Anda di halaman 1dari 7

UTS Budaya dan Pemikiran Indonesia Kontemporer

1. Perjalanan Hibriditas

Kebudayaan bangsa Indonesia bergerak dengan aneka percampuran oleh karena


perjumpaan dengan kebudayaan lain. Percampuran inilah yang disebut sebagai hibriditas.
Hibriditas inilah yang menjadi titik awal dalam pembicaraan tentang budaya Indonesia karena
budaya Indonesia sendiri dalam sejarahnya mengalami perjumpaan dan percampuran.

Pembicaraan tentang hibriditas diawali dengan tulisan Denis Lombard yaitu dalam kasus
di Jawa. Dalam banyak hal, apa yang terjadi di Jawa ini juga berlaku untuk budaya nusantara
secara keseluruhan. Kedatangan Bangsa Asing ke Indonesia awalnya karena motif ekonomi yaitu
dalam bidang perdagangan (Denis Lombard, 1996: 95). Indonesia terkenal dengan kekayaan
alamnya. Hal inlah yang menjadi daya pikat bangsa asing untuk memajukan perekonomiannya.
Salah satu usaha bangsa asing menguasai sumber daya alam Indonesia adalah melalui jalur
perdagangan. Hal ini Nampak dalam VOC yaitu kongsi dagang Belanda. Selain perekonomian,
dalam bidang pendidikan juga akhirnya dimunculkan.

Kedatangan bangsa asing tentu sedikit banyak juga mempengaruhi segala aspek
kehidupan bukan hanya perekonomian. Budaya Barat pun juga pasti akan mempengaruhi dalam
perjumpaan tersebut. Akibatnya, Indonesia dalam perjumpaan itu juga menemukan budaya dan
cara bersosial yang baru.

Perjumpaan-perjumpaan yang terjadi antara penduduk Indonesia dengan Belanda


menyebabkan terjadinya hibriditas. Ada 4 kelompok yang secara umum mengalami hibriditas
yaitu kelompok Kristen, priyayi, tentara dan akademi serta masyarakat kelas menengah.

Meskipun bukanlah menjadi tujuan yang utama, kelompok-kelompok Kristen ini datang
ke Indonesia untuk bermisi. Agama Kristen pada abad ke 19 dan 20 banyak dianut oleh beberapa
orang kejawen dan membuat pembukaan hutan di daerah pemukiman pedalaman. Mereka yang
mendapatkan pengaruh kekristenan adalah para petani yang miskin, mereka yang terpaksa
mengungsi. Dari peristiwa masuknya orang kejawen ke dalam kekristenan, hal ini menunjukkan
bahwa mereka telah bercampur baur dengan unsur-unsur budaya luar yang masuk melalui
kekristenan. (C, Lombard, 1996: 101) Para Romo dan Para Pendeta yang masuk ke Indonesia
memeliki pengetahuan tentang teknik dan modernisasi. Dengan pengetahuannya itu, mereka bisa
masuk ke daerah-daerah terpencil

Gejala pembaratan itu juga muncul karena pengaruh para priyayi. Para priyayi adalah
“adik” raja Mereka memiliki kedekatan dengan raja dan posisi ini adalah posisi yang prestise.
Mereka sangat dihormati oleh masyarakat. (Denis Lombard, 1996: 104). Mereka adalah orang-
orang yang sangat terpengaruh kebudayaan Eropa tetapi mereka tidak mau pindah agama.
Sebagian besar dari mereka beragama Islam. Mereka adalah penghubung antara raja dan
rakyatnya. Bagi mereka, mengabdi Ratu Belanda adalah kehormatan tertinggi sebagaimana
mereka menghormati nenek moyang mereka. (Denis Lombard, 1996: 103) Contoh keturunan
priyayi Indonesia yang sangat dekat dengan bangsa asing dan juga budayanya adalah RA.Kartini,
Raden Saleh, Sunan Amangkurat I&II dll. Dari kedekatan relasi ini, akhirnya dimungkinkanlah
pertukaran budaya.

