Anda di halaman 1dari 15

JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No.

2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

Status Anak Dari Perkawinan Dibawah Tangan Pasca Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Februari 2012 Ditinjau Dari
Peraturan Perundang-Undangan
Masyhur
Email: masyhur905@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh Perkawinan yang tidak dicatatkan mengakibatkan banyak
anak yang tidak tercatat di catatan sipil. Imbasnya anak tidak memiliki indentitas karena UU No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mensyaratkan pengajuan akta kelahiran harus
disertai dokumen perkawinan dari negara.. Anak adalah harta dunia yang sekaligus juga merupakan
rahmat dan cobaan dari Allah SWT. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
metode penelitian library research atau penelitian kepustakaan. Mengenai penelitian semacam ini
lazimnya juga disebut “Legal Research” atau “Legal Research Instruction”. Adapun kesimpulan yang
didapatkan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengaburkan ketentuan-ketentuan
mengenai anak luar kawin/anak zina, baik yang terdapat di dalam UU No. 1/1974 maupun KHI.
Penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya keluarga sebagai dasar yang kuat dari suatu bangsa,
karena masih belum adanya ketegasan dari pemerintah selaku pihak yang berwenang apakah akan
melegalkan atau melarang pernikahan secara siri atau di bawah tangan. Serta saran yang penulis
berikan adalah Anak sebagai generasi bangsa haruslah dilindungi hak-haknya.

Kata Kunci : Nikah Siri, Putusan Mahkamah Konstitusi, Legal Research

Abstract
This research was motivated by unregistered marriages resulting in many children who were not
recorded in the civil registry. As a result, children do not have identity because of Law no. 23 of 2006
concerning Population Administration requires that the submission of a birth certificate must be
accompanied by a marriage document from the state. Children are world treasures which are also a
blessing and a trial from Allah SWT. However, there are also situations where the birth of a child in
a family is not always a joy. This happens when a woman who is not married gives birth to a child,
this is known as an illegitimate child. In this study, the authors used research methods of library
research. Regarding this kind of research, it is usually called "Legal Research" or "Legal Research
Instruction". The conclusion is that the Constitutional Court Ruling obscures the provisions
regarding children outside of marriage / adultery, both those contained in Law no. 1/1974 and KHI.
Public awareness of the importance of the family as a strong foundation of a nation, because there is
still no firmness from the government as the competent authority whether to legalize or prohibit
unregistered or underhand marriages. As well as the advice that the author gives is that children as
the nation's generation must be protected by their rights.

Keyword : Siri Marriage, Legal Research constitution lawcourt decision.

PENDAHULUAN Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang


1. Latar Belakang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa
Anak adalah amanah sekaligus karunia dan bernegara anak adalah masa depan bangsa
Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dan generasi penerus cita-cita bangsa,
dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak serta berhak atas perlindungan dari tindak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan kebebasan.

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 1


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

Dalam pasal 43 Undang-Undang Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal


Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa : 17 Februari 2012 tentang Pengakuan anak
Pasal 43 di luar kawin yang diajukan oleh Hj.
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan Aisyah Mochtar (Macica Mokhtar) untuk
hanya mempunyai hubungan perdata anaknya Ramadhan?
dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2. Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Februari 2012 tentang Pengakuan anak di
Pemerintah luar kawin tersebut ditinjau dari Hukum
Oleh karena kelahirannya tidak Perundang-Undangan?
tercatat, maka anak-anak dari perkawinan yang
tidak dicatatkan tidak mempunyai identitas 3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
resmi di hadapan hukum di Negara mereka 1. Tujuan Penelitian
dilahirkan atau negara asal orangtua mereka. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
Putusan MK tersebut lahir karena sebagai berikut:
adanya permohonan yudisial review yang a. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi
diajukan oleh Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya pertimbangan Hakim Mahkamah
yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan Konstitusi dalam mengeluarkan putusan
bin Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
(2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tentang Pengakuan anak di luar kawin yang
dimana Moerdiono sebagai seorang suami diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar (Macica
yang telah beristri menikah kembali dengan Mokhtar) untuk anaknya Ramadhan.
istrinya yang kedua bemama Hj. Aisyah b. Untuk mengetahui dan mengalisis
Mokhtar secara syari'at Islam tanpa dicatatkan bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan Februari 2012 tentang Pengakuan anak di
dari pernikahan tersebut lahir seorang anak luar kawin tersebut ditinjau dari Hukum
laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Perundang-Undangan.
Ramadhan Bin Moerdiono.1 2. Manfaat Penelitian
Dari uraian latar belakang diatas, Adapun manfaat yang dapat diambil
penulis tergerak untuk menyusun sebuah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
penelitian dengan mengangkat permalasahan a. Manfaat Teoritis
tentang "Tinjauan Yuridis Terhadap Secara teoritis sebagai sumbangan
Kedudukan Anak Dari Perkawinan pemikiran dalam perkembangan ilmu
Dibawah Tangan Ditinjau Dari Peran hukum, khususnya yang berkaitan dengan
Perundang-Undangan (Studi Kasus masalah hukum perkawinan serta dapat
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal menambah bahan-bahan kepustakaan.
17 Februari 2012 Tentang Pengakuan Anak b. Manfaat Praktis
Diluar Kawin)". Sebagai bahan sumbangan pemikiran bagi
2. Perumusan Masalah peneliti dan penulis lain yang ingin
Adapun rumusan masalah yang penulis mendalami lebih jauh tentang masalah
angkat dalam penelitian ini adalah sebagai hukum bagi anak dari perkawinan dibawah
berikut: tangan.
1. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim
Mahkamah Konstitusi dalam TINJAUAN PUSTAKA
mengeluarkan putusan Mahkamah

1
Ahmad Maulana Analisis Yuridis Terhadap 46/PUU-HIV/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012 Tentang
Putusan Mk Nomor 46/Puu-Viii/2010 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, (Bahan Diskusi Hukum
Pengakuan Status Anak Luar Kawin Dalam Perspektif hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat
Hukum Islam dikutip dari A. Mukti Arto, Diskusi Kepanitreaan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium
Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor PTA Ambon) Hlm. 1

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 2


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

1. Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Tidak semua orang memiliki kesiapan


