Anda di halaman 1dari 13

Lidya Kandaou Jamal Mirdad

Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou nekad menikah di Indonesia dan
memperjuangkan status mereka mati-matian di Pengadilan Negeri. Upaya awal yang
ditempuh Jamal Mirdad dan Lydia Kandou ialah mengajukan permohonan ke Kantor Urusan
Agama namun upaya itu ditolak oleh KUA, sehingga Kantor Catatan Sipil dituju sebagai
jalan tengah tak pula bisa dilalui mereka dengan lancar,namun upaya Jamal Mirdad &
LydiaKandou tidak berhenti sampai disitu mereka menempuh jalur pengadilan, dari hal itu
Hakim EndangSri Kawuryan mengizinkan mereka menikah Dengan izin itu, pada 30 Juni
1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.

Latar Belakang:
Gereja memberi kemungkinan untuk perkawinan campur karena membela dua hak asasi,
yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati
nuraninya.
Dua jenis Perkawinan Campur:
a. Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang
baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.
b. Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang
yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi
DISPENSASI adalah: ijin dari Gereja Katolik untuk pernikahan beda agama. Dispensasi utk
Katolik non Kristiani (islam, buddha, hindu) adalah: Disparitas Cultus sedangkan untuk
Katolik - Protestan/Orthodox adalah Mixta Religio.
Syarat untuk melakukan pernikahan beda agama di Gereja Katolik:

Setelah 27 tahun bersama, keduanya bercerai pada 4 Juli 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

1. Mengikuti KURSUS PERNIKAHAN ( sertifikat yang didapat sesudahnya berlaku 6 bulan)


2. Mendapatkan surat DISPENSASI

Dedy Corbuzier Kalina

Mengenai Perkawinan Campur ini, kita mengacu kepada Kitab Hukum Kanonik 1983, yaitu
demikian:

Lydia Kandou menikah dengan Jamal Mirdad pada tahun 1986. Peristiwa ini menjadi begitu
kontroversial, karena perbedaan agama. Lydia Kandou yang beragama kristen dan Jamal
Mirdad yang beragama Islam.

Pasangan pesulap ini menikah pada Kamis, 24 Februari 2005. Keduanya menjalani
pernikahan dengan dua cara. Pertama, akad nikah dilakukan sesuai tata cara Islam, agama
yang dianut Kalina.
Usai menikah secara Islam, Deddy dan Kalina menikah secara negara, mencatatkannya ke
Kantor Catatan Sipil. Pernikahan mereka berakhir pada 31 Januari 2013, di Pengadilan
Negeri Jakarta Utara. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak, Azkanio Nikola
Corbuzier.
Tamara Bleszynski dan Mike Lewis
Pada 2 Februari 2010, Tamara resmi menikah dengan Mike Lewis di Villa Bayuh Sabbha,
Uluwatu, Jimbaran, Bali. Keduanya melangsungkan pernikahan beda agama. Bagi Tamara,
pernikahan ini adalah yang kedua setelah bercerai dari Teuku Rafly Pasya.
Pernikahan ini terkesan jauh dari publikasi karena memang hanya keluarga dan orang
terdekat saja yang hadir. Pada 22 Desember 2010, Tamara melahirkan bayi laki-laki, Kenzou
Leon Blezynski Lewis. Pada awal 2012, Tamara Bleszynski mengajukan gugatan perceraian
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan akhirnya dikabulkan melalui putusan pengadilan
pada 28 Mei 2012.

KHK 1124 Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan
tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan
gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari
otoritas yang berwenang, dilarang.
KHK 1125 Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan
yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta


memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat
tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain
hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia
sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki
perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

KHK 1127
1 Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya
ditepati ketentuan-ketentuan Kanon 1108; ..[di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor
paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang
meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi]

Pada prinsipnya nanti Anda harus memberitahukan kepada calon pasangan akan
tanggungjawab Anda sebagai umat Katolik di dalam perkawinan, yaitu agar Anda berjuang
sekuat tenaga untuk tetap Katolik, untuk membaptis anak-anak Anda secara Katolik dan
mendidik mereka secara Katolik. Selanjutnya calon suami Anda akan diminta
menandatangani surat yang menyatakan bahwa ia mengetahui (dan dengan demikian
menyetujui) akan janji dan komitmen Anda tersebut

2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris
wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik
itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan
dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup
berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang
disepakati bersama.

Setelah itu Anda diwajibkan untuk mengikuti proses penyelidikan kanonik, dan mengikuti
kursus persiapan perkawinan. Dan jika syarat-syarat lain terpenuhi, perkawinan Anda dapat
diteguhkan di Gereja Katolik. Mungkin yang lebih baik dan juga lebih mudah adalah jika
pemberkatan itu dilakukan di Indonesia, jika Anda memang berdomisili di Indonesia. Selain
itu, dalam pemberkatan, Anda dapat memperoleh dukungan doa dari lebih banyak saudara/
kerabat ataupun teman-teman Anda yang dapat turut hadir.

3 Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma 1,


mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk
menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan
perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan
kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

Sekilas perkembangan perkawinan mixta religio (kawin campur)

Jika kedua berstatus liber atau bebas, silakan diperiksa surat baptis pasangan Anda itu,
diberikan oleh gereja mana. Lalu konsultasikan dengan Romo paroki setempat, apakah
baptisan gereja itu sah menurut Gereja Katolik (sesuai dengan forma dan materia yang
disyaratkan dan sesuai dengan intensi Pembaptisan menurut Gereja Katolik). Jika ya, maka
perkawinan yang akan dilakukan, adalah perkawinan campur beda gereja, sedangkan kalau
baptisan tidak sah, disebut perkawinan beda agama.
Pada prinsipnya perkawinan dengan pihak non- Katolik sesungguhnya tidak diperbolehkan,
namun jika terpaksa dilakukan, maka harus terlebih dahulu dimintakan izin (untuk
perkawinan beda gereja) atau dimintakan dispensasi (untuk perkawinan beda agama) kepada
pihak Tribunal Keuskupan, tempat di mana perkawinan akan diteguhkan (mungkin di
keuskupan Anda, sebab Andalah yang Katolik). Mohon menghubungi Romo Paroki setempat
(yaitu paroki di mana Anda berdomisili) agar membantu Anda memperoleh keterangan lebih
lanjut untuk memohon izin ataupun dispensasi tersebut, dan memperoleh keterangan lainnya
sehubungan dengan persyaratan ataupun ketentuan lainnya untuk persiapan perkawinan. ijin
dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah kepada pasangan (Katolik dan Kristen non- Katolik)
yang akan menikah asalkan pihak Katolik berjanji berjuang untuk tetap Katolik dan
membaptis dan mendidik anak- anak secara Katolik; dan pihak yang non- Katolik mengetahui
akan janji ini.

