Anda di halaman 1dari 58

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

NOMOR : TAHUN 2016

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
TAHUN 2017 - 2037

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUMBA BARAT DAYA,

Menimbang: a. bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Sumba


g: Barat Daya secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pertahanan
keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor,
daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan
lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c. bahwa dengan ditetapkannya peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang RTRW Nasional, dan Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara
Timur Nomor 1 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 – 2030, maka strategi dan arah kebijakan
pemanfaatan ruang wilayah nasional dan propinsi perlu dijabarkan ke dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah;
d. bahwa dengan ditetapkan Surat Keputusan Bupati Nomor 255/KEP/HK/2016
tentang Penetapan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Sumba Barat Daya Tahun 2009-2029; dan
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf
b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2017 – 2037.

1
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah
Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2324);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3046);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3851);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
9. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
11. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438);
14. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444);
15. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Kabupaten
Sumba Barat Daya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara

2
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4692);
16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4700);
17. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
18. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
19. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4746);
20. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4849);
21. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
22. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956 );
23. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
24. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5025);
25. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
26. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
27. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5068);
28. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5073);
29. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5168);

3
30. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
31. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214);
32. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
33. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5280);
34. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
35. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
36. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 224, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor
5586);
37. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Keseharan Hewan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338 , Tambahan
Lembaran negara Repunlik Indonesia Nomor 5619);
38. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penentapan Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah Menjadi Undang-undang;
39. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan Ganti
Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3014);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Tata Pengaturan Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 Tentang Penyediaan dan
Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3350);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 Tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

4
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 Tentang Izin Usaha Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4230)
45. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
52. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4655);
53. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian
dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4663);
54. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan
Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4664);
55. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82);
56. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Kerjasama
Daerah;
57. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779);

5
58. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4814);
59. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4815);
60. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);
61. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4856);
62. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
63. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
64. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
65. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Teknis Tata
Cara Kerjasama Daerah;
66. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan Industri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987);
67. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Penegasan Status dan
Fungsi Kawasan Hutan;
68. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesaia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056);
69. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 16, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098)
70. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
71. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan Pariwisata
Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5116);
72. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara
Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5160);

6
73. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5185)
74. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5217);
75. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Manajemen Dan
Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221);
76. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5230);
77. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);
78. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468)
79. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5324)
80. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5325)
81. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5393);
82. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu Lintas
Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468);
83. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 260, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5594);
84. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5731);
85. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 326, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5794);
86. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik

7
Indonesia Tahun 2015 Nomor 330, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5798);
87. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1989 Tentang Pengelolaan Kawasan
Budidaya;
88. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung;
89. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2000 Tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Nasional;
90. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan;
91. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
92. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 55);
93. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
94. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A Tahun 2006 Tentang Kriteria
dan Penetapan Wilayah Sungai;
95. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
96. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor;
97. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana;
98. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2007 Tentang
Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat;
99. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 02 Tahun 2008
Tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara
Telekomunikasi;
100. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan;
101. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah
Permukiman (KSNP-SPALP);
102. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
103. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41 Tahun 2008 Tentang Ketentuan
Dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar
Industri;
104. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/ Kota beserta Rencana Rincinya;
105. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Wilayah
Perkotaan /Kawasan Perkotaan;

8
106. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah;
107. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawasan Kerja Sama Antar Daerah;
108. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
109. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun2009 Tentang Penegasan Status
dan Fungsi Kawasan Hutan;
110. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Revitalisasi Kawasan;
111. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan;
112. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Perubahan
Terhadap Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 70 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
113. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pengelolaan Sampah;
114. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Jalan Khusus;
115. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota;
116. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Penetapan Fungsi Jalan Dan Status Jalan;
117. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan;
118. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
dan Kabupaten/Kota;
119. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Atau
Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah;
120. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah;
121. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
32);
122. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
123. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49 Tahun 2014 Tentang
Usaha Budidaya Ikan;
124. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Izin Lokasi;
125. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
01 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi;
126. Peraturan Menteri Argaria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2018
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi, Kabupaten dan Kota.

9
127. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327 Tahun
2002 Tentang Penentapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang;
128. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah Tentang Pedoman Koordinasi Penataan
Ruang Daerah;
129. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun2014 Tentang
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu Dan Sekitarnya Di Provinsi
Nusa Tenggara Timur;
130. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu Dan
Sekitarnya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 - 2034;
131. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5984 Tahun 2014 sebagaimana
telah diubah dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 2382 Tahun 2015 Tentang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan
Produksi Untuk Usaha Pemanfaatan Hutan;
132. Keputusan Menteri LHK RI Nomor : SK.357/ Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016
tanggal 11 Mei 2016, tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi
Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 54.163 Hektar, Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan seluas ± 12.168 Hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi
Kawasan Hutan Seluas ± 11.811 Hektar di Provinsi NTT
133. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2010 – 2030;
134. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 15 Tahun 2009
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun
2009-2029 (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2009
Nomor 15 Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor
15);
135. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 10 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Kecamatan Kota Tambolaka;
136. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 11 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Kecamatan Kodi Balaghar;
137. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Kecamatan Wewewa Tengah;
138. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 1 Tahun 2012 Tentang
Pemekaran Kecamatan Kodi Balaghar Dari Kodi Bangedo;
139. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pemekaran Kecamatan Kota Tambolaka Dari Kecamatan Loura;
140. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Pemekaran Kecamatan Wewewa Tengah Dari Kecamatan Wewewa Timur;
dan
141. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya Nomor 22 Tahun 2012
Tentang Pemekaran 44 Desa di Kabupaten Sumba Barat Daya.

10
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
dan
BUPATI SUMBA BARAT DAYA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA


TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN
SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2017 - 2037

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Kabupaten adalah Kabupaten Sumba Barat Daya.
2. Bupati adalah Bupati Sumba Barat Daya.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya.
4. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya;
5. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang;
6. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarki memiliki hubungan fungsional;
7. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya;
8. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
9. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang;
10. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang;
11. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat;
12. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang;
13. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat
diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

11
14. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang
yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang;
15. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya;
16. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang;
17. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang;
18. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya yang selanjutnya disebut
RTRW Kabupaten Sumba Barat Daya adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah di
daerah Kabupaten Sumba Barat Daya.
19. Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional di Kabupaten Sumba Barat Daya;
20. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan
pada tingkat wilayah;
21. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat internal perkotaan;
22. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya;
23. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan;
24. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
sumberdaya buatan;
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi;
26. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi;
27. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam
tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan
sistem permukiman dan sistem agrobisnis;
28. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian (perikanan) dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis;
29. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
30. Kawasan strategis propinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan;
31. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan;
32. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.

12
33. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
34. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
35. Sistem Jaringan Jalan Primer adalah sistem jaringan jalan dengan peran pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat kegiatan.
36. Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan
distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
37. Jalan Kolektor Primer yang selanjutnya disingkat JKP terdiri atas JKP-1 (jalan kolektor
primer satu), JKP-2 (jalan kolektor primer dua), JKP-3 (jalan kolektor primer tiga), dan
JKP-4 (jalan kolektor primer empat).
38. Jalan Lokal Primer yang selanjutnya disingkat JLP adalah jalan yang menghubungkan
secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat
kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat
kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
39. Jalan Lingkungan Primer yang selanjutnya disebut JLing-P adalah jalan yang
menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam
lingkungan kawasan perdesaan.
40. Jalan Lingkungan Sekunder yang selanjutnya disebut JLing-S adalah jalan yang
menghubungkan antarpersil dalam kawasan perkotaan.
41. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam; dan
42. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
43. Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik secara struktur atau
fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik
melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
44. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat,
korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan
penataan ruang.
45. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
46. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnyadisingkat TKPRD adalah tim ad-
hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang penataan ruang di daerah provinsi dan di daerah kabupaten/kota, dan mempunyai
fungsi membantu pelaksanaan tugas gubernur dan bupati/walikota dalam pelaksanaan
koordinasi penataan ruang di daerah.
47. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang
digunakan unuk kepentingan pertahanan.

13
BAB II
RUANG LINGKUP, TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI
PENATAAN RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 2
(1) Ruang Lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumba Barat Daya
Tahun 2017-2037 terdiri atas:
a. ruang lingkup wilayah administrasi; dan
b. ruang lingkup substansi.
(2) Ruang lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. luas wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan aspek fungsional dengan luas
kurang lebih 139.460,33 (seratus tiga puluh sembilan ribu empat ratus enam puluh
koma tiga puluh tiga) hektar beserta ruang udara di atasanya dan ruang di dalam bumi.
b. batas-batas administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya, meliputi :
1) sebelah utara : berbatasan dengan Selat Sumba;
2) sebelah selatan : berbatasan dengan Samudera Hindia;
3) sebelah barat : berbatasan dengan Samudera Hindia; dan
4) sebelah timur : berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat.
c. letak geografis Kabupaten Sumba Barat Daya pada posisi 9o18’ – 10o20’ Lintang
Selatan (LS) dan 118o55’ – 120o23’ Bujur Timur (BT)
(3) Ruang lingkup subtansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi :
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang wilayah;
c. rencana pola ruang wilayah;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3
Tujuan penataan ruang daerah adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Sumba
Barat Daya sebagai pintu gerbang ekonomi berbasis pariwisata, pertanian dan perikanan yang
berdaya saing serta berwawasan lingkungan.

Bagian Ketiga
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 4
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 disusun kebijakan penataan ruang wilayah

14
(2) Kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pengembangan parwisata unggulan berbasis wisata alam dan wisata budaya;
b. pengembangan pertanian berbasis perkebunan dan mewujudkan agropolitan;
c. pengembangan perikanan berbasis perikanan tangkap dan budidaya sistem
minapolitan;
d. pengembangan sistem transportasi inter moda yang terpadu dalam mewujudkan
Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai Pintu Gerbang Pulau Sumba; dan
e. pemantapan fungsi lindung dalam menjaga program pembangunan keberlanjutan.

Bagian Keempat
Strategi Penataan Ruang

Pasal 5
(1) Strategi untuk mengembangkan pariwisata unggulan berbasis wisata alam dan wisata
budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. mengembangkan daya tarik wisata unggulan yang prioritas;
b. mengembangkan pengembangan pariwisata berbasis wisata alam dan wisata budaya
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, pelestarian budaya leluhur dan
melibatkan peran serta masyarakat;
c. mengembangkan prasarana jalan penghubung antara obyek wisata dengan jalan
utama;
d. mengembangkan prasarana dasar di seluruh obyek wisata;
e. meningkatkan pemeliharaan benda cagar budaya yang diintegrasikan dengan obyek
wisata minat khusus dan pendidikan;
f. mengadakan kegiatan festival wisata atau gelar seni budaya;
g. mengkaitkan kalender wisata dalam skala nasional; dan
h. membentuk zona wisata dengan disertai pengembangan paket wisata
(2) Strategi untuk mengembangkan pertanian berbasis perkebunan dan mewujudkan
agropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, meliputi :
a. mengembangkan komoditas-komoditas unggul perkebunan melalui peningkatan
efisiensi, produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk perkebunan di
setiap wilayah serta pengoptimalan pengolahan dan peningkatan nilai tambah hasil
perkebunan;
b. memantapkan dan mengembangkan pusat pengelolaan komoditas unggulan kawasan
agropolitan yang strategis dan potensial;
c. mengembangkan kawasan pusat pemasaran agropolitan untuk mendorong
pertumbuhan kawasan perdesaan;
d. mengembangkan sarana dan prasarana pendukung pada kawasan agropolitan; dan
e. menetapkan hierarki simpul-simpul pertumbuhan ekonomi wilayah terutama yang
berfungsi sebagai pusat agropolitan.
(3) Strategi untuk mengembangkan perikanan berbasis perikanan tangkap budidaya sistem
minapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, meliputi :
a. mengembangkan kawasan sesuai potensi yang dihubungkan dengan pusat kegiatan
pengolahan produksi, pengolahan pemasaran wisata kuliner berbasis perikanan untuk
mendukung minapolitan;
b. meningkatan kualitas, kuantitas, efisiensi, produktivitas, produksi, daya saing dan
nilai tambah produk perikanan budidaya dengan membentuk sentra pengolah hasil
ikan untuk mendukung pengoptimalan pengolahan dan peningkatan nilai tambah
hasil perikanan;

15
c. menetapkan hierarki simpul-simpul pertumbuhan ekonomi wilayah terutama yang
berfungsi sebagai pusat minapolitan;
d. pengembangan perikanan tangkap disertai pengolahan hasil ikan laut;
e. mengembangkan pemasaran dan jaringan kerjasama antara pelaku produksi dan
pemasaran; dan
f. memperhatikan dan melihat peluang pasar yang cukup potensial, dimana akan
diarahkan melalui strategi pemasaran yang tepat melalui strategi produk, promosi,
tempat dan harga.
(4) Strategi untuk mengembangkan sistem transportasi inter moda yang terpadu dalam
mewujudkan Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai Pintu Gerbang Pulau Sumba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, meliputi :
a. mengembangkan sistem jaringan prasarana transportasi untuk menunjang kegiatan
permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan sebagai pusat pengembangan
ekonomi wilayah;
b. mengembangkan sistem transportasi secara intermoda sampai ke pusat produk
agropolitan, minapolitan dan pariwisata; dan
c. mengembangkan angkutan transportasi darat, laut dan udara secara lokal, antar kota
dan kabupaten beserta sarana dan prasarananya.
(5) Strategi untuk memantapkan fungsi lindung dalam menjaga program pembangunan
berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e, meliputi :
a. memantapkan kawasan perlindungan setempat melalui upaya konservasi alam,
rehabilitasi ekosistem yang rusak, pengendalian pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup, dengan membatasi dan mencegah aktifitas perusakan,
pengendalian pencemaran dan meningkatkan upaya konservasi pantai, sungai,
danau/embung dan mata air serta merehabilitasi ekosistem yang rusak;
b. membatasi dan menghindari bangunan radius pengamanan kawasan dan
mengutamakan vegetasi yang memberikan perlindungan mata air;
c. mempertahankan fungsi lindung pada kawasan berhutan bakau, disertai perlindungan
pengembangan nilai budaya masyarakat lokal dengan prinsip-prinsip keterpaduan
pembangunan; dan
d. melakukan pelestarian dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara lintas
wilayah.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6
(1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten, meliputi :
a. pusat-pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jaringan telekominikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem jaringan prasarana lannya.

16
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
1:50.000 sebagai tercantum dalam Lampiran I.A dan Lampiran I.B yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Pusat-Pusat Kegiatan

Pasal 7
(1) Rencana sistem pusat kegiatan di Kabupaten Sumba Barat Daya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
b. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK); dan
c. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL).
(2) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu Perkotaan Tambolaka.
(3) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Perkotaan Waimangura,
Perkotaan Bondo Kodi, Perkotaan Karuni, Perkotaan Palla, Perkotaan Elopada, Perkotaan
Ndapataka, Perkotaan Kori, Perkotaan Walla Ndimu, Perkotaan Panenggo Ede dan
Perkotaan Manola.
(4) PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu Lete Konda di Kecamatan Loura,
Wee Kombaka di Kecamatan Wewewa Barat, Lombu di Kecamatan Wewewa Tengah,
Padaeweta di Kecamatan Wewewa Timur, Weewulla di Kecamatan Wewewa Selatan,
Kahale di Kecamatan Kodi Balaghar, Waikadada di Kecamatan Kodi Bangedo,
Kawangohari di Kecamatan Kodi, dan Bukambero di Kecamatan Kodi Utara.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana
Pasal 8
Sistem jaringan prasarana yang ada di kabupaten Sumba Barat Daya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, meliputi :
a. sistem jaringan prasarana transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 9
Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,meliputi:
a. sistem jaringan jalan; dan
b. lalu lintas dan angkutan jalan

Pasal 10
(1) Sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi :
a. jaringan jalan strategis nasional;
b. jaringan jalan kolektor
c. jaringan jalan lokal; dan

17
d. jaringan jalan lingkungan.
(2) Pengembangan jaringan jalan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi :
a. peningkatan fungsi jalan strategis nasional dengan panjang kurang lebih 79,11 (tujuh
puluh Sembilan koma sebelas) kilometer, meliputi ruas Bondokodi-Bukambani,
Pantura, Weekelo-Katewel, Kahale-Watu Malando dan Walandimu-Ratenggaro; dan
b. pembangunan jalan strategis nasional baru dengan panjang kurang lebih 14,76 (empat
belas koma tujuh puluh enam) kilometer, meliputi ruas Watumbembe-Ratonggaro,
Pero-Rende, Weekelo-Karoso dan Parenggo Ede-Wainyapu.
(3) Pengembangan jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. pengembangan jaringan jalan kolektor primer -1 (JKP-1) dengan panjang 38,56 (tiga
puluh delapan koma lima puluh enam) kilometer meliputi ruas Waikelo-Waitabula
dan Waitabula-Batas Kota Waikabubak.
b. pengembangan jaringan jalan kolektor primer – 2 (JKP-2) dengan panjang 60,49
(enam puluh koma empat puluh sembilan) kilometer yaitu ruas jalan Lukas Dairo Bili,
jalan H.R.Horo, jalan Wonokaka, jalan Piet A.Talo, jalan Prof.Dr.W.Z.Yohanes dan
Bondokodi-Gaura.
(4) Pengembangan jaringan jalan lokal primer (JLP) yang sudah ada sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dengan panjang 302,52 (tiga ratus dua koma lima puluh dua)
kilometer, meliputi ruas Jalan Rudolf Malo, Jalan Mareda Kalada, Pakamandara-Loko
Kalada, Sp. Waimangura – Leteloko, Tena Teke - Umbu Wango, Waimangura-Sp Kahale,
Wewula – Dikira, Jalan Palla, Jalan Ir. Soekarno, Kalena Rongo – Mandorak, Bondokodi
– Bukambani, Waikarara - Panenggo Ede, Loko Kalada-Loko Rii, Palla-
Bondoboghila/Loko Kalada, Tena Teke - Jati Lima, Wanoroto – Kori dan Jalan El Tari.
(5) Pengembangan jaringan jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. pengembangan jaringan jalan lingkungan primer (Jling.P) dengan panjang 516,53
(lima ratus enam belas koma lima puluh tiga) kilometer yang tersebar di seluruh
kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya.
b. pengembangan jaringan jalan lingkungan sekunder (Jling.S) dengan panjang 1.257,17
(seribu dua ratus lima puluh tujuh koma tujuh belas) kilometer yang tersebar di seluruh
kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Pasal 11
(1) Lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, meliputi :
a. pengembangan terminal; dan
b. rencana rute angkutan.
(2) Pengembangan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pemindahan terminal dari Desa Rada Mata ke Desa Watukawula Kecamatan Kota
Tambolaka sebagai terminal tipe B.
b. rencana pengembagan terminal tipe C tersebar di Desa Pogotena dan Desa Katewel
Kecamatan Loura; Desa Bondo Kodi Kecamatan Kodi; Desa Walandimu Kecamatan
Kodi Bangedo, Desa Kahale Kecamatan Kodi Balaghar, Desa Waimangura
Kecamatan Wewewa Barat, Desa Kalembu Ndara Mane Kecamatan Wewewa Timur,
Desa Kanelu Kecamatan Wewewa Tengah, Desa Kori Kecamatan Kodi Utara, Desa
Odi Paurata Kecamatan Wewewa Utara; Desa Tena Teke, Desa Wee Baghe dan Desa
Weewula Kecamatan Wewewa Selatan.
c. rencana pengembangan terminal kargo di Desa Payola Umbu Kecamatan Loura.
18
(3) Pengembangan rute angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. pengembangan rute dalam kota meliputi Jalan Yos Sudarso, Jalan Eltari, jalan Lede
Kalumbang, Jalan Ir. Soekarno, Lara Mate-Wee Londa, Jalan Lukas Dairo Bili, Jalan
Jendral Sudirman dan Tambolaka-Waikelo.
b. pengembangan rute angkutan perdesaan diarahakan sepanjang ruang yang
menghubungkan antar terminal tipe C dari terminal Tambolaka ke terminal
Kecamatan lainnya di seluruh Kabupaten Sumba Barat Daya.
c. pengembangan rute angkutan kota dalam propinsi meliputi :
1) Jalur Tambolaka ke Batas Kota Waikabubak meliputi Jendral Sudirman, Jalan
W.R Supratman, Jalan Ahmad Yani dan Jalan Budi Utomo;
2) Jalur Tambolaka ke Gaura meliputi Jalan Lukas Dairo Bili, Jalan H.R. Horo, Jalan
Wonokaka, Jalan Piet A. Talo, jalan Prof. Dr.W.Z Yohanes dan ruas Bondo Kodi
– Gaura.
d. pengembangan rute angkutan barang meliputi :
1) jalur utara meliputi Waikelo-Waitabula (Jalan Yos Sudarso), Waitabula-Sp.
Katewel-Wangge (Jalan Lede Kalumbang);
2) jalur selatan meliputi Waikelo-Waitabula (Jalan Yos Sudarso), Waitabula-Gaura
(Jalan Lukas Dairo Bili, Jalan H.R. Horo, Jalan Wonokaka, Jalan Piet A. Talo,
Bondokodi-Gaura); dan
3) jalur tengah Waikelo-Waitabula (Jalan Yos Sudarso), Waitabula-Batas Kota
Waikabubak (Jalan Jendral Sudirman, Jalan W.R Supratman, Jalan Ahmad Yani
dan Jalan Budi Utomo).