Anak mental untuk menikah, apalagi disebabkan
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 23 oleh factor hubungan seksual di luar nikah
Tahun 2002 tentang perlindungan anak (Zina) akibat pacaran (Khalwat) yang
ditegaskan bahwa anak adalah seorang yang berkepanjangan. Rasa penyesalan atas dosa
belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang yang telah dilakukan serta tuntutan tanggung
masih dalam kandungan. Menurut UU No. 4 jawab untuk melanjutkan hubungan kasih
Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak saying, terkadang memaksa seseorang untuk
adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa keluar dari kenyataan, meskipun dengan cara
yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh yang terkadang tidak lazim, seperti melakukan
generasi sebelumnya. Hal ini selaras dengan pernikahan siri. Bagi seorang laki-laki
pengertian anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 pernikahan dapat dijadikan sebagai jalan
tentang pengadilan anak dan PP No. 54 Tahun untuk membuktikan adanya kasih sayang dan
2007 tentang pengangkatan anak. Ketentuan tuntutan rasa tanggung jawab dari seorang
tersebut menerangkan bahwa anak yang masih wanita yang baru dikenalnya. Bahkan dengan
dalam kandungan pun dikategorikan anak janji-janji manis untuk menikah tersebut, tidak
sampai dengan anak berusia 18 tahun. Dari sedikit wanita yang tergoda begitu saja untuk
seorang anak yang hadir akibat dari sebuah menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki.
perkawinan maka akan timbullah antara hak Kenyataan menunjukan, bahwa nikah
dan kewajiban selaku anak. siri sering dijadikan media bagi sepasang
2. Tinjauan Pernikahan Dibawah Tangan kekasih yang ber-khalwat untuk melegalkan
(Nikah Siri) perikatan. Khalwat (pacaran) adalah perbuatan
1. Pengertian bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau
Istilah pernikahan dibawah tangan atau lebih berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa
disebut juga dengan nikah siri adalah kata yang ikatan perkawinan. Karena itu menurut
berasal dari bahasa arab yang secara umum pandangan syariat, pacaran (khalwat)
telah diserap dalam bahasa Indonesia. hukumnya diharamkan. Adapun yang menjadi
Pernikahan dibawah tangan yang dalam kitab dasar hukum bahwa khalwat hukumnya haram
fiqh disebut Az-zawaj as-siri sebagai rangkaian adalah QS. Al Isra : 32 yang artinya: “dan
dari dua kata yaitu az-zawaj dan as-siri. Istilah janganlah kamu mendekati zina,
az-zawaj berarti pernikahan, sedangkan istilah sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
as-siri berarti rahasia. Berdasarkan pengertian yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang
tersebut, maka padanan kata az-zawaj as-siri buruk”.
dapat diartikan pernikahan yang dilakukan b) Nikah Untuk Bercerai
secara sembunyi-sembunyi / rahasia. Biasanya orang yang mempunyai niat
Nikah siri tidak hanya di kenal pada menikah tetapi hanya un tuk sementara waktu
zaman sekarang saja, tetapi juga telah ada pada (bercerai), ada kecenderungan akan
jaman sahabat. Istilah itu berasal dari sebuah mengambil jalan nikah siri. Trend nikah siri
ucapan umar bin khattab pada saat member dijadikan sebagai pilihan, karena dinilai selain
tahu, bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak lebih mudah, dari segi prosedur juga dapat
sihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang laki- membebaskan para pelakunya dari beban
laki dan seorang perempuan. Dalam suatu hukum. Akibatnya, mempelai wanita yang
riwayat Masyhur, sahabat Umar bin Khattab seharusnya mendapatkan perlindungan hukum
r.a menyatakan: terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
dalam rumah tangga justru menjadi tdak
“ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, menentu nasibnya.
dan sekiranya saya tau lebih dahulu, maka c) Poligami
pasti akan saya rajam”. Jika dikaitkan, poligami dapat
2. Sebab-sebab Dilakukannya Pernikahan mempunyai hubungan yang erat dengan nikah
Dibawah Tangan (Nikah Siri) siri, terutama ketika makna nikah siri dipahami
a) Zina Akibat Ber-Khalwat sebagai pernikahan yang sembunyi-sembunyi
(tanpa sepengetahuan pemerintah melalui

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 3


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

pegawai pencatat nikah ). Dikatakan Sesuai dengan jenis penelitiannnya


berpoligami ( ta’addud zaujat ), apabila yakni penelitian hukum normatif (yuridis
seorang laki-laki menikah lebih dari satu normatif), maka dapat digunakan lebih dari
oaring istri pada waktu yang bersamaan. satu pendekatan.78 Dalam penelitian ini
Pengadilan dapat member izin kepada digunakan pendekatan perundang-undangan
suami untuk beristri lebih dari satu orang (Statute Approach) dan pendekatan konsep
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang (conceptual approach).
bersangkutan. Izin dari peradilan agama dapat 3. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
diberikan kepada seorang suami yang akan 1. Bahan Hukum Primer
berpoligami apabila berlaku ketentuan: Bahan hukum primer merupakan bahan
a) Istri tidak dapat menjalankan hukum yang bersifat autoritatif artinya
kewajibannya sebagai seorang istri mempunyai otoritas. Adapun bahan hukum
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit primer terdiri dari:
yang tidak dapat disembuhkan a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan Tentang Perkawinan
Namun untuk dapat berpoligami syarat lain b. KUHPerdata
yang harus dipenuhi adalah: c. Kompilasi Hukum Islam
a) Adanya persetujuan dari pihak istri, ( baik 2. Bahan Hukum Sekunder
secara lisan maupun tertulis ) Merupakan bahan hukum yang
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu bersifat membantu atau menunjang bahan
menjamin keperluan hidup istri-istri dan hukum primer dalam penelitian yang akan
anak-anak mereka. memperkuat penjelasan di dalamnya.
c) Adanya jaminan bahwa suami akan 4. Pengumpulan Bahan Hukum
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak- Pengumpulan bahan hukum dalam
anak mereka. penelitian library research adalah teknik
Berlakunya peraturan poligami yang dokumenter, yaitu dikumpulkan dari telaah
mengharuskan adanya persetujuan dari pihak arsip atau studi pustaka seperti, buku-buku,
istri yang mendapatkan pengesahan dari makalah, artikel, majalah, jurnal, koran atau
pengadilan agama, ternyata menyebabkan karya para pakar. Selain itu,wawancara juga
seseorang yang mempunyai niat untuk merupakan salah satu dari teknik pengumpulan
poligami berusaha mengambil jalan pintas bahan hukum yang menunjang teknik
dengan melangsungkan pernikahan secara siri. dokumenter dalam penelitian ini serta
Melalui pernikahan ini, mereka yakin akan berfungsi untuk memperoleh bahan hukum
mendapatkan kemudahan, disamping dapat yang mendukung penelitian jika diperlukan.
menghindari dari beban hukum yang mungkin 5. Analisa Bahan Hukum
diterimanya. Dalam penelitian ini, setelah bahan
hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut
METODOLOGI PENELITIAN dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk
1. Jenis Penelitian dalam teknik analisis bahan hukum adalah
Agar tidak terjebak pada kesalahan Content Analysis. Sebagaimana telah
yang umumnya terjadi dalam sebuah penelitian dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam
hukum dengan memaksakan penggunaan penelitian normatif tidak diperlukan data
format penelitian empiris dalam ilmu sosial lapangan untuk kemudian dilakukan analisis
terhadap penelitian normatif (penelitian terhadap sesuatu yang ada di balik data
yuridis normatif), maka penting sekali tersebut.
mengetahui dan menentukan jenis penelitian PEMBAHASAN
sebagai salah satu komponen dalam metode 1. Kasus Posisi
penelitian. Sebab ketepatan dalam metode Belum hilang dari ingatan bahwa pada
penelitian akan sangatberpengaruh terhadap bulan Februari tahun 2012 lalu, MK
proses dan hasil suatu penelitian hukum. (Mahkamah Konstitusi) telah memutus
2. Pendekatan Penelitian pengujian terhadap Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan. Adanya

