Sukahata Wakanao
503220023
hatta.chanobjw@gmail.com
Pacasarjana IAIN Ponorogo
1. Pendahuluan
Perkembangan hukum modern saat ini, kompleksitas hukum sangat
beragam. Sebagai komunitas terbanyak di negeri ini, tentu masyarakat
islamlah yang lebih banyak menyumbang persoalan hukum, di
antaranya anak yang lahir tanpa perkawinan (anak zina), dan anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak tercatat (anak siri). Hal ini menjadi
masalah karena tidak dikatagorikan sebagai anak sah.
Ada 3 (tiga) klasifikasi anak dalam pandangan penulis, yang pertama
anak dari perkawinan tercatat: anak seperti ini lahir dari perkawinan
yang sah, prosesnya juga sah, rentang waktu antara perkawinan sampai
kelahiran adalah normal yaitu kurang lebih 6 (enam) sampai dengan 9
(sembilan) bulan. Kedua : anak dari perkawinan tidak tercatat tipe ini
terdapat dua kreteria yaitu anak yang sudah lebih dulu ibunya hamil,
kemudian menikah secara siri, dan anak yang lahir dalam perkawinan
siri, kelahiran anak tersebut normal retang waktunya yaitu 6 (enam)
sampai dengan 9 (sembilan) bulan, dan yang ketiga: anak yang lahir
tanpa perkawinan adalah anak yang lahir dari hubungan
terlarang/suka sama suka (dibaca perzinaan)1.
Permohonan penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum
islam memiliki arti yang sangat penting karena berkaitan dengan nasab
anak dari kedua orang tuanya2. Muncul masalah adalah apa hubungan
anak yang lahir diluar perkawinan dan anak yang lahir tanpa
perkawinan.
Oleh karena itu Pemberlakuan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang mengatur tentang asal usul anak merupakan
bukti negara hadir menyikapi persoalan dimaksud. Selain itu juga secara
spesifik termuat dalam pasal 28-B ayat 2 Undang-Undang dasar 1945,
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan
1
Pembagunan Peradilan Agama Yang Bermartabat (kumpulan Artikel Pilihan Jilid 2), Direktur Jendral
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta 2012, hlm 178
2
ibid, Pembagunan Peradilan Agama yang bermartabab, hlm. 185
diskriminasi, karena anak merupakan asset dan generasi penerus
bangsa3.
Dalam prespektif hukum progresif bahwa menjalankan hukum tidak
sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter),
Hakim tidak menjalankan hukum dengan putusan yang tekstual atau sama
persis dengan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan melainkan
menurut semangat dan menggali makna lebih dalam (to the very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Hakim melakukan terobosan lain untuk
mendapatkan makna pembentukan hukum yang lebih mendalam.4
Para pelaku hukum progresif berani melakukan perubahan dengan
melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus
menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang tidak
memberikan rasa keadilan, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku
hukum progresif untuk meghadirkan keadilan dan kepastian untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru
setiap kali terhadap suatu peraturan.5
Penyelesaian perkara asal usul anak sebagaimana diatur dalam pasal
55 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disampikan bahwa asal usul
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenan, dan apabila akta kelahiran
yang dimaksud tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat, berdasarkan
penetapan pengadilan tersebutlah instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan6.
Alasan mendasar penulis tertarik melakukan penelitian tentang
hukum progresif hakim dalam putusan asal usul anak ini karena dalam
beberapa Putusan Pengadilan Agama ditemukan terdapat anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh petugas pencatatan
nikah dan putusan pengadilan yang mengabulkan permohoan asal usul
anak dimana anak tersebut lebih dulu lahir daripada proses perkawinan
kedua orang tuanya (dibaca anak hasil perzinaan) dan juga putusan
lainnya yang masih berkaitan dengan asal usul anak.
3
Pasal 28-B Undang-undang Dasar 1945 fersi Manendemen ke 4, Mahkamah Agung, Badilag, Jakarata
2012
4
Fitroh Nur’aini Layly, “Model Pembagian Harta bersama Perspektif Hukum Progresif (Studi Analisis
Putusan Pengadilan Agama Ponorogo Nomor: 0745/Pdt.G/2009/PA.PO dan Putusan Pengadilan Agama
Tulungagung Nomor: 1993/Pdt.G/2012/PA.Ta)”, (Tesis Pascasarjana IAIN Ponorogo, 2017), 6.
5
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2010), 213.
6
Undang-undang nomor 1 tahun 1974, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang peradilan
agama, Mahkamah Agung, Direktorat Jendral Badang Peradilan Agama, tahun 2010, hal.406
Bahwa tujuan penelitian yang dilakukan penulis ini adalah untuk
mengetahui bagaimana progresifitas putusan hakim memberikan
keadilan dan kepastian hukum kepada pihak pencari keadilan. Studi ini
merupakan penelitian pustaka terhadap putusan pengadilan dan
bersifat deskriftif kualitatif. Teknik pengumpulan datanya adalah
dokumentasi dan pencarian melalui aplikasi Sistem Informasi
Penelusuran Perkara Pengadilan Agama dan juga penulis mewawancari
pihak pengadilan yang menyelesaikan perkara tersebut. Dalam
penentuan informan, penulis mengunakan tenknik purposive sampling7.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
yuridis normative atas putusan pengadilan. Temuan penting dalam
penelitian ini adalah bagaimana Rechtvinding (penemuan hukum oleh
hakim) dalam memutuskan perkara asal usul anak dan dengannya itu
memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada pencari keadilan
khusunya dan masyarakat pada umumnya.
