Anda di halaman 1dari 108

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT

TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DITINJAU


DARI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN

Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Fakultas Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

OLEH:

NAMA : TENGGAR NUR ADDIN


NIM : 7773190068

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM MAGISTER HUKUM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
TAHUN 2021
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Tenggar Nur Addin
NIM : 7773190068
Alamat : Perum. Taman Ciruas Permai Blok G2 No 12 Serang - Banten

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis yang berjudul “Akibat Hukum


Perkawinan Tidak Tercatat Terhadap Kedudukan Harta Bersama Ditinjau Dari
Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan” adalah benar karya saya, bukan
plagiat dari hasil karya orang lain, adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan
Tesis yang saya kutip dari karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas
sesuai dengan Norma, kaidah dan etika penulisan karya ilmiah serta tidak
melakukan plagiat dan penjiplakan karya orang lain. Apabila terbukti pernyataan
saya tersebut di atas tidak benar, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku termasuk pencabutan
gelar.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat dan sadar tidak ada
paksaan dari siapapun dan untuk apapun.

Serang, November 2021

Tenggar Nur Addin

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT TERHADAP

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Tesis ini siap diuji dihadapan penguji

Tanggal, November 2021 Tanggal, November 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Agus Prihartono PS. S.H., M.H Dr. Anne Gunawati. S.H., M.Hum
NIP. 197904192002121002 NIP. 197304202010122001

Diketahui

Tanggal, Tanggal,

Wakil Direktur I Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. Ir. Hj. Kartina A.M., M.P Dr. Azmi Polem, S.Ag., S.H., M.H
NIP. 196707042002122001 NIP. 1974022822005011003

iii
MOTTO
Allah Subhanallahuwataala berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 122 yang
berbunyi :

‫وَمَا كَانَ الْ ُمؤْمُِىىْنَ لِيَىْفِ ُسوْا كَاۤفَّةًۗ فََلىْلَا وَفَسَ مِهْ كُلِّ فِسْقَةٍ مِّىْهُمْ طَاۤيِفَةٌ لِّيَتَفَقَّ ُهىْا فًِ الدِّيْهِ وَلِيُىْرِ ُزوْا َقىْمَهُمْ اِذَا‬
٢١١ - ࣖ َ‫زَجَ ُعىْْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْرَ ُزوْن‬

Artinya : Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat
menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)

‫ أن ال ن بي ص لى اهلل ع ل يه وس‬:‫عن أب ي هري رة ر ضي اهلل ع نه‬ ‫نا‬ ‫ ا ثا‬: ‫ل‬


‫به أو ول ص ل ي ع له‬ ‫ريت أو عل ين‬ ‫نص ت‬ :‫ت‬ ‫ن‬ ‫ع له‬

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: "Apabila manusia itu


meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya."
(HR Muslim).

“Waktu Adalah Guru Terbesar Dalam Hidup Sedetik Saja Menyianyiakan


Waktu Maka Sedetik Pula Membuat Hidup Menjadi Rugi”
(Tenggar Nur Addin)

iv
NAMA : TENGGAR NUR ADDIN
NIM : 7773190068

ABSTRAK
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT TERHADAP
KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Tujuan Penelitian ini adalah untuk: 1) Bagaimana konsep Perkawinan Siri (Tidak
Dicatatkan) menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan? 2)
Bagaimana akibat hukum Perkawinan Siri terhadap kedudukan harta Bersama?
Dalam menjawab hal tersebut penulis menggunakan metode penelitian pustaka
atau library reseach dengan pendekatan yang digunakan adalah hukum normative
serta perbandingan hukum. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah
penelusuran berbagai literatur atau refrensi baik dari buku maupun media online.
Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu
Reduksi Data, Penyajian, dan Pengambilan kesimpulan. Setelah mengadakan
beberapa kajian terhadap Akibat Hukum Perkawinan Siri (Tidak Dicatat)
Terhadap Kedudukan Harta Bersama Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-
Undang Perkawinan dapat disimpulkan menjadi: 1) Perkawinan Siri (Tidak
Dicatatkan) menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan, dalam
hukum Islam kawin siri tetap sah dimata agama apa bila syarat dan rukun
terpenuhi diantara kedua bela pihak. Lain halnya dengan Undang-Undang
Perkawinan yang secara jelas telah mengatur aturan pernikahan dalam artian
pencatatan pernikahan dan secara hukum positif/Undang-Undang perkawinan,
kawin siri tidak sah karena tidak terdaftar dalam pencatatan
perkawinan/pernikahan, 2) Akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan
harta bersama, Jika dilihat dari RUU nikah siri atau Rancangan Undang-Undang
Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan
memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau biasa disebut dengan kawin
siri, sehingga dalam kedudukan harta bersama Negara tidak berhak mengatur
pembagiannya dikarenakan tidak tercatatnya dalam pencatatan pernikahan, namun
dalam pembagian harta bersama tetap bisa terlaksana dengan syarat membuat
kesepakatan dalam pembagiannya hartanya. Implikasi penelitian ini adalah: 1)
Menghendaki adanya pengawasan terhadap perkawinan sehingga tidak terlalu
banyak terjadinya perkawinan siri, meskipun dalam hukum Islam di pandang tetap
pernikahan yang sah namun di mata hukum kita tidak sah, 2) Penelitian ini
diharapkan dapat berdampak pada masyarakat agar mengerti betapa pentingnya
pernikahan yang secara legal sebab akan berdampak pada masa depan mereka
yang akan menikah/kawin nantinya

Kata Kunci : Perkawinan, Perkawinan Siri (Tidak Tercatat), Harta Bersama

v
NAME : TENGGAR NUR ADDIN
NIM : 7773190068

ABSTRACT

DUE TO UNRECORDED MARRIAGE LAW ON JOINT PROPERTY


POSITION REVIEWING FROM ISLAMIC LAW AND MARRIAGE LAW

The objectives of this study are to: 1) What is the concept of Siri (Unregistered)
Marriage according to Islamic Law and Marriage Law? 2) What is the legal
effect of Siri's marriage on the position of joint property? In answering these
authors use a library orresearch method libraryreseach with the approach usedis
normative law and comparative law. The data collection method used is a search
of various literatures or references from both books and online media. Data
processing and analysis techniques are carried out through three stages, namely
Data Reduction, Presentation, and Conclusions. After conducting several studies
on the legal consequences of Siri (Unrecorded) Marriages on the Position of Joint
Assets Judging from Islamic Law and Marriage Law, it can be concluded as
follows: 1) Siri (Unregistered) Marriages according to Islamic Law and Marriage
Law, in Islamic law Unregistered marriage is still valid in the eyes of any religion
if the conditions and pillars are met between the two parties. It is different with
the Marriage Law which clearly regulates the rules of marriage in terms of
registration of marriage and is legally positive/marriage law, unregistered
marriage is invalid because it is not registered in the marriage/marriage
registration, 2) The legal consequences of unregistered marriage on property
position together, if it is seen from the Bill on unregistered marriage or the Draft
Law on Material Law by the Religious Courts for Marriage which will criminalize
marriages without official documents or commonly referred to as unregistered
marriages, so that in the position of joint property the State has no right to
regulate the distribution because it is not recorded in the marriage registry.
However, the distribution of joint property can still be carried out on condition
that an agreement is made in the distribution of the assets. The implications of
this research are: 1) Requires supervision of marriages so that there are not too
many unregistered marriages, even though in Islamic law it is considered legal
marriages but in the eyes of our law it is not legal, 2) This research is expected to
have an impact on the community so that they understand how the importance of
legal marriage because it will have an impact on the future of those who will
marry/marry later

Keywords: Marriage, Siri Marriage (Unregistered), Joint Assets

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta'alla yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya, serta nikmat Iman Islam dan kesehatan sehingga penulis

dapat menyelesaikan usulan penelitian tesis ini, dengan judul “Akibat Hukum

Perkawinan Tidak Tercatat Terhadap Kedudukan Harta Bersama Ditinjau dari

Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan”.

Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar,

Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan juga kepada keluarganya, para

sahabatnya, pengikutnya dan semoga kita semua diakui sebagai umatnya sehingga

mendapat syafaatnya di hari akhir kelak, Aamiin Allahuma Aamiin.

Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik tak lepas dari sumber-sumber

yang terkait serta kontribusi yang sangat besar dari berbagai pihak. Penulis

menyadari bahwa usulan penelitian Tesis ini masih jauh dari kata sempurna.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kedua Orang tuaku H. Edi Santosa dan

Yuni Nurmaulati yang telah membesarkan ku dengan cinta dan kasih sayang serta

tim pembimbing; Dr. Agus Prihartono PS, SH., MH sebagai Pembimbing I dan

Dr. Anne Gunawati, SH., M.Hum sebagai Pembimbing II yang telah menyediakan

waktu membimbing penulis memberi arahan dan masukan sehingga mampu

menulis usulan penelitian tesis ini, serta tim penguji; Prof Dr. H. Suparman

Usman, S.H; Dr. Fatkhul Mu’in, SH., LL.M, Dr. Itang S.Ag., M.Ag. Selain itu, penulis

juga ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

vii
1. Prof. Dr. H. Fatah Sulaiman ST, MT., sebagai Rektor Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa;

2. Dr. H. Aan Asphianto, S.Si., SH., MH., sebagai Direktur Pasca Sarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

3. Prof. Dr. Ir. Hj. Kartina AM., MP., sebagai Wakil Direktur I Bidang

Akademik Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

4. Dr.H. Helmi Yazid SE., M.Si., AK.,CA., sebagai Wakil Direktur II Pasca

Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

5. Prof. Alfirano, ST., MT., Ph.D., sebagai Wakil Direktur III Bidang

Kemahasiswaan Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

6. Dr Azmi, S.Ag., SH., MH., sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

7. Dr. Fatkhul Muin SH., LL.M., sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu

Hukum Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa;

8. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Magister

Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

9. Segenap Tenaga Kependidikan pada Program Studi Ilmu Hukum Magister

Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

10. Terimakasih kepada Adik Galih Anjarwati yang telah memberikan support

terhadap penulisan tesis ini;

11. Sahabat-sahabat seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang selalu bersama-sama dalam

viii
menempuh Pendidikan di Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa khususnya teman-teman konsentrasi Hukum Perdata.

Semoga Tesis ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan baik bagi penulis maupun bagi setiap yang membacanya.

Serang, November 2021

Tenggar Nur Addin

ix
DAFTAR ISI
Hlm
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 14
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 14
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 15
E. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 15
F. Metode Penelitian ............................................................................ 17
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 20
BAB II TINJAUAN TEORI MENGENAI HARTA BERSAMA DAN
PERKAWINAN ....................................................................................... 24
A. Tinjauan Teori Tentang Perkawinan ................................................ 24
1. Pengertian Menurut Hukum Islam ....................................... 24
2. Pengertian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ..................................................................... 27
3. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ...................................... 28
4. Hukum Melangsungkan Perkawinan ................................... 36
5. Sysrat dan Rukun Perkawinan ............................................. 39
6. Asas Perkawinan .................................................................. 41
7. Tujuan Perkawinan ............................................................... 44
B. Harta Bersama .................................................................................. 48
C. Pencatatan Perkawinan .................................................................... 58

x
D. Perkawinan Tidak Tercatat .............................................................. 60
1. Perkawinan Tidak Tercatat Menurut Prespektif Hukum
Islam ..................................................................................... 61
2. Pernikahan Tidak Tercatat Menurut Prespektif Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Kompilasi Hukum Islam ...................................................... 63
BAB III KONSEP PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI INDONESIA..... 67
A. Perkawinan Tidak Tercatat Menurut Hukum Islam ......................... 67
B. Perkawinan Tidak Tercatat Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan .................................................... 71
BAB IV AKIBAT HUKUM PERNIKAHAN TIDAK TERCATAT DAN
KEDUDUKAN HARTA BERSAMA .................................................... 77
A. Akibat hukum Perkawinan Tidak Tercatat ...................................... 77
B. Kedudukan Harta Bersama Pernikahan Tidak Tercatat ................... 81
BAB V PENUTUP.................................................................................................... 85
A. Kesimpulan ...................................................................................... 85
B. Saran ................................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 87

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis, suku,

agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia

merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masyarakat ada di

sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat

ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi, dengan

bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin

kompleks dan rumit.1

Indonesia sebagai negara hukum, maka yang menjadi konsekuensi

dari keadaan ini ialah bahwa negara mengatur setiap bidang kehidupan

masyarakatnya melalui peraturan-peraturan sebagai produk dari hukum itu

sendiri. Hukum di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh kondisi

masyarakatnya yang majemuk. Kemudian, masyarakat yang majemuk sendiri

merupakan istilah yang mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat

plural atau pluralistik. Biasanya hal ini diartikan sebagai masyarakat yang

terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhinneka.2

Setiap negara memiliki sistem hukum yang berbeda-beda, hal ini

disebabkan karena kebutuhan setiap masyarakatnya pun berbeda-beda,

1
Ria Desviatanti, Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan
Pembuatan Akta Perjanjian Kawin, Tesis Program Magister Kenotariatan Pascasarjana, UNDIP,
Semarang, 2010, hlm. 1
2
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 12

1
2

sebagaimana Rudolf Stammler berpendirian bahwa adanya kebenaran hukum

itu selalu bergantung pada keadaan, waktu, dan tempat, yang didasari oleh

suatu kenyataan bahwa adanya hukum adalah untuk memenuhi kebutuhan

manusia dalam suatu masyarakat dan kebutuhan manusia dalam masyarakat

yang satu tidak sama dengan yang lain.3 Selain itu, Prof. R. Subekti pun

berpendapat bahwa hukum merupakan budaya suatu bangsa, sesuai dengan

ciri atau sifat suatu budaya, maka akan memberikan ciri adanya perbedaan

budaya antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, di samping dapat

ditemukan adanya unsur-unsur persamaan.4 Berbagai macam sistem hukum

yang kita kenal dikelompokkan menjadi suatu kelompok keluarga hukum

oleh para sarjana, antara lain oleh Rhene David, yakni :