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 12
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, meliputi:
a. tatanan kepelabuhan; dan
b. alur pelayanan.
(2) Tatanan kepelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. pengembangan pelabuhan pengumpan regional Waikelo di Desa Radamata Kecamatan
Kota Tambolaka
b. rencana pengembangan pelabuhan perikanan, meliputi :
1) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Katewel Desa Letekonda Kecamatan Loura, Desa
Pero Konda Kecamatan Kodi dan Waikelo Desa Radamata Kecamatan Kota
Tambolaka.
2) Pusat Pendaratan Ikan (PPI) di Tanjung Karoso Desa Ate Dolo Kecamatan Kodi
dan Huma Desa. Weewela Kecamatan Kodi Utara.
c. rencana pengembangan pelabuhan penyeberangan di Desa Payola Umbu Kecamatan
Loura
d. rencana pengembangan pelabuhan khusus wisata di Desa Pero Kecamatan Kodi.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam undang-undang
yang berlaku.

19
Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 13
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, meliputi:
a. tatanan bandar udara; dan
b. rute penerbangan.
(2) Tatanan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pengembangan
bandar udara Tambolaka sebagai bandar udara pengumpan di Kecamatan Kota
Tambolaka; dan
(3) Rute penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam undang-
undang yang berlaku.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan energi

Pasal 14
(1) Sistem jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dimaksudkan untuk menunjang penyediaan jaringan energi dan pemenuhan energi lainnya.
(2) Rencana pengembangan sumber daya energi listrik di wilayah Kabupaten Sumba Barat
Daya, meliputi :
a. rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Desa Payola Umbu
Kecamatan Loura dan Desa Radamata Kecamatan Kota Tambolaka.
b. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) meliputi:
1) PLTMH Waikelo Sawah daya eksisting 15 (lima belas) kilo watt dan potensi
perluasan 100 Kilo Watt di Desa Tema Tana Kecamatan Wewewa Timur
2) PLTMH Lokomboro dengan daya eksisting 1.500 (seribu lima ratus) kilo watt,
potensi dengan penambahan daya 1.500 (seribu lima ratus) kilo watt, terletak di
Desa Pada Eweta Kecamatan Wewewa Timur.
3) Potensi PLTMH Pabeti Lakera di Desa Delo Kecamatan Wewewa Selatan.
4) Potensi PLTMH di Desa Umbu Wango Kecamatan Wewewa Selatan dengan daya
eksisting 200 kilo watt.
c. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) meliputi :
1) pengembangan PLTS eksisting meliputi PLTS Terpusat di Desa Denduka
Kecamatan Wewewa Selatan; Desa Wailangira Kecamatan Kodi Balaghar; Desa
Kalembu Kaneka Kecamatan Wewewa Barat dan Desa Weepatando Kecamatan
Wewewa Tengah dengan daya eksisting 21 (dua puluh satu) kilo watt , PLTS Smart
Grid di Desa Bila Cenge Kecamatan Kodi Utara dengan daya eksisting 500 (lima
ratus) kilo watt peak dan Desa Letekonda Kecamatan Loura dan PLTS tersebar di
seluruh kecamatan dengan daya eksiting 219,45 (dua ratus sembilan belas koma
empat lima) kilo watt
2) Pengembangan PLTS rencana (baru) tersebar di seluruh kecamatan.
d. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) berada di Desa Letekonda
Kecamatan Loura
e. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pola Pare di Desa Bondo Bela
Kecamatan Wewewa Selatan
f. pengembangan Biogas di seluruh kecamatan.

20
g. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga BioMassa di Desa Umbu Wango
Kecamatan Wewewa Selatan
(3) Pengembangan Saluran Umum Tenagangan Tinggi (SUTT) dengan daya 150 (seratus
lima puluh) kilo volt dari waingapu sampai PLTG di Desa Payola Umbu Kecamatan Loura
ke PLTMH Lokomboro Desa Pada Eweta Kecamatan Wewewa Timur.
(4) Pengembangan jaringan listrik berupa Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
dengan daya 20 (dua puluh) kilo volt di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Sumba
Barat Daya
(5) Pengembangan jaringan listrik berupa Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) keseluruh
pemukiman

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Prasarana Telekomunikasi

Pasal 15
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d,
meliputi:
a. jaringan tetap; dan
b. jaringan bergerak.
(2) Rencana pengembangan prasarana telekomunikasi jaringan tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Satuan Telepon Otomat (STO) diarahkan di seluruh kecamatan; dan
b. jaringan kabel telekomunikasi melayani seluruh kecamatan
(3) Rencana pengembangan prasarana telekomunikasi jaringan bergerak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa jaringan bergerak seluler, meliputi :
a. rencana pengembangan Base Transceiver Station (BTS) tersebar di seluruh
kecamatan.
b. pengembangan WiFi yang diarahkan di seluruh kecamatan

Bagian Keenam
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 16
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e,
meliputi:
a. sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten;
b. sistem jaringan sumber daya air kabupaten
(2) Sistem jaringan sumber daya air lintas kabupaten sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) huruf a yakni Sungai Polapare dan Sungai Loko Kalada yang melintasi Kabupaten
Sumba Barat Daya dan Sumba Barat yang dikoordinasi oleh Pemerintah Provinsi.
(3) Sistem jaringan sumber daya air kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. sistem wilayah sungai adalah WS Sumba dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi
DAS Polapare;
b. rencana pembangunan Bendungan Polapare di Kecamatan Kodi Balaghar;
c. rencana pembangunan bendung dan embung baru yang tersebar di seluruh kecamatan

21
Bagian Ketujuh
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 17
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf f,
meliputi :
a. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM);
b. sistem jaringan persampahan wilayah;
c. sistem jaringan evakuasi bencana; dan
d. sistem jaringan drainase.
(2) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a,
meliputi:
a. rencana pembangunan fisik SPAM yaitu di mata air Mataloko di Kecamatan Wewewa
Utara dan Kodi Utara; dan mata air Wee Cambaka di Kecamatan Wewewa Selatan.
b. peningkatan kapasitas SPAM yang telah terbangun meliputi :
1) mata air Wee Amba Karuni, Wee Kapulot dan Wee Mataliku di Kecamatan Loura
2) mata air Watulabara di Kecamatan Wewewa Barat;
c. rencana pemenuhan kapasitas dan pengembangan SPAM, meliputi :
1) pengembangan dan pemanfaatan mata air meliputi :
a) mata air Mata Loko di Kecamatan Kodi Utara dengan kapasitas debit 300 (tiga
ratus) liter per detik;
b) mata air Wee Mangura di Kecamatan Wewewa Barat dengan kapasitas debit
249,15 (dua ratus empat puluh sembilan koma lima belas) liter per detik;
c) mata air Wee Kelosawah di Kecamatan Wewewa Timur dengan kapasitas
debit 1.081,51 (seribu delapan puluh satu koma lima puluh satu) liter per detik;
d) mata air Wee Labonga di Kecamatan Wewewa Tengah dengan kapsitas debit
12 (dua belas) liter per detik;
e) mata air Wee Umbucalo di Kecamatan Loura;
f) mata air Umbu Wango di Kecamatan Wewewa Selatan dengan kapasitas debit
690,57 (enam ratus sembila puluh koma lima puluh tujuh) liter per detik
g) mata air Wee Rende di Kecamatan Kodi Balghar dengan kapasitas debit 13,33
(tiga belas koma tiga puluh tiga) liter per detik
h) mata air Wee Naba di Kecamatan Wewewa Timur dengan kapasitas debit
49,02 (empat puluh sembilan koma dua) liter per detik.
2) pengembangan dan peningkatan kapasitas Mata Air Wee Key di Kecamatan Kodi
dengan kapasitas 230 (dua ratus tiga puluh) liter per detik.
d. pemenuhan SPAM secara swadaya.
e. peningkatan dan perbaikan kualitas pemenuhan air minum Bukan Jaringan Perpipaan
(BJP) di seluruh kecamatan
f. pelayanan SPAM terlampir sebagaimana tercantum dalam lampiran I.C
(3) Sistem jaringan persampahan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. Pengembangan TPA yang sudah ada di Desa Rama Dana Kecamatan Loura
b. rencana pembangunan TPA di Desa Bondo Boghila Kecamatan Loura.
c. pembangunan TPST direncanakan di seluruh kecamatan
(4) Sistem jaringan evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
a. jalur evakuasi rawan bencana banjir dari titik lokasi banjir melalui jalan utama ke
lokasi fasilitas umum;

22
b. jalur evakusai rawan bencana angin topan dari titik lokasi angin topan7 melalui jalan
utama ke fasilitas umum yang mempunyai kontruksi bangunan yang kuat;
c. jalur evakuasi rawan tsunami dari titik lokasi tsunami menju jalan utama ke lokasi
fasilitas umum yang terdekat (jarak dari lokasi Tsunami kurang lebih 3 (tiga)
kilometer)
(5) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d, meliputi:
a. pengembangan jaringan drainase primer yang sudah ada dengan panjang 113,83
(seratus tiga belas koma delapan tiga) kilometer yang terdapat di sepanjang jalan
strategis nasional, kolektor primer 1 dan kolektor primer 2.
b. pengembangan jaringan drainase sekunder yang sudah ada dengan panjang 8,57
(delapan koma lima tujuh) kilometer yang terdapat di sepanjang jalan kolektor primer
1, lokal primer dan lingkungan primer.
c. pengembangan jaringan drainase sekunder rencana (penambahan baru) dengan
panjang 131,85 (seratus tiga puluh satu koma delapan lima) kilometer di sepanjang
jalan kolektor primer 1 dan lokal primer.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH

Bagian Pertama
Umum

Pasal 18
(1) Rencana pola ruang di Kabupaten Sumba Barat Daya meliputi :
a. kawasan peruntukan lindung; dan
b. kawasan peruntukan budidaya.
(2) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran II, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Peruntukan Lindung

Pasal 19
Kawasan peruntukan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, meliputi:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan lindung geologi;
d. kawasan lindung rawan bencana yang tingkat erawanan dan probalitas ancaman atau
dampak paling tinggi; dan
e. kawasan cagar budaya

23
Paragraf 1
Kawasan yang memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 20
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a berupa kawasan hutan lindung yang direncanakan seluas
kurang lebih 10.965,72 (sepuluh ribu sembilan ratus enam puluh lima koma tujuh puluh dua)
hektar yang tersebar di Kecamatan Kota Tambolaka, Kecamatan Loura, Kecamatan Wewewa
Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Tengah, Kecamatan Wewewa
Selatan dan Kecamatan Kodi Utara.

Paragraf 2
Kawasan Pelindungan Setempat

Pasal 21
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, meliputi:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai; dan
c. kawasan sekitar danau/waduk.
(2) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan seluas kurang
lebih 681,06 (enam ratus delapan puluh satukoma nol enam) hektar, yang tersebar di
Kecamatan Kota Tambolaka, Kecamatan Loura, Kecamatan Kodi Balaghar, Kecamatan
Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Utara dengan sempadan pantai
mencakup daratan tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk morfologi pantai
paling dekat 100 (seratus) meter dari titik tertinggi muka air ke arah darat untuk tidak
digunakan sebagai bangunan permanen atau kawasan budidaya lainnya dan harus terbuka
untuk akses untuk umum.
(3) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b direncanakan seluas kurang
lebih 3.502,97 (tiga ribu lima ratus dua koma sembilan puluh tujuh) hektar, yang tersebar
di seluruh kecamatan dengan sempadan sungai meliputi :
a. garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan , ditentukan:
1) paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan
3 (tiga) meter;
2) paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 (tiga) meter sampai
dengan 20 (dua puluh) meter; dan
3) paling sedikit berjarak 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 (dua puluh) meter.
b. garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan
paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang
alur sungai.
c. garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditentukan paling
sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
d. garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit
berjarak 5 (lima) meter dari tepi luar kaki bertanggul sepanjang alur sungai.
(4) Kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c direncanakan
seluas kurang lebih 79,00 (tujuh puluh sembilan koma nol nol) hektar yang tersebar di
Kecamatan Kota Tambolaka, Kecamatan Laoura, Kecamatan Kodi Utara, Kecamata Kodi

24
Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar, Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa
Timur dan Kecamatan Wewewa Tengah dengan sempadan danau/waduk ditentukan
mengelilingi danau/waduk paling sedikit berjarak 50 (lima puluh) meter dari tepan air
tinggi yang pernah terjadi.
Paragraf 3
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 22
Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d yaitu kawasan yang
memberikan perlindungan terhadap air tanah berupa sempadan mata air direncanakan seluas
kurang lebih 1.384,96 (seribu tiga ratus delapan puluh empat koma sembilan puluh enam)
hektar yang tersebar di seluruh kecamatan dengan sempadan mata air paling sedikit berjarak
200 (dua ratus) meter dari pusat mata air.

Paragraf 4
Kawasan Lindung Rawan bencana Yang Tingkat Kerawanan dan Probalitas Ancaman
atau Dampak Paling Tinggi

Pasal 23
(1) Kawasan lindung rawan bencana yang tingkat kerawanan dan probalitas ancaman atau
dampak paling tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, meliputi :
a. kawasan rawan banjir;
b. kawasan rawan angin topan; dan
c. kawasan rawan tsunami.
(2) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di seluruh
kecamatan.
(3) Kawasan rawan angin topan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di
seluruh kecamatan.
(4) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di kawasan
pantai utara dan pantai selatan Kabupaten Sumba Barat Daya.

Paragraf 5
Kawasan Cagar Budaya

Pasal 24
Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f yaitu kawasan cagar
budaya berupa kampung situs, meliputi :
a. kampung situs Tosi, kampung situs Mbukubani, kampung situs Toda dan kampung situs
Bongu di Kecamatan Kodi;
b. kampung situs Walandimu, kampung situs Parona Baroro dan kampung situs Ratenggaro
di Kecamatan Kodi Bangedo;
c. kampung situs Wainyapu di Kecamatan Kodi Balaghar;
d. kampung situs Manola dan kampung situs Wano Maneka, kampung situs Umbu Koba,
kampung situs Rara, kampung situs Wanno Bo’u, kampung situs Umbu Wango, kampung
situs Rato Weri dan Batu Megalitikum Watu Mette di Kecamatan Wewewa Selatan;
e. kampung situs Wee Lewo di Kecamatan Wewewa Timur; dan
f. kampung situs Totok Kalada dan kampung situs Bondo Kapumbu di Kecamatan Loura.

25
Bagian Ketiga
Kawasan Peruntukan Budidaya

Pasal 25
Kawasan peruntukan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan peruntukan industri;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman;
g. kawasan pertahanan dan kemanan; dan
h. kawasan transportasi.

Paragraf 1
Kawasan Hutan Produksi

Pasal 26
Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a yaitu berupa kawasan
hutan produksi terbatas yang direncanakan dengan luas kurang lebih 8.150,63 (delapan ribu
seratus lima puluh dua koma enam puluh tiga) hektar tersebar di seluruh kecamatan.

Paragraf 2
Kawasan Pertanian

Pasal 27
(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, meliputi :
a. kawasan tanaman pangan;
b. kawasan hortikultura;
c. kawasan perkebunan; dan
d. kawasan peternakan.
(2) Kawasan tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan tanaman pangan direncanakan dengan luas kurang lebih 55.320 (lima puluh
ribu lima ratus tiga puluh dua) hektar yang tersebar di seluruh kecamatan.
b. arahan komoditas untuk kawasan tanaman pangan, meliputi :
1) padi sawah diarahkan di seluruh kecamatan
2) padi ladang diarahkan di seluruh kecamatan
3) jagung diarahkan di seluruh kecamatan
4) ubi kayu diarahkan di seluruh kecamatan
5) ubi jalar diarahkan di seluruh kecamatan
6) kacang tanah diarahkan di seluruh kecamatan.
7) kacang hijau diarahkan di seluruh kecamatan
8) kacang kedelai diarahkan di Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Kodi
Utara, Kecamatan Wewewa Tengah, Kecamatan Loura, Kecamatan Wewewa
Selatan dan Kecamatan Kota Tambolaka.
(3) Kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi :

26
a. kawasan hortikultura direncanakan dengan luas kurang lebih 9.753 (Sembilan ribu
tujuh ratus lima puluh tiga) hektar yang tersebar di seluruh kecamatan.
b. arahan komoditas untuk kawasan hortikultura, meliputi :
1) bawang merah diarahkan di Kecamatan Loura, Kecamatan Kota Tambolaka,
Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Wewewa Utara,
Kecamatan Wewewa Barat dan Kecamatan Wewewa Tengah
2) bawang putih diarahkan di Kecamatan Loura.
3) cabe diarahkan di seluruh kecamatan.
4) wortel diarahkan di Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur,
Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Wewewa Tengah, Kecamatan Wewewa
Selatan, Kecamatan Loura dan Kecamatan Kodi Utara
5) kacang panjang diarahkan di seluruh kecamatan.
6) kacang buncis diarahkan di seluruh kecamatan.
7) tomat diarahkan di seluruh kecamatan.
8) sawi diarahkan di seluruh kecamatan.
9) kol diarahkan di seluruh kecamatan
10) semangka diarahkan di Kecamatan Loura, Kecamatan Kota Tambolaka dan
Kecamatan Kodi Utara.
11) pisang diarahkan di seluruh kecamatan.
12) mangga diarahkan di seluruh kecamatan
13) jeruk diarahkan di seluruh kecamatan.
14) rambutan diarahkan di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Selatan,
Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa
Tengah dan Kecamatan Wewewa Utara
15) durian diarahkan di Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur,
Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa Tengah dan Kecamatan
Wewewa Utara.
(4) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. kawasan perkebunan direncanakan dengan luas kurang lebih 41.891 (empat puluh
satu ribu delapan ratus Sembilan puluh satu) hektar yang tersebar di Kecamatan
Wewewa Timur dan Kecamatan Wewewa Selatan.
b. arahan komoditas untuk kawasan perkebunan, meliputi :
1) jambu mete tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Selatan,
Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Loura dan
Kecamatan Kota Tambolaka.
2) kelapa tersebar di seluruh kecamatan
3) kopi tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Selatan,
Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa
Tengah, Kecamatan Wewewa Utara dan Kecamatan Loura.
4) kakao tersebar di seluruh kecamatan.
5) vanili tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa
Timur, Kecamatan Wewewa Tengah dan Kecamatan Wewewa Utara.
6) cengkeh tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa
Timur, Kecamatan Wewewa Tengah dan Kecamatan Wewewa Utara.

27
7) pinang tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Selatan,
Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa
Tengah, Kecamatan Wewewa Utara dan Kecamatan Loura.
8) sirih tersebar di seluruh kecamatan.
9) jarak pagar tersebar di seluruh kecamatan.
10) kemiri tersebar di seluruh kecamatan.
11) kapuk tersebar di seluruh kecamatan.
12) kapas tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Loura, Kecamatan
Kota Tambolaka dan Kecamatan Kodi Utara
13) tembakau tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Selatan,
Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa
Utara dan Kecamatan Wewewa Tengah
14) tebu tersebar di Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar,
Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Utara.
(5) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. pengembangan peternakan dengan pola semi intensif di seluruh kecamatan.
b. pengembangan peternakan dengan pola intensif di seluruh kecamatan.
c. adapun komoditi peternakan di Kabupaten Sumba Barat daya, meliputi :
1) sapi potong tersebar di seluruh kecamatan;
2) kerbau tersebar di seluruh kecamatan;
3) kuda tersebar di seluruh kecamatan;
4) kambing tersebar di seluruh kecamatan;
5) babi tersebar di seluruh kecamatan;
6) ayam kampung tersebar di seluruh kecamatan
7) ayam petelur tersebar di seluruh kecamatan;
8) ayam pedaging di seluruh kecamatan; dan
9) itik manila/ bebek tersebar di seluruh kecamatan.