Raden Saleh memiliki kedekatan dengan bangsa asing karena pendidikannya di Belanda.
Ia sangat menekuni seni dan juga budaya asing. Ia sangat menekuni seni lukis dengan corak
Barat. RA.Kartini memiliki kedekatan dengan budaya asing dalam hal ini Belanda karena ia
mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa Belanda. Di sekolahnya itu pula, ia memiliki
konsep pemikiran tentang emansipasi wanita. Pemikiran emansipasi wanita ini sebenarnya juga
pola pemikiran Barat. Selain hal-hal yang positif tersebut, ada pula priyayi-priyayi yang
melakukan pembaratan hanya demi mengejar prestise diri dan status saja. Pembaratan juga
terjadi dalam ranah akademik dan militer. Pada Tahun 1942 ketika Jepang datang, proses pembaratan
terputuh karena adanya perang pasifik. Para barisan tentara ini dibutuhkan untuk berperang dan akhirnya
memang terpengaruh budaya Barat. Begitu pula dalam bidang pendidikan, Para Akademisi mulai mengisi
Universitas dengan kurikulum pendidikan Barat. dengan munculnya universitas seperti UGM, UI,
ITB dan lain-lain. (Denis Lombard, 1996: 117-123). Selain itu, kaum kelas menengah yang
adalah kaum elit dan tuan tanah pasti terkena dampaknya pula.

Dari realitas di atas, jelas bahwa Indonesia memiliki pelbagai latar belakang dan sejarah
serta perkembangannya. Dengan pembaratan, Indonesia mulai sedikit melangkah maju melalui
pendidikan. Inilah nilai positifnya. Namun juga perlu diakui, ada hal-hal negatif pula dari
pembaratan yaitu motivasi mengejar prestise diri dan status. Hal ini patut diwaspadai karena
akan menghambat perkembangan bangsa.

Hibriditas yang terjadi di Indonesia ini selain oleh karena Pembaratan juga karena ada
stimulus Islam. Ada dua hal yang menarik dalam argumen Lombard tentang stimulus Islam.
Kalau tadi dalam pembaratan muncul kelompok-kelompok priyayi, nah di stimulus Islam ini
justru muncul usaha penyamarataan dalam pelbagai hal. Hibriditas dengan Islam juga terjadi
dengan kebudayaan lokal setempat yang sudah ada sebelumnya

Dalam usaha penyamarataan, ada undang-undang (timbal balik yang mengatur tentang
kewajiban bagi yang kaya dan yang miskin. Yang kaya harus membantu yang miskin
(zakat/sedekat) dan yang miskin juga harus berbakti kepada yang kaya. Selain dari segi materi,
dari segi “sembahyang” juga muncul penyamarataan. Kaum bawah dan kaum atas menjadi sama
ketika di masjid. Mereka semua meninggalkan “harta milik” di bagian luar masjid sehingga
ketika memasuki masjid berada dalam keadaan yang sama. Inilah semangat egaliter yang coba
dibangun dari stimulus Islam. (Denis Lombard, 1996: 174)

Di kuburan atau makam juga terjadi penyamarataan. Sebelum stimulus Islam, yang boleh
“meninggalkan jejak” (nisan) adalah kaum borjuis (berpunya). Setelah islam masuk, terjadilah
penyederhanaan makam/nisan beserta penyederhanaan upacara pemakaman. Budaya salaman
juga berubah. Awalnya, orang kecil memberi hormat kepada orang yang lebih tinggi dengan cara
menyembah, setelah stimulus Islam, cukup bersalaman saja. Dari penyamarataan ini, setiap
orang dihimbau untuk hidup sederhana, sehingga sikap pamer adalah tindakan yang dilarang
keras. (Denis Lombard, 1996: 175)

Selain penyamarataan, budaya Islam dan budaya lokal juga mengalami hibriditas.
Sebagian besar yang mengalami pengaruh hibriditas ini adalah orang pesisir yang mengalami
banyak perjumpaan antara orang setempat dengan pedagang. Dari sisi artsitektur, kubah-kubah
bertingkat di masjid dan juga nisan bertingkat mengadopsi budaya Hindu Bali. Dalam sistem
penanggalan pula terjadi hibridasi antara kalender saka dan kalender hijriah. Sultan Agung
memaadukannya dengan sebutan Qomariyah (12 bulan dengan masing-masing 29 hari).
Pembagian hari juga dibagi berdasarkan waktu shalat. Dalam peringatan-peringatan Islam juga
menumpangi ritme tahun saka. Konsep kematian juga yang dulunya kolektif, kini menjadi
perayaan pribadi saja. Pun juga dalam sastra.

