Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI

LUAR WILAYAH HUKUM INDONESIA DILIHAT DARI ASAS-ASAS


HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

KELOMPOK 2:

1. NI LUH GEDE PUTRI LAKSMI BRATA (20201110021)


2. KETUT RAI MARTHANIA ONASSIS (20201110058)
3. I GUSTI AGUNG MADE DWI KOMARA (20201110072)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NGURAH RAI
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kepada TUHAN Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan segala rahmatnya sehinga paper ini bisa diselesaikan dengan baik.
Penyusunan paper ini tidak bisa diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari
banyak pihak.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Ni Made Anggia
Paramesthi Fajar, SH., MH yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Ada
banyak hal yang bisa kami pelajari melalui dalam paper ini. Paper berjudul
“ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DILAKUKAN DI LUAR
WILAYAH HUKUM INDONESIA DILIHAT DARI ASAS-ASAS HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata Internasional, diharapkan pembaca bisa mendapatkan perspektif
baru.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam karya
tulis yang disusun. Oleh karena itu penulis mohon maaf atas kesalahan tersebut.
Kritik dan saran dari pembaca senantiasa ditunggu oleh Kami guna meningkatkan
kualitas tulisan ke depannya.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga paper ini dapat
bermanfaat.

Denpasar, 13 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1. LATAR BELAKANG...............................................................................5
1.2. RUMUSAN MASALAH..........................................................................8
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................9
2.1. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG
MENGATUR PERKAWINAN BEDA AGAMA DI LUAR WILAYAH
INDONESIA DAN ANALISIS KASUSNYA....................................................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................14
3.1. KESIMPULAN.......................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perkawinan adalah persoalan yang sangat erat dengan hakikat
kemanusiaan, dan oleh sebab itu pula kehadiran UU No. 1 Tahun 1974
didambakan semua orang sebagai wujud realisasi cita-cita bangsa Indonesia
untuk memiliki unifikasi aturan hukum perkawinan, tetapi tidak satu pun
peraturan perundang-undangan yang secara sempurna dapat mengatur
segenap aspek ketertiban hidup masyarakat, karena perkembangan
masyarakat selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum dalam arti
sempit (peraturan perundang-undangan), sedangkan pada sisi lain ada
tantangan untuk membentuk hukum yang dapat menjangkau kepentingan
masa depan.1 Perkawinan merupakan peristiwa hukum, yang akibatnya
diatur oleh hukum atau peristiwa yang diberi akibat hukum. Peristiwa oleh
Soerjono Soekanto dikatakan sebagai “keadaan” dan “kejadian”, maka sikap
tindak dalam hukum merupakan peristiwa hukum. Perkawinan merupakan
peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang
sah.2
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di era
globalisasi, telah membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi terjadinya
hubungan antar manusia, antar suku bangsa dan antar negara dalam segala
aspek kehidupan. Interaksi yang terjadi antar individu yang berbeda suku
bangsa dan negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan-
hubungan hukum khususnya dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)
antara lain terjadinya perkawinan campuran. Perkenalan yang membawa
pasangan berbeda kewarganegaraan melangsungkan perkawinan campuran
antara lain adalah perkenalan melalui internet, bekas teman kerja atau bisnis,
1
Indah Melani Putri dan Tengku Erwinsyahbana, 2019, PERKAWINAN BEDA
AGAMA YANG DIAKUKAN DI LUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA”,
Restitusi: Jurnal Mahasiswa Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1, hlm. 1.
2
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: CV Rajawali, h. 12.

1
2

berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/ kuliah, dan sahabat pena.
Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan
tenaga kerja dari Negara lain.3.
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita
yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain.
Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan
wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga
bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya
berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan
agama atau kepercayaan.4
Perkawinan beda agama merupakan permasalahan yang cukup
signifikan untuk dianalisis, karena masih menimbulkan kontroversi dalam
masyarakat. Ada anggapan bahwa perkawinan beda agama merupakan
permasalahan klasik yang tidak perlu diperdebatkan, karena jelas dilarang
menurut hukum agama, tetapi faktanya praktik perkawinan beda agama
tetap terjadi dan jika hal ini dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin pada
masa akan datang terjadi persoalan hukum yang sulit untuk diselesaikan,
misalnya: terhadap status hukum dan agama anak, pembagian harta warisan,
dan lain-lain. Permasalahan ini ternyata tidak dapat diselesaikan hanya
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.
1 Tahun 1974, sedangkan praktiknya telah dilakukan dengan berbagai cara
dan sebagian orang menyebutnya sebagai bentuk penyelundupan hukum,
dan salah satu cara yang lazim dilakukan adalah dengan melaksanakan
perkawinan beda agama di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Praktik perkawinan beda agama sangat mungkin terjadi, karena
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang pluralistis dengan
keberagaman suku, budaya dan agama. Kondisi keberagaman seperti ini,

3
Benyamin, (2015), Fenomena Hukum Campuran Di Indonesia, di dalam: Reminchel,
Jaksa Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-Undang Kejaksaan, Jurnal Advokasi, Vol. 7,
No. 1, h. 17.
4
Abdul Halim dan Carina Rizky Ardhani, 2016, KEABSAHAN PERKAWINAN BEDA
AGAMA DILUAR NEGERI DALAM TINJAUAN YURIDIS, Jurnal Moral KemasyarakatanI,
Vol. 1, No. 1, hlm. 69.
3

dapat menyebabkan terjadinya interaksi sosial antara kelompok-kelompok


masyarakat yang berbeda agama, dan kemudian berlanjut pada hubungan
perkawinan, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan
pembatasan tegas tentang boleh atau tidaknya perkawinan beda agama
dilaksanakan, dan pada sisi lainnya bahwa sebagai negara yang berasaskan
Pancasila, maka kebebasan beragama dijamin oleh negara. Ketidakpastian
hukum perkawinan di luar wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya
dalam hal perkawinan beda agama.5
Yuni shara dan Heny Siahaan menikah di bawah tangan pada tahun
1997 dan baru pada tanggal 7 Agustus 2002, perkawinan mereka
dilaksungkan di Perth, Australia. Empat hari kemudian Yuni Shara dan
Henry Siahaan ini kembali ke Indonesia untuk mendaftarkan perkawinannya
di Kantor Catatan Sipil. Kakak dari artis Krisdayanti ini sebenarnya telah
melangsungkan perkawinannya di Indonesia dengan pasangannya tersebut
pada 18 Oktober 1997 silam. Namun karena keduanya berbeda agama,
perkawinan mereka tidak dapat dicatatkan secara resmi oleh Kantor Catatan
Sipil. Karena ada penolakan tersebut, kemudian pasangan Yuni Shara dan
Henry Siahaan mencoba untuk memperoleh legalitas perkawinannya di luar
negeri. Pada akhirnya, di District Register’s Office, Perth, Western
Australia, mereka melakukan perkawinan dan mendapatkan akta
perkawinan dan selanjutnya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Jakarta
Selatan sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Sebelum kasus perkawinan Yuni Shara dan
Henry Siahaan, tidak sedikit pasangan yang berupaya melakukan
penyelundupan hukum untuk menghindari ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan tesebut.6
Perkawinan beda agama telah banyak ditemukan di masyarakat
Indonesua saat ini, namun sampai saat ini masih menjadi polemik, maka
diperlukan rekontruksi hukum dengan melibatkan aspirasi masyarakat
5
Indah Melani Putri dan Tengku Erwinsahbana, Op.Cit, hlm 4.
6
Sidebang, J. I. (2021). Pelaksanaan Pendaftaran Perkawinan Warga Negara Indonesia
(WNI) Beda Agama Di Indonesia Yang Menikah Di Luar Negeri. Lex Privatum, 9(8), hlm. 39.
4

