Sakramen, sebagaimana difahami oleh Gereja katolik, adalah tanda yang terlihat, yang dapat
ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada
Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang
diterimakan, yang membantu pribadi penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan
berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu ada ex opere operato (oleh
kenyataan bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan kekudusan pribadi
pelayan yang melayankannya; kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat
yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu bagi yang
bersangkutan; sakramen memerlukan adanya iman, meskipun kata-kata dan elemen-elemen
ritualnya, menyuburkan, menguatkan dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium
Katekismus Gereja Katolik, 224).
Gereja katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen, dan diurutkan dalam Katekismus Gereja
Katolik (KGK) sebagai berikut:
Pembaptisan: KGK 1213–1284
Penguatan, juga disebut Krisma (KGK 1289): KGK 1285–1321
Ekaristi: KGK 1322–1419
Rekonsiliasi(umumnya disebut "Pengakuan Dosa"):KGK 1422–1498
Pengurapan orang sakit: KGK 1499–1532
Imamat: KGK 1536–1600
Pernikahan: KGK 1601–1666
Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium
Katekismus Gereja Katolik.
Daftar isi
1 Sakramen-sakramen Inisiasi
o 1.1 Pembaptisan
o 1.2 Penguatan
o 1.3 Ekaristi
2 Sakramen-sakramen Penyembuhan
o 2.1 Rekonsiliasi
o 2.2 Pengurapan Orang Sakit
3 Sakramen-sakramen Panggilan
o 3.1 Imamat
o 3.2 Pernikahan
4 Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen
5 Para Pelayan-Sakramen Biasa dan Luar Biasa
6 Referensi
7 Pranala luar
Sakramen-sakramen Inisiasi
Pembaptisan
Pembaptisan adalah sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini
dilayankan dengan cara menyelamkan si penerima ke dalam air atau dengan mencurahkan
(tidak sekedar memercikkan) air ke atas kepala si penerima "dalam nama Allah Bapa dan
Allah Putra dan Roh Kudus " (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini biasanya seorang uskup
atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun tidak demikian halnya dalam Gereja Timur)
seorang diakon.
Dalam keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja,
bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.
Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari
hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian
dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran
yang mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya).
Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan
merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Penguatan
Penguatan atau Krisma adalah sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini
diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur
sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa,
baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima
seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan
"diperkuat dan diperdalam" [1].
Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam
keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui)
agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup
yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini —
sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan
istimewa (seperti pembabtisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam
Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di atasnya
ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh
uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur
sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi
biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya,
sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan; biasanya setelah
yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi
Kristiani. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini,
yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
Sakramen Penguatan diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak
yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang
menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus
menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan
dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam". [1]
Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam
keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui)
agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup
yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini —
sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan
istimewa (seperti pembabtisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam
Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di atasnya
ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh
uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur
sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi
biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya,
sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan; biasanya setelah
yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi
Kristiani. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini,
yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
Ekaristi
Ekaristi adalah sakramen (yang kedua dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik
mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut serta dalam pengorbanan
diri-Nya. Aspek pertama dari sakramen ini (yakni mengambil bagian dari Tubuh dan Darah
Yesus Kristus) disebut pula Komuni Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang
tidak diberi ragi dalam ritus Latin, Armenia dan Ethiopia, namun diberi ragi dalam
kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan
dalam ritus Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali wujudnya
yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini disebut transubstansiasi.
Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak
selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam biasanya adalah pelayan Komuni Suci,
umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa
Komuni Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan
pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan
penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu
titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini
sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap
hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula
bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima
Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya
setahun sekali selama masa Paskah.
Sakramen-sakramen Penyembuhan
Rekonsiliasi
Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga
disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan[2].
Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang
terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur:
penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-
sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi
seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki
kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang
mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya,
mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah
difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan yang sederhana
pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri,
serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus
memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk
memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan
akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-
abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi,
namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh
si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk
menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak.
"Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar pengakuan) dengan
cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan perkataan maupun
dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara
langsung merusak meterai sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman
pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).
Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini
seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini.
"Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang, karena telah
mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia
lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi
kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada
dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan
sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus-Ritus Terakhir" yang lain adalah
pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk
mengakui dosanya, maka minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau
tidaknya penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan
kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya
dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".
Sakramen-sakramen Panggilan
Imamat
Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam,
atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup
yang boleh melayankan sakramen ini.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032
dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi
studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang meliputi
pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata),
dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan sebagai diakon permanen diatur
oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
Pernikahan
Pernikahan atau Perkawinan, seperti Imamat, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta menganugerahkan
rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda
cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan
suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan
demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang
sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan,
tidak dapat diceraikan sebab di dalam kitab suci tertulis Justru karena ketegaran hatimulah
maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan
mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia. Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula
kepada Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan
isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya
itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat
zinah." (Mrk. 10:1–12)
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka
perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk
menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini
dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta
saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang melayankan sakramen
ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat
dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing-masing untuk saling memberi diri
seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud
perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang Kristen non-Katolik, maka
pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang
terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen
(dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya
pernikahan.
Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika
orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu,
misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid jika "materi"
atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material
yang dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung
gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau
tindakan yang nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi,
seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan
Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa aspek esensial
dari sakramen yang dilayankannya, maka sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di
balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang
diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen
oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan
pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan
bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci
yang berwenang untuk menetapkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan
pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus
memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum
Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan
bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan
tersebut.
Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari
paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan
dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili
mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum
Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.
Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya
bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari karakter
atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi, jika ada keraguan
mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat
digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum
dibaptis, aku membaptis engkau …"