Anda di halaman 1dari 12

Nama : Jona Joakim Pinem

NIM : 130510025
Tingkat/Semester : XI/Sebelas
Mata Kuliah : Pengurapan Orang Sakit
Dosen Pengampu : TIM

PEMAHAMAN TENTANG SAKIT DAN DOSA

DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK

1. Pengantar

Manusia dipanggil pada kegembiraan. Namun demikian setiap hari mereka

mengalami banyak bentuk penderitaan dan kesakitan. Kerap sekali manusia beranggapan

bahwa penyakit yang mereka derita diakibatkan karena dosa. Sebaliknya, seseorang yang

berdosa pasti akan mengalami sakit. Sakit yang dialami manusia melahirkan penderitaan-

penderitaan. Oleh karena itu, manusia juga percaya bahwa sakit memiliki kesamaan dengan

penderitaan, dengan kata lain sakit adalah penderitaan. Penderitaan menuntut suatu

pertobatan karena manusia meyakini bahwa penderitaan diberikan oleh Tuhan. Seseorang

yang mengalami penderitaan adalah orang yang sedang dicobai oleh Tuhan.

Oleh karena itu, doa untuk pemulihan kesehatan merupakan bagian dari pengalaman

Gereja sepanjang jaman, termasuk jaman kita. Apa yang dalam arti tertentu baru ialah

berkembangnya pertemuan-pertemuan doa, kadang-kadang digabungkan dengan perayaan

liturgi, dengan maksud untuk memperoleh kesembuhan dari Allah. Dalam beberapa kasus,

terjadinya penyembuhan diwartakan, supaya membangkitkan pengharapan akan terjadinya

hal semacam ini dapat terjadi di perbagai tempat. Dalam konteks ini, kerapkali daya tarik

dibuat oleh pernyataan akan adanya karisma penyembuhan.

1
2. Sakramen Pengurapan Orang Sakit

Sakramen Pengurapan Orang sakit merupakan salah satu dari ketujuh sakramen dalam

Gereja yang biasanya diterimakan kepada orang beriman yang sakit parah. Pengurapan

sakramen ini dilakukan dengan minyak orang sakit yang dilayani oleh imam. Sakramen ini

membebaskan si sakit dari dosa dan karenanya memberi dia keyakinan dan kekuatan untuk

menaggung sakitnya dan bahkan dalam menghadapi maut. Sakramen ini juga bisa

memulihkan kesehatan badani kalau ini bermanfaat bagi keselamatan jiwanya. Oleh karena

itu, sakramen ini boleh diterima lebih dari satu kali, yakni kalau si skait, sesudah sembuh,

kambuh lagi. Sakramen Pengurapan Orang Sakit merujuk pada pelayanan kepada orang sakit

(Mrk 6:13, Yak 5:14-15) dan mengungkapkan kesetiakawanan seluruh Gereja terhadap orang

sakit yang menghadapi ajalnya dengan memohonkan baginya kesembuhan rohani dan

jasmani berkat kemenangan Kristus atas penyakit dan kematian.1 Berikut ini akan disajikan

dasar biblis tentang sakramen pengurapan orang sakit.

Perjanjian Lama mengakui adanya hubungan antara penyakit dan dosa. Alasan yang

mendasari pernyataan ini bertolak dari realitas biblis bahwa penyakit baru mulai dialami oleh

manusia sesudah ia jatuh ke dalam dosa. Allah menjanjikan kesehatan dan kesejahteraan

kepada bangsa Israel apabila mereka mentaati perjanjian, tetapi akan mendapat penyakit dan

penderitaan apabila mereka tidak taat (bdk. Kel 15:16).2

Namun dalam kisah Ayub, penyakit dan penderitaan tidak semestinya dikaitkan

dengan dosa-dosa pribadi, tetapi mereka menderita harus menerima pencobaan mereka

dengan iman akan Allah. Dengan demikian, melalui iman itu, Allah memulihkan kesehatan

Ayub dan menyembuhkan hidupnya (bdk. Ayb 19:25). Adapun dalam Perjanjian Lama,

penyembuhan dari Allah sering datang melalui tangan para nabi-Nya. Dalam kisah Naaman,

1
Gerald O Collins & Edward Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 245.
2
Tim Gray, Sakramen Dalam Kitab Suci, (Malang: Dioma, 2007), hlm. 98.

2
panglima tentara Siria, yang menderita sakit kusta, penyembuhan atas penyakitnya terjadi

melalui perantaraan nabi Elisa (2 Raj 5:14-15).3

Sakramen Pengurapan Orang Sakit mempunyai dasar yang kuat dalam Perjanjian

Baru terutama dalam pelayanan Yesus terhadap orang sakit. Dalam Perjanjian Baru terdapat

banyak kisah tentang pelayanan Yesus yang menyembuhkan orang sakit. Penyembuhan

adalah salah satu pelayanan Yesus. Dalam Kisah Para Rasul, Petrus juga menyembuhkan

orang lumpuh dalam nama Yesus. Penyembuhan yang sama juga dilakukan oleh St. Paulus

ketika ia menyembuhkan orang lumpuh yang didahului oleh si lumpuh (Kis 14:9-10).

Menurut Perjanjian Baru, kehadiran Yesus Kristus merupakan kehadiran penyelamatan dan

penyembuhan yang dilakukan oleh Allah terhadap umat-Nya. Dalam menjalankan tugas

perutusan-Nya untuk mewartakan kerajaan Allah ke dunia, Yesus tidak bekerja sendirian. Ia

menyertakan para murid-Nya sebagai rekan kerja untuk mengambil bagian dalam tugas

perutusan-Nya (bdk. Mrk 3;14-15). Dengan demikian, tugas yang diemban oleh para murid

merupakan lanjutan misi perutusan Yesus. Dalam Injil Markus, dikatakan bahwa, ‘Lalu

pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat dan mereka mengusir banyak

setan dan mengolesi banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Mrk

6:12-13). Melalui pendasaran biblis ini, menjadi jelas bahwa misi perutusan yang diemban 15

Ibid., hal. 90 oleh para murid mencakup misi penyembuhan, di mana di dalamnya, dikisahkan

bahwa penyembuhan yang dilakukan oleh para murid itu menggunakan sarana minyak.4

Dalam tradisi Gereja Katolik, penetapan Sakramen Pengurapan Orang Sakit selalu

dikaitkan dengan tulisan St Yakobus, “ Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah

ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengoleskannya

dengan minyak dalam nama Tuhan dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang

3
Tim Gray, Sakramen Dalam Kitab …, hlm. 90.
4
Tim Gray, Sakramen Dalam Kitab …, hlm. 101.

3
sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya

akan diampuni” (Yak 5:14-15).5 Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang pemahaman

sakit dan dosa menurut ajaran Gereja Katolik.

3. Kaitan Sakit dan Dosa

Leibniz menyebutkan ada tiga jenis keburukan yang masing-masing mengakibatkan

penderitaan dalam kadar yang berbeda. Keburukan pertama disebutnya keburukan fisik

(malum physicum) yang mewujud dalam bentuk penderitaan secara jasmani. Keburukan

kedua disebut keburukan metafisik (malum metaphysicum) yang mewujud dalam penderitaan

akibat bencana alam, dan keburukan ketiga disebut keburukan moral (malum morale) yang

merupakan akibat langsung penyalahgunaan kehendak bebas manusia, atau yang dapat

disebut sebagai kejahatan. Ketiga keburukan itu ada yang dapat diatasi ada juga yang tidak

dapat diatasi. Keburukan fisik dan moral menurut Leibniz dapat diatasi. Misalnya, rasa sakit

fisik yang dialami bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat. Keburukan moral dapat

diatasi dengan cara melakukan pertobatan dari kejahatan. Tetapi, keburukan metafisik tidak

dapat diatasi karena berasal dari luar kemampuan nalar manusia. 6 Menurut penulis, gambaran

Leibniz terhadap penderitaan sangat relevan dengan pandangan para banyak orang. Mereka

mengalami tiga dimensi keburukan itu. Walaupun penekanan yang sangat tampak adalah

pada penderitaan fisik dan moral atau rohani. Sakit fisik berarti mereka mengalami gangguan

pada orang tubuh yang mengakibatkan pergerakan mereka terbatas, sehingga tidak bisa

melakukan pekerjaan seperti biasanya. Sedangkan sakit secara rohani terletak pada

pandangan mereka atas sakit sebagai hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa atau kejahatan yang

dilakukan.

5
Tim Gray, Sakramen Dalam Kitab …, hlm. 103.
6
Elvin Admaja Hidyat, Iman di Tengah Penderitaan: suatu Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani
(bandung [tanpa penerbit], 2016), hlm. 286-287.

4
Dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa penyakit merupakan pencobaan

yang paling berat dalam hidup manusia. Karena manusia akan mengalami keterbatasan,

kekurangmampuan bertidak, dan menyadari kefanaannya. Manusia akan membayangkan

kematian karena penyakit yang dideritanya.7

Kitab Suci Perjanjian Lama pada umumnya mengatakan bahwa dosa menjadi

penyebab sakit atau penderitaan manusia. Teristimewa dimulai pada saat kejatuhan manusia

pertama ke dalam dosa, dan sejak saat itu juga manusia mengalami penderitaan. 8 Selain itu,

dalam kisah Ayub yang sangat jelas disampaikan bahwa penderitaan dan sakit yang diderita

Ayub diyakini oleh teman-temannya sebagai akibat dosa-dosanya. Keyakinan itu sangat kuat

dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional, dimana seseorang yang mengalami sakit dan

penderitaan karena dosa dan kutukan dari Tuhan.

Dalam konsep pemikiran orang Yahudi, untuk keluar dari peristiwa tersebut si sakit

harus berdamai dengan Allah (bdk. Mzm 38:22-23).7 Pendamaian tersebut dilangsungkan di

dalam Bait Allah yang dipimpin oleh penatua atau imam. Si sakit harus mempersembahkan

kurban bakaran bagi Allah. Setelah mempersembahkan kurban bakaran, penatua atau imam

akan mengurapi beberapa bagian tubuh si sakit dengan minyak (bdk. Im 2:4-10; 14:15-18).

Pengurapan dengan minyak merupakan bentuk permohonan kesembuhan, pendamaian dan

pentahiran orang sakit dari dosa-dosanya.9

Praktek pengurapan dengan minyak dalam tradisi bangsa Israel tidak hanya berfungsi

untuk menyembuhkan penyakit, tetapi bertujuan untuk hal-hal lain, misalnya pengudusan

7
Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru dari Bahasa Jerman (Ende:
Arnoldus, 1998), no. 1500. Selanjutnya akan disingkat dengan KGK diikuti dengan nomor.
8
Surip Stanislaus, Penderitaan Menurut Kitab Suci (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2018, hlm. 2
[diktat].
9
8 Simon Jones, Oil, dalam Christoper Irvine (ed.), The Use of Symbols in Whorsip (London: Alcuin
Club, 2007), hlm. 39.

5
mesbah dan benda-benda peribadatan, pelantikan seorang raja, dan pentahbisan seorang

imam.10

Gagasan tentang makna penderitaan dan sakit sebagai hukuman atas dosa juga

muncul dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Hal itu tampak ketika Yesus menyembuhkan

seorang lumpuh (bdk. Yoh 5:14; bdk. Luk 13:2-3). Di lain kesempatan, Yesus menolak

penyakit yang dikaitkan dengan dosa, yakni ketika ia menyembuhkan orang buta sejak

lahirnya (bdk. Yoh 9:1-3). Kisah penyembuhan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru berkaitan

erat dengan karya Yesus dalam mewartakan kerajaan Allah. Ia menggunakan banyak cara

dalam mewartakan kerajaan Allah tersebut. Salah satu cara yang paling kentara tampak dari

penyembuhan yang dilakukan-Nya terhadap orang-orang sakit. Dia hadir dan memperhatikan

orang-orang sakit dan menderita serta menyembuhkannya. Tindakan yang dilakukan Yesus

ini bukanlah demi kesembuhan jasmani saja, melainkan juga untuk menyatakan bahwa

kerajaan Allah telah hadir di tengah kehidupan manusia (lih. Luk 10:8-9; 11:20; Mat 10:7-