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 4


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

pengajukan permohonan uji materil yang Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan
dilakukan ke MK sebenarnya dapat dikatakan dengan UUD 1945. Karena anak luar kawin
sebagai pertanda adanya ketidakberesan dan tidak memiliki hubungan dengan ayahnya.
ketidaknyamanan akan rumusan atau Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan
ketentuan tentang anak luar kawin yang ada tersebut berbunyi :
dalam Undang-udang Perkawinan, khususnya “Anak yang dilahirkan di luar
pasal 43 ayat (1) UUP. Perlu diingat bahwa, perkawinan hanya mempunyai hubungan
penyebab utama sampai adanya permohonan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
ini adalah adanya perkawinan sirri yang serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dilakukan oleh Machica Mochtar dengan laki- dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
laki yang diakuinya Moerdiono, pada tanggal pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
20 Desember 1993 di Jakarta, di mana lain menurut hukum mempunyai hubungan
terhadap perkawinan ini tidak dicatatkan, dan darah, termasuk hubungan perdata dengan
berujung pada penolakan pengakuan dari keluarga ayahnya.” 2
Moerdiono, bahwa telah terjadi perkawinan, Alasan hukum yang melatar belakangi
dan adanya hasil dari parkawinan tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
yakni anak dari Machica Mochtar. Bermula Indonesia dengan terobosan hukumnya
dari adanya permohonan uji meteril terhadap tersebut membuka titik terang hubungan antara
Undang-undang Perkawinan oleh pemohon anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan
Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. darah antara anak dan ayah dalam arti biologis
Mochtar Ibrahim, dan Muhammad Iqbal bis dikukuhkan berdasarkan proses hukum.
Ramadhan bin Moerdiono, yang merasa hak Membuka kemungkinan hukum untuk subyek
konstitusinya terlanggar dengan adanya Pasal hukum (ayah) yang harus bertanggungjawab
2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang- terhadap anak luar kawin. Subjek hukum
undang Perkawinan. Kedua pasal tersebut tersebut akan bertanggungjaabsebagai bapak
merumuskan: biologis dan bapak hukumnya melalui
Permohonan untuk melakukan uji mekanisme hukum dengan menggunakan
materil terhadap 2 pasal (pasal 2 ayat (2) dan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan
pasal 43 ayat (1)) dalam Undang-undang dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.
Perkawinan tersebut, dilakukan tepatnya pada Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa
tanggal 14 Juni 2010, pada hari Senin, dan untuk memberikan pengakuan terhadap anak
diregister dengan Nomor perkara 46/PUU- luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan
VIII/2010. Hal yang dimintakan oleh para dengan cara :
pemohon diantaranya: 6. Pengakuan oleh ayah biologisnya.
a. Menerima dan mengabulkan Permohonan 7. Pengesahan oleh ayah biologisnya
Uji Materil Pemohon untuk seluruhnya; terhadap anak luar kawin tersebut.
Menyatakan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 Putusan Mahkamah Konstitusi
ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Republik Indonesia menguatkan kedudukan
pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta pasal ibu atas anak luar kawin dalam memintakan
28 D ayat (1) UUD 1945; pengakuan terhadap ayah biologis dari anak
b. Menyatakan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 luar kawin. Jika terdapat kemungkinan yang
ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai terjadi bapak biologis tidak membuat
kekuatan hukum yang mengikat dengan pengakuan dengan sukarela anak luar kawin.
segala akibatnya. Setelah adanya pengakuan oleh ayah
Mahkamah Konstitusi Republik biologisnya.Pada saat itu juga akan timbul
Indonesia melalui putusan No. hubungan perdata denganayah biologis dan
46/PUU/VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 keluarganya dengan anak luar kawin yang
telah melakukan terobosan hukum dengan diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan
memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan

2
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia No. 46/PUU-VIII/2010

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 5


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

Pasal 280KUHPer yaitu “Dengan pengakuan Kelahirannya dan negara telah menghilangkan
terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh
hubungan perdata antara anak itu dan bapak dan berkembang karena dengan hanya
atau ibunya.” mempunyai hubungan keperdataan dengan
Tanpa adanya pencatatan tersebut, ibunya menyebabkan suami dari Pemohon
maka anak yang lahir dari pernikahan siri tidak mempunyai kewajiban hukum untuk
hanya memiliki hubungan hukum dengan memelihara, mengasuh dan membiayai anak
ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UUP Pemohon. Tidak ada seorang anakpun yang
menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai diperlakukan diskriminatif karena cara
akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya
ayat (1) UUP menyebutkan “Anak yang berbeda tetapi sah menurut ketentuan norma
dilahirkan di luar perkawinan hanya agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya sah secara hukum dan wajib diperlakukan
dan keluarga ibunya.” Ini juga dikuatkan sama dihadapan hukum;
dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Setelah mendengar pendapat dari para
Pasal 186 yang berbunyi “Anak yang lahir di saksi yang dihadirkan dalam persidangan
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan tersebut maka MK dalam putusannya terhadap
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga permohonan pemohon tersebut memutuskan
dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya untuk mengabulkan sebagian dari permohonan
mewaris dari ibunya saja. pemohon untuk uji materil terhadap Undang-
Jika berdasarkan Pasal 863 – Pasal 873 undang Perkawinan tersebut, yakni
KUHPerdata, maka anak luar kawin yang mengabulkan permohonan uji materil atas
berhak mendapatkan warisan dari ayahnya pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
adalah anak luar kawin yang diakui oleh Dalam putusannya MK mengungkapkan
ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang bahwa pasal 43 ayat (1) inkonstitusional
disahkan pada waktu dilangsungkannya adanya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
perkawinan antara kedua orang tuanya. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Untuk anak luar kawin yang tidak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Pewaris (dalam h ini ayahnya), berdasarkan Republik Indonesia Nomor 3019) yang
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU- menyatakan,
VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca: hanya mempunyai hubungan perdata dengan
“Anak yang dilahirkan di luar ibunya dan keluarga ibunya”,
perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk dan/atau alat bukti lain menurut hukum
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
Selanjutnya masih berhubungan ayahnya. Sehingga ayat 43 ayat (1) tersebut
dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang harus dibaca,
Perkawinan, Pemohon mengungkapkan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hak konstitusional dari anak telah diatur dan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
diakui dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
Kenyataannya sejak Iahirnya anak Pemohon sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
telah mendapatkan perlakuan diskriminatif berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yaitu dengan dihilangkannya asal usul dari dan/atau alat bukti lain menurut hukum
anak Pemohon dengan hanya mencantumkan mempunyai hubungan darah, termasuk
nama Pemohon (sebagai ibu) dalam Akta