1. Keluarga Hukum Romano Germania (Romawi Jerman);

2. Keluarga Hukum Common Law;

3. Keluarga Hukum Sosialis;

4. Keluarga Hukum Agama atau Kepercayaan dan Tradisi (Hukum

Adat).5

Selama ada masyarakat, masyarakat besar maupun kecil, maka

terdapat pula hukum di dalamnya. Sebagaimana Aristoteles mengatakan

bahwa manusia adalah “zoon politicon” makhluk sosial atau makhluk

bermasyarakat dan tercipta suatu hubungan antara satu dengan yang lain,

3
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 2, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm. 72.
4
Wahyono Darmabrata, Perbandingan Hukum Perdata, cet. 4, Jakarta, CV. Gitama
Jaya, 2006, hlm. 100.
5
Dikemukakan oleh Rhene David dalam bukunya berjudul “Major Legal Systems in the
World Today”. Lihat : H.R. Sardjono dan Ny. Hj. Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai
Perbandingan Hukum Perdata, cet. 2, Jakarta, IND-HILL-CO, 2003, hlm. 45.
3

maka manusia akan saling berinteraksi satu sama lain dan menciptakan suatu

hubungan. Hubungan tersebut dapat tercipta karena setiap manusia adalah

pendukung atau penyandang kepentingan. Kepentingan merupakan suatu

tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan

dengan adanya hubungan tersebut, maka timbulah hak dan kewajiban yang

disebabkan karena kepentingan yang berbeda antara satu individu dengan

individu lain yang tidak jarang akan saling berhadapan atau berlawanan, jika

terjadi hal lebih buruk, akan menimbulkan pertentangan atau konflik. Adanya

konflik tersebut menyebabkan diperlukannya suatu Norma atau kaedah sosial

yang akan menjadi pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku dalam

kehidupan bersama.6

Norma atau kaedah yang ada dalam masyarakat, kemudian Norma

tersebut berfungsi untuk mengatur dan melindungi kepentingan masing-

masing agar tercipta masyarakat yang dapat hidup damai, aman, tenteram,

adil, dan makmur. Norma atau kaedah sosial tersebut terdiri dari kaedah

kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun. Ketiga kaedah

tersebut memberikan kewajiban bagi setiap manusia untuk mencapai suatu

penyempurnaan sehingga setiap manusia dapat berkelakuan baik. Namun,

dari ketiga kaedah tersebut, sanksi yang diberlakukan bukan merupakan

sanksi hukuman. Sehingga diperlukanlah satu kaedah yang dapat memberikan

perlindungan dengan tegas dan memberikan sanksi berupa hukuman apabila

kaedah tersebut tidak dijalankan dengan semestinya. Kaedah yang dapat

6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 1, Yogyakarta, Liberty, 2003, hlm. 2.
4

melindungi kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari

ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia

yang belum mendapatkan perlindungan dari ketiga kaedah lainnya adalah

kaedah hukum.7

Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang

menyendiri, namun sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat karena manusia sejak lahir, hidup berkembang dan meninggal

dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan menjadi kodrat manusia

untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia dan berusaha untuk

meneruskan keturunan dengan melangsungkan perkawinan.

Suatu perkawinan, dimaksud dengan ikatan lahir batin adalah bahwa

perkawinan yang dilakukan tersebut tidak cukup hanya dengan adanya ikatan

lahir saja atau ikatan batin saja. Akan tetapi hal tersebut harus ada kedua-

duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang merupakan

pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia

dan kekal.8 Pada prinsipnya untuk pembentukan keluarga yang bahagia,

tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya itu haruslah berpegang

teguh atau berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana

sesuai dengan bunyi azas pertama dalam Pancasila.9

Perkawinan itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang mengandung

aspek-aspek agama, sosial, dan hukum. Agama secara garis besar

7
Ibid., hlm. 12.
8
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta,
PT Bina Aksara, 1987, hlm. 4.
9
Ibid.
5

memandang perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dimana suami istri

dapat hidup tentram, saling mencintai, santun-menyantuni dan kasih

mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan

keturunan. Dari aspek sosial, orang-orang yang telah berkeluarga dianggap

telah memenuhi salah satu bagian syarat dari kehendak masyarakat, serta

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari mereka yang

belum menikah.10 Sementara itu, dari aspek hukum, perkawinan dapat

dikatakan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang hidup bersama dan yang tujuannya membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman

jiwa atau batin.11 Pertalian atau perikatan ini dapat diartikan sebagai sebuah

janji, dimana janji adalah suatu hal yang sangat penting dalam Hukum

Perdata. Janji dianggap penting karena setiap orang yang mengadakan

perjanjian sejak semula mengharapkan supaya janji itu tidak putus di tengah

jalan. Jika janji tersebut pada akhirnya harus diputuskan atau terpaksa

diputuskan, maka harus disebabkan oleh hal-hal yang dapat diterima oleh

akal. Oleh karena hal ini berlaku pula dalam perkawinan, maka sebagaimana

yang tercantum di dalam ketentuan undang-undang, sebuah perkawinan pun

harus memiliki sebab-sebab yang masuk akal apabila perkawinan tersebut

hendak berakhir.

10
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
cet. 2, Jakarta, Ind-Hill. Co, 1991, hlm. 172-73.
11
Haji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Tintamas Indonesia, 1983, hlm.
25
6

Karena pentingnya suatu perkawinan, maka masing-masing negara

memiliki pengaturan yang meliputi berbagai segi mengenai perkawinan.

Dalam hukum nasional Indonesia, hukum positif yang berlaku pada saat ini

mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang

Perkawinan) dan mendefinisikan Perkawinan sebagai “ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang

bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Lebih lanjut, peraturan hukum

mengenai perkawinan tidak saja hanya diatur dalam Undang-Undang

Perkawinan, tetapi juga dalam Peraturan Pelaksanaannya, Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Jika semula hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistis karena

memiliki beberapa sumber hukum seperti hukum adat, dan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, maka Undang-Undang Perkawinan merupakan

jawaban atas usaha unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga di sistem

hukum nasional Indonesia dan dibuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang

terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan

menampung unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya serta

kepercayaannya dari yang bersangkutan.

Akan tetapi, perumusan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan

menyiratkan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak menghapuskan secara


7

keseluruhan peraturan perundang-undangan perkawinan Hindia-Belanda,

dikarenakan ketentuan hukum yang dihapuskan hanyalah ketentuan hukum

yang oleh karena telah ada dalam Undang-Undang Perkawinan, peraturan

tersebut masalahnya telah diatur. Jadi, mengenai hal-hal yang belum diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut masih diberlakukan peraturan

perundang-undangan yang lama. Hal ini menunjukan bahwa tidak berarti

semua peraturan perundang-undangan lama mengenai perkawinan hapus

sama sekali.

Sementara itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak

diberikan pengertian perkawinan secara rinci. Menurut Pasal 26 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan, “undang-undang memandang

soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata” dan dalam Pasal 81 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara

keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan

kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai

pencatatan sipil telah berlangsung”.

Akibat dari adanya suatu perkawinan yang sah salah satunya adalah

persatuan harta benda yang ada sejak setelah melakukan perkawinan tersebut.

Hal itu berarti bahwa dengan perkawinan antara suami dengan istri, maka

harta mereka dilebur menjadi satu. Dengan demikian di dalam suatu keluarga,

terdapat satu kekayaan harta milik bersama atau yang sering disebut dengan

harta bersama.12 Kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga disamping

12
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 38.
8

masalah hak dan kewajiban sebagai suami-isteri, maka masalah mengenai

harta benda bisa juga merupakan pokok pangkal yang menjadi sebab

timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam hidup suatu

perkawinan, karena harta bendalah yang menjadi dasar materiil kehidupan

keluarga. Sehingga jika terjadi masalah yang menyangkut harta benda,

mungkin akan bisa menghilangkan kerukunan antara suami dengan isteri

dalam kehidupan rumah tangganya.13

Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita,

akan menimbulkan akibat lahir maupun batin di antara mereka, terhadap

masyarakat dan juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di

antara mereka baik sebelum dan selama perkawinan. Ikatan perkawinan

menimbulkan adanya harta bersama (gono-gini). Harta bersama (gono-gini)

merupakan harta yang dihasilkan oleh pasangan suami isteri secara bersama-

sama selama perkawinan masih berlangsung. Harta yang tidak termasuk

dalam klasifikasi harta bersama adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan

sebelum masa perkawinan yang biasa disebut harta bawaan yaitu harta benda

milik masing-masing suami/isteri yang diperoleh sebelum terjadinya

perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan atau hadiah, dan harta

perolehan yaitu harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-

masing pasangan suami/isteri setelah terjadi ikatan perkawinan.14

Akibat perkawinan terhadap harta benda suami isteri dalam

KUHPerdata adalah harta campuran bulat dalam Pasal 119 KUHPerdata harta
13
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op.Cit., hlm. 166.
14
Martiman Prodjohamidjodjo, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan
Peraturan Pelaksanaan, Jakarta, Pradnya Paramita,1991, hlm.34.
9

benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Meliputi

seluruh harta perkawinan yaitu harta yang sudah ada pada waktu perkawinan

dan harta yang diperoleh sepanjang perkawinan. Namun, ada pengecualian

bahwa harta tersebut bukan harta campuran bulat yaitu apabila terdapat

perjanjian kawin atau ada hibah/warisan, yang ditetapkan oleh pewaris Pasal

120 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 tahun

1974 sebagai berikut:

1. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang

perkawinan;

2. Menetapkan bahwa harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke

dalam suatu perkawinan.15

Membahas mengenai harta bersama (gono-gini) sangat penting dalam

kehidupan rumah tangga. Masalah ini biasa menyangkut pengurusan,

penggunaan dan pembagian harta bersama (gono-gini) jika ternyata hubungan

perkawinan, pasangan suami isteri itu “Putus” baik karena perceraian maupun

kematian. Dalam hal terjadinya perceraian, masalah pembagian harta bersama

yang lebih dikenal dengan istilah harta gono-gini terkenal sangat rumit.

Bahkan keributan ini selalu berujung pada semakin menghambat jalannya

sidang perceraian, dipengadilan masing-masing pihak saling menganggap

bahwa dirinya yang berhak mendapatkan jatah harta bersama (gono-gini)

lebih besar dibandingkan pasangannya.16 Pada dasarnya ada bermacam-

macam sistem hukum harta kekayaan perkawinan, hal ini karena tiap-tiap
15
C.S.T. Kansil, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita,2004, hlm.127.
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2007,
hlm.114.
10

sistem hukum mempunyai peraturan-peraturannya sendiri yang mengatur

mengenai harta benda suami isteri. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam

Hukum Adat, Hukum Islam, dan KUH Perdata.

Sementara itu Undang-undang Perkawinan juga mengatur mengenai

harta benda perkawinan, namun ketentuan tersebut belum diatur lebih lanjut

dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam hal inilah yang kemudian

menimbulkan persoalan dalam praktek apakah ketentuan harta benda

perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan telah dapat

diberlakukan.

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia harta bersama

(gono-gini) ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Pengaturan harta bersama (gono-gini) ini diakui secara hukum,

termasuk dalam hal pengurusan, penggunaan dan pembagiannya. Meskipun

pembagian harta besama (gono-gini) diatur jelas di dalam Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi pada kenyataannya

pelaksanaannya masih belum memadai bahkan harta bersama (gono-gini)

sering kali dipermasalahkan bagi pihak yang akan bercerai, Pasal 97

Kompilasi Hukum Islam dijelaskan:


11

“Bahwa janda atau duda yang bercerai hidup masing-masing

berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain

dalam perjanjian kawin.”17

Tidaklah mustahil jika dalam masyarakat dijumpai bahwa kehidupan

perkawinan terkadang dengan suatu sebab atau beberapa sebab keadaan

rumah tangganya menjadi buruk atau tidak harmonis lagi. Dengan keadaan

yang seperti itulah menjadi alasan pokok setiap pasangan suami-isteri

memutuskan untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dan memilih untuk

melakukan perceraian.18 Perceraian adalah putusnya hubungan suatu

perkawinan antara suami-istri dengan adanya putusan Hakim atas tuntutan

salah satu pihak yang didasarkan alasan-alasan yang sah yang telah

disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.19

Pembagian harta bersama dalam perkawinan senantiasa merupakan

suatu hal yang krusial dari akibat perceraian, karena baik suami dengan isteri

akan mempermasalahkan mengenai pembagian harta bersama yang dimiliki

selama perkawinan berlangsung, baik suami dan isteri saling menganggap

memiliki hak atas harta kekayaan yang ada dalam perkawinan. Untuk

menghindari terjadi permasalahan mengenai harta antara pasangan yang telah

bercerai maka telah terlebih dahulu diadakan perjanjian kawin. Dengan

adanya perjanjian kawin, pembagian harta bersama (gono-gini) akan lebih

mudah karena dapat dipisahkan mana yang merupakan harta bersama dan

17
Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.
146-147.
18
H. M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982, hlm. 29.
19
Ibid.
12

mana merupakan harta bawaan dengan demikian, perjanjian perkawinan

berfungsi sebagai “pengendali masalah dikemudian hari”.

Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta

kekayaan calon suami isteri. Harta bersama (gono-gini) dan perjanjian

perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena masyarakat sering

menganggap bahwa perkawinan adalah suatu perbuatan suci sehingga tidak

sepantasnya membicarakan masalah harta benda. Masalah harta bersama

diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, yang secara garis besar menyatakan bahwa harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta

bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan

masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Akibat hukum dari perceraian terhadap pembagian harta bersama

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 37 telah

disebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda

diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud dengan

hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat, atau hukum

yang berlaku lainnya. Dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak

ditetapkan secara tegas mengenai berapa bagian masing-masing dari suami-

isteri terhadap harta bersama tersebut. Namun dalam Undang-Undang

Perkawinan ini rupanya memberikan kelonggaran dengan menyerahkan

kepada pihak suami-isteri yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa
13

yang akan diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta

bersama tersebut dan jika ternyata tidak ada kesepakatan, maka Hakim dapat

mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.20

Terdapatnya ketidakjelasan dalam pembagian harta bersama yang

diatur di Indonesia apabila terdapat suatu kondisi dimana adanya istri yang

lebih aktif bekerja atau berusaha dalam proses mendapatkan harta bersama.

Sedangkan suami hanya bersifat membantu. Sering kita dengar bahwa

perempuan menanggung kerja lebih lama dan tidak dihargai sebagai domestic

worker (Pekerjaan rumah tangga yang tidak mengenal titik (tidak ada

hentinya).21 Beban tersebut tentu bertambah berat, jika istri juga bekerja

mencari nafkah. Jika dikalkulasi beban istri adalah reproduksi, pekerjaan

domestik dan mencari nafkah. Sedangkan suami, karena diposisikan sebagai

kepala keluarga, untuk keperluannya sendiri saja harus dilayani istri.

Sehingga menimbulkan suatu persepsi apakah ketika terjadinya perceraian

diantara mereka dalam hal harta bersama akan dibagi seperdua (½ ) untuk

suami dan seperdua (½) untuk istri, ataukah terdapat suatu keadilan lain yang

dapat diciptakan guna menegakkan prinsip keadilan yang dijunjung tinggi

dimata hukum.

Pasal 119 ayat (1) KUHPerdata mengatur bahwa “mulai saat

perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara

harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian

kawin pendaftaran diadakan ketentuan lain”. Menurut KUHPerdata, apabila


20
Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hlm. 189.
21
Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan; Berwawasan Keadilan Gender, Malang, UIN Maliki
Press, 2011. cet.I, hlm. 141
14

suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan

perjanjian pisah harta diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu ialah

pencampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu milik orang berdua

bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah

separuh.22

Pasal 120 jo 121 KUHPerdata diatur bahwa persatuan bulat itu

meliputi :23

1. Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang

maupun kemudian hari;

2. Hasil perkawinan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan;

3. Utang-utang suami / istri sebelum dan sesudah perkawinan;

4. Kerugian-kerugian yang dialami selama perkawinan.

Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas

persetujuan dua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-

masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Akan tetapi apabila perkawinan

putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-

masing.24 Hal ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta

bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat

diatur, pembagian harta bersama terkadang jauh lebih rumit dari proses

22
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Abadi, 2002, hlm.38-
39.
23
Djaja B. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung, Nuansa Aulia, 2014,
hlm. 64.
24
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hlm.33
15

perceraian itu sendiri. Terlebih jika telah terjadi percampuran antara harta

yang diperoleh dalam masa perkawinan dengan harta bawaan masing-masing

suami isteri.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 menyatakan bahwa

perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat

kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.25 Jadi dapat dikatakan Perkawinan

merupakan salah satu perintah agama kepada pasangan suami-isteri yang

mampu untuk segera melaksanakannya, jalan yang dipilih oleh Allah SWT

agar pasangan suami-isteri dapat bekerja sama, tanggung jawab, serta

melestarikan keturunan (anak-cucu) dan bertujuan agar bisa terbangun sebuah

keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahma, karena perkawinan dapat

mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam

bentuk perzinahan.26

Perkawinan yang sah adalah Perkawinan yang dicatatkan, Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pasal 2 ayat 2

menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan itu berfungsi

sangat penting sebagai alat bukti tertulis yang sah untuk memperkarakan

25
Amiur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU Nomor. 1/1974 sampai KHI, Jakarta Kencana,
2004, hlm. 43
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm.7
16

persoalan rumah tangga secara hukum di Pengadilan Agama. Disamping itu,

juga untuk urusan-urusan administratif suami isteri dan anak-anaknya.27

Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian

pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting,

bukan suatu peristiwa hukum. Akta nikah/Buku Nikah dan pencatatan

perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya

perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena akta nikah dan pencatatan

perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang

menentukan. Karena yang menentukan keabsahannya suatu perkawinan

adalah menurut agama.

Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, walaupun secara

agama atau kepercayaan dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan

diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak memiliki

kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah dimata hukum Negara.

Akibat perkawinan tersebut berdampak sangat merugi bagi isteri dan

perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak

yang dilahirkan.

Berdasarkan permasalahan yang sudah dijelaskan penulis diatas maka

penulis tertarik untuk membahas hak waris anak terhadap harta peninggalan

orang tuanya. Hal ini juga yang mendorong penulis dalam penulisan tesisnya

yang berjudul “AKIBAT HUKUM PERKAWINAN TIDAK TERCATAT

27
Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, Jakarta, Pustaka Ilmu, 1986, hlm. 58
17

TERHADAP KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DITINJAU DARI

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN”

B. Idenstifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah di uraikan, terdapat suatu

masalah yang di rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep Perkawinan Tidak tercatat menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang Perkawinan?

2. Bagaimana akibat hukum Perkawinan Tidak Tercatat terhadap kedudukan

harta Bersama?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis tugas akhir yang hendak dicapai dalam penelitian ini

adalah:

1. Menganalisis konsep Perkawinan Tidak tercatat menurut Hukum

Islam dan Undang-Undang Perkawinan.

2. Menganalisis akibat hukum Perkawinan Tidak Tercatat terhadap

kedudukan harta Bersama.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan yang bersifat teoritis

dan praktis, yakni diantaranya:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam

pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum perdata yang


18

berhubungan dengan hak waris bagi penerima ahliwaris yang tidak

memperoleh hak warisannya secara keseluuhan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

penulis maupun pihak-pihak yang terkait. Selain itu juga dapat

bermanfaat dalam memberikan informasi yang dapat disumbangkan

pada masyarakat terkait permasalahan harta warisan yang tidak

diberikan kepada ahliwaris melainkan dikuasasai oleh orang lain yang

bukan ahliwaris.

E. Kerangka Pemikiran

Untuk lebih mudah mengulas permasalahan yang akan dijabarkan

dalam penulisan ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna

kata yang terkandung dalam variable judul antara lain ; hukum dalam kamus

bahasa Indonesia memiliki arti :28

Peraturan yg dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yg berlaku

bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara); 2 undang-undang,

peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat; 3

patokan (kaidah, ketentuan) mengenai suatu peristiwa (alam dsb) yg

tertentu; 4 keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl

pengadilan) vonis.

28
Tim Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008, hlm. 531
19

Perkembangan ilmu hukum selalu didukung oleh adanya teori

hukum sebagai landasannya dan tugas dari teori hukum tersebut adalah untuk

menjelaskan dan menjabarkan tentang nilai hukum, sehingga mencapai dasar-

dasar filsafahnya yang paling dalam, penulisan tesis ini penulis memilih

menggunakan dua teori kepastian hukum dan perlindungan hukum, karena

didalam kepemilikan atas tanah haruslah terdapat kepastian dan perlindungan

hukum bagi anak yang berhak mendapatkan hak waris atas peninggalan harta

dari orangtua.

1. Teori Kepastian Hukum

Teori ini sering disebut dengan yuridis formal. Teori kepastian

hukum adalah teori yang bertujuan menjaga kepentingan setiap orang

atau manusia sehingga tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan Kepastian

Hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi

diundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh negara jadi,

kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntutagar

hukum dilaksanakan dan tuntunan itu harus dipenuhi.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk

mencapainya ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam

pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia

dapat mengembangan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan


20

kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan

ketertiban hukum.29

2. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan berasal dari kata lindung yang berarti bernaung,

bersembunyi. Perlindungan berarti tempat berlindung30 dalam Black's

Law Dictionary memberikan pengertian protection sebagai: (1)

tindakan melindungi (the act of protecting), (2) proteksionisme

(protecsionism), (3) menutupi (coverge), (4) suatu dokumen yang

diberikan oleh seorang Notaris kepada pelaut atau orang lain yang

melakukan perjalanan ke luar negeri, yang menegaskan pemegangnya

adalah warga Negara AS (a document given by a Notary public to

sailors and other persons who travel abroad, certifying that the

bearer is U.S.citizen).

Menurut Sajipto Raharjo, perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang

dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberkan oleh

hukum.31

Menurut Friedrich Julius Stahl32 seorang pelapor hukum Eropa

Konentinal, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau

29
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis,Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, 2004, hlm. 239.
30
Peter Salim, Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. 2008.
31
Satjipto Raharjo, ilmu hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2000, h. 54.
32
Ibid. hlm. 210
21

pembagian kekuasaan, pemerintah bedasarkan peraturan

perundangundangan (wetmatigheid van bestuur) serta perlindungan

administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum disamping

mencakup perihal kesejahteraan sosial (wlfare state), kini juga

bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia

dalam konstitusi tertulis satu negara. Bedasarkan hal tersebut Negara

disamping bertugas unutk mensejahterakan masyarakat dan

memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan

perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur

dalam Pasal 28 I ayat (5) Undang-undang Dasar 1945 dikenal dengan

Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.33

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan yuridis Normatif dan yuridis

empiris. Penelitian ini mempergunakan metode yuridis Normatif, dengan

pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis Normatif

adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan.34 Metode pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute

approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian yuridis

Normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum,

33
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, h. 68.
34
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nomorrmatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm.14.
22

yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat

dalam berbagai perangkat hukum.

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tujuannya adalah

untuk mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan sistematis terkait gejala-

gejala hukum mengenai hak waris bagi anak yang tidak mendapatkan hak

warisannya berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang hukum waris.

Penulis dalam melakukan penelitian menggunakan beberapa sumber

data untuk menunjang penelitian ini mendapatkan hasil yang maksimal

dengan Data Primer yang diperoleh yaitu dari wawancara dengan pihak-pihak

terkait dan Data sekunder adalah jenis data yang diperoleh dari studi

kepustakaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.35 Teknik

pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terlebih dahulu

dengan melakukan studi kepustakaan untuk menginventarisir data-data

sekunder, yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Bahan hukum primer terdiri dari Norma atau kaedah dasar,

peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasikan seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat dan

bahan hukum dari zaman penjajahan yang kini masih berlaku,36

yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;


35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Surabaya, 2005 hlm. 23.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian Hukum Nomorrmatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 52.
23

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

c. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam;

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

kependudukan;

e. Fatwa MUI Nomor 10 tahun 2008 Tentang Nikah Di Bawah

Tangan

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder meliputi literatur-literatur yang berkaitan

dengan penelitian penulis mengenai hukum waris. Dalam arti

sempit bahan hukum sekunder pada umumnya berupa buku-buku

hukum yang berisi ajaran atau doktrin atau treatises, terbitan

berkala berupa artikel-artikel tentang ulasan hukum atau law

review, dan narasi tentang arti, istilah, konsep, Phase, berupa

kamus hukum atau ensiklopedia hukum. Dalam arti luas bahan

hukum yang tidak tergolong bahan hukum primer atau termasuk

segala karya ilmiah hukum yang tidak dipublikasikan atau yang

dimuat dikoran atau majalah populer.37

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk

atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

37
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Nomorrmatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, hlm 145.
24

sekunder, misalnya berupa bahan dari media internet, kamus-

kamus dan sebagainya.38

Penelitian ini menggunakan analisis dekskriptif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif, dimana menurut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa

pendekatan kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang

menghasilkan data deksriptif.39 Penelitian ini juga dilakukan dengan

membandingkan peraturan undang-undang, ketentuan-ketentuan, dan buku

referensi kemudian di analisis secara kualitatif yang memberikan gambaran

secara aspek hukum.

38
Op.cit, hlm 52.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Nomorrmatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, 2007, hlm. 32.
BAB II

TINJAUAN TEORI TENTANG PERKAWINAN DAN HARTA

PERKAWINAN

A. Tinjauan Teori Tentang Perkawinan

Perkawinan adalah suatu proses menuju hidup sakina, mawwadah,

dan rahmah. Melalui pernikahan manusia diharapkan dapat hidup bahagia,

yang didalamnya tentu saja disertai dengan upaya saling mencintai,

mengasihi, dan menghargai.40

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti “bercampur”. Dalam

arti fikih, nikah adalah yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan

dalam ikatan suami-isteri. Tujuan pernikahan Islam adalah keluarga bahagia

yang rukun, damai, serta penuh kasih sayang untuk mendapat keturunan yang

sah.41

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut

arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang

menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria

dengan seorang wanita. Akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan

diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk

keluarga bahagia dan kekal. Suci berarti mempunyai unsur agama atau

Ketuhanan Yang Maha Esa.

40
Udi Murfudin, Teologi Pernikahan, FUDPress, Serang, 2016, hlm. 1.
41
Ensiklopedia Islam, PT Ichtiiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005, hlm. 214.

25
26

1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam

Menurut syari’at (hukum) Islam, hakikat perkawinan adalah akad

antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai

suami istri, yaitu akad antara calon laki (suami) istri untuk memenuhi hajat

jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Sedangkan yang dimaksud

dengan akad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan

kabul dari pihak calon suami atau wakilnya42. Tujuan perkawinan menurut

hukum Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk

mendapatkan keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti

ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari’at.43 Dengan kata lain, tujuan

perkawinan menurut hukum Islam ialah agar turut (tunduk kepada)

perintah Allah untuk memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat

dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.

Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan

merupakan penjelasan dari ungkapan ikatan lahir batin yang terdapat

dalam rumusan Undang-Undang yang mengandung arti bahwa akad

perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.

Disamping perkawinan itu merupakan suatu pebuatan ibadah, perempuan

yang sudah menjadi isteri itu merupakan amanah Allah yang harus dijaga

42
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta, PT Hidakarya Agung, 1977,
hlm.1.
43
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta,
Liberty, 1986, hlm. 12
27

dan diperlakukan dengan baik. Dan ia diambil melalui prosesi keagamaan

dalam akad nikah. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang berasal dari

Ibnu Abbas yang berbunyi: Sesungguhnya kamu mengambilnya sebagai

amanah dari Allah dan kamu menggaulinya dengan kalimat dan cara-cara

yang ditetapkan Allah.44

Rukun perkawinan adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam

pelaksanaan perkawina, syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus

dipenuhi sebelum pelaksanaan perkawinan. Rukun perkawinan ada lima,

yaitu:45

a) Calon suami, dengan syarat: Islam, tidak dipaksa, bukan

mahramnya, tidak sedang haji atau umrah;

b) Calon istri, dengan syarat: Islam, bukan mahramnya, tidak sedang

haji atau umrah, tidak sedang dalam masa iddah, tidak bersuami,

mendapat izin wali;

c) Wali, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat akalnya, tidak fasik;

d) Dua orang saksi, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat akalnya,

tidak fasik, hadir dalam akad perkawinan;

e) Ijab kabul, dengan syarat: dengan mengatakan nikah atau zawaj

(kawin), ada kecocokan antara ijab dan kabul, berturut-turut (tidak

dilakukan di lain waktu), tidak ada syarat yang memberatkan

dalam pernikahan itu.

44
Amir Syarifuddin, Hukum Perakwinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007, hlm.
41.
45
Khuslan Haludhi dan Abdurrohim Sa’id, Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan
Agama Islam, Surakarta, Tiga Serangkai,2004, hlm. 135-136.
28

Hukum Islam tidak secara tegas sebuah perkawinan harus dicatat

dalam sebuah akta perkawinan, tetapi jika akta perkawinan itu

memberikan maslahat (kebaikan) bagi para pihak, maka hukum Islam juga

tidak melarang perkawinan dicatat dalam akta perkawinan, hal yang

demikian itu termasuk hal yang mubah (boleh dilakukan).

2. Pengertian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mendefinisikan

secara jelas tentang pengertian perkawinan hanya menberikan penjelasan

terkait pemberlakuan peraturan tersebut yang terdapat pada Pasal 26 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan “Undang-undang

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.

KUHPerdata juga mengatur terkait batas minimum dalam melakukan

perkawinan yang terdapat pada Pasal 29 yaitu:

“Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh

dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun

penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika

ada alasan-alasan penting, Presiden dapat menghapuskan

larangan ini dengan memberikan dispensasi”

Tidak hanya mengatur terkait batas minimum perkawian

KUHPerdata mengharuskan setiap perkawinan untuk dicatatkan pada

Pegawai Pencatatan Sipil di tempat salah satu pihak yang melangsungkan

perkawinan, hal ini dikemukan pada Pasal 50 KUHPerdata yang


29

menyebutkan : “Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan,

harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat

tinggal salah satu pihak”. Bahwa sangatlah jelas KUHPerdata

mengharuskan setiap setiap orang yang akan melakukan perkawinan

haruslah dicatatkan untuk kepentingan administrasi kependudukan, setalah

pencatatan tersebut berlangsung maka perkawinan dapat dilaksanakan oleh

kedua belah pihak ditempat tinggal dimana perkawinan tersebut

dicatatkan.

