.
Untuk mengetahui apakah pembagian fifty-fifty yang diputuskan
hakim dalam kasus ini telah mengakomodasi wacana keadilan jender atau
tidak, maka lebih lanjut akan di analisis sampel Putusan Nomor
1198/Pdt.G/2014/PA.JS dengan tanggal register 29 April 2014 dan di
putus pada tanggal 16 Maret 2015. Penggugat adalah Ridwan AC Irawan
bin Ahmad Helmy Attamimi, umur 47 tahun, menggugat Sri Lestari binti
Muljadi Prawirodipuro, umur 46 tahun.
Penggugat dan tergugat semula adalah pasangan suami istri yang
sah menikah pada tahun 1993. Kemudian pernikahan penggugat dan
133
tergugat berakhir pada tahun 2013 dengan cerai gugat yang diajukan oleh
tergugat. Selama masa pernikahan penggugat dan tergugat telah
memperoleh harta benda, yaitu sebidang tanah seluas 238 m² (dua ratus
tiga puluh delapan meter persegi) di Kaveling IV UF No. 26 & 27, Jl.
Alam Elok VI, Pondok Indah, Jakarta Selatan sebagai hadiah yang
diberikan oleh kedua orang tua penggugat. Sebagaimana ditunjukan
berdasarkan dua Surat Pernyataan dan Persetujuan, tertanggal 28 Juni
2000. Dalam perkembangannya, sebidang tanah tersebut pada tanggal 18
Januari 2006 telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 5241, dengan
atas nama penggugat.
Satu unit apartemen Apartemen Hampton’s Park seluas ± 83,00 m²
(kurang lebih delapan puluh tiga meter persegi), yang terletak di Tower B,
Lantai 6, Unit A, Jl. Terogong Raya No. 18, RT/RW 011/010, Kelurahan
Cilandak, Jakarta Selatan atas nama tergugat.
Satu unit kendaraan bermotor roda empat dengan merek Nissan,
Type Serena Highway Star A/T, tahun 2008, warna abu-abu metalik,
nomor rangka: C24A13487, nomor mesin: QR20699398A, nomor polisi B
2305 SL, dengan atas nama tergugat. Satu unit kendaraan bermotor roda
empat dengan merek Mitsubishi, Type Pajero Sport 2,5 Dexi AT, tahun
2010, warna abu-abu silver metalik, nomor rangka:
MMB6HKG40BF008176, dan nomor mesin: 405611CCE4582, nomor
polisi: B 1819 SJC atas nama penggugat.
Sejumlah harta berupa uang yang disimpan atau diletakkan dalam
rekening bank dan/atau obligasi antara lain, uang pada Bank Central Asia
di rekening nomor: 237-127-0428 dengan atas nama penggugat dan
tergugat, uang pada Bank Mandiri di rekening nomor 122-00-0112769-8
dengan atas nama penggugat, dan tergugat, uang pada Bank HSBC di
rekening nomor: 101-067171-086 dengan atas nama penggugat, dan
tergugat, uang atau saham dan/atau obligasi pada rekening Danareksa
Sekuritas, Clien Code 02-03-00120-6, Client Sec Code 0220869, dan uang
atau saham dan/atau obligasi pada Bank Negara Indonesia Securities CIF
134
16
Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 06
Agustus 2018.
138
17
Yaitu putusan No 1774/Pdt.G/2013/PA.JS, putusan No 3662/Pdt.G/2016/PA.JS,
putusan No 1102/Pdt.G/2017/PA.JS, dan putusan No 4151/Pdt.G/2017/PA.JS.
141
18
Kesadaran jender adalah kemampuan seseorang untuk dapat berfikir dan melakukan
tindakan proaktif untuk menolak segala bentuk ketimpangan atau kesenjangan jender. Kesadaran
jender menunjukkan kemampuan analisis untuk mengidentifikasi masalah-masalah ketimpangan
jender yang tidak begitu jelas di permukaan, sehingga dikriminasi jender tersebut dapat
diungkapkan. Badriyah Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
(Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI , 2001), h. 124.
