Kemudian setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terobosan hukum
baru dari pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan harus di baca “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya” yang menegaskan bahwa sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lainnya hubungan darah antara anak luar kawin dengan
ayah biologisnya. Apabila sudah terbukti maka anak tersebut memiliki hubungan keperdataan dengan
ayahnya dan keluarga ayahnya serta memiliki hak-haknya sebagai anak.
Lanjutan…
Peneliti menemukan contoh kasus di lapangan yang dapat di jadikan subyek maupun obyek untuk
penelitian. Seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Ambarawa terdapat permohonan asal-usul anak
pada tahun 2021 yang di kabulkan oleh hakim dengan nomor perkara 367/Pdt.P/2021/PA.Amb.
Permohonan ini diajukan oleh salah satu pemohon karena Suami nya telah meninggal dunia maka
hanya di sebut sebagai pemohon 1 (Isteri).
Status Suami saat melangsungkan perkawinan adalah masih terikat sah dengan istri pertama
sedangkan status istri saat melangsungkan perkawinan adalah masih gadis. Perkawinan tersebut
memang sah secara agama namun secara negara tidak sah karena tidak mendapatkan izin poligami
dari istri pertama dan tidak bisa di catatkan. Hal ini yang membuat proses persidangan tidak ada
pengakuan dari ayahnya dan tidak di buktikan dengan cara ilmu pengetahuan dan teknologi yang
biasanya di sebut test DNA. Untuk itu menjadi penting di teliti mendalam mengenai apa yang menjadi
pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan asal-usul anak ini.
Rumusan Masalah
Terdapat dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004 pasal 1 “Kekuasaan kehakiman didefinisikan sebagai
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Kebebasan
hakim yang di maksud ialah hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim. Hakim dalam
menjalankan tugasnya tidak boleh terikat dengan apapun dan atau tertekan oleh siapapun, tetapi leluasa
berbuat apa pun. Kebebasan seperti itu di namakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial.
Metode Penelitian
Jenis Teknik Pengumpulan
Penelitian Data
Penelitian kualitatif, yaitu Wawancara Majelis Hakim
memahami fenomena tentang yang menangani permohonan.
apa yang dialami oleh subjek Dokumentasi tulisan-tulisan
penelitiannya, misalnya perilaku, mengenai data yang sudah
motifasi, tindakan, dan lain-lain diambil
Berdasarkan hasil wawacara Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dikabulkannya permohonan ini
berdasarkan Kitab Al Muhazzab juz II halaman 177 berbunyi:
ِح ْي اْلـَح ْم ُل ىِف الِّنَكـاِح اْلَفاِس ِد اَك ْلَح ْم ِل ىِف الِّنَكـاِح الَّص ِح
Artinya: “Kandungan dalam pernikahan fasid sama seperti kandungan pernikahan sah”
Sebelum mengajukan permohonan asal-usul anak ini pemohon sudah mengajukan Isbat nikah
namun di tolak dikarenakan suami pemohon masih terikat perkawinan yang sah dengan
wanita lain (istrinya) dan tidak mendapatkan surat ijin poligami dari Pengadilan Agama.
Maka suami pemohon ketika itu dianggap masih suami dari wanita lain dan terdapat larangan
menikah dalam pernikahan pemohon dan hakim menggangap pernikahan ini fasid.
Berdasarkan hadis diatas wawancara tersebut juga membahas anak pemohon bahwa anak itu
tetap anak sah dari pemohon dan suaminya yang menikah secara agama. Hakim tidak melihat
dari perkawinannya apakah itu fasid, kawin secara adat atau secara agama yang penting sudah
terjadi perkawinan berbeda dengan anak yang lahir dari tidak ada perkawinan.
Lanjutan…
Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, jilid V, halaman 690, yang diambil alih sebagai pendapat majelis
hakim sebagai berikut:
َم ـىَت، َو َط ِرْيـــٌق ِلُثـُبْو ِتِه يِف اْلَو اِق ِع، اْل َّز َو اُج اْلَّص ِح ْي ُح َاْو اْلَفاِس ُد َس َبٌب ْثـَباِت الَّنَس ِب
ٍد ِف ِإل
َاْي ُمْنَع َق ًد ا ِبَط ِرْي ِق َع ْق َخاٍّص، َاْو َكـاَن َز َو اًج ا ُع ْر ـًيا،َثَبَت اْل َز َو اُج َو َل ْو َكـاَن َفاِس ًد ا
ُد ْو َن
َاْو اَل ٍد َيْثُبُت ِب ِه َنَس ُب ُك ـِّل َم ــا َتـأيِت ِبـِه ْاَملـْر َاُة ِم ْن، َتْس ِج ْي ٍل يِف َّجَساَل ِت َالـَّز َو اِج الَر ْس ـِم َّيـِة.
Artinya: “Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di
dalam suatu kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak)
atau pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa
didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan
oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami istri (yang bersangkutan)”
Lanjutan…
Hakim dalam pertimbanganya menetapkan asal usul anak dengan tidak menghilangkan sumber aslinya.