Berbeda dengan syarat dilangsungkannya perkawinan menurut

hukum Islam, bahwa dalam hukum Islam suatu perkawinan dianggap sah

apabila dilangsungkan dengan memenuhi syarat : adanya calon suami,

adanya calon istri, adanya wali, adanya dua orang saksi, serta terdapat ijab

kobul (janji nikah), maka setiap pernikahan yang telah memenuhi seluruh

persyatan tersebut dianggap sah menurut syariat Islam akan tetapi hanya

tidak dicatatkan kepada lembaga pencatatan sipil, dan ketika pernikahan

yang telah dilangsungkan menurut syariat islam tersebut ingin dicatatkan

maka kedua belah pihak memohon kepada Pengadilan untuk menyatakan

pernikahan yang telah dilangsungkan menurut syariat Islam adalah sah

dan dapat dicatatkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil tempat mereka

tinggal.

3. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang perkawinan


30

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mendefinisikan Perkawinan sebagai berikut :

“ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.

Terumuskan pengertian perkawinan yang di sebutkan dalam Pasal

1 Undang-Undang Perkawinan maka dapat diperhatikan dari rumusan

diatas dapat dikemukakan bahwa terdapat unsur-unsur suatu perkawinan46,

yakni adalah sebagai berikut:

a. Ikatan lahir dan batin;

b. Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri;

c. Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal

dan bahagia;

d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1) Ikatan Lahir Batin

Ikatan lahir merupakan ikatan yang terlihat yang

mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan

seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dalam

suatu lembaga perkawinan, ikatan lahir ini merupakan hubungan

formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya

46
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 26
31

maupun bagi orang lain atau masyarakat.47 Sementara itu, ikatan

batin merupakan hubungan non-formal, yang dapat digambarkan

sebagai suatu pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan

yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk

hidup bersama sebagai suami istri, atau yang dalam ketentuan UU

Perkawinan disebut sebagai persetujuan para pihak sebagai simbol

dari ikatan batin yang dimaksudkan dalam pengertian perkawinan.

Tahapan menjelang terjadinya perkawinan, ikatan batin

diperlukan sebagai tahapan awal ditandai dengan adanya

persetujuan dari calon mempelai, kemudian dilanjutkan dengan

ikatan lahir saat perkawinan dilangsungkan, adanya kedua ikatan

inimenjadi salah satu unsur pengertian perkawinan memperlihatkan

bahwa tujuan perkawinan tidak dapat dicapai hanya melalui aspek

lahiriah saja, tetapi juga membutuhkan persatuan batin antara

suami istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau

rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya, serta sesuai

dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

2) Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri

Rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan

bahwa perkawinan berlangsung antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri, hal ini menunjukan dua hal, yakni

47
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. 4, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1976, hlm. 14-15.
32

Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal perkawinan sesama

jenis. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan dengan

jelas jenis kelamin dari para pihak yang terikat dalam perkawinan,

yaitu antara pria dan wanita, maka dengan demikian tidak

dimungkinkan dilangsungkannya perkawinan sesama jenis di

Indonesia (antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita)

disebabkan peraturan hukum nasional Indonesia (Undang-Undang

Perkawinan) tidak mengenal perkawinan sesama jenis. Di sisi lain,

berkaitan dengan asas monogami yang dianut oleh Undang-Undang

Perkawinan, seorang suami diperbolehkan beristri lebih dari satu

orang, hanya apabila hukum dan agamanya mengizinkan hal

tersebut dengan memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan

oleh Pengadilan.

Hal ini menunjukan bahwa asas monogami yang dianut

oleh Undang-Undang Perkawinan tidaklah berlaku mutlak, namun

perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,

meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan,

hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

3) Bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal

dan bahagia

Sejatinya, tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga

yang kekal dan bahagia akan tercapai apabila suami istri saling
33

mencintai, menghormati, dan setia, selain itu sebuah keluarga inti

minimal terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Maka kehadiran keturunan

dalam perkawinan merupakan sebuah unsur yang diperlukan untuk

mencapai tujuan perkawinan, yakni membentuk keluarga. Pihak

suami istri tidak diperkenankan membatasi perkawinan mereka

dengan mengadakan perjanjian perkawinan untuk tidak memiliki

keturunan selama ikatan perkawinan berlangsung. Namun, apabila

ketidakhadiran seorang anak disebabkan karena kemandulan, hal

ini tidak membenarkan terjadinya perceraian untuk menikah dan

memiliki anak atau menikah kembali saat perkawinan berlangsung.

Perkawinan dimaksudkan untuk berlangsung selamanya,

seumur hidup, dan hanya terputus karena adanya kematian, maka

UU Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya

perceraian yang diputuskan oleh Pengadilan untuk memungkinkan

perceraian, maka harus ada sebab-sebab tertentu yang masuk akal.

4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagaimana Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan menyebutkan bahwa sebagai negara yang berdasarkan

Pancasila, dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha

Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali

dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga

mempunyai peranan yang penting. Hal ini menyiratkan arti bahwa


34

norma hukum masing-masing agama dan kepercayaan harus

dipertimbangkan saat hendak melangsungkan perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan memiliki prinsip-prinsip lain

yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan hukum di dalamnya,

yakni sebagai berikut:

a) Di samping suatu perkawinan adalah sah jika dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan

perkawinan merupakan hal yang sama pentingnya dengan

peristiwa-peristiwa hukum lain dalam kehidupan seseorang,

seperti kelahiran dan kematian yang perlu dinyatakan dalam

surat-surat keterangan (suatu akte resmi yang juga dimuat

dalam pencatatan).

b) Kedua calon mempelai suami istri yang akan

melangsungkan perkawinan harus telah masak jiwa raganya

untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan

sehat. Oleh karenanya, untuk mencegah adanya perkawinan

antara calon suami istri yang masih dibawah umur, Undang-

Undang Perkawinan telah menetapkan batas usia minimal

seseorang dapat melangsungkan perkawinan. Selain itu,


35

perkawinan berkaitan erat dengan masalah kependudukan,

dimana apabila batas umur ditetapkan lebih rendah atau

berlangsungnya suatu perkawinan di usia dini, maka hal ini

akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

c) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga,

maupun dalam pergaulan masyarakat, dengan demikian

segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan

diputuskan bersama oleh suami-istri.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang secara efektif pelaksanaannya mulai berlaku pada

tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor.9

Tahun 1975, maka seperti yang dikatakan dalam Pasal 66 UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan :

“Semua ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi

Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen

Indonesia 1933 nomor.74, Peraturan Perkawinan Campuran

(Regeling opgemeng de Huwelijken S.19898 nomor.158) dan

peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Perkawinan

sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dinyatakan tidak berlaku lagi”.


36

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar

masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945, disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)).48 Karena

tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Jadi dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara

nasional maka berlakulah pula masing-masing hukum agamanya dan

kepercayaannya sebagai hukum positif untuk perkawinan dan segala

sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian dan

masalah pembagian harta perkawinan, sepanjang tidak bertentangan atau

tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan. Beberapa

pengaturan hukum harta perkawinan yang ada di Indonesia meskipun

sudah diberlakukan hukum perkawinan nasional yaitu Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tetapi masih dimungkinkan untuk diberlakukan

kembali oleh pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, yang mengatakan

bahwa “bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur

menurut hukumnya masing-masing”.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1,

“perkawinan ialah ikatan lahir batin anatara seorang pria dengan seorang

48
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia,
1981, hlm. 104
37

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membemtuk keluarga (rumah

tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Indonesia ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila

pertamanya ilahah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan yang

erat sekali dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai

unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan

yang penting.49

Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia

merumuskannya dengan: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut yang

perlu diperhatikan:50

a. Digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung

arti bahwa perkawinan itu hanyalah anatara jenis kelamin yang

berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini

telah dilegalkan oleh beberapa negara barat;

b. Digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa

perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda

dalam suatu rumah tangga, bukan hanya istilah hidup bersama;

c. Dalam definisi tersebut disebutkan tujuan perkawinan, yaitu

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan

49
Mohd. Idris, Op Cit, hlm.3.
50
Amir Syarifuddin, Op Cit, hlm. 40.
38

sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam

perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil;

d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan

bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah agama dan dilakukan untuk

memenuhi perintah agama.

4. Hukum Melangsukan Perkawinan

Hukum untuk melangsungkan perkawinan tidak bersifat mutlak,

artinya hukum itu ditentukan oleh suatu keadaan yang sifatnya situasional

dan kondisional. Setiap hukum melekat pada diri setiap orang yang

memiliki niat atau telah sampai pada saatnya untuk menikah. Dalam

konsep Islam perkawinan itu ditunjukan untuk menghindari perbuatan

zina, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang mengandung

konsekuensi yang sangat berat dihadapan Allah SWT. Dalam ajaran Islam

ada beberapa hukum melangsungkan perkawinan antara lain:51

a. Wajib

Suatu perkawinan merupakan kewajiban bagi seseorang

manakala ia telah memiliki seorang calon untuk dinikahi dan secara

pribadi ia telah mampu secara finansial maupun spiritual untuk

melangsungkan perkawinan dan sangat dikhawatirkan jika

perkawinan itu ditundatunda, maka orang tersebut bisa terjerumus

kedalam perzinahan. Dalam kondisi seperti itu, maka hukumnya

wajib untuk melangsungkan perkawinan. Konsekuensi dari hukum

51
Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) Pernikahan, DU Publising, Jakarta, 2011, hlm.
53.
39

yang wajib, jika dengan sengaja perkawinan itu ditunda-tunda akan

menimbulkan dosa bagi mereka.

b. Sunnah

Suatu perkawinan mengandung hukum yang sunnah jika

sebenarnya orang tersebut telah mampu secara fisik maupun

finansial, namun karena situasi dan kodisinya dipandang tidak ada

kekhawatiran dia akan terjerumus di dalam perbuatan zina, misalnya

karena situsi lingkungan tempat ia tinggal cukup baik dan tidak

terdapat hal-hal yang dapat mendorong kepada perbuatan zina.

c. Haram

Pada prinsipnya ada beberapa hal yang menyebabkan suatu

perkawinan bagi seseorang menjadi haram, anatara lain karena ia

(laki-laki) sama sekali tidak mampu memberi nafkah atau sama

sekali tidak mampu melakukan hubungan seksual, kecuali jika dia

berterus terang kepada calon pasangannya dan ia menerimanya atau

bila dalam dirinya terdapat cacat fisik yang bila diketahui oleh

pasangannya tidak akan diterima olehnya, kecuali jika dari awal

berterus terang dan pasangannya menerima keadaan tersebut, atau

karena pasangannya bukan beragama Islam, atau seorang penzina

sehingga dikhawatirkan akan menularkan penyakit berbahaya, maka

perkawinan dalam kondisi seperti itu dilarang menurut pandangan

Islam karena akan menimbulkan penderitaan bagi pasangannya.


40

d. Makruh

Suatu perkawinan manjadi makruh, jika seseorang laki-laki

tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk hidup berumah

tangga, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan seperti

terjadi percekcokan dan mengakibatkan isteri menjadi kurang

penghargaan terhadap suami.

e. Mubah

Orang yang berada pada posisi tengah-tengah anatara hal-hal

yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang

mencegahnya untuk menikah, maka hukumnya menjadi mubah atau

boleh. tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada

larangan atau anjuran untuk mengakhirinya.

5. Syarat dan Rukun Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7,

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Undang-Undang ini

diperkuat dalam KHI Pasal 15 ayat 1 yang subtansinya sama bahwa

pembatasan usia perkawinan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan.

Dalam hukum perkawinan, dalam menetapkan rukun dan syarat

terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Akan tetapi semuah ulama

sependapat bahwa yang harus ada dalam perkawinan, anatar lain akad

perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali
41

dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan

mahar atau mas kawin.

Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya.

rukun nikah menurut Muhammad Yunus, merupakan bagian dari segala

hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak

dipenuhi perkawinan tersebut diangap batal.52

Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam

pengertianya. Yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat

dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya satu rukun perkawinan tidak

mungkin dilaksanakan, sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah

sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat

dan perkawinan itu sendiri.53

Menurut ulama fikih, bahwa rukun berfungsi menentukan sah atau

batalnya perbuatan hukum. Suatu perbuatan atau tindakan hukum

dinyatakan sah jika terpenuhi seluruh rukun dan perbuatan hukum itu

dinyatakan tidak sah jika tidak terpenuhi salah satu atau lebih atau semuah

rukunya.54

Arif Furqon berpendapat lain mengenai syarat-syarat

perkawinannya sebagai berikut:55

52
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 10.
53
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Libert,
Yogyakarta, 2007, hlm. 30.
54
Arif Furqon, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Dapartemen Agama RI, Jakarta, 200,
hlm. 85.
55
Ibid. hlm.82
42

a. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak, persetujuan ini syarat

mutlak untuk melangsungkan perkawina;

b. Adanya mahar (mas kawin), menurut perkawinan islam mahar

adalah hak mutlak calon pengantin laki-laki untuk memberinya

ketika akad nikah dilangsungkan;

c. Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan, larangan

karena beda agama dan larangan perkawinan karena hubungan

darah;

d. Syarat perkawinan umat Islam adalah pencatatan, menurut Pasal 2

ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kompilasi

Hukum Islam Pasal 6 sebagai hukum penerapan bagi umat Islam di

Indonesia menegaskan “setiap perkawinan harus dilangsungkan

dihadapan dan dibawah Pegawai Pencatatan Nikah. Perkawinan

yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatan Nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum”.

Menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan di

sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan

perkawinan dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja.

Berdasarkan rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:56

a. Calon mempelai laki-laki;

b. Calon mempelai perempuan;

56
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm 61.
43

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengadakan perkawinan;

d. Dua orang saksi;

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.