8)11

Karya penyembuhan yang dibuat oleh Yesus dilakukan dengan menyentuh, bersabda,

berdoa, menumpangkan tangan, menjamah, meludah, meraba dan lain sebagainya. Melalui

karya-karya penyembuhan itu, Yesus menampakkan sisi keilahian-Nya yang berkuasa untuk

menyembuhkan dan mengampuni dosa (bdk. Mrk 2:5-12).12

Sejumlah besar orang sakit mendatangi Yesus dalam pelayanan publiknya, baik

secara langsung maupun melalui saudara dan teman-teman mereka, mencari pemulihan

kesehatan mereka. Tuhan menerima permohonan mereka dan Injil tidak memuat tanda-tanda

10
Jhon Willian, Anounting, dalam Willian J. McDonald (ed.), New Chatolic Encyclopedia Vol. 9
(Washington: The Chatolic University of America, 1967), hlm. 566.
11
Alfonsus Very Ara, Sakramentologi (Pematangsiantar: STFT Santo Yohanes, [tanpa tahun]), hlm.
50. (diktat).
12
KGK, no. 1504.

6
celaan terhadap permohonan-permohonan tersebut. Tuhan hanya mengeluh tentang kurang

percayanya mereka: “Jika Engkau dapat! Segala sesuatu mungkin bagi orang yang

mempunyai kepercayaan” (Mrk 9:23; bdk. Mrk 6:5-6; Yo 4:48).

Tidak hanya pantas dipuji karena anggota-anggota umat beriman secara pribadi

memohon penyembuhan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, tetapi Gereja dalam

liturginya memohon kepada Tuhan bagi kesehatan orang sakit. Terutama, ada sakramen yang

secara khusus dimaksudkan untuk menguatkan mereka yang sedang sakit, yaitu Sakramen

Pengurapan Orang Sakit.13 Gereja tidak pernah berhenti merayakan sakramen ini bagi

anggota-anggotanya dengan pengurapan dan doa imam-imam, seraya mempercayakan

mereka yang sakit pada Tuhan yang sengsara dan dimuliakan, supaya Ia membangkitkan dan

menyelamatkan mereka. Dalam pemberkatan minyak sebelum pengurapan, Gereja berdoa:

“Jadikanlah minyak ini obat bagi semua yang diurapi dengannya; sembuhkan mereka dalam

tubuh, jiwa dan roh, dan bebaskan mereka dari setiap penderitaan”. Kemudian, dalam dua

doa pertama sesudah pengurapan, dimohon penyembuhan orang yang sakit itu, karena

sakramen merupakan janji dari Kerajaan Allah yang akan datang, sakramen juga merupakan

pewartaan kebangkitan, ketika tidak akan ada lagi kematian atau perkabungan, ratap atau

penderitaan, sebab yang lama telah berlalu (Why 21:4). Lebih lagi, Missale Romanum

memuat Missa untuk Orang Sakit yang disamping memohon rahmat spiritual juga memohon

kesehatan bagi orang sakit.14

Secara moral dosa dikatakan tindakan melawan akal budi, karena hanya orang yang

dapat menggunakan akal budi yang bertanggungjawab terhadap dosanya. Itulah sebabnya

bahwa Sakramen Pengampunan dosa hanya dapat diterimakan kepada orang yang telah

dibaptis dan mencapai usia yang dapat berpikir rasional. Dengan akal budi, seharusnya kita

