Anda di halaman 1dari 72

SALINAN

LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN NIAS SELATAN

NOMOR : 06 SERI : E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NIAS SELATAN


NOMOR 6 TAHUN 2014

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN NIAS SELATAN


TAHUN 2014 - 2034

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI NIAS SELATAN,

Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka strategi dan
arahan kebijakan struktur dan pola ruang wilayah nasional
perlu dijabarkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Nias Selatan;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf c
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, Rencana Tata
Ruang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Nias Selatan Tahun 2014-2034.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (Lembaran

1
SALINAN

Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,


Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2043);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419 );
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881);
5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten
Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di
Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4273);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377 );
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4411);
9. Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4433);

2
SALINAN

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah dua kali diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
12. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4444 );
13. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723 );
14. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
15. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739);
16. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4746);
17. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
18. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849);
19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
20. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

3
SALINAN

2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4925);
21. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
22. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwistaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11);
23. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
24. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052);
25. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
26. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5068);
27. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5188);
28. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
29. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5280);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang
Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);

4
SALINAN

31. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang


Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3060);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang
Kehutanan Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3769);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4490);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4624);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4628);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

5
SALINAN

Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4655);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan
Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4814);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antar Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4828 );
44. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4859);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia Nomor 5097);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik

6
SALINAN

Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batu Bara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
2010 nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5160);
52. Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah;
53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek
Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
54. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya;
55. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008
tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah
dan Rencana Tata Ruang Daerah;
56. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan;
57. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun
2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabnpaten/Kota beserta
Rencana Rinciannya;
58. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten;
59. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun
2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah;
60. Peraturan Menteri Kehutanan nomor 28 Tahun 2009
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam
Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan
atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang;
61. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009
tentang Pedoman Koordianasi Penataan Ruang Daerah;

7
SALINAN

62. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011


tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);
63. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012
tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan
Kabupaten/Kota;
64. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32);
65. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan Nomor 07
Tahun 2012 tentang Pembentukan Desa – Desa di
Kabupaten Nias Selatan ( Lembaran Daerah Kabupaten
Nias Selatan Tahun 2012 Nomor 07 );
66. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan Nomor 08
Tahun 2012 tentang Pembentukan Kecamatan Ulunoyo,
Kecamatan Huruna, Kecamatan O’o’u, Kecamatan
Onohazumba, Kecamatan Hilisalawa Ahe, Kecamatan
Ulususua, Kecamatan Sidua’ori Kecamatan Somambawa,
Kecamatan Balaekha, Kecamatan Idanotae, Kecamatan
Ulu Idanotae, Kecamatan Boronadu, Kecamatan
Luahagundre Maniamolo, Kecamatan Onolalu,
Kecamatan Simuk, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Barat,
Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara, dan Kecamatan
Tanah Masa di Kabupaten Nias Selatan ( Lembaran
Daerah Kabupaten Nias Selatan Tahun Nomor );

8
SALINAN

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN NIAS SELATAN
dan
BUPATI NIAS SELATAN
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA


RUANG WILAYAH KABUPATEN NIAS SELATAN
TAHUN 2014-2034.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Nias Selatan.
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai
Unsur Penyelenggara Pemerintah Daerah.
4. Bupati adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
Penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Bupati adalah Bupati Nias Selatan.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur
Penyelenggara Pemerintahan Daerah.
7. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten Nias Selatan.
8. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional.
9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

9
SALINAN

10. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
11. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
12. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah
yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
13. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
14. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
15. Penyelenggaran penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang.
16. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan
hukum bagi pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan
ruang.
17. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan
kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah, dan masyarakat.
18. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan
penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
19. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang.
20. Pola Ruang Kota adalah distribusi peruntukan ruang kota yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
ruang untuk fungsi budi daya.
21. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang
dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
22. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
23. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
24. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan
disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya
dalam rencana rinci tata ruang.
25. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam
kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

10
SALINAN

26. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta


segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
27. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah rencana
tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kabupaten, yang berupa
rencana operasional pembangunan wilayah kabupaten sesuai dengan
peran dan fungsi wilayah yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah yang akan menjadi landasan dalam pelaksanaan
pembangunan di wilayah kabupaten.
28. Strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah penjabaran
kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian
tindakan yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan
rencana struktur dan pola ruang wilayah kabupaten.
29. Rencana struktur ruang wilayah kabupaten adalah rencana yang
mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan
dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan
jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan
skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem
jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan
sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu
bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, serta prasarana
lainnya yang memiliki skala layanan satu kabupaten.
30. Ibu Kota Kecamatan yang selanjutnya disebut IKK adalah Ibu Kota
Kecamatan di Kabupaten Nias Selatan.
31. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
32. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
33. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
34. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
kecamatan atau beberapa desa.
35. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah
pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala
antar desa.
36. Rencana sistem jaringan prasarana kabupaten adalah rencana
jaringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan
yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala kabupaten.
37. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya

11
SALINAN

yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan


tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel.
38. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan
wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu
hubungan hierarkis.
39. Jalan kolektor sekunder adalah menghubungkan kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder
kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
40. Jalan lokal sekunder adalah menghubungkan kawasan sekunder
kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan
perumahan, kawasan sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke
perumahan.
41. Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana
susunan kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah
kabupaten yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana
yang membentuk hierarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi
fungsi tertentu dalam wilayah kabupaten.
42. Kawasan adalah Wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya.
43. Kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
44. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
45. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
46. Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering
berpotensi tinggi mengalami bencana alam.
47. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan dengan
maksud agar lebih bermanfaat dan memberikan hasil untuk
kebutuhan manusia.
48. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area
memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam.

12
SALINAN

49. Ruang terbuka hijau privat, adalah RTH milik institusi tertentu atau
orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas
antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
50. Ruang terbuka hijau publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola
oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum.
51. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
52. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan.
53. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
54. Kawasan Permukiman adalah kawasan yang diarahkan dan
diperuntukan bagi pengembangan permukiman atau tempat
tinggal/hunian beserta prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur.
55. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
56. Kawasan cepat tumbuh adalah kawasan budidaya yang didalamnya
terdapat kegiatan produksi, Jasa, permukiman yang berkontribusi
penting bagi pengembangan ekonomi daerah.
57. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara
nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
58. Kawasan peruntukan Pertambangan adalah wilayah yang memiliki
sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair atau gas
berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya
seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi: penyelidikan
umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang baik
diwilayah darat maupun perairan.
59. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
60. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu
wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi

13
SALINAN

menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air
lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut.
61. Air Permukaan adalah Semua air yang terdapat pada tempat/wadah
air yang terdapat pada permukaan tanah.
62. Daerah irigasi disingkat DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air
dari suatu jaringan.
63. Jaringan irigasi adalah Saluran, bangunan dan bangunan
perlengkapannya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan
untuk penyediaan air, pembagian, pemberian, penggunaan dan
pembuangan air irigasi.
64. Drainase adalah lengkungan atau saluran air dipermukaan atau
dibawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat
oleh manusia.
65. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya,
dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan
kabupaten.
66. Sumber air permukaan adalah tempat/wadah air yang terdapat pada
dan diatas permukaan tanah.
67. Sistem pengelolaan air limbah adalah buangan yang dihasilkan dari
suatu proses produksi baik industri maupun domestik.
68. Tempat penampungan sementara yang selanjutnya disebut TPS
adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran
ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
69. Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya disebut TPA adalah
tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media
lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
70. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut
BKPRD adalah badan bersifat adhoc yang dibentuk mendukung
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, dan di Kabupaten
Badan tersebut membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam
koordinasi penataan ruang di daerah.
71. Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana,
baik secara struktur atau fisik alami dan/atau buatan maupun
nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
72. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah
petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran,
waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam
rangka mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan
rencana tata ruang.

14
SALINAN

73. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten


adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya
mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai
dengan RTRW kabupaten yang dirupakan dalam bentuk ketentuan
umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan
disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten.
74. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah
ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-
unsur pengendalian yang disusun untuk setiap klasifikasi
peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
kabupaten.
75. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang
harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang
digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan
keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan ditetapkan.
76. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya
untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
77. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa
saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.
78. Masyarakat adalah adalah orang perseorangan, kelompok orang
termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku
kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
79. Peran masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul
atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan
bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Bagian Kedua
Peran dan Fungsi

Pasal 2

RTRW Kabupaten berperan sebagai alat operasionalisasi pelaksanaan


pembangunan di Wilayah Kabupaten.

15
SALINAN

Pasal 3

RTRW Kabupaten berfungsi sebagai pedoman untuk :


a. acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD);
b. acuan dalam pemanfaatan ruang wilayah kabupaten;
c. acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam
wilayah kabupaten;
d. acuan lokasi investasi dalam wilayah Kabupaten yang dilakukan
pemerintah, masyarakat dan swasta;
e. pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah
kabupaten; dan
f. dasar pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten yang
meliputi penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan acuan dalam
administrasi pertanahan.

BAB II
LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN DAN SUBSTANSI

Bagian Kesatu
Lingkup Wilayah Perencanaan

Pasal 4

(1) Lingkup wilayah perencanaan dalam RTRW Kabupaten Nias Selatan


adalah seluruh wilayah administrasi Kabupaten Nias Selatan dengan
luas wilayah 6.902,505 Km2 yang meliputi :
a. Daratan seluas kurang lebih 2.452,1 km2
b. Lautan seluas kurang lebih 4.450,409 km 2
(2) Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan batas yang
ditentukan berdasarkan aspek administratif meliputi wilayah pesisir dan
laut, perairan lainnya,serta wilayah udara dengan batas wilayah
meliputi :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten
Nias Barat
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Pulau-Pulau Mentawai Propinsi
Sumatera Barat
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten
Tapanuli Tengah, Kabupaten Madina;
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
(3) Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
meliputi :

16
SALINAN

a. Kecamatan Telukdalam;
b. Kecamatan Onolalu;
c. Kecamatan Fanayama;
d. Kecamatan Maniamolo;
e. Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
f. Kecamatan Toma;
g. Kecamatan Mazino;
h. Kecamatan Gomo;
i. Kecamatan Idanotae;
j. Kecamatan Ulu Idanotae;
k. Kecamatan Boronadu;
l. Kecamatan Mazo;
m.Kecamatan Susua;
n. Kecamatan Umbunasi;
o. Kecamatan Amandraya;
p. Kecamatan Ulususua;
q. Kecamatan Aramo;
r. Kecamatan Lahusa;
s. Kecamatan Sidua’ori;
t. Kecamatan Somambawa;
u. Kecamatan Lolowau;
v. Kecamatan Huruna
w. Kecamatan O’o’u;
x. Kecamatan Onohazumba;
y. Kecamatan Hilisalawa’ahe;
z. Kecamatan Hilimegai;
aa. Kecamatan Lolomatua;
bb. Kecamatan Ulunoyo
cc. Kecamatan Pulau-Pulau Batu;
dd. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Barat;
ee. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara;
ff. Kecamatan Simuk;
gg. Kecamatan Tanah Masa;
hh. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur; dan
ii. Kecamatan Hibala.

Bagian Kedua
Substansi

Pasal 5

RTRW Kabupaten memuat:


a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Kabupaten;

17
SALINAN

b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten yang meliputi sistem


pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah;
c. rencana pola ruang wilayah Kabupaten yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten Nias Selatan merupakan
bagian wilayah Kabupaten yang penataan ruangnya diprioritaskan,
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
Kabupaten terhadap Ekonomi, sosial budaya dan/atau lingkungan.
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten yang terdiri dari
indikasi program utama, Indikasi Sumber Pendanaan, Indikasi
Pelaksanaan Kegiatan, dan Waktu pelaksanaan;
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten yang
berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan,
ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi

BAB III
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 6

Penataan ruang wilayah Kabupaten bertujuan untuk menjadikan wilayah


Kabupaten sebagai pengembangan sentra pariwisata, pertanian,
perkebunan dan perikanan secara terpadu dalam rangka meningkatkan
daya saing dan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan upaya
pengurangan risiko bencana Kabupaten.

Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 7

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6


ditetapkan kebijakan sebagai berikut :
a. pengembangan sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, dan
perikanan sebagai sektor andalan kabupaten;
b. penguatan peran sentra-sentra perkotaan sebagai upaya mendukung
pengembangan perekonomian lokal;
c. pemantapan kawasan lindung sebagai upaya mempertahankan
kualitas lingkungan dalam lingkup regional;
d. peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan prasarana dan sarana;

18
SALINAN

e. pengintegrasian aspek kebencanaan dalam program pembangunan


prasarana dan sarana;
f. peningkatan aksessibilitas dan memeratakan pelayanan sosial
ekonomi ke seluruh wilayah kabupaten; dan
g. kebijakan peningkatan kawasan untuk pertahanan dan keamanan
Negara.