tentang perkawinan beda agama tersebut, sehingga terwujud hukum yang


efektif yang memenuhi keberlakuan filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam
hal ini dimaksudkan untuk melihat nilai-nilai dalam masyarakat, peraturan
perundang-undangan terutama hukum perkawinan dan politik hukum yang
melingkupinya.
Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk mengakat
sebuah paper dengan judul ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
YANG DILAKUKAN DI LUAR WILAYAH HUKUM INDONESIA
DILIHAT DARI ASAS-ASAS HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas,maka dapat kami rumusakan
masalahnya sebagai berikut, yaitu APA SAJA ASAS-ASAS HUKUM
PERDATA INTERNASIONAL YANG MENGATUR PERKAWINAN
BEDA AGAMA DI LUAR WILAYAH INDONESIA DAN BAGAIMANA
ANALISIS KASUSNYA?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ASAS-ASAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG


MENGATUR PERKAWINAN BEDA AGAMA DI LUAR WILAYAH
INDONESIA DAN ANALISIS KASUSNYA
Perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perkawinan (selanjutnya disingkat Undang-Undang Perkawinan) dapat kita
lihat bahwa ikatan lahir batin merupakan hal penting dari suatu perkawinan.
Selanjutnya, perkawinan juga dipandang sebagai suatu usaha untuk
mewujudkan kehidupan yang berbahagia dengan landasan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.7
Berdasarkan hal tersebut maka perkawinan mempunyai aspek yuridis
sosial dan religious. Aspek yuridis terdapat dalam ikatan lahir atau formal
yang merupakan suatu hubungan hukum antara suami dan isteri. Sementara
aspek religious dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1) yaitu Undang-undang
Perkawinan tentang syarat sah perkawinan disebutkan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Menurut hukum di Indonesia, perkawinan didasarkan
kepada hukum agama berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan
sebagaimana telah disebutkan di atas, sehingga perkawinan yang
dilaksanakan di luar negeri yang tidak berdasarkan hukum agama, ketika
dibawa ke Indonesia yang menganut hukum perkawinan berdasarkan agama,
akan menimbulkan masalah tersendiri.8
Pasal 56 Ayat (1) Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia antara dua orang warga

7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan. Hukum Adat,
dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 2
8
Djaya S. Melinda, Masalah Perkawinan Antar Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Dalam Perspektif Hukum, Vrana Widya Darma, Jakarta, 2000, hal. 7.

5
6

negara Indonesia atau seorang warga negara asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku dinegara di mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-
ketentuan undangundang ini.
Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam
hukum perkawinan, prinsip hukum perdata Internasional yang dianut di
Indonesia adalah perpaduan prinsip kewarganegaraan (tidak bertentangan
dengan undang-undang) dan lex loci celebretionis (berdasarkan hukum
negara setempat). Berdasarkan kedua prinsip yang dianut dalam pasal
tersebut, maka perkawinan yang dianut dalam pasal terssebut, maka
perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri yang tidak sesuai dengan hukum
perkawinan Indonesia yang berdasarkan hukm agama, menimbulkan satu
polemik tersendiri.9
Menurut prinsip Hukum Perdata Internasional pelanjutan keadaan
hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights). Prinsip ini berarti
bahwa hak-hak yang telah diperoleh menurut hukum asing, diakui dengan
sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim tempat negara asal, atau hak-hak yang
telah diperoleh di luar negeri sedapat mungkin diakui dan dihormati.
Ada beberapa public figure di Indonesia yang dapat dijadikan contoh
tentang bagaimana Warga Negara Indonesia beda agama yang menikah di
luar negeri dan kemudian mendaftarkan pernikahannya di Indonesia.
Perkawinan tersebut sah jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di
negara tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun pasangan yang
menikah tetap harus melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil
Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan:
“Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
Negara yang sering ditempati perkawinan beda agama oleh Warga
Negara Indonesia adalah Australia, karena negara tersebut menganut model