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 6


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

hubungan perdata dengan keluarga tidak dicatat dapat diartikan bahwa


ayahnya”; peristiwa perkawinan tersebut tidak ada,
Dalam putusan MK tersebut, diketahui sehingga anak yang lahir di luar
terdapat pendapat yang berbeda (concuring perkawinan yang tidak dicatat menurut
opinion) dari salah satu hakim MK, Prof. Undang-Undang a quo dikategorikan
Maria Indrati. Hal mana, dari pendapat beliau, sebagai anak yang lahir di luar perkawinan
tentang anak luar kawin bahwa pemenuhan yang sah, karenanya menjadi tidak logis
hak-hak anak yang terlahir dari suatu apabila undang-undang memastikan
perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya hubungan hukum seorang anak yang lahir
perkawinan tersebut menurut hukum negara, dari seorang perempuan, memiliki
tetap menjadi kewajiban kedua orangtua hubungan hukum sebagai anak dengan
kandung atau kedua orangtua biologisnya, jadi seorang laki-laki yang tidak terikat dalam
tidak ada dosa turunan. suatu perkawinan yang sah. Sehingga Pasal
2. Pertimbangan MK Dalam 43 ayat (1) UU No. 1/1974 tersebut tidak
Mengeluarkan Putusan Nomor bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B
46/PUU-VIII/2010 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
Dalam mengeluarkan mengeluarkan (1) UUD 1945 karena apabila perkawinan
sebuah putusan tentunya MK melihat berbagai tersebut dilakukan secara sah maka hak-
macam hal yang harus menjadi pertimbangan hak para Pemohon sebagaimana dimaksud
dalam mengeluarkan putusan. Terkait dengan dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
putusan nomor 46/PUU-VIII/2010, MK Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dapat
memiliki pertimbangan sebagai berikut : dipenuhi, seiring dengan tujuan dari
a. Pertimbangan pemerintah ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-
1) Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang a quo itu sendiri.
Undang-Undang a quo b. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Pemerintah tidak sependapat dengan 1) Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2)
anggapan para Pemohon yang menyatakan Undang-Undang a quo
bahwa Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 Menurut DPR, alasan para Pemohon yang
telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat tidak dapat mencatatkan perkawinannya
(1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) oleh karena prinsip UU No. 1/1974 yang
UUD 1945, karena pencatatan perkawinan berasas monogami adalah sangat tidak
bukanlah dimaksudkan untuk membatasi berdasar, karena sebenarnya Pemohonlah
hak asasi warga negara melainkan yang tidak dapat memenuhi persyaratan
sebaliknya yakni melindungi warga negara poligami sebagaimana diatur dalam UU
dalam membangun keluarga dan No. 1/1974. Oleh karena itu sesungguhnya
melanjutkan keturunan, serta memberikan persoalan para Pemohon bukan persoalan
kepastian hukum terhadap hak suami, istri, konstitusionalitas norma melainkan
dan anak-anaknya. Tidak ada keterkaitan persoalan penerapan hukum yang tidak
antara pencatatan perkawinan baik di dipenuhi oleh para Pemohon. Sehingga
Kantor Urusan Agama maupun Kantor pada akhirnya akan berimplikasi terhadap
Catatan Sipil dengan masalah hak-hak keperdataan yang timbul dari
konstitusionalitas keberlakuan materi akibat perkawinan termasuk anak yang
muatan norma yang dimohonkan lahir dari perkawinan yang tidak dicatat
pengujiannya oleh para Pemohon. yaitu implikasi terhadap pembuktian
2) Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU hubungan keperdataan anak dengan
No. 1/1974 ayahnya, dimana anak yang lahir dari
Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 perkawinan yang tidak dicatat tersebut,
menurut Pemerintah bertujuan untuk tentu hanya mempunyai hubungan
memberikan perlindungan dan kepastian keperdataan dengan ibu dan keluarga
hukum terhadap hubungan keperdataan ibunya.
antara anak dan ibunya serta keluarga 2) Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP
ibunya, karena suatu perkawinan yang

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 7


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

Menurut DPR ketentuan Pasal 43 ayat (1) pembatasan ditetapkan dengan Undang-
UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Undang dan dilakukan dengan maksud
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal semata-mata untuk menjamin pengakuan
28D ayat (1) UUD Negara Republik serta penghormatan atas hak dan
Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 43 kebebasan orang lain, dan untuk
ayat (1) UU No. 1/1974 justru menjamin memenuhi tuntutan yang adil sesuai
terwujudnya tujuan perkawinan, serta dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
memberikan perlindungan dan kepastian agama, keamanan, dan ketertiban umum
hukum terhadap status keperdataan anak dalam suatu masyarakat demokratis [vide
termasuk hubungan anak dengan ibu serta Pasal 28J ayat (2) UUD 1945].
keluarga ibunya. Maka apabila ketentuan (2) pencatatan secara administratif yang
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dilakukan oleh negara dimaksudkan agar
dibatalkan justru akan berimplikasi perkawinan, sebagai perbuatan hukum
terhadap kepastian hukum atas status penting dalam kehidupan, akan memiliki
keperdataan anak yang lahir dari bukti yang sempurna dengan suatu akta
perkawinan yang tidak dicatat. otentik, sehingga perlindungan dan
c. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pelayanan oleh negara terkait dengan hak-
Menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab hak yang timbul dari perkawinan yang
akibat (causal verband) antara kerugian bersangkutan dapat terselenggara secara
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang efektif dan efisien, karena tidak
yang dimohonkan untuk pengujian. diperlukan proses pembuktian yang
1) Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) memakan waktu, uang, tenaga, dan
Undang-Undang a quo pikiran yang lebih banyak, seperti
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi contohnya pembuktian mengenai asal-
berdasarkan Penjelasan Umum angka 4 usul anak dalam Pasal 55 UU NO. 1/1974
huruf b UU No. 1/1974 tentang asas-asas yang mengatur bahwa bila asal-usul anak
atau prinsip-prinsip perkawinan, ternyata tidak dapat dibuktikan dengan akta
bahwa faktor yang menentukan sahnya otentik maka mengenai hal itu akan
perkawinan adalah syarat-syarat yang ditetapkan dengan putusan pengadilan
ditentukan oleh agama. Sedangkan yang berwenang. Pembuktian yang
kewajiban pencatatan perkawinan oleh demikian pasti tidak lebih efektif dan
negara melalui peraturan perundang- efisien bila dibandingkan dengan adanya
undangan hanya merupakan kewajiban akta otentik sebagai buktinya; Menurut
administratif. Mahkamah dalil para pemohon sepanjang
Selanjutnya menurut Mahkamah menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU NO.
Konstitusi makna pentingnya kewajiban 1/1974 adalah dalil yang tidak beralasan
administratif berupa pencatatan perkawinan menurut hukum.
menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua 2) Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UUP
perspektif, yakni: Menurut Mahkamah pokok
(1) dari perspektif negara, dimana pencatatan permasalahan hukum mengenai anak yang
yang dimaksud diwajibkan dalam rangka dilahirkan di luar perkawinan adalah
menjalankan fungsi negara sebagai terletak pada makna hukum (legal
bentuk tanggung jawab negara dan harus meaning) dari frasa “yang dilahirkan di
dilakukan sesuai dengan prinsip negara luar perkawinan”. Mahkamah juga
hukum yang demokratis yang diatur serta memandang perlunya membahas
dituangkan dalam peraturan perundang- permasalahan tentang sahnya anak guna
undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan memperoleh jawaban dalam perspektif
ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya yang lebih luas. Untuk itu Mahkamah
pencatatan dimaksud dianggap sebagai mengkaji lebih lanjut bahwa secara
pembatasan, pencatatan demikian alamiah, tidaklah mungkin seorang
menurut Mahkamah tidak bertentangan perempuan hamil tanpa terjadinya
dengan ketentuan konstitusional karena pertemuan antara ovum dan spermatozoa