Dalam masa Gereja Awal ada larangan umum bagi yang dibaptis (katolik) untuk
melangsungkan perkawinan dengan bidaah atau heretik (penganut ajaran sesat). Bersamaan
dengan munculnya perpecahan dalam Gereja Katolik, larangan itu diperluas; agar orang
katolik tidak melangsungkan perkawinan dengan anggota Gereja skismatik (orang yang
dibaptis dan tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik Roma). Secara khusus, ada
larangan pula bagi orang yang dibaptis katolik melangsungkan perkawinan dengan orang
Yahudi.
Pada abad 12-13 larangan itu bersifat mutlak, sehingga perkawinan yang dilangsungkan
dengan bidaah dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik. Terhadap perkawinan yang demikian,
Gereja Katolik tidak pernah memberikan dispensasi.
Konsili Trente (tahun 1546) tidak secara langsung berbicara tentang kawin-campur dan
larangan terhadapnya. Walaupun demikian, melalui suatu dekretnya dinyatakan bahwa pastor
tidak boleh memberkati perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan seorang
bidaah sebelum bidaah tersebut bertobat dengan menarik diri dari ajaran sesat yang
dianutnya.

Pada abad 18 larangan tersebut dirumuskan secara positif dan diperjelas dengan aturan lain
yang memungkinkan adanya dispensasi. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan
perkawinan denganbidaah yang telah menarik diri dari ajaran sesat yang dianutnya. Agar
memperoleh dispensasi, kedua calon harus menyatakan janji untuk menjalani iman katolik
dengan baik dan bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak yang lahir secara katolik.
Dalam hal ini hanya Paus yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi. Baru pada
akhir abad itu, kuasa untuk memberikan dispensasi itu dilimpahkan juga kepada para Uskup,
khususnya di Tanah Misi.
Kitab Hukum Kanonik 1917 merumuskan hal itu dengan lebih jelas dan mulai menggunakan
istilah perkawinan mixta Religio untuk perkawinan antara orang yang dibaptis katolik dengan
orang yang juga dibaptis tetapi tercatat dalam gereja heretik atau skismatik. Kanon 1060 dan
1061 Kitab Hukum itu menyatakan bahwa kawin campur demikian sangat
keras (severissime) dilarang. Akibatnya, walaupun bobotnya hanya larangan dan bukan
halangan, nilainya sama dengan perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan
orang yang tidak dibaptis (kan. 1070). Tanpa dispensasi perkawinan itu tidak sah.
Tahun 1931 Paus Pius XI mengeluarkan Encyclik Casti Conubii[6] yang berupaya
merumuskan kembali hakikat perkawinan. Dengan tegas dinyatakan bahwa perkawinan
adalah lembaga ilahi yang terjadi dari kesepakatan bebas untuk melangsungkan perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena itu, perkawinan yang dilangsungkan
seturut lembaga apa pun bersifat kekal dan tak terceraikan apabila memenuhi kriteria
tersebut. Paus menyebut perkawinan yang memenuhi kriteria itu sebagaiperkawinan yang
benar. Walaupun demikian, tentang perkawinan mixta religo ia tetap tidak mengubah apaapa.
Pemahaman baru secara menyeluruh dan mendasar tentang perkawinan dan
perkawinan mixta religiokhususnya, terjadi dalam Konsili Vatikan II (1959 1965).
Pertimbangan pokok yang melandasinya meliputi:

Realitas sosiologis. Orang-orang katolik hidup dan tinggal menyebar di mana-mana


entah sebagai kelompok mayoritas atau minoritas di antara masyarakat umum yang berbeda
baptisan maupun agama. Dengan demikian kemungkinan terjadinya perkawinan mixta
religio dan perkawinan disparitas cultus semakin besar dan semakin diterima oleh
masyarakat pada umumnya.
Maraknya gerakan-gerakan ekumenis. Sikap permusuhan antara Gereja Katolik
dengan Gereja-Gereja lain (khususnya Protestan) melemah dan umat beriman dari kedua

pihak didorong untuk saling mengenal, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja-sama
dalam berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu. Hubungan demikian sangat jelas
mendekatkan pandangan kedua pihak dan mendukung terjadinya perkawinan mixta religio.
Ajaran Gereja tentang kebebasan beragama. Beragama adalah hak asasi, sehingga
tak seorang maupun lembaga pun (termasuk Gereja) dapat menghalangi seseorang untuk
memeluk agama tertentu dengan menolak terjadinya perkawinan mixta religio dan disparitas
cultus.
Eklesiologi yang berubah dari Gereja sebagai Persekutuan Sempurna (Societas
perfecta) menjadi Umat Allah. Gereja bukanlah persekutuan tunggal dan telah sempurna di
dalam dirinya sendiri. Gereja adalah umat beriman yang sedang dalam proses menuju
kesempurnaan, sehingga kemungkinan adanya berbagai macam persekutuan dengan tingkat
yang beragam di dalamnya diterima dan diakui. Termasuk dalam penerimaan dan pengakuan
adalah Gereja yang tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik dan juga persekutuan
hidup perkawinan mixta religio dan disparitas cultus.
Pemahaman baru dari Konsili Vatikan II yang demikian itu membawa akibat langsung pada
perkawinanmixta religio berkaitan dengan: (1) bobot pelarangannya, (2) formulasi janji yang
harus dibuat, (3) forma, dan (4) liturgi yang harus dipenuhi.