9
Sidebang, J. I., Loc.Cit.
7

perkawinan sipil (civil marriage) tanpa menggunakan perkawinan agama


(religious marriage). Contoh perkawinan beda agama di luar negeri
dilakukan oleh pasangan Yuni Shara (Islam) dan Henry Siahaan (Kristen).
Yuni shara dan Heny Siahaan menikah di bawah tangan pada tahun
1997 dan baru pada tanggal 7 Agustus 2002, perkawinan mereka
dilaksungkan di Perth, Australia. Empat hari kemudian Yuni Shara dan Henry
Siahaan ini kembali ke Indonesia untuk mendaftarkan perkawinannya di
Kantor Catatan Sipil. Kakak dari artis Krisdayanti ini sebenarnya telah
melangsungkan perkawinannya di Indonesia dengan pasangannya tersebut
pada 18 Oktober 1997 silam. Namun karena keduanya berbeda agama,
perkawinan mereka tidak dapat dicatatkan secara resmi oleh Kantor Catatan
Sipil. Karena ada penolakan tersebut, kemudian pasangan Yuni Shara dan
Henry Siahaan mencoba untuk memperoleh legalitas perkawinannya di luar
negeri. Pada akhirnya, di District Register’s Office, Perth, Western Australia,
mereka melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan dan
selanjutnya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Jakarta Selatan sesuai dengan
Pasal 37 UndangUndang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Sebelum kasus perkawinan Yuni Shara dan Henry Siahaan,
tidak sedikit pasangan yang berupaya melakukan penyelundupan hukum
untuk menghindari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
tesebut.10
Berdasarkan kasus tersebut di atas maka dapat kami analisis bahwa
kasus tersebut masuk ke ranah Hukum Perdata Internasional karena
terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam Hukum Perdata Internasional,
seperti unsur asing dan konflik hukum. Unsur asing yang dimaksud dalam
kasus perkawinan  beda agama yang dilakukan Yuni Shara dan Henry
Siahaan ialah tempat pertistiwa atau perkawinan beda agama tersebut
dilakukan yaitu di Negara Autralia. Adapun konflik hukum yang ditimbulkan
akibat adanya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Yuni Shara dan
Hendry Siahaan, yaitu terjadinya pertentangan antara system hukum

10
Ibid.
8

perkawinan di Australia dengan system hukum perkawinan Di Indonesia,


dimana Negara Australia menganut model perkawinan sipil (civil marriage)
tanpa menggunakan perkawinan agama (religious marriage)11, sedangkan
Negara Indoensia seperti yang tercantum pada Pasal 2 ayat (1) UUP,
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan meurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya masing-masing.12
Untuk menentukan validitas material perkawinan beda agama yang
dilangsungkan oleh Yuni Shara dan Hendry Siahaan di Australia, berlaku
asas-asas Hukum Perdata Internasional sebagai berikut:
1. Asas lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas material
perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di
mana perkawinan diresmikan/dilangsungkan;
2. Asas yang menyatakan bahwa validitas material suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak
menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan;
3. Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak
ber-domicilie sebelum perkawinan dilangsungkan;
4. Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya
perkawinan (locus celebrationis), tanpa mengabaikan persyaratan
perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum
perkawinan dilangsungkan.13
Beberapa asas yang berkembang di dalam HPI tentang akibat-akibat
perkawinan (seperti masalah hak dan kewajiban suami istri, hubungan orang
tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta kekayaan perkawinan, dan
sebagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan tunduk pada:
11
Sidebang, J. I., Loc.Cit.
12
Dianti, N. E., & Pranoto, P. (2013). PERKAWINAN BEDA AGAMA ANTAR
WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI SEBAGAI BENTUK
PENYELUNDUPAN HUKUM DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN. PRIVAT LAW 1, 2(5), hlm. 5.
13
Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013, (selanjutnya disebut Bayu Seto H. II), h. 171.
9

a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis);


b. Sistem hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga
negara setelah perkawinan (joint nationality);
c. Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah
perkawinan (joint residence), atau tempat suami istri ber-domicile tetap
setelah perkawinan.
Tidaklah jelas asas mana yang digunakan di dalam hukum
perkawinan di Indonesia. Pasal 62 undang-undang nomor 1 tahun 1974
hanya menyatakan bahwa kedudukan hukum anak dalam perkawinan
campuran ditentukan berdasarkan kewarganegaraan yang diperoleh setelah
perkawinan atau setelah berakhirnya perkawinan. Bila disadari bahwa akibat-
akibat hukum perkawinan menyangkut dan/atau dipengaruhi oleh aspek
public policy (ketertiban umum) dan moralitas sosial di suatu negara, maka
disarankan agar akibat-akibat perkawinan diatur berdasarkan asas
b atau c di atas.14

14
Ibid, hlm. 172.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam kasus perkawinan beda agama
yang dilakuaka oleh Yuni Shara dan Hendry Siahaan di Australia termasuk ke
dalam ranah Hukum Perdata Internasional karena telah terpenuhinya unsur
asing yaitu dimana tempat pertistiwa atau perkawinan beda agama tersebut
dilakukan yaitu di Negara Autralia. Dan adapun konflik hukum yang
ditimbulkan akibat adanya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Yuni
Shara dan Hendry Siahaan, yaitu terjadinya pertentangan antara system
hukum perkawinan di Australia dengan system hukum perkawinan Di
Indonesia.
Adapun asas-asas yang digunakan dalam kasus perkawinan beda
agama oleh Yuni Shara dan Hendry Siahaan di Australia, yaitu Asas lex loci
celebrationis yang bermakna bahwa validitas material perkawinan harus
ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat di mana perkawinan
diresmikan/dilangsungkan, asas yang menyatakan bahwa validitas material
suatu perkawinan ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-
masing pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan, asas
yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicilie
sebelum perkawinan dilangsungkan, dan asas yang menyatakan bahwa
validitas material perkawinan harus ditentukan berdasarkan sistem hukum
dari tempat dilangsungkannya perkawinan (locus celebrationis), tanpa
mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum
para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan.
Hukum Adat, dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007.
Hardjowahono, Bayu Seto, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2013, (selanjutnya disebut Bayu Seto H. II).
Melinda, Djaya S., Masalah Perkawinan Antar Agama dan Kepercayaan di
Indonesia Dalam Perspektif Hukum, Vrana Widya Darma, Jakarta, 2000.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: CV Rajawali.

JURNAL
Benyamin, (2015), Fenomena Hukum Campuran Di Indonesia, di dalam:
Reminchel, Jaksa Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-Undang
Kejaksaan, Jurnal Advokasi, Vol. 7, No. 1.
E., Dianti, N., & Pranoto, P. (2013). PERKAWINAN BEDA AGAMA ANTAR
WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI SEBAGAI
BENTUK PENYELUNDUPAN HUKUM DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. PRIVAT LAW
1, 2(5).
Halim, Abdul dan Carina Rizky Ardhani, 2016, KEABSAHAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA DILUAR NEGERI DALAM TINJAUAN YURIDIS,
Jurnal Moral KemasyarakatanI, Vol. 1, No. 1.
I., Sidebang, J., (2021). Pelaksanaan Pendaftaran Perkawinan Warga Negara
Indonesia Putri, Indah Melani dan Tengku Erwinsyahbana, 2019,
PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG DIAKUKAN DI LUAR
WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA”, Restitusi: Jurnal
Mahasiswa Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1.
(WNI) Beda Agama Di Indonesia Yang Menikah Di Luar Negeri. Lex
Privatum, 9(8).

11

Anda mungkin juga menyukai