Anda di halaman 1dari 4

Alifia Azzahrah Rahmayanti

1810713094

3C

Tugas individu SKN Pembiayaan dan SDM Kesehatan

Contoh kasus pembiayaan:

Pasien Miskin dan Jaminan Sosial


Senin, 7 Juni 2010
Meski sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan mendahulukan
pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada pasien dengan alasan
ekonomi masih kerap terjadi. Kasus penolakan terhadap Elsa Ainurohmah, bayi berusia
enam bulan, putrid pasangan Paidi (34) dan Septi Nuraini (30) oleh RS Sari Asih,
Karawaci Tangerang, beberapa waktu lalu, misalnya, menambah panjang catatan hitam
kasus serupa di Tanah Air. Bayi mungil itu tidak mendapatkan layanan medis semestinya
karena orangtuanya tak mampu menyanggupi uang muka Rp 10 juta yang diminta pihak
rumah sakit. Akhirnya, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Elsa ke RSU
Tangerang. Namun, akibat terlambat mendapatkan layanan medis, Elsa meninggal
sebelum tiba di RSU Tangerang

Solusi :

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan alokasi anggaran untuk kesehatan


yang ideal adalah sekurang- kurangnya 6% dari anggaran belanja negara (APBN). Sementara
itu di negara-negara maju, alokasi anggaran untuk kesehatan mencapai 6%-15%. Di Indonesia
anggaran untuk Departemen Kesehatan kurang 5% dari APBN.

Melihat karakteristik tersebut diatas, maka biaya yang timbul akibat gangguan
kesehatan (penyakit) merupakan obyek yang layak diasuransikan untuk meringankan beban
yang ditanggung oleh penderita serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang
merupakan kebutuhan hidup masyarakat. WHO didalam The World Health Report 2000-
Health System: Inproving Pervormance juga merekomendasikan untuk mengembangkan
sistem pembayaran secara ”pre payment”, baik dalam bentuk asuransi, tax, maupun social
security. Sistem kesehatan haruslah dirancang sedemikian rupa, sehingga bersifat terintegrasi
antara sistem pelayanan dan sistem pembiayaan, mutu terjamin (quality assurance) dengan
biaya terkendali (cost containment).

Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang makin tidak terkendali serta


mengantisipasi ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga
perkembangan penyakit semakin tidak terkendali, maka pilihan yang tepat untuk pembiayaan
kesehatan adalah asuransi kesehatan. Mengingat kondisi ekonomi negara dan masyarakat serta
keterbatasan sumber daya yang ada, maka perlu dikembangkan pilihan asuransi kesehatan
dengan suatu pendekatan yang efisien, efektif dan berkualitas agar dapat menjangkau
masyarakat luas.

Dengan cakupan asuransi yang semakin luas, maka diperlukan jaringan pelayanan
(Rumah Sakit) yang semakin luas pula. Tuntutan terhadap pelayanan yang berkualitas baik
terhadap penyelenggaraan asuransi kesehatan maupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan
akan semakin meningkat, upaya peningkatan yang berkesinambungan tidak hanya menjadi
tanggungjawab pemberi pelayanan kesehatan saja tetapi juga bagi penyelenggaraan asuransi.
Sebaiknya mengikuti program asuransi kesehatan sejak umur yang masih dini. Hal ini untuk
mengantisipasi terhadap penolakan keikutsertaan asuransi kesehatan. Oleh karena risiko yang
harus ditanggung pada usia tua besar sekali, berbeda dengan kalau masih berusia muda.

Contoh kasus SDM Kesehatan:

WHO: Kekurangan Tenaga Kesehatan di Indonesia Paling Serius

World Health Organization menyebut, Indonesia termasuk dalam kelompok negara


dengan masalah kekurangan tenaga kesehatan paling serius.

WHO mengidentifikasi Indonesia, Bangladesh, Bhutan, dan India sebagai negara-negara


yang memiliki kurang dari 23 tenaga kesehatan termasuk dokter, bidan dan perawat, per
10.000 penduduk.

Rasio 23 tenaga kesehatan per 10.000 perduduk dianggap sebagai batas minimal untuk
mencapai cakupan 80 persen intervensi kesehatan yang paling esensial.

"Lebih dari satu juta tenaga kesehatan terlatih dibutuhkan di regional ini untuk
memperbaiki defisit tenaga kesehatan," kata Direktur WHO untuk regional Asia
Tenggara , DR Samlee Pliangbangchang, Jumat (07/09), dalam pertemuan Menteri
Kesehatan se-regional Asia Tenggara (SEARO) di Yogyakarta.

Ia mengatakan, negara-negara di regional SEARO menghadapi banyak tantangan dalam


produksi tenaga kesehatan antara lain penempatan tenaga kesehatan dan pengembangan
karier.

"Perpindahan tenaga kesehatan dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan atau dari
fasilitas kesehatan milik pemerintah ke swasta, atau bahkan ke luar negeri telah
membebani sistem kesehatan di regional ini," kata Samlee.

Sebuah studi mengenai sumber daya manusia yang dilaksanakan Februari 2012
menemukan, bahwa negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan tidak bisa
meningkatkan jumlah tenaga kesehatannya ke batas minimum. Bahkan bantuan dana
tidak cukup untuk mencapai kemajuan yang diinginkan di bidang ini.

WHO mengatakan, upaya dalam melatih dan mendidik tenaga kesehatan umumnya
belum terfokus, karena keterbatasan sumber daya dan ketidakjelasan arah kebijakan.
Sehingga dibutuhkan sebuah komitmen baru dalam investasi untuk memperkuat
pelatihan dan training tenaga kesehatan.

Solusi:

Penyediaan tenaga kesehatan harusnya menjadi tugas dan target utama pemerintah
sebagai komitmen pelaksanaan pasal 28 UUD 1945. Jika kesehatan menjadi hak asasi bagi tiap
warganegara maka pemerintah harus memenuhi kewajibannya termasuk penyediaan tenaga
kesehatan. Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dibutuhkan oleh daerah
terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Ini dapat terlihat dari data Depkes
2006, dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi,
184 puskemas (51 persen) belum memiliki dokter. Ini tentu memprihatinkan mengingat
kebutuhan kesehatan yang kian meningkat.

Sejatinya problem kekurangan dan ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan ini


mesti disikapi dengan program-program signifikan dari pemerintah. Masalah ini harus diawali
dengan pemetaan kebutuhan tenaga medis yakni dokter, bidan dan perawat dalam jangkah
pendek, menengah dan panjang. Perencanaan waktu ini perlu dilakukan agar target-target
pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan dapat dievaluasi secara mudah dan terpadu.
Langkah berikutnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memperbanyak
pendirian pusat-pusat pendidikan berbasis kesehatan seperti fakultas kedokteran, akademi
kebidanan, akademi keperawatan, sekolah analis kesehatan dan sebagainya. Upaya pendirian
pusat pendidikan ini akan lebih baik jika tersebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga akan
lebih mudah diserap dan dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah yang minim tenaga
kesehatan.

Srategi percepatan jumlah tenaga kesehatan ini juga bisa dilakukan dengan membuat
regulasi-regulasi yang memudahkan lembaga pendidikan dan pemerintah daerah tanpa harus
mengurangi ketentuan standar kualitas untuk membuka kelas-kelas kesehatan. Sehingga
dengan regulasi yang mudah akan dapat mendorong lembaga pendidikan dan Pemda dalam
mendidik dan melatih tenaga-tenaga kesehatan yang nantinya akan berdampak pada semakin
bertambahnya lulusan tenaga kesehatan terutama di daerah-daerah yang selama ini kekurangan
SDM kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai