Banyak orang berpandangan bahwa sesudah menerima sakramen POS, orang tersebut akan mati. Alasan
ini kemudian dipakemkan dan dijadikan sebagai suatu pemahaman yang diterima umum. Benarkah
Sakramen Pengurapan Orang Sakit memiliki makna sebagai sebuah persiapan menuju kematian? Apakah
dengan menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit, seseorang dipastikan meninggal?
Tulisan ini sejatinya mau menunjukkan makna Sakramen Pengurapan Orang Sakit dan bagaimana
pemahaman tentang makna itu ditunjukkan oleh Gereja. Kekeliruan mengenai pemahaman tentang
makna Sakramen Pengurapan Orang Sakit kadang membuat umat takut atau enggan untuk menerima.
Pemahaman yang sudah ditanam dalam pemikiran masing-masing umat adalah efek langsung dari
penerimaan sakramen, yakni mempercepat dan memastikan kematian.
Dalam tulisan ini, saya akan menunjukkan bagaimana Gereja -- terutama melalui Konstitusi Pembaruan
Liturgi (Sacrosantum Concilium) -- memperlihatkan makna sakramen Pengurapan Orang Sakit yang
sebenarnya dan bagaimana perbandingan antara pemahaman sebelum Konsili Vatikan II dan sesudah
Konsili Vatikan II.
Pertama-tama, penulis akan menggunakan metode studi tekstual -- mencermati teks asli dalam bahasa
Latin dari ritus sakramen ini, baik sebelum maupun sesudah Konsili Vatikan II; kedua, hasil proses
pencermatan ini kemudian dilanjutkan dengan upaya memahami model-model pembaruan yang
ditekankan dalam Konsili Vatikan II melalui Konstitusi Dogmatis Sacrosantum Concilium tentang
Pembaruan Liturgi; dan pada bagian terakhir, penulis akan membandingkan transformasi -- segi makna,
teologi, ritus, pelayan, dll., -- yang diterangkan melalui perbandingan sebelum dan sesudah Konsili
Vatikan II. Tujuan dari semua proses pencermatan ini adalah agar umat dibantu untuk memperbarui
makna sakramen Pengurapan Orang Sakit dan bagaimana ritus-ritus yang dibuat dipahami dengan baik.
Pelayanan sakramen-sakramen -- ketujuh sakramen dalam Gereja Katolik -- merupakan tanda nyata
kehadiran Kristus dalam Gereja. "Dengan kekuatan-Nya, Kristus hadir dalam sakramen-sakramen
sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Krsitus sendirilah yang membaptis" (SC 7).
Tanda nyata kehadiran Kristus justru dirasakan oleh Gereja melalui sakramen-sakramen, yakni ketujuh
sakramen.
Praktik dalam sakramen-sakramen merupakan formasi lanjutan (on going formation) dari karya-karya
Yesus dan wejangan-Nya kepada para murid, yakni seruan pembaptisan (Mat 28:19), ekaristi (Luk 22:15-
20), atau kisah-kisah penyembuhan (Yoh 9:1-7). Kisah-kisah ini, akhirnya mendorong Gereja sebagai
Sakramen Kristus menetapkan ketujuh sakramen sebagai buah nyata kehadiran Kristus di tengah
umat.
Sakramen Pengurapan Orang Sakit lahir dari sebuah kepedulian umat beriman Kristiani terhadap sesama
yang sedang sakit. Kepedulian ini pertama-tama diungkapkan melalui doa dan upaya penyembuhan.
Rasul Yakobus bahkan menekankan demikian: "Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia
memanggil penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam
nama Tuhan" (Yak 5:14). Pernyataan Rasul Yakobus akhirnya dijadikan dasar biblis refleksi teologis dari
pemberian Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Dua hal yang ditekankan dalam pernyataan Rasul
Yakobus adalah kekuatan doa dan pengurapan melalui minyak demi kesembuhan orang sakit. Hal ini
menunjukkan bahwa teologi yang dibangun dari pemberian Sakramen Pengurapan Orang Sakit adalah
teologi kesembuhan -- supaya orang sakit diselamatkan dan Tuhan membangunkannya (Yak 5:15).
Perbandingan
Perbandingan ritus dan perubahan teologi mengenai Sakramen Pengurapan Orang Sakit dapat diketahui
dari praenotanda. Perubahan justru terlihat dari perbandingan indeks masing-masing periode, yakni
antara periode pra-Konsili Vatikan II (Rituale Romanum: 1925) dan periode pasca Konsili Vatikan II
(Rituale Romanum: 1975). Pembaruan terjadi baik dalam ritus maupun teologi yang dibangun. Pada pra-
Konsili Vatikan II, konsep teologi yang hendak dicapai adalah teologi keselamatan, yakni agar si sakit
dapat memperoleh keselamatan ketika meninggal.
Sebelum Konsili Vatikan II, pemberian minyak untuk mereka yang sakit bertujuan demi pengampunan
dosa (the remission of sins) dan persiapan jiwa si sakit ketika menghadap Tuhan (the preparedness of
the soul). Akan tetapi, pasca Konsili Vatikan II, imam atau pelayan sakramen tidak lagi meminta
pengampunan dosa dari Tuhan, melainkan fokus pada penyembuhan fisik si sakit. Dengan demikian, si
sakit pertama-tama akan memperoleh kesembuhan berkat penerimaan Sakramen Pengurapan Orang
Sakit dan dikuatkan dalam situasi penderitaannya. Pembaruan ini secara jelas terlihat dalam rumusan
doa.
Semua pembaruan ini, pada dasarnya bertujuan agar sakramen-sakramen yang diterima oleh umat
Kristiani benar-benar menjadi tanda real kehadiran Kristus sekarang dan di sini. Selain itu, melalui
penerimaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Kristus yang berkarya dengan mujizat penyembuhan di
zaman-Nya, justru tetap ada dan relevan di zaman sekarang melalui penerimaan sakramen-sakramen.
Selain pembaruan konsep teologi di balik penerimaan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, hal-hal lain,
seperti penggunaan istilah (dari sakramen pengurapan terakhir menjadi sakramen pengurapan orang
sakit) dan bagian tubuh yang dioles (dibatasi hanya pada bagian tubuh yang bisa dijangkau, yakni dahi
dan telapak tangan), menguatkan si sakit.
Penggunaan istilah kadang-kadang membuat si sakit menganggap sakramen Pengurapan Orang Sakit
sebagai sakramen menuju kematian. Kesan menakutkan (horor) dengan penggunaan istilah Sakramen
Pengurapan Terakhir, justru membuat si sakit merasa enggan untuk menerima sakramen. Oleh karena
itu, tujuan dari pembaruan ini adalah menemukan kembali makna sebenarnya dari masing-masing
sakramen.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Untuk Apa Sakramen Pengurapan Orang
Sakit?", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/kristiantonaku7768/611294ec06310e61946194f4/untuk-apa-sakramen-
pengurapan-orang-sakit?page=all#section1
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili
pandangan redaksi Kompas.
Catatan:
LG 11: Melalui perminyakan suci orang sakit dan doa para imam seluruh Gereja menyerahkan
mereka yang sakit kepada Tuhan yang bersengsara dan telah dimuliakan, supaya Ia
menyembuhkan dan menyelamatkan mereka (lih. Yak. 5:14-16); bahkan Gereja mendorong
mereka untuk secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus (lih. Rom.
8:17; Kol. 1:24; 2Tim. 2:11-12; 1Ptr. 4:13), dan dengan demikian memberi sumbangan bagi
kesejahteraan Umat Allah.
Sejarah Sakramen Pengurapan Orang Sakit dalam
Katolik
Bersamakristus.org – Sakramen pengurapan orang sakit. Salah satu sakramen yang ada dalam
kepercayaan Katolik adalah pengurapan orang sakit. Sakramen dalam gereja Katolik ini masuk
dalam kategori penyembuhan.
Sakramen ini ditujukan untuk mereka yang ingin mendapatkan pemulihan secara jasmani atau
rohani. Selain itu sakramen ini juga untuk pengurapan orang sakit atau sakramen minyak suci
untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan.
Sakramen ini memiliki tujuan penyembuhan dan pengampunan adalah karena berasal dari karya
dan kehidupan Yesus Kristus. Seperti dijelaskan dalam Injil bahwa kita bsia mengetahui banyak
mukjizat Yesus untuk menyembuhkan dan mengampuni orang berdosa.
Untuk lebih mengenal lagi tentang asal usul, sejarah, awal mula, penyebab adanya sakramen
pengurapan orang sakit bisa dilihat pada pembahasan di bawah ini. Anda bisa menyimak ulasan
lengkapnya pada uraian berikut.
Tapi pada saat itu pengurapan dilakukan bukan dalam bentuk sakramen, melainkan hanya
pelayanan biasa saja. Kemudian Korespondensi Paulus menganggap hal itu sebagai karunia
penyembuhan yang bersifat karismatik, sedangkan Yakobus lebih mengartikan praktek tersebut
sebagai sebuah pelayanan penyembuhan bersifat gerejawi.
Pandangan ini berlanjut selama periode patristik awal, karena pada abad ketiga dan keempat,
Origen dan John Chrysostom menafsirkan surat Yakobus sebagai penyembuhan yang cenderung
ke arah spiritual dibanding fisik.
Mereka menganggap bahwa Tuhan merupakan orang Yahudi dan pasti akan merasa asing
dengan istilah penyembuhan fisik atau spritual. Selain itu mereka juga berpendapat bahwa Yesus
mungkin akan memandang penyembuhan sebagai salah satu hal yang mempengaruhi
keseluruhan pribadi seseorang.
2. Abad Kelima
Penggunaan minyak tidak digunakan oleh imam saja, orang awam juga boleh menggunakannya
kapan saja mereka butuhkan. Seiring perkembangan zaman, pendapat tentang makna pengurapan
orang sakit juga semakin berkembang yang menjadi lebih universal.
3. Periode Patristik
Di masa ini, penyembuhan yang sebenarnya bisa didapat dari doa orang beriman serta
pengurapan menggunakan minyak suci. Ketika itu didominasi oleh minyak sudi dan banyak
orang menganggap minyak suci sebagai obat dari gereja.
Mereka tentu saja percaya akan kekuatan minyak pengurapan untuk menyembuhkan sakit,
sehingga penggunaannya menjadi tidak teratur. Mereka mengurapi satu sama lain dan
mengoleskan minyak urapan pada bagian yang sakit tanpa disertai iman.
4. Periode Carolingan
Pada masa periode carolingan terjadi perubahan lagi mengenai makna dan artinya. Perubahan ini
bermula dengan dibentuknya ritual penyembuhan bagi pastur yang sedang sekarat. Ritual ini
diawali dengan penerimaan sakramen tobat dan dilanjutkan sakramen pengurapan orang sakit.
Setelah itu pada abad kesepuluh, pengurapan ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
mendekati kematian. Sampai akhirnya banyak yang menamakan sakramen ini sebagai sakramen
terakhir.
5. Abad Keduabelas
Praktis pengurapan dengan minyak suci tidak hanya dioleskan pada bagian yang sakit saja.
Melainkan juga pada indera manusia sehingga mencerminkan gagasan bahwa indera adalah
penyebab dosa.
Teolog Fransiskan berspekulasi bahwa sakramen pengurapan khusus untuk mengampuni dosa
hina. Sementara itu teolog Domanika merasa sakramen ini bertujuan untuk menghapus sisa dosa,
yakni kebiasaan buruk yang mungkin masih tetap dilakukan.
6. Abad Keenambelas
Di masa ini, Konsili Trente berusaha mengembalikan makna sakramen pengurapan orang sakit
ke makna semula. Uskup menolak proposal yang berisi pembatasan pengurapan orang sakit
hanya kepada mereka yang dalam keadaan sekart saja.
Alhasil, draf terakhir proposal menyatakan sakramen ini bisa digunakan oleh mereka yang sakit,
terutama mereka yang sedang dalam keadaan darurat. Meski demikian rupanya orang-orang
masih menganggap sakramen pengurapan hanya diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan
sekarat saja.
7. Tahun 1983
Kitab Hukum Kanon berbicara mengenai pengurapan orang sakit sebagai satu unsur dalam
pemeliharaan pastoral orang yang sakit. Sakramen ini tidak hanya dipahami sebagai
penyembuhan saja melainkan juga pengampunan.
Hal tersebut juga mengacu pada makna penyembuhan gereja mula-mula, yaitu penyembuhan
pribadi secara keseluruhan. Kita juga bisa mengingat kembali kisah Yesus yang mengampuni
dosa saat menyembuhkan, ini yang mendasari sakramen minyak suci dimaknai secara lebih
mendalam.
8. Masa Kini
Sekarang sakramen pengurapan orang sakit kembali diperuntukkan bagi orang yang
kesehatannya terganggu atau mereka yang lemah di usia lanjut. Jadi, untuk melakukan sakramen
ini tidak harus menunggu sampai dalam keadaan darurat untuk mencegah adanya pandangan
bahwa sakramen ini khusus bagi mereka yang mau meninggal.
Selain itu sakramen ini juga bisa dilakukan berkali-kali jika penyakitnya kambuh setelah diurapi,
penyakit menjadi tambah parah, dan orangtua yang kondisinya lemah. Untuk menghindari
penyalahgunaan sakramen ini, gereja Katolik memberi aturan hanya bisa diberikan bagi mereka
yang kesehatannya terganggu atau ada alasan kuat lainnya.
Akhir Kata
Sekian dulu pembahasan dari kami mengenai awal mula sakramen pengurapan orang sakit.
Mudah-mudahan dapat menambah wawasan yang baik untuk kita dalam memperdalam
kerohanian.
Baca:
Peninggalan Reformasi Gereja Martin Luther
Tujuan Perjamuan Kudus dalam Protestan
Ayat Alkitab Tentang Berserah kepada Tuhan
Artikel Lainnya:
Sakramen ini memiliki tujuan penyembuhan dan pengampunan adalah karena berasal dari karya
dan kehidupan Yesus Kristus. Seperti dijelaskan dalam Injil bahwa kita bsia mengetahui banyak
mukjizat Yesus untuk menyembuhkan dan mengampuni orang berdosa.
Untuk lebih mengenal lagi tentang asal usul, sejarah, awal mula, penyebab adanya sakramen
pengurapan orang sakit bisa dilihat pada pembahasan di bawah ini. Anda bisa menyimak ulasan
lengkapnya pada uraian berikut.
Awal Mula Sejarah Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Sejarah sakramen ini bermula pada masa sejarah gereja perdana, kemudian berlanjut pada
periode carolingan, hingga masa kini. Selengkapnya silahkan simak pembahasan berikut.
1. Gereja Perdana
Murid-murid Yesus telah mengusir banyak setan, mengoleaskan banyak orang sakit dengan
minyak serta menyembuhkan mereka. Ini merupakan contoh praktek prngurapan orang sakit
pada gereja perdana.
Tapi pada saat itu pengurapan dilakukan bukan dalam bentuk sakramen, melainkan hanya
pelayanan biasa saja. Kemudian Korespondensi Paulus menganggap hal itu sebagai karunia
penyembuhan yang bersifat karismatik, sedangkan Yakobus lebih mengartikan praktek tersebut
sebagai sebuah pelayanan penyembuhan bersifat gerejawi.
Pandangan ini berlanjut selama periode patristik awal, karena pada abad ketiga dan keempat,
Origen dan John Chrysostom menafsirkan surat Yakobus sebagai penyembuhan yang cenderung
ke arah spiritual dibanding fisik.
Mereka menganggap bahwa Tuhan merupakan orang Yahudi dan pasti akan merasa asing
dengan istilah penyembuhan fisik atau spritual. Selain itu mereka juga berpendapat bahwa Yesus
mungkin akan memandang penyembuhan sebagai salah satu hal yang mempengaruhi
keseluruhan pribadi seseorang.
2. Abad Kelima
Penggunaan minyak tidak digunakan oleh imam saja, orang awam juga boleh menggunakannya
kapan saja mereka butuhkan. Seiring perkembangan zaman, pendapat tentang makna pengurapan
orang sakit juga semakin berkembang yang menjadi lebih universal.
3. Periode Patristik
Di masa ini, penyembuhan yang sebenarnya bisa didapat dari doa orang beriman serta
pengurapan menggunakan minyak suci. Ketika itu didominasi oleh minyak sudi dan banyak
orang menganggap minyak suci sebagai obat dari gereja.
Mereka tentu saja percaya akan kekuatan minyak pengurapan untuk menyembuhkan sakit,
sehingga penggunaannya menjadi tidak teratur. Mereka mengurapi satu sama lain dan
mengoleskan minyak urapan pada bagian yang sakit tanpa disertai iman.
🔥 Trending: Syarat Menerima Sakramen Ekaristi
4. Periode Carolingan
Pada masa periode carolingan terjadi perubahan lagi mengenai makna dan artinya. Perubahan ini
bermula dengan dibentuknya ritual penyembuhan bagi pastur yang sedang sekarat. Ritual ini
diawali dengan penerimaan sakramen tobat dan dilanjutkan sakramen pengurapan orang sakit.
Setelah itu pada abad kesepuluh, pengurapan ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang
mendekati kematian. Sampai akhirnya banyak yang menamakan sakramen ini sebagai sakramen
terakhir.
5. Abad Keduabelas
Praktis pengurapan dengan minyak suci tidak hanya dioleskan pada bagian yang sakit saja.
Melainkan juga pada indera manusia sehingga mencerminkan gagasan bahwa indera adalah
penyebab dosa.
Teolog Fransiskan berspekulasi bahwa sakramen pengurapan khusus untuk mengampuni dosa
hina. Sementara itu teolog Domanika merasa sakramen ini bertujuan untuk menghapus sisa dosa,
yakni kebiasaan buruk yang mungkin masih tetap dilakukan.
6. Abad Keenambelas
Di masa ini, Konsili Trente berusaha mengembalikan makna sakramen pengurapan orang sakit
ke makna semula. Uskup menolak proposal yang berisi pembatasan pengurapan orang sakit
hanya kepada mereka yang dalam keadaan sekart saja.
Alhasil, draf terakhir proposal menyatakan sakramen ini bisa digunakan oleh mereka yang sakit,
terutama mereka yang sedang dalam keadaan darurat. Meski demikian rupanya orang-orang
masih menganggap sakramen pengurapan hanya diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan
sekarat saja.
7. Tahun 1983
Kitab Hukum Kanon berbicara mengenai pengurapan orang sakit sebagai satu unsur dalam
pemeliharaan pastoral orang yang sakit. Sakramen ini tidak hanya dipahami sebagai
penyembuhan saja melainkan juga pengampunan.
8. Masa Kini
Sekarang sakramen pengurapan orang sakit kembali diperuntukkan bagi orang yang
kesehatannya terganggu atau mereka yang lemah di usia lanjut. Jadi, untuk melakukan sakramen
ini tidak harus menunggu sampai dalam keadaan darurat untuk mencegah adanya pandangan
bahwa sakramen ini khusus bagi mereka yang mau meninggal.
Selain itu sakramen ini juga bisa dilakukan berkali-kali jika penyakitnya kambuh setelah diurapi,
penyakit menjadi tambah parah, dan orangtua yang kondisinya lemah. Untuk menghindari
penyalahgunaan sakramen ini, gereja Katolik memberi aturan hanya bisa diberikan bagi mereka
yang kesehatannya terganggu atau ada alasan kuat lainnya.
Akhir Kata
Sekian dulu pembahasan dari kami mengenai awal mula sakramen pengurapan orang sakit.
Mudah-mudahan dapat menambah wawasan yang baik untuk kita dalam memperdalam
kerohanian.