NIM: 186114021
1. Ciri post-modern, pandangan nietzche dan penerapan dalam teologi
Setidaknya ada 6 ciri-ciri iklim pemikiran postmodern. Yang pertama, apresiasi terhadap
keberagaman sejarah dan budaya. Kedua, menolak pembedaan dalam kerangka hierarkisasi. Ketiga
menolak narasi-narasi besar peradaban barat. Keempat, berpikir dengan analaogi, luwes, plurivok
menentang pemikiran univok, tekanan logis, teknis, demonstrative dan normative. Kelima, tekanan pada
nilai toleransi, pluralitas, kebebasan dan damai. Keenam, tertarik pada ciri lokal kehidupan di mana
kehidupan manusia terungkap dan curiga terhadap utopia.
Para pemikir postmodernisme beranggapan bahwa tidak ada Ilmu yang kebenarannya absolut,
semuanya relative. Suatu peristiwa harus dilihat dari berbagai aspek sehingga tidak hanya melihat dari
aspek tertentu saja tetapi kontekstual. Sumbangan pemikiran postmodernisme bagi teologi adalah Allah
tidak lagi dilihat berdasarkan sesuatu yang mutlak, melainkan memainkan rasa-perasaan (relative). Selain
itu, dalam kehidupan menggereja pun melihat sisi pluralitas dan toleransi terhadap yang lain.
Pemikiran Nietzsche yang mempengaruhi postmodernisme adalah perspektivisme. Perspektivisme
adalah kebenaran tergantung pada perspektif yang dipilih sehingga tidak ada kebenaran yang mutlak atau
bermakna tunggal. Kebenaran adalah hasil dari kumpulan tafsiran atas fenomena dari si penafsir.
Perspektivisme ini bisa ditatapkan dengan pelbagai macam penafsiran yang muncul dalam Kitab Suci dan
juga ada berbagai macam penafsiran tentang Teologi.
2. Konsep “intensionalitas” & “reduksi” Husserl! fungsinya dalam penafsiran teks dan teologi!
“Intensionalitas” tidak bisa dilepaskan dari fenomena. Fenomena adalah realitas yang “ada” dan
nampak. Sedangkan intensionalitas adalah kesadaran akan fenomena tersebut. “Reduksi” juga
berhubungan dengan “epoche”. “Epoche” adalah menunda untuk percaya supaya lebih jelas. Untuk bisa
tahu secara murni memang dibutuhkan jarak. Nah, reduksi adalah proses untuk mencari fenomena yang
murni atau menyingkirkan aspek subyektivitas. Ada tiga macam reduksi: Reduksi Eidetis
(menghilangkan aksesoris, esensi masih ada), Reduksi Fenomenologis (menghilangkan perasaan/hasrat)
dan Reduksi transendental (Melampaui hal yang seharusnya terjadi tetapi tetap bebas)
Intensionalitas dan reduksi tentu berfungsi dalam penafsiran teks dan refleksi teologi. Dalam
penafsiran teks dan refleksi teologi tentu harus dibarengi dengan kesadaran (intensi) dan reduksi. Hal ini
nampak dengan metode yang ada dalam penafsiran teks yaitu sinkronis dan diakronis. Dalam penafsiran
bukan hanya sekedar apa yang terdapat dalam teks, tetapi juga konteks di balik teks tersebut. Begitu pula
dalam berteologi, fenomena yang terjadi dalam realitas diamati bukan hanya menjadi sekedar fenomena
melainkan bisa direfleksikan secara teologi.
3. Episteme, Panoptikon dan penggunaannya