Anda di halaman 1dari 13

Literatur review penyelesaian sengketa hukum keluarga islam

perkara asal usul anak dalam prespektif hukum progresif

Sukahata Wakanao
503220023
hatta.chanobjw@gmail.com
Pacasarjana IAIN Ponorogo

1. Pendahuluan
Perkembangan hukum modern saat ini, kompleksitas hukum sangat
beragam. Sebagai komunitas terbanyak di negeri ini, tentu masyarakat
islamlah yang lebih banyak menyumbang persoalan hukum, di
antaranya anak yang lahir tanpa perkawinan (anak zina), dan anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak tercatat (anak siri). Hal ini menjadi
masalah karena tidak dikatagorikan sebagai anak sah.
Ada 3 (tiga) klasifikasi anak dalam pandangan penulis, yang pertama
anak dari perkawinan tercatat: anak seperti ini lahir dari perkawinan
yang sah, prosesnya juga sah, rentang waktu antara perkawinan sampai
kelahiran adalah normal yaitu kurang lebih 6 (enam) sampai dengan 9
(sembilan) bulan. Kedua : anak dari perkawinan tidak tercatat tipe ini
terdapat dua kreteria yaitu anak yang sudah lebih dulu ibunya hamil,
kemudian menikah secara siri, dan anak yang lahir dalam perkawinan
siri, kelahiran anak tersebut normal retang waktunya yaitu 6 (enam)
sampai dengan 9 (sembilan) bulan, dan yang ketiga: anak yang lahir
tanpa perkawinan adalah anak yang lahir dari hubungan
terlarang/suka sama suka (dibaca perzinaan)1.
Permohonan penetapan asal usul anak dalam prespektif hukum
islam memiliki arti yang sangat penting karena berkaitan dengan nasab
anak dari kedua orang tuanya2. Muncul masalah adalah apa hubungan
anak yang lahir diluar perkawinan dan anak yang lahir tanpa
perkawinan.
Oleh karena itu Pemberlakuan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang mengatur tentang asal usul anak merupakan
bukti negara hadir menyikapi persoalan dimaksud. Selain itu juga secara
spesifik termuat dalam pasal 28-B ayat 2 Undang-Undang dasar 1945,
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan

1
Pembagunan Peradilan Agama Yang Bermartabat (kumpulan Artikel Pilihan Jilid 2), Direktur Jendral
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta 2012, hlm 178
2
ibid, Pembagunan Peradilan Agama yang bermartabab, hlm. 185
diskriminasi, karena anak merupakan asset dan generasi penerus
bangsa3.
Dalam prespektif hukum progresif bahwa menjalankan hukum tidak
sekedar menurut kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter),
Hakim tidak menjalankan hukum dengan putusan yang tekstual atau sama
persis dengan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan melainkan
menurut semangat dan menggali makna lebih dalam (to the very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Hakim melakukan terobosan lain untuk
mendapatkan makna pembentukan hukum yang lebih mendalam.4
Para pelaku hukum progresif berani melakukan perubahan dengan
melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus
menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang tidak
memberikan rasa keadilan, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku
hukum progresif untuk meghadirkan keadilan dan kepastian untuk rakyat dan
pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru
setiap kali terhadap suatu peraturan.5
Penyelesaian perkara asal usul anak sebagaimana diatur dalam pasal
55 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disampikan bahwa asal usul
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenan, dan apabila akta kelahiran
yang dimaksud tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat, berdasarkan
penetapan pengadilan tersebutlah instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan6.
Alasan mendasar penulis tertarik melakukan penelitian tentang
hukum progresif hakim dalam putusan asal usul anak ini karena dalam
beberapa Putusan Pengadilan Agama ditemukan terdapat anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat oleh petugas pencatatan
nikah dan putusan pengadilan yang mengabulkan permohoan asal usul
anak dimana anak tersebut lebih dulu lahir daripada proses perkawinan
kedua orang tuanya (dibaca anak hasil perzinaan) dan juga putusan
lainnya yang masih berkaitan dengan asal usul anak.