(2) Strategi untuk melaksanakan pengembangan sektor pariwisata,


pertanian, perkebunan dan perikanan sebagai sektor andalan kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. menetapkan dan mengembangkan sentra-sentra ekonomi unggulan
sebagai upaya pengembangan sektor pariwisata, pertanian,
perkebunan, dan perikanan;
b. menetapkan dan memprioritaskan perkembangan pada komoditas
pertanian unggulan;
c. menerapkan teknologi tepat guna dan sistem insentif-disinsentif
dalam pengembangan sektor pertanian dan perkebunan;
d. mengembangkan industri pengolahan komoditi pertanian sebagai
sektor hilir dari sistem pertanian;
e. mengembangkan dan meningkatkan Sumber Daya Manusia di bidang
pertanian, perkebunan, pariwisata, dan perikanan;
f. menerapkan teknologi tepat guna dan sistem insentif-disinsentif
dalam pengembangan sektor perikanan tangkap;
g. mengembangkan sentra pariwisata secara terpadu dan
berkelanjutan;
h. Mengembangkan objek dan daya tarik wisata;
i. Mengembangkan sarana dan prasarana pendukung pariwisata; dan
j. Melestarikan situs warisan budaya.

(3) Strategi untuk melaksanakan penguatan peran sentra-sentra perkotaan


sebagai upaya mendukung pengembangan perekonomian lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. mengembangkan kota sebagai pusat pertumbuhan (growth centre)
dalam skala regional;
b. mengembangkan kawasan kota dengan fungsi sebagai pusat
perdagangan, jasa pemerintahan, jasa pariwisata, dan industri
pengolahan pertanian;
c. mengembangkan kota kedua dengan fungsi sebagai pusat pariwisata
dan industri pengolahan perikanan;
d. Menetapkan Ibukota Kabupaten dan membangun Kawasan
Perkotaan Pemerintah sebagai Pusat Kegiatan Pelayanan
Pemerintah;
e. mengembangkan kota ketiga sebagai PPK;
f. mengembangkan ibukota kecamatan lainnya sebagai PPL;dan
g. pengembangan kota baru yang terdekat dengan kota utama sebagai
kota satelit dan percontohan.

19
SALINAN

(4) Strategi untuk melaksanakan pemantapan kawasan lindung sebagai


upaya mempertahankan kualitas lingkungan dalam lingkup regional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. menetapkan dan mengelola kawasan lindung, kawasan pantai
berhutan bakau, kawasan suaka alam dan taman wisata alam secara
berkelanjutan;
b. mengembalikan ekosistem kawasan lindung;
c. menerapkan sanksi secara tegas terhadap pelanggaran pemanfaatan
kawasan lindung;dan
d. mempertahankan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan
penyangga terutama kawasan berhutan bakau untuk mengurangi
dampak resiko bencana.
e. Melestarikan Kawasan Perlindungan Setempat dengan pembatasan
kegiatan seperti Penghijauan dan Rehabilitasi DAS, Pengembangan
Ekonomi Wisata dipesisir, dan lain-lain.
(5) Strategi untuk melaksanakan peningkatan kualitas dan cakupan
pelayanan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi:
a. menetapkan dan mengembangkan jaringan listrik, telekomunikasi,
dan transportasi sebagai fokus dalam pengembangan prasarana dan
sarana kabupaten;
b. meningkatkan aksesibilitas eksternal melalui pengembangan
pelayanan transportasi udara antara Kabupaten Nias Selatan dengan
Banten, kota Medan, kota Padang, Silangit Aigodang, Rokot dan
Gunungsitoli secara bersamaan;
c. meningkatkan kondisi jalan poros Ibu Kota Kecamatan (IKK);
d. membangun dan meningkatkan kualitas jaringan transportasi
keseluruh bagian wilayah kabupaten;dan
e. meningkatkan prasarana perhubungan dari pusat produksi komoditi
unggulan menuju pusat pemasaran.
(6) Strategi untuk melaksanakan pengintegrasian aspek kebencanaan
dalam program pembangunan prasarana dan sarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. memperhatikan syarat-syarat pembangunan fisik pada kawasan
rawan bencana;
b. membuat perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-
unsur kebijakan penanggulangan bencana;
c. mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk
dana siap pakai;dan
d. membentuk dan memperkuat Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
(7) Strategi untuk melaksanakan peningkatan aksessibilitas dan
memeratakan pelayanan sosial ekonomi ke seluruh wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berupa menumbuhkan
pelayanan sosial ekonomi khususnya dalam usaha kecil dan menengah,

20
SALINAN

serta mengembangkan cakupan pelayanan masyarakat hingga ke


perdesaan, yang meliputi :
a. Pengembangan kawasan peruntukan Industri;
b. Pengembangan sentra Industri kecil dan menengah ; dan
c. Pengembangan Industri ramah Lingkungan.
(8) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi :
a. mendukung penetapan kawasan strategis nasional dengan fungsi
khusus pertahanan dan keamanan;
b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan
disekitar kawasan pertahanan dan keamanan untuk menjaga fungsi
dan peruntukannya;
c. mengembangkan Kawasan Lindung dan/atau Kawasan Budidaya
tidak terbangun disekitar kawasan pertahanan, sebagai zona
penyangga yang memisahkan kawasan tersebut dengan kawasan
budidaya terbangun; dan
d. turut menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan/TNI.

BAB IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8

(1) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5


huruf b, meliputi:
a. Sistem perkotaan;
b. Sistem jaringan transportasi;
c. Sistem jaringan energi ;
d. Sistem jaringan telekomunikasi;
e. Sistem jaringan sumber daya air; dan
f. Sistem jaringan prasarana lingkungan
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan
tingkat ketelitian skala 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.

21
SALINAN

Bagian Kedua
Rencana Sistem Perkotaan

Pasal 9

(1) Sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
a, terdiri atas:
a. Pusat Kegiatan Lokal
b. Pusat Pelayanan Kawasan; dan
c. Pusat Pelayanan Lingkungan.
(2) Pusat Kegiatan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berada di Kecamatan Telukdalam.
(3) Pusat pelayanan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, meliputi:
a. Kecamatan Pulau-Pulau Batu
b. Kecamatan Gomo
c. Kecamatan Lolowa’u;
d. Kecamatan Maniamolo; dan
e. Kecamatan Luahagundre Maniamolo.
(4) Pusat Pelayanan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi :
a. Kecamatan Toma ;
b. Kecamatan Mazino;
c. Kecamatan Fanayama;
d. Kecamatan Umbunasi;
e. Kecamatan Susua;
f. Kecamatan Mazo;
g. Kecamatan Lahusa;
h. Kecamatan Amandaya;
i. Kecamatan Aramo;
j. Kecamatan Lolomatua;
k. Kecamatan Hilimegai
l. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur; dan
m. Kecamatan Hibala.
n. Kecamatan Ulunoyo;
o. Kecamatan Hilisalawa Ahe;
p. Kecamatan O’ou;
q. Kecamatan Onohazumba;
r. Kecamatan Huruna;
s. Kecamatan Ulu Susua;
t. Kecamatan Idanotae;
u. Kecamatan Ulu Idanotae;
v. Kecamatan Boronadu;
w. Kecamatan Sidua’ori;
x. Kecamatan Somambawa;
y. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Barat;

22
SALINAN

z. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara;


aa. Kecamatan Tanah Masa;
bb. Kecamatan Simuk.
(5) Kecamatan Pulau-Pulau Batu direncanakan diusulkan menjadi PKL.

Bagian Ketiga
Rencana Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1
Umum

Pasal 10

(1) Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat


(1) huruf b, meliputi;meliputi :
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut;dan
c. sistem jaringan transportasi udara.
(2) Rencana Sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), bertujuan untuk optimalisasi dan pengembangan struktur jaringan
transportasi.
(3) Rencana Jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 11

Sistem Jaringan Transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10


huruf a, meliputi;
a. Jaringan jalan;
b. Jaringan Angkutan barang dan Penumpang; dan
c. Jaringan Pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 12

(1) Pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11


huruf a, meliputi:
a. Jaringan jalan Strategis Naional;
b. Jaringan jalan Kolektor 1 (K1);
c. Jaringan jalan Kolektor 2 (K2);dan
d. Jaringan jalan Lokal.

23
SALINAN

(2) Jaringan jalan Strategis Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi jaringan jalan Kolektor primer yang ada dalam wilayah
Kabupaten yaitu dari Lintasan jalan Lolomatua – Lolowau – Amandraya
–Maniamolo - Telukdalam – Toma - Lahusa – Somambawa (Perbatasan
Wilayah Kabupaten Nias Selatan).
(3) Jaringan jalan K1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional
dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan wilayah, atau antara
pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal.
(4) Jaringan Jalan K1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi :
a. Telukdalam – Lahusa;
b. Telukdalam – Maniamolo;
c. Lahusa – Gomo; dan
d. Maniamolo – Lolowau.
(5) Jaringan jalan K2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
meliputi:
a. Duria – Lolowau;
b. Lolowau – Telukdalam – Pelabuhan Baru;
c. Hoya – Lahusa – Telukdalam;
d. Lolowau – Siwalawa II; dan
e. Telukdalam – Fanayama – Bawomataluo.
(6) Jaringan jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang
merupakan jalan Kabupaten, meliputi:
a. Jalan yang menghubungkan antar desa-desa di semua Kecamatan;
dan
b. Jalan Lingkar pulau pada Pulau Tello, Pini, Tanahmasa dan
Tanahbala.
Pasal 13

Terminal angkutan yang menjadi dari bagian sistem jaringan transportasi


darat sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 huruf b, meliputi :
(1) Terminal penumpang tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b terdiri atas :
a. Terminal penumpang tipe C di Kecamatan Teluk Dalam
b. Terminal Penumpang tipe C di Kecamatan Lahusa
c. Terminal Penumpang tipe C di Kecmatan Lolowau; dan
d. Terminal Penumpang tipe C di Kecamatan Gomo
(2) Terminal Teluk dalam di usulkan menjadi Terminal Tipe B
(3) Rencana pembangunan terminal penumpang tipe C terdiri atas:
a. Terminal penumpang tipe C di Kecamatan Amandraya; dan
b. Terminal penumpang tipe C di kecamatan Lolomatua.
(4) Rencana Pembangunan Terminal Barang di Kecamatan Telukdalam.
(5) Rencana Penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan yang
meliputi :
a. Penempatan/Pemasangan Jembatan Timbang;

24
SALINAN

b. Pembangunan Balai Pengujian Kendaraan Bermotor.


(6) Pengembangan Perlengkapan Jalan Sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 huruf c, terutama pada jaringan jalan perkotaan dan jaringan
jalan strategis meliputi :
a. Rambu lalu lintas;
b. Alat penerangan jalan;
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas;
d. Alat pengendali dan pengaman pengguna jalan;
e. Alat pengawasan dan pengaman jalan; dan
f. Fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat.

Pasal 14

(1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 11 huruf c berupa pengembangan jaringan
trayek angkutan penumpang.
(2) Pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) ini terdiri atas:
a. Angkutan penumpang antarkota dalam provinsi (AKDP) melayani
perkotaan Kabupaten Nias Selatan ke kota-kota lain di dalam Provinsi
Sumatera Utara;dan
b. Angkutan perdesaan yang melayani pergerakan penduduk antara
perkotaan Kabupaten Nias Selatan dengan ibukota kecamatan di
wilayah Kabupaten.

Pasal 15

Jaringan angkutan sungai, danau dan penyeberangan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 10 pasal 1 huruf b, terdiri atas :
a. pengembangan jalur ASDP regional yang meliputi pelayaran kapal
pada jalur Sibolga – Telukdalam – Tello - Eho-Labuhan Hiu-
Mandailing Natal - Mentawai – Teluk Bayur; dan
b. pengembangan jalur ASDP lokal yang meliputi wilayah gugusan
kepulauan. Kota/pulau yang dilayani adalah Tello, Eho, Labuhan Hiu,
Sigata, Marit, Pini dan Simuk.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 16

(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal


10 ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. tatanan kepelabuhanan; dan
b. pengembangan jalur alur pelayaran.