Pengertian
Kawin campur dalam konteks Undang-Undang Perkawinan Negara Republik Indonesia
menunjuk pada perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia antara orang
berkewarganegaraan Indonesia dengan orang berkewarganegaraan asing[7]. Bersama dengan
beberapa aturan lain yang mendukungnya, kawin campur yang demikian ditempatkan dalam
pasal 57-63 Undang-Undang Perkawinan No. 1 / 1974.
Terlanjur salah kaprah bahwa dalam Gereja Katolik dikenal adanya dua macam kawin
campur, yakni: beda Gereja (mixta religio) dan beda agama (disparitas cultus). Dalam Kitab
Hukum Kanonik 1917 maupun 1983 yang disebut kawin campur adalah perkawinan Beda
Gereja. Perkawinan beda agama tidak masuk dalam kawin campur. Hanya saja, persyaratan
yang dituntut untuk memperoleh dispensasi atasnya sama dengan yang dituntut untuk
memperoleh lisensi atau izin dalam kawin campur.
Kawin campur beda Gereja adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan
seorang yang dibaptis bukan katolik (Kristen Protestan, Anglikan, Ortodok)[8]. Sedangkan

perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan
seorang yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha, Sinto, dll.) atau yang baptisannya tidak
diakui oleh Gereja Katolik.

Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar
dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

Penghalangan dan pelarangan

10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta


memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;

Perkawinan beda agama dianggap oleh Gereja sebagai halangan yang menggagalkan
(impedimentum dirimens). Karena itu, perkawinan itu tidak sah. Demikian Kitab Hukum
Kanonik 1983 kan. 1086 berbunyi:

20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya
diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji
dan kewajiban pihak katolik;

1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja
katolik atau diterima didalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syaratsyarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis
atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan,
sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain
tidak dibaptis.

30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan,
yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

Berbeda halnya dengan kawin campur (perkawinan beda Gereja). Gereja melarangnya,
sehingga kalaupun tidak ada lisensi atau izin yang diperlukan, perkawinan itu tetap sah. Kitab
Hukum Kanonik 1983 kan. 1124 menyatakan demikian:
Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik
atau diterima didalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja
atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik,
tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

Ketidakabsahan perkawinan beda agama dan pelarangan kawin campur merupakan wujud
dari upaya Gereja Katolik untuk melindungi hak dan kewajiban anggotanya. Kedua macam
perkawinan itu diyakini Gereja Katolik sebagai ancaman serius bagi pihak katolik
dalam memperoleh hak dan menjalankan kewajiban untuk menghayati iman
katoliknya, membaptis anak, dan mendidik anak secara katolik.
Selain itu, kedua macam perkawinan itu dinilai Gereja Katolik akan dapat mengganggu atau
bahkan menghalangi penghayatan akan arti perkawinan sebagai persekutuan seluruh hidup.
Iman biasanya merupakan landasan, acuan, dan panduan dalam hidup pribadi baik secara
individual maupun sosial. Dengan menjalani perkawinan itu berarti dengan sengaja dari awal
meletakkan penghalang atau pengganggu yang sangat potensial di tengah jalan untuk sampai
pada kesatuan dua pribadi menjadi satu daging (bdk. Mat 19, 5). Dalam hal ini harus diakui
bahwa setiap agama mengandung ajaran, ritus, dan pengungkapan yang berbeda dengan
agama lain. Berhubungan dengan Agama Kristen dapat dikatakan bahwa Kristus yang
diyakini sama tetapi ajaran, ritus, dan pengungkapannya tidak sama dengan Agama Katolik.
Praktek dalam hidup sehari-hari menunjukkan hal itu.

Kanon 1125
Hal lain yang juga menjadi pertimbangan atas kedua macam perkawinan itu adalah
pandangannya tentangindissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan). Dalam teori ada agama

bukan katolik yang meyakini dan mengajarkan sifat tak-dapat-diputuskan itu, tetapi dalam
praktek hal itu tidak sungguh-sungguhdiperjuangkan. Kenyataan yang kita tangkap
menunjukkan yang sebaliknya. Karena hal itu diyakini sebagai garansi positif dan sesuai
dengan keyakinan setiap orang yang melangsungkan perkawinan, Gereja Katolik tidak pernah
dapat menerima adanya perceraian dengan apa pun alasannya, kecuali kematian (kan. 1141).

Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak katolik untuk mendapatkan lisensi atau dispensasi
adalah janji yang formulasinya (perumusannya) ditentukan Konferensi Para Uskup setempat.
Janji tersebut berisi pernyataan bahwa ia bersedia (1) menjauhkan bahaya meninggalkan iman
katoliknya, (2) berusaha melakukan segala sesuatu dan sekuat tenaga untuk membaptis anak,
dan (3) mendidik anak secara katolik. Perlu ditekankan di sini bahwa janji ini langsung
terkait dengan usaha dan bukan hasil. Karena itu, pihak katolik tidak dapat dipersalahkan
apabila tidak berhasil memenuhi janjinya, asalkan telah sungguh-sungguh berusaha
melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukannya.

Dispensasi dan Lisensi atau Izin


Dalam hal ini pihak bukan katolik tidak terikat hukum atau peraturan gerejawi, sehingga ia
tidak dituntut untuk berjanji dan melakukan sesuatu seperti pihak katolik. Kepadanya tidak
dituntut untuk melepaskan hak dan kewajiban sesuai dengan agamanya. Satu-satunya hal
yang diharapkan darinya adalah mengetahuijanji dan kewajiban pihak katolik. Dalam hal ini,
dianggap cukup apabila pihak bukan katolik diberitahu dan sadar akan hal itu. Bentuk formal
yang ditetapkan oleh Konferensi Para Uskup Indonesia dalam hal itu adalah keterangan
Pastor yang menyatakan bahwa pihak tidak katolik telah diberitahu mengenai janji pihak
katolik dan pihak tidak katolik telah mengetahuinya.

Karena hormat terhadap agama lain[9], pengakuan akan hak setiap orang untuk menikah
(bdk. kan. 219), dan berbagai kenyataan sosial, dalam Gereja Katolik dimungkinkan adanya
kawin-campur. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan perkawinan dengan
seorang yang dibaptis bukan katolik setelah mendapatkan lisensi (kan. 1124). Lisensi di sini
adalah izin yang dinyatakan dengan jelas oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni
Ordinaris Wilayah (Uskup diosesan, Vikaris Jenderal, atau Vikaris Episkopal). Tanpa lisensi
itu, perkawinan yang dilangsungkan dianggap sah tetapi tidak licit (non licet), yang artinya:
tidak sepenuhnya memenuhi aturan gerejawi. Tentang kuasa memberi lisensi, Uskup dapat
mendelegasikannya kepada Vikaris lain atau Pastor Paroki.