Paragraf 3
Kawasan Perikanan

Pasal 28
(1) Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, meliputi :
a. kawasan perikanan tangkap;
b. kawasan perikanan budidaya;
c. kawasan pengolahan ikan; dan
d. kawasan pelabuhan perikanan.
(2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, tersebar di perairan
Selat Sumba dan Samudera Hindia dengan potensi perikanan tangkap berupa ikan
tongkol, ikan julung-julung, ikan tembang, ikan lemuru, teripang, lobster dan cumi-cumi.
(3) Kawasan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. pengembangan kawasan perikanan budidaya terdapat di seluruh kecamatan dengan
potensi perikanan budidaya berupa ikan Kaper, ikan Nila dan ikan Lele.
b. pengembangan budidaya rumput laut di Pantai Katewel Desa Lete Konda, Pantai
Kawonah di Desa Bondobohila Kecamatan Loura, Kecamatan Kodi Balaghar dan
Desa Maliti Bondo Ate Kecamatan Kodi Bangedo

28
c. pengembangan kawasan minapolitan budidaya rumput laut di Kecamatan Loura,
Kecamatan Kodi Balaghar dan Kecamatan Kodi
(4) Kawasan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diarahkan pada
industri rumah tangga pada pusat-pusat permukiman nelayan yaitu di Desa Katewel dan
Desa Waikelo Kecamatan Loura dan Desa Pero Kodi di Kecamatan Kodi
(5) Kawasan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
direncanakan dengan luas kurang lebih 19,82 (Sembilan belas koma delapan puluh dua)
hektar yang terdapat di Kecamatan Kodi

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 29
Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d, berupa sentra
industri kecil dan menengah yang direncanakan dengan luas kurang lebih 611,67 (enam ratus
sebelas koma enam puluh tujuh) hektar , meliputi :
a. industri menengah dan pergudangan tersebar di Kecamatan Kota Tambolak, Kecamatan
Loura, Kecamatan Kodi Utara, Kecamatan Wewewa Barat, KecamatanWewewa Selatan
dan Kecamatan Wewewa Timur
b. industri kecil dikembangkan di seluruh kecamatan.

Paragraf 5
Kawasan Pariwisata

Pasal 30
(1) Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e, direncanakan dengan
luas meliputi:
a. kawasan pariwisata alam;
b. kawasan pariwisata budaya; dan
c. kawasan pariwisata buatan.
(2) Kawasan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. kawasan pariwisata alam berupa pantai direncanakan seluas kurang lebih 1.310,77
(seribu tiga ratus sepuluh koma tujuh puluh tujuh) hektar, meliputi :
1) pantai Pero, Pantai Bondo Kawango, pantai Tosi dan Pantai Tanjung Karoso di
Kecamatan Kodi;
2) pantai Mandorak dan Pantai Huma di Kecamatan Kodi Utara;
3) pantai Rada Kapal dan pantai Ratenggaro di Kecamatan Kodi Bangedo;
4) pantai Marapu, pantai Wainyapu, pantai Bawanna, pantai Watumaladong dan
Pantai Rica, pantai Tanjung Mareha, pantai Waikataku di Kecamatan Kodi
Balaghar;
5) pantai Katewel, pantai Newa, pantai Oro, pantai Kawona dan pantai Mananga
Aba dan Pantai Kaghona di Kecamatan Loura; dan
6) pantai Waikelo di Kecamatan Kota Tambolaka.
b. kawasan pariwisata alam lainnya, meliputi :
1) laguna Wee Kuri, ramuk Waikahaka dan gua Rambe Manu, danau Wai Maneba
di Kecamatan Kodi Utara;
2) danau Wee Wini, danau Wee Wella, danau Wee Rabuka di Kecamatan Kodi
Utara;

29
3) air terjun Pabeti Lakera, air terjun Kalito di Ds. Umbu Wango, mata air Wee
Maretti, mata air Wee Ghumbul di Kecamatan Wewewa Selatan;
4) air terjun Lokomboro dan Gua Waikelo Sawah di Kecamatan Wewewa Timur;
5) bukit Lendo Ngara di Desa Karuni, Kecamatan Loura;
6) Weekatura/Padeku Watu di Desa Kadi Wanno Kecamatan Wewewa Timur;
7) wahana wisata Border Park di Kilo 6 Desa Tema Tana Kecamatan Wewewa
Timur;
8) wahana wisata Watu Kanggoroka Desa Redapada Kecamatan Wewewa Barat;
dan
9) Wisata Air arung jeram Desa Dikira Kecamatan Wewewa Timur.
10) Tebing Kalingara di Desa Kalingara, Wewewa Tengah
(3) Kawasan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. kawasan kampung adat, meliputi :
1) kampung situs Tossi, kampung situs Mbuku Mbani, kampung situs Toda dan
kampung situs Bongu di Kecamatan Kodi;
2) kampung situs Walandimu, kampung situs Parona Baroro dan kampung situs
Ratenggaro di Kecamatan Kodi Bangedo;
3) kampung situs Wainyapu di Kecamatan Kodi Balaghar;
4) kampung situs Manola dan kampung situs Wano Maneka, kampung situs Umbu
Koba kampung situs Rara, kampung situs Wanno Bo’u, kampung situs Umbu
Wango, kampung situs Rato Weri dan Batu Megalitikum Watu Mette di
Kecamatan Wewewa Selatan;
5) kampung situs Wee Lewo di Kecamatan Wewewa Timur; dan
6) kampung situs Totok Kalada dan kampung situs Bondo Kapumbu di Kecamatan
Loura.
b. kawasan atraksi wisata budaya, meliputi :
1) atraksi Pasola Hombakalayo Desa Waikaninyo Kecamatan Kodi Bangedo,
Bondo Kawango Desa Pero Batang Kecamatan Kodi, Rarawinyo, Desa Ate Dalo
Kecamatan Kodi, Maliti Bondo Ate Desa Maliti Bondo Ate Kecamatan Kodi
Bangedo, Waiha Desa Waiha Kecamatan Kodi Balaghar, Wainyapu Desa
Wainyapu Kecamatan Kodi Balaghar.
2) upacara Wula Poddu (upacara penyucian diri) di Desa Bondo Kodi Kecamatan
Kodi dan Desa Delo Kecamatan Wewewa Selatan.
3) ritual Teda (permohonan berkat atas tanaman) di Desa Umbu Ngedo Kecamatan
Kodi Bangedo.
4) upacara tarik batu kubur di seluruh kecamatan.
5) pacuan kuda di Desa Pero Batang Kecamatan Kodi, Desa Karuni Kecamatan
Loura dan Desa. Marokota Kecamatan Wewewa Barat
6) Parade 1001 kuda, festival tenun ikat dan event-event tahunan lainnya di seluruh
daratan Sumba
(4) Kawasan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi :
a. berupa rumah budaya di Desa Wee Londa Kecamatan Kota Tambolaka;
b. wisata edukasi penangkaran penyu di Pantai Mandorak di Kecamatan Kodi Utara,
Pantai Tanjung Karoso Kecamatan Kodi dan Pantai Wainyapu Kecamatan Kodi
Balaghar.
c. kawasan khusus wisata di sepanjang Pantai Bawanna Desa Kahale Kecamatan Kodi
Balaghar
d. wisata penangkaran buaya Loko Langira di Desa Bondo Boghila; dan
e. Water Boom Umbu Wango di Desa Umbu Wango, Kecamatan Wewewa Selatan.

30
Paragraf 6
Kawasan Permukiman

Pasal 31
(1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf f, meliputi :
a. kawasan permukiman perkotaan;
b. kawasan permukiman perdesaan; dan
c. kawasan permukiman transmigrasi.
(2) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan dengan luas 17.091,90 (tujuh belas ribu sembilan puluh satu koma sembilan
puluh) hektar yang tersebar di seluruh kecamatan.
(3) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
direncanakan dengan luas kurang lebih 21.644,39 (dua puluh satu ribu enam ratus empat
puluh empat koma tiga puluh sembilan) hektar yang tersebar di seluruh kecamatan.
(4) Kawasan permukiman transmigrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. pengembangan kawasan permukiman transmigrasi yang suda ada yaitu kawasan
transmigrasi Walandimu (Kimtrans Walandimu) yang tersebar di Desa Waipaddi
Kecamatan Kodi Bangedo
b. pengembangan kawasa permukiman transmigrasi rencana (penambahan baru)
kawasan transmigrasi Kodi Loura yang tersebar di Kecamatan Loura, Kecamatan
Kodi Balaghar, Kecamatan Kodi Utara dan Kecamatan Wewewa Selatan.

Paragraf 7
Kawasan Pertahanan dan Keamanan

Pasal 32
Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf g,
direncanakan dengan luas kurang lebih 56,91 (lima puluh enam koma sembilan puluh satu)
hektar berupa kawasan radar TNI AU penunjang wilayah perbatasan perairan negara yang
terdapat di Tanjung Mahera Bawana Desa Kahale Kecamatan Kodi Balaghar.

Paragraf 8
Kawasan Transportasi

Pasal 33
(1) Kawasan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf h, meliputi :
a. kawasan bandar udara; dan
b. kawasan pelabuhan.
(2) Kawasan peruntukan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
direncanakan dengan luas kurang lebih 154,00 (seratus lima puluh empat koma nol nol)
hektar di Kecamatan Kota Tambolaka.
(3) Kawasan peruntukan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
direncanakan dengan luas kurang lebih 41,57 (empat puluh satu koma lima tujuh) hektar
yang tersebar di Kecamatan Kota Tambolaka dan Kecamatan Loura

31
BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 34
(1) Kawasan Strategis yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya,terdiri atas :
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya; dan
c. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan.
(2) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran III, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan daerah ini.

Pasal 35
(1) Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a, meliputi :
a. kawasan agropolitan berbasis hortikultura dan perkebunan di Kecamatan Wewewa
Barat, Wewewa Tengah dan Kecamatan Kodi Utara
b. kawasan minapolitan berbasis perikanan meliputi Kecamatan Loura, Kecamatan Kodi
Bangedo, Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Balaghar
c. kawasan ekonomi cepat tumbuh berupa kawasan sekitar bandara, pelabuhan, industri
dan pergudangan di Kecamatan Kota Tambolaka dan Kecamatan Loura
d. kawasan pariwisata pantai di pesisir utara dan selatan
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) huruf b, berupa kampung situs yang meliputi :
a. kampung situs Tossi, kampung situs Mbuku Mbani, kampung situs Toda dan kampung
situs Bongu di Kecamatan Kodi;
b. kampung situs Walandimu, kampung situs Parona Baroro dan kampung situs
Ratenggaro di Kecamatan Kodi Bangedo;
c. kampung situs Wainyapu di Kecamatan Kodi Balaghar;
d. kampung situs Manola dan kampung situs Wano Maneka, kampung situs Umbu Koba
kampung situs Rara, kampung situs Wanno Bo’u, kampung situs Umbu Wango,
kampung situs Rato Weri dan Batu Megalitikum Watu Mette di Kecamatan Wewewa
Selatan;
e. kampung situs Wee Lewo di Kecamatan Wewewa Timur; dan
f. kampung situs Totok Kalada dan kampung situs Bondo Kapumbu di Kecamatan
Loura.
g. Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c, berupa kawasan konservasi penyu
di Pantai Mandorak dan Tanjung Karoso Kecamatan Kodi Utara dan Kecamatan Kodi

32
BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH

Bagian Pertama
Umum

Pasal 36
(1) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola
ruang.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pedanannya.
(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) disusun
berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran IV
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja
sama pendanaan.
(3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

B A B VII
KETENTUAN UMUM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Pertama
Umum

Pasal 38
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
(2) Ketentuan umum pemanfaatan ruang terdiri dari:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi administrasi.