25
SALINAN

(2) Sistem tatanan kepelabuhanan kabupaten sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a, meliputi:
a. peningkatan pelabuhan penumpang regional; dan
b. pembuatan pelabuhan pengumpan lokal.
(3) Peningkatan pelabuhan pengumpan regional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, meliputi :
a. pelabuhan Telukdalam;
b. pelabuhan Pulau Tello; dan
(4) Pembuatan pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, meliputi :
a. pelabuhan Lagundri;
b. pelabuhan Lahusa;
c. pelabuhan pulau bais;
d. pelabuhan Pulau Tanah masa;
e. pelabuhan Sigolo-Golo;
f. Pelabuhan Simuk;
g. Pelabuhan Pulau Pini;
h. Pelabuhan Pulau Hiu; dan
i. pelabuhan Moale.
(5) Penetapan jalur alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi alur pelayaran regional dan alur pelayaran lokal.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 17

(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal


10 ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. pengembangan tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.
(2) Pengembangan tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Bandar Udara Pengumpan Silambo di Kecamatan Luahagundre
Maniamolo; dan
b. Bandar Udara Pengumpan Lasondre di Kecamatan Tanah Masa.
(3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi :
a. jalur alur penerbangan Bandar Udara Lasondre, meliputi: Lasondre –
Binaka; Lasondre – Silambo; Lasondre – Kualanamu Medan;
Lasondre – Padang (Sumatera Barat); Lasondre – Silangit; Lasondre
– Aigodang; Lasondre – Rokot; Lasondre – Bandara Internasional
Sokarno Hatta (Banten).
b. jalur alur penerbangan Bandar Udara Silambo, meliputi: Silambo –
Kuala Namu; Silambo – Pinangsori, Silambo – Bandara Internasional

26
SALINAN

Minangkabau (BIM); Silambo – Bandara Internasional Soekarno


Hatta (Jakarta); Silambo – Binaka; Silambo – Lasondre.

Bagian Keempat
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi

Paragraf 1
Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Energi

Pasal 18

(1) Rencana sistem jaringan energi di Kabupaten sebagaimana dimaksud


pada pasal 8 ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. pembangkit tenaga listrik;
b. jaringan transmisi tenaga listrik;
c. Pengembangan energi alternatif; dan
d. Pembangunan Mesin dan Jaringan Listrik Perdesaan.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a, dikembangkan untuk memenuhi penyediaan tenaga listrik sesuai
dengan kebutuhan yang mampu mendukung kegiatan perekonomian.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Jaringan Energi

Pasal 19

1. Rencana pengembangan prasarana energi listrik di Kabupaten berupa


pembangkit listrik secara parsial dengan memanfaatkan potensi yang
ada, seperti:
a. peningkatan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
Telukdalam dan penyediaan satu Pembangkit Listrik Tenaga Diesel
(PLTD) di Pulau Tello. Selain itu direncanakan penyediaan
pembangkit listrik oleh pihak swasta yang dapat menggunakan
alternatif sumber tenaga listrik yang ada; dan
b. penambahan beberapa gardu induk di PPK yang sudah direncanakan,
yaitu Orahili Gomo, Lolowa’u dan Hilisimaetano serta Jaringan Listrik
Masuk Desa.
2. Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b di Kabupaten berupa jaringan energi listrik saluran transmisi
dan Gardu induk listrik yang mensuplai kebutuhan listrik Kabupaten.
3. Pengembangan energi alternatif sebagaimana dimaksud pada pasal 18
ayat (1) huruf c meliputi :
a. Pembangkit listrik tenaga surya meliputi tersebar hampir seluruh
Kecamatan diwilayah kabupaten Nias Selatan

27
SALINAN

b. Pengembangan sumber energi pembangkit listrik tenaga Mikro hidro


Tersebar diseluruh wilayah Kecamatan di Kabupaten Nias Selatan.
c. pengembangan bioenergi tersebar diseluruh kecamatan.
d. Pengembangan Sumber energi Pembangkit listrik tenaga Piko Hidro
(PLTPH) diwilayah Kecamatan Fanayama, Lolowau, Hilisalawa Ahe
Lahusa Gomo dan Lolomatua serta beberapa Kecamatan yang
lainnya.
4. Pengembangan Jaringan Listrik diarahkan pada Desa-desa yang belum
terlayani Jaringan Listrik.
5. Langkah-langkah Strategis untuk memenuhi Pasokan dan pelayanan
energi listrik yaitu :
a. Meningkatkan daya terpasang dari sumber pembangkit tenaga listrik;
b. Menambah Jaringan dan Gardu Listrik untuk melayani Kawasan
terbangun baru;
c. Memaksimalkan Potensi Sumber Daya Alam diseluruh wilayah
kabupaten Nias Selatan; dan
d. Memanfaatkan energi baru terbarukan.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 20

Rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi di Kabupaten


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d adalah sebagai
berikut:

a. peningkatan layanan jaringan telekomunikasi baik berkabel ataupun


nir-kabel dengan sistem menara telekomunikasi bersama untuk
kepentingan komunikasi dan internet;
b. penambahan jaringan telepon, wartel dan warnet di pusat
permukiman perdesaan, baik dengan jaringan kabel dan nir-kabel
dengan sistem menara telekomunikasi bersama;
c. pembangunan stasiun-stasiun komunikasi nir-kabel dengan sistem
menara telekomunikasi bersama di wilayah-wilayah yang tak
terjangkau sinyal; dan
d. mengoptimalkan pemanfaatan jaringan komunikasi nir-kabel dengan
sistem menara telekomunikasi bersama di kawasan perkotaan dan
perdesaan, serta penataan menara komunikasi melalui
pembangunan menara terpadu.
e. Pengembangan dan pengendalian menara telekomunikasi bersama
sebagaimana yang dimaksud pada pasal 20 huruf a, akan diatur
lebih lanjut dengan/melalui Peraturan Bupati.

28
SALINAN

Bagian Keenam
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Paragraf 1
Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 21

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
ayat (1) huruf e, meliputi:
a. Jaringan sumber daya air; dan
b. Prasarana sumber daya air
(2) Jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a, meliputi:
a. air permukaan sungai yang meliputi induk sungai dan anak sungai
yang bermuara ke pantai;
b. Cekungan Air Tanah (CAT);
c. Sumber Mata Air; dan
d. Embung
(3) Prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, meliputi:
a. Prasarana Irigasi;
b. Prasarana air minum; dan
c. Prasarana pengendalian daya rusak air.
(4) Pengembangan jaringan sumber daya air dan prasarana sumber daya
air bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan , ketersediaan air
baku, pengendalian banjir dan pengamanan pantai.
(5) Pengelolaan Air Permukaan Sungai sebagaimana dimaksud pada pasal
21 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Sungai Masio Kecamatan Lahusa;
b. Sungai Lahusa Kecamatan Lahusa;
c. Sungai Susua Kecamatan Lahusa;
d. Sungai Fawai Kecamatan Lahusa;
e. Sungai Saeto Kecamatan Lahusa;
f. Sungai Idani Zala Kecamatan Maniamolo;
g. Sungai Sialikhe Kecamatan Maniamolo;
h. Sungai Meso Kecamatan Maniamolo;
i. Sungai Lotu Kecamatan Maniamolo;
j. Sungai Otua Kecamatan Maniamolo;
k. Sungai Mizaya Kecamatan Toma;
l. Sungai Sa’ua Kecamatan Telukdalam;
m. Sungai Mboi Kecamatan Telukdalam;
n. Sungai Gewe Kecamatan Telukdalam;
o. Sungai Gomo Kecamatan Gomo;
p. Sungai Fayo Kecamatan Gomo;
q. Sungai Eri’i Kecamatan Lahusa;

29
SALINAN

r. Sungai Siwalawa Kecamatan Lolowau;


s. Sungai Sea Kecamatan Hilisalawa Ahe;
t. Sungai No’ou Kecamatan O’O’U;
u. Sungai Mo’uliho Kecamatan O’O’U;
v. Sungai Ekholo O’O’U;
w. Sungai Sehe Kecamatan Lolowa’u;
x. Sungai Lato Sebua Kecamatan Lolowa’u;
y. Sungai Nalua Kecamatan Lolowau;
z. Sungai Chelo Kecamatan Lolowau;
aa. Sungai Tegoyo Kecamatan Lolowau;
bb. Sungai Simana Kecamatan Lolowau;
cc. Sungai Humana Kecamatan Lolowau;
dd. Sungai Maera Fato Kecamatan Lolowau;
ee. Sungai Silimo Amandraya;
ff. Sungai Saku Kecamatan Amandraya;
gg. Sungai Bago Kecamatan Amandraya;
hh. Sungai Garese Kecamatan Amandraya;
ii. Sungai Fanuwu Kecamatan Amandraya;
jj. Sungai Bohalu Kecamatan Amandraya;
kk. Sungai Baya Simbo Kecamatan Amandraya;
ll. Sungai Aramo Kecamatan Aramo;
mm. Sungai Sefa Kecamatan Amandraya;
nn. Sungai Amuri Kecamatan Lolowau;
oo. Sungai Gambu Kecamatan Amandraya;
pp. Sungai Sui Kecamatan Amandraya;
qq. Sungai Eho Kecamatan Amandraya;
rr. Sungai Gomo Amandraya Kecamatan Amandraya;
ss. Sungai Lagundri Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
tt. Sungai Utawa Kecamatan Fanayama;
uu. Sungai Taro’olala Kecamatan Fanayama;
vv. Sungai Laowo Kecamatan Telukdalam;
ww. Sungai Mbombolaehuwa Kecamatan Lolowau;
xx. Sungai Nanowa Kecamatan Telukdalam; dan
yy. Sungai Numono Kecamatan Fanayama.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 22

(1) Jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat
(1) huruf a, meliputi:
a. Jaringan Wilayah Sungai di Kabupaten Nias Selatan berada di
Seluruh Sungai diwilayah Kabupaten Nias Selatan.
b. Jaringan air Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi :

30
SALINAN

1. DAS Masio Kecamatan Lahusa;


2. DAS Susua Kecamatan Lahusa;
3. DAS Mezaya Kecamatan Toma;
4. DAS Sa’ua Kecamatan Telukdalam;
5. DAS Sialikhe Kecamatan Lolowa’u;
6. DAS Eho Kecamatan Aramo;
7. DAS Hoya Kecamatan Lahusa;
8. DAS Tello;
9. DAS Lagundri Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
10. DAS Gomo; dan
11. DAS Siwalawa Kecamatan Lolowau.
(2) Pengembangan jaringan Cekungan Air Tanah (CAT) yang di dimaksud
dalam pasal 21 ayat (2) huruf b, berupa pemanfaatan air melalui
sumur dalam dan sumur dangkal;
(3) Sistem jaringan air baku untuk air minum meliputi :
a. Sistem air permukaan
b. Mata air; dan
c. Sistem air tanah yang dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan
keperluan konservasi lingkungan dan pencegahan kerusakan
lingkungan.
(4) Embung sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (2) huruf d, berupa
peningkatan dan pengembangan embung sampai dengan akhir tahun
perencanaan sebanyak 2 (dua) buah embung yaitu di Kecamatan
Aramo dan Kecamatan Gomo dan Rencana Pengembangannya
dilakukan dibeberapa Kecamatan diwilayah Kabupaten Nias Selatan.

Paragraf 3
Prasarana Sumber Daya Air

Pasal 23

(1) D.I yang merupakan kewenangan Kabupaten sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf a, meliputi :
a. D.I Idano Zala;
b. D.I Sialikhe;
c. D.I Boli;
d. D.I Sizawili;
e. D.I Otua;
f. D.I Saraina;
g. D.I Siwalawa;
h. D.I Meso;
i. D.I Losu;
j. D.I Hilifalawu;
k. D.I Behugo;
l. D.I Dumu;
m. D.I Eri’i;

31
SALINAN

n. D.I Somawa/Lologundre; dan


o. D.I Lolomoyo
(2) Prasarana air minum sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (3)
huruf b, dilakukan melalui perpipaan, non perpipaan yang meliputi
sumur dangkal dan air sungai, meliputi:
a. DAS Masio Kecamatan Lahusa;
b. DAS Susua Kecamatan Lahusa;
c. DAS Mezaya Kecamatan Lahusa;
d. DAS Sa’ua Kecamatan Telukdalam;
e. DAS Sialikhe Kecamatan Lolowa’u;
f. DAS Eho Kecamatan Aramo;
g. DAS Hoya Kecamatan Lahusa;
h. DAS Tello;
i. DAS Lagundri Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
j. DAS Gomo Kecamatan Gomo; dan
k. DAS Siwalawa Kecamatan Lolowau.
(3) Prasarana pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada
pasal 21 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Pembangunan dan pemeliharaan tanggul disekitar aliran sungai yang
berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk;
b. Normalisasi aliran sungai kecil dan saluran air lainnya yang
berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk;
c. Penataan sisitem jaringan drainase perkotaan yang terpadu;
d. Pencegahan dampak gelombang air pasang laut; dan
e. Penataan dan sistem pengamanan pantai.