Syarat lain yang perlu dipenuhi adalah bahwa kedua pihak diajar tentang tujuan dan
karakteristik pokok perkawinan katolik. Tujuan perkawinan meliputi kebaikan suamiisteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak(kan. 1055 1). Sedangkan karakteristik pokok
perkawinan adalah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas(sifat tak-dapat-diputuskan (kan.
1056).

Seorang yang dibaptis katolik dapat pula melangsungkan perkawinan dengan seorang yang
tidak dibaptis setelah memperoleh dispensasi dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
(kan. 1129). Dispensasi adalah pembebasan terhadap seorang katolik dari kewajibannya
untuk memenuhi peraturan Gereja Katolik oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni
Ordinaris Wilayah. Kuasa untuk memberikan dispensasi dapat didelegasikan kepada Vikaris
(dapat pula diberikan kepada Pastor Paroki tetapi jarang terjadi). Tanpa dispensasi,
perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
Untuk memperoleh lisensi dan dispensasi, kanon 1125 menetapkan beberapa ketentuan
sebagai berikut. Dalam memberikan lisensi dan dispensasi, Uskup diosesan harus memiliki
alasan yang dinilainya masuk akal dan memadai. Alasan yang masuk akal dan memadai
tersebut misalnya: perjaka atau perawan yang sudah berumur, kesulitan mendapatkan jodoh
yang seagama, duda atau janda dengan anak kecil yang memerlukan bapak atau ibu, pihak
katolik yang beriman cukup kuat sehingga tidak akan berpindah agama, pihak bukan katolik
yang kemungkinan besar akan menjadi katolik, dll.

Deskripsi perkawinan

Kanon 1055
1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang
menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta

kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan
diangkat ke martabat sakramen.

proyek hidup yang mencakup segala bentuk atau tingkat kehidupan: tubuh, sifat, hati, akalbudi, dan kehendak[3].

Kanon itu bukan merupakan definisi atau batasan tentang perkawinan tetapi merupakan
gambaran atau diskripsi tentang perkawinan. Kalimat yang digunakan tidak mulai
dengan perkawinan adalah tetapiperjanjian perkawinan . Rumusan dibiarkan terbuka
sehingga orang dapat membentuk pengertian sendiri berdasarkan berbagai hal atau unsur
pokok yang disampaikan.

Hubungan yang demikian erat itu mengandung di dalam dirinya tujuan. Kitab Hukum
Kanonik membahasakannya dengan kalimat, menurut ciri kodratinya . Dengan kalimat itu,
ingin ditegaskan bahwa tujuan perkawinan bukan merupakan unsur tambahan atau tempelan
dari luar. Tujuan perkawinan telah ada dan menyatu dalam perkawinan sejak kesepakatan
dilakukan. Karena itu, menerima perkawinan berarti sekaligus menerima tujuannya. Begitu
juga, menolak tujuan perkawinan sama dengan menolak perkawinan itu sendiri.

Perkawinan merupakan perjanjian. Digunakan kata foedus (bukan contractus) untuk


menyatakan bahwa perkawinan memiliki makna seperti yang diungkapkan dalam Kitab Suci,
yakni hubungan antara Allah dengan manusia, Kristus dengan GerejaNya. Perkawinan bukan
hanya sekedar penggabungan atau perimbangan hak dan kewajiban dari dua pihak
bersangkutan seperti yang terjadi dalam kontrak duniawi, tetapi hubungan kasih dan sifatnya
rohaniah atau spiritual.

Berbeda dengan Kitab Hukum Kanonik 1917, tujuan perkawinan dipaparkan tanpa
penomoran[4]. Artinya, tujuan perkawinan merupakan satu kesatuan dan bernilai sama. Tidak
mungkin menerima yang satu dan menolak yang lain. Tidak mungkin juga mengutamakan
yang satu dan merendahkan yang lain. Tujuan itu adalah: kebaikan suami-isteri, kelahiran,
dan pendidikan anak. Kebaikan suami-isteri disebut pertama kali karena merupakan dasar
yang memungkinkan kelahiran dan pendidikan anak sebagaimana dimengerti dalam ajaran
Gereja.

Hubungan itu bersifat personal dan sekaligus transendental. Yang terlibat di dalamnya bukan
hanya dua pihak yang bersangkutan melainkan juga Tuhan dan Gereja. Dengan perkawinan
orang memasuki bentuk hidup (forma vivendi) tertentu dan penghayatannya secara konkrit
merupakan salah satu bentuk, wujud, atau sarana dari upaya pengudusan.
Subyek atau pelaku perkawinan adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ingin
diungkapkan di sini bahwa perkawinan katolik bersifat monogami dan heteroseksual. Gereja
menolak adanya perkawinan poligami atau poliandri baik serentak maupun berturutan.
Ditolak juga kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara seorang pribadi yang bukan
laki-laki atau bukan perempuan[1]. Agar dapat melangsungkan perkawinan katolik yang sah,
seorang laki-laki harus memiliki alat kelamin (penis) dengan bentuk dan ukuran yang normal
serta memiliki kemampuan untuk ereksi, penetrasi, dan ejakulasi secara semestinya. Seorang
perempuan harus memiliki alat kelamin (vagina) dengan bentuk dan ukuran normal serta
reseptif terhadap alat kelamin laki-laki.
Bentuk hubungan yang dibangun dengan perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup.
Artinya, hubungan itu meliputi seluruh pribadi dan berlangsung selamanya. Pengertian ini
diambil dan dibahasakan secara agak lain dari Konsili Vatikan II tentang persekutuan hidup
dan kasih[2]. Santo Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa hubungan itu meliputi seluruh

Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya dibaptis
mendapatkan martabat sakramental oleh Kristus, Tuhan. Hubungan itu menandakan dan
sekaligus menyatakan kehadiran Allah yang menyelamatkan. Melalui perkawinan hendaknya
suami-isteri berkembang untuk saling melengkapi, memperkaya, dan menyempurnakan diri
dan iman dalam kekudusan.

2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak
perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Ada kecenderungan dari orang atau lembaga tertentu (negara) untuk menyatakan bahwa
perkawinan berada dibawah kuasa yurisdiksinya. Menurutnya, perkawinan adalah kontrak
manusiawi belaka dan karenanya hanya merupakan salah satu bentuk kenyataan sosial. Atas
kecenderungan itu, Gereja menegaskan bahwa perkawinan kontrak dan perkawinan sakramen
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan penegasan itu Gereja berupaya
menyatakan dan memantapkan kedudukannya sebagai pemegang kuasa yurisdiksi atas
perkawinan antara orang yang dibaptis.