6. Asas Perkawinan

Ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara

pria dengan seorang wanita. Yang mempunyai segi-segi perdata berlaku

beberapa asas, diantaranya adalah:57

a. Asas kesatu, kesukarelaan merupakan asas terpenting perkawinan

Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua

calon suami isteri, tetapi juga anatara kedua orang tua kedua belah

pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seseorang wanita,

merupakan sendi asasi perkawinan Islam;

b. Asas kedua, perstujuan kedua adalah pihak merupakan konsekuensi

logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan

dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk

dinikahan dengan seorang pemuda, misalnya harus diminta lebih

dahulu oleh wali orang tuanya. Bahwa perkawinan yang

dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat dibatalkan

oleh pengadilan.

c. Asas ketiga, kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam

Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika

seorang gadis bernama jariyah menghadap Rasullah dan menyatakan

57
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 139.
44

bahwa ia telah dikawinan oleh ayahnya dengan seorang yang tidak

disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu nabi menegaskan

bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk merumuskan perkawinan

dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya

perkawinan dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin

dengan orang lain yang disukainya.

d. Asas keempat kemitraan suami isteri, dengan tugas dan fungsi yang

berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut

dalam Al-Qur’an surat An-Nisa (4) ayat 34 dan surat Al-Baqaroh (2)

ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami isteri dalam

beberapa hal. Yang lain berbeda suami menjadi kepala keluarga,

isteri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah

tangga.

e. Asas kelima, untuk selama-lamanya, menunjukan bahwa perkawinan

dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta

serta kasih sayang selama hidup (QS. Ar-Rum (30):21). Berdasarkan

asas ini pula maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara

untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang

terdapat dalam masyarakat Arab jahiliyah dahulu dan beberapa

waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.

f. Asas keenam monogamy terbuka, disimpulkan dari Al-Quran surat

An-Nisa (4) ayat 3 jo ayat 129. Ayat 3 menyatakan bahwa seorang

pria muslim dibolehkan atau boleh beristeri lebih dari seorang, asal
45

memenuhi beberapa syarat tertentu diantaranya adalah syarat mampu

berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi isterinya. Ayat 129

surat yang sama Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin

berlaku adil terhadap isteri-isterinya walaupun ia ingin berbuat

demikian.

Ketidak mungkinan berlaku adil terhadap isteri-isteri itu maka

Allah menegaskan bahwa seseorang laki-laki lebih baik kawin dengan

seorang wanita saja. Ini berarti bahwa beristeri lebih dari seorang

merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki

muslim kalau terjadi bahaya. Anatara lain untuk menyelamatkan dirinya

dari berbuat dosa kalau istrinya tidak mampu memenuhi kewajibannya

sebagai isteri.58

7. Tujuan Perkawinan

Perkawinan mempunyai tujuan seperti yang ditentukan dalam

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Perkawinan yang tidak mempunyai

tujuan seperti dimaksud dalam Pasal 1, bukan perkawinan yang diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan. Setiap perkawinan bertujuan

membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil

terdiri atas suami, isteri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya

membentuk kesatuan hubungan suami isteri dan anak-anak dalam satu

58
Ibid, hlm.142.
46

wadah yang disebut rumah kediaman keluarga bersama. (ayah, ibu, dan

anak-anak).59

Perkawinan dilaksanakan berlangsung terus tidak boleh diputuskan

begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu tertentu, tidak

mengenal batas waktu, kecuali jika salah satu pihak meninggal dunia.

Perkawinan berdasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa, artinya

perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, tetapi

sebagaian karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Oleh

karena itu, perkawinan dilakukan secara berkeadaban pula, sesuai ajaran

agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia.60

Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-

masing individu yang akan melakukannya, ada juga tujuan umum yang

memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan,

yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir batin menuju

kebahagian dan kesejahteraan dunia akhirat.61

Adapun pernikahan yang diajarkan Islam meliputi beberapa aspek,

adapun aspek-aspek tersebut adalah:62

a. Aspek personal

Penyaluran kebutuahan biologi, sebagai suatu sunnatullah manusia

selalu hidup berpasangan akibat daya tarik, nafsu syahwat diantara

dua jenis kelamin. Hidup bersama dan berpasangan tadi tidaklah

59
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm 85.
60
Ibid, hlm. 86
61
Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 12.
62
Ibid, hlm.27
47

harus selalu dihubungkan dengan masalah seks walaupun faktor ini

merupakan faktor yang dominan.

b. Aspek sosial

Pernikahan sebagai ikatan yang sangan kuat, pernikahan juga

mengajarkan kepada kita tanggung jawab akan segala akibat yang

timbul karenya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih saying

terhadap keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan

kearah yang lebih baik dengan berbagai cara. Seseorang yang telah

berkeluarga selalu berusaha untuk membahagikan keluarganya.

Sikap tersebut akan memberikan dampak yang baik terhadap

lingkungannya Sebagai makhluk sosial.

c. Aspek ritual

Dalam agama Islam kebutuhan biologis hanya dibolehkan melalui

satu cara yaitu pernikahan. Ajaran Islam mengenani pernikahan yang

kita pahami dari tujuan, hikmah, dan prinsip-prinsipnya tidak

menitik beratkan kepada kebutuhan biologis semata dan bukan

sekedar tertib administrasi. Pernikahan adalah bagian syari’at Islam

sebagai ketaatan makhluk kepada Allah.

d. Aspek kultural

Peristiwa pernikahan sepertinya tidak cukup dengan

persyaratanpersyaratan agamis saja. Hampir semuah tempat

peristiwa keagamaan tersebut selalu dibumbui oleh kultur-kultur


48

lokal yang syarat dengan simbol. Sesuatu yang Oleh Islam

dibolehkan selama tidak mengarah pada hal-hal yang terlarang.

Tujuan perkawinana dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntunan

hajat tabiat kemanusian, berhubungan anatara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia. Dikatakan dalam

Pasal 1 tahun 1974 bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami

isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan keluarga

yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dengan demikian

yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundang-undangan adalah

untuk kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan, dan

menegakkan keagamaan.63

Berbicara mengenai tujuan perkawinan, kedua belah pihak antara

laki-laiki dan perempuan melangsungkan pernikahan atau perkawinan

berujuan untuk memperoleh keluarga yang sakinah, mawadah, dan

rahmah:64

a. Tujuan pernikahan sakinah (tenang)

Salah satu tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk

memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang dalam

hal ini seseorang yang melakukan pernikahan berkeinginan memiliki

keluarga yang tenang dan tentram.

63
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.
21.
64
ABD. Shomad, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah dalam huku), Kencana
Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm 10.
49

b. Tujuan pernikahan mawadah dan rahmah

Tujuan pernikahan selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga

yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan mawadah yaitu

untuk memiliki keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta,

berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan

rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat

rasa kasih sayang, yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat

kerohanian. Mawaddah wa rahmah ini adalah sikap saling menjaga,

saling melindungi, saling membantu, saling memahami hak dan

kewajiban masing-masing.

Menurut Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 5 hal terpenting yang

menjadi fungsi hikmah dan keutamaan pernikahan yaitu:65

a. Orang-orang beriman yang mempunyai kemampuan untuk mendidik

anak menjadi anak-anak yang shaleh sudah selayaknya memiliki

keinginan untuk memperoleh anak, sebab dengan terciptanya anak-

anak yang shaleh akan banyak berpengaruh sangat bermanfaat bagi

memperbaiki orang dan lingkungannya dengan hal ini juga setiap

orang tua memiliki nilai dalam bertaqarrub ilallah. Al-Ghazali

mengatakan ada 4 aspek bentuk taqarrub dalam dimaksud dengan

memperoleh anak ini yaitu:

1) Mencari keridhaan Allah dengan memperoleh anak demi

mempertahankan kelansungan jenis manusia;

65
Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni
& Syi’ah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008, hlm. 23.
50

2) Mencari keridhaan Rasulullah dengan memperbanyak keturan,

pada hari kiamat yang menjadi kebangga beliau;

3) Mengaharapkan do’a anak yang shaleh sepeninggalnya;

4) Mengaharapkan syafaat dari anaknya.

b. Sebagai penyalur gejolak syahwat;

c. Menghibur hati;

d. Pengelolaan rumah tangga;

e. Melaksanakan kewajiban kemasyarakatan.

B. Harta Bersama

Pada dasarnya tidak ada pencampuran harta kekayaan dalam

perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono-gini

pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di

Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh hukum Islam dan hukum

positif yang berlaku di Indonesia. Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan

telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri

dalam perkawinan mereka. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat

ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut ini :

1. Undang-undang perkawinan Pasal 35 ayat 1 menyebutkan bahwa

yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah:

“Harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan” Artinya,

harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan

tidak disebut sebagai harta gono-gini.


51

2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan

bahwa:

“Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum

terjadi harta bersama menyeluruh antara suami-istri, sejauh

tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam

perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan

berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu

persetujuan antara suami-istri”

3. Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 tahun 1991) Pasal 85

dsebutkan bahwa: “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu

tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing

suami atau istri”. Pasal ini telah menyebutkan adanya harta gono-

gini dalam perkawinan, dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam

mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini),

meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya

sejumlah harta milik masing-masing pasangan baik suami maupun

istri.

4. Kompilasi Hukum Islam Pasal 86 ayat (1) dan (2) kembali

menyatakan “(1) pada dasarnya tidak ada pemcampuran antara

harta suami dan harta istri karena perkawinan” dan pada ayat (2)

ditegaskan bahwa pada dasarnya “harta istri tetap menjadi hak

istri dan dukuassai penuh olehnya, demikian juga harta suami

tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”.


52

Kompilasi Hukum Islam Pasal 86 ayat (1) dan (2) bertolak belakang

dengan ketentuan Pasal sebelumnya (Pasal 85). Jika dianalisis secara seksama,

ketentuan dalam Pasal 86 sebenarnya lebih bersifat informatif bahwa dalam

hukum Islam tidak dikenal istilah harta gono-gini, yang merupakan persatuan

antara harta suami dan istri. Istilah harta gono-gini, yang merupakan persatuan

antara harta suami dan istri lebih dikenal dalam ketentuan hukum positif

nasional.

Berdasarkan ketentuan KHI Pasal 85 bahwa sejak terjadinya

perkawinan tidak tertutup kemungkinan adanya percampuran antara harta

kekayaan suami dan harta kekayaan istri. Dengan kata “kemungkinan”

dimaksudkan bahwa harta gono-gini itu masih diperbolehkan asalkan tidak

ditentukan dalam perjanjian perkawinan. Harta gono-gini mencakup segala

bentuk activa dan passiva selama masa perkawinan. Pasangan calon suami

istri yang akan menikah diperbolehkan menentukan dalam perjanjian

perkawinan bahwa harta perolehan dan harta bawaan merupakan harta gono-

gini. Hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 49 ayat (1):

“Perjanjian perkawinan harta pribadi dapat meliputi semua harta,

baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang

diperoleh masing-masing selama perkawinan”.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, harta bersama dalam

perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Bilamana

suami istri bekerja, lalu bersepakat menjadikan penghasilan yang diperolehnya

untuk disatukan saja, maka harta yang dikumpulkan ini disebut harta
53

bersama.66 Suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta

bersama tersebut. Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur

tentang harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama

tersebut secara benar, oleh karena itu terlebih dahulu dikemukakan beberapa

pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan harta bersama.

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta

bersama terdiri dari dua kata yaitu, harta dan bersama.67 Harta adalah barang-

barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan. Sedangkan bersama

adalah seharta, semilik. Selanjutnya mengenai pengertian harta secara

terminologis adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi

kekayaan yang diperoleh suami istri secara bersama-sama dalam

perkawinan.68

Telah dikemukakan diatas bahwa harta bersama adalah harta hasil

usaha bersama (suami-istri) didalam perkawinan. Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan harta bersama adalah harta

yang diperoleh selama perkawinan.69 Hal ini berarti bahwa terbentuknya harta

bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai

perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena kematian. Harta

bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki

66
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007,
hlm. 359
67
W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993),
hlm. 347
68
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I edisi IV, hlm. 52.
69
Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, Jakarta, Armas Duta Jaya, 1990, hlm.
276.
54

seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti penting bagi

seseorang karena dengan memiliki harta dapat memenuhi kebutuhan hidup

secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat.

Namun harta bersama tersebut akan menjadi harta yang tidak lagi dapat

disebut sebagai harta bersama ketika telah terjadi cerai mati atau perceraian

yang mana di daerah Jawa umumnya disebut dengan harta gono-gini.70

Dijelaskan harta gono-gini dalam ensiklopedia hukum Islam adalah

harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama masa perkawinan.

Dalam masyarakat Indonesia pada setiap daerah mempunyai sebutan yang

berbeda untuk menyebut harta pasca berakhirnya perkawinan, seperti di Aceh

disebut hareuta seuhareukat, di Minangkabau disebut harta suarang, di

daerah Sunda disebut guna kaya atau tumpang kaya, di Madura disebut ghuna

ghana dan masih terdapat banyak penamaan lain dari harta bersama.71

Hukum Islam hanya mengenal dengan sebutan syirkah,72 harta

bersama dalam perkawinan termasuk syirkah abdan mufawwadah, dikatakan

syirkah abdan karena suami istri secara bersama-sama bekerja membanting

tulang dalam mencari nafkah sehari-hari, dikatakan syirkah mufawwadah

karena perkongsian antara suami istri itu tidak terbatas.73

70
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta, Rajawali Pers, 2010, cet.1, hlm. 179
71
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2013, cet.1, hlm. 169.
72
Syirkah adalah percampuran. Menurut ulama‟ fikih syirkah adalah akad kerjasama
antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. lihat, Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
jilid 5, Jakarta, Cakrawala Publishing, 2009, hlm. 403.
73
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm. 154
55

Maka pengertian harta bersama adalah harta kekayaan74 yang

diperoleh selama perkawinan, diluar hadiah atau warisan dalam kaitan ini,

harta gono-gini atau harta bersama tergolong harta yang terkait dengan hak

suami istri.75 Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui

persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama

dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh

secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta

yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta

bersama, tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang

membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada

saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.76

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan

(harta pencarian). Harta bersama dikuasai oleh suami dan isteri, Pasal 35 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan

“harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda

bersama”. Kemudian, menurut J.Satrio, yang memakai istilah harta persatuan,

memberikan definisi sebagai berikut :77

74
Harta Kekayaan adalah benda ekonomi, maka aturan hukum yang mengaturnya tergolong
hukum ekonomi yang meliputi aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Lihat, Abdulkadir
Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 2.
75
Abu Yasid, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern 3; Fikih Keluarga, Jakarta,
Erlangga, 2007, hlm. 119.
76
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana,
2006, hlm. 109.
77
J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 54-55.
56

“Harta persatuan adalah harta milik suami-isteri bersama-sama, yang

terbentuk sebagai akibat dari perkawinan mereka, yang meliputi harta

bergerak maupun harta tak bergerak, yang dibawa oleh suami-isteri

ke dalam perkawinan mereka dan yang mereka peroleh sepanjang

perkawinan dan hasil dari pendapatan mereka sepanjang perkawinan,

sekedar mengenai hal itu tidak ditentukan lain, dikurangi dengan

hutang-hutang, yang dibuat suami-isteri sebelum perkawinan mereka

dan hutang persatuan yang dibuat oleh mereka sepanjang

perkawinan”.

Definisi yang dikemukakan oleh J. Satrio, terlihat bahwa harta

bersama yang dimaksudkan adalah harta yang terbentuk akibat adanya

perkawinan. Sehingga apabila terjadi perkawinan maka dengan serta merta

terjadi percampuran harta, harta-harta milik pribadi suami maupun isteri

sebelum perkawinan otomatis masuk menjadi harta bersama. Definisi tersebut

tidaklah memisahkan antara harta bawaan masing-masing suami isteri dengan

harta yang diperoleh selama masa perkawinan, walaupun demikian terdapat

pengecualian apabila antara suami isteri memperjanjikan lain.

Berbeda dengan J. Satrio, menurut Martiman Prodjohamidjodjo, yang

disebut sebagai harta bersama adalah “Harta yang diperoleh selama

perkawinan, karena pekerjaan suami atau isteri”.78 Walau tidak secara jelas

dinyatakan, pengertian tersebut telah memisahkan antara harta bawaan

78
Martiman Projohamijoyo, Tanya Jawab Mengenai Undang-undang Perkawinan dan
Peraturan Pelaksanaan, Jakarta, Pradnya Paramita, 1991, hlm. 34.
57

masing-masing suami isteri sebelum perkawinan dengan harta bersama, dan

membatasi harta bersama hanya sebatas harta yang diperoleh selama

perkawinan, tanpa mempersoalkan siapa yang menghasilkannya.

Kemudian menurut Hilman Hadikusuma harta bersama adalah :79

“Harta yang didapat suami isteri selama perkawinan (harta

pencarian). Harta bersama ini jika perkawinan putus (cerai mati atau

cerai hidup) diatur menurut hukumnya masing-masing (hukum adat,

hukum agama, hukum lainnya)”

Selanjutnya, menurut Abdul Manan bahwa :80

“Semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan

perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh

secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian

juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung

adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah isteri atau

suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami

mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah

atas nama siapa harta itu didaftarkan”

Terhadap harta bersama suami atau isteri mempunyai hak dan

kewajiban yang sama. Kewenangan penyelesaian harta bersama menurut

79
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hlm.114
80
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana,
2006, hlm.108.
58

ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan

“Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing”. Kata “hukumnya” masing-masing adalah hukum

agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dengan demikian, apabila

terjadi perceraian, harta bersama dibagi berdasarkan hukum yang telah berlaku

sebelumnya bagi suami isteri yaitu hukum agama, hukum adat, hukum BW,

dan lain sebagainya. Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan

arti penguasaan harta bersama, yang diperoleh bersama dalam perkawinan.

Karena ada kecenderungan pembagiannya yang tidak sama, yang mengecilkan

hak isteri atas harta bersama. Tanggung jawab suami dan isteri terhadap harta

bersama, yaitu dinyatakan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 yakni “suami atau isteri dapat bertindak terhadap harta bersama

atas persetujuan terhadap kedua belah pihak”.

Karena adanya kebersamaan harta antara suami istri, maka harta gono-

gini menjadi hak milik keduanya, untuk menjelaskan hal ini sebenarnya ada

dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak guna, artinya

mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat

harus mendapat persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan

menggunakan harta gono-gini, dia harus minta izin dari istrinya. Demikian hal

sebaliknya, istri harus mendapat izin suaminya jika akan menggunakan harta

gono-gini. Undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (1) menyebutkan:

“Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak”.


59

Jika penggunaan harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah

satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum

karena merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut secara hukum.

Dasarnya adalah KHI pasal 92 menyatakan: “Suami atau istri tanpa

persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta

bersama”. Suami atau istri diperbolehkan menggunakan harta gono-gini

sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak.

Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur bahwa : “Harta bersama

dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak

lainnya”.

Pembagian harta gono-gini perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk

semua pihak terkait, keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian

bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasi salah satu pihak. Hal ini

disebabkan pasangan yang menikah biasanya tidak memikirkan harta

bawaannya masing-masing serta harta yang didapatkan setelah perkawinan,

ketika awal menikah umumnya suami dan istri tidak pernah berfikir untuk

melakukan perceraian, sehingga ketika rumah tangga ternyata putus maka

pembagian harta gono-gini menjadi permasalahan yang sangat utama.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan,

KUHPerdata dan Kompilasi Hukum Islam, maka masing-masing dari

pasangan tersebut mendapatkan yang sama. Artinya pasangan yang tidak

bekerja tetap mendapatkan bagian yang sama, meskipun demikian pembagian


60

dengan presentase 50:50 tidaklah mutlak, dapat pula didasarkan pada

pertimbangan penghasilan paling besar.

C. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan merupakan bagian dari syarat formil yang

harus dipenuhi oleh pasangan suami istri yang telah melangsungkan

perkawinan, selain Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memiliki

ketentuan hukum di dalamnya yang mengatur mengenai pencatatan

perkawinan. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tidak hanya mengatur mengenai pencatatan

perkawinan dalam negeri, tetapi juga pencatatan perkawinan atas perkawinan

yang dilangsungkan di luar negeri.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,

berdasarkan Pasal 106, ketentuan pencatatan perkawinan yang terdapat dalam

berbagai peraturan hukum lama dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Adapun

peraturan-peraturan hukum lama mengenai pencatatan perkawinan yang telah

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku adalah sebagai berikut :

a. Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga Kitab

Undang- Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie,

Staatsblad 1847:23);

b. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het

Holden der Registers van den Burgerlyken Stand voor Europeanen,


61

Staatsblad 1849: 25 sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Staatsblad 1946: 1361);

c. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Cina (Bepalingen voor

Geheel Indonesie Betreffende het Burgerlijken Handelsrecht van de

Chinezean. Staatsblad 1917: 129 jo. Staatsblad 1939: 288

sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1946: 136);

d. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia (Reglement op

het Holden van de Registres van de Burgerlijken Stand Door Eegnigle

Groepen v.d nit tot de Onderhoringer van een Zelfbestuur,

behoorende Ind. Bevolking van Java en Madura, Staatsblad 1920: 751

jo. Staatsblad 1927: 564);

e. Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia

(Huwalijksordonantie voor Christenen Indonesiers Java, Minahasa en

Amboiena, Staatsblad 1933: 74 jo. Staatsblad 1936: 607 sebagaimana

diubah terakhir dengan Staatsblad 1939: 288);

f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961 tentang Perubahan atau

Penambahan Nama Keluarga (LN Nomor 15, TLN Nomor 2154).

Sementara itu, suatu perkawinan berdasarkan hukum perkawinan

Indonesia tidak hanya berlaku bagi perkawinan yang dilangsungkan di

Indonesia, tetapi juga berlaku bagi warga negara Indonesia yang

melangsungkan perkawinan di luar negeri berkenaan dengan berlakunya

hukum nasional berdasarkan asas personalitas, selain syarat materiil yang

harus dipenuhi oleh pasangan suami istri tersebut sebelum hendak melakukan
62

perkawinan, syarat formil berupa prosedur juga harus dipenuhi. Akan tetapi,

apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri dan karena adanya sebab-

sebab tertentu yang menyulitkan pasangan tersebut untuk kembali ke

Indonesia dalam rangka pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan

perkawinan dan pencatatan perkawinan untuk memenuhi syarat formil

perkawinan, peraturan perundang-undangan telah mengakomodir kesulitan

tersebut dengan mengeluarkan peratuan tersendiri bagi perkawinan yang

dilangsungkan di luar negeri.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010

tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan Dan Pelaporan Akta Yang

Diterbitkan Oleh Negara Lain, ruang lingkup dari pencatatan perkawinan dan

pelaporan akta pencatatan sipil yang diterbitkan oleh negara lain meliputi :

a. Perkawinan yang melampaui batas waktu;

b. Perkawinan yang ditetapkan pengadilan;

c. Perkawinan Warga Negara Asing; dan

d. Akta yang diterbitkan oleh negara lain.81

Sebagaimana Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan, perkawinan

yang dilangsungkan oleh warga negara Indonesia atau salah satu pasangannya

adalah warga negara asing yang dilaksanakan di luar negeri wajib dicatatkan

pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada

81
“pelaporan perkawinan melampaui batas waktu” adalah pelaporan perkawinan yang sah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang melampaui 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan. Lihat : Indonesia (d), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010
tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan Dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara
Lain, Permendagri Nomor 12 Tahun 2010, Pasal 2.
63

perwakilan Republik Indonesia. Selanjutnya, dalam waktu paling lambat 30

hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia, maka harus dilaporkan

kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sesuai dengan domisili

yang bersangkutan. Ketentuan jangka waktu sebanyak 30 hari dalam Pasal 37

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menggantikan ketentuan jangka

waktu dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni 1 tahun.

D. Perkawinan Tidak Tercatat

Perkawinan tidak tercatat ini sama halnya dengan perkawinan di

bawah tangan dan perkawinan “urfi”82 yaitu praktik perkawinan yang rukun-

rukun maupun syarat-syarat perkawinannya sudah terpenuhi, akan tetapi tidak

mendaftarkannya pada Pejabat Pencatat Nikah, sebagaimana diatur dan di

tentukan oleh Undang-Undang Noomor 1 Tahun 1974,83 Indonesia secara

sosiologis masyarakat sering menyebutnya sebagai nikah siri, meskipun kalau

ditelusuri secara mendalam penggunaan istilah nikah siri kurang tepat, karena

kalau merujuk pada historis penggunaan istilah nikah siri pada masa Umar bin

Khattab digunakan untuk perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan rukun

dan syarat dalam perkawinan, sebagaimana terekam di dalam kitab al-

Muwatha’ :

82
Perkawinan “urfi” ini merupakan tradisi yang dikenal di Mesir. Dimana perkawinannya
sudah memenuhi syarat dan rukunnya dan dianggap sah menurut fikih konvensional, tetapi tidak
mencatatkannya berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Ulya Hikmah Sitorus &
Muhammad Rozali, “Analisis Fatwa Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir) Tentang Nikah “Urfi” Dalam
Kitab Al-Kalim Al-Tayyib Fatawa Asriyah”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 12 No. 1, 2016, 54
83
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 41.
64

“Artinya: Sesungguhnya Umar bin Khattab pernah diberikan laporan

mengenai kasus perkawinan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-

laki dan seorang perempuan. Maka dia berkata: ini adalah

pernikahan siri dan aku tidak memperbolehkannya. Sekiranya aku

hadir dalam pernikahan itu pasti aku rajam”84

Alasan peneliti lebih memilih istilah perkawinan tidak tercatat di

dalam penelitian ini, karena didasarkan pada pemahaman dari kebalikan istilah

yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Pasal 2 Ayat (2). Dimana menurut metode penafsiran autentik,

penafsiran yang sahih terhadap arti kata-kata di dalam Undang-undang harus

sesuai dengan istilah yang di berikan oleh pembentuk Undang-Undang.85

1. Perkawinan Tidak Tercatat Menurut Prespektif Hukum Islam

Hukum Islam menjelaskan agar pernikahan itu bisa sah, maka

harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, rukun

perkawinan ini masing-masing ulama memiliki beberapa pendapat yang

berbeda-beda. Menurut Imam Syafi’i rukun perkawinan yaitu adanya

calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dua orang saksi, sighat

(sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan

atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat

diketahui melalui ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan)86 akad nikah.

Imam Malik menyebutkan rukun perkawinan antara lain; wali dari pihak
84
Imam Malik bin Anas, al-Muwatha‟ , Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, 439
85
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, hlm. 69.
86
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hlm. 46.
65

perempuan, mahar, calon mempelai laki-laki dan perempuan, sighat akad

nikah. Imam Hanbali menyebut rukun perkawinan yakni adanya calon

mempelai laki-laki dan perempuan, wali, ijab dan qabul, sedangkan

menurut Imam Hanafi rukun perkawinan hanya ijab dan qabul.87

Keabsahan perkawinan tidak tercatat ini sesuai dengan Fatwa MUI

Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Nikah di Bawah Tangan yang

memutuskan dua poin. Pertama, perkawinan tidak tercatat hukumnya sah,

asalkan tidak menimbulkan mudarat. Kedua, pernikahan harus dicatatkan

secara resmi di KUA sebagai langkah preventif untuk menolak dampak

negatif (saad addzari’ah). Fatwa MUI tersebut terlihat sangat jelas

menjelaskan perkawinan tidak tercatat sah, asalkan tidak menimbulkan

mudarat, pencatatan perkawinan hanya sebagai langkah preventif saja,

supaya perkawinan tidak tercatat tidak menimbulkan kemudaratan

dikemudian hari.

Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq yang membagi ketentuan perkawinan

kepada dua kategori. Pertama, peraturan syara’: yakni yang berhak

memutuskan sah tidaknya perkawinan didasarkan pada ketetapan syariat

Islam yang telah dirumuskan ulama. Kedua, peraturan bersifat tawsiqy

yaitu sebuah peraturan tambahan yang diciptakan untuk menertibkan

87
Asep Aulia Ulfan & Destri Budi Nugraheni, “Analisis Yuridis Peluang Pencatatan
Perkawinan Sebagai Rukun Dalam Perkawinan Islam”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol 1, No. 1,
Maret 2014, hlm.29.
66

perkawinan dengan cara dicatatkan, supaya perkawinan umat Islam tidak

liar.88

2. Pernikahan Tidak Tercatat Menurut Prespektif Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum

Islam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

sebagai bentuk legislasi hukum perkawinan yang materi hukumnya lebih

dominan diambil dari hukum Islam nampak kesulitan menempatkan posisi

rukun dan syarat perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan lebih memilih menggunakan syarat-syarat

perkawinan daripada rukun-rukun. Terdapat dalam Pasal 6 sampai 12

sebagai berikut:

a. Perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua mempelai;

b. Berumur 21 tahun, bagi yang berumur dibawah 21 tahun harus

mendapatkan izin kedua orang tuanya. Jika kedua orang tuanya

tidak mampu atau sudah meninggal, boleh diwakilkan oleh

walinya, orang yang memelihara atau keluarga yang yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan yang lurus

keatas. Jika kedua orang tuanya dan keluarganya tidak mampu,

boleh diwakili pengadilan setempat;

c. Pria dan wanita yang ingin melangsungkan perkawinan minimal

berusia 19 tahun sesuai UU Nomor 16 Tahun 2019 revisi atas UU


88
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis
Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm.
33-36
67

Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7. Apabila terpaksa melakukan

pernikahan dibawah umur 19 tahun, boleh meminta izin dispensasi

nikah pada Pengadilan Agama;

d. Perkawinannya tidak terlarang, seperti hubungan mahram,

hubungan semenda, hubungan saudara sepersusuan. Untuk suami

yang mau menikah lebih dari satu istri, dilarang menikahi saudara

istri, bibi atau kemenakan dari istri. Dilarang perkawinan seseorang

yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, kecuali

mendapatkan izin dari pengadilan sesuai prosedur dan persyaratan

yang sudah ditentukan dalam Pasal 3 dan 4.

e. Dan bagi wanita tidak berada dalam masa iddah.

