Anda di halaman 1dari 4

MEMBOCORKAN RAHASIA SAKRAMENTAL OLEH BAPA

PENGAKUAN SEBAGAI PENYALAHGUNAAN DAN TINDAK


PIDANANYA

Oleh: Leonardus Satrio Priambodo

Pengantar

Dalam pelayanan-Nya mewartakan Kerajaan Allah dan memberikan kesembuhan,


Yesus memberikan pengampunan atas dosa-dosa. Kehadiran Yesus yang memberikan
pengampunan di dunia ini dilanjutkan dalam diri para gembala kita, yaitu para imam. Dengan
demikian, Yesus mempercayakan pelayanan Sakramen Rekonsiliasi kepada para gembala
(Mat 18:18; Yoh 20:23; 2 Kor 5:18).

Dalam melaksanakan tugas menerimakan sakramen pengampunan dosa, seorang


imam dituntut untuk merahasiakan dosa-dosa yang diakukan oleh umat. Rahasia pengakuan
dosa itu mencakup semua dosa, baik ringan maupun berat. Demikian juga termasuk yang
harus dirahasiakan ialah obyek dosa, situasi dosa, dan semua pengetahuan yang diperoleh
serta tentu juga jati diri peniten. Inti rahasia pengakuan ialah menjaga agar tidak terjadi
identifikasi antara dosa dan pendosa, artinya orang tidak bisa mengetahui bahwa pendosa
tertentu melakukan dosa tertentu.

Akan tetapi, jika terdapat seorang imam yang melanggar untuk merahasiakan isi dosa
umat yang dikatakan saat sakramen rekonsiliasi, terdapat hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada imam itu. Dalam paper ini, penulis hendak menerangkan dasar-dasar yuridis tekait
dengan penyalahgunaan bapa pengakuan dalam melanggar rahasia sakramental dan tindak
pidananya berdasarkan Kitab Hukum Kanonik.

Pelayan sakramen Tobat

Dalam Kan. 965 dan 966, pelayan sakramen tobat hanyalah imam yang tentunya
memiliki kuasa kuasa tahbisan (potestas ordinis). Fakultas untuk menerimakan sakramen
tobat itu diberikan kepada para imam yang terbukti cakap melalui ujian, atau yang
kecakapannya telah nyata dari cara lain (Kan. 970). Kecuali bagi imam yang tidak memiliki
fakultas itu, akan dikenakan interdik latae sententiae atau diangap sebagai penyalahgunaan
(Kan. 966–§2; 1378–§2, 20). Pencabutan fakultas itu hanya berlaku tergantung pada
Ordinaris. Jika yang mencabut adalah Ordinaris yang memberikan fakultas itu, makai ia tidak
dapat memnerimakan sakramen tobat di manapun. Akan tetapi, jika fakultas itu dicabut dari
ordinaris wilayah lain, makai a tidak dapat menerimakan sakramen tobat di wilayah tersebut
(Kan. 974–§2). Hal tersebut tidak berlaku, artinya menjadi kembali licit, hanya jika peniten
dalam bahaya mati (Kan. 976).

Kewajiban Imam dalam Sakramen Tobat

Sebagai seorang imam yang memiliki fakultas menerimakan sakramen tobat, ia


dituntut untuk menjaga rahasia pengakuan. Dalam Kan. 983–§1 dikatakan bahwa, “Rahasia
sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa
pengakuan dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain serta atas dasar apa pun
mengkhianati pasien sekecil apa pun.” Dalam Kan. 984–§1, dikatakan pula bahwa, “Bapa
pengakuan sama sekali dilarang menggunakan pengetahuan yang didapatnya dari pengakuan
yang memberatkan peniten, juga meskipun sama sekali tidak ada bahaya membocorkan
rahasia”. Dengan demikian, seorang imam memiliki kewajiban untuk mnejaga kerahasiaan
dosa-dosa yang disampaikan oleh umat pada saat sakramen rekonsilisiasi, entah itu hal kecil
dan tidak penting sekali pun.

Penyalahgunaan dan Tindak Pidana Bagi Imam Yang Membocorkan Rahasia


Pengakuan

Dalam Kan. 1388 – §1 dikatakan bahwa, “Bapa pengakuan, yang secara langsung
melanggar rahasia sakramental, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi
Tahta Apostolik; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya
dihukum menurut beratnya tindak-pidana”. Dari penjelasan dalam kanon di atas dapat
diketahui bahwa hukuman yang dijatuhkan bagimam yang menyalahgunakan wewenangnya
dalam menerimakan sakramen tobat, dijatuhi hukuman ekskomunikasi latae sententiae.
Hukuman ekskomuniasi merupakan salah satu dari hukuman medisinal atau censura yakni
hukuman yang dimaksudkan untuk pertobatan, perbaikan, penyembuhan (KPKRJ ps. 149, no.
3a). Ekskomunikasi merupakan hukuman yang mengeluarkan orang dari komunio Gereja
Katolik (Kan. 1331). Sedangkan latae sententiae artinya suatu sanksi yang diterima secara
otomatis atau langsung kena (KPKRJ ps. 149, no. 2). Jadi, seorang imam yang
menyalahgunakan atau melanggar tanggungjawabnya untuk menjaga rahasia pengakuan,
akan secara otomatis dikenakan hukuman ekskomunikasi latae sententiae. Akan tetapi perlu
dicermati pula bahwa hukuman ekskomunikasi itu tidak berlaku jika ia baru pertama kali
melakukan hal tersebut dan sebagai gantinya hanya diberikan peringatan persaudaraan
maupun teguran, baik secara tertulis maupun lisan (Kan. 1341 dan 1347– §1).