Selain budaya yang hibrid sebagaimana dijelaskan di atas, dinamika pemikiran juga
mengalami hibrid. Hal ini juga nantinya mempengaruhi karakter pribadi pemikir. Para pemikir
sebagian besar mengalami hibrid oleh karena pendidikan. Misalnya, seorang dari Minangkabau
yang studi di luar negeri lalu mengadopsi budaya dari luar namun tetap mengusung budayanya.
Ada beberapa tokoh yang mengalami hibrid sehingga mempengaruhi pribadi, karakter dan
pemikirannya.

Sutan Sjahrir, seorang yang berasal dari Minang tentu sangat dipengaruhi oleh kulturnya
dalam kepribadian. Orang-orang Minang itu suka merantau, maka pikirannya terbuka. Sutan
Sjahrir itu muslim tetapi terbuka akan ide sosialis. Selain itu, ia juga terpengaruh dengan
pemikiran sosialis Eropa karena perjumpaannya. Pengaruh kultur rantau (XXVII) Minangkabau
juga mewarnai Hatta, dan Sutan Takdir Ali syabana. Contoh lain adalah dari Tan Malaka, ia
memiliki pemikiran tantang Madilog (Materialisme, Dilektika dan Logika). Cara pikir ini juga
diambilnya dari budaya barat yang rasional. (Harry A.Poeze, 1999: XXV)

Muhammad Hata juga mengalami mengalami perjumpaan dengan orang-orang Belanda,


meskipun demikian, karena ia seorang muslim yang taat dibarengi dengan pemikirannya, ia tidak
sebegitu terpengaruh dengan pandangan Barat. Ia justru menerapkan religiusitas dan keagamaan
dalam konteks pemikirannya. (Deliar Noer, Tempo, 18 Agustus 2020: 80). Dalam sejarahnya, agama
berkembang dalam kebudayaan tertentu. Ki Hajar Dewantara juga memberikan pendapat bahwa
tabiat agama itu berbeda-beda sesuai dengan konteks kultur dalam dinamikanya. Agama
berkaitan erat dengan budaya setempat. Ki Hajar Dewantara juga menyatukan konsepsi tentang
budaya dan pendidikan. Ki Hadjar Dewantara sangat dipengaruhi oleh pemikiran tradisionalnya.
(Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2013: 40-43)

