2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak
anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki indentitas karena UU No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus
disertai dokumen perkawinan dari negara.. Anak adalah harta dunia yang sekaligus juga merupakan
rahmat dan cobaan dari Allah SWT. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
metode penelitian library research atau penelitian kepustakaan. Mengenai penelitian semacam ini
lazimnya juga disebut “Legal Research” atau “Legal Research Instruction”. Adapun kesimpulan yang
didapatkan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengaburkan ketentuan-ketentuan
mengenai anak luar kawin/anak zina, baik yang terdapat di dalam UU No. 1/1974 maupun KHI.
Penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya keluarga sebagai dasar yang kuat dari suatu bangsa,
karena masih belum adanya ketegasan dari pemerintah selaku pihak yang berwenang apakah akan
melegalkan atau melarang pernikahan secara siri atau di bawah tangan. Serta saran yang penulis
berikan adalah Anak sebagai generasi bangsa haruslah dilindungi hak-haknya.
Abstract
This research was motivated by unregistered marriages resulting in many children who were not
recorded in the civil registry. As a result, children do not have identity because of Law no. 23 of 2006
concerning Population Administration requires that the submission of a birth certificate must be
accompanied by a marriage document from the state. Children are world treasures which are also a
blessing and a trial from Allah SWT. However, there are also situations where the birth of a child in
a family is not always a joy. This happens when a woman who is not married gives birth to a child,
this is known as an illegitimate child. In this study, the authors used research methods of library
research. Regarding this kind of research, it is usually called "Legal Research" or "Legal Research
Instruction". The conclusion is that the Constitutional Court Ruling obscures the provisions
regarding children outside of marriage / adultery, both those contained in Law no. 1/1974 and KHI.
Public awareness of the importance of the family as a strong foundation of a nation, because there is
still no firmness from the government as the competent authority whether to legalize or prohibit
unregistered or underhand marriages. As well as the advice that the author gives is that children as
the nation's generation must be protected by their rights.
1
Ahmad Maulana Analisis Yuridis Terhadap 46/PUU-HIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang
Putusan Mk Nomor 46/Puu-Viii/2010 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum
Pengakuan Status Anak Luar Kawin Dalam Perspektif hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat
Hukum Islam dikutip dari A. Mukti Arto, Diskusi Kepanitreaan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium
Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor PTA Ambon) Hlm. 1
pengajukan permohonan uji materil yang Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan
dilakukan ke MK sebenarnya dapat dikatakan dengan UUD 1945. Karena anak luar kawin
sebagai pertanda adanya ketidakberesan dan tidak memiliki hubungan dengan ayahnya.
ketidaknyamanan akan rumusan atau Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan
ketentuan tentang anak luar kawin yang ada tersebut berbunyi :
dalam Undang-udang Perkawinan, khususnya “Anak yang dilahirkan di luar
pasal 43 ayat (1) UUP. Perlu diingat bahwa, perkawinan hanya mempunyai hubungan
penyebab utama sampai adanya permohonan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
ini adalah adanya perkawinan sirri yang serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dilakukan oleh Machica Mochtar dengan laki- dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
laki yang diakuinya Moerdiono, pada tanggal pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
20 Desember 1993 di Jakarta, di mana lain menurut hukum mempunyai hubungan
terhadap perkawinan ini tidak dicatatkan, dan darah, termasuk hubungan perdata dengan
berujung pada penolakan pengakuan dari keluarga ayahnya.” 2
Moerdiono, bahwa telah terjadi perkawinan, Alasan hukum yang melatar belakangi
dan adanya hasil dari parkawinan tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
yakni anak dari Machica Mochtar. Bermula Indonesia dengan terobosan hukumnya
dari adanya permohonan uji meteril terhadap tersebut membuka titik terang hubungan antara
Undang-undang Perkawinan oleh pemohon anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan
Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. darah antara anak dan ayah dalam arti biologis
Mochtar Ibrahim, dan Muhammad Iqbal bis dikukuhkan berdasarkan proses hukum.
Ramadhan bin Moerdiono, yang merasa hak Membuka kemungkinan hukum untuk subyek
konstitusinya terlanggar dengan adanya Pasal hukum (ayah) yang harus bertanggungjawab
2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang- terhadap anak luar kawin. Subjek hukum
undang Perkawinan. Kedua pasal tersebut tersebut akan bertanggungjaabsebagai bapak
merumuskan: biologis dan bapak hukumnya melalui
Permohonan untuk melakukan uji mekanisme hukum dengan menggunakan
materil terhadap 2 pasal (pasal 2 ayat (2) dan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan
pasal 43 ayat (1)) dalam Undang-undang dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.
Perkawinan tersebut, dilakukan tepatnya pada Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa
tanggal 14 Juni 2010, pada hari Senin, dan untuk memberikan pengakuan terhadap anak
diregister dengan Nomor perkara 46/PUU- luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan
VIII/2010. Hal yang dimintakan oleh para dengan cara :
pemohon diantaranya: 6. Pengakuan oleh ayah biologisnya.
a. Menerima dan mengabulkan Permohonan 7. Pengesahan oleh ayah biologisnya
Uji Materil Pemohon untuk seluruhnya; terhadap anak luar kawin tersebut.
Menyatakan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 Putusan Mahkamah Konstitusi
ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Republik Indonesia menguatkan kedudukan
pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal ibu atas anak luar kawin dalam memintakan
28 D ayat (1) UUD 1945; pengakuan terhadap ayah biologis dari anak
b. Menyatakan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 luar kawin. Jika terdapat kemungkinan yang
ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai terjadi bapak biologis tidak membuat
kekuatan hukum yang mengikat dengan pengakuan dengan sukarela anak luar kawin.
segala akibatnya. Setelah adanya pengakuan oleh ayah
Mahkamah Konstitusi Republik biologisnya.Pada saat itu juga akan timbul
Indonesia melalui putusan No. hubungan perdata denganayah biologis dan
46/PUU/VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 keluarganya dengan anak luar kawin yang
telah melakukan terobosan hukum dengan diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan
memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan
2
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010
Pasal 280KUHPer yaitu “Dengan pengakuan Kelahirannya dan negara telah menghilangkan
terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh
hubungan perdata antara anak itu dan bapak dan berkembang karena dengan hanya
atau ibunya.” mempunyai hubungan keperdataan dengan
Tanpa adanya pencatatan tersebut, ibunya menyebabkan suami dari Pemohon
maka anak yang lahir dari pernikahan siri tidak mempunyai kewajiban hukum untuk
hanya memiliki hubungan hukum dengan memelihara, mengasuh dan membiayai anak
ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP Pemohon. Tidak ada seorang anakpun yang
menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai diperlakukan diskriminatif karena cara
akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya
ayat (1) UUP menyebutkan “Anak yang berbeda tetapi sah menurut ketentuan norma
dilahirkan di luar perkawinan hanya agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya sah secara hukum dan wajib diperlakukan
dan keluarga ibunya.” Ini juga dikuatkan sama dihadapan hukum;
dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Setelah mendengar pendapat dari para
Pasal 186 yang berbunyi “Anak yang lahir di saksi yang dihadirkan dalam persidangan
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan tersebut maka MK dalam putusannya terhadap
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga permohonan pemohon tersebut memutuskan
dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya untuk mengabulkan sebagian dari permohonan
mewaris dari ibunya saja. pemohon untuk uji materil terhadap Undang-
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 undang Perkawinan tersebut, yakni
KUHPerdata, maka anak luar kawin yang mengabulkan permohonan uji materil atas
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
adalah anak luar kawin yang diakui oleh Dalam putusannya MK mengungkapkan
ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang bahwa pasal 43 ayat (1) inkonstitusional
disahkan pada waktu dilangsungkannya adanya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
perkawinan antara kedua orang tuanya. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Untuk anak luar kawin yang tidak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Pewaris (dalam h ini ayahnya), berdasarkan Republik Indonesia Nomor 3019) yang
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU- menyatakan,
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: hanya mempunyai hubungan perdata dengan
“Anak yang dilahirkan di luar ibunya dan keluarga ibunya”,
perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk dan/atau alat bukti lain menurut hukum
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
Selanjutnya masih berhubungan ayahnya. Sehingga ayat 43 ayat (1) tersebut
dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang harus dibaca,
Perkawinan, Pemohon mengungkapkan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hak konstitusional dari anak telah diatur dan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
diakui dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
Kenyataannya sejak Iahirnya anak Pemohon sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
telah mendapatkan perlakuan diskriminatif berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yaitu dengan dihilangkannya asal usul dari dan/atau alat bukti lain menurut hukum
anak Pemohon dengan hanya mencantumkan mempunyai hubungan darah, termasuk
nama Pemohon (sebagai ibu) dalam Akta
Menurut DPR ketentuan Pasal 43 ayat (1) pembatasan ditetapkan dengan Undang-
UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Undang dan dilakukan dengan maksud
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal semata-mata untuk menjamin pengakuan
28D ayat (1) UUD Negara Republik serta penghormatan atas hak dan
Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 43 kebebasan orang lain, dan untuk
ayat (1) UU No. 1/1974 justru menjamin memenuhi tuntutan yang adil sesuai
terwujudnya tujuan perkawinan, serta dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
memberikan perlindungan dan kepastian agama, keamanan, dan ketertiban umum
hukum terhadap status keperdataan anak dalam suatu masyarakat demokratis [vide
termasuk hubungan anak dengan ibu serta Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].
keluarga ibunya. Maka apabila ketentuan (2) pencatatan secara administratif yang
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dilakukan oleh negara dimaksudkan agar
dibatalkan justru akan berimplikasi perkawinan, sebagai perbuatan hukum
terhadap kepastian hukum atas status penting dalam kehidupan, akan memiliki
keperdataan anak yang lahir dari bukti yang sempurna dengan suatu akta
perkawinan yang tidak dicatat. otentik, sehingga perlindungan dan
c. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pelayanan oleh negara terkait dengan hak-
Menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab hak yang timbul dari perkawinan yang
akibat (causal verband) antara kerugian bersangkutan dapat terselenggara secara
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang efektif dan efisien, karena tidak
yang dimohonkan untuk pengujian. diperlukan proses pembuktian yang
1) Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) memakan waktu, uang, tenaga, dan
Undang-Undang a quo pikiran yang lebih banyak, seperti
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi contohnya pembuktian mengenai asal-
berdasarkan Penjelasan Umum angka 4 usul anak dalam Pasal 55 UU NO. 1/1974
huruf b UU No. 1/1974 tentang asas-asas yang mengatur bahwa bila asal-usul anak
atau prinsip-prinsip perkawinan, ternyata tidak dapat dibuktikan dengan akta
bahwa faktor yang menentukan sahnya otentik maka mengenai hal itu akan
perkawinan adalah syarat-syarat yang ditetapkan dengan putusan pengadilan
ditentukan oleh agama. Sedangkan yang berwenang. Pembuktian yang
kewajiban pencatatan perkawinan oleh demikian pasti tidak lebih efektif dan
negara melalui peraturan perundang- efisien bila dibandingkan dengan adanya
undangan hanya merupakan kewajiban akta otentik sebagai buktinya; Menurut
administratif. Mahkamah dalil para pemohon sepanjang
Selanjutnya menurut Mahkamah menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU NO.
Konstitusi makna pentingnya kewajiban 1/1974 adalah dalil yang tidak beralasan
administratif berupa pencatatan perkawinan menurut hukum.
menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua 2) Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP
perspektif, yakni: Menurut Mahkamah pokok
(1) dari perspektif negara, dimana pencatatan permasalahan hukum mengenai anak yang
yang dimaksud diwajibkan dalam rangka dilahirkan di luar perkawinan adalah
menjalankan fungsi negara sebagai terletak pada makna hukum (legal
bentuk tanggung jawab negara dan harus meaning) dari frasa “yang dilahirkan di
dilakukan sesuai dengan prinsip negara luar perkawinan”. Mahkamah juga
hukum yang demokratis yang diatur serta memandang perlunya membahas
dituangkan dalam peraturan perundang- permasalahan tentang sahnya anak guna
undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan memperoleh jawaban dalam perspektif
ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya yang lebih luas. Untuk itu Mahkamah
pencatatan dimaksud dianggap sebagai mengkaji lebih lanjut bahwa secara
pembatasan, pencatatan demikian alamiah, tidaklah mungkin seorang
menurut Mahkamah tidak bertentangan perempuan hamil tanpa terjadinya
dengan ketentuan konstitusional karena pertemuan antara ovum dan spermatozoa
baik melalui hubungan seksual (coitus) undang tersebut. Berkaitan dengan ketentuan
maupun melalui cara lain berdasarkan anak luar kawin yang ada dalam Undang-
perkembangan teknologi yang undang Perkawinan, maka pasal 43 tersebut
menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh hanya disebutkan anak luar kawin saja, tanpa
karena itu, tidak tepat dan tidak adil ketika ada pemberian defenisi yang jelas bagi
hukum menetapkan bahwa anak yang lahir pembacanya, dan tidak ada pula pengaturan
dari suatu kehamilan karena hubungan lebih rinci, baik itu dalam perumusan kalimat
seksual di luar perkawinan hanya memiliki pasal 43 ayat (1) itu sendiri, maupun dalam
hubungan dengan ibunya saja dan penjelasan dari pasal tersebut.
membebaskan laki-laki yang melakukan Dengan demikian, walaupun pada saat
hubungan seksual tersebut dari tanggung ini ketentuan tentang anak luar kawin sudah
jawabnya sebagai seorang bapak dan mengalami perubahan, yakni adanya
bersamaan dengan itu hukum meniadakan penambahan di dalamnya, sebagai akibat
hak-hak anak terhadap lelaki tersebut adanya uji materil oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai bapaknya. terhadap Undangundang Perkawinan, maka
Menurut Mahkamah selanjutnya berkaitan dengan pengaturan anak, khususnya
dengan terlepas dari soal anak luar kawin, maka ketentuan terperinci
prosedur/administrasi perkawinannya, tentang anak luar kawin, yang ada dalam Kitab
status anak yang dilahirkan harus Undang-undang Hukum Perdata, masih
mendapat perlindungan dan kepastian berlaku dan dipergunakan, sebelum ada
hukum yang adil, termasuk terhadap anak peraturan baru yang dibentuk untuk
yang dilahirkan meskipun keabsahan menggantikannya. Hal keberlakuan dari
perkawinannya masih dipersengketakan, KUHPerdata tersebut, didasarkan atas pasal 66
sehingga menurut pendapat Mahkamah Undang-undang Perkawinan dan juga adanya
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang petunjuk-petunjuk MA melalui surat No.
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar M.A./Pem/0807/75 tertanggal 20 Agustus
perkawinan hanya mempunyai hubungan 1975. Hal mana tentang anak luar kawin
perdata dengan ibunya dan keluarga tersebut, diantaranya dapat dilihat
ibunya” adalah bertentangan dengan UUD pengaturannya dalam pasal 39, 272-289, 306,
1945 secara bersyarat (conditionally 424, 871 KUHPerdata, yang berkaitan dengan
unconstitutional) yakni inkonstitusional perwalian anak luar kawin, pengakuan dan
sepanjang ayat tersebut dimaknai pengesahan anak luar kawin, serta pula
menghilangkan hubungan perdata dengan berkaitan dengan pewarisan.
laki-laki yang dapat dibuktikan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
berdasarkan ilmu pengetahuan dan Perkawinan, secara filosofis, sebelum adanya
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut uji materil oleh MK, dapat dikatakan telah
hukum mempunyai hubungan darah melindungi kepentingan anak luar kawin,
sebagai ayahnya. sebab jika dibandingkan dengan ketentuan
3. Analisis Putusan MK Nomor 46/PUU- yang ada sebelumnya, yakni yang ada di
VIII/2010 tentang Uji Materil terhadap KUHPerdata, maka anak luar kawin secara
Undang-undang Perkawinan hukum tidak punya hubungan dengan
Apabila diperhatikan, maka ketentuan orangtuanya, baik itu ayah atau ibunya. Untuk
yang dimohonkan adalah salah satunya tentang dapat memiliki hubungan perdata secara
anak. Berhubungan dengan hal tersebut, maka hukum, maka orangtua si anak, baik itu ibu
jika melihat ketentuan tentang anak dalam maupun ayah, harus melakukan pengakuan.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Adanya ketentuan dalam Undang-undang
Perkawinan, ketentuan tersebut dapat Perkawinan, melindungi anak, karena secara
ditemukan perumusannya dalam pasal 42 dan hukum, status si anak telah memiliki hubungan
pasal 43, serta pasal 55 yang berkenaan dengan dengan ibunya, tanpa perlu melakukan
pembuktian asal usul anak. Selain dari pasal- pengakuan seperti layaknya yang ada dalam
pasal tersebut, tidak ditemui lagi adanya pasal 280 KUHPerdata. Adanya hubungan
pengaturan tentang anak di dalam undang- perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan
pernikahan, karena ada implikasi yang akan pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU No.
dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya 1/1974 serta berpotensi saling
tersebut. MK bermaksud agar anak yang meniadakan. Namun jika dimaknai
dilahirkan di luar pernikahan mendapatkan sebagai pencatatan secara
perlindungan hukum yang memadai, karena administratif yang tidak berpengaruh
pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa terhadap sah atau tidaknya suatu
karena kelahirannya di luar kehendaknya. perkawinan, maka hal tersebut tidak
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan bertentangan dengan UUD 1945
status ayah seringkali mendapatkan perlakuan karena tidak terjadi penambahan
yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah terhadap syarat perkawinan. Namun
masyarakat. Hukum harus memberi demikian, berdasarkan tinjauan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil sosiologis tentang lembaga
terhadap status seorang anak yang dilahirkan perkawinan dalam masyarakat, sahnya
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk perkawinan menurut agama dan
terhadap anak yang dilahirkan meskipun kepercayaan tertentu tidak dapat
keabsahan perkawinannya masih secara langsung menjamin
dipersengketakan. terpenuhinya hak-hak keperdataan
Sedangkan menurut Prof. Wahyono istri, suami, dan/atau anak-anak yang
Darmabrata, untuk sahnya perkawinan adalah dilahirkan dari perkawinan tersebut
tepenuhinya persyaratan-persyaratan yang karena pelaksanaan norma agama dan
terdapat dalam Pasal-pasal yang ada di dalam adat di masyarakat diserahkan
UU No. 1/1974, yakni syarat materiil dan sepenuhnya kepada kesadaran
syarat formil. Selanjutnya menurut beliau individu dan kesadaran masyarakat
mengenai pencatatan perkawinan itu sendiri tanpa dilindungi oleh otoritas resmi
ada kontradiksi antara sifat administratif (negara) yang memiliki kekuatan
pencatatan suatu perkawinan dengan urgensi pemaksa.
yang ingin dicapai dalam pencatatan 2) Pencatatan perkawinan diperlukan
perkawinan tersebut. Sehingga sudah tidak ada sebagai:
keraguan lagi, bahwa perkawinan harus (a) perlindungan negara kepada pihak-
dicatat, dan dengan tidak dicatatkannya pihak dalam perkawinan;
perkawinan itu, akan memberikan akibat (b) untuk menghindari kecenderungan
hukum terhadap perkawinan, yaitu perkawinan dari inkonsistensi penerapan ajaran
tersebut tidak sah. Selain pendapat diatas, agama dan kepercayaan secara
terdapat pendapat-pendapat lain yang juga sempurna/utuh pada perkawinan yang
menurut penulis penting untuk diperhatikan, dilangsungkan menurut agama dan
yaitu : kepercayaan tersebut;
a. Maria Farida Indrati, seorang Hakim (c) untuk menghindari penerapan hukum
Konstitusi dalam pendapatnya yang dimuat agama dan kepercayaannya itu dalam
dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang perkawinan secara sepotong-sepotong
dijadikan sebagai concurring opinion untuk meligitimasi sebuah
(alasan yang berbeda) menjabarkan bahwa: perkawinan, sementara kehidupan
1) Pencatatan yang dimaksud oleh Pasal rumah tangga pascaperkawinan tidak
2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
ditegaskan apakah pencatatan tersebut dimaksud;
merupakan pencatatan secara (d) selain demi tertib administrasi, adalah
administratif yang berpengaruh atau untuk melindungi wanita dan anak-
tidak terhadap sah atau tidaknya anak. Hal ini dapat dilakukan dengan
perkawinan yang telah dilangsungkan menetapkan syarat agar rencana
menurut agama atau kepercayaan perkawinan yang potensial
masing-masing. Sehingga keberadaan menimbulkan kerugian dapat dihindari
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 dan ditolak. Negara mengatur
menimbulkan ambiguitas bagi (mengundangkan) syaratsyarat