19
Sensitivitas jender adalah kemampuan seseorang untuk memahami, merasakan, dan
berfikir tentang adanya kesenjangan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Sensitivitas
jender diharapkan mampu menjadi alat untuk melihat ketidakadilan yang muncul berkaitan dengan
hubungan antara perempuan dan laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Badriyah
Fayumi, et.al, ed, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam), h. 126.
143
bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim mengacu pada dua aturan
hukum, yaitu hukum formil dan hukum materil. Tetapi dalam
konsiderannya hakim seharusnya tidak hanya memperhatikan faktor
yuridis, hakim diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum
(rechvinding) demi mencapai sebuah keadilan. Hal ini dikarenakan hukum
Islam diturunkan untuk kemaslahatan umum, maka selama ada
kemaslahatan, teori apapun boleh dimasukkan, termasuk Konvensi
CEDAW.20
Oleh karena itu, jika seorang hakim memiliki pemikiran yang
progresif, serta mengetahui adanya konvensi CEDAW, maka ia akan
mengimplementasikan Konvensi CEDAW dengan memasukkannya ke
dalam pertimbangan-pertimbangan hakim dalam sebuah putusan.
Meskipun demikian, apabila diteliti secara mendalam, ternyata hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah mencoba mengaplikasikan
semangat untuk menghapuskan diskriminasi dan menjunjung tinggi
keadilan jender sebagaimana yang diamanatkan oleh Konvensi CEDAW
meskipun secara nyata belum tersurat dalam setiap putusannya.
Hal tersebut di antaranya dapat dilihat pada Putusan Nomor
981/Pdt.G/2013/PA.JS dan Putusan Nomor 1266/Pdt.G/2014/PA.JS yang
berani menyimpangi ketentuan yang ada pada Pasal 97 KHI, dalam artian
tidak membagi dengan porsi fifty-fifty, namun demi sebuah keadilan,
majelis hakim tersebut lebih menimbang faktor sosiologis, yaitu
memperhatikan kontribusi yang dilakukan para pihak dalam upaya
memperoleh harta bersama selama dalam masa perkawinan mereka, baik
kontribusi berupa materi maupun kontribusi non materi seperti hak dan
kewajiban sebagai pasangan. Hal ini dilakukan hakim karena secara
filosofis, majelis hakim memandang adanya ketidakadilan jika ketentuan
KHI Pasal 97 secara serta merta diterapkan dalam kasus tersebut.
20
Jarkasih, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Interview Pribadi, Jakarta, 18 Mei
2018.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kompilasi Hukum Islam sebenarnya telah berupaya mengaplikasikan
semangat keadilan jender dalam pengaturan harta bersama pada setiap
pasalnya. Hanya saja, dari total tiga belas pasal yang mengatur tentang
harta bersama dalam bab XIII, ternyata terdapat dua pasal yang
ketentuannya belum maksimal mendukung semangat keadilan jender.
Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 yang pada
intinya menegaskan bahwa ketika hubungan perkawinan telah usai, baik
karena perceraian maupun kematian, maka harta bersama harus dibagi dua
sama besar terlepas dari siapa yang mengusahakan harta tersebut.
Ketentuan ini dikatakan kurang maksimal mendukung keadilan jender
karena dalam penerapannya mengandung double standar, dalam artian, di
satu sisi penerapannya bisa dipandang mendukung keadian jender, namun
di sisi lain penerapannya bisa menimbulkan ketidakadilan jender karena
mengandung unsur diskriminatif yang bisa merugikan perempuan maupun
laki-laki. Ketentuan KHI tersebut tidak sejalan dengan Pasal 16 ayat (1)
Konvensi CEDAW yang mewajibkan negara membuat peraturan-
peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi dalam semua urusan
yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Oleh
sebab itu, harus dilakukan upaya sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 2 huruf (f) Konvensi CEDAW, yaitu negara harus membuat
peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan Undang-undang
untuk mengubah dan menghapuskan Undang-undang, peraturan-peraturan,
kebiasaan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif.