3
Pasal 28-B Undang-undang Dasar 1945 fersi Manendemen ke 4, Mahkamah Agung, Badilag, Jakarata
2012
4
Fitroh Nur’aini Layly, “Model Pembagian Harta bersama Perspektif Hukum Progresif (Studi Analisis
Putusan Pengadilan Agama Ponorogo Nomor: 0745/Pdt.G/2009/PA.PO dan Putusan Pengadilan Agama
Tulungagung Nomor: 1993/Pdt.G/2012/PA.Ta)”, (Tesis Pascasarjana IAIN Ponorogo, 2017), 6.
5
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2010), 213.
6
Undang-undang nomor 1 tahun 1974, Himpunan peraturan perundang-undangan tentang peradilan
agama, Mahkamah Agung, Direktorat Jendral Badang Peradilan Agama, tahun 2010, hal.406
Bahwa tujuan penelitian yang dilakukan penulis ini adalah untuk
mengetahui bagaimana progresifitas putusan hakim memberikan
keadilan dan kepastian hukum kepada pihak pencari keadilan. Studi ini
merupakan penelitian pustaka terhadap putusan pengadilan dan
bersifat deskriftif kualitatif. Teknik pengumpulan datanya adalah
dokumentasi dan pencarian melalui aplikasi Sistem Informasi
Penelusuran Perkara Pengadilan Agama dan juga penulis mewawancari
pihak pengadilan yang menyelesaikan perkara tersebut. Dalam
penentuan informan, penulis mengunakan tenknik purposive sampling7.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
yuridis normative atas putusan pengadilan. Temuan penting dalam
penelitian ini adalah bagaimana Rechtvinding (penemuan hukum oleh
hakim) dalam memutuskan perkara asal usul anak dan dengannya itu
memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada pencari keadilan
khusunya dan masyarakat pada umumnya.

2. Literatur review
a. Pemilihan Literatur
Penulis telah melakukan pencarian melaui System Informasi
Penulusuran Perkara (SIPP) di tiga Pengadilan Agama yaitu
Pengadilan Agama Ponorogo, Pengadilan Agama Ngawi dan
Pengadilan Agama Makale di Toraja Sulawesi Selatan diserta
membaca, mahami dan mendalami putusan tersebut dan juga
mewawancari serta mencari literature yang sesuai dengan arah
penelitian yang akan penulis teliti.
Setidaknya ada 3 putusan pengadilan yang penulis ambil, berkaitan
dengan asal usul anak untuk menunjang tugas literatur rebiew,
diantaranya adalah:
Pertama: Penetapan nomor 80/Pdt.P/2022/PA.Po dari Pengadilan
Agama Ponorogo, posisi kasusnya bahwa pada tanggal 16
Juni 2011 telah terjadi perkawinan secara siri dan saat
terjadi pernikahan pihak laki-laki berumur 25 dan
perempuan berumur 23, keduanya menikah di Kabupaten
Magetan sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama
islam, suami berstatus duda cerai sedangkan istri berstatus
perawan, telah dikaruniai 1 orang anak perempuan, anak
tersebut telah dikeluarkan akta kelahirannya, namun masih
mengatas namakan ibunya karena perkawinan antara
Pemohon I dan Pemohon II belum dicatatkan di Kantor
Urusan Agama dan pada tanggal 11 Mei 2013 baru
7
file:///C:/Users/user/OneDrive/Documents/S.2/Semester%203/Penyelesaian%20Sengketa%20
HKI/0.%20Menulis%20Jurnal%20Bereputasi_Pasca.pdf
keduanya menikah secara resmi di KUA 8. Para pihak
membutuhkan penetapan asal-usul anak tersebut sebagai
dasar untuk merubah akta kelahiran anak yang bersangkutan.
Dan dalam petitumnya para pemohon meminta agar anak
tersebut ditetapkan sebagai anak Pemohon I dan Pemohon II.
Peneliti mencoba menganalisi secara mendalam, ternyata
sang istri sudah lebih dulu hamil, dimana kelahiran anak
terseut pada tgl 18 Oktober 2012, sedangkan proses nikah
siri orang tuanya pada tanggal 16 Juni 2011, maka ada
selisih 4 bulan jika kita hitung normal seorang wanita itu
melahirkan saat kandungannya 9 bulan, maka peneliti
menarik kesimpulan anak ini adalah anak hasil hubungan
gelap (zina), namun lahir dalam perkawian siri; hal ini
memunculkan pertanyaan baru yaitu apakah anak ini
termasuk dalam katagori anak zina atau anak yang lahir
dalam perkawinan tidak tercatat?
Dalam pertimbangan hukum hakim terhadap putusan
tersebut dikabulkan dengan berdasar pada pasal 14 KHI
yang mana telah terpenuhi rukun dan syarat perkawinan,
selain itu juga Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014, dinyatakan Setiap anak berhak untuk mengetahui
orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri.
Selain itu terhadap perkara a quo Majelis Hakim berdasar
pada pendapat dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu jilid V halaman 690 yang kemudian diambil alih
sebagai pendapat Majelis Hakim yang dikatakan bahwa
Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan
sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka
apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun
pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan
secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu
(tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara
resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan
oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami istri (yang
bersangkutan)”.9