2. Literatur review
a. Pemilihan Literatur
Penulis telah melakukan pencarian melaui System Informasi
Penulusuran Perkara (SIPP) di tiga Pengadilan Agama yaitu
Pengadilan Agama Ponorogo, Pengadilan Agama Ngawi dan
Pengadilan Agama Makale di Toraja Sulawesi Selatan diserta
membaca, mahami dan mendalami putusan tersebut dan juga
mewawancari serta mencari literature yang sesuai dengan arah
penelitian yang akan penulis teliti.
Setidaknya ada 3 putusan pengadilan yang penulis ambil, berkaitan
dengan asal usul anak untuk menunjang tugas literatur rebiew,
diantaranya adalah:
Pertama: Penetapan nomor 80/Pdt.P/2022/PA.Po dari Pengadilan
Agama Ponorogo, posisi kasusnya bahwa pada tanggal 16
Juni 2011 telah terjadi perkawinan secara siri dan saat
terjadi pernikahan pihak laki-laki berumur 25 dan
perempuan berumur 23, keduanya menikah di Kabupaten
Magetan sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama
islam, suami berstatus duda cerai sedangkan istri berstatus
perawan, telah dikaruniai 1 orang anak perempuan, anak
tersebut telah dikeluarkan akta kelahirannya, namun masih
mengatas namakan ibunya karena perkawinan antara
Pemohon I dan Pemohon II belum dicatatkan di Kantor
Urusan Agama dan pada tanggal 11 Mei 2013 baru
7
file:///C:/Users/user/OneDrive/Documents/S.2/Semester%203/Penyelesaian%20Sengketa%20
HKI/0.%20Menulis%20Jurnal%20Bereputasi_Pasca.pdf
keduanya menikah secara resmi di KUA 8. Para pihak
membutuhkan penetapan asal-usul anak tersebut sebagai
dasar untuk merubah akta kelahiran anak yang bersangkutan.
Dan dalam petitumnya para pemohon meminta agar anak
tersebut ditetapkan sebagai anak Pemohon I dan Pemohon II.
Peneliti mencoba menganalisi secara mendalam, ternyata
sang istri sudah lebih dulu hamil, dimana kelahiran anak
terseut pada tgl 18 Oktober 2012, sedangkan proses nikah
siri orang tuanya pada tanggal 16 Juni 2011, maka ada
selisih 4 bulan jika kita hitung normal seorang wanita itu
melahirkan saat kandungannya 9 bulan, maka peneliti
menarik kesimpulan anak ini adalah anak hasil hubungan
gelap (zina), namun lahir dalam perkawian siri; hal ini
memunculkan pertanyaan baru yaitu apakah anak ini
termasuk dalam katagori anak zina atau anak yang lahir
dalam perkawinan tidak tercatat?
Dalam pertimbangan hukum hakim terhadap putusan
tersebut dikabulkan dengan berdasar pada pasal 14 KHI
yang mana telah terpenuhi rukun dan syarat perkawinan,
selain itu juga Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014, dinyatakan Setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
Selain itu terhadap perkara a quo Majelis Hakim berdasar
pada pendapat dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu jilid V halaman 690 yang kemudian diambil alih
sebagai pendapat Majelis Hakim yang dikatakan bahwa
Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan
sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka
apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun
pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan
secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu
(tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara
resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan
oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami istri (yang
bersangkutan)”.9
8
SIPP (Sistem Informasi Penulusuran Perakara) Pengadilan Agama Ponorogo Nomor
80/Pdt.P/2022/PA.Po, 2022, hlm. 1-3
9
Ibid, putusan 80/pdt.p/2022/PA.Po, hlm. 9
Dari pertimbangan tersebut hakim pengabulkan
permohonan asal usul anak dengan amar Mengabulkan
permohonan para Pemohon; Menetapkan anak para
Pemohon yang lahir di Ponorogo pada tanggal 18 Oktober
2012 adalah anak dari para Pemohon; dan
Memerintahkan para pemohon untuk melaporkan kepada
pegawai Dinas Dukcapil agar supaya menyebutkan
dalam akte Kelahiran Anak adalah merupakan anak dari
seorang ayah yang bernama (……) dan ibu yang bernama
(………;
Penyebutan majelis hakim dalam putusan ini adalah
anak para pemohon tidak menjelaskan sebagai anak
sah, tetapi anak para pemohon, dan memerintahkan
pelaporan kepada dikcapil untuk dimasukan nama para
pemohon sebagai kedua orang tauanya.