Dari dalil fiqihiyah tersebut dalil itu yang tepat pada kasus seperti ini dimana anak yang lahir dari
pernikahan poligami yang di lakukan sirri serta tanpa adanya pengakuan dari ayahnya karena sudah
meninggal dunia dengan bukti-bukti persidagan maka tetap saja anak itu adalah anak dari ayahnya dan
bernasab kepadanya.
Dengan menggunakan sudut pandang serta kronologi kejadian pernikahan hal ini akan melindungi hak-
hak anak dan kemaslahatan anak baik dari segi psikologis maupun perundang-undangan. Hakim
menimbang permohonan asal usul anak ini untuk melindungi dan menyejahteraan anak karena telah
terpenuhi syarat dan rukun secara agama dan cukup bukti selama persidangan.
Penetapan hakim juga menimbulkan nilai keadilan yang berupa perlindungan atas hak-hak anak. Dalam
penetapannya hakim melihat pada ketentuan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelagsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dan pasal 28D ayat (1)
yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Nomor
367/Pdt.P/2021/PA.Amb Menurut Hukum Perkawinan Indonesia
Hakim dalam penetapannya berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah” pasal ini di perkuat dalam KHI pasal 99 yang berbunyi “Anak yang sah adalah anak yang
di lahirkan dalam atau sebab perkawinan yang sah”. Menurut hakim dalam Undang-Undang tersebut
tetap beranggapan bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri maupun sah secara negara ketika sudah
menikah ibunya sudah hamil 8 bulan atau 9 bulan tetap dianggap sebagai anak sah dan bernasab
kepada ayahnya karena lahir saat orangtuanya sudah menikah. Undang-undang juga tidak
menjelaskan tentang hal ini hanya saja dalam KHI pasal 53 ayat (1) wanita hamil dapat di kawinkan
dengan laki-laki yang menghamilinya namun tidak disebutkan berapa usia kandungannya. Maka fakta
persidangan yang sangat menentukan dalam pertimbangan hakim beserta dengan bukti yang telah di
periksa.
Lanjutan…
Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak di catatkan membuat anak menyandang status anak sah menjadi
anak luar kawin yang secara perdata bernasab hanya kepada ibu dan negara tidak bisa melindugi serta
memberikan hak-haknya di mata hukum. Akibat dari perkawinan pemohon anak yang terlahir pun tidak
memiliki identitas bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu dan ayah kandungnya melainkan hanya sebagai
anak ibu. Sebab dari perkawinan ibu dan ayahnya yang tidak dicatatkan, mengakibatkan anak tidak memiliki
data yang valid seperti anak lainnya untuk melengkapi administrasi syarat mendaftarkan sekolah yang
melampirkan akta kelahiran.
Hakim mengabulkan permohonan ini mengacu pada Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 dan pasal 99 KHI yang mana pasal tersebut memasuki bab pemeliharaan anak yang harus di lindungi dari
perkawinan kedua orangtuanya yang sah secara agama. Selanjutnya berdasarkan dalil fiqihiyah, hakim
mengesampingkan syarat dalam undang-undang dan mengedepankan masa depan anak di kemudian hari.
Karena pada dasarnya menurut hakim menikah secara agama di perbolehkan dalam Islam baik dalam keadaan
hamil maupun tidak. Untuk menghilangkan ke mudharatan bagi si anak maka di keluarkannya penetapan ini
untuk menyebutkan nama ayahnya dalam akta kelahiran.
Lanjutan...
Dalam hukum perkawinan Indonesia lahirnya seorang anak berdasarkan perkawinan dari kedua
orangtuanya dimana perkawinan harus sah secara agama dan negara. Jika perkawinan kedua
orangtuanya rusak maka status anak pada perkawinan fasid dimana perkawinannya tidak sah menurut
hukum positif tidak bisa disebut dengan anak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang ada. Maka menurut penulis penetapan hakim tidak sesuai berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan pasal 2 ayat (2) dan KHI pasal 5 ayat (1) yang memerintahkan untuk mencatatkan
perkawinan tersebut. Dengan tidak dicatatkannya perkawinan sama saja tidak melengkapi adminstrasi
negara. Jika dilihat dari perkawinan orangtuanya tetap di anggap tidak sah secara negara dan tidak bisa
menyebutkan nama ayahnya, karena akta kelahiran merupakan syarat administrasi maka begitu juga
dengan pencatatan perkawinan yang wajib untuk di lakukan. Namun, jika berdasarkan dalil fiqihiyah
tersebut penulis setuju, yang secara islami tidak menceritakan dari sebab perkawinan kedua orang
tuanya yang terpenting sudah terjadinya perkawinan maka anak itu adalah anaknya.
Kesimpulan
1. Perkawinan tersebut melanggar pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawina Nomor 1 Tahun 1974
Juncto Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam. Yang mana perkawinan harus dicatatkan demi melindungi
hal yang timbul dari perkawinan, karena tidak mencatatkan perkawinannya, anak yang lahir dari
perkawinan seperti ini tidak di akui negara sehingga bernasab kepada ibunya.