8
SIPP (Sistem Informasi Penulusuran Perakara) Pengadilan Agama Ponorogo Nomor
80/Pdt.P/2022/PA.Po, 2022, hlm. 1-3
9
Ibid, putusan 80/pdt.p/2022/PA.Po, hlm. 9
Dari pertimbangan tersebut hakim pengabulkan
permohonan asal usul anak dengan amar Mengabulkan
permohonan para Pemohon; Menetapkan anak para
Pemohon yang lahir di Ponorogo pada tanggal 18 Oktober
2012 adalah anak dari para Pemohon; dan
Memerintahkan para pemohon untuk melaporkan kepada
pegawai Dinas Dukcapil agar supaya menyebutkan
dalam akte Kelahiran Anak adalah merupakan anak dari
seorang ayah yang bernama (……) dan ibu yang bernama
(………;
Penyebutan majelis hakim dalam putusan ini adalah
anak para pemohon tidak menjelaskan sebagai anak
sah, tetapi anak para pemohon, dan memerintahkan
pelaporan kepada dikcapil untuk dimasukan nama para
pemohon sebagai kedua orang tauanya.

Kedua, dari pengadilan agama Makale (tanah toraja), sala satu


pengadilan di Sulawesi Selatan: posisi kasus secara
singkat adalah bahwa pada tanggal 03 Desember 2020
telah lahir seorang anak laki-laki dari hubungan terlarang
(zina), kemudian pada tanggal 15 Januari 2022, terjadi
perkawinan secara sah di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. Dan
ternyata kelahiran anak tersebut tidak didahului dengan
perkawinan secara agama, namun para pihak mengakui
bahwa anak tersebut adalah anak mereka berdua dari
hubungan terlarang tersebut 10, meskipun sebelumnya
pihak suami telah melamar pihak istri kepada kedua
orang tuannya dan disetujui, karena alasan covid-19 dan
saat itu pihak suami bekerja di perusahan nikel dan tidak
mendapat izin pulang untuk menikah dikampungnya,
sehingga kedunya melakukan hubungan kelaman
tersebut tanpa pernikahan di rumah kos dimana
keduanya bekerja;
Dalam pemeriksaan perkara ditemukan fakta-fakta oleh
majelis hakim kemudian dianalisis dengan bukti tertulis
serta saksi-saksi oleh para pihak, ditemukan : 1). Bahwa
para pihak menikah secara resmi pada tanggal 15 Januari
2022 dan tercatat pada KUA Kecamatan Mengkendek
10
SIPP (system informasi penelusuran perkara) Pengadilan Agama Makale, Penetapan nomor
12/Pdr.P/2023/PA.Mkl, hlm 1-3
Kabupaten Tana Toraja; 2). Bahwa kelahiran anak yang
padda tanggal 03 Desember 2020 mendahului peristiwa
perkawinan secara Islam; 3). Bahwa anak yang dilahir
tersebut adalah anak dari hasil hubungan badan antara
para Pemohon ; 4). Bahwa selama ini tidak ada pihak
yang keberatan atas kelahiran dan pengakuan para
Pemohon terhadap anak tersebut;
Progresif hakim dalam penetapan ini adalah dengan
dikabulkannya permohonan asal usul anak itu dengan
berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012 yang telah
menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) “ dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayanya”.
Selain itu majelis hakim menggunakan pendapat Jumhur Ulama
dimana anak tersebut bukanlah anak sah dari perkawinan para
Pemohon akan tetapi adalah anak biologis suaminya yang
harus dibangsakan kepada ibunya, oleh karena itu anak tersebut
bukanlah anak yang sah dari perkawinan para Pemohon akan
tetapi merupakan anak bilogis para Pemohon ; Dengan
berdasar pada Qaidah Ushul Fiqh dalam kitab Asybah Wan
Nadzahir halaman 128 yang artinya :"Pemerintah mengurus
rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan";
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas dan dihubungkan dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 103 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 201411, maka Hakim berkesimpulan
permohonan para Pemohon dapat dikabulkan dengan
menetapkan anak yang bernama JAMALUN KHAIR, laki-laki,
lahir di Makale pada tanggal 03 Desember 2020, adalah anak
biologis dari para Pemohon;
Ketiga: Kasus pada Pengadilan Agama Ngawi dalam perkara
157/Pdt.P/2022/PA/Ngw12. Posisi kasus, telah lahir sorang
anak pada tanggl 1 Oktober 2010 dan telah memiliki akta
kelahiran hanya saja dinasabkan kepada ibunya, kemudian pada
tanggal 17 Februari 2011 terjadi perkawinan secara sah di Kantor
urusan agama. Ini berarti bahwa 4 bulan setelah kelahiran anak
tersebut baru menikah kedua orang tuanya dan anak tersebut
adalah anak yang lahir tanpa perkawinan (dibaca anak hasil
perzinaan). Dalam permohonannya para Pemohon meminta
agar anak tersbut ditetapkan sebagai anak biologis para
Pemohon.
Pertimbangan progresif hakim atas kasus tersebut bahwa
berdasarkan pengakuan para Pemohon, dikuatkan oleh
keterangan 2 (dua) orang saksi, bahwa anak para Pemohon lahir
dari rahim istrinya akibat hubungan biologis dengan suaminya,
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa anak tersbut adalah
anak hasil dari hubungan kelamin tidak sah (perzinaan)
Menimbang, bahwa sesuai dengan SEMA Nomor 5 Tahun 2014
tentang pemberlakuan rapat pleno kamar Mahkamah Agung RI
tahun 2011 sampai dengan 2014. Pada Rakernas Mahkamah
Agung RI tahun 2012 di Manado telah merumuskan “Anak yang
dilahirkan dari hasil zina sebaiknya untuk memenuhi rasa
keadilan dan kepentingan anak serta hak asasi anak menerapkan
pendapat Mazhab Hanafiah dimana anak hasil zina berhak
mendapat nafkah dari pihak ayah biologisnya dan keluarga
ayah biologisnya.”;
Menimbang, bahwa SEMA tersebut berisi tentang kewajiban
ayah biologis anak untuk tetap berkewajiban memberikan
nafkah anak serta hak-hak anak lainnya untuk kepentingan