Bagian Ketujuh
Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan

Paragraf 1
Umum

Pasal 24

(1) Rencana sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 ayat (1) huruf f, terdiri atas :
a. Pengembangan jaringan drainase;
b. pengolahan persampahan;
c. pengolahan limbah padat dan limbah cair;
d. rencana pengembangan air minum;
e. jalur dan ruang evakuasi bencana; dan
f. Sistem Proteksi Kebakaran.
(2) Pengembangan Jaringan Prasarana lingkungan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sanitasi lingkungan bagi kegiatan pemukiman,
produksi, jasa dan kegiatan sosial ekonomi lainnya.

32
SALINAN

Paragraf 2
Pengembangan Jaringan Drainase

Pasal 25

Rencana pengembangan jaringan drainase di Kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dilakukan dengan cara :
a. pembangunan saluran dengan konstruksi tertutup dibangun pada
kawasan perdagangan, perkantoran dan kawasan komersil; dan
b. pengembangan sistem tercampur dikembangkan untuk air limbah
dari kegiatan non-domestik dan kegiatan lainnya seperti air buangan
dari kamar mandi, tempat cuci dan hasil kegiatan kantor lainnya,
sedangkan untuk menutupi kelemahan sistem ini dapat diatasi
dengan membuat saluran terbuka dari perkerasan dengan campuran
kedap air.

Paragraf 3
Pengolahan Persampahan

Pasal 26

(1) Sistem pengolahan persampahan sebagaimana dimaksud dalam pasal


24 huruf b bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya
melalui program pembatasan timbunan sampah, pendauran ulang
sampah, dan/atau pemanfaatan kembali sampah;
(2) Sistem pengolahan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari :
a. TPS; dan
b. TPA.
(3) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan pada
setiap unit lingkungan perumahan dan pusat-pusat kegiatan;
(4) TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berada di desa
Soto’o di Kecamatan Maniamolo.

Paragraf 4
Pengolahan Limbah Padat dan Limbah Cair

Pasal 27

Rencana pengolahan limbah padat dan limbah cair sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 huruf c dilakukan dengan cara Pengembangan sistem
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal untuk kawasan perumahan
padat perkotaan, kompleks maupun perumahan yang dikembangkan oleh
para developer.

33
SALINAN

Paragraf 5
Pengembangan Air Minum

Pasal 28

Rencana pengembangan air minum di Kabupaten sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 24 huruf d, dilakukan dengan cara :
a. membangun sistem penyediaan air minum di wilayah pesisir pantai
maupun dataran tinggi sesuai dengan karakteristik geografis dan
ketersedian sumber air baku;
b. memperluas jaringan perpipaan air minum di kawasan perkotaan;
c. membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kabupaten
sebagai cikal bakal yang mengelola air minum di kawasan perkotaan;
d. Pengembangan Jaringan PDAM di Kecamatan Telukdalam, Fanayama
dan Luaha Gundre Maniamolo; dan
e. pembuatan pengaturan tentang Rencana Induk Sistem Penyediaan
Air Minum (RI- SPAM).

Paragraf 6
Jalur dan Ruang Evakuasi Bencana

Pasal 29

(1) Rencana jalur dan ruang evakuasi bencana di Kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 24 huruf e diarahkan di daerah-daerah dengan
kriteria:
a. lokasi ruang evakuasi bencana jauh dari dampak bencana yang
Terjadi;
b. diupayakan lokasi ruang evakuasi bencana berupa ruang terbuka
yang dapat menampung banyak orang;
c. ruang evakuasi bencana diupayakan memanfaatkan bangunan milik
pemerintah dan fasilitas umum sebagai tempat penampungan
pengungsi; dan
d. jalur evakuasi bencana merupakan jalur yang menjauhi daerah
rawan bencana.
(2) Rencana jalur dan ruang evakuasi bencana di Kabupaten sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf e digambarkan dalam peta terlampir.

Paragraf 7
Sistem Proteksi Kebakaran

Pasal 30

(1) Sistem Proteksi Kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 24


huruf f, meliputi layanan :

34
SALINAN

a. Pencegahan Kebakaran;
b. Pemberdayaan Peran Masyarakat;
c. Pemadam Kebakaran;
d. Penyelamatan Jiwa dan Harta Benda; dan
e. Pembuatan Koridor Penanggulangan Kebakaran.

(2) Sistem Proteksi Kebakaran sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
akan diatur lebih lanjut dalam Rencana Induk Proteksi Kebakaran.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 31

(1) Rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5


huruf c, meliputi:
a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya
(2) Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dilakukan dengan mengacu pada pola ruang kawasan lindung
yang telah ditetapkan secara nasional sebagaimana tercantum dalam
SK Menteri Kehutanan RI Nomor : 579/Menhut-II/2014 Tentang
Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara, merupakan satu kesatuan dan
bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
(3) Penetapan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dilakukan dengan mengacu pada pola ruang kawasan budi
daya yang memiliki nilai strategis nasional, serta memperhatikan pola
ruang kawasan budidaya Propinsi dan Kabupaten/Kota.
(4) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal 1 : 50.000 sebagaimana
tercantum pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

35
SALINAN

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Paragraf 1
Umum

Pasal 32

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a


terdiri atas:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam geologi; dan
e. kawasan lindung lainnya.

Paragraf 2
Kawasan Hutan Lindung

Pasal 33

Kawasan hutan lindung dengan luas total lebih kurang 73.613 (tujuh puluh
tiga ribu enam ratus tiga belas) hektar sebagaimana dimaksud pada pasal
32 huruf a, meliputi:
a. Kecamatan Umbunasi;
b. Kecamatan Gomo;
c. Kecamatan Mazo;
d. Kecamatan Amandraya;
e. Kecamatan Lolomatua;
f. Kecamatan Ulunoyo;
g. Kecamatan Huruna;
h. Kecamatan Onohazumba;
i. Kecamatan Hilimegai;
j. Kecamatan Hilisalawa Ahe;
k. Kecamatan O’o’u;
l. Kecamatan Amandraya;
m. Kecamatan Ulususua;
n. Kecamatan Aramo;
o. Kecamatan Boronadu;
p. Kecamatan Idanotae;
q. Kecamatan Ulu Idanotae;
r. Kecamatan Pulau-Pulau Batu;
s. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur;
t. Kecamatan Hibala;
u. Kecamatan Tanah Masa;
v. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Barat;

36
SALINAN

w. Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara;


x. Kecamatan Simuk.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 34

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada pasal 32


huruf b, meliputi:
a. kawasan sempadan sungai; dan
b. kawasan sempadan pantai.
(2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditetapkan :
a. 100 meter dikiri-kanan sungai besar dan 50 meter dikiri-kanan
sungai kecil di luar permukiman;
b. 10 – 15 meter di dalam kawasan permukiman yang cukup untuk
membuat jalan inspeksi; dan
c. lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik.
(3) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, ditetapkan minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke
arah darat.

Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya
Pasal 35

(2) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 32 huruf c, terdiri atas:
a. Kawasan pantai berhutan bakau (mangrove);
b. Taman Buru; dan
c. Cagar Budaya.
(3) Kawasan pantai berhutan bakau (mangrove) sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf a, berada di hampir sepanjang garis pantai Kabupaten
dengan luas keseluruhan lebih kurang 3.470 (tiga ribu empat ratus
tujuh puluh) hektar.
(4) Kawasan Taman Buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berada di Taman Buru pulau pini dengan luas keseluruhan lebih kurang
8.359 (delapan ribu tiga ratus lima puluh sembilan) hektar.
(5) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
berada di Desa Tradisional Bawomataluo Kecamatan Fanayama.

Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi

Pasal 36

37
SALINAN

Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi sebagaimana dimaksud pada pasal


32 huruf d, terdiri atas :
a. Kawasan rawan gerakan tanah/longsor yang berpotensi pada
kawasan bagian tengah terutama daerah dengan tingkat kontur
curam;
b. Kawasan rawan gempa bumi yang berpotensi di seluruh Kabupaten;
dan
c. Kawasan rawan tsunami yang berpotensi dibagian pesisisr
Kabupaten dan Kawasan Pulau-Pulau Batu.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Lainnya
Pasal 37

(1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 huruf


e, berupa kawasan terumbu karang, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
(2) Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ditetapkan paling sedikit 30 (tiga Puluh) persen atau lebih
kurang 2.886 (dua ribu delapan ratus delapan puluh enam) hektar dari
kawasan perkotaan yang direncanakan seluas lebih 865 (delapan ratus
enam puluh lima) hektar, terdiri atas RTH publik 20 (dua puluh)
persen dan RTH privat 10 (sepuluh) persen yang tersebar diseluruh
kecamatan.

Bagian Ketiga
Pola Ruang Kawasan Budidaya

Paragraf 1
Umum
Pasal 38

Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b


terdiri atas :
a. kawasan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perkebunan;
d. kawasan peruntukan perikanan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pertambangan;
g. kawasan peruntukan pariwisata;
h. kawasan peruntukan permukiman;
i. kawasan peruntukan untuk hutan rakyat; dan
j. kawasan peruntukan lainnya.

38
SALINAN

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Pasal 39

(1) Kawasan Hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 huruf


a, terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi tetap;
b. kawasan hutan produksi terbatas; dan;
c. kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dengan luas total 73.374 (tujuh puluh tiga ribu tiga ratus tujuh
puluh empat) hektar, meliputi:
a. Kecamatan Pulau-pulau Batu;
b. Kecamatan Pulau-pulau Batu Timur;
c. Kecamatan Hibala;
d. Pulau Tanah Masa;
e. Pulau Hibala;dan
f. Pulau Pini.
(3) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dengan luas total 19.713 (Sembilan belas ribu tujuh ratus tiga
belas) hektar terdapat :
a. Kecamatan Lolowa’u; dan
b. Kecamatan Hilimegai.
(4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c sudah tidak ada lagi berdasarkan SK Menteri
Kehutanan Nomor : 579 Tahun 2014.

Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 40

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 38


huruf b, terdiri atas;
a. kawasan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan perkebunan; dan
c. kawasan peternakan;
(2) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terdiri atas:
a. Kawasan pertanian lahan basah; dan
b. kawasan pertanian lahan kering
(3) Kawasan pertanian lahan basah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, terdiri atas:
a. luas lahan keseluruhan mencapai 14.925 (empat belas ribu sembilan
ratus dua puluh lima) hektar yang selanjutnya akan ditetapkan
sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan;
b. kawasan pertanian lahan basah terdapat di :

39
SALINAN

1) Kecamatan Lolowa’u;
2) Kecamatan Lolomatua;
3) Kecamatan Amandraya;
4) Kecamatan Maniamolo
5) Kecamatan Fanayama;
6) Kecamatan Telukdalam;
7) Kecamatan Onolalu;
8) Kecamatan Lahusa;
9) Kecamatan Gomo;
10) Kecamatan Idanotae;
11) Kecamatan Ulu Idanotae;
12) Kecamatan Mazo;
13) Kecamatan Aramo;
14) Kecamatan Hilimegai;
15) Kecamatan Umbunasi;
16) Kecamatan Mazino;
17) Kecamatan Toma.
18) Kecamatan Boronadu;
19) Kecamatan Sidua’ori;
20) Kecamatan Somambawa;
21) Kecamatan Ulunoyo;
22) Kecamatan Onohazumba;
23) Kecamatan O’ou;
24) Kecamatan Huruna;
25) Kecamatan Ulususa;
(4) Kawasan pertanian lahan kering sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, meliputi seluruh Kecamatan di Kabupaten dengan luas
keseluruhan mencapai 14.452 (empat belas ribu empat ratus lima puluh
dua) hektar.

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Perkebunan
Pasal 41

Kawasan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada pasal 38


huruf c seluas 43.039 (empat puluh tiga ribu tiga puluh sembilan) hektar
terdapat diseluruh kecamatan yang merupakan perkebunan rakyat.

Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 42

(1) Kawasan Peruntukan Perikanan sebagaimana dimaksud pada pasal 38


huruf d, meliputi:
a. perikanan tangkap; dan
b. perikanan budidaya.

40
SALINAN

(2) Perikanan Tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,


ditetapkan pada wilayah perairan yang potensial akan sumber daya
ikan yang berada pada kawasan perairan lebih kurang 12 – 16 mil dari
garis pantai, meliputi:
a. Kecamatan Lolowa’u;
b. Kecamatan Amandraya;
c. Kecamatan Maniamolo;
d. Kecamatan Teluk dalam
e. Kecamatan Fanayama;
f. Kecamatan Toma;
g. Kecamatan Lahusa;
h. Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
i. Kecamatan Pulau – Pulau Batu;
j. Kecamatan Pulau – Pulau Batu Timur;
k. Kecamatan Hibala;
l. Kecamatan Tanah Masa;
m. Kecamatan Pulau –Pulau Batu Utara;
n. Kecamatan Pulau – Pulau Batu Barat; dan
o. Kecamatan Simuk.
(3) Perikanan Budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. budidaya laut; dan
b. budidaya air tawar.
(4) Budidaya laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, meliputi:
a. Kepulauan;
b. Kecamatan Telukdalam; dan
c. Kecamatan Fanayama.
(5) Budidaya air tawar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
meliputi:
a. Kecamatan Telukdalam;
b. Kecamatan Onolalu;
c. Kecamatan Lahusa;
d. Kecamatan Gomo;
e. Kecamatan Mazino;
f. Kecamatan Fanayama;
g. Kecamatan Maniamolo;
h. Kecamatan Toma;
i. Kecamatan Aramo;
j. Kecamatan Amandraya;
k. Kecamatan Lolowa’u;
l. Kecamatan Luahagundre Maniamolo;
m. Kecamatan Ulususua;
n. Kecamatan O’o’u;
o. Kecamatan Onohazumba;
p. Kecamatan Hili Salawa Ahe;
q. Kecamatan Lolomatua;

41
SALINAN

r. Kecamatan Ulunoyo;
s. Kecamatan Huruna;
t. Kecamatan Sidua’ori;
u. Kecamatan Somambawa;
v. Kecamatan Mazo;
w. Kecamatan Umbunasi;
x. Kecamatan Boronadu;
y. Kecamatan Idanotae;
z. Kecamatan Ulu Idanotae;
aa. Kecamatan Hilimegai; dan
bb. Kecamatan Susua.
(6) Rencana pengembangan Pangkalan pendaratan ikan (PPI) diarahkan di
PPI Lahusa, PPI Teluk dalam, PPI Pulau Tello.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 43

Kawasan peruntukan Industri sebagaimana dimaksud pada pasal 38 huruf


e, terdapat di Kecamatan Teluk dalam di luar kawasan perkotaan yang
merupakan Industri menengah. Kawasan Industri kecil tersebar diseluruh
Kecamatan diwilayah Kabupaten.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 44

(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada pasal


38 huruf f merupakan kawasan budidaya yang mempunyai kriteria
berpotensi mineral yang sudah atau belum dibudidayakan.
(2) Kecamatan yang memiliki potensi dibidang pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Kecamatan Gomo,Lahusa, Amandraya,
Lolomatua, Lolowa’u, Mazo, Susua dan Umbunasi dengan luas lebih
kurang 15.916 (lima belas ribu Sembilan ratus enam belas) hektar
berupa potensi bahan galian batu bara.
(3) Pengaturan wilayah pertambangan rakyat diatur dengan Keputusan
Bupati

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 45

(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam pasal 38


huruf g meliputi :
a. Pariwisata Alam;
b. Pariwisata kebudayaan; dan

42
SALINAN

c. Pariwisata minat khusus.


(2) Peruntukan pariwisata Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi Lagundri, Sorake, Pantai Moale, Air Terjun Sumali, Air Terjun
Namo Sifelendrua, Gua Gobali, Gua Segelo Gana’a, Pantai Sifika, Pantai
Sibaranun Golfina, Pantai Simaleko dan Pulau-Pulau Batu.
(3) Peruntukan Pariwisata Kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi peninggalan megalit di Kecamatan Gomo, Kampung
Tradisionil Bawomataluo, Kecamatan Boronadu, dan Silima Ewali
mazino.
(4) Peruntukan pariwisata Minat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi olah raga air di Pantai Sorake, Lagundri, Sigolong-
golong, Telukdalam dan Wisata menyelam di perairan Pulau-Pulau
Batu.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 46

(1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada pasal 38 huruf h,


terdiri atas :
a. Permukiman perkotaan, meliputi : Ibukota Kabupaten dan Ibukota
Kecamatan.
b. permukiman perdesaan, meliputi seluruh wilayah kabupaten di luar
kawasan permukiman perkotaan.
(2) Kawasan Peruntukan untuk Hutan Rakyat sebagaimana dimaksud
pada pasal 38 huruf (i) di lakukan diseluruh wilayah Kabupaten Nias
Selatan.
(3) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 38
huruf (j), meliputi :
a. Kawasan Pertahanan dan Keamanan Negara;
b. Kawasan Pendidikan Tinggi;
c. Kawasan Peruntukan Perdagangan dan Jasa;
d. Kawasan Peruntukan Olahraga;
e. Kawasan Pelayanan Kesehatan;
f. Kawasan Peruntukan Perkantoran; dan
g. Kawasan Peruntukan Pusat Kegiatan Pertemuan, Pameran dan
Sosial budaya.
(4) Kawasan Pertahanan dan Keamanan Negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Markas Komando Angkatan Laut diarahkan di Kecamatan
Telukdalam;
b. Markas Komando Militer diarahkan di Kecamatan Fanayama;
c. Markas Komando Brimob diarahkan di Kecamatan Telukdalam dan
Fanayama;
d. Markas Kepolisian Resort berada di Ibu Kota Kecamatan
Telukdalam;

43
SALINAN

e. Komando Rayon Militer tersebar diseluruh Wilayah Kecamatan dan


Ibu Kota Kecamatan;
f. Kantor Polisi Sektor tersebar diseluruh Wilayah Ibu Kota Kecamatan;
dan
g. Kantor Polisi Airut di Kecamatan Telukdalam dan Kepulauan.
(5) Kawasan Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b diarahakan di Ibu Kota Kecamatan Telukdalam.
(6) Kawasan Peruntukan Perdagangan dan Jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c, meliputi :
a. Pasar Tradisional diarahkan dimasing-masing ibu kota Kecamatan;
b. Pusat Perbelanjaan diarahkan di Ibu Kota Kecamatan Telukdalam,
Kecamatan Lolowau, Kecamatan Lahusa, Kecamatan Gomo dan
Pasar Pulau Tello; dan
c. Toko Modern diarahkan di Kawasan Perkotaan di Kecamatan
Telukdalam, Kecamatan Maniamolo, Kecamatan Lahusa dan
Kecamatan Pulau-Pulau Batu.
(7) Kawasan Peruntukan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d, diarahkan di Wilayah Kecamatan Telukdalam, Kecamatan
Fanayama, Kecamatan Lolowau, Kecamatan Lahusa, Kecamatan Gomo
dan Kepulauan.
(8) Kawasan Peruntukan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e, meliputi :
a. Pusat Pelayanan Kesehatan Regional diarahkan di Kecamatan
Telukdalam; dan
b. Pusat Pelayanan Kesehatan Skala Kecamatan di arahkan dimasing-
masing Pusat Kecamatan.
(9) Kawasan Peruntukan Perkantoran Pemerintahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf f, meliputi :
a. Pusat Perkantoran Pemerintahan Kabupaten diarahkan di
Kecamatan Telukdalam; dan
b. Pusat Pemerintahan Kecamatan diarahkan di Masing-Masing
Ibukota Kecamatan.
(10) Pusat Peruntukan Pusat Kegiatan Pertemuan, Pameran dan Sosial
Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, diarahkan di
Kecamatan Telukdalam, Kecamatan Fanayama, Kecamatan
Maniamolo, Kecamatan Lolowau, Kecamatan Gomo dan Kecamatan
Pulau-Pulau Batu.
(11) Kawasan Peruntukan sebagaimana dimaksud pada pasal 46 ayat (1),
(2), dan (3) seluas 13.262 (tiga belas ribu dua ratus enam puluh dua)
Hektar.

44
SALINAN

BAB VI
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Paragraf 1
Umum
Pasal 47

(1) Kawasan Strategis Kabupaten berfungsi :


a. mengembangkan, melestarikan, melindungi, dan/atau
mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis
Kawasan yang bersangkutan dalam mendukung penataan ruang
wilayah kabupaten;
b. sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi
masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah
kabupaten yang dinilai memiliki pengaruh sangat penting terhadap
wilayah Kabupaten Nias Selatan;
c. untuk mewadahi penataan ruang kawasan yang tidak dapat
terakomodasi dalam rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola
Ruang;
d. sebagai pertimbangan dalam penyusunan Indikasi Program Utama
RTRW Kabupaten Nias Selatan; dan
e. sebagai dasar Penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah
Kabupaten.
(2) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf d,
meliputi :
a. kawasan strategis provinsi; dan
b. kawasan strategis kabupaten.
(3) Kawasan strategis dalam wilayah digambarkan pada Peta Kawasan
Strategis sebagaimana tercantum pada Lampiran IV yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 2
Kawasan Strategis Provinsi
Pasal 48

Kawasan Strategis Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2)


huruf a, meliputi Desa Tradisional Bawomataluo, Wilayah Kecamatan
Luahagundre Maniamolo dan Kawasan Taman Laut Pulau Sibaranun.

Paragraf 3
Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 49

Kawasan strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat


(2) huruf b, meliputi :

45
SALINAN

a. kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi;


b. kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya; dan
c. kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Paragraf 4
Kawasan Strategis untuk Kepentingan Pertumbuhan Ekonomi
Pasal 50

Kawasan Strategis untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana


dimaksud pada Pasal 49 huruf a yang dikembangkan di Kabupaten,
meliputi:
a. Telukdalam sebagai Ibukota Kabupaten, Kecamatan Luahagundre
Maniamolo dan Kecamatan Fanayama sebagai kawasan pariwisata;
dan
b. Tello sebagai tempat pendaratan dan pelelangan ikan, lokasi
pemasaran berbagai komoditas dan pariwisata.

Paragraf 5
Kawasan Strategis Untuk Kepentingan Sosial Budaya
Pasal 51

Kawasan Strategis untuk kepentingan sosial budaya, sebagaimana


dimaksud pada Pasal 49 huruf b yang dikembangkan di Kabupaten,
meliputi:
a. kawasan Bawomataluo Kecamatan Fanayama sebagai tempat
pelestarian rumah induk adat Nias Selatan dan perkampungan
tradisional; dan
b. kawasan Sifalago Gomo dan Kecamatan Boronadu sebagai tempat
pelestarian rumah adat Nias Selatan dan cagar budaya megalith.

Paragraf 6
Kawasan Strategis Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup
Pasal 52

Kawasan Strategis fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 49 huruf c yang dikembangkan di Kabupaten berupa
kawasan pesisir pantai Hilisataro Kecamatan Toma, pesisir Pantai Baloho
Kecamatan Telukdalam dan perisisir pantai Lagundri dan Sorake Kecamatan
Luahagundre Maniamolo.

Pasal 53

(1) Untuk operasionalisasi RTRW Kabupaten disusun Rencana Rinci Tata


Ruang berupa rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

46
SALINAN

BAB VII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Pasal 54

(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten merupakan perwujudan


rencana struktur ruang, pola ruang, dan kawasan-kawasan strategis
kabupaten.
(2) Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. indikasi program utama;
b. indikasi sumber pendanaan;
c. indikasi pelaksanaan kegiatan; dan
d. waktu pelaksanaan.
(3) Indikasi program utama pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. indikasi program utama perwujudan struktur ruang;
b. indikasi program utama perwujudan pola ruang; dan
c. indikasi program utama perwujudan kawasan strategis kabupaten.

Pasal 55

(1) Usulan program utama dan lokasinya untuk mewujudkan rencana


struktur ruang ditetapkan melalui penjabaran dan keterkaitan strategi
penataan ruang dengan rencana struktur ruang.
(2) Usulan program utama dan lokasinya untuk mewujudkan rencana pola
ruang ditetapkan melalui penjabaran dan keterkaitan strategi penataan
ruang dengan rencana pola ruang.
(3) Besarnya perkiraan pendanaan dan alternatif sumber pendanaan
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, dan/atau kerja sama
pendanaan.
(4) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Instansi pelaksana program, yang diwujudkan untuk struktur ruang dan
pola ruang di Kabupaten meliputi :
a. pemerintah;
b. pemerintah daerah;
c. badan usaha milik negara (BUMN);
d. swasta dalam negeri dan swasta asing;
e. masyarakat atau Kelompok Masyarakat; dan
f. kerjasama antara pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, swasta,
dan masyarakat.
(6) Waktu pelaksanaan program pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten,
merupakan pelaksanaan program berdurasi 20 (dua puluh) tahun yang
dibagi kedalam jangka lima tahunan, dan jangka tahunan.

47
SALINAN

Pasal 56

(1) Indikasi program utama pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 54 ayat (3) disusun berdasarkan indikasi program utama
lima tahunan.
(2) Indikasi program utama pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (3) dilakukan melalui perwujudan struktur ruang,
perwujudan pola ruang dan perwujudan kawasan strategis kabupaten.

Pasal 57

(1) Perwujudan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat


(1) terdiri atas:
a. perwujudan pusat kegiatan;dan
b. perwujudan jaringan prasarana wilayah.
(2) Perwujudan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a terdiri atas:
a. pengembangan PKL;
b. pengembangan PKLp;
c. pengembangan PPK Kecamatan Gomo;
d. pengembangan PPK Kecamatan Lolowa’u;
e. pengembangan PPK Kecamatan Maniamolo; dan
f. pengembangan PPL.
(3) Pengembangan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
dilakukan melalui program:
a. penetapan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan
Telukdalam;
b. peningkatan fasilitas pemerintahan;
c. peningkatan fasilitas pendidikan dan Kesehatan;
d. pembangunan Akademi/Sekolah Tinggi/Perguruan Tinggi;
e. peningkatan pelayanan fasilitas sosial dan umum;
f. pengembangan sentra perdagangan, pertanian, Perkebunan dan
jasa;
g. pengembangan kawasan industri besar, menengah, kecil dan rumah
tangga;
h. pengembangan kawasan permukiman; dan
i. peningkatan pelayanan jaringan utilitas sebagai pendukung
perkembangan perkotaan.
(4) Pengembangan PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
dilakukan melalui program:
a. penetapan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Pulau-
Pulau Batu;
b. peningkatan fasilitas pendidikan;
c. peningkatan pelayanan fasilitas sosial dan umum;
d. pengembangan kawasan industri besar, menengah, kecil dan rumah
tangga;

48
SALINAN

e. pengembangan sentra perdagangan dan jasa;


f. peningkatan pasar dan pertokoan; dan
g. peningkatan pelayanan jaringan utilitas sebagai pendukung
perkembangan perkotaan.
(5) Pengembangan PPK Kecamatan Gomo sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dilakukan melalui program:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Gomo;
b. peningkatan fasilitas kegiatan pariwisata, fasilitas umum dan sosial;
c. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan;
d. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas; dan
e. pengembangan kawasan permukiman.
(6) Pengembangan PPK Kecamatan Lolowa’u sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d dilakukan melalui program:
a. penetapan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Lolowa’u;
b. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan;
c. peningkatan fasilitas umum dan sosial;
d. pengembangan kawasan perdagangan, pertanian, Perkebunan dan
jasa;
e. peningkatan fasilitas perdagangan berupa pasar, toko dan
pertokoan;
f. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas; dan
g. pengembangan kawasan permukiman.
(7) Pengembangan PPK Kecamatan Maniamolo sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e dilakukan melalui program:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Maniamolo;
b. peningkatan fasilitas kegiatan dan pemasaran pertanian;
c. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan;
d. peningkatan fasilitas umum dan sosial;
e. pengembangan dan peningkatan fasilitas perdagangan berupa pasar,
toko dan pertokoan;
f. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas; dan
g. pengembangan kawasan permukiman.
(8) Pengembangan PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f,
dilakukan melalui program:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan;
b. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan;
c. peningkatan fasilitas umum dan sosial;
d. pengembangan kawasan perdagangan dan jasa;
e. pengembangan dan peningkatan fasilitas perdagangan berupa pasar,
toko dan pertokoan;
f. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas; dan
g. pengembangan kawasan permukiman.

Pasal 58
(1) Perwujudan jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (1) huruf b terdiri atas:

49
SALINAN

a. perwujudan sistem prasarana transportasi;


b. perwujudan sistem prasarana sumber daya air;
c. perwujudan sistem prasarana energi;
d. perwujudan sistem prasarana telekomunikasi; dan
e. perwujudan sistem prasarana kabupaten lainnya.
(2) Perwujudan sistem prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan dengan prioritas program:
a. perencanaan dan penanganan darurat/rehabilitasi jalan dan
jembatan;
b. pemeliharaan rutin dan berkala jalan kabupaten;
c. peningkatan jalan strategsi kabupaten dan jalan lokal;
d. pembangunan dan peningkatan jalan kabupaten ke sentra-sentra
produksi;
e. pembangunan jalan susur pantai wilayah Kabupaten Nias Selatan;
f. peningkatan atau pembangunan jaringan jalan perkotaan dan jalan
akses pariwisata;
g. pembangunan dan pengembangan terminal tipe B dan tipe C;
h. pembangunan transportasi perkotaan dan perdesaan;
i. pembangunan dan pengembangan pelabuhan laut dan bandar
udara;
j. pengembangan jaringan jalan di seluruh wilayah;
k. pembangunan dan peningkatan jalan pertanian;
l. Pengembangan jaringan trayek; dan
m.Pengembangan jaringan transportasi antar pulau.
(3) Perwujudan sistem prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui program:
a. program penyediaan air baku bagi pertanian;
b. program penyediaan air baku bagi permukiman;
c. pengendalian banjir; dan
d. pengamanan sempadan sungai dan pantai.
(4) Perwujudan sistem prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dilaksanakan melalui program:
a. penambahan daya dan jaringan energi listrik;
b. penyambungan jaringan interkoneksi antara wilayah pengembangan;
c. Pengembangan energi alternatif; dan
d. Pengembangan energi listrik masuk desa.
(5) Perwujudan sistem prasarana telekomunikasi dilaksanakan melalui
program:
a. penambahan jaringan telepon kabel di kawasan perkotaan;
b. pembangunan dan peningkatan stasiun-stasiun komunikasi nir-kabel
di Wilayah yang memiliki area blank spot di kabupaten; dan
c. pembangunan dan peningkatan stasiun-stasiun komunikasi nir-kabel
secara terpadu.
(6) Perwujudan sistem prasarana kabupaten lainnya, dilaksanakan melalui
program:

50
SALINAN

a. penataan kembali TPA sampah yang ada untuk


mencegah/mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan
(penggunaan sistem sanitary landfill atau control landfill);
b. pembangunan dan/atau penambahan TPS di seluruh wilayah
perkotaan di Kabupaten;
c. pengembangan sistem daur ulang sampah yang berlokasi di TPA;dan
d. pengembangan pengelolaan limbah bergerak.

Pasal 59

(1) Perwujudan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1)
dilakukan melalui:
a. perwujudan kawasan lindung;dan
b. perwujudan kawasan budidaya.
(2) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, meliputi:
a. perwujudan peruntukan hutan lindung;
b. perwujudan peruntukan kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahannya;
c. perwujudan peruntukan kawasan perlindungan setempat;
d. perwujudan peruntukan suaka alam, pelestarian alam dan cagar
budaya; dan
e. perwujudan peruntukan kawasan rawan bencana alam.

Pasal 60

(1) Perwujudan peruntukan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam


pasal 59 ayat (2) huruf a dilakukan melalui program:
a. penegasan batas-batas kawasan hutan lindung serta memberikan
batasan fisik pada kawasan hutan lindung;
b. pembangunan jalan inpeksi dalam rangka mempermudah kegiatan
pengawasan dan pengendalian kawasan hutan lindung;
c. identifikasi pemilik lahan yang terkena peruntukkan kawasan hutan
lindung;
d. pelaksanaan penyepakatan (penggantian, pembelian, atau
partisipasi) lahan peruntukkan hutan lindung;
e. identifikasi kerusakan dan penggundulan hutan lindung;
f. pelaksanaan reboisasi (penghijauan kembali) dan rehabilitasi hutan
lindung yang telah rusak; dan
g. sosialisasi perwujudan kawasan hutan lindung.
(2) Perwujudan peruntukan kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 59
ayat (2) huruf b dilakukan melalui program:
a. pengembangan tanaman kehutanan yang berfungsi sebagai tanaman
konservasi;

51
SALINAN

b. pengawasan dan pengendalian pada kawasan konservasi dan


resapan air; dan
c. pelaksanaan rehabilitasi dan penghutanan pada kawasan sekitar
resapan air.
(3) Perwujudan peruntukan kawasan perlindungan setempat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf c dilakukan melalui program:
a. penetapan dan penegasan fungsi lindung pada kawasan sempadan
sungai dan sempadan pantai;
b. penegasan batas-batas dan memberikan batasan fisik pada kawasan
sempadan sungai dan pantai, seperti pembangunan pagar, dan
tanda atau papan informasi;
c. pembangunan jalan inspeksi dalam rangka mempermudah kegiatan
pengawasan dan pengendalian;
d. rehabilitasi DAS dan pengerukan alur sungai; dan
e. perwujudan RTH kawasan perkotaan sebesar 30% dari wilayah
perkotaan.
(4) Perwujudan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui program:
a. pemugaran dan perlindungan pada situs-situs budaya dan ilmu
pengetahuan; dan
b. sosialisasi perwujudan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(5) Perwujudan peruntukan kawasan rawan bencana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf e dilakukan melalui program:
a. reboisasi dan menghutankan serta evakuasi kawasan rawan bencana
alam;
b. identifikasi tingkat kerawanan kawasan rawan bencana alam;
c. mempertegas batas-batas dan memberikan batasan fisik pada
kawasan rawan bencana;
d. penanaman pohon pada wilayah potensial longsor dan rawan
bencana; dan
e. Pengembangan prasarana dan sarana evakuasi bencana.

Pasal 61

(1) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59


ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. perwujudan peruntukan hutan produksi; ( izin peruntukan agar
diperdakan lagi.)
b. perwujudan peruntukan pertanian;
c. perwujudan peruntukan perkebunan;
d. perwujudan peruntukan perikanan;
e. perwujudan peruntukan industri;
f. perwujudan peruntukan pariwisata;
g. perwujudan peruntukan permukiman; dan
h. perwujudan peruntukan pertambangan.

52
SALINAN

(2) Perwujudan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf a dilakukan melalui program:
a. studi kelayakan dan desain pengembangan sentra industri
pengolahan kayu;
b. pembangunan sentra industri pengolahan kayu;
c. penyusunan peraturan pelimpahan penguasaan dan/atau
memberikan Kewenangan dalam pengawasan dan pengendalian
kawasan hutan produksi dari pemerintahan kecamatan terhadap
pemerintah desa;
d. penyusunan peraturan dan atau instruksi yang mengikat tentang
program tebang pilih dan tebang tanam; dan
e. sosialisasi perwujudan kawasan hutan produksi.
(3) Perwujudan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan melalui program:
a. penyusunan Peraturan Daerah tentang lahan pertanian pangan
berkelanjutan;
b. pemantapan jaringan irigasi dan bangunan-bangunan irigasi;
c. pembangunan sentra budidaya pertanian;
d. studi kelayakan pengembang sentra budidaya tanaman lahan kering,
lahan basah dan peternakan;
e. pelaksanaan pembangunan sentra budidaya benih dan bibit unggul
tanaman lahan kering, lahan basah dan peternakan; dan
f. pelaksanaan pembangunan koperasi/pasar khusus pertanian.
(4) Perwujudan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dilakukan melalui program:
a. identifikasi kawasan perkebunan yang masih potensial;
b. identifikasi kawasan perkebunan yang sudah tidak diperpanjang ijin
operasinya;
c. pengembangan tanaman kayu tahunan pada daerah yang memiliki
kemiringan diatas 25%;
d. peningkatan produktifitas produksi perkebunan dan tanaman
tahunan melalui intensifikasi lahan; dan
e. Pengembangan kawasan perkebunan rakyat.
(5) Perwujudan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan melalui program:
a. pelaksanaan minapolitan tangkap;
b. pelaksanaan minapolitan budidaya air payau;
c. pelaksanaan minapolitan budidaya air tawar;
d. pelaksanaan minapolitan pengolahan dan pemasaran hasil
perikanan; dan
e. peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan tempat
pelelangan ikan, serta sarana pendukungnya.
(6) Perwujudan peruntukan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e dilakukan melalui program:
a. penyusunan rencana pengembangan industri pengolahan;
b. pembangunan kawasan industri terpadu;

53
SALINAN

c. pembangunan agroindustri dan industri pengolahan;


d. fasilitasi pemanfaatan teknologi industri tepat guna;
e. pembinaan dan pengembangan industri kecil menengah; dan
f. promosi investasi bagi pengembangan industri agro.
(7) Perwujudan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f dilakukan melalui program:
a. penyusunan rencana induk pariwisata;
b. penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan dan Obyek Wisata;
c. pengembangan pemasaran dan promosi kawasan wisata Kabupaten;
d. pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata; dan
e. pengembangan objek pariwisata Kabupaten.
(8) Perwujudan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf g dilakukan melalui program:
a. penyusunan rencana pengembangan dan pembangunan perumahan
dan permukiman;
b. pengembangan kegiatan permukiman kepadatan tinggi;
c. pengembangan kegiatan permukiman kepadatan sedang;
d. pengembangan kegiatan permukiman kepadatan rendah;
e. pembangunan kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap
bangun (Lisiba);
f. pembangunan dan peningkatan fasilitas permukiman; dan
g. pembangunan dan peningkatan utilitas permukiman.
(9) Perwujudan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h dilakukan melalaui program :
a. Pembinaan dan pengawasan bidang pertambangan; dan
b. Pengawasan dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi
merusak lingkungan.

Pasal 62

(1) Perwujudan kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 54 ayat (3) huruf c, dilakukan melalui:
c. perwujudan kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan
ekonomi;
d. perwujudan kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya; dan
e. perwujudan kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup.
(2) Perwujudan kawasan strategis untuk kepentingan pertumbuhan
ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
melalui program:
a. Pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh;
b. Pengendalian perubahan peruntukan ruang.
c. pengembangan sentra perdagangan dan jasa di pusat kota;
d. peningkatan pelayanan jaringan utilitas sebagai pendukung
perkembangan perkotaan;
e. peningkatan pasar dan pertokoan di pusat kota;

54
SALINAN

f. peningkatan pelayanan fasilitas sosial dan umum pusat kota;


g. pengembangan pelabuhan laut;
h. pembangunan dan pengembangan Teriminal Tipe B dan Tipe C;
i. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas;
j. pembangunan dan Peningkatan pelayanan jaringan jalan; dan
k. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang, Rencana Tata Bangunan
dan Lingkungan, serta Rencana Zonasi di kawasan strategis.
(3) Perwujudan kawasan strategis untuk kepentingan sosial budaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilakukan melalui
program:
a. peningkatan sarana dan pelayanan jaringan utilitas di sekitar lokasi
cagar budaya;
b. pembangunan dan peningkatan pelayanan jaringan jalan dari dan
menuju lokasi cagar budaya; dan
c. pembangunan kawasan perdagangan, jasa dan pusat bisnis, fasilitas
sosial dan fasilitas umum di sekitar kawasan cagar budaya atau
akses yang dekat dengan kawasan tersebut.
(4) Perwujudan kawasan strategis fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan melalui
program:
a. pengembangbiakan hewan dan jenis terumbu karang di kawasan
taman laut;
b. pelestarian hutan di kawasan taman laut Pulau Sibaranun;
c. pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang
berwawasan lingkungan;
d. pembatasan kunjungan wisata ke kawasan yang dilestarikan;
e. rehabilitasi vegetasi mangrove di sekitar kawasan pesisir dan pulau;
dan
f. pembangunan tembok pemecah ombak, tanggul dan sistem kontrol
erosi dan abrasi untuk kawasan pesisir yang tanaman mangrovenya
sulit berkembang.

BAB VIII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 63

(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten


digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.

55
SALINAN

Pasal 64

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


63 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah
Kabupaten dalam menyusun peraturan zonasi, yang meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang diijinkan dalam peraturan zonasi;
b. pemanfaatan ruang yang diijinkan secara terbatas dalam peraturan
zonasi;
c. pemanfaatan ruang yang diijinkan bersyarat dalam peraturan zonasi;
d. pemanfaatan ruang yang dilarang dalam peraturan zonasi; dan
e. peraturan zonasi dimaksud disusun berdasarkan klasifikasi
penggunaan lahan dan sub katagori penggunaan lahan pada
kawasan lindung dan kawasan budidaya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung, meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan
setempat;
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan
ilmu pengetahuan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana
alam; dan
f. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung lainnya.

Pasal 65

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a, ditetapkan
sebagai berikut:
a. diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah
bentang alam; dan
b. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan
hutan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan yang memberikan
Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebagai berikut:
a. diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah
bentang alam; dan
b. dilarang untuk kegiatan yang berpotensi merubah bentang alam.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan Perlindungan
Setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c,
ditetapkan sebagai berikut:
a. dilarang kegiatan budidaya untuk permukiman, dan industri; dan
b. diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah
bentang alam.

56
SALINAN

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan Kawasan Cagar


Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (2) huruf d, dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi
luas atau mengalihfungsikan kawasan Cagar Budaya dan Ilmu
Pengetahuan.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan Rawan Bencana
Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf e,
ditetapkan sebagai berikut:
a. diperbolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak merubah
bentang alam;
b. diperbolehkan untuk kegiatan pariwisata tetapi bukan merupakan
kegiatan wisata dengan jumlah yang besar; dan
c. dilarang membangun bangunan permanen.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan Lindung Lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf f, adalah
Mengikuti ketentuan teknis dari kawasan lindung tersebut.
(7) Ketentuan Lebih lanjut mengenai Zonasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 66

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya, meliputi:


a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan hutan
produksi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan rakyat;
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
pertanian;
d. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
peternakan;
e. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
perkebunan;
f. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
perikanan;
g. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
pertambangan;
h. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
industri;
i. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
pariwisata;
j. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
permukiman; dan
k. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan
lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Hutan
Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a,
ditetapkan sebagai berikut:

57
SALINAN

a. tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan produksi;


b. penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk kepentingan
pertambangan dilakukan melalui pemberian ijin pinjam pakai oleh
Menteri terkait dengan memperhatikan batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta kelestarian hutan/lingkungan;
c. penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk kepentingan
pertambangan terbuka harus dilakukan dengan ketentuan khusus
dan secara selektif;dan
d. kawasan peruntukan hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan seperti
pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon dan instalasi
air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan dan keamanan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Hutan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b, ditetapkan
sebagai berikut:
a. tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan tanaman
rakyat;
b. penggunaan kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat untuk
kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian ijin pinjam
pakai oleh Menteri terkait dengan memperhatikan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian hutan/lingkungan; dan
c. penggunaan kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat untuk
kepentingan pertambangan terbuka harus dilakukan dengan
ketentuan khusus dan secara selektif.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c,
ditetapkan sebagai berikut:
a. Kawasan pertanian tanaman lahan basah dengan irigasi teknis dan
setengah teknis tidak boleh dialih fungsikan;
b. kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapat dialih
fungsikan dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintah
daerah setempat dan atau oleh Kementerian Pertanian;
c. wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik
lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
d. wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya
dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
e. kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan
perikanan), baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi
intensif harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdal;
f. penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida
yang terlarut dalam air drainase) dan polusi industri pertanian
(udara-bau dan asap, limbah cair) yang dihasilkan harus disusun
dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal;
g. penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak,
kulit ternak, bulu unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair)

58
SALINAN

yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan
dalam dokumen Amdal;
h. penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang)
dan polusi (udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam UPL dan
UKL yang disertakan dalam dokumen Amdal;
i. kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan
perikanan), harus diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga
kerja setempat;
j. pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan
kesesuaian lahan; dan
k. upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering
tidak produktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain
harus dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d,
ditetapkan sebagai berikut:
a. kegiatan peternakan skala besar baik yang menggunakan lahan luas
ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki izin
lingkungan;
b. penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak,
kulit ternak, bulu unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair)
yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan
dalam dokumen amdal;
c. pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan
kesesuaian lahan;
d. kegiatan peternakan skala besar harus diupayakan menyerap
sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
e. kegiatan peternakan babi dikembangkan dengan syarat jauh dari
pusat kota, jauh dari kawasan permukiman, dikandangkan (tidak
dibiarkan berkeliaran), memiliki sistem sanitasi yang baik, memiliki
sistem pengolahan air limbah, memiliki izin lingkungan, tidak ada
pertentangan dari masyarakat setempat; dan
f. kegiatan peternakan walet dikembangkan dengan syarat: jauh dari
pusat kota, jauh dari kawasan permukiman, memiliki izin lingkungan.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf e,
ditetapkan sebagai berikut:
a. wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik
lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
b. wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya
dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
c. upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan perkebunan tidak
produktif (tingkat produksi rendah) menjadi peruntukan lain harus
dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat; dan
d. pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan
kesesuaian lahan.

59
SALINAN

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan


Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f,
ditetapkan sebagai berikut:
a. wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya
dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan;
b. kegiatan perikanan skala besar, baik yang menggunakan lahan luas
ataupun teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki izin
lingkungan;
c. penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang)
dan polusi (udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam UPL dan
UKL yang disertakan dalam dokumen Amdal;
d. kegiatan perikanan skala besar, harus diupayakan menyerap sebesar
mungkin tenaga kerja setempat;
e. pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan
kesesuaian lahan;
f. wilayah yang menghasilkan produk perikanan yang bersifat spesifik
lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang; dan
g. upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan perikanan tidak
produktif (tingkat produksi rendah) menjadi peruntukan lain harus
dilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf g,
ditetapkan sebagai berikut:
a. kegiatan pertambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi
Amdal yang dilengkapi dengan UPL dan UKL;
b. kegiatan pertambangan mulai dari tahap perencanaan, tahap
ekplorasi hingga eksploitasi harus diupayakan sedemikian rupa agar
tidak menimbulkan perselisihan dan atau persengketaan dengan
masyarakat setempat;
c. pada lokasi kawasan pertambangan fasilitas fisik yang harus tersedia
meliputi jaringan listrik, jaringan jalan raya, tempat pembuangan
sampah, drainase, dan saluran air kotor; dan
d. pemulihan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan
menjadi tanggung jawab pemegang ijin pertambangan.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan Industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf h, ditetapkan
sebagai berikut:
a. kawasan peruntukan industri harus memiliki kajian Amdal;
b. memiliki sistem pengelolaan limbah; dan
c. lokasinya jauh dari permukiman.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf i,
ditetapkan sebagai berikut:
a. kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk memanfaatkan potensi
keindahan alam, budaya dan sejarah di kawasan peruntukan
pariwisata guna mendorong perkembangan pariwisata dengan

60
SALINAN

memperhatikan kelestarian nilai-nilai budaya, adat istiadat, mutu dan


keindahan lingkungan alam serta kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
b. kegiatan kepariwisataan yang dikembangkan harus memiliki
hubungan fungsional dengan kawasan industri kecil dan industri
rumah tangga serta membangkitkan kegiatan sektor jasa
masyarakat; dan
c. pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk
kepentingan pariwisata, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayan dan agama harus memperhatikan kelestarian lingkungan
dan bangunan cagar budaya tersebut. Pemanfaatan tersebut harus
memiliki izin dari Pemerintah Daerah dan atau Kementerian yang
menangani bidang kebudayaan.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk Kawasan Peruntukan
Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf j,
ditetapkan sebagai berikut:
a. pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman
harus didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum
(pasar, pusat perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air bersih,
persampahan, penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial
(kesehatan, pendidikan, agama);
b. tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
c. tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya
alam; dan
d. membatasi kegiatan komersil di kawasan perumahan.

Pasal 67

(1) Perizinan yang terkait secara langsung dengan pengendalian


pemanfaatan ruang meliputi :
a. rekomendasi peruntukan penggunaan lahan (izin peruntukan);
b. izin lokasi;
c. izin Perkebunan.
d. izin mendirikan bangunan (IMB);
e. izin undang-undang gangguan (IUUG/HO);
f. izin lingkungan (AMDAL, UKL, UPL, SPPL);
g. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
h. izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan
tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar
tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang

61
SALINAN

wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai


dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian
yang layak kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan
rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara
penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 68

(1) Insentif diberikan pada pemanfaatan ruang yang didorong


pengembangannya, melalui:
a. pembangunan fisik prasarana/sarana (infrastruktur) yang
merangsang pemanfaatan ruang sesuai dengan yang diinginkan
dalam rencana tata ruang;
b. pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan
urun saham;
c. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta, dan/atau
pemerintah daerah;
d. keringanan pajak sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang
– undangan yang berlaku;
e. kemudahan prosedur perizinan.
(2) Disinsentif diberikan pada pemanfaatan ruang yang dibatasi
pengembangannya, melalui:
a. penolakan pemberian perizinan pemanfaatan ruang atau perizinan
pembangunan;
b. pembatasan pengadaan sarana dan prasarana;
c. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan
akibat pemanfaatan ruang; dan
d. pengenaan kompensasi dan penalti.
(3) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak
masyarakat.
(4) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh :
a. pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya;dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.

62
SALINAN

Pasal 69

(1) Arahan insentif dan disinsentif didasarkan pada peruntukan pola ruang
berupa kawasan lindung dan budidaya.
(2) Insentif diberikan kepada masyarakat atau pihak lainnya yang
melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsi kawasan lindung atau
dapat menambah luasan kawasan lindung, meliputi :
a. pemberian penghargaan kepada pihak yang melakukan rehabilitasi
dan reboisasi pada kawasan lindung;
b. memberikan bantuan kredit kepada masyarakat atau pihak lainnya
yang melakukan rehabilitasi dan reboisasi kawasan hutan lindung;
c. memberikan kompensasi permukiman dan atau imbalan kepada
penduduk yang bersedia direlokasi dari kawasan lindung; dan
d. memberikan bibit pohon secara cuma-cuma dan biaya perawatan
bagi setiap masyarakat yang menanam pohon penghijauan pada
kawasan lindung.
(3) Disinsentif diberikan kepada masyarakat atau pihak lainnya yang
melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung,
dapat mengurangi luasan kawasan lindung, dan merusak kawasan
lindung, meliputi :
a. pembatasan dukungan sarana dan prasarana;
b. tidak diterbitkannya sertifikat tanah dan bangunan;
c. tidak mengeluarkan IMB ataupun izin usaha lain; dan
d. pembatasan bantuan sosial-ekonomi bagi masyarakat yang masih
bermukim pada kawasan lindung.

Pasal 70

(1) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak


lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
pertanian atau dapat menambah luasan kawasan pertanian, meliputi :
a. kemudahan pemberian perijinan dan keringanan pajak bagi kegiatan
yang dapat mengurangi potensi bencana alam; dan
b. memberikan kompensasi permukiman dan atau imbalan kepada
penduduk yang bersedia direlokasi dari kawasan lindung.
(2) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
hutan produksi atau dapat menambah luasan kawasan hutan, meliputi :
a. memberikan penghargaan/imbalan kepada pihak pengelola hutan
yang mengusahakan hutan sesuai peraturan perundang undangan
yang berlaku;
b. memberikan bantuan, fasilitasi, dukungan, perlindungan hukum dan
subsidi kepada masyarakat yang mengembangkan kawasan hutan
produksi;
c. pemberian kompensasi atas penyediaan lahan hutan produksi;
d. pemberian bibit gratis dan biaya pemeliharaan hutan; dan

63
SALINAN

e. pemberian keringanan pajak dan restribusi.


(3) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
pertanian atau dapat menambah luasan kawasan pertanian, meliputi :
a. memberikan imbalan, penghargaan, dukungan infrastruktur dan
bantuan (subsidi) bagi petani yang memperluas lahan pertanian;
b. memberikan kemudahan berbagai perizinan bagi petani yang
memperluas lahan atau tetap mempertahankan luas lahan pertanian;
c. memberikan bantuan-bantuan khusus kepada petani (saprotan,
alsintan, beasiswa sekolah anak petani, dll;
d. pemberian keringan pajak;
e. menjamin harga gabah tetap tinggi (subsidi);
f. pembangunan irigasi teknis/desa yang dibutuhkan;
g. pembangunan jalan produksi/jalan usaha tani;
h. perbaikan perumahan petani; dan
i. pemberian kredit usaha tani, penyuluhan dan sekolah lapangan.
(4) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
perkebunan atau dapat menambah luasan kawasan perkebunan,
meliputi :
a. memberikan penghargaan, imbalan, penyertaan saham, kemudahan
perizinan, kepada pihak yang mengusahakan perkebunan sesuai
peraturan perundang - undangan yang berlaku;
b. memberikan penghargaan, imbalan, penyertaan saham, kemudahan
perizinan, kepada pihak yang mengelola perkebunan dengan
memprioritaskan penyerapan tenaga kerja lokal;
c. memberikan penghargaan, imbalan, penyertaan saham, kemudahan
perizinan, kepada pihak yang mengelola perkebunan dengan
merehabilitasi kawasan lindung setempat;
d. pemberian keringanan atau penundaan pajak (tax holiday) dan
kemudahan proses perizinan sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang - undangan yang berlaku;
e. penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk
memperingan biaya investasi oleh pemohon izin;
f. pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum
rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan; dan
g. pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang
menimbulkan dampak positif.
(5) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
perikanan, meliputi :
a. pemberian pajak yang ringan;
b. bantuan kredit dan sarana produksi;
c. penyediaan fasilitas nelayan (dermaga kapal/perahu, TPI, Depot Es,
dll.);

64
SALINAN

d. bantuan peralatan tangkap;


e. pelatihan keterampilan utk nelayan;
f. pembangunan pabrik pengolahan ikan dan non ikan;
g. penelitian dan pemasaran hasil laut; dan
h. kemudahan izin usaha perikanan (sesuai aturan yang berlaku).
(6) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
pertambangan, meliputi:
a. memberikan kemudahan dalam proses perizinan;
b. dukungan pembangunan infrastruktur;
c. memfasilitasi urusan birokrasi dengan pemerintah provinsi dan
pusat;
d. mendukung pelatihan tenaga lokal sesuai kebutuhan perusahaan
pertambangan;dan
e. pemberian izin harus disertai kontrak reklamasi yang terukur.
(7) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
industri, meliputi:
a. pembangunan prasarana dan sarana;
b. kemudahan dalam investasi;
c. kemudahan dalam pemberian perijinan; dan
d. keringanan pajak dan lain-lain.
(8) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
pariwisata, meliputi:
a. penyiapan lahan untuk kawasan wisata;
b. kemudahan izin pembangunan fasiltias pendukung pariwisata;
c. pembangunan infrastruktur;
d. kemudahan memperoleh sambungan listrik, PDAM, telekomunikasi
e. fasilitasi Promosi dan pemasaran Daerah Tujuan Wisata;dan
f. bantuan rehabilitasi rumah penduduk yang digunakan untuk
penginapan tamu/wisatawan (home stay).
(9) Bentuk-bentuk insentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan peruntukan kawasan
permukiman, meliputi:
a. memberikan kemudahan perizinan pembangunan rumah/
perumahan yang sesuai peruntukan;
b. membangun prasarana dan sarana permukiman;
c. membangun fasilitas umum dan sosial di kawasan permukiman;dan
d. menyiapkan lahan yang aman bagi permukiman (kasiba/lisiba).

Pasal 71

(1) Disinsentif dikenakan kepada masyarakat yang melakukan


pembangunan pada kawasan rawan bencana, meliputi :

65
SALINAN

a. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk


mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut; dan
b. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman.
(2) Bentuk-bentuk Disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau
pihak lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan hutan produksi atau dapat mengurangi luasan kawasan hutan,
meliputi :
a. penambahan syarat pengusahaan hutan produksi terkait peningkatan
kualitas lingkungan;
b. meningkatkan nilai retribusi dan atau pajak hasil hutan bila pengelola
hutan tidak mengikuti aturan pengusahaan hutan yang berlaku;
c. memberikan pinalti bagi pengusaha hutan yang tidak mematuhi
aturan perundang - undangan yang berlaku; dan
d. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
(3) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan pertanian atau dapat mengurangi luasan kawasan pertanian,
meliputi :
a. pengenaan retribusi dan pajak yang tinggi bagi bangunan yang
didirikan pada areal pertanian lahan basah;
b. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk
mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut;
c. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman bagi
peruntukan yang dilaksanakan pada kawasan pertanian lahan basah;
d. penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja;
e. penolakan izin bagi pemanfaatan lahan pertanian pangan
berkelanjutan; dan
f. penolakan atau mempersulit perizinan.
(4) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan perkebunan atau dapat mengurangi luasan kawasan
perkebunan, meliputi :
a. pengenaan retribusi/ kenaikan pajak/kompensasi bagi pengusaha
yang dalam pengelolaan kegiatannya mengabaikan kerusakan
lingkungan dan atau tidak sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. tidak memberikan bantuan penyuluhan, pembangunan infrastruktur,
subsidi dan bantuan lainnya;
c. tidak diterbitkannya sertifikat tanah dan bangunan; dan
d. penolakan atau mempersulit perizinan.
(5) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan perikanan, meliputi:
a. pembatasan izin bangunan;

66
SALINAN

b. retribusi/pajak bangunan lebih tinggi yang berada pada sempadan


pantai; dan
c. tidak menyediakan atau membangun prasarana dan sarana.
(6) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan pertambangan, meliputi:
a. mengenakan retribusi yang tinggi bagi perusahaan yang mempunyai
dampak cukup penting terhadap pelestarian lingkungan;
b. mengenakan retribusi khusus bagi perusahaan pertambangan yang
tidak melibatkan tenaga kerja lokal;dan
c. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
(7) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan industri, meliputi:
a. penolakan pemberian izin peruntukkan penggunaan lahan;
b. mengenakan retribusi yang tinggi bagi industri yang mempunyai
dampak cukup penting terhadap pelestarian lingkungan;
c. mengenakan retribusi khusus bagi industri yang tidak melibatkan
tenaga kerja lokal; dan
d. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.
(8) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan pariwisata, meliputi:
a. pengenaan syarat yang berat bagi pelaku wisata yang betentangan
dengan norma dan tata krama setempat;
b. retribusi/pajak bangunan lebih tinggi yang berada pada sempadan
pantai/danau;dan
c. pembatasan atau penutupan akses terhadap sistem jaringan
prasarana wilayah.
(9) Bentuk-bentuk disinsentif yang diberikan kepada masyarakat atau pihak
lain yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan peruntukan
kawasan permukiman, meliputi:
a. penolakan pemberian izin peruntukkan penggunaan lahan;
b. pengenaan pajak yang tinggi;
c. pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman;
d. tidak diterbitkannya sertifikat tanah dan bangunan;dan
e. penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman.

Pasal 72

(1) Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan


terhadap pola ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan
peraturan zonasi.
(2) Sanksi administratif dan pidana dikenakan atas pelanggaran pola ruang
yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pola ruang.

67
SALINAN

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini,
dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan
i. denda administratif.
(5) Mekanisme dan tata cara pemberian sanksi diatur lebih lanjut oleh
Peraturan Bupati.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 73

Sanksi pidana dikenakan kepada perseorangan dan/atau korporasi yang


melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 74

(1) Penyelesaian Sengketa Penataan Ruang pada tahap pertama


diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya
penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau diluar pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
PENYELIDIKAN
Pasal 75

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu dilingkungan Pemerintah


Daerah diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan pidana
terhadap pidana pelanggaran peraturan daerah ini.
(2) Untuk mendukung pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara teknis operasional dilapangan berkoordinasi dengan unsur
kepolisian.
(3) Dalam pelaksanaan tugas penyidikan, para Pejabat PPNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berwenang :

68
SALINAN

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya


tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan
melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda dan atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari
penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui
penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut
Umum, tersangka dan Keluarganya; dan
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.

BAB XIII
KETENTUAN LAIAN-LAIN
PASAL 76

(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilaksanakan dengan mematuhi
dan menerapkan kriteria, kaidah, dan baku mutu sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilaksanakan masyarakat
secara turun temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan
faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan
struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang
yang serasi, selaras, dan seimbang.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 77

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan


pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah
ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan
belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :

69
SALINAN

a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai


dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan
masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan :
1) untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut
disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
2) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan
penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan
perundang-undangan; dan
3) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah
diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan
bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan
ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah
ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan.
(2) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan kesepakatan, tidak
dapat terbitkan alas hak dan perijinan apapun hingga diterbitkannya
penunjukan kawasan hutan yang baru.
(3) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan kesepakatan,
pemanfaatannya tidak diperbolehkan dilakukan perluasan dan
peningkatan hingga diterbitkannya penunjukan kawasan hutan yang
baru.
(4) Setelah diterbitkannya revisi penunjukan kawasan hutan yang baru,
rencana peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya akan di
integrasikan kedalam rencana pola ruang melalui Peraturan Bupati.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78

RTRW digunakan sebagai pedoman pembangunan dan rujukan bagi :


a. penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah;
b. perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang;
c. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan;
d. perkembangan wilayah daerah serta keserasian antar sektor;
e. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah;
f. pemerintah provinsi, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat; dan

70
SALINAN

g. penataan ruang wilayah daerah yang merupakan dasar dalam


pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.

Pasal 79

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten.

Ditetapkan di Telukdalam
pada tanggal 24 Agustus 2015

BUPATI NIAS SELATAN,

ttd

IDEALISMAN DACHI

Diundangkan di Telukdalam
pada tanggal 25 Agustus 2015.

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN NIAS SELATAN,

ttd

FO’AROTA LAOLI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NIAS SELATAN TAHUN 2015 NOMOR 05


NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN NIAS SELATAN
PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 6 TAHUN 2015

SALINAN INI SESUAI DENGAN ASLINYA


KEPALA BAGIAN HUKUM
SETDA KABUPATEN NIAS SELATAN,

EMANUEL HARAPAN TELAUMBANUA, SH


PEMBINA
NIP. 19730413 200112 1 003

71
SALINAN

72

Anda mungkin juga menyukai