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 8


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

baik melalui hubungan seksual (coitus) undang tersebut. Berkaitan dengan ketentuan
maupun melalui cara lain berdasarkan anak luar kawin yang ada dalam Undang-
perkembangan teknologi yang undang Perkawinan, maka pasal 43 tersebut
menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh hanya disebutkan anak luar kawin saja, tanpa
karena itu, tidak tepat dan tidak adil ketika ada pemberian defenisi yang jelas bagi
hukum menetapkan bahwa anak yang lahir pembacanya, dan tidak ada pula pengaturan
dari suatu kehamilan karena hubungan lebih rinci, baik itu dalam perumusan kalimat
seksual di luar perkawinan hanya memiliki pasal 43 ayat (1) itu sendiri, maupun dalam
hubungan dengan ibunya saja dan penjelasan dari pasal tersebut.
membebaskan laki-laki yang melakukan Dengan demikian, walaupun pada saat
hubungan seksual tersebut dari tanggung ini ketentuan tentang anak luar kawin sudah
jawabnya sebagai seorang bapak dan mengalami perubahan, yakni adanya
bersamaan dengan itu hukum meniadakan penambahan di dalamnya, sebagai akibat
hak-hak anak terhadap lelaki tersebut adanya uji materil oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai bapaknya. terhadap Undangundang Perkawinan, maka
Menurut Mahkamah selanjutnya berkaitan dengan pengaturan anak, khususnya
dengan terlepas dari soal anak luar kawin, maka ketentuan terperinci
prosedur/administrasi perkawinannya, tentang anak luar kawin, yang ada dalam Kitab
status anak yang dilahirkan harus Undang-undang Hukum Perdata, masih
mendapat perlindungan dan kepastian berlaku dan dipergunakan, sebelum ada
hukum yang adil, termasuk terhadap anak peraturan baru yang dibentuk untuk
yang dilahirkan meskipun keabsahan menggantikannya. Hal keberlakuan dari
perkawinannya masih dipersengketakan, KUHPerdata tersebut, didasarkan atas pasal 66
sehingga menurut pendapat Mahkamah Undang-undang Perkawinan dan juga adanya
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang petunjuk-petunjuk MA melalui surat No.
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar M.A./Pem/0807/75 tertanggal 20 Agustus
perkawinan hanya mempunyai hubungan 1975. Hal mana tentang anak luar kawin
perdata dengan ibunya dan keluarga tersebut, diantaranya dapat dilihat
ibunya” adalah bertentangan dengan UUD pengaturannya dalam pasal 39, 272-289, 306,
1945 secara bersyarat (conditionally 424, 871 KUHPerdata, yang berkaitan dengan
unconstitutional) yakni inkonstitusional perwalian anak luar kawin, pengakuan dan
sepanjang ayat tersebut dimaknai pengesahan anak luar kawin, serta pula
menghilangkan hubungan perdata dengan berkaitan dengan pewarisan.
laki-laki yang dapat dibuktikan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
berdasarkan ilmu pengetahuan dan Perkawinan, secara filosofis, sebelum adanya
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut uji materil oleh MK, dapat dikatakan telah
hukum mempunyai hubungan darah melindungi kepentingan anak luar kawin,
sebagai ayahnya. sebab jika dibandingkan dengan ketentuan
3. Analisis Putusan MK Nomor 46/PUU- yang ada sebelumnya, yakni yang ada di
VIII/2010 tentang Uji Materil terhadap KUHPerdata, maka anak luar kawin secara
Undang-undang Perkawinan hukum tidak punya hubungan dengan
Apabila diperhatikan, maka ketentuan orangtuanya, baik itu ayah atau ibunya. Untuk
yang dimohonkan adalah salah satunya tentang dapat memiliki hubungan perdata secara
anak. Berhubungan dengan hal tersebut, maka hukum, maka orangtua si anak, baik itu ibu
jika melihat ketentuan tentang anak dalam maupun ayah, harus melakukan pengakuan.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Adanya ketentuan dalam Undang-undang
Perkawinan, ketentuan tersebut dapat Perkawinan, melindungi anak, karena secara
ditemukan perumusannya dalam pasal 42 dan hukum, status si anak telah memiliki hubungan
pasal 43, serta pasal 55 yang berkenaan dengan dengan ibunya, tanpa perlu melakukan
pembuktian asal usul anak. Selain dari pasal- pengakuan seperti layaknya yang ada dalam
pasal tersebut, tidak ditemui lagi adanya pasal 280 KUHPerdata. Adanya hubungan
pengaturan tentang anak di dalam undang- perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 9


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

keluarga ibunya ini, jika dibandingkan dengan


ketentuan dalam KUHPerdata, maka anak Dengan adanya uji materil oleh
terlindungi dalam hal identitasnya, yakni Mahkamah Konstitusi, ketentuan pasal 43 ayat
dalam pencatatan di akte catatan sipil, yakni (1) tersebut harus dibaca :
akta kelahirannya, yang secara a contrario, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
berdasarkan pasal 43 ayat (1) Undang-undang mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
Perkawinan tersebut, anak mendapatkan dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
nama/marga keluarga ibunya dalam akta sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
kelahirannya. Selain itu anak pula akan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
terlindungi dalam hal pemenuhan kebutuhan dan/atau alat bukti lain menurut hukum
untuk bertumbuh kembang. Dibadingkan mempunyai hubungan darah, termasuk
dengan ketentuan sebelumnya, maka dalam hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;
KUHPerdata tidak menjamin sama sekali
tentang hak akan identitas anak luar kawin 4. Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca
tanpa adanya pengakuan, dimana bisa saja Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
anak tersebut tidak memiliki ibu yang Pada hari Jumat 17 Februari 2012
melahirkannya sebagai ibunya, yang Mahkamah Konstitusi kembali membuat
memperjelas identitasnya sebagai anak, jika si putusan yang revolusioner. MK mengabulkan
ibu ternyata tidak mengakui anak tersebut. sebahagian permohonan pengujian Undang-
Oleh karena, dalam uji materil terhadap undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Undang-undang Perkawinan hanya sebagian Perkawinan terhadap Undang-undang Dasar
yang dikabulkan, yakni ketentuan dalam pasal Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK
43 ayat (1) maka akan dibahas kaitannya antara menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
perubahan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan, dalam putusan MK No. 46/PUU- yang mengatur hubungan keperdataan anak di
VIII/2010 tersebut dengan, ketentuan tentang luar perkawinan bertentangan dengan UUD
anak luar kawin dalam KUHPerdata. 1945. Permohonan pengujian pasal dimaksud
Selain pembahasan tentang pasal 43 diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang
ayat (1) tersebut, maka akan dibahas pula menikah secara siri dengan Mantan Menteri
kemudian tentang perkawinan dari pemohon, Sekretaris Negara di Era Orde Baru
Machica Mochtar, dipandang dari sudut Moerdiono. Machica memohonkan agar pasal
hukum perdata. Hal ini menjadi penting, 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan
karena tidak dapat dipisahkan, bahwa perkawinan dan pasal 43 ayat (1) yang
perkawinan yang dilakukan oleh pemohonlah, mengatur status keperdataan anak luar kawin
yang menjadi penyebab utama adanya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan
permohonan uji materil terhadap 2 pasal dalam harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
Undang-undang Perkawinan tersebut. hukum dengan segala akibatnya. Putusan ini
Seperti halnya tertuang dalam putusan tentunya menimbulkan pro dan kontra di
MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang uji materil masyarakat, bagi pihak yang mendukung
pasal 2 ayat (2), dan pasal 43 ayat (1) Undang- menilai putusan ini merupakan terobosan
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum yang progresif dalam melindungi anak,
Perkawinan, maka Pasal 43 dalam Undang- sedangkan bagi pihak yang kontra
undang mengkhawatirkan putusan ini merupakan
Perkawinan, oleh MK dinyatakan afirmasi dan legalisasi terhadap pernikahan siri
inkonstitusional, yakni bertentangan dengan maupun perbuatan zina, kumpul kebo (samen
Undang-undang Dasar 1945, selama tidak laven).
dibaca sesuai keputusan yang telah dibaca oleh Apabila dilihat dari pertimbangan
MK. Perubahan yang terjadi yakni, bahwa hukumnya, maka kekhawatiran pihak yang
ketentuan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: kontra terhadap putusan ini sebenarnya tidak
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan beralasan. Justru putusan ini memberikan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan pesan moral kepada laki-laki untuk tidak
ibunya dan keluarga ibunya” sembarangan melakukan hubungan seks diluar

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 10


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

pernikahan, karena ada implikasi yang akan pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU No.
dipertanggungjawabkan akibat perbuatannya 1/1974 serta berpotensi saling
tersebut. MK bermaksud agar anak yang meniadakan. Namun jika dimaknai
dilahirkan di luar pernikahan mendapatkan sebagai pencatatan secara
perlindungan hukum yang memadai, karena administratif yang tidak berpengaruh
pada prinsipnya anak tersebut tidak berdosa terhadap sah atau tidaknya suatu
karena kelahirannya di luar kehendaknya. perkawinan, maka hal tersebut tidak
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan bertentangan dengan UUD 1945
status ayah seringkali mendapatkan perlakuan karena tidak terjadi penambahan
yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah terhadap syarat perkawinan. Namun
masyarakat. Hukum harus memberi demikian, berdasarkan tinjauan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil sosiologis tentang lembaga
terhadap status seorang anak yang dilahirkan perkawinan dalam masyarakat, sahnya
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk perkawinan menurut agama dan
terhadap anak yang dilahirkan meskipun kepercayaan tertentu tidak dapat
keabsahan perkawinannya masih secara langsung menjamin
dipersengketakan. terpenuhinya hak-hak keperdataan
Sedangkan menurut Prof. Wahyono istri, suami, dan/atau anak-anak yang
Darmabrata, untuk sahnya perkawinan adalah dilahirkan dari perkawinan tersebut
tepenuhinya persyaratan-persyaratan yang karena pelaksanaan norma agama dan
terdapat dalam Pasal-pasal yang ada di dalam adat di masyarakat diserahkan
UU No. 1/1974, yakni syarat materiil dan sepenuhnya kepada kesadaran
syarat formil. Selanjutnya menurut beliau individu dan kesadaran masyarakat
mengenai pencatatan perkawinan itu sendiri tanpa dilindungi oleh otoritas resmi
ada kontradiksi antara sifat administratif (negara) yang memiliki kekuatan
pencatatan suatu perkawinan dengan urgensi pemaksa.
yang ingin dicapai dalam pencatatan 2) Pencatatan perkawinan diperlukan
perkawinan tersebut. Sehingga sudah tidak ada sebagai:
keraguan lagi, bahwa perkawinan harus (a) perlindungan negara kepada pihak-
dicatat, dan dengan tidak dicatatkannya pihak dalam perkawinan;
perkawinan itu, akan memberikan akibat (b) untuk menghindari kecenderungan
hukum terhadap perkawinan, yaitu perkawinan dari inkonsistensi penerapan ajaran
tersebut tidak sah. Selain pendapat diatas, agama dan kepercayaan secara
terdapat pendapat-pendapat lain yang juga sempurna/utuh pada perkawinan yang
menurut penulis penting untuk diperhatikan, dilangsungkan menurut agama dan
yaitu : kepercayaan tersebut;
a. Maria Farida Indrati, seorang Hakim (c) untuk menghindari penerapan hukum
Konstitusi dalam pendapatnya yang dimuat agama dan kepercayaannya itu dalam
dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang perkawinan secara sepotong-sepotong
dijadikan sebagai concurring opinion untuk meligitimasi sebuah
(alasan yang berbeda) menjabarkan bahwa: perkawinan, sementara kehidupan
1) Pencatatan yang dimaksud oleh Pasal rumah tangga pascaperkawinan tidak
2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
ditegaskan apakah pencatatan tersebut dimaksud;
merupakan pencatatan secara (d) selain demi tertib administrasi, adalah
administratif yang berpengaruh atau untuk melindungi wanita dan anak-
tidak terhadap sah atau tidaknya anak. Hal ini dapat dilakukan dengan
perkawinan yang telah dilangsungkan menetapkan syarat agar rencana
menurut agama atau kepercayaan perkawinan yang potensial
masing-masing. Sehingga keberadaan menimbulkan kerugian dapat dihindari
Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 dan ditolak. Negara mengatur
menimbulkan ambiguitas bagi (mengundangkan) syaratsyarat

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 11


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

perkawinan sebagai upaya positivisasi kemungkinan bagi anak untuk memiliki


norma ajaran agama atau kepercayaan hubungan keperdataan dengan bapak
dalam hukum perkawinan. kandungnya. akan tetapi tidaklah pada
Hakim Konstitusi Maria Farida tempatnya jika anak harus ikut
Indrati berharap akan adanya upaya menanggung kerugian yang ditimbulkan
sinkronisasi peraturan perundang- oleh tindakan (perkawinan) kedua orang
undangan yang berkaitan dengan agama tuanya.
atau kepercayaan dengan konstruksi Menurut Hakim Konstitusi Maria
hukum negara mengenai perkawinan dan Farida Indrati, “Pemenuhan hak-hak anak
administrasi kependudukan. yang terlahir dari suatu perkawinan,
3) Negara akan mengalami kesulitan dalam terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan
memberikan perlindungan secara tersebut menurut hukum negara, tetapi
maksimal terhadap hak-hak wanita menjadi kewajiban kedua orang tua
sebagai istri dan hak-hak anakanak yang kandung atau kedua orang tua
kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut biologisnya.”
apabila perkawinan dilakukan hanya b. Sebagai ahli yang dimintai pendapatnya
secara hukum agama atau kepercayaan Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.,
dan tidak dilaksanakan menurut UU No. mengemukakan bahwa pada Pasal 2 ayat
1/1974 yang tentunya juga tidak (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dicatatkan. telah jelas diakui bahwa perkawinan adalah
4) Dalam kenyataannya, di Indonesia masih sah jika dilakukan menurut hukum masing-
banyak terdapat perkawinan yang hanya masing agama dan kepercayaannya.
mendasarkan pada hukum agama atau Namun keberadaan ayat (2) nya
kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat- menjadikan adanya dua pemahaman
syarat sahnya perkawinan menurut ajaran karena dikatakan bahwa tiap-tiap
agama atau kepercayaan tertentu tanpa perkawinan dicatat menurut peraturan
melakukan pencatatan perkawinan perundang-undangan yang berlaku. Di satu
sebagai bentuk jaminan kepastian hukum sisi, perkawinan adalah sah jika dilakukan
dari negara atas akibat dari suatu menurut agama atau kepercayaan masing-
perkawinan. masing, tetapi di sisi lain perkawinan
5) Akibat dari perkawinan yang tidak tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
didasarkan pada UU No. 1/1974 adalah karena tidak dicatat. Ketentuan Pasal 2
potensi kerugian bagi wanita atau istri. Undangundang Nomor 1 Tahun 1974
Perlindungan oleh negara (Pemerintah) yakni antara ayat (2) dengan ayat (1) nya
terhadap pihak-pihak dalam perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif, serta
hanya dapat dilakukan jika perkawinan berdampak pada pernikahan seseorang
dilakukan secara sadar sesuai dengan UU yang telah memenuhi syarat dan rukun
No. 1/1974, yang salah satu syaratnya secara Islam tetapi karena tidak dicatat di
adalah perkawinan dilakukan dengan Kantor Urusan Agama maka
dicatatkan sesuai dengan peraturan pernikahannya menjadi tidak sah.
perundang-undangan yang berlaku (vide c. Menurut Neng Djubaedah, perkawinan
Pasal 2 UU No. 1/1974). adalah perstiwa hukum yang sama saja
6) Keberadaan anak luar kawin seperti peristiwa hukum kelahiran dan
memunculkan stigma negatif dalam kematian. Dimana kelahiran dan kematian
masyarakat. Dari perspektif peraturan dengan perkawinan sama-sama tidak
perundang-undangan, pembedaan mungkin dibatalkan atau dianggap tidak
perlakuan terhadap anak karena sebab- lahir/ tidak mati atau dianggap tidak kawin
sebab tertentu yang sama sekali bukan hanya karna tidak dicatatkan. Selanjutnya
diakibatkan oleh tindakan anak yang menurut beliau mengenai pencatatan
bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai perkawinan yang diwajibkan oleh negara
tindakan yang diskriminatif. Ketentuan melalui peraturan Perundang-undnagn
Pasal 43 ayat (1) UU a quo menutup merupakan kewajiban administratif

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 12


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

sedangkan faktor yang menentukan sahnya pada kesadaran masyarakat khususnya


perkawinan adalah syarat-syarat yang individu tanpa perlu dilindungi oleh otoritas
ditentukan oeh agama dari masing-masig resmi negara.
pasangan calon mempelai. Di dalam Putusan MK mengenai Pasal
Menurut pendapat penulis, putusan 43 ayat (1) UU No. 1/1974 yang menyatakan
MK tersebut kurang tepat. Hal tersebut karena bahwa, anak luar kawin kini memiliki
didalam putusan tersebut tidak secara jelas dan hubungan keperdataan dengan ayahnya dan
tegas diterangkan makna dari frasa “anak luar keluarga ayahnya dengan syarat dapat
kawin” yang mana yang dimaksud oleh dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
Mahkamah Konstitusi. Ketidakjelasan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut
ketidaktegasan maksud dari frasa tersebut hukum mempunyai hubungan darah tidak
menimbulkan kerancuan bagi masyarakat memiliki dampak yang signifikan terhadap
untuk memaknai putusan Mahkamah KHI, dikarenakan perkawinan dalam Hukum
Konstitusi ini. Terhadap putusan tersebut Islam tidaklah mengharuskan adanya
seharusnya dilihat dari pandangan hukum pencatatan perkawinan. Suatu perkawinan
negara dan hukum agama. adalah sah apabila memenuhi rukun dan syarat
Jika ditinjau dari sudut pandang negara sah perkawinan, sehingga anak luar kawin
dalam tata urutan yang teratas dalam hirarki yang tidak diakui dalam UU No. 1/1974 tetapi
perundang-undangan yakni Undang-undang diakui dalam Hukum Islam menurut Penulis
Dasar 1945, Pasal 29 UUD 1945 menyatakan tidak perlu menggunakan Pasal 43 ayat (1) di
bahwa: atas untuk membuktikan bahwa anak tersebut
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang mempunyai hubungan perdata dengan ayah
Maha Esa. dan keluarga ayahnya karena dalam Hukum
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap Islam anak tersebut adalah anak sah yang lahir
penduduk untuk memeluk agamanya dalam suatu perkawinan yang sah secara
masing-masing dan untuk beribadat agama.
menurut agamanya dan kepercayaannya Tetapi terlepas dari semua pernyataan
itu. di atas, Maria Farida Indrati juga menyatakan
Pasal 29 diatas menyatakan secara bahwa pihak-pihak yang perkwinannya tidak
tegas bahwa negara menyatakan kepercayaan dicatatkan akan kesulitan mendapatkan
bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha pengakuan dan perlindungan dari negara
Esa, dengan kata lain negara dalam khususnya anakanak yang lahir dari
menjalankan fungsinya mendasarkan atas perkawinan yang tidak dicatatkan. Pasal 43
agama. Sehingga segala sesuatunya termasuk ayat (1) UU No. 1/1974 memang dimaksudkan
produk hukum dari negara itu sendiri tidak untuk melindungi anak-anak yang lahir dari
boleh bertentangan dengan agama. Tetapi suatu perkawinan yang tidak dicatatkan.
penulis tetap menyarankan agar setiap Sehingga berdasarkan pendapat-
perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan pendapat di atas, asalkan perkawinan tersebut
rukun dan syarat sahnya suatu perkawinan telah sah menurut agama, maka ketentuan
tetaplah harus dicatatkan untuk menjamin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
kepastian hukum dan bukan hanya berstatus efektif menjadi pedoman baru dalam
suami istri dalam agama. mengatasi masalah anak luar kawin. Terhadap
Tinjauan sosiologis tentang lembaga anak dari perkawinan tidak resmi lainnya,
perkawinan dalam masyarakat yang secara Islam tidak ada jalan yang dapat
menyatakan bahwa terjaminnya hak-hak membenarkan untuk anak tersebut
keperdataan suami, istri dan/atau anakanak mendapatkan hak waris dari ayah biologis
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak maupun keluarga ayah biologisnya itu, karna
berdasarkan dari sahnya perkawinan menurut tidak ada hubungan nasab antara si anak
agama dan kepercayaan tertentu. Jadi, dengan si ayahnya.
walaupun dicatatkan belum tentu hak-hak
keperdataan yang telah disebutkan di atas
dapat terpenuhi, karena sepenuhnya terdapat A. Penutup

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 13


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

1. Kesimpulan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Riskita,


Dari uraian diatas, maka penulis dapat 2002).
menarik kesimpulan sebagai berikut : Debora M. I. Napitupulu, Kajian Mengenai
1. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Status Anak Luar Kawin, Pasca Putusan
mengaburkan ketentuan-ketentuan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
mengenai anak luar kawin/anak zina, baik VIII/2010 tentang Uji Materil Terhadap
yang terdapat di dalam UU No. 1/1974 Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1)
maupun KHI. Padahal ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
yang terdapat dalam keduanya tersebut tentang Perkawinan Dikaitkan dengan
telah sesuai dengan hukum-hukum agama KUHPerdata, Skripsi, Universitas
yang berlaku di Indonesia. Indonesia, 2012
2. Penyadaran kepada masyarakat akan
Djubaedah Neng, “Kedudukan Anak Luar
pentingnya keluarga sebagai dasar yang
Kawin Dalam Perspektif hukum Islam
kuat dari suatu bangsa, karena masih belum
Pascca putusan mahkamah konstitusi”,
adanya ketegasan dari pemerintah selaku
((Makalah disampaikan pada seminar
pihak yang berwenang apakah akan
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
melegalkan atau melarang pernikahan
Tentang Anak Luar Kawin Terhadap
secara siri atau di bawah tangan, maka
Hukum Perdata dan Hukum waris Di
seharusnya diperlukan adanya sosialisasi
Indonesia, Jakarta, 29 Maret 2012).
kepada masyarakat secara massif dan
merata guna memberi pemahaman pada Muhammad Syarbini al-khatib, mughni al-
masyarakat dan menekan pernikahan siri Muhtaj, juz 3, (Kairo: Mushthafa al-Baby
atau di bawah tangan. al-Halaby, 1958).
2. Saran Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia
1. Anak sebagai generasi bangsa haruslah Konsep dan Implementasi (Jakarta: Naufan
dilindungi hak-haknya. Tidak memandang Pustaka, 2010).
anak itu hasil dari hubungan perkawinan Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta:
yang sah atau tidak. Akan tetapi alangkah Gema Insani, 2006,
baiknya perlindungan yang diberikan tidak
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan
melanggar ketentuan hukum yang ada di
Indonesia, (Jakarta : Penerbit Universitas
dalam agama.
Indonesia, 2009), cet.ke-5
2. Masyarakat yang akan atau telah
melangsungkan perkawinan, hendaklah Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
mencatatkan perkawinannya dihadapan Penelitian Hukum Normatif Tinjauan
pejabat yang berwenang, guna Singkat (Jakarata: Rajawali Pers, 2006)
mendapatkan kepastian hukum mengenai T.M. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris,
pernikahannya serta untuk melindungi istri Yogyakarta: Mudah.
dan anaknya. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Fiqh Mawaris Hukum Pembagian Warisan
DAFTAR PUSTAKA Menurut Syariat Islam, Semarang: PT.
A. Hasyim Nawawi, “Perlindungan Hukum Pustaka Rizki Putra, 2013
Dan Akibat Hukum Anak Dari Perkawinan
Tidak Tercatat (Studi di Pengadilan Agama UUD 1945
Tulungagung”, AHKAM, Volume 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Abdul Rahman, Perlindungan Hukum dan (KUHPerdata)
Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Anak Kompilasi Hukum Islam
Perspektif Hukum Internasional, Hukum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Positif dan Hukum Islam (Makassar: Tentang Perkawinan
Alauddin University Press, 2011) Putusan MK Nomor 46/PUU-
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, VIII/2010/17/2012 tentang Pembatalan
Hukum Perkawinan dan Keluarga

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 14


JIHAD: Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol. 2 No. 2 September 2020
http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIHAD/index p-ISSN 2745-9489 e-ISSN 2746-3842

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan
http://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/a
nalisis-yuridis-status-hukum-istriyang-
menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-
ketentuan-yang-berlaku-tentang-
perkawinan, Analisis Yuridis Status
Hukum Istri yang Menikah di Bawah
Tangan Berdasarkan Ketentuan yang
Berlaku Tentang Perkawinan, diakses
tanggal 05 Maret 2019.
http://www.gresnews.com/berita./detail-
print.php?seo=138249-hukum-nikah-siri-
d--indonesia, selasa 24 september 2013,
01:38:03 WIB

JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi 15

Anda mungkin juga menyukai