Pada abad 18 larangan tersebut dirumuskan secara positif dan diperjelas dengan aturan lain
yang memungkinkan adanya dispensasi. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan
perkawinan denganbidaah yang telah menarik diri dari ajaran sesat yang dianutnya. Agar
memperoleh dispensasi, kedua calon harus menyatakan janji untuk menjalani iman katolik
dengan baik dan bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak yang lahir secara katolik.
Dalam hal ini hanya Paus yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi. Baru pada
akhir abad itu, kuasa untuk memberikan dispensasi itu dilimpahkan juga kepada para Uskup,
khususnya di Tanah Misi.

Kanon 1056
Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat
tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas
dasar sakramen.
Ciri atau sifat hakiki perkawinan dibandingkan dengan bentuk hubungan yang lain adalah
kesatuan dan sifat tak-dapat-diputuskan (unitas et indissolubilitas). Ciri-ciri itu disebut hakiki
karena membentuk identitas perkawinan. Artinya, tanpa ciri-ciri itu, perkawinan tidak dapat
dibedakan dari bentuk hubungan-hubungan lain dan bahkan tidak ada. Setiap perkawinan
yang sah dimengerti Gereja sebagai hubungan antar pribadi yang memiliki kestabilan[5].
Kestabilan itu menjadi lebih kuat karena martabat sakramental yang diterimanya.

Kitab Hukum Kanonik 1917 merumuskan hal itu dengan lebih jelas dan mulai menggunakan
istilah perkawinan mixta Religio untuk perkawinan antara orang yang dibaptis katolik dengan
orang yang juga dibaptis tetapi tercatat dalam gereja heretik atau skismatik. Kanon 1060 dan
1061 Kitab Hukum itu menyatakan bahwa kawin campur demikian sangat
keras (severissime) dilarang. Akibatnya, walaupun bobotnya hanya larangan dan bukan
halangan, nilainya sama dengan perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan
orang yang tidak dibaptis (kan. 1070). Tanpa dispensasi perkawinan itu tidak sah.

Sekilas perkembangan perkawinan mixta religio (kawin campur)

Tahun 1931 Paus Pius XI mengeluarkan Encyclik Casti Conubii[6] yang berupaya
merumuskan kembali hakikat perkawinan. Dengan tegas dinyatakan bahwa perkawinan
adalah lembaga ilahi yang terjadi dari kesepakatan bebas untuk melangsungkan perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena itu, perkawinan yang dilangsungkan
seturut lembaga apa pun bersifat kekal dan tak terceraikan apabila memenuhi kriteria
tersebut. Paus menyebut perkawinan yang memenuhi kriteria itu sebagaiperkawinan yang
benar. Walaupun demikian, tentang perkawinan mixta religo ia tetap tidak mengubah apaapa.

Dalam masa Gereja Awal ada larangan umum bagi yang dibaptis (katolik) untuk
melangsungkan perkawinan dengan bidaah atau heretik (penganut ajaran sesat). Bersamaan
dengan munculnya perpecahan dalam Gereja Katolik, larangan itu diperluas; agar orang
katolik tidak melangsungkan perkawinan dengan anggota Gereja skismatik (orang yang
dibaptis dan tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik Roma). Secara khusus, ada
larangan pula bagi orang yang dibaptis katolik melangsungkan perkawinan dengan orang
Yahudi.

Pemahaman baru secara menyeluruh dan mendasar tentang perkawinan dan


perkawinan mixta religiokhususnya, terjadi dalam Konsili Vatikan II (1959 1965).
Pertimbangan pokok yang melandasinya meliputi:

Pada abad 12-13 larangan itu bersifat mutlak, sehingga perkawinan yang dilangsungkan
dengan bidaah dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik. Terhadap perkawinan yang demikian,
Gereja Katolik tidak pernah memberikan dispensasi.

Konsili Trente (tahun 1546) tidak secara langsung berbicara tentang kawin-campur dan
larangan terhadapnya. Walaupun demikian, melalui suatu dekretnya dinyatakan bahwa pastor
tidak boleh memberkati perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan seorang
bidaah sebelum bidaah tersebut bertobat dengan menarik diri dari ajaran sesat yang
dianutnya.

Realitas sosiologis. Orang-orang katolik hidup dan tinggal menyebar di mana-mana


entah sebagai kelompok mayoritas atau minoritas di antara masyarakat umum yang berbeda
baptisan maupun agama. Dengan demikian kemungkinan terjadinya perkawinan mixta
religio dan perkawinan disparitas cultus semakin besar dan semakin diterima oleh
masyarakat pada umumnya.
Maraknya gerakan-gerakan ekumenis. Sikap permusuhan antara Gereja Katolik
dengan Gereja-Gereja lain (khususnya Protestan) melemah dan umat beriman dari kedua

pihak didorong untuk saling mengenal, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja-sama
dalam berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu. Hubungan demikian sangat jelas
mendekatkan pandangan kedua pihak dan mendukung terjadinya perkawinan mixta religio.
Ajaran Gereja tentang kebebasan beragama. Beragama adalah hak asasi, sehingga
tak seorang maupun lembaga pun (termasuk Gereja) dapat menghalangi seseorang untuk
memeluk agama tertentu dengan menolak terjadinya perkawinan mixta religio dan disparitas
cultus.
Eklesiologi yang berubah dari Gereja sebagai Persekutuan Sempurna (Societas
perfecta) menjadi Umat Allah. Gereja bukanlah persekutuan tunggal dan telah sempurna di
dalam dirinya sendiri. Gereja adalah umat beriman yang sedang dalam proses menuju
kesempurnaan, sehingga kemungkinan adanya berbagai macam persekutuan dengan tingkat
yang beragam di dalamnya diterima dan diakui. Termasuk dalam penerimaan dan pengakuan
adalah Gereja yang tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik dan juga persekutuan
hidup perkawinan mixta religio dan disparitas cultus.

seorang yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha, Sinto, dll.) atau yang baptisannya tidak
diakui oleh Gereja Katolik.

Penghalangan dan pelarangan


Perkawinan beda agama dianggap oleh Gereja sebagai halangan yang menggagalkan
(impedimentum dirimens). Karena itu, perkawinan itu tidak sah. Demikian Kitab Hukum
Kanonik 1983 kan. 1086 berbunyi:

Pengertian

1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja
katolik atau diterima didalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syaratsyarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis
atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan,
sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain
tidak dibaptis.