11
Himpunan peraturan perundang-undangan tentang peradilan Agama, Direktorat Jendral
badan peradilan agama, Mahkamah Agung, Jakarta 2010
12
SIPP (Sistem informasi penulusuran perkara) penetapan Pengadilan Agama Ngawi perkara
157/Pdt.P/2022/PA.Ngw, hlm 2-5
terbaik bagi anak. Ketentuan tersebut tidak dapat dimaknai,
termasuk juga melegalkan status nasab anak zina kepada ayah
biologisnya;
Menimbang, bahwa dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014, “Anak
yang lahir dalam perkawinan sirri/ dibawah tangan dapat
mengajukan permohonan pengesahan anak ke Pengadilan
Agama, karena anak mempunyai hak asasi untuk mengetahui
dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya”. Hal ini tentu
sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010, bahwa anak hasil pernikahan di bawah tangan
berhak mengetahui dan memperoleh kepastian mengenai siapa
orang tuanya, atau dalam bahasa lainnya anak hasil pernikahan
di bawah tangan dapat mengajukan perkara permohonan asal
usul anak, untuk ditetapkan siapa ayah biologisnya;
Menimbang, bahwa hukum yang berlaku di Indonesia telah
mengatur bagaimana kedudukan nasab anak atas hasil
hubungan badan (zina). Anak hasil hubungan badan (zina)
sesuai dengan ketentuan hak asasi anak adalah anak berhak
untuk tetap menerima nafkah, jaminan pendidikan maupun
kesehatan dari seorang laki-laki yang merupakan ayah
biologisnya, namun tidak untuk mengubah status nasabnya yang
merupakan anak dari seorang ibu;
Menimbang, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 jo. SEMA Nomor 5 Tahun 2014, demi
memberikan perlindungan hukum tentang hak anak untuk
mengetahui siapa ayah biologisnya, Majelis Hakim berpendapat
a contrario terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi maupun
SEMA Nomor 5 Tahun 2015, sepanjang petitum para Pemohon
dimaknai Menetapkan anak bernama Zendi Aldriano lahir di
Ngawi, 05 Oktober 2010 adalah anak diluar perkawinan yang
sah Pemohon I (Gunawan Bin Pujo Hartono) dengan Pemohon II
(Yuyun Puput Rahayu Binti Bandi);
Menimbang, bahwa berdasarkan pendapat Ibnu al-Qayyim al-
Jauziyah Rahimahullah didalam Kitab Zaadul Ma’ad Jilid 5
halaman 381, yang diambil alih sebagai pendapat majelis. Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah berargumen dengan perbuatan khalifah
Umar Bin Khattab sebagaimana diriwayatkan Imam Malik
dalam al Muwattha’ dengan lafadz :’
3. Analisis
a. Literature Review Sebagai Acuan Teori dan Acuan Analisis
Pertama, terkait upaya perlindungan hukum terhadap ibu-anak,
literature-literature yang membahas tema terkait belum banyak
bahkan sulit untuk ditemukan. Literature-literature diatas hanya
membahas terkait perlindungan anak untuk mencegah pernikahan
dini, karena pernikahan dini banyak terdapat kerugian maka anak-
anak perlu dilindungi supaya tidak terjerumus kedalamnya.
Meskipun demikian, literature-literature diatas dapat dijadikan
acuan pendukung terkait pentingnya perlindungan anak di bawah
umur. Selain itu, bisa dijadikan referensi bagaimana bentukbentuk
perlindungan anak. Tingginya fenomena pernikahan dini, tidak
menutup kemungkinan fenomena janda di bawah umur juga ikut
bertambah.
Kedua, terkait upaya peran dan tanggung jawab orang tua terhadap
ibuanak. Literature-literature yang membahas tema terkait belum
banya bahkan sulit untuk ditemukan. Literature-literature diatas
hanya membahas terkait peran orang tua dalam mencegah
pernikahan dini, belum membahas bagaiman peran orang tua dalam
membantu ibu-anak mencukupi keluarga. Meskipun demikian,
literature-literature diatas dapat dijadikan acuan pendukung bahwa
orang tua memegang peran yang sangat kuat untuk
keberlangsungan hidup anak-anaknya. Karena orang tua
merupakan salah satu tokoh utama penyelenggara perlindungan
anak.
Ketiga, terkait bagaimana upaya ibu-anak dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Dalam literature-literature diatas terdapat jelas
2 teori yaitu teori pilihan rasional dan teori adversity quotient.
Dimana kedua teori tersebut dapat diajikan acuan utama bagaimana
upaya seorang ibu-anak (janda) dalam menghidupi keluarga,
bagaimana pilihan-pillihan hidup yang dijalaninya demi
menghidupi keluarga tanpa seorang suami. Dari kedua teori
tersebut dapat diketahui bagaimana seorang ibu-anak atau janda di
bawah umur ini melanjutkan kehidupannya. Keadaan tersebut tidak
mudah karena ia sudah berstatus janda padahal sebenarnya mereka
masih berusia di bawah umur
4.
5. Kesimpulan
10. Bahwa kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat dibuatkan
Akta Kelahirannya, karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II
belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama sampai anak tersebut lahir;
https://media.neliti.com/media/publications/136780-ID-analisis-terhadap-putusan-
pengadilan-dal.pdf)