Anda di halaman 1dari 4

TUGAS BELAJAR

MORAL SAKRAMEN BAPTIS DAN KRISMA

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/II

Soal

1. Dalam keadaan normal yang membaptis adalah Imam atau Diakon atau Uskup. Mengapa
demikian?
2. Apakah seorang Imam harus diminta untuk membaptis dalam keadaan darurat? Jelaskan
alasanmu.
3. Apakah seorang yang kurang normal otaknya bisa diminta membaptis orang? Apa alasanmu.

Jawaban

1. Dalam Kanon dikatakan bahwa pelayan biasa baptis adalah Uskup, presbiter (imam) dan
diakon1. Dengan kata lain, bahwa dalam keadaan normal atau tidak dalam keadaan darurat
(tanpa ada pelayan tertahbis), maka yang menjadi pelayan baptis adalah Uskup, Imam dan
diakon. Para klerus ini adalah pelayan resmi yang oleh Gereja telah diberi kewenangan untuk
memberikan Sakramen Permandian (baptis) kepada para calon baptis. Mereka yang telah
ditahbiskan adalah mereka yang menurut tugas yang diberikan kepada mereka menjalankan
tugas tersebut dengan baik dan semestinya. Tahbisan yang diterima oleh para klerus ini
menjami mereka untuk menerimakan sakramen baptis kepada orang yang akan dibaptis.
Rahmat Tahbisan yang diterima oleh mereka yakni dengan rahmat pengudusan, mereka
dituntun dan ditutntut untuk melakukan kewajiban mereka sebagai para pelayan baptis
dengan melakukan perayaan Sakramen Baptis dengan lengkap.

1
Kanon 861-§1
Para klerus memang berhak melakukan permandian kepada para calon baptis namun,
harus tetap mengikuti dan melihat prosedur yang sehat. di wilayah mana ia membaptis harus
memperhatikan siapa yang berwenang dalam wilayah iru. Pastor paroki adalah
penanggungjawab dan pemegang wewenang wilayah itu termasuk pelayan sakramen-
sakramen suci2. Oleh sebab itu, para klerus yang akan membaptis harus melapor atau
memberitahukan kepada pastor paroki setempat terlebih dahulu sebelum membaptis seorang
calon baptisan. Hal ini dilakukan agar kolegialitas dan kebutuhan pastoral terpenuhi,
mengingat bahwa yang lebih mengetahui keadaan umat adalah pastor paroki daripada para
imam yang berdomisili atau tinggal di luar paroki di mana ia memberikan sakramen itu.
2. Dalam kasus bahwa pada saat ada keadaan darurat yang mana menuntut agar seorang yang
ingin dibaptis berada dalam keadaan darurat maka, pastor atau imam pun pelayan resmi
baptis tidak harus melakukan permandian. Maksudnya dari ‘tidak harus’ ini adalah jika
pelayan biasa (resmi) tidak ada atau terhalang, baptis dapat diberikan secara licit oleh siapa
pun dengan tetap memperhatikan prosedur yang semestinya dari penerimaan sakramen ini.3
Sakramen permadian yang diberikan oleh orang-orang bukan tertahbis tidak
menghilangkan eksistensi para klerus yang nota benenya sebagai seorang pelayan resmi dan
penyalur rahmat Allah. Namun, hal itu menegaskan bahwa Rahmat dan Kuasa Allah
mengalir melalui sakramen itu dari forma dan materia yang terkandung di dalamnya. Orang
yang membaptis merupakan sarana dan alat yang oleh Tuhan yang dipergunakan untuk
menyalurkan rahmat-Nya. Suci atau tidaknya seorang yang membaptis itu tidak menentukan
hasil dari sakramen itu. Sebab bukan dia yang menerimakan sakramen itu namun, Kristus
sendiri melalui dia menerimakan rahmat Sakramen itu kepada si penerima. Yang terpenting
ia melakukan seperti apa yang telah ditetapkan Gereja yakni forma yang benar dan materia
yang benar pula. Jika hal tersebut telah lengkap maka, ia dapat menerimakan sakramen
permandian tersebut, sekali lagi apabila terjadi keadaan yang darurat dan sangat menuntut
agar dilakukan penerimaan sakramen saat itu juga.
3. Pelayan baptis adalah orang yang telah dewasa dan mengerti serta memahami apa yang ia
lakukan. Dengan kata lain, orang yang melakukan pembaptisan atau menerimakan sakramen