33
Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 39
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf
a, digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung.
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya.
c. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem prasarana wilayah,
terdiri atas :
1) kawasan sekitar prasarana transportasi;
2) kawasan sekitar prasarana energi;
3) kawasan sekitar prasarana telekomunikasi;
4) kawasan sekitar prasarana sumber daya air; dan
5) kawasan sekitar prasarana lainnya.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi dijabarkan lebih lanjut di dalam Lampiran V yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Peruntukan Lindung

Pasal 40
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (2) huruf a, meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan sempadan pantai;
c. kawasan sempadan sungai;
d. kawasan sekitar danau atau waduk;
e. kawasan sekitar mata air;
f. kawasan rawan banjir;
g. kawasan rawan angin toufan;
h. kawasan rawan tsunami; dan
i. kawasan cagar budaya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan diperbolehkan/dizinkan berupa kawasan hutan lindung dilakukan
pada kawasan yang ditetapkan fungsi sebagai hutan lindung yang menjadi
kewenangan daerah;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas atau tertentu yaitu untuk kawasan peruntukan
wisata edukasi dan penelitian tanpa merubah bentang alam ; dan
c. pemanfaatan yang dilarang adalah semua kegiatan untuk kegiatan yang berpotensi
mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan diperbolehkan berupa kegiatan Ruang Terbuka Hijau yaitu sempadan
/penyangga, kawasan hutan lindung, hutan produksi dan kawasan pertanian;

34
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kawasan penunjang dari kawasan
tambak, permukiman nelayan, jalur hijau jalan, serta kawasan lainya yang
pengembanganya harus sesuai dengan peruntukan lahan yang telah ditentukan
dalam rencana tata ruang kawasan pesisir;
c. pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kegiatan rekreasi, wisata bahari, dan
ekowisata, dengan syarat tidak termasuk untuk pendirian bangunan permanen;
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi
luas, nilai ekologi dan estetika kawasan dan
e. pada point a,b dan c kegiatan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung
dengan pantai khususnya sempadan pantai harus terbuka untuk publik dan tidak
boleh menutup akses fungsi pantai.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan diperbolehkan berupa kawasan peruntukan Ruang Terbuka Hijau
yaitu sempadan /penyangga, kawasan hutan produksi dan kawasan pertanian;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kawasan perikanan budidaya dan
peternakan;
c. pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kawasan pariwisata yang berkaitan dengan
fungsi lingkungan; dan
d. pemanfaatan yang tidak berkaitan denga fungsi sungai dan yang berpotensi
mengurangi luas, nilai ekologi dan estetika kawasan.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sempadan danau atau waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan diperbolehkan berupa kegiatan Ruang Terbuka Hijau yaitu sempadan
/penyangga, kawasan hutan produksi dan kawasan pertanian;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kawasan budidaya perikanan;
c. pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kawasan pariwisata diizinkan membangun
selama tidak mengurangi kualitas tata air yang ada;
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi
luas, nilai ekologi dan estetika kawasan; dan
e. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan diperbolehkan berupa Ruang Terbuka Hijau yaitu sempadan
/penyangga, kawasan hutan produksi dan kawasan pertanian;
b. pemanfaatan secara terbatas berupa penggunaan lahan secara langsung untuk
bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi mata air;
c. pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kawasan pariwisata dimana peruntukannya
diizinkan selama tidak mengurangi kualitas tata air yang ada; dan
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang berpotensi
mengurangi luas, nilai ekologi, estetika kawasan dan kegiatan yang menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang dengan
mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana banjir;

35
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pemanfaatan dataran
banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan
rendah;
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang bagi kegiatan
permukiman dan fasilitas umum penting lainnya; dan
d. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan angin topan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang dengan
mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa kegiatan pendirian
bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan
kepentingan umum;
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang bagi kegiatan
permukiman dan fasilitas umum penting lainnya;
d. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
e. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman
bencana dan kepentingan umum.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan tsunami, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h, disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan daerah tsunami adalah daerah bahaya dengan jarak 3.500 meter dari
garis pasang tertinggi;
b. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang dengan
mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana tsunami;
c. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pemanfaatan untuk
kepentingan pemantauan ancaman bencana, pengembangan ilmu pengetahuan dan
kepentingan umum lainnya;
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang bagi kegiatan
permukiman dan fasilitas umum penting lainnya; dan
e. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf i, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan/dizinkan yaitu pemanfaatan ruang untuk
penelitian, pendidikan, pariwisata dan atraksi budaya;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kawasan peruntukan permukiman
yang berhubungan dengan kampung adat terkait dengan bangunan ritual dan
upacara adat;
c. pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kegiatan penunjang kawasan wisata budaya
sebagaimana yang dimaksud huruf b;
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan-kegiatan dan pendirian
bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan;
e. benda cagar budaya berupa bangunan yang fungsional, seperti bangunan
peninggalan bersejarah harus dikonservasi dan direhabilitasi bagi bangunan yang
sudah mulai rusak; dan
f. penerapan sistem insentif bagi bangunan yang dilestarikan dan pemberlakuan
sistem disinsentif bagi bangunan yang mengalami perubahan fungsi.

36
Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Peruntukan Budidaya

Pasal 41
(1) Ketentuan umum pengaturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2) huruf b, meliputi:
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan;
d. kawasan peruntukan industri;
e. kawasan pariwisata;
f. kawasan permukiman;
g. kawasan pertahanan dan kemanan; dan
h. kawasan transportasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan hutan dengan kegiatan di
dalamnya untuk tanaman tahunan, pertanian dan perkebunan yang tidak meganggu
fungsi hutan;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa bangunan atau utilitas
penunjang hutan produksi apa yang harus ada ditempat itu; dan
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan yaitu alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya berupa kawasan peruntukan permukiman kecuali untuk pengembangan
sistem jaringan prasarana utama.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan tanaman pangan disusun dengan
memperhatikan:
1) pemanfaatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang untuk fungsi
pertanian;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa bangunan atau utilitas
penunjang hutan produksi apa yang harus ada ditempat itu;
3) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya non pertanian (terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana utama, dan fasilitas pendukung pertanian yang sangat
mempengaruhi pada upaya peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil
panen sesuai Ketentuan/Peraturan yang berlaku; dan
4) ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) sebagaimana diuraikan pada angka 2) dan 3) diatas, yang termasuk
sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan yang ditetapkan sebagai sentra
pertanian tanaman pangan.
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hortikultura disusun dengan
memperhatikan:
1) pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan peruntukan lahan kering,
hortikultura, tanamana pangan, perkebunan, peternakan dan hutan produksi;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kegiatan budidaya yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil
misalnya permukiman;

37
3) pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kegiatan budidaya yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil misalnya
pertambangan;
4) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya non pertanian (terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana utama, dan fasilitas pendukung pertanian yang sangat
mempengaruhi pada upaya peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil
panen; dan
5) ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) sebagaimana diuraikan pada angka 2) diatas, yang termasuk sebagai
Kawasan Sentra budidaya pertanian khusus.
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perkebunan disusun dengan
memperhatikan :
1) pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan peruntukan lahan kering,
hortikultura, tanamana pangan, perkebunan, peternakan dan hutan produksi;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kegiatan budidaya yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil
misalnya permukiman;
3) pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kegiatan budidaya yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil misalnya
pertambangan;
4) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya non pertanian (terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana utama, dan fasilitas pendukung pertanian yang sangat
mempengaruhi pada upaya peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil
panen; dan
5) ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) sebagaimana diuraikan pada angka 2) diatas, yang termasuk sebagai
Kawasan Sentra budidaya perkebunan khusus.
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peternakan disusun dengan
memperhatikan:
1) pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan peruntukan kegiatan
pemeliharaan, pembiakan, penyediaan pakan ternak, lahan kering, hortikultura,
tanamana pangan, perkebunan, dan hutan produksi;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas berupa kegiatan budidaya yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil
misalnya permukiman;
3) pemanfaatan bersyarat tertentu berupa kegiatan budidaya yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi atau yang mempunyai resiko lingkungan kecil misalnya
pertambangan; dan
4) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan untuk alih fungsi lahan menjadi lahan
budidaya non pertanian (terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem
jaringan prasarana utama, dan fasilitas pendukung kegiatan peternakan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan peruntukan perikanan budidaya,
pengolahan ikan dan untuk kawasan penghijauan atau kawasan sabuk hijau seta
pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari.
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu meliputi :

38
1) pembatasan dalam pengembangan kawasan terbangun pada kawasan
perlindungan ekosistem berupa hutan bakau dan terumbu karang, serta penunjang
kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya;
2) pendirian bangunan dibatasi hanya untuk permukiman nelayan dan bangunan
yang menunjang kegiatan perikanan dan pariwisata; dan
3) pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk mempertahankan
makanan bagi biota yang bermigrasi
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan meliputi :
1) ketentuan pelarangan kegiatan pengambilan terumbu karang dan penangkapan
ikan pada kawasan perlindungan terumbu karang;
2) ketentuan pelarangan penangkapan biota laut yang dilindungi peraturan
perundang-undangan; dan
3) ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran air laut.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kegiatan kawasan industri, dan industri
rumah tangga serta kawasan industri untuk usaha mikro, kecil dan menengah;
b. pemanfaatan ruang sebagaimana tertulis pada huruf a untuk kegiatan industri baik
yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia di wilayah sekitarnya;
c. pemanfaatan ruang untuk industri rumah tangga sebagaimana tertulis pada huruf a,
diizinkan pemanfaatannya dalam kawasan permukiman dengan pembatasan pada
luasan lahan, dan dampak yang ditimbulkan (berdasarkan batasan kapasitas produksi,
tenaga kerja, transportasi yang dihasilkan, dan limbah yang dihasilkan berdasarkan
analisa daya dukung dan daya tampung lokasi).
d. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pembatasan pembangunan
rumah tinggal di dalam lokasi kawasan peruntukan industri untuk mengurangi dampak
negatif pengaruh dari keberadaan industri terhadap permukiman yang ada; dan
e. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pelarangan peruntukan lain selain
industri maupun fasilitas pendukungnya dalam kawasan yang ditetapkan sebagai
kawasan industri, kecuali kawasan peruntukan industri, industri rumah tangga dan
kawasan industri untuk usaha mikro, kecil dan menengah.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa pemanfaatan potensi alam, budaya dan
buatan masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan serta
perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pembatasan pendirian
bangunan (kecuali permukiman penduduk) pada koridor jalur wisata utama maupun
kawasan obyek wisata hanya untuk kegiatan peruntukan lahan yang menunjang
kegiatan pariwisata;
c. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa kegiatan penunjang
kebutuhan energi skala mikro; dan
d. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pendirian bangunan selain yang
dimaksud pada huruf b.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan permukiman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan berupa kawasan peruntukan permukiman, ruang
untuk peruntukan industri rumah tangga dengan kepadatan rendah dan batasan khusus
sesuai ketentuan yang berlaku dan penetapan fasilitas pendukung kegiatan