Dari penjelasannya ini nampak bahwa, oleh karena perjumpaan antara kedua budaya
yang berbeda, maka akan menimbulkan hibriditas baik yang terwujud nyata dalam kebudayaan
baru maupun dalam pikira.
2. Sintesis
a. Sintesis Budaya
Budaya menurut Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisyabana adalah seorang yang selalu ingin tahu, ia tertarik akan alam
pikiran. Ia selalu merefleksikan pengalamannya dan karena itu ia membaca. (Abu Hasan
Asy`ari (ed), 2008: 109). Ia memiliki pendapat tentang kebudayaan. Ia berfikir bahwa kalua
bagsa Belanda yang kecil itu bias menaklukkan seluruh bangsa Indonesia dengan mudah,
maka hanya dengan kembali ke kebudayaan sendiri, tidak mungkin menjadi jalan yang betul
bagi Indonesia. Indonesia harus belajar dari Barat. Di barat terjadi Renaissance atau zaman
pembebasan manusia dari pandangan dunia yang teosentris ke pandangan manusia yang
antroposentris. Pandangan ini berarti peralihan dari segala-galanya dari sudut pandang Allah
menjadi segala-galanya dari sudut pandang manusia. (Abu Hasan Asy`ari (ed), 2008: 110)
Dalam pemahaman Sutan Takdir, bahwa kebudayaan itu berasal dari budi atau budi
adalah dasar segala kehidupan kebudayaan manusia. Budi inilah yang membedakan manusia
dengan hewan. Dengan budi, manusia bisa memberikan penilaian sedangkan binatang tidak.
Kelakuan yang dilakukan binatang adalah apa yang menjadi nalurinya. Berbeda dengan
manusia, manusia bebas untuk menentukan kegiatannya oleh karena budinya. Budi adalah
kesatuan antara pikiran, kemampuan dan fantasi yang menjadikan dorongan-dorongan hidup
dasar manusia, insting dan perasaan menjadi dorongan yang khas manusiawi. . (Abu Hasan
Asy`ari (ed), 2008: 113).
Oleh karena adanya budi dalam diri manusia, manusia dapat menilai sesuatu dan tidak
harus langsung beraksi terhadapnya (tidak seperti hewan). Karena budi, manusia bisa
bersikap kritis. Manusia bisa memiliki kebebasan dan oleh karena itu harus
bertanggungjawab atas perbuatannya. Itu yang disebut sebagai filosofi dasar. Manusia adalah
makluk bebas dan bisa bertanggungjawab karena manusia berorientasi pada apa yang bernilai
baginya. (Abu Hasan Asy`ari (ed), 2008: 114).
Bagi Sutan Takdir Alisyabana, nilai-nilai merupakan kekuatan-kekuatan integrative
manusia, masyarakat dan budaya. Ada 6 nilai dari filosof dan pedagog Jerman Eduard
Spranger yaitu nilai-nilai teoritis (ilmu pengetahuan), nilai ekonomis (untung-rugi), nilai
religious, nilai estetik, nilai politis dan nilai sosial. Keenan nilai tersebut menurut Takdir
menentukan system moral yang khas dari kepribadian manusa, setiap kelompok social dan
setiap kebudayaan. (Abu Hasan Asy`ari (ed), 2008: 115). Pengintegrasian keenam nilai
tersebut menentukan keutuhan manusia dalam tiga dimensi yaitu integrase instingtual,
emosional dan intelektual. Dengan Bahasa Plato, ketiga dimensi tesebut adalah Budi, hati,
dan perut. Konfigurasi keenan nilai tersebut mencirikan budi dari individu ataupun kelompok
ataupun kebudayaan. (Abu Hasan Asy`ari (ed), 2008: 116).
Takdir memuja dan mengaguni modernitas. Modernitas memiliki ciri bahwa kemajuan
dikejar dengan sadar. Pola hidup orang-orang pra modern adalah status atau sekedar
mempertahankan keadaannya, sedangkan modernitas maju dan maju terus karena terdorong
Ilmu Pengetahuan. Ini yang menjadi ciri khas modernitas. Hal ini berbeda dengan
tradisionalisme yang mengedepankan nilai-nilai agama, seni dan solidaritas. Sutan Takdir
Alisjahbana menyebut kebudayaan-kebudayaan yang ditata menurut nilai-nilai dalam
religiusitas, estetis dan kebersamaan sebagai kebudayaan-kebudayaan ekspresis, sedangkan
masyarakat dengan ilmu pengetahuan dan perekonomian disebut sebagai kebudayaan-
kebudayaan progresif. (Abu Hasan Asy`ari (ed), 2008: 119). Seni yang tidak didukung
dengan nilai religious dan ilmu, makan akan cenderung menjadi decade. Sebaliknya, agama
yang tidak didukunga dengan nilai seni dan ilmu pengetahuan, maka akan kering dan beku.
Oleh karena itu, kebudayaan adalah hal yang penting dalam pembangunan bangsa apalagi
jika bangsa tersebut sedang membentuk kepribadiannya yang sesuai dengan perkembangan
zaman.

b. Sintesis Agama
Hatta dan Sintesis Keagamaan
Muhammad Hatta adalah seorang muslim yang taat. Wajar saja, Ia adalah keturunan
Ulama besar di Batu Hampar. Selain itu, ia juga cepat dalam berkecimpung dengan
pergerakan nasional. (Deliar Noer,Tempo, 18 Agustus 2020: 80). Meskipun ia memiliki latar
belakang Islam yang kuat, ia tidak menjadi seorang agamawan Islam yang keras. segala
tindak-tanduk, tingkah laku dan perjuangannya menemukakan cita-cita politik, ekonomi dan
sosialnya, ia selaraskan dengan tuntutan Islam secara bijak. Islam baginya adalah ajaran
agama yang bukan hanya memimpin tingkah lakunya, tetapi juga membina pandangannya
tentang kehidupan masyarakat dan negara. (Deliar Noer,Tempo, 18 Agustus 2020: 80).
Baginya, Islam otomatis termasuk dan berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan negara.
Ada dua hal yang sangat mempengaruhi Hatta dalam memandang dan memahami Islam.
Kedua hal tersebut adalah hablum minallah, hablum minannas (hubungan dengan Allah dan
hubungan dengan manusia). Bagi Hatta, rasa keberimanan kepada Allah harus dipupuk dan
ditindaklanjuti dengan amal dan perbuatan. Hal ini sesuai dengan Quran suart Al-Muzammil
(surat 73). Cara memupuk rasa keberimanan kepada Allah dengan mengerjakan shalat setiap
malam dan membaca Alquran dengan sepenuh hati. (Deliar Noer,Tempo, 18 Agustus 2020:
80)
Hatta mengingatkan bahwa hidup di dunia hanya sementara, maka bumi harus dipelihara
dan nantinya ditinggalkan dalam keadaan yang lebih baik dari masa di mana kita hidup. Hal
ini adalah sarana untuk membangun masyarakat dan negara (rujukan Hatta pada Q.S Ali
Umran 4:109). Bagi Hatta, perjuangan untuk membela tanah air, bangsa serta masyarakat
adalah tugas hidup sebagai manusia. Hal ini nampak dalam realitas hidupnya. Ketika Hatta
dibuang ke Digul dan Banda Neira, ia tidak patah semangat dan tekat. Ia tetap berbuat baik
bagi tanah air, bangsa dan masyarakat. Ketika ia berada di Belanda, ia pun juga menulis,
berpidato dan bahkan terlibat dalam konferensi Internasional guna memerdekakan
negerinyadan mencerdaskan bangsa terutama dalam hal politik. Ia berusaha untuk
memperjuangkan kesatuan suku, ras, dan bahkan agama. (Deliar Noer,Tempo, 18 Agustus
2020: 81).
Muhammad Hatta tidak bisa dilepaskan dengan ketujuh kata yang dihilangkan dalam sila
Pertama dalam Piagam Jakarta, “Ketuhanan dengan Menjalankan syariat-syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Mohamad Hatta memiliki argumen atas penghilangan ketujuh kata
tersebut. Meskipun ketujuh kata tersebut hilang, tetapi syariat Islam tetap bisa
dilaksanakan.Hatta berusaha untuk hidup di antara segi Islam dan kebangsaan. Ia juga
berusaha hidup dalam kesatuan antara keduanya yaitu membaktikan diri pada Allah dalam
perjuangan hidupnya bagi bangsa. (Deliar Noer,Tempo, 18 Agustus 2020: 8).

3. Perdebatan Gagasan
Sosialisme Sutan Sjahrir, Hatta, dan Tan Malaka

Sosialisme Sjahrir didasarkan pada kerakyatan. (Sjahrir, 1946: 15). Artinya pemerintahan rakyat
yang dilaksanakan oleh rakyat dan untuk rakyat atau demokrasi serta mengandung hak kemanusiaan.
Sjahrir memberikan penegasan bahwa kerakyatan haruslah menghindarkan dari fasisme (Sjahrir, 1946:
16).Ia bersama dengan kaum buruh, kaum tani, kaum miskin, dan kaum terpelajar berjuang untuk
mendirikan masyarakat sosialis di Indonesia. (Sjahrir, 1946: 18)

Pemikiran sosialisme Sjahrir ini bisa dilihat dari pandangannya tentang ajaran Negara,
masyarakat serta ekonomi. Pembangunan rakyat dan masyarakat diharapkan bukan hanya dari uang saja
melainkan yang terpenting adalah manusianya. Pembangunan ini menyadarkan kembali jiwa masyarakat
tentang cita-cita, oleh karena itu, masyarakat harus giat bekerja untuk memperoleh apa yang dicita-
citakan itu. (Sjahrir, 1946: 32)

Dalam beberapa hal, pemikiran Sjahrir tentang sosialisme itu serupa dengan Hatta, namun ada
sedikit perbedaan yaitu Hatta tidaklah seratus persen percaya akan demokrasi Barat atau antara Ya dan
Tidak (Frans Magnis Suseno,SJ, Tempo, 18 Agustus 2020: 85). Sosialisme Hatta lebih didasarkan pada
religiusitas. (Deliar Noer, Tempo, 18 Agustus 2020: 80). Demokrasi sosial dari Hatta lebih bersifat
demokrasi. Perbedaan utama dari keduanya adalah, Sjahrir merupakan sosialis yang kebarat-baratan
sedangkan Hatta tidak.