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan rukun dan syarat perkawinan

tidak jauh berbeda dengan fikih konvensional, perbedaannya hanya pada

pembatasan usia perkawinan yang dalam KHI ketentuannya mengikuti

UUP dan lebih lengkap.89 Pembatasan perkawinan ini ditetapkan KHI,

karena dalam syariat Islam dan fikih konvensional tidak dibahas sama

sekali. Sehingga KHI bebas mencantumkannya berdasarkan ijtihad, karena

dengan dibatasinya usia perkawinan dinilai lebih maslahat.

Rukun dan syarat perkawinan dalam UUP dan KHI bisa

dirangkum dan diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni syarat materiil

dan syarat formil. Pertama, persyaratan materiil yang menyangkut pihak-

pihak yang terkait dengan perkawinan atau terkait dengan pribadi

89
Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia: Telaah Kompilasi Hukum
Islam, Yogyakarta, Pustaka Ilmu, 2017, hlm. 189
68

seseorang yang wajib diperhatikan dalam melaksanakan perkawinan.

Syarat meteriil ini ada lima: (1) perkawinan harus berdasarkan persetujuan

kedua calon mempelai. (2) bagi kedua calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tuanya. (3)

masing-masing kedua calon mempelai harus berusia 19 tahun sesuai

dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 revisi atas UU Nomor 1 Tahun 1974.

Kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pencatat yang

ditunjuk untuk itu. (4) kedua belah pihak tidak terikat dengan perkawinan,

kecuali agamanya mengizinkan poligami. (5) bagi perempuan yang akan

menikah kedua kalinya atau seterusnya, harus menunggu masa iddah

selesai. Masa iddah perempuan yang putus perkawinannya karena

perceraian 90 hari. Bagi perempuan yang dicerai hamil, maka iddahnya

sampai melahirkan. Sedangkan perempuan yang ditinggal mati suaminya,

masa iddahnya 140 hari. Kedua, persyaratan formil yang terkait dengan

prosedur yang harus dipenuhi, baik sebelum maupun pada saat perkawinan

berlangsung: (1) laporan perkawinan, (2) pengumuman perkawinan, (3)

pencegahan perkawinan, (4) pelangsungan perkawinan.90

Setelah memperhatikan rukun dan syarat perkawinan dalam UUP

dan KHI, masalah pencatatan tidak tercantum, sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa perkawinan tidak tercatat hukumnya sah. Hal ini sesuai

juga dengan bunyi UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan KHI

Pasal 4 yang menyerahkan keabsahan perkawinan pada otoritas agama,

90
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang, UIN Malang Press, 2008, hlm.
65-66.
69

kepercayaan dan hukum Islam. Sedangkan posisi pencatatan hanya

sebagai syarat administratif saja, bukan sebagai rukun atau syarat yang

bisa menentukan sah atau tidaknya perkawinan.

Peraturan perundang-undangan Indonesia berpijak pada dua kaki

atau sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah “validitas ganda”,

satu sisi UUP memposisikan pencatatan perkawinan hanya bersifat

administratif saja, terutama KHI yang masih tetap mempertahankan

pendapat ulama klasik, yang mengatakan bahwa keabsahan perkawinan

ditentukan oleh hukum Islam, disisi lain peraturan perkawinan

menegaskan bahwa pencatatan merupakan suatu keharusan supaya

perkawinan mendapatkan kepastian hukum dan demi ketertiban

perkawinan itu sendiri.91

91
Jamhari Makruf dan Tim Lindsey (eds.), Hukum Keluarga, Pidana, & Bisnis: Kajian
Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, Jakarta, Kencana Prenadamedia
Group, 2013,hlm. 27
BAB III

KONSEP PERKAWINAN TIDAK TERCATAT DI INDONESIA

A. Perkawinan Tidak Tercatat Menurut Hukum Islam

Perkawinan adalah aqad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat

jenis kelamin yang diatur oleh syari‟ at. Sedangkan pengertian dari ikah siri

adalah nikah secara rahasia (sembunyi-sembuyi). Disebut secara rahasia

karena tidak dilaporkan kekantor urusan agama atau KUA bagi muslim atau

kantor catatan sipil bagi non muslain.

Biasanya nikah siri dilakukan karena dua pihak belum siap

meresmikannya atau meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar

tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang

dilarang agama.

Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah siri adalah

nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan

pernikahannya ke KUA dengan tiga imam madzab lainnya. Beliau

menetapkan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal (dalam kondisi

normal) maka diperbolehkan memilih sendiri calon suaminya. Dia tidak hanya

tergantung pada walinya saja. Lebih lanjut beliau menjelaskan wanita baligh

dan berakal juga diperbolehkan aqad nikah sendiri baik dalam kondisi

perawan atau janda.92

92
Yusep, Makalah Lengkap Tentang Hukum Nikah Sirih Dalam Pandangan Hukum Kapita
Selekta Hukum Islam (24 April 2013), di akses dari
https://iusyusephukum.blogspot.com/2013/04/makalah-hukum-nikah-sirih-dalam.html, di akses
pada tanggal 1 Oktober 2021.

70
71

Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya

yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau

aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga mereka yang tergolong ahli

ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.

Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Kami

akan mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi

Muhammad SAW yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang

sesat (bidah).

Jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini kebenaran yang

dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah

mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping

hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan.

Islam menghalalkan Kawin Siri jika sayarat dan rukun nikah terpenuhi

diantaranya :

1. Syarat Nikah

a. Syarat calon pengantin pria sebagai berikut :

1). Beragama Islam;

2). Terang prianya (bukan banci);

3). Tidak dipaksa;

4). Tidak beristri empat orang;

5). Bukan Mahram bakal istri;

6). Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan

bakal isteri;
72

7). Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya;

8). Tidak sedang dalam ihram atau umrah. Rasulullah

Shallallahualaihi wa sallam bersabda:

Artinya:

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan,

tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR.

Muslim).”

b. Syarat calon pengantin wanita sebagai berikut :

1). Beragama Islam;

2). Terang wanitanya (bukan banci);

3). Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya Hadits

Abu Hurairah radhiyallahuanhu:

Artinya:

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak

musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang

gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari

nomor. 5136 dan Muslim nomor. 3458) Terkecuali bila si

wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya

menikahkannya tanpa seizinnya.”

4). Tidak bersuami dan tidak dalam iddah;

5). Bukan mahram bakal suami;

6). Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suami;

7). Terang orangnya;


73

8). Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.

2. Rukun nikah

a. Adanya calon suami yang tidak terhalang dan terlarang secara

syar’i untuk menikah.

Di antara perkara syar‟ i yang menghalangi keabsahan suatu

pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang

yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab

atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa

iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki

adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya

seorang muslimah.

b. Adanya ijab,

yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan

posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka

Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau

“Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).

c. Adanya qabul,

yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,

dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu

Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”

Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua

lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah

Subhanahu wa Ta‟ ala al-Azhab/33:37. Yang artinya :


74

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap

istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan

engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).”93.

d. Adanya Wali

Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah

atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.

Dalam hadits disebutkan:

Artinya: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-

Khamsah kecuali An-Nasa`i)”

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan

menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian

atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam:

Artinya: ”Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang

tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud).

e. Adanya dua orang saksi

Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu

pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu „anhuma:

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang

adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).

93
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Cet. I; Bandung: Syamsil al-
Qur‟ an, 2012), h. 422
75

B. Pernikahan Tidak Tercatat Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan

UU Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 bahwa perkawinan adalah

ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.94

Menikah dari segi bahasa berarti Ikatan/Simpul. Dari segi Syara‟ ,

nikah adalah suatu ikatan atau akad yang menghalalkan pergaulan dan

pembatas hak dan kewajiban serta tolong-menolong diantara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan yang bukan mahram. Sedangkan tujuan menikah

adalah menciptakan keluarga sakinah, mawadah, warahmah diharapkan lahir

keturunan yang jelas nashabnya.95

Menikah dikatakan sah jika memenuhi syarat dan rukun-rukunnya.

Adapun rukun nikah diantaranya yaitu: adanya seorang laki-laki sebagai

mempelai pria, dua orang saksi, wali pengantin perempuan, ijab qabul. Begitu

sakralnya arti pernikahanbagi manusia, karena salah satu yang membedakan

dengan binatang adalah pernikahan. Tak heran bila orang yang tidak menikah

tapi melakukan tindakan seperti layaknya orang yang terikat tali pernikahan,

akan mendapat sangsi sosial dan sangsi dari Tuhan berupa Dosa Besar.

94
Republik Indonesia, UU Pernikahan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1
95
Cipluk (Blogger), Nikah Siri: Jalan Pintas Pengecut Para Maling (8 Februari 2012),
diakses dari https://cempebule.blogspot.com/2012/02/nikah-siri-jalan-pintas-pengecut-para.html
tanggal 3 Oktober 2021
76

Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah

pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.96

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:

Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan

secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau

karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin

memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-

ketentuan syariat;

Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan

dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan

seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil

negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar

administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan

melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan

lain sebagainya.

Ketiga, karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa

seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Seperti terikat kontrak dalam

pekerjaan misalnya ikatan dinas.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Pernikahan Tanpa Wali

96
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cet ke VIII (Jakarta : Hidakarya
agung, 1979), h. 177.
77

Adapun fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali.

Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa

wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang

dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (Nailul

Authar VI 230 hadits ke 2648).

Makna semacam ini dipertegas oleh hadits yang diriwayatkan

oleh Aisyah ra. Rasulullah saw pernah bersabda: “Wanita mana pun

yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya

batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. Dalam hal

pengertian Nikah Siri (Kawin Rahasia) berarti perkawinan diam-diam

tanpa saksi dan ini menurut kesepakatan Ahlul Ilmi dari kalangan

Sahabat Nabi dan Tabi‟ in jelas tidak sah.

Nikah siri model ini biasanya dengan alasan karena tidak

disetujui oleh wali pengantin perempuan, meskipun ada jalan

keluarnya yaitu melalui wali hakim, tapi biasanya wali hakim yang

paham dan bekerja sesuai dengan prosedur yang benar akan meminta

surat pelimpahan wewenang dari wali yang sebenarnya dan meneliti

dengan sebenar-benarnya penyebab pernikahan tersebut harus

dilakukan.

2. Nikah Tanpa Dicatatkan di KUA atau Catatan Sipil


78

Fakta kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan

syariat dan telah memenuhi rukun nikah namun tidak dicatatkan pada

lembaga pencatatan sipil atau sering disebut nikah di bawah tangan.

Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga

pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk

membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan

dengan orang lain yang dokumen resminya dikeluarkan oleh negara.

Bukti ini akan sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan

hukum di hadapan majelis peradilan. Ketika ada sengketa yang

berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat

pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain

sebagainya bisa diselesaikan dengan mudah berdasarkan hukum

positif.

Pernikahan yang tidak dicatat secara resmi oleh KUA atau

Catatan Sipil banyak dilakukan pada jaman dulu. Mungkin kakek

nenek kita pun mengalaminya. Tapi masalah rukun nikah dan

disyiarkan kepada umum tetap dilakukan. Misalnya dengan

mengadakan kenduri mengundang tetangga sekitar. Alasan yang

paling banyak ditemui adalah faktor biaya, keadaan darurat seperti

perang, Enggan dengan prosedur pengurusan, dll.

Dalam UU Perkawinan, pasal 3 dinyatakan bahwa seorang pria

hanya boleh memiliki satu istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun

pria tersebut hendak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya, dalam
79

pasal 4 diatur bahwa ada syarat bagi si pria untuk melakukannya.

Syarat tersebut antara lain harus mendapatkan izin pengadilan

setempat, kemudian si istri tidak dapat melahirkan keturunan, tidak

bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta memiliki cacat

badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.Kalaupun

kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam pasal 5 juga diatur bahwa

pernikahan tersebut juga harus mendapat izin sang istri. Selain itu, ada

kepastian bahwa suami mampu menjamin kebutuhan istri dan anak

mereka, serta suami bisa berlaku adil kepada istri dan anak-anak

mereka. Persyaratan inilah yang harus dipenuhi oleh pria-pria yang

akan menikah lagi.

Pernikahan syiri dari awal proses dan niat melakukannya saja

merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan karena tidak

adanya penghargaan, hak-hak yang selayaknya diterima oleh calon

pengantin perempuan apalagi sampai dilakukan, efek negatifnya akan

dirasakan sepanjang hidup apalagi bila sampai mempunyai anak.

Tidak ada keuntungan dan dampak positif bagi perempuan yang

menikah syiri kecuali dia siap mengorbankan dirinya untuk menderita

selamanya demi kenikmatan sesaat hanya untuk menghalalkan

hubungan sex semata.

Jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya, maka negara

wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang

yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan


80

Negara. Hal ini sudah sering dilakukan seperti pernikahan masal dan

pernikahan ulang para pemulung dan gelandangan.

Negara dalam menangani kasus nikah syiri ini sangat tegas,

dengan tidak adanya celah bahwa pernikahan tersebut sah secara

hukum. Bahkan Departemen Agama sudah menyerahkan RUU

Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri,

poligami dan kawin kontrak kepada Presiden. Dalam RUU tersebut

jika melakukan nikah siri akan dipidanakan. Yaitu kurungan maksimal

3 bulan dan denda maksimal 5 juta, dimana sanksi juga berlaku bagi

pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri,

poligami, maupun nikah kontrak.


BAB IV

AKIBAT HUKUM PERNIKAHAN TIDAK TERCATAT DAN

KEDUDUKAN HARTA BERSAMA

A. Akibat Hukum Perkawinan Tidak Tercatat

Pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu bervariasi bentuknya.

Mulai dari perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), perkawinan bawa

lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat, yaitu kawin

siri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai

istilah lain seperti kawin bawah tangan”kawin siri” atau “nikah sirri”, adalah

perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan

tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama

Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam). Istilah sirri berasal dari bahasa

arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri, menurut arti katanya,

perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.97

1. Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:

a. Pernikahan tanpa wali.

Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)

dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena

menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena

ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan

lagi ketentuan-ketentuan syariat;

97
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cet ke VIII (Jakarta : Hidakarya
agung, 1979), h. 176.

81
82

b. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan

dalam lembaga pencatatan negara.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak

mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara.

Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar

administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut

ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah

lebih dari satu; dan lain sebagainya;

c. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-

pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan

stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu

pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit

yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

2. Landasan Terkait Catatan Pernikahan98

a. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga

pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk

membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan

pernikahan dengan orang lain. Sebab, bukti yang dianggap sah

adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika

pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya

seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia

dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika

98
ASM. Saifudin H.U, Membangun Keluarga Sakinah (Banten: Amal Actual Perpustakan
Daerah, 2002), h. 35.
83

ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun

sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh

anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

b. Jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada

kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan

menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.

