Anda di halaman 1dari 6

PROPOSAL

DASAR PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENGABULKAN ISTBAT


NIKAH BAGI PERKAWINAN YANG DILAKUKAN PASCA BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN No. 1 TAHUN 1974

( Studi Kasus Di Pengadilan Agama Malang)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat – Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan

Dalam Ilmu Hukum

Oleh :

HESTI NING TYAS

NIM. 0710110082
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2010

I. JUDUL
DASAR PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MENGABULKAN ISTBAT
NIKAH BAGI PERKAWINAN YANG DILAKUKAN PASCA BERLAKUNYA
UU PERKAWINAN No. 1 TAHUN 1974 ( Studi Kasus Di Pengadilan Agama
Malang)

II. LATAR BELAKANG

Perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaannya


diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian
tentang Perkawinan sendiri dapat ditemui dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ada dua syarat sahnya perkawinan yang harus dipenuhi oleh pasangan
yang hendak melangsungkan perkawinan seperti yang diatur dalam pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu :

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu .

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku.
Namun dewasa ini banyak masalah yang timbul dari perkawinan yang hanya
dilaangsungkan sesuai dengan agama dan kepercayaannya namun tidak diikuti
dengan pendaftaran perkawinan tersebut di KUA atau yang biasa disebut dengan
nikah sirri. Perihal perkawinan sirri yang dikenal dengan istilah lain “kawin bawah
tangan” ini sistem hukum Indonesia sebenarnya tidak mengenalnya dan tidak diatur
secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis istilah ini diberikan
bagi perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama namun tidak
dicatatkan dan dianggap tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Nikah sirri sudah menjadi gejala massive dalam masyarakat, dan tetap banyak
dilakukan walaupun pasangan nikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum.
Padahal nikah sirri ini banyak menimbulkan masalah kedepannya, tidak hanya bagi
wanita pasangan nikah sirri namun juga bagi anak hasil nikah sirri tersebut. Status
anak hasil nikah sirri ini menjadi tidak jelas dan bila hal yang terburuk terjadi yaitu
si ayah tidak mau mengakuinya sebagai anak maka anak tersebut hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Bukan hanya itu saja si anak hasil nikah
sirri juga tidak bisa mempunyai akta kelahirannya, yang tentu saja akan
mempersulit dia saat akan masuk sekolah dan sebagainya.

Berdasarkan masalah yang timbul akibat kawin sirri diataslah banyak


pasangan nikah sirri yang akhirnya mengajukan istbat nikah. Istbat sendiri berasal
dari bahasa arab dengan asal kata tsabbata, yustabbitu, istbatan, yang berarti
menetapkan. Nikah dari bahasa arab asal kata Nakaha, Yunakihu, Nikahan yang
berarti perkawinan. Jadi istbat nikah adalah suatu penetapan yang memberikan
kepastian hukum terhadap adanya suatu perkawinan. Istbat nikah adalah suatu
proses hukum untuk melegalkan sebuah perkawinan yang terjadi sebelumnya, atau
memberikan kekuatan hukum terhadap suatu ikatan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita. Permohonan istbat nikah terjadi bisa karena
perkawinan/pernikahan yang terjadi sebelumnya tidak memenuhi prosedur,
ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku seperti pernikahan yang
dilakukan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, atau pernikahan yang dilakukan
diragukan sah dan tidaknya. Permohonan istbat nikah terjadi bisa karena tidak
adanya akta nikah, mungkin karena hilang, terbakar dan lain-lain sebagainya seperti
yang diatur dalam Pasal 7 KHI.

Mengenai itsbat nikah ini ada Permenag No. 3 Tahun 1975 yang dalam
Pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat
akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang, maka untuk menetapkan
adanya nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan PA. Namun, ia
menambahkan, aturan itu hanya berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan
sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.
Namun dalam prakteknya masih banyak Pengadilan Agama yang mengabulkan
permohonan istbat nikah bagi pasangan nikah sirri yang dilangsungkan pasca
lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Bahkan ada Pengadilan
Agama yang melakukan istbat nikah missal seperti di Pengadilan Agama daerah
Natuna.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis akan
meneliti tentang dasar-dasar pertimbangan majelis hakim yang sampai
mengabulkan permohonan istbat nikah bagi perkawinan yang dilakukan pasca
lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam
skripsi yang berjudul “ Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Mengabulkan
Istbat Nikah bahi Perkawinan yang dilakukan Pasca Lahirnya Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Malang) “.

III. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam skripsi ini adalah:

1. Apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan


permohonan istbat nikah bagi perkawinan yang dilangsungkan pasca
berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ?
2. Sudah benarkah dasar pertimbangan majelis hakim yang digunakan
dalam mengabulkan permohonan istbat nikah tersebut dikaitkan dengan
tata urutan perundangan yang berlaku saat ini ?

IV. MANFAAT

Manfaat yang didapat dari penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk


menjawab isu hukum tentang istbat nikah yang saat ini banyak berkembang
dimasyarakat. Karena peraturan tertulis yang ada berlainan dengan praktek yang
ada di Pengadilan Agama. Selain itu ditulisnya skripsi ini juga diharapkan dapat
digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam penyempurnaan UU Perkawinan
atau dibuatnya peraturan baru tentang istbat nikah yang lebih sesuai dengan
perkembangan jaman.

V. TUJUAN PENULISAN

a. Untuk mengetahui apa dasar pertimbangan majelis hakim sehingga


mengabulkan permohonan istbat nikah bagi perkawinan yang dilangsungkan
pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah dasar pertimbangan yang


digunakan Majelis hakim dalam mengabulkan permohonan istbat nikah sudah
benar dan sudah sesuai dengan tata urutan perundangan yang berlaku saat ini .

VI. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris. Menggunakan pendekatan yuridis
normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm).
Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value),
peraturan hukum konkret (Mertokusumo, 1996: 29). Penelitian yang
berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf
sinkronisasi vertikal dan horisontal (Soekanto dan Mamoedji, 1985: 70).
Juga menggunakan pendekatan yuridis-empiris karena penelitian ini
menggunakan data empiris mengenai mekanisme pengabulan istbat nikah
yang dilakukan oleh majelis hakim terhadap perkawinan yang dilangsungkan
pasca berlakunya UU No.1 Tahun 1974 termasuk eksistensi.

2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat
deskriptif analitis berupa penggambaran terhadap pelaksanaan mekanisme
pengabulan istbat nikah yang dilakukan oleh majelis hakim. Di samping itu,
akan memberikan gambaran apakah dasar yang dipakai Majelis Hakim dalam
mengabulkan permohonan istbat nikah bagi perkawinan yang dilangsungkan
pasca berlakunya UUP No. 1 Tahun 1974 sudah sesuai dengan tata urutan
perundangan yang berlaku saat ini atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai