Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH HUKUM PERKAWINAN KHUSUSNYA DALAM KONTEKS

INDONESIA PADA UNDANG UNDANG NO 01 TAHUN 1974 TENTANG


PERKAWINAN DAN ACUAN HUKUM DALAM HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Hukum Perkawinan Di Indonesia”

Dosen Pengampu :Dr.H.Husnul Yaqin,S.HI.,MH.

Disusun Oleh:

1. Argi Samanta (22301002)


2. Moh Marzuqil Mubarok (22301008)
3. Muhammad Arsi Islamuddin (22301011)

KELAS B
PROGAM STUDI DI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN KEDIRI
2023/2024
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas selesainya makalah
berjudul “ Sejarah Hukum Perkawinan Khususnya Dalam Konteks Indonesia Pada Undang
Undang No 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Acuan Hukum Dalam Hukum
Perkawinan Di Indonesia” ini tepat waktu. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir
zaman.
Beberapa pihak telah membantu dan mendukung dalam menyusun makalah ini. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini. Rasa terima kasih ini disampaikan pada dosen pengampu
mata kuliah Hukum Perkawinan Di Indonesia, yakni bapak Dr.H.Husnul Yaqin,S.HI.,MH.
dan teman kelompok.
Makalah ini disusun untuk mendeskripsikan “Sejarah Hukum Perkawinan Khususnya
Dalam Konteks Indonesia Pada Undang Undang No 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
Acuan Hukum Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia”. Penulis berharap agar makalah ini
dapat memberikan informasi kepada pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi
makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran dari sejawat atau para pembaca mengenai isi makalah ini.

Kediri, 01 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

A. Latar Belakang...............................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................iv

C. Tujuan Masalah..............................................................................................................iv

BAB II........................................................................................................................................1

PEMBAHASAN........................................................................................................................1

A. Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia......................................................................1

B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan...................4

C. Acuan Hukum Yang Di Gunakan Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia.................6

BAB III.......................................................................................................................................7

PENUTUP..................................................................................................................................7

A. Kesimpulan.....................................................................................................................7

B. Saran................................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan bagi manusia bukan hanya sebagai pernyataan (statemen)
yang mengandung keizinan untuk melakukan hubungan seksual sebagai suami
isteri, tetapi juga merupakan tempat berputarnya hidup kemasyarakatan.
Dengan demikian, perkawinan mempunyai arti yang amat penting dalam
kehidupan manusia dan merupakan pola kebudayaan untuk mengendalikan
serta membentuk pondasi yang kuat dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu, kalimat perkawinan bukan hanya sekedar kalimat
justifikasi untuk sebuah bentuk atau wadah berkumpulnya hidup bersama
antara dua jenis kelamin berbeda, tetapi lebih agung di dalamnya adalah
adanya nilai sakral yang bersandar pada nilai ruh ilahiyah sebagai muara ridla
dalam penghayatan perkawinan itu sendiri.
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Perkawinan
setidaknya selalu melibatkan tiga pihak/kepentingan, yakni kepentingan
agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat,
perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat.
Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam
konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki
kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi
memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai
satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan
sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai
institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan
menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu
sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain1

1
Serafina Shinta Dewi, “Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, dalam
http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37 - karya-ilmiah-lainnya/386-pembentukan-undang-undang-
nomor-1-tahun1974-tentang-perkawinan, diakses pada 01/03/2024.

iii
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia
b. Bagaimana Sejarah Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan

c. Apa Acuan Hukum Yang Di Gunakan Dalam Hukum Perkawinan Di


Indonesia
C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia
b. Untuk mengetahui Sejarah Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
c. Untuk mengetahui Acuan Hukum Yang Di Gunakan Dalam Hukum
Perkawinan Di Indonesia

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia


a. Sejarah Hukum Perkawinan Islam Pada Masa Sebelum Masa Kemerdekaan
i. Masa Penjajahan Belanda
Di masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yangberlaku adalah
Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum
Perkawinan dan hukum waris menurut Islam. 2 Kitab ini ditetapkan pada
tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh VOC. Atas usul Residen Cirebon, Mr.
P.C. Hasselaar (1757-1765) dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek.
Sementara untuk Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium
tersendiri. Sedang untuk daerah Makassar oleh VOC disahkan suatu
Compendium sendiri. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman
Daendels (1800-1811) dan Inggris masa Thomas S. Raffles (1811-1816),
hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. 3 Pada masa itu
hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang terjadi dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab
undang-undang yang berasal dari kitab hukum Islam. Melalui ahli hukumnya
Van Den Berg, lahirlah teori receptio in complexu yang menyatakan bahwa
syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya.4
Selanjutnya, muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan
Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de Ingeschreven
Huwelijken) bulan Juni tahun 1937, yang memberikan
konsekwensi hukum pada warga pribumi sebagai berikut

2
Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Jurnal Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, Juni 2008, hlm. 152.
3
Masruhan, “Positiviasi Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Hingga Masa Orde Baru”, dalam Jurnal al-Hukama’, Vol. 1, No. 1,
Desember 2011, hlm. 118. Bandingkan dengan Moh. Hatta, Perkembangan
Legislasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 153
4
Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), hlm. 122-123. Badningkan dengan Masruhan, Positiviasi Hukum
Islam di Indonesia, hlm. 119

1
a. Seorang laki-laki tidak diperkenankan menikah dengan lebih dari
satu orang isteri.
b. Sebuah hubungan perkawinan tidak dapat putus kecuali dengan
tiga sebab; meninggalnya salah satu pasangan, perginya salah satu
pasangan selama dua tahun lebih dan tidak diketahui kabar
tentangnya sementara pasangan lainnya mengadakan perkawinan
lagi dengan orang lain atas ijin pengadilan, dan adanya putusan
perceraian dari pengadilan.
c. Setiap perkawinan harus dicatatkan dalam catatan sipil.
Adanya Ordonasi beserta tiga konsekwensinya di atas
memunculkan banyak protes dari masyarakat, khususnya umat
islam, karena mempunyai konsekwensi yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Penolakan pertama datang dari Nahdlatul
Ulama pada Kongres tahunannya di Malang. Selanjutnya disusul
oleh Syarikat Islam, Kelompok barisan Penjadar Sjarikat Islam,
Muhammadiyah dan lain sebagainya. Melihat penolakan yang
sangat keras dari masayarakat, maka pemerintah Hindia Belanda
mereka memutuskan untuk membatalkannya. Sebagai gantinya,
pada akhir tahun 1937 di Jakarta didirikan Komite Perlindungan
kaum Perempuan dan Anak Indonesia kemudian diubah menjadi
Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan
(BPPIP) dengan maksud mengusahakan perbaikan dalam
peraturan perkawinan5
ii. Masa Penjajahan Jepangzz
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia, dan
digantikan oleh Jepang. Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama
tetap meneruskan kebijakan sebelumnya. Kebijakan tersebut
dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala
tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya
terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat
pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi,
sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.6

6
Masruhan, Positiviasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 122-123

2
iii. Masa Setelah Kemerdekaan sebelum Lahirnya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk
sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undangundang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.18
Undang-undang ini ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi
ringkasnya sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang
dilakukan umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang
diangkat oleh menteri agam, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada
Pegawai pencatat Nikah, yang berhak mengadakan pengawasan Nikah,
Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri Agama, bila PPN
berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak dan
Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
b. Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN
membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan
catatan kepada yang berkepentingan.
c. Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sanksi orang yang
melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan
PPN, sanksi orang yang melakukan Nikah,Talak dan Rujuk padahal
bukan petugas.
d. Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang
sebagai pelanggaran.
e. Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan
undang-undang ditetapkan oleh Menteri Agama.
f. Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan
berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura.
g. Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk Jawa dan
Madura.
Dari sekilas pasal-pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa
ciri paling utama dari undang-undang ini adalah semangat baru
pemerintah untuk memperbaiki keefektifan catatan perkawinan,
perceraian, dan rujuk bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun,meskipun
3
menurut undang-undang tersebut pencatatan pekawinan mesti
menetapkan keabsahan perkawinan sebelum akad nikah
dilangsungkan, namun pengaruh utamanya lebih pada soal proses
hukum, bukan kandungan hukum. Dengan kata lain, pemerinyah pada
waktu itu sangat berhati-hati memperkenalkan perubahan substantif
terhadap hukum perkawinan dan hanya memilih hal-hal yang berkaitan
dengan aspek-aspek prosedural. Namun, undang-undang ini tidak
efektif dalam pelaksanaannya. Ini disebabkan masih berkecamuknya
perang kemerdekaan. 7

B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Kemunculan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh
empat tujuan, yaitu: (1) membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2)
membatasi poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena), dan
(4) membangun persamaan hak untuk suami dan istri 8 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal sudah mengakomodir kebutuhan dan
permasalahan yang terdapat dalam keluarga. Rincian Bab sebagai berikut:
a. Bab I: Dasar Perkawinan
b. Bab II: Syarat-Syarat Perkawinan
c. Bab III: Pencegahan Perkawinan
d. Bab IV: Batalnya Perkawinan
e. Bab V: Perjanjian Perkawinan
f. Bab VI: Hak dan Kewajiban Suami Istri
g. Bab VII: Harta Benda dalam Perkawinan
h. Bab VIII: Putusnya Perkawinan dan Akibatnya
i. Bab IX: Kedudukan Anak
j. Bab X: Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
k. Bab XI: Perwalian
l. Bab XII: Ketentuan-Ketentuan Lain
m.Bab XIII: Ketentuan Peralihan
n. Bab XIV: Ketentuan Penutup

7
0Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, hlm. 146-147.
8
Khoiruddin Nasution, “Poligamy in Indonesian Islamic Family Law,” Jurnal Syariah 16, no. 2 (2008): 25–40

4
Metode penetapan wajib pencatatan perkawinan, pencatatan talaq, dan
pencatatan ruju’ berdasarkan pada takhshish al-qadla, siyasah syar’iyah, dan qiyas
(analogi) terhadap al-Baqarah (2): 282 dan al-Talak (65): 2. Metode penetapan
pembatasan kebolehan poligami pada an-Nisa‘ (4): 3 dan dihubungkan dengan an-
Nisa‘ (4): 129, dan siyasah syar’iyah. Metode penetapan batasan umur minimal boleh
kawin didasarkan pada inspirasi pandangan Syaukani, yang mengatakan bahwa kasus
perkawinan ‘Aisyah adalah sebagai pengecualian. Metode penghapusan hak ijbar
dalam perkawinan didasarkan pada pandangan Ibn Shubrumah. Metode keharusan
perceraian di Pengadilan Agama didasarkan pada pandangan Az-Zahiri dan Syiah
Imamiyah, yang menetapkan bahwa perceraian, sama dengan perkawinan, hanya
terjadi dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi. Hal yang penting untuk
diperhatikan, bahwa dalam menetapkan status hukum satu masalah, dalam kasus-
kasus tertentu hanya dengan menggunakan salah satu metode pembaharuan di atas.
Namun, dalam banyak kasus metode yang digunakan adalah kumpulan

dari dua atau lebih metode pembaruan9


Lahirnya Undang-Undang Perkawinan membutuhkan proses yang panjang dan
dipenuhi pro kontra terhadap materi-materi yang termuat dalam undangundang
tersebut. Para tokoh, baik perempuan maupun laki-laki, mengemuka ide-ide mereka
berdasarkan teori normatif dalam Al Quran, Sunnah dan kitab fiqhdan berdasarkan
fakta yang mereka lihat di masyarakat.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terlihat dari empat hal,
yaitu: (1) membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2) membatasi
poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena), dan (4)
membangun persamaan kedudukan suami dan istri. Pro kontra hadir dalam proses
lahirnya UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974yang memerlukan waktu
yang panjang ini. Pro kontra muncul dari dua hal, yaitu pertama, pengetahuan dan
pemahaman secara normatif terhadap al Quran, Sunnah dan fiqh. Kedua, pengetahuan
dan pemahaman terhadap fakta-fakta dan fenomena kontekstual yang terjadi di
masyarakat. Proses lahirnya dipengaruhi dan mempengaruhi dinamika sosial dan
politik yang ada pada saat itu. Secara umum, tingkat ketercapaian UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan nilai positif terhadap tujuan kelahirannya. Namun,

9
Khoiruddin Nasution, “Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam Kontemporer,” UNISIA 30, no. 66 (2007):
329–41