3. Nikah Sirih Menurut Hukum Negara

RUU Nikah Sirih atau Rancangan Undang-Undang Hukum

Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan

memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa

disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-

tengah masyarakat. Pasal 143 Rancangan Undang-Undang Pasal 143

RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini

menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan

perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan

ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga

tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin

siri, draft RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.99

Pasal 144 Rancangan Undang-Undang, Pasal 144 menyebut, setiap

orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-

lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum.

99
Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Pasal 143.
84

RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antar dua

orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3

menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus

membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah

sebesar Rp500 juta.100

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah

menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga

pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji

secara berbeda; yakni:

(1). Hukum pernikahannya; dan

(2). Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan

negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut

ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan

tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum.

Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak

dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut

terkategori “mengerjakan yang haram” dan “meninggalkan yang

wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan

ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan

kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.101

100
Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Pasal 144.
101
Hasan Ali M, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media,
2003
85

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan

perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh,

maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan

kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun

di akherat. Untuk itu, seorang qadli tidak boleh menjatuhkan sanksi

kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan

mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang

tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap

sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan

dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah

memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.

Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut;

(1). Wali;

(2). Dua orang saksi, dan

(3). Ijab qabul.

Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang

dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam

pencatatan sipil.

B. Kedudukan Harta Besama Pernikahan Tidak Tercatat

Pernikahan yang merupakan ikrar dua insan manusia untuk hidup

bersama, sepatutnya menjadi sebuah sarana bagi keduanya untuk mereguk

kebahagiaan hidup yang lebih mendalam. Namun yang namanya kehidupan di


86

mana sangat banyak drama terlakon didalamnya, tidak jarang kita melihat

perkawinan justru menjadi sebuah tempat di mana orang begitu tersiksa ketika

berada didalamnya, yang berujung pada kesepakatan untuk tidak

melanjutkannya. Pernikahan agar dapat diakui oleh negara harus dicatat oleh

lembaga yang berwajib, namun seringkali pula kita mendengar adanya

'pernikahan dibawah tangan' ataupun "nikah siri", yang mana kedua insan

menikah hanya secara agama ataupun adat, namun tidak mendaftarkannya ke

pemerintah dalam hal ini ke KUA ataupun kantor catatan sipil. Belakangan,

sedang ramai diperbincangkan adanya seorang pejabat pemerintah yang

melakukan nikah siri dan kemudian menceraikan si istri dalam hitungan hari

setelah dinikahi.102

Pernikahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 tahun 1974. Di dalam Undang-Undang diatur tentang apa saja syarat

suatu perkawinan dianggap sah, dan bagaimana untuk menyelesaikan sengketa

waris apabila terjadi perceraian baik itu cerai hidup maupun cerai mati.

Mengapa juga perkawinan yang notabene urusan pribadi seseorang harus

diatur dengan Undang-Undang. Undang-Undang ini tidak akan mengatur

bagaimana sebuah keluarga menjalani bahtera rumah tangganya, namun lebih

pada mengatur dan memberikan solusi apabila terjadi sengketa waris dan

pembagian harta karena perceraian, baik itu cerai hidup maupun cerai mati.

Selain Undang-Undang ini yang biasa disebut hukum positif, ada juga hukum

dan aturan perkawinan berdasarkan agama maupun adat istiadat yang dianut
102
Ady Nugroho, Nikah Siri Hartanya Jadi Hak Siapa? (12 Juni 2012) diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2012/12/06/315/728189/nikah-siri-hartanya-jadi-hak-siapa
tanggal 3 Oktober 2021.
87

oleh si pengantin. Hukum agama dan adat inilah yang kemudian menjadi

solusi bagi orang-orang yang ingin melakukan nikah siri.

Dalam hukum negara sendiri, suatu pernikahan baru dianggap sah

apabila tercatat di Kantor urusan agama bagi penganut muslim, dan di kantor

catatan sipil bagi yang non muslim. Jadi orang-orang yang menikah secara siri

ataupun diam-diam, mereka hanya sah menikah secara agama ataupun adat,

tidak didaftarkan di KUA atau kantor catatan sipil dengan berbagai macam

alasan.

Adapun efek yang terjadi apabila pasangan menikah secara siri:103

1. Efek pertama, adalah bila sepasang pria dan wanita yang belum

menikah kemudian melakukan pernikahan siri dan memiliki anak,

maka anak tersebut oleh negara akan berstatus sebagai anak diluar

nikah. Anak dengan status ini hanya memiliki hak waris dari ayah

biologisnya apabila si ayah di depan pengadilan mengakui anak

tersebut sebagai anaknya. Bila keadaannya seorang laki-laki yang

sudah berkeluarga lalu memiliki istri muda yang dinikahi secara siri,

maka bila si istri muda tersebut melahirkan maka anaknya menurut

hukum negara disebut sebagai anak zina, yang efeknya adalah si anak

tidak bisa menjadi ahli waris dari bapak biologisnya, namun memiliki

hak untuk dinafkahi.

2. Efek kedua, adalah apabila terjadi perceraian seperti yang dialami oleh

pejabat tersebut, maka si istri secara hukum negara tidak berhak untuk

103
ibid
88

menuntut hak pembagian harta gono-gini, karena pernikahan mereka

oleh negara dianggap tidak pernah terjadi. Kalaupun si mantan suami

berbaik hati memberikan sejumlah uang kepada mantan istrinya, itu

hanya sekadar tali asih ataupun sumbangan, yang besarnya mungkin

tidak seberapa. Bandingkan dengan seandainya pernikahan tersebut

sah secara hukum negara, maka harta gono-gini yang menjadi hak si

istri adalah setengah dari kekayaan mereka setelah menikah.

Jadi sebenarnya masalah pembagian harta gono-gini maupun harta

warisan sebagai akibat dari adanya perkawinan akan bisa lebih simpel apabila

orang-orang yang terkait didalamnya dapat membuat kesepakatan dalam

pembagiannya hartanya, Undang-Undang perkawinan tersebut baru digunakan

apabila tidak didapatkan ketidaksepakatan dan perselisihan dalam

pembagiannya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan bahasan yang telah di urai dalam skripsi ini, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

1. Perkawinan Siri (Tidak Dicatatkan) menurut Hukum Islam dan Undang-

Undang Perkawinan, dalam hukum Islam kawin siri tetap sah dimata

agama apa bila syarat dan rukun terpenuhi diantara kedua bela pihak. Lain

halnya dengan Undang-Undang Perkawinan yang secara jelas telah

mengatur aturan pernikahan dalam artian pencatatan pernikahan dan

secara hukum positif/ Undang-Undang perkawinan, kawin siri tidak sah

karena tidak terdaftar dalam pencatatan perkawinan/pernikahan.

2. Akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan harta bersama, Jika

dilihat dari RUU nikah siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum

Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan

memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau biasa disebut dengan

kawin siri, sehingga dalam kedudukan harta bersama Negara tidak berhak

mengatur pembagiannya dikarenakan tidak tercatatnya dalam pencatatan

pernikahan, namun dalam pembagian harta bersama tetap bisa terlaksana

dengan syarat membuat kesepakatan dalam pembagiannya hartanya.

89
90

B. Saran

1. Menghendaki adanya pengawasan terhadap perkawinan sehingga tidak

terlalu banyak terjadinya perkawinan siri, meskipun dalam hukum Islam di

pandang tetap pernikahan yang sah namun di mata hukum kita tidak sah.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berdampak pada masyarakat agar mengerti

betapa pentingnya pernikahan yang secara legal sebab akan berdampak

pada masa depan mereka yang akan menikah/kawin nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

ABD. Shomad, Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah dalam huku),


Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta,


Kencana, 2006.

Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Bandung, PT Citra Aditya


Bakti, 1994.

Abu Yasid, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern 3; Fikih Keluarga,


Jakarta, Erlangga, 2007.

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo


Persada, 2013.

Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan (8) Pernikahan, DU Publising, Jakarta,


2011.

Amir Syarifuddin, Hukum Perakwinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,


2007.

Amiur Nurddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di


Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
Nomor. 1/1974 sampai KHI, Jakarta Kencana, 2004,

Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,


2010.

Arif Furqon, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Dapartemen Agama RI,
Jakarta, 200.

Asep Aulia Ulfan & Destri Budi Nugraheni, “Analisis Yuridis Peluang
Pencatatan Perkawinan Sebagai Rukun Dalam Perkawinan Islam”,
Jurnal Penelitian Hukum, Vol 1, No. 1, Maret 2014.

ASM. Saifudin H.U, Membangun Keluarga Sakinah Banten: Amal Actual


Perpustakan Daerah, 2002.

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia; Akar Sejarah,


Hambatan dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

C.S.T. Kansil, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2004.

91
___________, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1989.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan


Nusamedia, Bandung, 2004.

Djaja B. Meliala, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung, Nuansa


Aulia, 2014.

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di


Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, 1987.

H. M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1982.

______________, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta, Ghalia


Indonesia, 1981.

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.

Haji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Tintamas


Indonesia, 1983.

Hasan Ali M, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam Jakarta:


Prenada Media, 2003

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju,


2007.

H.R. Sardjono dan Ny. Hj. Frieda Husni Hasbullah, Bunga Rampai
Perbandingan Hukum Perdata, cet. 2, Jakarta, IND-HILL-CO, 2003.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Nomorrmatif dalam


Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016.

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara


Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004.

Imam Malik bin Anas, al-Muwatha‟ , Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, 439

J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991.


Jamhari Makruf dan Tim Lindsey (eds.), Hukum Keluarga, Pidana, & Bisnis:
Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional, Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Cet. I; Bandung:


Syamsil al-Qur‟ an, 2012.

Khuslan Haludhi dan Abdurrohim Sa’id, Integrasi Budi Pekerti dalam


Pendidikan Agama Islam, Surakarta, Tiga Serangkai,2004.

Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000.

M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata


Peradilan Agama, cet. 2, Jakarta, Ind-Hill. Co, 1991.

M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, Malang, UIN Malang Press,
2008.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cet ke VIII Jakarta :


Hidakarya agung, 1979.

_____________, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta, PT Hidakarya


Agung, 1977.

Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia: Telaah Kompilasi


Hukum Islam, Yogyakarta, Pustaka Ilmu, 2017.

Martiman Prodjohamidjodjo, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang


Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta, Pradnya
Paramita,1991.

___________________, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Abadi, 2002.

___________________, Tanya Jawab Mengenai Undang-undang


Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, Jakarta, Pradnya Paramita,
1991.

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Muhammad Faisal Hamdani, Nikah Mut’ah Analisis Perbandingan Hukum


Antara Sunni & Syi’ah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008.

Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U


Media, 2007.
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2011.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman


Pencatatan Perkawinan Dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh
Negara Lain, Permendagri Nomor 12 Tahun 2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Surabaya, 2005.

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 2, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hlm.
72.

Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001.

Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Regina Hutabarat, Asas asas Dalam Perkawinan di dalam Undang-undang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang perjanjian perkawinan, Jakarta, Pustaka
Ilmu, 1986.

Republik Indonesia, UU Pernikahan No 1 tahun 1974.

Ria Desviatanti, Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Perkawinan


Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin, Tesis Program Magister
Kenotariatan Pascasarjana, UNDIP, Semarang, 2010.

Satjipto Raharjo, ilmu hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2000.

Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis


Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2010.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,


Libert, Yogyakarta, 2007.

___________, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,


Yogyakarta, Liberty, 1986.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian Hukum Nomorrmatif Suatu


Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

_______________, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

_______________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nomorrmatif, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 1, Yogyakarta, Liberty, 2003.


Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 5, Jakarta, Cakrawala Publishing, 2009.

Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan; Berwawasan Keadilan Gender, Malang,


UIN Maliki Press, 2011.

Udi Murfudin, Teologi Pernikahan, FUDPress, Serang, 2016.

Ulya Hikmah Sitorus & Muhammad Rozali, “Analisis Fatwa Ali Jum’ah
(Mufti Agung Mesir) Tentang Nikah “Urfi” Dalam Kitab Al-Kalim Al-
Tayyib Fatawa Asriyah”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 12 No. 1, 2016.

Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, Jakarta, Armas Duta


Jaya, 1990.

Wahyono Darmabrata, Perbandingan Hukum Perdata, cet. 4, Jakarta, CV.


Gitama Jaya, 2006.

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, cet. 4, Jakarta, Ghalia


Indonesia, 1976.

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,


2006.

B. Hukun dan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan;

Fatwa MUI Nomor 10 tahun 2008 Tentang Nikah Di Bawah Tangan;

C. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I edisi IV.

Ensiklopedia Islam, PT Ichtiiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005.


Peter Salim, Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.
2008.

Tim Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008.

W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai


Pustaka, 1993.

D. Internet

Ady Nugroho, Nikah Siri Hartanya Jadi Hak Siapa? (12 Juni 2012) diakses
dari https://economy.okezone.com/read/2012/12/06/315/728189/nikah-
siri-hartanya-jadi-hak-siapa tanggal 3 Oktober 2021.

Cipluk (Blogger), Nikah Siri: Jalan Pintas Pengecut Para Maling (8 Februari
2012), diakses dari https://cempebule.blogspot.com/2012/02/nikah-siri-
jalan-pintas-pengecut-para.html tanggal 3 Oktober 2021

Yusep, Makalah Lengkap Tentang Hukum Nikah Sirih Dalam Pandangan


Hukum Kapita Selekta Hukum Islam (24 April 2013), di akses dari
https://iusyusephukum.blogspot.com/2013/04/makalah-hukum-nikah-
sirih-dalam.html, di akses pada tanggal 1 Oktober 2021.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

TENGGAR NUR ADDIN, lahir di Purbalinga, pada tanggal

07 Oktober 1996 merupakan keturunan dari pasangan Bapak

Edi Santosa dan Ibunda tercinta Yuni Nurmaulati, Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis

menempuh Pendidikan formal dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 3 Ciruas (lulus

pada tahun 2008). Kemudian melanjutkan ke Sekolah Madrasah Tsanawiyah Daar

El- Qo’lam (lulus pada tahun 2011) dan Madrasah Aliyah Negeri 2 Serang (lulus

pada tahun 2014) selanjutnya pada tahun 2014 melanjutkan ke jenjang S1 di

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan program studi Ilmu Hukum (lulus

pada tahun 2018). Untuk melakukan aktualisasi diri dan tekad yang penuh

semangat akhirnya pada tahun 2019 Penulis melanjutkan kuliah di Pascasarjana

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan program studi Ilmu Hukum. Saat ini

penulis tinggal di Taman Ciruas Permai Blok G2 No 12 Kecamatan Ciruas

Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Anda mungkin juga menyukai