Anda di halaman 1dari 2

KASUS NIKAH BEDA GEREJA DAN RENCANA NIKAH GANDA

1. Contoh Kasus
Ada calon pasutri beda Gereja yang akan menikah. Namun, dari keluarga istri yang
adalah kristen protestan menolak jika pernikahan dilangsungkan secara Katolik. Tetapi di sisi
lain, dari pihak keluarga suami yang adalah katolik juga menghendaki agar pernikahan diadakan
secara Katolik. Calon pasutri ini lalu berfikir untuk melalukan pernikahan dengan dua tata cara
keagamaan yaitu secara Katolik dan secara Kristen Protestan. Lantas, bagaimana pastoral dari
Gereja Katolik menghadapi situasi ini?

2. Jawaban
Kanon yang membahas tentang tata perayaan perkawinan ganda terdapat dalam Kanon
1127 § 3. Kanon ini menegaskan bahwa perkawinan dengan peneguhan ganda itu dilarang.
Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1,
mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan
atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan,
dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara
bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri
Prinsip pernikahan dalam Gereja Katolik dikatakan sah jika diteguhkan di hadapan
ordinaris wilayah dalam hal ini uskup atau pastor paroki atau imam atau diakon yang diberi
delegasi oleh salah satu dari mereka itu serta peneguhan itu dilakukan di hadapan dua orang
saksi dan sedapat mungkin saksi yang telah dewasa. (bdk. Kan 1108)
Perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang Protestan itu disebut sebagai
Perkawinan beda Gereja. Perkawinan ini dapat dilakukan jika telah mendapatkan izin (mixta
religio) dari ordinaris wilayah dan jika telah terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Alasan
itu adalah pihak katolik menyatakan bersedia tidak meninggalkan imannya, sekuat tenaga agar
anak-anaknya dibaptis secara katolik, kedua janji tadi harus diketahui dan diberitahukan kepada
pasangannya yang non katolik dan tujuan serta ciri hakiki dari perkawinan tidak boleh
dikecualikan oleh keduanya (bdk Kan 1125).
Perkawinan beda Gereja ini dapat dilakukan secara ekumenis yaitu perkawinan yang
dilaksanakan di hadapan Romo (pelayan Katolik yang lain) dan pendeta (pelayan kristen yang
lain) secara bersama-sama. Perkawinan ini juga bisa dilangsungkan di Gereja Kristen namun
tetap harus izin ordinaris wilayah tempat perkawinan itu dilaksanakan. Yang menanyakan
kesepakatan di dalam pernikahan ekumenis hendaknya dilakukan oleh Romo (pelayan katolik)
(bdk statuta Regio Jawa pasal 125). Namun, jika yang menanyakan adalah pendeta (pelayan
Kristen), maka perlu adanya dispensasi forma canonica. Yang terpenting adalah tidak terjadi
double pernyataan kesepakatan kedua mempelai yaitu kepada pendeta dan kepada Romo. (bdk
statuta Regio Jawa pasal 126). Mengapa dilarang? Karena sangat dimungkinkan terjadinya
simulasi, yakni satu atau kedua mempelai mengeksklusikan kesepakan perkawinan. Dengan
demikian di antara mereka tidak terjadi pemberian dan penerimaan kesepakatan secara timbal-
balik pada waktu yang sama. (statuta Regio Jawa pasal 126)
Lantas apa itu dispensasi atas forma canonica? Dispensasi ini dimintakan kepada
ordinaris wilayah demi pelonggaran akan tuntutan bagi pihak katolik untuk merayakan
perkawinan secara katolik di hadapan pelayan katolik yang berwenang dan dua orang saksi. (bdk
statuta Regio Jawa pasal 122 dan Kan. 1108). Oleh karena itu, agar perkawinan dapat dianggap
sah oleh Gereja Katolik namun dilakukan di hadapan pendeta (pelayan Kristen), maka perlu
adanya dispensasi forma canonica dari Ordinaris Wilayah. Namun hal yang penting adalah,
dispensasi hanya bisa diberikan dengan mempertimbangkan kasus-perkasus, jadi tidak ditetapkan
secara umum.1

3. Kesimpulan
Dalam kasus ini, keluarga dari pihak istri yang beragama Kristen Protestan menolak
untuk anaknya dinikahkan secara Gereja Katolik, dalam artian di hadapan imam dan di Gedung
Gereja Katolik. Oleh karena itu, rasa-rasanya pernikahan secara ekumenis tidak bisa dijalankan
dan pernikahan ganda tetaplah tidak dibenarkan untuk dilakukan.
Hal yang bisa dijalankan adalah pernikahan itu dilakukan di Gereja Kristen dan dilakukan
oleh pendeta dengan meminta dispensasi forma canonica dari Ordinaris Wilayah setempat (bdk
Kan 1127 § 2). Dengan adanya dispensasi forma canonica ini, maka pelayan-yang dalam hal ini
pendeta- dapat menjadi saksi resmi atau peneguh utama (testis qualificatus) dan berhak untuk
menerima kesepakatan nikah dari kedua calon mempelai sesuai dengan peraturan tata peneguhan
religius atau sipil yang berlaku.2 Selain itu, tentu keluarga dari pihak katolik (keluarga suami)
juga harus diberi pemahaman tentang dispensasi ini dan keabsahan perkawinan ini secara Gereja
Katolik.

1
Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 139
2
Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 139

Anda mungkin juga menyukai