2
Bdk. Kanon 530
3
Bdk. Kanon 861-§2
pembaptisan adalah seorang yang sadar atau memiliki rasio dan kehendak. Dalam artian
bahwa si pelayan sadar sekaligus menghendaki apa yang dilakukannya itu. karena melalui
rasio dan kehendak yang sehat dari si pelayan, peristiwa sakramental dapat terjadi. Peristiwa
sakramental itu ditentukan juga oleh si pelayan. Ada dua istilah yang dapat menjawab hal ini.
Pertama, ex opere operato yang menekankan peranan Kristus dalam setiap tindakan yang
memberikan rahmat kepada manusia. Kedua, ex opera operantis bahwa rahmat dialami
karena adanya peranan dan upaya manusia4. Namun, bukan yang kedua yang dimaksud oleh
Gereja tetapi ex opera operato di mana dalam sakramen itulah, Kristus sendiri berkarya
memberikan rahmat-Nya bagi manusia bukan karena upaya manusia itu sendiri. Kristus
sendiri hadir dalam sakramen itu. Oleh sebab itu, peranan rasio dan kehendak sangat
ditekankan. Karena melalui rasio dan kehendak orang (si pelayan) dapat memahami,
mengetahui dan mengerti makna sakramen itu sebagai tanda dan karya sekaligus rahmat
Allah bagi manusia.
Untuk pertanyaan mengenai orang tidak normal (gila, dan sebagainya) akan dijawab
dalam peranan rasio dan kehendak sebagai suatu aspek penentu peristiwa sacramental itu
terjadi. Pertama, rasio sangat berperan dalam setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan;
apakah dia paham, mengerti dan tahu dengan apa yang dibuatnya itu? Maksudnya, orang
yang akan membaptis itu harus tahu dan menyadari bahwa ia sedang melakukan suatu
tindakan religius. Hal bukan berarti orang yang sangat paham dan pakar dalam hal
sakraemental tetapi orang yang sadar dan tahu dengan apa yang dilakukannya terdapat orang
lain. Kedua, disamping dituntut rasio atau dalam hal ini kesadaran sebagai hal yang penting
untuk dimilikioleh si pelayan sakramen, kehendak sangat berperan pula. Orang yang
melakukan pelayanan tidak hanya tahu, paham, mengerti dan sadar dengan tindakan
sacramental yang ia lakukan tetapi juga mau melakukannya. Meskipun orang yang
melakukan itu sadar, namun tidak mau atau dilakukan dengan keadaan terpaksa makan yang
dilakukannya bukan suatu sakramen. Oleh sebab itu, apa yang dilakukannya itu bukanlah
cerminan atau gambaran perbuatan Gereja tetapi hanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang bersifat manusiawi semata. Karena apa yang dilakukan oleh Gereja selalu
berdasar pada apa yang dilakukan oleh Kristus dan bukan hanay itu tetapi apa yang dilakukan
itu bukanlah tindakan manusia atau pribadi semata namun merupakan tindakan Kristus bagi

4
Aloysius Lerebulan, Sakramen Permandian dalam Masyarakat Plural (Kanisius, Yogyakarta: 2009), hlm. 74.
Gerejanya. Sakramen Baptis ini merupakan tanda perjanjian antara manusia dan Allah yang
tak terpisahkan, sempurna dan selalu menyatu. Kehendak yang tulus adalah sangat penting
dalam melakukan tindakan sakrametal itu (intention faciendi quod facit ecclesia). Dengan
demikian, walau yang membaptis itu orang yang tidak percaya atau beragama lain, namun ia
dengan tulus mau melakukannya sesuai dengan ajaran moral Gereja maka, sakramen itu
dapat terjadi. Sekali lagi, hal dapat dilakukan dalam keadaan darurat.
Ada 4 bentuk intentiones yang mempengaruhi tindakan lahiriah. Pertama, intentio
actualis merupakan suatu maksud yang ada dan disadari pada saat tindakan lahiriah
dilakukan. Kedua, intentio virtualis merupakan suatu maksud pertama yang menjadi motor
terjadinya suatu tindakan lahiriah. Ketiga, intentio habitualis merupakan suatu maksud yang
telah ada yang tidak memengaruhi kehendak pribadi untuk melakukan tindakan riil, baik itu
karena lupa atau tidak disadari lagi. Keempat, intentio interpretativa merupakan suatu
maksud yang pasti ada dalam diri orang tertentu karena kecenderungan dikenal yang
ditafsirkan oleh orang lain.5
Dalam menerimakan sakramen permandian, yang mempengaruhi dan menggerakkan
kehendak untuk melakukan tindakan riil cukuplah ada intentio actualis atau intentio virtualis.
Oleh karena itu, jika yang memandikan itu ketika melakukan permandian pikirannya
melayang-layang, permandian tersebut tetaplah sah dan tak boleh diulang. Namun jika hanya
intentio habitualis dan intention inperativa maka permandian itu tidak sah sebab ia
melakukan tindakan tersebut dengan kesadaran dan kehendak yang tidak jelas.
Peran rasio dan kehendak sangat ditekankan terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang
melakukan tindakan sacramental. Rasio dan kehendak yang jelas menentukan kemutlakkan
suatu sakramen itu. Suatu peristiwa sakramen dapat terjadi jika seseorang pelayan itu
melakukannya dengan sadar dan mau serta mampu untuk melakukannya. Dengan demikian,
tidak dibenarkan jika orang gila atau orang yang memiliki gangguan psikis atau cacat mental
dan orang yang sementara mabuk melakukan tindakan religius ini. Apa yang dilakukan
Gereja adalah yang dilakukan Kristus terhadap umat-Nya. Setiap tindakan Gereja
melambangkan Kristus yang hadir dan merahmati umat-Nya.6

5
Aloysius Lerebulan, Sakramen Permandian dalam Masyarakat Plural (Kanisius, Yogyakarta: 2009), hlm. 77-78.
6
Bdk. Marcel van Caster, God’s Word Today (Geoffrey Chapman Ltd, London: 1966), hlm. 30.

Anda mungkin juga menyukai