Tentang sosialisme sendiri ada tokoh lain yang bernama Tan Malaka. Ia sangat minat pada
politik. Di masanya, bangsa Indonesia sedang dikuasai oleh para penjajah dan para pemilik tanah
(feudal) yang berasal dari negeri Belanda. Ia sangat prihatin akan keadaan Indonesia yang sangat
dikuasai oleh sistem kapitalis. Penindasan dan perbudakan banyak sekali terjadi. Ia berpendapat
bahwa system kapitalis yang melahirkan kolonialisme dan imperialism itulah yang menjadikan
bangsa Indonesia terjajah dan terbudak secara tidak manusiawi. (Harry A.Poeze, 1999: XIV).
Hal ini yang menimbulkan pertanyaannya, mengapa Indonesia terjajah sebegitu lama? Hal itu
karena mental budak yang ada di kalangan rakyat Indonesia. Orang Indonesia karena malas dan
tidak berani berpikir, mudah percaya kepada hal-hal yang tidak masuk akal, takhayul menjadikan
bangsa Indonesia mudah untuk dijajah dan diperbudak. Oleh karena itu, mental baru harus
diciptakan yaitu menjadi manusia rasional. Caranya adalah dengan mengembangkan pola fikir
materialism, dialektika, dan logika atau disingkat MADILOG. Cara pikir madilog ini diambilnya
dari cara pikir barat yang rasional. Dalam MADILOG sendiri, hal yang ditekankan adalah
kekuatan ide sebagai perangsang atau pembaharu bagi masyarakat. (Harry A.Poeze, 1999:
XXIII-XXIIV).Tentu pemikiran ini hampir sama dengan pemikiran Sjahrir yaitu tetap
berpedomkan pikiran dalam budaya Barat.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kitab Kebijaksanaan
    Kitab Kebijaksanaan
    Dokumen4 halaman
    Kitab Kebijaksanaan
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Tanggapan Artikel Paulus
    Tanggapan Artikel Paulus
    Dokumen4 halaman
    Tanggapan Artikel Paulus
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kristologi
    Kristologi
    Dokumen4 halaman
    Kristologi
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Rohkat
    Rohkat
    Dokumen24 halaman
    Rohkat
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Iman, Harapan, Kasih
    Iman, Harapan, Kasih
    Dokumen12 halaman
    Iman, Harapan, Kasih
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kitab Kebijaksanaan
    Kitab Kebijaksanaan
    Dokumen8 halaman
    Kitab Kebijaksanaan
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Perting
    Perting
    Dokumen13 halaman
    Perting
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Uas Metafisika
    Uas Metafisika
    Dokumen4 halaman
    Uas Metafisika
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Tesis 9
    Tesis 9
    Dokumen3 halaman
    Tesis 9
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Yesaya
    Yesaya
    Dokumen19 halaman
    Yesaya
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Suhrawardi
    Suhrawardi
    Dokumen1 halaman
    Suhrawardi
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Pemikiran Al Ghazali
    Pemikiran Al Ghazali
    Dokumen1 halaman
    Pemikiran Al Ghazali
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Rinpoche
    Rinpoche
    Dokumen1 halaman
    Rinpoche
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Gusti Sangkan Paraning Dumadi
    Gusti Sangkan Paraning Dumadi
    Dokumen2 halaman
    Gusti Sangkan Paraning Dumadi
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Pencerahan Zen
    Pencerahan Zen
    Dokumen1 halaman
    Pencerahan Zen
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kasus Halangan Ganda
    Kasus Halangan Ganda
    Dokumen2 halaman
    Kasus Halangan Ganda
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kasus Halangan Ganda
    Kasus Halangan Ganda
    Dokumen2 halaman
    Kasus Halangan Ganda
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Ujian Tengah Semester
    Ujian Tengah Semester
    Dokumen10 halaman
    Ujian Tengah Semester
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • UAS Moral Perkawinan
    UAS Moral Perkawinan
    Dokumen10 halaman
    UAS Moral Perkawinan
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Makna Pembaptisan Yesus
    Makna Pembaptisan Yesus
    Dokumen6 halaman
    Makna Pembaptisan Yesus
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • UTS Romo Bagus
    UTS Romo Bagus
    Dokumen6 halaman
    UTS Romo Bagus
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • UTS Moral Fix
    UTS Moral Fix
    Dokumen4 halaman
    UTS Moral Fix
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kitab Kebijaksanaan
    Kitab Kebijaksanaan
    Dokumen8 halaman
    Kitab Kebijaksanaan
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Filsafat Kontemporer
     Filsafat Kontemporer
    Dokumen2 halaman
    Filsafat Kontemporer
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Yesus Meredakan Angin
    Yesus Meredakan Angin
    Dokumen9 halaman
    Yesus Meredakan Angin
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Kristologi
    Kristologi
    Dokumen6 halaman
    Kristologi
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Paulus
    Paulus
    Dokumen6 halaman
    Paulus
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • MEtafisika
    MEtafisika
    Dokumen2 halaman
    MEtafisika
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat
  • Masalah Sinoptik
    Masalah Sinoptik
    Dokumen4 halaman
    Masalah Sinoptik
    Felix Kris Alfian
    Belum ada peringkat