13
KGK, no. 1511.
14
Rituale Romanum, Ordo Unctionis Infirmorum eorumque Pastoralis Curae, 5.

7
memilih tujuan yang paling akhir, yaitu persatuan dengan Tuhan, namun kita sering

dikaburkan dengan oleh pengaruh dunia ini, sehingga akal budi kita lebih banyak dipengaruhi

dan didominasi oleh kedagingan atau sense appetite. St. Paulus mengatakan pemberontakan

keinginan daging melawan keinginan roh.15

Bagi orang beriman sakit sering dipandang sebagai pangalaman bersama Kristus,

yang ikut mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Oleh karena itu, sakit merupakan

salib yang mesti ditanggung dengan tabah hati. Sama seperti Yesus yang sabar dalam

penderitaan untuk menebus dosa manusia dan melakukan kehendak Bapa-Nya.16

Begitu juga secara teologis dikatakan bahwa orang yang sakit mempersatukan sakit

yang dideritanya dengan seluruh peristiwa hidup Yesus Kristus, terutama dalam wafat dan

kebagkitan-Nya. Orang sakit ini menyadari akan makna penyelamatan dari derita Yesus.

Yesus telah wafat untuk kita dan telah membebaskan kita dari maut (bdk Rm 5:8). Apabila

kita menggabungkan diri dengan derita Kristus, maka kita pun akan ikut mengalami

kemulianNya, sebab, kita ini anak-anak Allah, yang berati ahli waris.17

Dengan Sakramen Pengurapan Orang Sakit, orang sakit belajar menjadi pribadi yang

tidak mudah putus asa dan tidak merasa sia-sia. Dengan memepersembahkan rasa sakit dan

seluruh penderitaannya kepada Tuhan, orang yang sakit itu akan memperoleh kekuatan dan

harapan. Persembahan penderitaan kepada Tuhan tiu, membuat orang sakit menjadi kuat dan

merasa bahwa penderitaannya mempunyai arti dan tidak sia-sia. Yesus sendiri juga, melalui

sakramen pengurapan orang sakit, menganugerahkan kepada orang sakit suatu rasa damai dan

15
Lesta Sembiring, Situasi Sakit dan Dosa Menurut Moral Katolik (Pematangsiantar: [tanpa penerbit],
[tanpat tahun terbit]), hlm. 5-6. (diktat).
16
Surip Stanislaus, Penderitaan Menurut Kitab …, hlm. 10.
17
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen dalam Gereja, tinjauan teologis, liturgis, dan pastoral,
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 347.

8
harapan akan keikutsertaannya dalam kemuliaan kebagkitan-Nya. Dengan demikian, Orang

yang sakit itu diberikan suatu perspektif baru terhadap penderitaan yang dialaminya.18

Dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa dengan pengurapan orang sakit,

Gereja menyerahkan umat beriman yang sakit kepada Tuhan. Dalam kondisinya yang sudah

berbahaya Tuhan dapat meringankan dan menyelamatkan mereka. Orang yang sakit mesti

didoakan sehingga dapat memaknai sakit yang dideritanya sebagai kesatuan dirinya dengan

Kristus yang menderita dan dimuliakan.19

Tetapi sangat perlu diketahui bahwa urapan orang sakit bukanlah Sakramen bagi

mereka yang berada di ambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti

sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau

sudah lanjut usia” (SC 73). Kalau seorang sakit yang telah menerima urapan ini sehat

kembali, maka ia dapat menerima lagi Sakramen ini, apabila ia sakit berat lagi. Dalam

menderita penyakit yang sama, Sakramen ini dapat diulangi, kalau keadaan makin buruk.

Dianjurkan agar seorang yang menghadapi operasi besar, menerima Urapan Orang Sakit.

Demikian juga berlaku untuk orang tua rentan, yang kekuatannya mulai melemah. Pernyataan

ini telah telah dilukiskan Yakobus dalam suratnya. Yakobus menuliskan bahwa pengurapan

orang sakit diberikan kepada orang-orang yang sakit, agar mereka ditabahkan dalam

penderitaan dan diselamatkan.20

4. Penutup

Kemungkinan jawaban untuk memuaskan diri manusia atas makna sakit dan

penderitaan tidak dapat ditemukan secara sempurna, karena manusia hanya mampu menilai

18
E. Martasudjita, Sakramen-sakramen dalam Gereja …, hlm. 348.
19
Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia,
diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016), nomor 998. Pengutipan selanjutnya akan disingkat
KHK dengan diikuti nomor yang dirujuk.
20
KGK, no. 1514-1515

9
dunia dari sudut pandangnya yang sangat terbatas. Pikiran manusia tak mampu menyelami

misteri rencana Allah. Umat beriman perlu merenungkan secara mendalam untuk meyakini

bahwa Allah itu adalah kasih dan manusia adalah pribadi yang dikasihi-Nya.

Kerinduan akan kebahagiaan, yang berakar secara mendalam dalam hati manusia,

selalu disertai oleh keinginan untuk bebas dari sakit dan mampu memahami maknanya bila

mengalaminya. Ini merupakan gejala manusiawi, di mana sakit dipahami sebagai sarana

kesatuan dengan Kristus dan sarana pemurnian rohani. Selain itu, bagi mereka yang

berhadapan dengan orang sakit, itu merupakan kesempatan untuk menjalankan kasih. Tetapi

ini bukan semuanya, sebab sakit, sebagaimana bentuk-bentuk penderitaan manusia yang lain

merupakan saat yang penting untuk berdoa, untuk memohon rahmat maupun untuk memohon

kemampuan untuk menerima sakitnya dalam semangat iman dan kesesuaian dengan

kehendak Tuhan, maupun untuk memohon penyembuhan.

Namun, umat beriman Sebagian besar belum mampu menghubungkan penderitaannya

dengan penderitaan Kristus. Oleh karena itu, mereka masih sangat sulit menjadikan

penderitaan menjadi bermakna. Jikalau mereka mampu menyatukan segenap penderitaannya

dengan salib Yesus, Gereja menjamin bahwa mereka akan memperoleh kekuatan untuk

menanggungnya sebagai sesuatu yang berharga. Penderitaan tidak akan lagi dipandang

sebagai sesuatu yang menakutkan dan menjadi bebas hidup, melainkan bagian dari kehidupan

yang sesungguhnya.

Dengan demikian, penulis dan beserta para calon tenaga pastoral yang lain hendaknya

kelak dalam berpastoral, kita mampu memberikan pengajaran akan iman dan ajaran Gereja

dengan tulus hati dan penuh semangat. Seperti yang dikatakan oleh Santo Sirilus dari

Yerusalem, para imam hendaknya selalu memberikan pengajaran katekese dan tak henti-

10
hentinya berkotbah tentang iman kita, supaya lebih banyak lagi umat paham akan imannya.

Dengan itu semakin banyak pula jiwa-jiwa dapat diselamatkan.

Daftar Pustaka

Ara, Alfonsus Very. Sakramentologi (Pematangsiantar: STFT Santo Yohanes, [tanpa tahun]),
(diktat).
Martasudjita, E. Sakramen-sakramen dalam Gereja, tinjauan teologis, liturgis, dan pastoral,
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Hidyat, Elvin Admaja. Iman di Tengah Penderitaan: suatu Inspirasi Teologis-Biblis
Kristiani, Bandung: [tanpa penerbit], 2016.
Gerald O Collins & Edward Farrugia. Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

11
Willian, Jhon. Anounting, dalam Willian J. McDonald (ed.), New Chatolic Encyclopedia Vol.
9, Washington: The Chatolic University of America, 1967.
Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh Herman Embuiru dari Bahasa Jerman, Ende:
Arnoldus, 1998.
Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Resmi Bahasa Indonesia,
diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016), nomor 998. Pengutipan
selanjutnya akan disingkat KHK dengan diikuti nomor yang dirujuk.
Sembiring, Lesta. Situasi Sakit dan Dosa Menurut Moral Katolik, Pematangsiantar: [tanpa
penerbit], [tanpat tahun terbit], (diktat).
Rituale Romanum, Ordo Unctionis Infirmorum eorumque Pastoralis Curae.
Jones, Simon. Oil, dalam Christoper Irvine (ed.), The Use of Symbols in Whorsip, London:
Alcuin Club, 2007.
Stanislaus, Surip. Penderitaan Menurut Kitab Suci, Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2018.
(diktat).
Gray, Tim. Sakramen Dalam Kitab Suci, Malang: Dioma, 2007.

12

Anda mungkin juga menyukai