11
Himpunan peraturan perundang-undangan tentang peradilan Agama, Direktorat Jendral
badan peradilan agama, Mahkamah Agung, Jakarta 2010
12
SIPP (Sistem informasi penulusuran perkara) penetapan Pengadilan Agama Ngawi perkara
157/Pdt.P/2022/PA.Ngw, hlm 2-5
terbaik bagi anak. Ketentuan tersebut tidak dapat dimaknai,
termasuk juga melegalkan status nasab anak zina kepada ayah
biologisnya;
Menimbang, bahwa dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014, “Anak
yang lahir dalam perkawinan sirri/ dibawah tangan dapat
mengajukan permohonan pengesahan anak ke Pengadilan
Agama, karena anak mempunyai hak asasi untuk mengetahui
dan memperoleh kepastian siapa orang tuanya”. Hal ini tentu
sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010, bahwa anak hasil pernikahan di bawah tangan
berhak mengetahui dan memperoleh kepastian mengenai siapa
orang tuanya, atau dalam bahasa lainnya anak hasil pernikahan
di bawah tangan dapat mengajukan perkara permohonan asal
usul anak, untuk ditetapkan siapa ayah biologisnya;
Menimbang, bahwa hukum yang berlaku di Indonesia telah
mengatur bagaimana kedudukan nasab anak atas hasil
hubungan badan (zina). Anak hasil hubungan badan (zina)
sesuai dengan ketentuan hak asasi anak adalah anak berhak
untuk tetap menerima nafkah, jaminan pendidikan maupun
kesehatan dari seorang laki-laki yang merupakan ayah
biologisnya, namun tidak untuk mengubah status nasabnya yang
merupakan anak dari seorang ibu;
Menimbang, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 jo. SEMA Nomor 5 Tahun 2014, demi
memberikan perlindungan hukum tentang hak anak untuk
mengetahui siapa ayah biologisnya, Majelis Hakim berpendapat
a contrario terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi maupun
SEMA Nomor 5 Tahun 2015, sepanjang petitum para Pemohon
dimaknai Menetapkan anak bernama Zendi Aldriano lahir di
Ngawi, 05 Oktober 2010 adalah anak diluar perkawinan yang
sah Pemohon I (Gunawan Bin Pujo Hartono) dengan Pemohon II
(Yuyun Puput Rahayu Binti Bandi);
Menimbang, bahwa berdasarkan pendapat Ibnu al-Qayyim al-
Jauziyah Rahimahullah didalam Kitab Zaadul Ma’ad Jilid 5
halaman 381, yang diambil alih sebagai pendapat majelis. Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah berargumen dengan perbuatan khalifah
Umar Bin Khattab sebagaimana diriwayatkan Imam Malik
dalam al Muwattha’ dengan lafadz :’

‫ْل‬ ‫ُط َأ‬ ‫ْل َّط‬ ‫َأ‬


‫َّن ُع َمَر ْب َن ا َخ اِب َك اَن ُيِلْي ْو َالَد ا َج اِه ِلَّيِة ِبَم ِن اَّد َع اُه ْم ِفي اِإلْس َالِم‬
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-
anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.
Menimbang, bahwa Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah berargumen
dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah salah satu
pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya
dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut
dengan kerabat ibunya padahal ia berzina dengan lelaki
(bapaknya) tersebut. Anak itu ada dari air kedua pasangan
tersebut dan berserikat padanya dan keduanya sepakat itu
adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak
tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak
mengakuinya?
Menimbang, bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, Majelis mengabulkan permohonan para
Pemohon dengan menetapkan anak bernama Zendi Aldriano
lahir di Ngawi, 05 Oktober 2010 adalah anak diluar perkawinan
yang sah Pemohon I (Gunawan Bin Pujo Hartono) dengan
Pemohon II (Yuyun Puput Rahayu Binti Bandi), selengkapnya
sebagaimana tertuang dalam diktum amar putusan ini;
Menimbang, bahwa terhadap petitum para Pemohon nomor 3,
yaitu Mengizinkan Para Pemohon untuk Melaporkan penetapan
ini kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Ngawi agar dilakukan penerbitan Akta Pengesahan
Anak dengan menunjukkan Salinan Resmi Penetapan ini,
Majelis mempertimbangkan sebagai berikut;
Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti bertanda P.5 yaitu
kutipan akta kelahiran Zendi Aldriano sebagai anak seorang ibu,
adalah sudah benar. Sebab, Zendi Aldriano merupakan anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah (sah), sehingga menurut
hukum merupakan anak yang dinasabkan kepada ibu;
Menimbang, bahwa oleh karena kutipan akta kelahiran (P.5)
yang dikeluarkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil Kabupaten
Ngawi tanggal 17 Februari 2020 sudah tepat dan benar,
sehingga petitum permohonan para Pemohon nomor 3 harus
dinyatakan ditolak;