5
perkembangan zaman dan perubahan masyarakat tetap mempegaruhi proses
implementasinya yang berjalan belum optimal.
Kelemahan dalam implementasi memerlukan pembahasan tersendiri untuk
penelitian ke depannya. Dinamika ini memberi ruang pembaruan hukum keluarga
yang terjadi hingga saat ini (sustainable).10

C. Acuan Hukum Yang Di Gunakan Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia


Dalam hukum perkawinan di Indonesia, terdapat beberapa acuan hukum yang
menjadi dasar bagi perkawinan sesuai dengan prinsip hukum nasional:
• Pasal 29 UUD 1945: Menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia. UU
Perkawinan menggunakan Pasal 29 UUD 1945 sebagai dasar hukum, yang
menegaskan bahwa setiap pasal dalam norma harus sesuai dengan Pasal 29
UUD 1945
• UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Menetapkan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai
dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan
• Hakekat Perkawinan Menurut Hukum Adat: Dalam konteks hukum adat di
Indonesia, perkawinan bukan hanya sebagai perikatan perdata tetapi juga
perikatan adat. Meskipun pada masa lalu terdapat pengaruh KUH Perdata, saat
ini aturan tata tertib perkawinan telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
Hukum perkawinan di Indonesia mengakui pentingnya aspek agama
dan kepercayaan dalam sahnya sebuah perkawinan, serta mengatur berbagai
aspek yang berkaitan dengan ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

10
Wazni Azwar,dkk “LATAR BELAKANG LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN INDONESIA NOMOR 1
TAHUN 1974 (UUP)” Hukum Islam Vol. 21, No. 1 Juni 2021 hal 148

6
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa penjajahan terdapat dua periode tentang sejarah hukum perkawinan
Islam. Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dua teori. Pertama, teori receptio in
complexu, yang menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum bagi hukum
perkawinan. Kedua, teori receptie yang menjadikan hukum Islam sebagai sumber
hukum Islam namun dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum adat.
Sedangkan pada masa penjajahan Jepang tidak terjadi pengaturan hukum perkawinan
Islam yang berarti, di mana tetap menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum
perkawinan di Indonesia.
Dalam masa kemerdekaan sebelum lahirnya Undangundang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, lahir dua undangundang. Yaitu Undang-undang Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk serta Undang-undang no. 32
tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Kemunculan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh
empat tujuan, yaitu: (1) membatasi dan bahkan menghapus pernikahan anak, (2)
membatasi poligami, (3) membatasi hak sepihak dari talaq (talaq semena-mena), dan
(4) membangun persamaan hak untuk suami dan istri Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal sudah mengakomodir kebutuhan dan
permasalahan yang terdapat dalam keluarga.

B. Saran
Mungkin inilah yang bisa dijelaskan dari kelompok kami, meskipun penulisan ini jauh
dari kata sempurna minimal kita sudah mengimplementasikan tulisan ini. Masih
banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karena keterbatasan pengetahuan
tentang materi ini. Dimohon untuk pembaca memberikan kritik dan saran agar
menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik lagi.

7
DAFTAR PUSTAKA

Azwar Wazni,dkk “LATAR BELAKANG LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 (UUP)” Hukum Islam Vol. 21, No. 1 Juni 2021
hal 148
Dewi Serafina Shinta, “Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”, dalam http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37 - karya-ilmiah-
lainnya/386-pembentukan-undang-undang-nomor-1-tahun 1974-tentang-perkawinan,
diakses pada 01/03/2024.
Hatta, Moh “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Al-Qānūn,
Vol. 11, No. 1, Juni 2008, hlm. 152.
Idris ramulyo Moh, “Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam” (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 122-123
Masruhan, “Positiviasi Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Hingga Masa
Orde Baru”, dalam Jurnal al-Hukama’, Vol. 1, No. 1, Desember 2011, hlm. 118.
Nasution Khoiruddin, “Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam Kontemporer,” UNISIA
30, no. 66 (2007): 329–41
Nasution, Khoiruddin, “Poligamy in Indonesian Islamic Family Law,” Jurnal Syariah 16, no.
2 (2008): 25–40

Anda mungkin juga menyukai