Kewajiban menjaga atau menyimpan rahasia pengakuan merupakan kodrat dari


Sakramen Tobat itu sendiri.1 Sumber peraturan ini ialah: A. Hukum Kodrat. Dari kodratnya,
hukum ini hendak memberikan keadilan, untuk menjaga jangan sampai nama baik, entaj
peniten atau orang lain yang berkaitan dengan pengakuan tersebut dirugikan olehnya, untuk
menghindari setiap kerugian yang mungkin doalami peniten, dan penyalahgunaan lainnya.
Karena berasal dari hukum kodrat, maka kewajiban ini bersifat tetap, dalam arti berlaku
selamanya, walaupun imam tersebut telah mendapat dispensasi dari hidup selibat atau sudah
dilaisasi, atau peniten sudah meninggal dunia sekalipun. B. Hukum Positif. Hukum ilahi
positif (hukum ilahi tertulis) mewajibkan umat untuk mengakukan dosa, maka dengan
sendirinya lahir pula kewajiban untuk menjaga rahasia pengakuan tersebut. Dengan kata lain,
hukum ini hendak melindungi peniten dan martabat Sakramen Tobat.2 C. Hukum Gereja
Positif. Hukum Gereja merumuskan atau mengkokretisasikan hukum ilahi dan menetapkan
hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Konsili Lateran IV tahun 1215 menyatakan
bahwa bapa pengakuan mutlak tidak boleh mengkhianati peniten entah dengan perbuatan
atau kata-kata atau tanda-tanda.3

Pada tahun 1988, hukuman ekskomunikasi latae sententiae ditetapkan oleh


Congregasi Ajaran Iman dengan otorisasi kepausan khusus bagi siapa pun yang dengan
sengaja menggunakan instrument teknis untuk merekam dan/atau mempublikasikan di media
massa apa pun mengenai apa pun yang dikatakan dalam pengakuan sakramental oleh bapa
pengakuan dan peniten. Hal tersebut tampaknya didorong oleh penyalahgunaan public yang
keterlaluan atas hubungan imam-peniten untuk tujuan komersial.4

Dalam kan. 1388– §1 juga ditunjukkan bahwa penyalahgunaan tersebut hal tersebut
hanya dapat direservasi oleh Tahta Apostolik. Artinya, pencabutan hukuman hanya dapat
dilakukan oleh pihak kepausan, bukan oleh uskup atau sesama rekan imam. Untuk
1
Kewajiban ini bersifat mutlak. Kewajiban ini tidak sama dengan kewajiban menjaga rahasia pada diri
pengacara, dokter, perawat atau petugas Kesehatan lainnya. Kewajiban para professional ini tidaklah mutlak,
karena bisa diungkapkan, misalnya untuk melindungi pihak ketiga. Rahasia yang harus dijaga para professional
ini bisa dibuka atas perintah pengadilan sipil, atau secara langsung demi misalnya untuk melindungi anak dari
bahaya penganiayaan seksual, meindungi orang yang diancam dibunuh dll. (Bdk. Herman Yosef, sakramen dan
Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, (Obor: Jakarta, 2019), 117.
2
Herman Yosef, 117.
3
Herman Yosef, 118.
4
John Beal, The New Commentary Of Code Of The Canon Law, (New York: Paulist Press), 1592.
memberhentikan hukuman itu, maka imam yang bersangkutan perlu mengurusnya dengan
meminta bantuan kepada uskup diosesan setempat untuk meminta pihak Tahta Apostolik
mencabut hukuman tersebut.

Dalam kasus kebocoran rahasia pengakuan, hal ini perlu diselidiki dengan cermat.
Jika terdapat wacana bahwa rahasia seseorang terungkap, apakah memang benar bahwa itu
memang dikarenakan oleh karena adanya pengakuan dosa yang dibocorkan atau orang yang
bersangkutan membocorkan sendiri rahasia itu ke orang lain?

Penutup

Tindakan membocorkan rahasia pengakuan dosa oleh seorang imam adalah tindakan
penyalahgunaan di mana dikenai hukuman ekskomunikasi latae sententiae. Seorang imam
yang melakukan hal tersebut perlu diselidiki kebenarannya dan dijatuhi hukuman dengan adil
sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Jika baru pertama kali atau mungkin karena
ketidaksengajaan, alangkah lebih bijak jika pertama-tama diberikan peringatan persaudaraan
sebelum memberikan hukuman sebagaimana mestinya. Hukuman atas adanya
penyalahgunaan semacam ini baik jika umat juga mengetahui supaya umat pun juga tidak
ragu atau takut untuk mengakukan dosanya dengan alasan rahasia pengakuan dapat
dibocorkan.

Sumber:

 Kitab Hukum Kanonik 1983 (Obor: KWI, 2016).


 Ketentuan Pastoral Keuskupan Regio Jawa (2016).

 John Beal, The New Commentary Of Code Of The Canon Law, (New York: Paulist
Press).
 Herman Yosef, sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, (Obor: Jakarta,
2019).

Anda mungkin juga menyukai