39
permukiman dan aktivitas masyarakat yang dibutuhkan secara proporsional sesuai
peraturan yang berlaku, antara lain berupa fasilitas pendidikan, kesehatan,
peribadatan, rekreasi, olah raga dan lain-lain sesuai kebutuhan masyarakat setempat;
dan
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa bangunan atau utilitas
penunjang permukiman yang harus ada ditempat itu.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertahanan dan keamanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi :
a. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan meliputi kegiatan pembangunan untuk
prasarana dan sarana penunjang aspek pertahanan dan keamanan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penghijauan;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu meliputi pemanfaatan ruang secara
terbatas dan selektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan selain sebagaimana
dimaksud pada huruf a) dan huruf b).
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan transportasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h, meliputi :
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan bandar udara , disusun dengan
memperhatikan:
1) pemanfaatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan pemanfaatan ruang yang
secara langsung dan tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara berupa
fasilitas perbengkelan pesawat udara, fasilitas pergudangan, penginapan, toko,
restoran, lapangan, RTH, perparkiran, rekreasi, perkantoran, dan fasilitas olah
raga;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu meliputi industri non polutan
dan fasiltas umum dan sosial berdasarkan ketentuan KKOP, kawasan kebisingan
dan peraturan terkait penerbangan yang telah ditetapkan.
3) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan meliputi permukiman berupa kegiatan
perumahan, sekolah, dan rumah sakit.
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pelabuhan, disusun
dengan memperhatikan:
1) pemanfaatan ruang yang diperbolehkan untuk kebutuhan operasional dan
pengembangan kawasan pelabuhan;
2) pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pembatasan
pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
3) pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan di ruang udara bebas di
atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Sekitar Sistem Prasarana Wilayah

Pasal 42
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem prasarana wilayah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c, meliputi :
a. kawasan sekitar prasarana transportasi;
b. kawasan sekitar prasarana energi;
c. kawasan sekitar prasarana telekomunikasi;
d. kawasan sekitar prasarana sumber daya air; dan
40
e. kawasan sekitar prasarana lainnya.

Pasal 43
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana transportasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, meliputi:
a. kawasan sekitar jalan kolektor primer;
b. kawasan sekitar jalan lokal primer; dan
c. kawasan sekitar terminal penumpang.
(2) Ketentuan peraturan zonasi untuk kawasan sekitar jalan kolektor primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk pemanfaatan lahan di sepanjang koridor jalan
kolektor primer untuk kegiatan skala provinsi dan kabupaten dan untuk prasarana
pergerakan yang menghubungkan antar pusat-pusat kegiatan.
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu meliputi :
1) pembatasan pengembangan pemanfaatan lahan di sepanjang koridor jalan kolektor
primer untuk kegiatan skala kecamatan dan atau lebih rendah;
2) pembatasan terhadap bangunan dengan penetapan garis sempadan bangunan yang
terletak ditepi jalan kolektor primer;
3) pembatasan ahli fungsi lahan berfungsi budidaya di sepanjang jalan kolektor primer;
dan
4) ketentuan garis sempadan bangunan sesuai peraturan perundang-undangan.
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pelarangan alih fungsi lahan yang
berfungsi lindung di sepanjang jalan kolektor primer.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar jalan lokal primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk pemanfaatan sebagai berikut :
1) diperbolehkan untuk prasarana pergerakan yang menghubungkan antar pusat-pusat
kegiatan;
2) diperbolehkan pemanfaatan lahan di sepanjang koridor jalan lokal primer untuk
kegiatan skala kabupaten dan kecamatan; dan
3) diperbolehkan pemanfaatan bagi pergerakan lokal dengan tidak mengurangi fungsi
pergerakan antar pusat-pusat kegiatan dalam wilayah tersebut.
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu meliputi :
1) pembatasan terhadap bangunan dengan penentapan garis sempadan bangunan yang
terletak ditepi jalan lokal primer; dan
2) pembatasan alih fungsi lahan berfungsi budidaya di sepanjang jalan lokal primer;
dan
3) ketentuan garis sempadan bangunan sebesar ½ rumija +1.
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pelarangan alih fungsi lahan yang
berfungsi lindung di sepanjang jalan lokal primer.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi disekitar prasarana terminal penumpang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan :
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk prasarana terminal, bagi pergerakan orang,
barang dan kendaraan
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu terhadap pemanfaatan ruang di
dalam lingkungan kerja terminal;
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan terhadap pemanfaatan ruang di dalam
lingkungan kerja terminal; dan
d. dibedakan jalur sirkulasi terminal penumpang dan jalur sirkulasi terminal barang.

41
Pasal 44
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana energi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk :
1) pemanfaatan ruang di sekitar gardu induk listrik harus memperhatikan jarak aman dari
kegiatan lain;
2) pemanfaatan ruang di sepanjang jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan
Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) diarahkan sebagai ruang terbuka hijau.
b. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan yaitu pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur
transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 hurud c disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan meliputi :
1) menempatkan sempadan menara telekomunikasi;
2) diizinkan pembuatan jaringan kabel yang melintasi tanah miliki atau dikuasai
pemerintah
3) mengarahkan penggunaan menara telekomunikasi bersama;
4) pengembangan jaringan baru atau pengganti lama pada pusat sistem pelayanan dan
ruas-ruas jalan utama diarahkan dengan sistem jaringan bawah tanah atau jaringan
tanpa kabel, pembangunan jaringan telekomunikasi harus mengacu pada rencana pola
ruang dan arah perkembangan pembangunan;
5) penempatan menara telekomunikasi atau tower wajib memperhatikan keamanan,
keselamatan umum, dan estetika lingkungan serta diarahkan memanfaatkan tower
secara terpadu pada lokasi yang telah ditentukan; dan
6) jarak antara tiang telepon tidak melebihi 40 (empat puluh) meter.
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu yaitu pemanfaatan ruang udara yang
digunakan untuk penempatan menara pemancar telekomunikasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan yaitu pendirian bangunan di sekitar menara
telekomunikasi atau tower dalam radius bahaya keamanan dan keselamatan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 46
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana sumber daya air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d, disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan ruang yang diperbolehkan meliputi :
1) diperbolehkan pemanfaatan ruang daerah aliran sungai lintas kabupaten, termasuk
daerah hulunya, yang dilakukan oleh kabupaten yang berbatasan dan sejalan dengan
arahan pola ruang wilayah;
2) penetapan garis sempadan jaringan irigasi sesuai ketentuan dan perundangan yang
berlaku;
3) kegiatan pertanian yang diperbolehkan sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan
dan bentang alam; dan

42
4) diperbolehkan kegiatan perikanan sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan
bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air.
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu yaitu pemanfaatan ruang di sekitar
wilayah sungai, waduk, pengendali banjir agar tetap dapat dijaga kelestarian lingkungan dan
fungsi lindung kawasan;
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan, meliputi :
1) dilarang membangun bangunan maupun melakukan kegiatan sekitar prasarana sumber
daya air yang dapat mengganggu, mecermarkan, dan merusak fungsi prasarana sumber
daya air; dan
2) pelarangan terhadap pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sumber daya air, daerah
irigasi, waduk, sekitar pengendali banjir.

Pasal 47
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 huruf e, meliputi :
a. kawasan sekitar prasarana Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM);
b. kawasan sekitar prasarana persampahan
c. kawasan sekitar prasarana evakuasi bencana; dan
d. kawasan sekitar prasarana drainase.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. diperbolehkan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jaringan
b. diperbolehkan dengan syarat mendirikan bangunan untuk mendukung sarana sumber
daya air.
c. tidak diperbolehkan, meliputi :
1) mendirikan bangunan di atas jaringan pipa induk;
2) mendirikan bangunan di sempadan sungai dan sempadan waduk/bendung.
3) membangun instalansi pengolahan air minum langsung pada sumber air baku.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasarana persampahan
sebagaimana dimasud pada ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk kegiatan daur ulang sampah sepanjang tidak
merusak lingkungan dan bentang alam maupun perairan setempat dan penyediaan
prasarana penunjang pengelolaan sampah;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa semua pemanfaatan ruang
disekitar persampahan;
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa penataan ruang dan kegiatan disekitar
persampahan dan tidak diperbolehkan TPA berdekatan dengan kawasan permukiman.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasaran jalur evakuasi bencana
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan :
a. pemanfaatan yang diperbolehkan untuk keberadaan ruang terbuka sepanjang tidak
merusak tatanan lingkungan dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas
lingkungan;
b. pemanfaatan bersyarat secara terbatas dan tertentu berupa pengunaan pemanfaatan
ruang disekitar ruang terbuka.
c. pemanfaatan yang tidak diperbolehkan berupa pemanfaatan ruang dan kegiatan di ruang
terbuka.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar prasaran drainase sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan :
a. diperbolehkan kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jaringan; dan
b. tidak diperbolehkan kegiatan yang menimbulkan pencemaran saluran air.
43
Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 48
(1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang harus mendapat izin langsung
dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya disebut dengan izin pemanfaatan
ruang.
(3) Pemberian izin harus memperhatikan kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTRW,
RDTRK, RTRKS dan peraturan zonasi yang telah ditetapkan.
(4) Jenis-jenis izin pemanfaatan ruang yang dapat diberikan meliputi :
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. izin mendirikan bangunan; dan
e. izin lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(5) Izin pemanfaatan ruang diberikan untuk:
a. menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi,
dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan
c. melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.
(6) Izin pemanfaatan ruang diberikan kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan
kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan atau zona berdasarkan rencana tata
ruang.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 49
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata
ruang.
(3) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan
urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau Pemerintah Daerah.
(4) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana
tata ruang.
(5) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan

44
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
(6) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
(7) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi Administrasi

Pasal 50
Pengenaan sanksi administrasi merupakan pengenaan sanksi terhadap :
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah
kabupaten;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW
Kabupaten;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan
berdasarkan RTRW Kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
g. izin pemanfaatan ruang yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Pasal 51
(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b,
huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan
i. denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembongkaran bangunan;
f. pemulihan fungsi ruang; dan
g. denda administratif.

45
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 53
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B A B VIII
HAK, KEWAJIBAN, PERAN MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG

Pasal 54
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci di kabupaten;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Daerah dan/atau pemegang izin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan
kerugian.