Kawin campur dalam konteks Undang-Undang Perkawinan Negara Republik Indonesia


menunjuk pada perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia antara orang
berkewarganegaraan Indonesia dengan orang berkewarganegaraan asing[7]. Bersama dengan
beberapa aturan lain yang mendukungnya, kawin campur yang demikian ditempatkan dalam
pasal 57-63 Undang-Undang Perkawinan No. 1 / 1974.

Berbeda halnya dengan kawin campur (perkawinan beda Gereja). Gereja melarangnya,
sehingga kalaupun tidak ada lisensi atau izin yang diperlukan, perkawinan itu tetap sah. Kitab
Hukum Kanonik 1983 kan. 1124 menyatakan demikian:

Pemahaman baru dari Konsili Vatikan II yang demikian itu membawa akibat langsung pada
perkawinanmixta religio berkaitan dengan: (1) bobot pelarangannya, (2) formulasi janji yang
harus dibuat, (3) forma, dan (4) liturgi yang harus dipenuhi.

Terlanjur salah kaprah bahwa dalam Gereja Katolik dikenal adanya dua macam kawin
campur, yakni: beda Gereja (mixta religio) dan beda agama (disparitas cultus). Dalam Kitab
Hukum Kanonik 1917 maupun 1983 yang disebut kawin campur adalah perkawinan Beda
Gereja. Perkawinan beda agama tidak masuk dalam kawin campur. Hanya saja, persyaratan
yang dituntut untuk memperoleh dispensasi atasnya sama dengan yang dituntut untuk
memperoleh lisensi atau izin dalam kawin campur.

Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik
atau diterima didalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja
atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik,
tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

Kawin campur beda Gereja adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan
seorang yang dibaptis bukan katolik (Kristen Protestan, Anglikan, Ortodok)[8]. Sedangkan
perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan

Kanon 1125

Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar
dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta
memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga,
agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya
diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji
dan kewajiban pihak katolik;
30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan,
yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

Ketidakabsahan perkawinan beda agama dan pelarangan kawin campur merupakan wujud
dari upaya Gereja Katolik untuk melindungi hak dan kewajiban anggotanya. Kedua macam
perkawinan itu diyakini Gereja Katolik sebagai ancaman serius bagi pihak katolik
dalam memperoleh hak dan menjalankan kewajiban untuk menghayati iman
katoliknya, membaptis anak, dan mendidik anak secara katolik.
Selain itu, kedua macam perkawinan itu dinilai Gereja Katolik akan dapat mengganggu atau
bahkan menghalangi penghayatan akan arti perkawinan sebagai persekutuan seluruh hidup.
Iman biasanya merupakan landasan, acuan, dan panduan dalam hidup pribadi baik secara
individual maupun sosial. Dengan menjalani perkawinan itu berarti dengan sengaja dari awal
meletakkan penghalang atau pengganggu yang sangat potensial di tengah jalan untuk sampai
pada kesatuan dua pribadi menjadi satu daging (bdk. Mat 19, 5). Dalam hal ini harus diakui
bahwa setiap agama mengandung ajaran, ritus, dan pengungkapan yang berbeda dengan
agama lain. Berhubungan dengan Agama Kristen dapat dikatakan bahwa Kristus yang
diyakini sama tetapi ajaran, ritus, dan pengungkapannya tidak sama dengan Agama Katolik.
Praktek dalam hidup sehari-hari menunjukkan hal itu.
Hal lain yang juga menjadi pertimbangan atas kedua macam perkawinan itu adalah
pandangannya tentangindissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan). Dalam teori ada agama

bukan katolik yang meyakini dan mengajarkan sifat tak-dapat-diputuskan itu, tetapi dalam
praktek hal itu tidak sungguh-sungguhdiperjuangkan. Kenyataan yang kita tangkap
menunjukkan yang sebaliknya. Karena hal itu diyakini sebagai garansi positif dan sesuai
dengan keyakinan setiap orang yang melangsungkan perkawinan, Gereja Katolik tidak pernah
dapat menerima adanya perceraian dengan apa pun alasannya, kecuali kematian (kan. 1141).

Dispensasi dan Lisensi atau Izin


Karena hormat terhadap agama lain[9], pengakuan akan hak setiap orang untuk menikah
(bdk. kan. 219), dan berbagai kenyataan sosial, dalam Gereja Katolik dimungkinkan adanya
kawin-campur. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan perkawinan dengan
seorang yang dibaptis bukan katolik setelah mendapatkan lisensi (kan. 1124). Lisensi di sini
adalah izin yang dinyatakan dengan jelas oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni
Ordinaris Wilayah (Uskup diosesan, Vikaris Jenderal, atau Vikaris Episkopal). Tanpa lisensi
itu, perkawinan yang dilangsungkan dianggap sah tetapi tidak licit (non licet), yang artinya:
tidak sepenuhnya memenuhi aturan gerejawi. Tentang kuasa memberi lisensi, Uskup dapat
mendelegasikannya kepada Vikaris lain atau Pastor Paroki.
Seorang yang dibaptis katolik dapat pula melangsungkan perkawinan dengan seorang yang
tidak dibaptis setelah memperoleh dispensasi dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
(kan. 1129). Dispensasi adalah pembebasan terhadap seorang katolik dari kewajibannya
untuk memenuhi peraturan Gereja Katolik oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni
Ordinaris Wilayah. Kuasa untuk memberikan dispensasi dapat didelegasikan kepada Vikaris
(dapat pula diberikan kepada Pastor Paroki tetapi jarang terjadi). Tanpa dispensasi,
perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
Untuk memperoleh lisensi dan dispensasi, kanon 1125 menetapkan beberapa ketentuan
sebagai berikut. Dalam memberikan lisensi dan dispensasi, Uskup diosesan harus memiliki
alasan yang dinilainya masuk akal dan memadai. Alasan yang masuk akal dan memadai
tersebut misalnya: perjaka atau perawan yang sudah berumur, kesulitan mendapatkan jodoh
yang seagama, duda atau janda dengan anak kecil yang memerlukan bapak atau ibu, pihak
katolik yang beriman cukup kuat sehingga tidak akan berpindah agama, pihak bukan katolik
yang kemungkinan besar akan menjadi katolik, dll.

Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak katolik untuk mendapatkan lisensi atau dispensasi
adalah janji yang formulasinya (perumusannya) ditentukan Konferensi Para Uskup setempat.
Janji tersebut berisi pernyataan bahwa ia bersedia (1) menjauhkan bahaya meninggalkan iman
katoliknya, (2) berusaha melakukan segala sesuatu dan sekuat tenaga untuk membaptis anak,
dan (3) mendidik anak secara katolik. Perlu ditekankan di sini bahwa janji ini langsung
terkait dengan usaha dan bukan hasil. Karena itu, pihak katolik tidak dapat dipersalahkan
apabila tidak berhasil memenuhi janjinya, asalkan telah sungguh-sungguh berusaha
melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukannya.
Dalam hal ini pihak bukan katolik tidak terikat hukum atau peraturan gerejawi, sehingga ia
tidak dituntut untuk berjanji dan melakukan sesuatu seperti pihak katolik. Kepadanya tidak
dituntut untuk melepaskan hak dan kewajiban sesuai dengan agamanya. Satu-satunya hal
yang diharapkan darinya adalah mengetahuijanji dan kewajiban pihak katolik. Dalam hal ini,
dianggap cukup apabila pihak bukan katolik diberitahu dan sadar akan hal itu. Bentuk formal
yang ditetapkan oleh Konferensi Para Uskup Indonesia dalam hal itu adalah keterangan
Pastor yang menyatakan bahwa pihak tidak katolik telah diberitahu mengenai janji pihak
katolik dan pihak tidak katolik telah mengetahuinya.
Syarat lain yang perlu dipenuhi adalah bahwa kedua pihak diajar tentang tujuan dan
karakteristik pokok perkawinan katolik. Tujuan perkawinan meliputi kebaikan suamiisteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak(kan. 1055 1). Sedangkan karakteristik pokok
perkawinan adalah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas(sifat tak-dapat-diputuskan (kan.
1056).

Bogor, 16 Februari 2015.


http://keuskupanbogor.org/perkawinan-beda-agama/

Syarat untuk melakukan pernikahan beda agama di Gereja Katolik:


1. Mengikuti KURSUS PERNIKAHAN ( sertifikat yang didapat sesudahnya berlaku 6 bulan)
2. Mendapatkan surat DISPENSASI
Calon mempelai bersama-sama menghadap Pastor, untuk melakukan penyelidikan
persiapan sebelum pernikahan sesuai hukum Gereja Katolik (Kanonik), sekaligus membawa

dua orang terpercaya yang akan disumpah utk memberi kesaksian bahwa pihak non-Katolik
berstatus bebas atau tidak terikat perkawinan.
mempersiapkan foto 4x6 berduaan, fotocopy sertifikat kursus perkawinan, surat baptis
terbaru paling lama 6 bulan & surat pengantar dari ketua lingkungan (bagi pihak katolik).
Surat Janji dan surat kesaksian status bebas akan dibuat bersama pastor ketika sudah ketemu.
Pastor akan membantu mengirim surat permohonan dispensasi ke Keuskupan (terutama untuk
KAJ). Surat DISPENSASI didapatkan biasanya paling cepat sekitar satu (1) bulan setelah
dimohon. Dan untuk mendapatkan itu, harus dilampirkan sertifikat KURSUS
PERNIKAHAN.
Apabila sudah memenuhi syarat2 pernikahan secara Katolik, maka bisa melakukan
pemberkatan perkawinan di Gereja. Di dalam pemberkatan perkawinan di Gereja, ada janji
perkawinan yaitu saling diberikan dan dilaksanakan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis
(non-Katolik) di hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama: setia
sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati, hanya modelnya yang berbeda
karena yang Katolik akan memakai model Jesus yang mencintai, sedang yang Islam memakai
Muhammad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha atau orang
tuanya sebagai model.
Yang berbeda antara upacara sakramen (calon mempelai keduanya Katolik) dengan
pemberkatan (calon mempelai Katolik dan Non Katolik) adalah pertanyaan penyelidikan atas
kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak diwajibkan
untuk berdoa secara katolik tentu saja.
Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan.
Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak
langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara
perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka
tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Untuk jadi orang katolik tidak
mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan
pastor, melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis.
Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari
pihak Katolik. Bahkan orang Katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya
diketahui pihak non-Katolik.
Setelah menerima pemberkatan pernikahan, lalu Pencatatan Sipil (bisa dibantu koordinasinya
dengan sekretariat Paroki Gereja dimana akan melangsungkan pemberkatan pernikahan, bisa
juga utk mengurus sendiri dgn Catatan Sipil, tapi yg lazim adalah setelah pemberkatan di
Gereja, prosesi dengan Catatan Sipil dilakukan di ruangan lain di lingkungan Gereja, jadi
petugasnya datang). Agama yang akan tercantum di buku nikah akan tertulis sesuai

kenyataan, yaitu Katolik dan Islam atau Buddha atau Kristen atau Hindu. Tidak keduanya
katolik.
Yang hadir dalam pemberkatan pernikahan adalah:
(a) calon mempelai pria dan wanita (tidak boleh diwakilkan),
(b) dua orang saksi. Saksi dalam pemberkatan perkawinan adalah orang yang menyaksikan
berlangsungnya perkawinan yang diakui sebagai saksi kalau ada masalah hukum di kemudian
hari, sekaligus yang berperan untuk menjadi penasehat (yang didengarkan dan dipercaya
pasangan baru) jika ada masalah keluarga pada pasangan baru.
Kalau saksinya keluarga campur beda agama, sebaiknya juga pasangan yang memang
berhasil mengatasi perbedaan agama dalam damai. Jadi saksi adalah suami istri, yang
disetujui oleh pasangan baru yang mau menikah. Bersama-sama mencari saksi ini juga bisa
menjadi latihan bagi pasangan baru untuk membiasakan mencapai tujuan bersama: yaitu
kesejahteraan suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha kasih.
(c) seorang imam.
(d) orang tua pun tidak wajib hadir, karena dianggap sudah dewasa.
Untuk konsultasi mengenai pencatatan sipil dengan petugas sekretariat Paroki Gereja dimana
pemberkatan perkawinan akan berlangsung, sedangkan untuk pengurusan dispensasi dan
pemberkatan pernikahan dengan Pastor.
http://informasikkc-menikahdiindonesia.blogspot.co.id/2011/12/kawin-campur-di-indonesiaantara.html

Pacaran tak seiman, bolehkah?