3. Analisis
a. Literature Review Sebagai Acuan Teori dan Acuan Analisis
Pertama, terkait upaya perlindungan hukum terhadap ibu-anak,
literature-literature yang membahas tema terkait belum banyak
bahkan sulit untuk ditemukan. Literature-literature diatas hanya
membahas terkait perlindungan anak untuk mencegah pernikahan
dini, karena pernikahan dini banyak terdapat kerugian maka anak-
anak perlu dilindungi supaya tidak terjerumus kedalamnya.
Meskipun demikian, literature-literature diatas dapat dijadikan
acuan pendukung terkait pentingnya perlindungan anak di bawah
umur. Selain itu, bisa dijadikan referensi bagaimana bentukbentuk
perlindungan anak. Tingginya fenomena pernikahan dini, tidak
menutup kemungkinan fenomena janda di bawah umur juga ikut
bertambah.
Kedua, terkait upaya peran dan tanggung jawab orang tua terhadap
ibuanak. Literature-literature yang membahas tema terkait belum
banya bahkan sulit untuk ditemukan. Literature-literature diatas
hanya membahas terkait peran orang tua dalam mencegah
pernikahan dini, belum membahas bagaiman peran orang tua dalam
membantu ibu-anak mencukupi keluarga. Meskipun demikian,
literature-literature diatas dapat dijadikan acuan pendukung bahwa
orang tua memegang peran yang sangat kuat untuk
keberlangsungan hidup anak-anaknya. Karena orang tua
merupakan salah satu tokoh utama penyelenggara perlindungan
anak.
Ketiga, terkait bagaimana upaya ibu-anak dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Dalam literature-literature diatas terdapat jelas
2 teori yaitu teori pilihan rasional dan teori adversity quotient.
Dimana kedua teori tersebut dapat diajikan acuan utama bagaimana
upaya seorang ibu-anak (janda) dalam menghidupi keluarga,
bagaimana pilihan-pillihan hidup yang dijalaninya demi
menghidupi keluarga tanpa seorang suami. Dari kedua teori
tersebut dapat diketahui bagaimana seorang ibu-anak atau janda di
bawah umur ini melanjutkan kehidupannya. Keadaan tersebut tidak
mudah karena ia sudah berstatus janda padahal sebenarnya mereka
masih berusia di bawah umur
4.
5. Kesimpulan

1. Putusan nomor 12/PDt.P/2022 : Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah


melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 07
Desember 1994 di Masjid Desa Ngadirojo, Kecamatan Sooko Kabupaten
Ponorogo, dengan mas kawin berupa uang tunai sebesar Rp20.000,00 (dua
puluh ribu rupiah) dengan wali nikah kakak kandung Pemohon II yang
bernama Jemari bin Boimin, disaksikan oleh 2 orang saksi masing-masing
bernama: Kateman bin Jemari, alamat Dukuh Karangrejo RT.001 RW.001
Desa Ngadirojo Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo, dan Suwardi bin
Saimun, alamat Dukuh Karangrejo RT.001 RW.004 Desa Ngadirojo
Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo, serta dihadiri oleh para kerabat;
2. Bahwa pada saat menikah Pemohon I berstatus jejaka sedangkan Pemohon II
berstatus perawan;
3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah melakukan hubungan layaknya
suami isteri (ba’da dukhul) dan telah dikaruniai 3 orang anak yang masing-
masing bernama:
a. Yudhia Abadi, umur 26 tahun 7 bulan;
b. Nico Dwi Abadi, umur 23 tahun 4 bulan;
c. Fadhelia Tri Afitasari, umur 21 tahun 5 bulan;
4. Bahwa Akta Kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II yang bernama
Yudhia Abadi, Nico Dwi Abadi, dan Fadhelia Tri Afitasari tercatat bahwa
anak dari seorang ibu yang bernama Siti Janatin karena perkawinan antara
Pemohon I dan Pemohon II belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama
sampai anak tersebut lahir;
5. Bahwa selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II mencatatkan perkawinan di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo pada tanggal
07 Januari 2002 dengan mendapatkan Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor:
0002/002/I/2002 tertanggal 06 Januari 2022, namun demikian adanya
Duplikat Kutipan Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon II tersebut tidak
dapat dijadikan dasar dikeluarkannya Akta Kelahiran anak Pemohon I dan
Pemohon II yang bernama Yudhia Abadi yang lahir pada tanggal 27 Juni
1995, Nico Dwi Abadi yang lahir pada tanggal 27 September 1998, dan
Fadhelia Tri Afitasari yang lahir pada tanggal 28 Agustus 2000;
6. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sangat membutuhkan penetapan
Pengadilan tentang asal-usul anak tersebut sebagai dasar untuk merubah
akta kelahiran anak yang bersangkutan, dan Pemohon I dan Pemohon II
sanggup mengajukan bukti-bukti tentang asal-usul anak tersebut;
7. Bahwa oleh karena itu Pemohon I dan Pemohon II mengajukan Permohonan
Penetapan Asal-Usul Anak ini ke Pengadilan Agama Ponorogo dan mohon
agar dijatuhkan penetapan sebagai berikut :

8. Perkara 255/pdt.P/2022/pa.po : Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah


melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 15 Maret
2016 di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo dengan mas kawin berupa
uang tunai sebesar RP.500.000,00 dan emas 1 g, dengan wali nikah ayah
kandung Pemohon II yang bernama Sirin, disaksikan oleh 2 orang saksi
masing-masing bernama: Soimin, umur 46 tahun, pekerjaan Wiraswasta,
tempat kediaman di Dukuh Mutih RT.001 RW.002 Desa Wayang Kecamatan
Pulung Kabupaten Ponorogo, dan Jemadi, 52 tahun, pekerjaan Petani,
tempat kediaman di Dukuh Mutih RT.001 RW.002 Desa Wayang Kecamatan
Pulung Kabupaten Ponorogo, serta dihadiri oleh para kerabat dan tetangga;

9. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah melakukan hubungan layaknya


suami isteri dan telah dikaruniai 1 orang anak yang bernama: Niken Septya
Putri, umur 4 tahun 9 bulan);

10. Bahwa kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat dibuatkan
Akta Kelahirannya, karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II
belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama sampai anak tersebut lahir;

11. Bahwa selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II mencatatkan perkawinan


di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo pada
tanggal 04 Juni 2022 dengan mendapatkan Kutipan Akta Nikah Nomor:
0135/001/VI/2022 tertanggal 06 Juni 2022, namun demikian adanya
Kutipan Akta Nikah Pemohon I dan Pemohon II tersebut tidak dapat
dijadikan dasar dikeluarkannya Akta Kelahiran anak Pemohon I dan
Pemohon II yang lahir pada tanggal 28 Nopember 2017;
12. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sangat membutuhkan penetapan
Pengadilan tentang asal-usul anak tersebut sebagai dasar dikeluarkannya
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan, dan Pemohon I dan Pemohon
II sanggup mengajukan bukti-bukti tentang asal-usul anak tersebut;

Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti, memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan
ini, mengandung makna bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara yang
dihadapkan kepadanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas, hakim wajib menggali nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang terkandung dalam kehidupan masyarakat
yang bersangkutan (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata
Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas Dr. Ning Adiasih, SH.MH_

https://media.neliti.com/media/publications/136780-ID-analisis-terhadap-putusan-
pengadilan-dal.pdf)

Anda mungkin juga menyukai