Pasal 55
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 56
(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang, selain dari Lembaran Daerah masyarakat dapat
mengetahui rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman atau
penyebarluasan oleh Pemerintah Dearah.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarluasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/pemasangan peta rencana tata
ruang yang bersangkutan pada tempat-tempat umum dan juga pada media massa, serta
melalui pembangunan sistem informasi tata ruang.

46
Pasal 57
(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b, pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung
didalamnya, menikmati manfaat ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
berupa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dilaksanakan atas dasar pemilikan,
penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada
masyarakat setempat.
Pasal 58
(1) Hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula
yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat pelaksanaan RTRW diselenggarakan
dengan cara musyawarah antara pihak yang berkepentingan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah, masyarakat wajib berperan serta dalam memelihara
kualitas ruang dan mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Pasal 60
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-
aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun
temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung
lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, peran masyarakat dapat berbentuk :
a. pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;
b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah dan kawasan yang mencakup lebih dari satu wilayah daerah;
c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan RTRW dan rencana tata ruang
kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah;
d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan;
e. bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan menjaga,
memelihara, serta meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
f. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan suber daya alam.

Pasal 62
(1) Tata cara peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

47
(2) Pelaksanaan peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Pemerintah Daerah.

Pasal 63
Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran masyarakat dapat berbentuk :
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan, termasuk pemberian
informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang kawasan dimaksud; dan
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang.

Pasal 64
Peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 disampaikan secara lisan atau tertulis kepada Bupati dan Pejabat yang ditunjuk.

B A B IX
KELEMBAGAAN

Pasal 65
(1) Dalam ragka mengkoordinasikan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah
bidang penataan ruang dibentuk Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati

B A B X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 66
(1) RTRW memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
(2) RTRW dilengkapi dengan lampiran perda dan album peta skala 1 : 50.000.
Pasal 67
RTRW menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi
pertanahan.

Pasal 68
RTRW menjadi pedoman untuk :
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis.

48
Pasal 69
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang (RTRW) Kabupaten Sumba Barat Daya adalah 20
(dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan ditinjuau kembali 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas
teritorial negara, wilayah Provinsi, dan/atau wilayah daerah yang ditetapkan dengan
Undang-Undang, RTRW dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 70
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. izin pemanfaatan rung yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
Peraturan daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1) untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian
dengan masa transisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
3) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan
untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian
yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak.
c. pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan
Peraturan Daerah ini.
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, agar
dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.

49
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 71
Ketentuan mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah ini diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.

Pasal 72
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya

Ditetapkan di Sumba Barat Daya


pada tanggal

BUPATI SUMBA BARAT DAYA,

MARKUS DAIRO TALU, SH

Diundangkan di Sumba Barat Daya


pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
…………………………………….

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2016 NOMOR.......SERI

50
PENJELASAN
ATAS

RENCANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA


NOMOR : TAHUN 2016

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA
TAHUN 2017 – 2037

I. UMUM

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah
penataan ruang sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang
berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik, daya dukung dan daya
tampung lingkungan, serta didukung oleh teknologi yang sesuai akan meningkatkan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan sub sistem. Hal itu berarti akan dapat
meningkatkan kualitas ruang yang ada. Karena pengelolaan sub sistem yang satu
berpengaruh pada subsistem yang lain dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem
wilayah ruang nasional secara keseluruhan, pengaturan penataan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utama. Hal itu berarti perlu
adanya suatu kebijakan tentang penataan ruang yang dapat memadukan berbagai
kebijakan pemanfaatan ruang. Seiring dengan maksud tersebut, pelaksanaan
pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, maupun
masyarakat, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah, harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan
ruang oleh siapa pun tidak boleh bertentangan dengan rencana tata ruang.
Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
dirasakan adanya penurunan kualitas ruang pada sebagian besar wilayah, menuntut
penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan dalam rangka
penyelenggaraan penataan ruang yang baik, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah
yang memberikan wewenang yang semakin besar dalam penyelenggaraan penataan
ruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian
dan keterpaduan antardaerah, serta tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah dan
kesadaran dan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataan ruang
yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat
Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan dengan ditetapkan peraturan bupati
tentang hasil peninjauan kembali RTRW Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2009-
2029, maka disusun Refisi RTRW Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2017-2037.

51
RTRW Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2017 sampai dengan 2037,
disusun sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Secara subtansi mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Nasional dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
16/KPTS/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW kabupaten, sedangkan secara
mekanisme telah dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28
Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/M/2009.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Tujuan penataan ruang wilayah merupakan arahan perwujudan ruang wilayah
kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pasal 4
Kebijakan penataan ruang wilayah daerah merupakan arah tindakan yang harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten.
Pasal 5
Strategi penataan ruang wilayah daerah merupakan penjabaran kebijakan
penataan ruang wilayah kabupaten ke dalam langkah-langkah operasional untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pasal 6
Rencana struktur ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem
perkotaan wilayah kabupaten dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang
dikembangkan untuk mengintegrasi wilayah kabupaten selain untuk melayani
kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem
jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem
jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk
dari daerah aliran sungai dan jaringan prasarana lainnya. Dalam rencana tata
ruang wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan wilayah kabupaten
dan peletakan jaringan prasarana wilayah yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan
kewenangan pemerintah daerah kabupaten.
Rencana struktur ruang wilayah kabupaten memuat rencana struktur ruang yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Povinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang
bersangkutan.
Rencana struktur ruang wilayah kabupaten merupakan kerangka tata ruang
wilayah kabupaten yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan yang
berhierarki satu sama lain yang dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana
wilayah terutama jaringan transportasi.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.

52
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
a. Cukup Jelas
b. Untuk nama ruas jalan didasarkan pada Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
248/KPTS/M/2015 Tentang Penetapan Ruas Jalan Dalam Jaringan Jalan
Primer Menurut Fungsinya Sebagai Jalan Arteri (JAP) Dan Jalan
Kolektor-1 (JKP-1).
Ayat (4)
Untuk nama ruas jalan di dasarkan pada Surat Keputusan Bupati Sumba
Barat Daya Nomor 563/KEP/HK/2015 Tentang Penetapan Status Ruas
Jalan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pelabuhan pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya
melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut
dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyebrangan
dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Bandar udara pengumpan adalah :
1. Bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan
mempengaruhi perkembangan ekonomi lokal.
2. Bandar udara tujuan atau bandar udara penunjang dari bandar udara
pengumpul.
3. Bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan
kegiatan lokal.
Ayat (3)
Cukup Jelas.

53
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Pola ruang wilayah kabupaten merupakan gambaran pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budidaya
yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Pola ruang wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya
memperhatikan pola ruang wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
Rencana pola ruang wilayah kabupaten memuat rencana pola ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang
wilayah Provinsi yang terkait dengan wilayah Kabupaten yang bersangkutan
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor SK.357/MenLHK/Setjen/PLA.05/2016 tanggal 11 Mei 2016 Tentang
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan seluas
kurang lebih 54.163 (lima puluh empat ribu seratus enam puluh tiga) hektar,
perubahan fungsi kawasan hutan seluas kurang lebih 12.168 (dua belas ribu
seratus enam pulluh delapan) hektar, dan penunjukkan bukan kawasan hutan
menjadi kawasan hutan seluas kurang lebih 11.811 (sebelas ribu delapan ratus
sebelas) hektar di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Kawasan budidaya menggambarkan kegiatan dominan yang berkembang di
dalam kawasan tersebut. Dengan demikian masih dimungkinkan keberadaan
kegiatan budidaya lainnya di dalam kawasan tersebut. Sebagai contoh, pada
kawasan peruntukan industri dapat dikembangkan perumahan untuk para pekerja
di kawasan peruntukan industri.
Peruntukan kawasan budidaya dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan
kegiatan termasuk dalam penyediaan prasarana dan sarana penunjang,
penanganan dampak lingkungan, penerapan mekanisme insentif, dan sebagainya.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penyediaan prasarana dan sarana
penunjang kegiatan akan lebih efisien apabila kegiatan yang ditunjangnya

54
memiliki besaran yang memungkinkan tercapainya skala ekonomi dalam
penyediaan prasarana dan sarana. Peruntukan kawasan budidaya disesuaikan
dengan kebijakan pembangunan yang ada.
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Sesuai Keputusan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi No. 91 Tahun 2016 tentang Penetapan Kawasan
Transmigrasi
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Kawasan strategis merupakan kawasan yang di dalamnya berlangsung kegiatan
yang mempunyai pengaruh besar terhadap :
1. Tata ruang di wilayah sekitarnya
2. Kegiatan lain di bidang yang sejenis dan kegiatan di bidang lainnya; dan
3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan
unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai
dengan rencana rinci tata ruang.
Penyusunan ketentuan umum peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci
dan diprioritaskan pada kawasan-kawasan strategis yang berpotensi menjadi

55
kawasan cepat berkembang, kawasan yang berpotensi terjadi konflik
pemanfaatan, dan kawasan yang memerlukan pengendalian secara ketat.
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintergrasi Secara
Elektronik.
Pasal 49
Penerapan insentif atau disinsentif secara terpisah dilakukan untuk perizinan
skala kecil/individual sesuai dengan peraturan zonasi, sedangkan penerapan
insentif dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk perizinan skala
besar/kawasan karena dalam skala besar\kawasan dimungkinkan adanya
pemanfaatan ruang yang dikendalikan dan didorong pengembangannya secara
bersamaan.
Insentif dapat diberikan antar pemerintah daerah yang saling berhubungan berupa
subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya memberikan
dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah dan swasta dalam

56
hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta sebagai imbalan dalam
mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan zonasi umum
dalam rencana tata ruang melalui penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dan
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih
tinggi.
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Cukup Jelas.
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Cukup Jelas
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Peran Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah.
Pasal 63
Cukup Jelas
Pasal 64
Cukup Jelas
Pasal 65
Didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 116 Tahun 2017
Tentang Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
Pasal 66
Cukup Jelas
Pasal 67
Cukup Jelas
Pasal 68
Cukup Jelas
Pasal 69

57
Cukup Jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Nomor 1)
Cukup Jelas
Nomor 2)
Didasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang. Ketentuan peralihan
yang mengatur keharusan penyesuaian pemanfaatan
ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa
transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.
Nomor 3)
Didasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang.Yang dimaksud dengan
penggantian yang layak adalah bahwa nilai atau besarnya
penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan
orang yang diberi penggantian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pasal 71
Cukup Jelas
Pasal 72
Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA


NOMOR......

58

Anda mungkin juga menyukai