Agaknya sebelum menentukan pasangan hidup Anda, silakan Anda membaca terlebih dahulu
makna perkawinan Katolik, silakan klik di sini. Mengingat bahwa perkawinan menurut iman
Katolik dimaksudkan untuk menjadi gambaran persatuan kasih antara Kristus dan Gereja-

Pertanyaan:

Nya, maka penting di sini agar kedua pasangan dapat mengambil bagian dalam kesatuan
antara Kristus dan Gereja sebagaimana yang diwujudkan dengan nyata dalam perayaan

Shallom n damai sejahtera, diberkati yang telah datang dan yang berkenan kepadanya

Ekaristi. Padahal kalau salah satu dari pasangan tidak Katolik, maka tidak dimungkinkan bagi

Bro, aq mw bertanya aq orang katholik dan aq punya teman wanita tapi ia beragama kristen,

kedua pasangan untuk menyambut Ekaristi yang sesungguhnya menjadi sumber dan puncak

saya sebagai pelayan di HSM surabaya

kehidupan dan kesatuan kasih mereka sebagai suami istri. (Kecuali jika sebelum perkawinan

saya tanyakan apa boleh kita pacaran dengan beda agama ?

dilangsungkan, pihak Katolik telah meminta dan memperoleh izin dari pihak otoritas Gereja

saya juga tanyakan teman saya didekati sama teman dya mendekati lebih lama, menurut anda

Katolik, maka ia tetap dapat menyambut Komuni setelah menikah). Jika pasangan tidak

apakah lebih mendekatinya atau ikhlaskan saja tapi dengan perhatian ?

mempunyai iman yang sama tentang Ekaristi, (atau bahkan tidak mengimani Kristus, jika

saya juga sibuk kuliah n TA, Tuhan, kerja

beda agama), maka akan sangat sulitlah diperoleh kesatuan hati di inti kehidupan rohani

cewek no sekian

sebagai suami istri, yaitu menghayati kesatuan kasih mereka sebagai bagian dari kasih
Kristus kepada Gereja: bahwa hubungan kasih mereka bukan hanya melibatkan mereka

Jawaban:

berdua saja, tetapi melibatkan juga Kristus sebagai modelnya. Dengan Kristus sebagai
model/ teladannya, maka kedua pihak dapat belajar untuk saling berkorban, saling

Shalom Filicius,

memberikan diri tanpa syarat, terbuka kepada kemungkinan kehidupan, bersama


mengarahkan anak-anak kepada keselamatan kekal melalui Baptisan dan pendidikan iman

Hal memilih pasangan hidup adalah hak azasi manusia, maka Gereja tidak dapat melarang

Kristiani seturut kehendak Tuhan.

umatnya memilih pasangan hidup seturut pilihannya sendiri. Namun Gereja sebagai ibu
bagi umat beriman, berhak memberitahukan juga kepada anak-anaknya, bahwa menikah

Tanpa menimba kekuatan dari Kristus sendiri, akanlah sulit untuk membina hubungan kasih

dengan pasangan yang tidak seiman itu adalah sesuatu yang tidak mudah bagi kehidupan

dan kesatuan antara suami dengan istri. Karena itu, tak mengherankan, jika dalam keadaan

perkawinannya, dan juga beresiko terhadap pertumbuhan imannya sendiri, sehingga

sedemikian, dalam perjalanan waktu ikatan kasih suami istri dapat menjadi rapuh dan

perkawinan dengan pasangan yang tidak seiman memang tidak dianjurkan oleh Gereja

kehidupan keluarga menjadi tidak harmonis. Demikianlah juga yang terlihat dari banyaknya

Katolik. Namun demikian, jika sampai perkawinan dengan pasangan yang tidak seiman ini

surat yang masuk ke redaksi Katolisitas, yang mengisahkan bermacam masalah perkawinan,

tetap harus dilangsungkan, maka Gereja memberikan ketentuan-ketentuannya agar

yang disebabkan karena menikah dengan pasangan yang tidak seiman. Kita telah mengetahui

perkawinan tersebut dapat dikatakan sah di hadapan Tuhan dan Gereja. Adapun ketentuan ini

dari banyaknya fakta akan kesulitan yang dihadapi oleh pasangan-pasangan yang tidak

diberikan demi kebaikan pasangan yang menikah itu sendiri, terutama pihak yang Katolik,

seiman, dan selayaknya ini membuat kita berpikir dua kali untuk memilih pasangan yang

agar ia dapat tetap mempertahankan imannya demi keselamatan jiwanya dan anak-anaknya.

tidak seiman dengan kita. Sedangkan pasangan yang seiman saja sudah memiliki

tantangannya tersendiri (sebab mungkin latar belakang keluarga berbeda, sifat laki-laki dan

mempunyai pandangan yang sama akan makna perkawinan, dan juga tentang keterbukaan

perempuan juga berbeda, dst), apalagi jika ditambah dengan perbedaan ajaran iman.

terhadap kemungkinan kehidupan yang dapat dipercayakan oleh Tuhan kepada Anda berdua?

Maka jika Anda sungguh mempunyai cita-cita untuk membentuk keluarga atas dasar iman

Justru karena nampaknya hubungan Anda belum terlalu jauh dengan teman Anda itu, maka

Katolik, silakan Anda mencari pasangan yang Katolik, demi kebaikan Anda berdua.

ada baiknya Anda pikirkan kembali apakah Anda akan tetap menindak-lanjuti hubungan

Janganlah sampai Anda berpacaran dengan seseorang yang non- Katolik tanpa memikirkan

tersebut. Bawalah ke dalam doa-doa Anda, dan semoga Tuhan membantu Anda untuk

akibatnya, yaitu Anda dapat sampai kepada perkawinan dengan pasangan yang tidak seiman

mengambil keputusan dalam hal ini.

dengan Anda. Silakan Anda pikirkan bagaimana kehidupan rohani Anda sehari-hari
selanjutnya sebagai pasangan, jika hal ini dilakukan. Akankah Anda setia sebagai seorang

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,

Katolik? Dapatkah Anda tetap setia menerima Yesus dalam Ekaristi? Bagaimana mendidik

Ingrid Listiati- katolisitas.org

anak-anak Anda pada prakteknya (cara doa yang bagaimana yang akan diajarkan kepada
anak, ke gereja mana anak akan dilibatkan, dst), jika hal ini dilakukan. Apakah kalian akan

Anda mungkin juga menyukai