2. Berdasarkan implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, studi
ini menghasilkan temuan bahwa secara umum para hakim dalam
mengadili perkara harta bersama tidak keluar dari ketentuan Kompilasi
Hukum Islam. Dari dua puluh enam putusan yang dijadikan sampel dalam
144
145
B. Rekomendasi
Berdasarkan posisi Kompilasi Hukum Islam di pengadilan dalam
lingkup Peradilan Agama adalah sebagai sumber hukum materil, yang dari
hasil penelitian diperoleh temuan bahwa mayoritas hakim dalam
menyelesaikan perkara harta bersama memang mengacu pada ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal KHI. Namun berdasarkan
penelitian ini juga diketahui bahwa masih ditemukan sejumlah pasal mengenai
harta bersama yang kurang mendukung wacana keadilan jender, sehingga
penerapannya kadang bisa dipandang adil dan terkadang juga bisa
146
Alquran
Buku
Ash Shiddieqy, TM. Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975,
Cet. 1.
Azizah, Noor, “Kajian Hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan untuk
Istri yang Ikut Menanggung Beban Ekonomi Keluarga”, Tesis S-2
Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang,
2007.
Bearman, Peri, dkk, The Law Applied: Contextualizing The Islamic Shari’a,
London, I.B Tauris, 2008.
147
148
Bhasin, Kamla, Understanding Gender, Terj. Moh Zaki Hussein, Jakarta: Teplok
Press, 2003, Cet. 3.
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Buergenthal, Thomas, dkk, International Human Rights, Saint Paul: West Group,
2002.
Eddyono, Sri Wiyanti, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, dalam
Seri Bahan Bacaan Kursus untuk Pengacara XI, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2007.
Fadhlullah, Sayyid Muhammad, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Abdul Qadir Al
Kaf, Jakarta: Lentera, 2000.
Fayumi, Badriyah, et.al, eds, Keadilan dan Keseteraan Jender (Perspektif Islam),
Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen
Agama RI, 2001.
Hasyim, Syafiq, dkk, Modul Islam dan Multikulturalisme, Jakarta: ICIP, 2008.
Husain, Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogyakarta: Lkis, 2012.
Jazîrî, al-, „Abd al-Rahman, Kitâb al-Fiqhu ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Bayrût:
Dâr al-Kitab al-„Ilmiyah, 1999.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000.
--------------, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989, Cet. 8.
Kodir, Faqihuddin Abdul dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi bagi Hakim
Peradilan Agama tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2008.
Machl, Sabine, “CEDAW and Family Law”, Public Lecture, 14 Mei 2018,
Ciputat: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.
Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam
Perjanjian Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, Bandung:
Mandar Maju, 2006. Cet. 1.
150
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, Ed. I, Cet. 4.
Mesraini, “Jender dan Kompilasi Hukum Islam: Studi Kritis atas Kompilasi
Hukum Islam dalam Perspektif Jender”, Tesis, Program Studi Syariah
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
Mulia, Situ Musdah Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi,
Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010.
Oran, Daniel, Oran’s Dictionary of The Law, New York: Delmar Cengage
Learning, 2008.
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1999.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunah, Bandung: PT. AL Maarif, 1987, Cet. I, Jilid 13.
Soekanto, Soejono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Syah, Isma‟il Muhammad, Pentjaharian Bersama Suami Istri: Adat Gono Gini
ditinjau dari Sudut Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Tirmidzî, al-, Abî ʻ Îsâ Muẖ ammad Ibn ʻ Îsâ Ibn Saurah, al-Jâmiʻ u al-Saẖ îẖ
Sunan al-Tirmidzî, juz 1, Hadis No. 113, Bayrût: Dâr al-Kutub al-ʻ Ilmiyah,
2000.
Wahid, Marzuki, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Lefal
Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indnesia,
Bandung: Penerbit Marja, 2014.
Zuhaîlî, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Bayrût: Dâr al-Fikr, 2007.
--------------, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz IV, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1997.
153
Fuad, Ahmad Masfuful, “CEDAW and The Rights of Kinship in Islamic Family
Law”, Al-Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV, No. 1, 2015.
Rochaeti, Etty, “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”,
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01, 2013.
Sumber Online
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, “Setelah Naik Kelas, Apa Lagi?”,
diakses pada 06 Mei 2019 dari
https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-
ditjen-badilag/setelah-naik-kelas-apa-lagi.
Interview